asuhan keperawatan pada pasien dengan …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/sofana fairro fingiyah...

124
i ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN HAMBATAN KOMUNIKASI VERBAL PADA SISTEM PERSYARAFAN STROKE NON HEMORAGIK SOFANA FAIRRO FINGIYAH A01401972 PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG TAHUN AKADEMIK 2017

Upload: truonghanh

Post on 03-Mar-2019

264 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

i

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN GANGGUAN HAMBATAN KOMUNIKASI

VERBAL PADA SISTEM PERSYARAFAN STROKE NON

HEMORAGIK

SOFANA FAIRRO FINGIYAH

A01401972

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH

GOMBONG

TAHUN AKADEMIK

2017

Page 2: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

ii

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN GANGGUAN HAMBATAN KOMUNIKASI

VERBAL PADA SISTEM PERSYARAFAN STROKE NON

HEMORAGIK

Karya Tulis Ilmiah ini disusun sebagai salah satu persyaratan menyelesaikan

Program Studi Pendidikan Diploma III Keperawatan

SOFANA FAIRRO FINGIYAH

A01401972

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH

GOMBONG

TAHUN AKADEMIK

2017

Page 3: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

iii

Page 4: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

iv

Page 5: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

v

Page 6: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

vi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................. i

SAMPUL DALAM................................................................................... ii

HALAMAN ORISINALITAS................................................................. iii

HALAMAN PERSETUJUAN.................................................................. iv

HALAMAN PENGESAHAN................................................................... v

DAFTAR ISI............................................................................................. vi

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................viii

KATA PENGANTAR.............................................................................. ix

ABSTRAK................................................................................................. xi

ABSTRACT..............................................................................................xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah................................................................................. 3

C. TujuanPenulisan.................................................................................. 3

D. Manfaat Penulisan................................................................................ 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka................................................................................... 5

1. Asuhan keperawatan dalam Hambatan Komunikasi Verbal............ 5

2. Hambatan Komunikasi Verbal Pada Pasien SNH .......................16

BAB III METODE STUDI KASUS

A. Jenis Studi Kasus................................................................................. 22

B. Subyek Studi Kasus.............................................................................. 22

C. Fokus Studi Kasus................................................................................ 22

D. Definisi Operasional............................................................................. 22

E. Instrumen Studi Kasus.......................................................................... 22

F. Metode Pengumpoulan Data................................................................. 23

G. Lokasi dan Waktu Studi Kasus............................................................. 24

H. Analisa dan Data Penyajian.................................................................. 24

I. Etika Penelitian Studi kasus.................................................................. 25

Page 7: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

vii

BAB IV HASIL STUDI KASUS DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Studi kasus................................................................................... 27

B. Pembahasan ......................................................................................... 40

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan..........................................................................................45

B. Saran ....................................................................................................46

DAFTAR PUSTAKA

Page 8: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Persetujuan/ Informed Consent

Lampiran 2 Lembar pengkajian

Lampiran 3 Catatan Asuhan Keperawatan

Lampiran 4 A I U E O

Lampiran 5 Lembar konsultasi

Page 9: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

ix

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikumWr. Wb

Puji syukurkehadirat Allah S.W.T yang telah melimpah kan

rahmatdankarunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal karya

tulis ilmiah ini dengan judul“Asuhan Keperawatan Pasein Dengan Gangguan

Hambatan Komunikasi Verbal Pada Sistem Persyarafan Stroke Non

Hemoragik”.

Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi

Muhammad SAW, sehingga penulis mendapatkan kemudahan dalam

menyelesaikan karya tulis ilmiah ilmiah.

Tujuan dari penulisan proposal karya tulis ilmiah adalah sebagai salah

satu persyaratan menyelesaikan Program Pendidikan Diploma III Keperawatan.

Penyelesaian penulisan proposal karya tulis ilmiah ini penulis banyak

mendapatkan bantuan baik materil maupun moril dari berbagai pihak, untuk itu

penyusun mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua Bapak Suyadi Azhar dan Ibu Siti Kholifah yang selalu

memberikan dukungan, kasih sayang, semangat dan perhatian dalam setiap

waktunya.

2. Adikku Restu Maisaroh yang selalu menemani dan memberikan semangat.

3. Teman-temanku yang selalu setia menjadi teman untuk bertukar pikiran dalam

mengerjakan.

4. PodoYuwono S. Kep, Ns, M.Kep. CWCS selaku pembimbing yang telah

dengan sabar membimbing dan memberikan arahan dengan sangat baik.

5. Endah Setianingsih, S.Kep, Ns. M.Kep selaku penguji proposal dan

pembimbing yang telah dengan sabar membimbing dan memberikan arahan

dengan sangat baik.

6. Herniyatun, S.Kep, M.Kep Sp.Mat, selaku Ketua STIKES Muhammadiyah

Gombong.

7. Nurlaila, S.Kep.Ns, M.Kep, selakuKetua Program Studi DIII Keperawatan

STIKES MuhammadiyahGombong dan selaku penguji hasil Karya Tulis

Ilmiah.

Page 10: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

x

8. Ike Mardiati A. M, Kep, Sp, Kep, J. Selaku dosen penguji hasil Karya Tulis

Ilmiah.

9. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapkan

terima kasih atas bantuan dan dukunganya.

Penulis menyadari bahwa di dalam menyelesaikan proposal karya tulis

ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik

dan saran yang membangun untuk kesempurnaan proposal karya tulis ilmiah ini

pada waktu yang akan datang. Harapan penulis semoga proposal karya tulis

ilmiah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis maupun bagi pembaca pada

umumnya.

Gombong, Juli 2017

Sofana Fairro Fingiyah

Page 11: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

xi

Program DIII Keperawatan

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong

KTI, Juli 2017

Sofana Fairro Fingiyah 1, Podo Yuwono

2

ABSTRAK

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN

HAMBATAN KOMUNIKASI VERBAL PADA SISTEM PERSYARAFAN

STROKE NON HEMORAGIK DI RS PKU MUHAMMADIYAH GOMBONG

Latar Belakang: Stroke merupakan kelaian fungsi otak yang timbul secara mendadak

dan terjadi pada siapa saja. Penyakit ini menyebabkan kecacatan berupa kelumpuhan

anggota gerak, gangguan bicara, proses berfikir, dikarenakan gangguan fungsi otak.

Tujuan Penulis: Menjelaskan asuhan keperawatan yang diberikan pada klien dengan

gangguan hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan Stroke Non Hemoragik.

Metode: Metode yang digunakan penulis untuk studi kasus adalah metode deskriptif,

Dimana penulis melakukan pengujian secara rinci terhadap dua obyek .

Hasil: Setelah dilakukan asuhan keperawatan didapatkan data-data pasien pelo, sulit

berbicara, bicara tidak jelas, tidak mampu orientasi 3 hal( tempat, waktu, orang). Selain

itu pasien sulit mengungkapkan kata, sulit mempertahankan komunikasi, sulit

mengekspresikan pikiran secara verbal. Salah satu dari pasien hanya mampu

menganggukkan dan menggelengkan kepala. Masalah keperawatan yang muncul adalah

hambatan komunikasi verbal. Rencana asuhan keperawatan untuk meningkatkan

komunikasi verbal adalah dengan cara terapi wicara. Rencana keperawatan tersebut telah

diimplementasikan selama dalam pengelolaan. Evaluasi yang didapatkan pasien Ny. R

belum ada peningkatan komunikasi verbal sedangkan pasien Ny. S mengalami

peningkatan komunikasi verbal.

Kesimpulan: Tindakan asuhan keperawatan terapi wicara dalam meningkatkan

komunikasi dengan latihan secara intensif dapat meningkatkan neuralplasticity,

reorganisasi peta kortikel dan meningkatkan fungsi motorik.

Kata kunci: stroke non hemoragik, hambatan komunikasi verbal, terapi wicara

1. Mahasiswa

2. Dosen

Page 12: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

xii

DIII Program of Nursing Department

Muhammadiyah Health Science Institute of Gombong

Scientific Paper, July 2017

Sofana Fairro Fingiyah 1, Podo Yuwono

2

ABSTRACT

THE NURSING CARE FOR PATIENTS WITH VERBAL COMMUNICATION

BARRIES OF NON-HEMORRHAGE STROKE NERVES SYSTEM

IN MUHAMMADIYAH HOSPITAL OF GOMBONG

Background: Stroke is an abnormality of the brain function arising suddenly and may

happen to anyone. This can cause disability, such as paralysis limb, speech disorder,

thinking process caused by impaired brain function.

Objective: Explaining the nursing care for patients with verbal communication barries of

non-hemorrhage stroke nerve system.

Method: method that used by writer for the case of study is using descriptive method,

where the writer is doing a detailed research of two objects.

Result: After conducting nursing care, the writer found out that the patients were oblique,

hard talking, unclear speaking, unable to orient three things (place, time and person).

Besides, it was hard for them to express words. to maintain the communication, and to

utter their thoughts verbally. One of them was just able to nod and shake her head. The

emerging nursing problem was verbal communication barriers. The nursing care plan to

improve their verbal communicatoin was done by applying speech therapy. The plan had

been implemented during the management. The evaluation showed that there was no

verbal communication improvement of the first patient (Mrs. R), but the second patient

(Mrs. S) got an increase in verbal communication.

Conclusion: The applying speech theraphy for improving verbal communication done by

practising intensively can improve neuralplasticity, reorganixation of the crotical map,

and motor function.

Keywords: Non-hemorrhage stroke, verbal communication, speech therapy

1. Student

2. Lecturer

Page 13: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Stroke merupakan satu dari sekian banyak masalah kesehatan yang

paling serius dalam kehidupan modern saat ini. Stroke masih merupakan

masalah medis yang menjadi masalah yang serius dan mengancam jiwa

nomor 2 di Eropa serta no 3 di Amerika Serikat. Sebanyak 10% penderita

stroke mengalami kelemahan anggota gerak yang memerlukan perawatan

(Batticaca, 2008). Stroke merupakan kelaian fungsi otak yang timbul secara

mendadak dan terjadi pada siapa saja. Penyakit ini menyebabkan kecacatan

berupa kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara atau afasia, proses

berfikir, dikarenakan sebagai gangguan fungsi otak (Muttaqin, 2008).

WHO mamprediksikan bahwa angka kematian stroke akan

meningkat dengan kematian akibat penyakit jantung koroner, kanker. Kurang

lebih 6 juta pada tahun 2010 menjadi 8 juta di tahun 2030 (WHO, 2008)

Amerika Serikat mencatat hampir setiap 45 detik terjadi kasus stroke, dan

setiap 4 detik terjadi kematian akibat sroke. Tahun 2010 Amerika Serikat

telah menghabiskan 73,7 juta dollar untuk membiayai tanggungan medis dan

rehabilitsi akibat stroke. Yayasan stroke Indonesia (Yastroki) menjelaskan,

angka kejadian stroke menurut data rumah sakit 63,52 per 100.000 penduduk

usia diatas 65 tahun sedangkan jumlah penderita yang meninggal dunia lebih

dari 125.000 jiwa (Ratna, 2011).

Indonesia menduduki peringkat pertama di Asia. Jumlah angka

kematian yang disebabkan oleh stroke menduduki uratan kedua pada usia

diatas 60 tahun dan urutan kelima pada usai 15-59 tahun ( Yastroki, 2012 ).

(Robino, 2015) mengatakan bahwa di Kalimantan Barat merupakan salah satu

provinsi di Indonesia dengan penderita stroke cukup tinggi. Penderitanya

melebihi prevalensi stroke di daerah perkotaan secara nasional. Singkawang

merupakan kota di Kalimantan Barat dengan prevalensi stroke yang terus

meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan penelitian di lima rumah sakit

Page 14: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

2

yang ada di Kota Singkawang menunjukkan, adanya peningkatan jumlah

pasien stroke yang dirawat. Jumlah tersebut belum termasuk pasien stroke

yang dirujuk dan dirawat di rumah sakit selain di Singkawang serta pasien

yang berobat ke puskesmas. Jumlah kekambuhan stroke juga menunjukkan

angka yang tinggi. Rata-rata kasus stroke di jawa tengah mencapai 635,60

kasus (profil kesehatan provinsi Jawa Tengah, 2012, hlm, 39). Prevelensi

Stroke Non Hemoragik di Jawat Tengah tahun 2009 adalah 0,05% lebih

tinggi dibandingkan dengan tahun 2008 yaitu 0,03%. Prevelensi tertinggi di

kabupaten kebumen sebesar 0,29%.

Masalah kesehatan yang muncul akibat stroke sangat bervariasi,

tergantung dengan luas daerah otak yang mengalami infark atau kematian

jaringan dan lokasi yang terkena (Lyna, 2007). Apabila stroke menyerang

otak kiri dan mengenai pusat bicara, kemungkinan pasien akan mengalami

gangguan bicara atau afasia, karena otak kiri berfungsi untuk mengnalisis,

pikiran logis, konsep, dan memahami bahasa (Sofwan, 2010). Menurut

(Mulyasih, 2008) secara umum afasia dibagi dalam tiga jenis afasia motorik,

afasia sensorik, afasia global.

Pasien stroke dapat mengalami gangguan bicara, sangat perlu

dilakukan latihan bicara disartia maupun afasia. Speech Therapy sangat

dibutuhkan mengingat bicara dan komunikasi merupakan faktor yang

berpengaruh dalam interaksi sosial. Kesulitan dalam berkomunikasi akan

menimbulkan isolasi diri dan perasaan frustasi (Sunardi, 2006). Hambatan

komunikasi verbal berhubungan dengan perubahan pada sistem saraf pusat

dapat diprioritaskan sebagai diagnosa dengan alasan apabila tidak diatasi

maka akan berakibat ketidakmampuan individu untuk mengekspresikan

keadaan dirinya dan dapat berakibat lanjut pada penurunan harga diri pasien

(Batticaca, 2008)

Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada

daerah broca. Seorang dengan afasia motorik tidak bisa mengucapkan satu

kata apapun, namun masih bisa mengutarakan pikirannya dengan jalan

menulis (Sidharta M. , 2004). Salah satu bentuk terapi rehabilitasi gangguan

Page 15: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

3

afasia adalah memberikan terapi wicara (Sunardi, 2006) Terapi wicara

merupakan tindakan yang diberikan kepada individu yang mengalami

gangguan komunikasi, gangguan bahasa bicara, gangguan menelan. Terapi

wicara ini berfokus pada pasien dengan masalah-masalah neurologis,

diantaranya pasien pasca stroke (Sunardi, 2006).

Menurut (Wardhana, 2011) penderita stroke yang mengalami

kesulitan bicara akan diberikan terapi AIUEO yang bertujuan untuk

memperbaiki ucapan supaya dapat dipahami oleh orang lain. Orang yang

mengalami gangguan bicara atau afasia akan mengalami kegagalan dalam

berartikulasi. Artikulasi merupakan proses penyesuain ruangan supraglottal.

Penyesuaian ruangan didaerah laring terjadi dengan menaikkan dan

menurunkan laring, yang akan mengatur jumlah transmisi udara melalui

rongga mulut dan rongga hidung melalui katup valofaringeal dan merubah

posisi mandibula (rahang bawah) dan lidah. Proses diatas yang akan

menghasilkan bunyi dasar dalam berbicara ( yanti, 2008)

Berdasarkan pemaparan latar belakang maka penulis memandang

bahwa pemenuhan kebutuhan komunikasi pada pasien stroke sangat penting.

Sehingga penulis tertarik untuk memberikan “asuhan keperawatan pada

pasien dengan masalah ganggun hambatan komunikasi verbal”

B. RUMUSAN MASALAH

Bagaimana gambaran asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan

hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan Stroke Non

Hemoragik?

C. TUJUAN STUDI KASUS

1. Tujuan umum

Menjelaskan asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien dengan

gangguan hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan Stroke

Non Hemoragik.

Page 16: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

4

2. Tujuan khusus

a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan gangguan

hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan Stroke Non

Hemoragik.

b. Penulis mampu merumuskan masalah diagnosa keperawatan pada

pasien dengan gangguan hambatan komunikasi verbal pada sistem

persyarafan Stroke Non Hemoragik.

c. Penulis mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada pasien

dengan gangguan hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan

Stroke Non Hemoragik.

d. Penulis mampu melakukan implementasi pada pasien dengan gangguan

hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan Stroke Non

Hemoragik.

e. Penulis mampu mengevaluasi kondisi pasien dengan gangguan

hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan Stroke Non

Hemoragik.

D. MANFAAT STUDI KASUS

Manfaat studi kasus memuat uraian tentang implikasi temuan studi kasus

yang bersifat praktis terutama bagi:

a. Masyarakat dan keluarga mampu merawat pasien dengan gangguan

hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan Stroke Non

Hemoragik.

b. Menambah keluasan ilmu dan tekhnologi terapan bidang keperawatan

dalam pemenuhan kebutuhan komunikasi pada pasien dengan gangguan

hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan Stroke Non

Hemoragik.

c. Memperoleh pengalaman dalam mengaplikasikan hasil riset keperawatan,

khususnya studi kasus tentang pelaksanaan pemenuhan kebutuhan

komunikasi pada pasien dengan gangguan hambatan komunikasi verbal

pada sistem persyarafan Stroke Non Hemoragik.

Page 17: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.

Yogyakarta: Rinek Cipta.

Adisaputro, Gunawan. 2008. Anggaran Perusahaan. BPFE. Yogyakarta.

Asmadi (2008), Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta: EGC

Batticaca, F.B. 2008 Asuhan Keperawatan Dengan Sistem Persyarafan. Jakarta :

Salemba Medika.

Carpenito, 2007, Diagnosa Keperawataan (Handbook of Nursingdiagnosis), Edisi

10, Alih Bahasa Monica Ester, Jakarta: EGC

Depkes , 2015, Stroke Pembunuh Nomor Satu di Indonesia. Jakarta: tersedia

tersedia dalam www.litbang.depkes.go.id/node/639. Diakses pada

tanggal 24/5/2017 jam 15:09

Hidayat A, Aziz Alimul (2007), Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta:

Salemba Medika

Komala, Lukiati. (2009), Ilmu Komunikasi Perspektif, Proses dan Konteks.

Bandung: Widya Padjajaran.

Liliweri , Alo, (2007). Dasar Komunikasi Kesehatan Yogyakarta: Pustaka. Pelajar

diakses di digilib.unimus.ac.id

Maryam, dkk, 2008, Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya, Jakarta: Salemba

Medika.

Mubarak, Lilis Indrawati, Joko Susanto ( 2015 ), Buku Ajar Ilmu Keperawatan

Dasar, Jakarta: Salemba Medika.

Muhammad, Arni (2009). Komunikasi organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.

Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan

System Persyarafan Jakarta: Salemba ,Medika.

Page 18: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

Mulyatsih, E & Airizal, A. (2008). Stroke Petunjuk Perawatan Pasien Pasca

Stroke di Rumah. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Nanda Internasional 2015, Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015-

2017, EGC, Jakarta.

Notoatmojo (2010). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta.

Potter & Perry. (2009). Fundamental of Nursing 7th Edition.

Ratna. 2010. Penyakit pemicu Stroke: Dilengkapi dengan Posyandu Lansia dan

Posbindu PTM, Penerbit Nurha Medika, Yogyakarta.

Ruslan, Rosady. (2008). Manajemen Public Relations dan Media Komunikasi.

Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Rodiyah (2012). Terapi wicara untuk meningkatkan kemampuan berbahasa anak

dengan Gangguan Cerebral Palsy di yayasan Pembinaan Anak cacat

(YPAC) malang diakses di

http.//lib.uin.malang.ac.id/?mod=th_detail&id=08410114

Setiadi (2012), Konsep & Penulisan Asuhan Keperawatan, Yogyakarta : Graha

Ilmu.

Sofwan, R. (2010). Anda Bertanya Dokter Menjawab: Stroke dan Rehabilitasi

Pasca-Stroke. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.

Sunardi dan sunaryo. (2006). Intervensi Dini Anak Berkebutuhan Khusus.

Bandung: Jurusan PLB FIP UPI

Wardhana, W. A (2011) Strategi mengatasi dan bangkit dari Stroke. Yogyakarta:

Pustaka Belajar.

Wiwit, (2010). Stroke dan Penangannya. Yogyakarta: Katahati.

Wirawan, 2009. Rehabilitasi Stroke Pada Pelayanan Kesehatan Primer. Majalah

Kedokteran Indonesia.

Page 19: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

World health organization. 2015. STEP wise approach to stroke surveillance.

Geneva.

Yanti, D. (2008). Penatalaksanaan Terapi Wicara Pada Tuna Wicara Pada Tuna

Rungu. Diakses di http://akrab.or.id/?p=57. Pada tanggal 24-05-2017

jam 15:09.

Page 20: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

INFORMED CONSENT

(Persetujuan Menjadi Partisipan)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa saya telah

mendapat penjelasan secara rinci dan telah mengerti mengenai penelitian yang

akan dilakukan oleh Sofana Fairro Fingiyah dengan judul “ASUHAN

KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN HAMBATAN

KOMUNIKASI VERBAL PADA SISTEM PESYARAFAN STROKE NON

HEMORAGIK”.Saya memutuskan setuju untuk ikut berpartisipasi pada penelitian ini

secara sukarela tanpa paksaan. Bila selama penelitian ini saya menginginkan

mengundurkan diri, maka saya dapat mengundurkan diri sewaktu – waktu tanpa

sanksi apapun.

..................................2017

Yang memberikan persetujuan

Saksi

............................. .............................

..................................2017

Peneliti

Sofaa Fairro Fingiyah

Page 21: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

Lembar pengkajian

A. BIODATA

1. Identitas Pasien

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin :

Agama :

Alamat :

Pekerjaan :

Tanggal Masuk RS :

Tanggal Pengkajian :

Diagnosa Medis :

No Rekam Medis :

2. Identitas Penanggung Jawab

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin :

Agama :

Alamat :

Pekerjaan :

Hub. dengan pasien :

B. PENGKAJIAN

1. Keluhan Utama

2. Riwayat Penyakit Sekarang

3. Riwayat Penyakit Dahulu

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Page 22: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

5. Pengkajian pola fungsional

a) Oksigenasi

b) Nutrisi

c) Eliminasi

d) Istirahat dan tidur

e) Aktivitas

f) Berpakaian

g) Personal Hygiene

h) Aman dan Nyaman ( Menghindar dari Bahaya )

i) Mempertahankan suhu tubuh

j) Pola berpakaian

k) Komunikasi

l) Spiritual

m)Rekreasi

n) Belajar

6. Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan Umum

Kesadaran:

Suara Bicara:

TTV :

b. Kepala :

c. Telinga:

d. Mata :

e. Mulut:

f. Leher:

g. Dada

Paru – Paru:

Inspeksi:

Palpasi:

Perkusi:

Auskultasi:

Page 23: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

Jantung:

Inspeksi:

Palpasi:

Perkusi:

Auskultasi:

h. Abdomen

Inspeksi:

Auskultasi:

Palpasi:

Perkusi:

i. Genetalia:

j. Pemeriksaan Integumen:

k. Ekstermitas :

7. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan EKG

Pemeriksaan Rontgen

Pemeriksaan CT Scan

8. TerapiC. ANALISA DATA

No Hari /

Tanggal

Data Fokus Problem Etiologi

D. Prioritas Diagnosa Keperawatan

E. INTERVENSI KEPERAWATAN

No DX Keperawatan Tujuan (NOC) NIC(intervensi)

Page 24: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

F. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Tanggal/jam DX Implementasi Respon Paraf

G. EVALUASI KEPERAWATAN

NO Hari/tanggal DX EVALUASI PARAF

Page 25: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN Ny. R DENGAN

GANGGUAN HAMBATAN KOMUNIKASI VERBAL PADA SISTEM

PERSYARAFAN STROKE NON HEMORAGIK

Sofana Fairro Fingiyah (A01401972 )

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATANSEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH

GOMBONG2017

Page 26: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

A. BIODATA

1. Identitas Pasien

Nama : Ny.R

Umur : 64 Tahun

Jenis Kelamin : Prempuan

Agama : Islam

Alamat : Cilacap

Pekerjaan : SR

Tanggal Masuk RS : 06 juli 2017

Tanggal Pengkajian : 07 juli 2017 Jam : 10.15 WIB

Diagnosa Medis : Stroke Non Hemorogic

No Rekam Medis :

2. Identitas Penanggung Jawab

Nama : Tn. S

Umur : 66 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Cilacap

Pekerjaan : Wiraswasta

Hub. dengan pasien : Suami

B. PENGKAJIAN

1. Keluhan Utama

Keluarga pasien mengatakan pasien anggota tubuh sebelah kanan lemah

saat digerakkan, bicara tidak jelas, pelo.

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gombong

bersama keluarga pasien pada tanggal 6 juli 2017 jam 08.30 WIB dengan

keluhan sesak nafas sejak 3 hari yang lalu, sesaknya tidak dipengaruhi

oleh aktifitas. Batuk ± 7 hari dahak berwarna putih, muntah (-), demam

Page 27: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

kadang-kadang, tekanan darah: 110/70 mmHg, N: 100x/m, RR: 29x/m, S:

36,50 C, SPO2: 98%, GCS=11 E:4 V:1 M: 6, pupil 3/3 mm, reflek cahaya

+/+. Pasien sekarang dirawat di ruang Barokah dan mendapatkan terapi

Inj ranitidin 3x50mg, Inj Ondansentron 3x5 mg, Inj Ceftriaxone 2x1gr.

Riwayat penyakit dahulu Pasien sudah menderita stroke ± 2 tahun dan

Diabetus melitus sejak tahun 2016 dan sudah pernah menjalani operasi

ulkus ± 6 bulan yang lalu pada jari jari kaki kanannya, sekarang lukanya

ada lagi pada bagian telapak kaki..

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Keluarga pasien mengatakan pasien sudah menderita stroke ± 2 tahun dan

Diabetus melitus sejak tahun 2016 dan sudah pernah menjalani operasi

ulkus ± 6 bulan yang lalu pada jari jari kaki kanannya, sekarang lukanya

ada lagi pada bagian telapak kaki

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien mengatakan keluarga tidak ada yang menderita sakit

yang sama seperti pasien, orang tua pasien meninggal pada usia lanjut

bukan karena sakit.

5. Pengkajian pola fungsional

a) Oksigenasi

Sebelum Sakit: keluarga pasien mengatakan pasien sejak dirawat di

rumah sakit sering mengalami masalah pada pernafasannya.

Saat saat Dikaji : keluarga mengatakan pasien dapat bernafas dengan

normal, tetapi tetap menggunakan oksigen 3lpm, tidak ada pernafasan

cuping hidung

b) Nutrisi

Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien makan 3X sehari dengan

porsi sedikit nasi, lauk dan sayur dengan mandiri setelah terkena

stroke kebutuhan makannya dibantu oleh keluarganya.

Saat Dikaji : Keluarga pasien mengatakan pasien menggunakan

selang NGT karena pasien mengalami gangguan dalam menelan

sehari pasien diberi makan oleh perawat ± 500 ml.

Page 28: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu mengambil

makanan dan memasukan kemulut, Keluarga pasien mengatakan

pasien ada kendala saat mengunyah, Keluarga pasien mengatakan

pasien tidak mampu menghabiskan makanan, Keluarga pasien

mengatakan pasien tidak mampu makan dalam jumlah banyak,

Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu membuka mulut

secara lebar, dan Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu

menyiapkan makanan untuk dimakan.

c) Eliminasi

Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien biasanya BAB dibantu

pake pispot dua hari sekali.

Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien semenjak masuk rumah sakit

tanggal 06 Juli 2017 pasien belum BAB dengan konsistensi lembek,

berwarna kuning.BAK.

Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien biasanya pasien BAK 5-

8x sehari, pada malam hari bisa mencapai 4x.

Saat Dikaji: keluarga mengatakan sekarang pasien menggunakan

selang kateter ukuran: 16 produksi urin: 250 cc/ 7 jam

d) Istirahat dan tidur

Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien tidur 4-5 jam dalam

sehari, tidak ada gangguan tidur. Kadang tidur siang 1-2 jam

Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien susah tidur paling hanya 1-2

jam dalam sehari tetapi pada siang hari pasien cenderung tidur bisa 4-

7 jam.

e) Aktivitas

Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien mampu beraktifitas

sendiri tanpa bantuan keluarga dan alat bantu, semenjak stroke pasien

di tempat tidur maupun yang lain harus dibantu oleh keluarga selama

sakit pasien hanya berbaring di tempat tidur.

Page 29: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien tidak mampu

beraktivitas, pasien hanya tiduran saja di tempat tidur, melakukkan

aktivitas dibantu keluarga dan perawat.

f) Berpakaian

Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien berpakaian sendiri

tanpa bantuan, semenjak terkena stroke semua kebutuhan

berpakain dibantu oleh keluarga.

Saat Dikaji: Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu

mengancingkan pakaian seperti biasa, Keluarga pasien

mengatakan pasien tidak mampu mengambil pakaian di lemari,

Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu menggunakan

sepatu, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu

menggunakan kaos kaki, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak

mampu melepaskan atribut pakaian , Keluarga pasien mengatakan

pasien tidak mampu melepas sepatu, Keluarga pasien mengatakan

pasien tidak mampu melepas kaos kaki, Keluarga pasien

mengatakan pasien tidak memperhatikan penampilannya,

Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu menggunakan

pakaian bagian bawah, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak

mampu menggunakan resleting,

g) Menjaga Suhu Tubuh

Sebelum Sakit: keluarga mengatakan jika suhu dingin pasien

menggunakan baju tebal atau sweater, jika panas pasien

menggunakan baju yang tipis dapat menyerap keringat

Saat Dikaji : keluarga mengatakan jika suhu panas pasien tidak

menggunakan selimut dan jika suhu dingin memakai selimut

h) Personal Hygiene

Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien dapat melakukan

personal hygiene secara mandiri, mandi sehari 2x, pasien gosok

gigi setiap mandi, semenjak terkena stroke pasien mandi dengan

diseka oleh keluarganya satu hari sekali.

Page 30: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

Saat Dikaji : Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu

ke kamar mandi, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak

mampu mengeringkan tubuh menggunakan handuk seperti biasa,

Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu mengambil

perlengkapan mandi secara mandiri, Keluarga pasien mengatakan

pasien tidak mampu mengatur air mandi, Keluarga pasien

mengatakan pasien tidak mampu membasuh tubuh, Keluarga

pasien mengatakan pasien tidak mampu melakukan perawatan

mulut dan giginya, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak

mampu naik ke toilet, dan Keluarga pasien mengatakan pasien

tidak mampu berdiri di toilet.

i) Aman dan Nyaman ( Menghindar dari Bahaya )

Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien merasa aman dan

nyaman sendiri bila dekat dengan anak-anak dan cucunya, pasien

tidak merasa nyaman jika sendirian dirumah.

Saat Dikaji : keluarga mengatakan pasien tidak nyaman karena

lumpuh di ekstermitas kanan, Keluarga pasien mengatakan pasien

belum bisa sepenuhnya menerima keadaanya.

j) Komunikasi

Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien dapat berkomunikasi

dengan baik, berbicara sehari-hari dengan menggunakan bahasa

jawa.

Saat Dikaji: Keluarga pasien mengatakan pasien pelo, pasien sulit

berbicara, pasien bicara tidak jelas, pasien tidak mampu orientasi

3 hal( tempat, waktu, orang), pasien sulit mengungkapkan kata,

pasien sulit mempertahankan komunikasi, pasien sulit

mengekspresikan pikiran secara verbal, pasien hanya mampu

menganggukkan kepala dan menggelengkan kepala.

Page 31: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

k) Spiritual

Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien beragama islam,

pasien melakukan sholat 5 waktu di masjid dan terkadang

mengikuti pengajian.

Saat Dikaji : keluarga mengatakan pasien tidak melakukan

sholat 5 waktu setelah masuk RS.

l) Rekreasi

Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien tidak pernah

berekreasi, pasien hanya menonton tv sebagai hiburan dikala

sedang istirahat

Saat Dikaji : keluarga mengatakan pasien hanya berbaring

ditempat tidur

m) Belajar

Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien mengatakan bisa

mendapatkan informasi melalui televisi.

Saat Dikaji : keluarga mengatakan pasien mengatakan telah

mengerti tentang penyakitnya.

n) Bekerja

Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien sudah tidak bekeja.

Saat Dikaji : keluarga mengatakan pasien hanya berbaring

diatas temapt tidur.

6. Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan Umum

Kesadaran: Composmentis GCS=11 E:4 V:1 M: 6

Suara Bicara: Sulit bicara, bicaranya tidak jelas.

TTV : TD: 110/70 mmHg, N: 100x/m, RR: 24x/m, S:36,5 0C,

Kepala : Bentuk mecochepal, tidak terdapat nyeri tekan.

b. Rambut: kering, kotor, beruban.

c. Telinga: bentuk normal, tidak terdapat penumpukan serumen

d. Mata : Konjungtiva anemis, Sclera anikterik, Pupil isokor,

Rangsang Cahaya: (+).

Page 32: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

e. Mulut: Mencong ke sisi kanan, mukosa bibir kering, gigi sedikit kotor.

f. Leher: tidak terdapat pembesran kelenjar thyroid.

g. Dada

Paru – Paru:

Inspeksi: bentuk simetris, tidak terdapat lesi , tidak ada retraksi

dinding dada

Palpasi: Vokal fremitus simetris

Perkusi: sonor

Auskultasi: Suara nafas terdengar ronchi

Jantung:

Inspeksi: tidak ada lesi dan benjolan, IC tak tampak

Palpasi: tidak ada pembesaran jantung, IC teraba di IC V 2cm

midclavicula sinistra

Perkusi: redup

Auskultasi: reguler

h. Abdomen

Inspeksi: tidak ada jejas

Auskultasi: bising usus 18x/menit

Palpasi: tidak teraba massa, tidak ada nyeri tekan

Perkusi: timpani

i. Genetalia: terlihat kotor, memakai selang kateter ukuran:16.

j. Pemeriksaan Integumen

Kulit: Pucat, turgor kulit jelek

k. Ekstermitas: Kelumpuhan di ekstermitas kanan

7. Pemeriksaan neurologi

Terdapat gangguan nervus cranialis VII ( Facialis ) dan XII (

Hypoglossus ) central

8. Pemeriksaan fungsi serebral

Status mental : CM

Fungsi intelektual : tidak mampu orientasi waktu, tempat, orang

Kemampuan bahasa : afasia berat

Page 33: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

9. Pemeriksaan Motorik

Ekstermitas dekstra : 0 (tidak mampu sama sekali melakukan kontraksi)

Ekstermitas sinistra : 4 (kekuatan sedang)

Pemeriksaan Sensorik

Ekstermitas dekstra : terjadi numbless (mati rasa)

Ekstermitas sinistra : normal

Pemeriksaan Reflex

Ekstermitas dekstra : 0 (tidak ada refleks)

Ekstermitas sinistra : 2+ (normal)

10. Hasil Pengkajian Khusus

11. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium tanggal 06 juli 2017 jam 09.27 WIB

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

Hemoglobin 11.6 Mg/dl 11.7-15.5

leukosit/AL 3.38 /ul 3.6-11

Eritrosit 8.9 Juta/L 3.8-5.2

Hematokrit 28.1 Mg/dl 35-47

Kimia klinik

MCV 83.6 Fl 80-100

MCH 26.5 Pg 26-34

MCHC 31.8 g/dl 32-36

Trombosit 563 150-440

Gula sewaktu 105 70-105

12. Terapi Tanggal 06 juli 2017

IVFD RL 500 cc/24 jam

Ceftriaxone 2x1 gr

Ranitidin 3x50 mg

Ondansentron 3x5 mg

Page 34: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

C. ANALISA DATA

No Hari /

Tanggal

Data Fokus Problem Etiologi

1 Jum’at 07

juli 2017

Jam : 10.15

WIB

DS:

- Keluarga pasien

mengatakan pasien

sulit bicara,

- Keluarga pasien

mengatakan pasien

bicara tidak jelas,

- Keluarga mengatakan

pasien tidak mampu

orientasi 3 hal (

tempat, waktu,

ruang)

DO:

- Pasien terlihat sulit

bicara,

- Pasien sulit

mengungkapkan kata

- Pasien sulit

memperthankan

komunikasi

- Pasien pelo

- Pasien sulit

mengekspresikan

pikiran secara verbal

- Pasien hanya mampu

menganggukan

ataupun

menggelengkan

Hambatan

Komunikasi

Verbal (00051)

Perubahan

Sistem Syaraf

Pusat

Page 35: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

kepala

- Ekstermitas:

kelumpuhan di

ekstermitas kanan : Kelumpuhan di ekstermitas kanan

- Motorik

Ekstermitas dekstra :

0 (tidak mampu

samasekali

melakukan kontraksi)

Ekstermitas sinistra :

4 (kekuatan sedang)

- Sensorik

ekstermitas dekstra :

terjadi numbless

(mati rasa

Ekstermitas sinistra :

normal Reflex

Ekstermitas dekstra :

0 (tidak ada refleks)

Ekstermitas sinistra :

2+(normal)

2. Jum’at 07

juli 2017

Jam : 10.15

DS:

- Keluarga mengatakan

pasien tidak mampu

beraktivitas, pasien

hanya tiduran saja di

tempat tidur,

melakukkan aktivitas

dibantu keluarga dan

perawat

DO :

- TD :110/70 mmHg, N

Hambatan Mobilitas

Fisik ( 00085)

Neuromuskular

Page 36: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

:100x/menit S: 36,5˚C,

RR: 24x/menit.

- Pasien hanya tiduran

ditempat tidur

- Kelumpuhan di

ekstremitas kanan

3. Jum’at 07

Juli 2017

jam 10.15

WIB

DS:

- Keluarga pasien

mengatakan pasien

sulit bicara,

- Keluarga pasien

mengatakan pasien

bicara tidak jelas,

- Keluarga mengatakan

pasien tidak mampu

orientasi 3 hal (

tempat, waktu,

ruang)

DO:

- Pasien terlihat sulit

bicara,

- Pasien sulit

mengungkapkan kata

- Pasien sulit

memperthankan

komunikasi

- Pasien pelo

- Pasien sulit

mengekspresikan

pikiran secara verbal

- Pasien hanya mampu

Risiko

ketidakefektifan

perfusi jaringan

otak (00201)

Faktor risikotumor otakpenyakitneurologis

Page 37: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

menganggukan

ataupun

menggelengkan

kepala

- Ekstermitas:

kelumpuhan di

ekstermitas kanan : Kelumpuhan di ekstermitas kanan

- Motorik

Ekstermitas dekstra :

0 (tidak mampu

samasekali

melakukan kontraksi)

Ekstermitas sinistra :

4 (kekuatan sedang)

- Sensorik

ekstermitas dekstra :

terjadi numbless

(mati rasa

Ekstermitas sinistra :

normal Reflex

Ekstermitas dekstra :

0 (tidak ada refleks)

Ekstermitas sinistra :

- 2+(normal)

D. Prioritas Diagnosa Keperawatan

1. Hambatan komunikasi verbal b.d. perubahan sistem syaraf pusat

2. Hambatan mobilitas fisik b.d Neuromuskular

3. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak faktor risiko tumor otak

penyakit neurologis

Page 38: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

E. INTERVENSI

N

o

DX

Keperawatan

Tujuan (NOC) NIC(intervensi)

1. Hambatan

komunikasi

verbal b.d

Setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 3x7 jam hambatan

komunikasi verbal dapat teratasi

dengan kriteria hasil:

Indikator 1 2 3 4 5

- Menggunakan

foto dan

gambar

2 5

- Menggunakan

bahasa isyarat

2 5

1. Libatkan

keluarga untuk

membantu

memahami atau

memahamkan

informasi dari

atau ke pasien

Rasionalnya

keluarga

berpartisipasi

dalam proses

penyembuhan.

2. Dengarkan setiap

ucapan pasien

dengan penuh

perhatian

rasionalnya

mengurangi

kecemasan dan

kebingungan saat

berkomunikasi.

3. Gunakan kata-

kata yang

sederhana dan

pendek dalam

komunikasi

dengan pasien.

rasionalnya

Page 39: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

memenuhi

kebutuhan pasien

saat

berkomunikasi.

4. Dorong pasien

untuk mengulang

kata rasionalnya

memberikan

semangat pada

pasien agar

sering

melakukan

komunikasi.

Berikan arahan

atau perintah

sederhana setiap

berinteraksi

dengan pasien

rasionalnya

mengurangi

kebingungan saat

berkomunikasi.

5. Programkan

speech language

teraphy

rasionalnya

melatih pasien

belajar berbicara

secara mandiri

baik dan benar.

Buat kartu

Page 40: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

dengan gambar-

gambar atau

kata-kata

ungkapan yang

bisa digunakan,

misalnya :

pindahkan kaki

saya, ambilkan

minuman saya

rasionalnya

memberikan

kemudahan buat

pasien untuk

berkomunikasi.

6. Lakukan speech

language setiap

interaksi dengan

pasien

rasionalnya

mengurangi

kebingungaan

pasien saat

berkomuniksi.

7. Jaga lingkungan

yang terstruktur

dan pertahankan

rutinitas pasien

(misalnya,

menjamin daftar

harian yang

konsisten,

Page 41: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

menyediakan

pengingat

dengan sering,

dan

menyediakan

kalender serta

tanda-tanda lain

yang ada di

lingkungan).

8. Sesuaiakan gaya

komunikasi

untuk memenuhi

kebutuhan pasien

(misalnya berdiri

didepan pasien

saat

bicara,mendenga

rkan dengan

penuh perhatian,

menyampaikan

satu ide atau

pemikiran pada

satu waktu,

bicara pelan

untuk

menghindari

berteriak,

gunakan

komunikasi

tertulis, atau

bantuan keluarga

Page 42: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

dalam memenuhi

pembicaraan

pasien).

2. Hambatan

mobilitas fisik

b.d

Neuromuskul

ar

Setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 3x7 jam, Hambatan

mobilitas fisik dapat teratasi dengan

kriteria hasil:

Indikator 1 2 3 4 5

- Meningkat dalam

aktifitas fisik

2 4

- Mengerti tujuan

dari peningkatan

mobilitas

2 5

- Memverbalisasika

n perasaan dalam

meningktankan

kekuatan dan

kemampuan

berpindah

2 4

- Memperagakan

penggunaan alat

bantu untuk

mobilisasi

2 4

1. Monitoring

vital sign

sebelum/

sesudah latihan

dan lihat respon

pasien saat

latihan

rasionalnya

untuk

mengetahui

keadaan umum

pasien.

2. Konsultasikan

dengan terapi

fisik tentang

rencana

ambulasi sesuai

dengan

kebutuhan

Rasionalnya

memberikan

bantuan yang

mantap untuk

mengembangka

n rencana terapi

dan

mengidentifikas

Page 43: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

i keutuhan

penyongkong

khusus.

3. Bantu pasien

untuk

menggunakan

tongkat saat

berjalan dan

cegah cedera

rasionalnya

kemudahan

pada pasien

untuk

beraktifitas.

4. Ajarkan pasien

atau tenaga

kesehatan lain

tentang tekhnik

ambulasi.

rasionalnya

melibatkan

seluruh anggota

untuk

membantu

proses

penyembuhan.

5. Kaji

kemampuan

pasien dalam

pemenuhan

kebutuhan

Page 44: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

ADLs secara

mandiri sesuai

kemampuan

rasionalnya

membantu

merencanakan

intervensi.

6. Dampingin dan

bantu pasien

saat mobilisasi

dan bantu

penuhi

kebutuhan

ADLs rasional

menumbuhkan

kemandirian

perawatan.

7. Berikan alat

bantu jika

pasien

memerlukan

rasionalnya

memebuhi

kebutuhan

ADLs pasien

Ajarkan

bagaimana

pasien

bagaimana

merubah posisi

dan berikan

Page 45: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

bantuan jika

diperlukan

rasionalnya

mengembangka

n rencana

terapi.

3. Risiko

ketidakefektif

n perfusi

jaringan otak

faktor risiko

tumor otak

(penyakit

neurologis)

Setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama3x7 jam masalah

ketidakefektifan perfusi jaringan otak

dapat teratasi dengan Kriteria Hasil :

Indikator 1 2 3 4 5

- Nyeri kepala

berkurang

2 4

- Berfungsinya

saraf dengan baik

2 4

- TTV dalam batas

normal

2 5

1. Monitor tingkat

kesadaran

rasionalnya

tingkat

kesadaran

merupakan

indikator

terbaik adanya

perubahan

neurologi,

2. Monitor tanda-

tanda vital

rasionalnya

untuk

mengetahui

perubahan

keadaan pasien.

3. Hindari

kegiatan yang

bisa

meningkatkan

tekanan

intrakranial,

Pertahankan

Page 46: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

pasien bedrest,

berikan

lingkungan

yang tenang,

batasi

pengunjung,

atur waktu

istirahat dan

aktivitas

rasionalnya

istrihatat yang

cukup dan

lingkungan

yang tenang

mencegah

perdarahan

kembali.

Page 47: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

F.IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Tanggal/jam DX Implementasi Respon Paraf

07-07-2017 I, II,

III,

IV

- Memonitor tingkat

kesadaran

- Mengobservasi tanda-

tanda vital

- Menganjurkan pada

keluarga untuk

membatasi

pengunjung

- Memposisikan pasien

posisi head up

- Melibatkan keluarga

dalam memahami

informasi dari atau ke

pasien

- Melatih pasien

berbicara secara

S:

O: Kesadaran

pasien

composmentis,

GCS= 11 E:4 V:1

M:6

S:

O: TD:163/76

mmHg, N: 85x/m,

RR:17 x/m, S: 360C.

S:

O: Keluarganya

Menyetujuinya

S:

O: Pasien posisi

head up

S:

O: Keluarga

membantu

memahami

informasi dari atau

ke pasien

S:

O: Pasien sudah

belum mampu

Sofana

fairro

fingiyah

Page 48: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

mandiri di mulai

dengan terapi A, I, U,

E, O

- Mendengarkan dengan

penuh perhatian apa

yang diucapkan pasien

- Membantu memenuhi

kebutuhn ADLs pasien

(memberikan makan

lewat NGT)

- Mengajarkan ROM

pasif

diajak untuk

berlatih

S:

O: Melakukan

Komunikasi sesuai

kebutuhan pasien

S:

O: Segala

kebutuhan pasien

dibantu oleh

keluarga dan

perawat

S:

O: anggota tubuh

yang semula

sangan kaku

sedikit lebih lemas

I, II,

III,

IV

- Mengobservasi tanda-

tanda vital

- Melibatkan keluarga

dalam memahami

informasi dari atau ke

pasien

S:

O: TD: 140/90

mmhg, N:78x/m,

RR: 16x/m, S:

36,50c

S:

O: keluarga

membantu dalam

proses

penyembuhan

Page 49: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

- Melatih pasien

berbicara secara

mandiri di mulai

dengan terapi A, I, U,

E, O

- Mendengarkan dengan

penuh perhatian apa

yang diucapkan pasien

- Membantu memenuhi

kebutuhn ADLs pasien

(memberikan makan

lewat NGT)

- Mengajarkan ROM

pasif

S:

O: Pasien belum

mampu untuk

belajar terapi A, I,

U, E, O, pasien

hanya mampu

menganggukan dan

mengglengkan

kepala.

S:

O: melakukan

komunikasi sesuai

dengan kebutuhan

pasien

S:

O: memenuhi

kebutuhan pasien

seperti makan,

mandi

S:

O: pasien belum

ada peningkatan

dalam aktifitas

fisik

- Melatih pasien

berbicara secara

mandiri di mulai

dengan terapi A, I, U,

E, O

S:

O: Pasien belum

bisa mengikuti

perintah apa yang

diajarkan oleh

perawat, pasien

baru mampu

Page 50: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

- Memberikan ROM

pasif

- Mengobservasi tanda-tanda vital

menganggukan dan

menggelengkan

kepala.

S:

O: belum ada

peningkatan dalam

aktifitas fisik.

S:O: TD: 140/90mmHg, N: 78 x/m,RR: 18 x/m, S:36,5 0C

Page 51: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

G.EVALUASI KEPERAWATAN

NO Hari/tanggal DX EVALUASI PARAF

1. 09 juli 2017 S:

O: Pasien belum dapat menirukan apa yang

diajarkan oleh perawat.

A: Masalah hambatan komunikasi verbal

belum teratasi

Indikator 1 2 3 4 5

Menggunakan

bahasa lisan

2 3

Menggunkan foto

dan gambar

2 3

Menggunakan

bahasa isyarat

2 4

P: lanjutkan intervensi

- Speach leangguge theraphy

Sofana

fairro

fingiyah

09 juli 2017 S:

O: Anggota tunuh pasien masih terlihat kaku

saat dibantu untuk digerakkan.

A: Masalah hambatan mobilitas fisik belum

teratasi

indikator 1 2 3 4 5

- Meningkat dalam

aktifitas fisik

2 3

- Mengerti tujuan

dari peninggkatan

mobilitas

2 3

- Memverbalisasikan

perasaan dalam

meningkatkan

kekuatan dan

kemamuan

2 3

Sofana

fairro

fingiyah

Page 52: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

berpindah

- Memperagakan

penggunaan alat

bantu untuk

mobilisasi

2 3

P: Lanjutkan intervensi

- ROM pasif

- Konsuktasikan dengan terapi fisik

09 juli 2017 S:-

O: TD: 140/90 mmHg

N: 78x/m

RR:18x/m

S:36,50C

SPO2:100%

A: Masalah risiko ketidakefektifan perfusi

jaringan otak belum teraatasi

Indikator 1 2 3 4 5

- Nyeri kepala

berkurang

- Berfungsinya

saraf dengan

baik

- TTV dalam

batas normal

2

2

2

3

3

4

P: Lanjutkan intervensi

- Monitor tingkat kesadaran

- Monitor TTV

- Monitor TIK

Sofana

fairro

fingiyah

Page 53: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN Ny. S DENGAN GANGGUAN

HAMBATAN KOMUNIKASI VERBAL PADA SISTEM PERSYARAFAN

STROKE NON HEMORAGIK

Sofana Fairro F (A01401972 )

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATANSEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH

GOMBONG2017

Page 54: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

A. BIODATA

1. Identitas Pasien

Nama : Ny.S

Umur : 62 Tahun

Jenis Kelamin : Prempuan

Agama : Islam

Alamat : Kebumen

Pekerjaan : Pensiunan

Tanggal Masuk RS : 08 juli 2017 Jam : 08.00

Tanggal Pengkajian : 09 juli 2017 Jam : 15.00

Diagnosa Medis : Stroke Non Hemorogic

No Rekam Medis : 162120

2. Identitas Penanggung Jawab

Nama : Tn.F

Umur : 42 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Kebumen

Pekerjaan : Wiraswasta

Hub. dengan pasien : Anak Kandung

B. PENGKAJIAN

1. Keluhan Utama

Keluarga pasien mengatakan pasien anggota tubuh sebelah kiri lemah saat

digerakkan, bicara tidak jelas, pelo.

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gombong bersama

keluarga pasien. Keluarga pasien mengatakan bahwa 2 jam sebelum dibawa

ke rumah sakit pasien jatuh ketika mau menuju kamar mandi, setelah jatuh

tiba-tiba Ny.S sulit bicara, bicaranya tidak jelas, bahkan tidak mampu

berkomunikasi. Badan pasien mengalami kekakuan ketika digerakkan oleh

keluarga pasien, terutama bagian badan yang kiri. Wajah pasien tampak

Page 55: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

kaku terutama bagian mulutnya mencong ke sisi kanan. Keluarga pasien

mengatakan bahwa pasien mempunyai riwayat Hipertensi dan Diabetus

Melitus.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Keluarga pasien mengatakan pasien belum pernah mengalami hal yang

sama, hanya saja pasien mempunyai riwayat Hipertensi dan Diabetus

Melitus.

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Belum ada keluarga yang mengalami hal yang sama dengan pasien.

5. Pengkajian pola fungsional

a) Oksigenasi

Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien dapat bernafas dengan

normal, tanpa menggunakan alat bantu pernafasan, tidak ada nafas

cuping hidung

Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien dapat bernafas dengan normal,

tetapi tetap menggunakan oksigen 3lpm, tidak ada nafas cuping hidung

b) Nutrisi

1. Inteks Makanan

Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien makan 3X sehari dengan

nasi, lauk dan sayur dengan mandiri.

Saat Dikaji: Keluarga pasien mengatakan pasien makan 3x sehari dari

RS hanya menghabiskan ¼ porsi. Keluarga pasien mengatakan pasien

tidak mampu mengambil makanan dan memasukan kemulut,

Keluarga pasien mengatakan pasien ada kendala saat mengunyah,

Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu menghabiskan

makanan, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu makan

dalam jumlah banyak, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak

mampu membuka mulut secara lebar, dan Keluarga pasien

mengatakan pasien tidak mampu menyiapkan makanan untuk

dimakan.

Page 56: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

2. Inteks Cairan

Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien minum 6-7 gelas per

hari air putih , kadang kopi dan teh manis.

Saat Dikaji: Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu

mengambil gelas, keluarga mengatakan pasien minum 2-3 gelas per

hari air putih / dengan minuman yang rendah gula.

c) Eliminasi

1. BAB

Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien BAB 1x sehari dengan

konsistensi lembek, berwarna kuning.

Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien belum BAB selama di RS.

2. BAK

Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien BAK 5-6 X sehari

semalam dengan warna kuning jernih pada malam hari bisa BAK 3-4

kali.

Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien menggunakan selang kateter

ukuran 16 untuk BAKnya 650cc sehari dengan warna kuning jernih.

d) Istirahat dan tidur

Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien tidur 7-8 jam dalam sehari,

tidak ada gangguan tidur. Kadang tidur siang 1-2 jam

Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien susah tidur paling hanya 1-2

jam dalam sehari.

e) Aktivitas

Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien mampu beraktifitas sendiri

tanpa bantuan keluarga dan alat bantu

Saat Dikaji : keluarga mengatakan pasien tidak mampu

beraktivitas, pasien hanya tiduran saja di tempat tidur, melakukkan

aktivitas dibantu keluarga dan perawat.

f) Berpakaian

Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien berpakaian sendiri tanpa

bantuan

Page 57: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

Saat Dikaji: Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu

mengancingkan pakaian seperti biasa, Keluarga pasien mengatakan

pasien tidak mampu mengambil pakaian di lemari, Keluarga pasien

mengatakan pasien tidak mampu menggunakan sepatu, Keluarga pasien

mengatakan pasien tidak mampu menggunakan kaos kaki, Keluarga

pasien mengatakan pasien tidak mampu melepaskan atribut pakaian ,

Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu melepas sepatu,

Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu melepas kaos kaki,

Keluarga pasien mengatakan pasien tidak memperhatikan

penampilannya, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu

menggunakan pakaian bagian bawah, Keluarga pasien mengatakan

pasien tidak mampu menggunakan resleting,

g) Menjaga Suhu Tubuh

Sebelum Sakit: keluarga mengatakan jika suhu dingin pasien

menggunakan baju tebal atau sweater, jika panas pasien menggunakan

baju yang tipis dapat menyerap keringat

Saat Dikaji: keluarga mengatakan jika suhu panas pasien tidak

menggunakan selimut dan jika suhu dingin memakai selimut

h) Personal Hygiene

Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien dapat melakukan personal

hygiene secara mandiri, mandi sehari 2x, pasien gosok gigi setiap mandi

Saat Dikaji: Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu ke kamar

mandi, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu mengeringkan

tubuh menggunakan handuk seperti biasa, Keluarga pasien mengatakan

pasien tidak mampu mengambil perlengkapan mandi secara mandiri,

Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu mengatur air mandi,

Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu membasuh tubuh,

Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu melakukan perawatan

mulut dan giginya, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu

naik ke toilet, dan Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu

berdiri di toilet.

Page 58: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

i) Aman dan Nyaman ( Menghindar dari Bahaya )

Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien merasa aman dan nyaman

sendiri bila dekat dengan anak-anak dan cucunya, pasien tidak merasa

nyaman jika sendirian dirumah

Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien tidak nyaman karena lumpuh di

ekstermitas kiri, Keluarga pasien mengatakan saat kejadian pasien

gelisah

j) Komunikasi

Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien dapat berkomunikasi dengan

baik, berbicara sehari-hari dengan menggunakan bahasa jawa

Saat Dikaji: Keluarga pasien mengatakan pasien sulit bicara, Keluarga

pasien mengatakan pasien bicara tidak jelas.

k) Spiritual

Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien beragama islam, pasien

melakukan sholat 5 waktu di masjid dan terkadang mengikuti pengajian

Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien tidak melakukan sholat 5 waktu

setelah masuk RS

l) Rekreasi

Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien tidak pernah berekreasi,

pasien hanya menonton tv sebagai hiburan dikala sedang istirahat

Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien hanya berbaring ditempat tidur

m)Belajar

Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien mengatakan bisa

mendapatkan informasi melalui televisi.

Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien mengatakan telah mengerti

tentang penyakitnya.

n) Bekerja

Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien sudah tidak bekeja.

Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien hanya berbaring diatas temapt

tidur.

Page 59: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

6. Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan Umum

Kesadaran: Sopor, GCS( E4, V2, M3 )

Suara Bicara : Sulit bicara, bicaranya tidak jelas.

TTV : TD :163/76 mmHg, N :85x/menit S: 36˚C, RR:

16x/menit

b. Kepala: Bentuk mecochepal, terdapat nyeri tekan karena ada abses.

c. Rambut : kering, kotor

d. Telinga : bentuk normal, tidak terdapat penumpukan serumen

e. Mata

Konjungtiva : anemis

Sclera : anikterik

Pupil : isokor

Rangsang Cahaya: (+)

f. Mulut : Mencong ke sisi kanan, mukosa bibir kering, gigi

sedikit kotor

g. Leher : tidak terdapat pembesran kelenjar thyroid.

h. Dada

Paru – Paru :

Inspeksi : bentuk simetris, tidak terdapat lesi , tidak ada retraksi

dinding dada

Palpasi : Vokal fremitus simetris

Perkusi : sonor

Auskultasi: Suara nafas terdengar ronchi

Jantung :

Inspeksi : tidak ada lesi dan benjolan, IC tak tampak

Palpasi : tidak ada pembesaran jantung, IC teraba di IC V 2cm

midclavicula sinistra

Perkusi : redup

Auskultasi: reguler

Page 60: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

i. Abdomen

Inspeksi : cekung, tidak ada jejas

Auskultasi : bising usus 18x/menit

Palpasi : tidak teraba massa, tidak ada nyeri tekan

Perkusi : timpani

j. Genetalia : terlihat kotor, memakai selang kateter ukuran:16

k. Pemeriksaan Integumen

Kulit : Pucat, turgor kulit jelek

l. Ekstermitas : Kelumpuhan di ekstermitas kiri

7. Pemeriksaan neurologi

Terdapat gangguan nervus cranialis VII ( Facialis ) dan XII ( Hypoglossus )

central

8. Pemeriksaan fungsi serebral

Status mental : CM

Fungsi intelektual : tidak mampu orientasi waktu, tempat, orang

Kemampuan bahasa : afasia ringan

9. Pemeriksaan Motorik

Ekstermitas dekstra : 4 (kekuatan sedang)

Ekstermitas sinistra : 0 (tidak mampu sama sekali melakukan kontraksi)

Pemeriksaan Sensorik

Ekstermitas dekstra : normal

Ekstermitas sinistra : terjadi numbless (mati rasa)

Pemeriksaan Reflex

Ekstermitas dekstra : 2+ (normal)

Ekstermitas sinistra : 0 (tidak ada refleks)

10. Hasil Pengkajian Khusus

11. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium tanggal 09 juli 2017 jam 09.20 wib

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

Hemoglobin 12, 1 Mg/dl 11.7-15.5

leukosit/AL 9.37 /ul 3.6-11

Page 61: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

Eritrosit 4.14 Juta/L 3.8-5.2

Hematokrit 37.0 Mg/dl 35-47

Kimia klinik

MCV 89.4 Fl 80-100

MCH 29.2 Pg 26-34

MCHC 32.7 g/dl 32-36

Trombosit 369 150-440

Gula sewaktu 275 70-105

12. TerapiTanggal 09 juli 2017IVFD RL 500 cc/24 jamCeftriaxone 2x1gCiticolin 2x500g

Ranitidin 2x50mg

Mecobalamin 2x250 mg

Amlodipin 1x10 mg

CPG 1X75mg

Edosterol 3x30mg

Page 62: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

C. ANALISA DATA

No Hari /

Tanggal

Data Fokus Problem Etiologi

2 Jum’at 07

juli 2017

Jam : 10.15

WIB

DS:

- Keluarga pasien

mengatakan pasien

sulit bicara,

- Keluarga pasien

mengatakan pasien

bicara tidak jelas,

DO:

- Pasien terlihat sulit

bicara,

- Pasien sulit

mengungkapkan kata

- Pasien sulit

mempertahankan

komunikasi

- Pasien pelo

- Pasien sulit

mengekspresikan

pikiran secara verbal

- Ekstermitas:

kelumpuhan di

ekstermitas kiri : Kelumpuhan di ekstermitas kanan

- Motorik

Ekstermitas dekstra :

4 (kekuatan sedang)

Ekstermitas sinistra :

0 (tidak mampu

samasekali melakukan

Hambatan

Komunikasi

Verbal (00051)

Perubahan

Sistem Syaraf

Pusat

Page 63: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

kontraksi)

- Sensorik

ekstermitas dekstra :

normal Reflex

Ekstermitas sinistra :

terjadi numbless (mati

rasa

Ekstermitas dekstra :

2+(normal)

Ekstermitas sinistra :

0 (tidak ada refleks)

3. 09 juli

2017

Jam : 15.00

DS:

- Keluarga mengatakan

pasien tidak mampu

beraktivitas, pasien

hanya tiduran saja di

tempat tidur,

melakukkan aktivitas

dibantu keluarga dan

perawat

DO :

- TD :163/76 mmHg, N

:85x/menit S: 36˚C, RR:

17x/menit.

- Pasien hanya tiduran

ditempat tidur

- Kelumpuhan di

ekstremitas kiri

Hambatan Mobilitas

Fisik ( 00085)

Neuromuskular

3. Jum’at 07

Juli 2017

jam 10.15

WIB

DS:

- Keluarga pasien

mengatakan pasien

sulit bicara,

- Keluarga pasien

Risiko

ketidakefektifan

perfusi jaringan otak

(00201)

Faktor risikotumor otakpenyakitneurologis

Page 64: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

mengatakan pasien

bicara tidak jelas,

DO:

- Pasien terlihat sulit

bicara,

- Pasien sulit

mengungkapkan kata

- Pasien sulit

memperthankan

komunikasi

- Pasien pelo

- Pasien sulit

mengekspresikan

pikiran secara verbal

- Ekstermitas:

kelumpuhan di

ekstermitas kiri : Kelumpuhan di ekstermitas kanan

- Motorik

Ekstermitas dekstra :

4 (kekuatan sedang)

Ekstermitas sinistra :

0 (tidak mampu

samasekali melakukan

kontraksi)

- Sensorik

ekstermitas dekstra :

normal Reflex

Ekstermitas sinistra :

terjadi numbless (mati

rasa

Ekstermitas dekstra :

2+(normal)

Page 65: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

Ekstermitas sinistra :

- 0 (tidak ada refleks)

D. Prioritas Diagnosa Keperawatan

1. Hambatan komunikasi verbal b.d. perubahan sistem syaraf pusat

2. Hambatan mobilitas fisik b.d Neuromuskular

3. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak faktor risiko tumor otak

penyakit neurologis

E. INTERVENSI

N

o

DX

Keperawatan

Tujuan (NOC) NIC(intervensi)

1. Jum’at 09 Juli

2017 jam

15.00 WIB

Setelah dilakukan tindakan keperawatan

selama 3x7 jam hambatan komunikasi

verbal dapat teratasi dengan kriteria

hasil:

Indikator 1 2 3 4 5

- Menggunakan

bahasa yang

tertulis.

2 4

- Menggunakan

bahasa lisan

2 4

- Menggunakan

foto dan

gambar

2 5

- Menggunakan

bahasa isyarat

2 5

- Menggunakan

bahasa non

verbal

2 5

- Mengarahkan

pesan pada

2 5

1. Libatkan keluarga

untuk membantu

memahami atau

memahamkan

informasi dari

atau ke pasien

Rasionalnya

keluarga

berpartisipasi

dalam proses

penyembuhan.

2. Dengarkan setiap

ucapan pasien

dengan penuh

perhatian

rasionalnya

mengurangi

kecemasan dan

kebingungan saat

Page 66: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

penerima

yang tepat

berkomunikasi.

3. Gunakan kata-

kata yang

sederhana dan

pendek dalam

komunikasi

dengan pasien.

rasionalnya

memenuhi

kebutuhan pasien

saat

berkomunikasi.

4. Dorong pasien

untuk mengulang

kata rasionalnya

memberikan

semangat pada

pasien agar sering

melakukan

komunikasi.

Berikan arahan

atau perintah

sederhana setiap

berinteraksi

dengan pasien

rasionalnya

mengurangi

kebingungan saat

berkomunikasi.

5. Programkan

speech language

teraphy

Page 67: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

rasionalnya

melatih pasien

belajar berbicara

secara mandiri

baik dan benar.

Buat kartu

dengan gambar-

gambar atau kata-

kata ungkapan

yang bisa

digunakan,

misalnya :

pindahkan kaki

saya, ambilkan

minuman saya

rasionalnya

memberikan

kemudahan buat

pasien untuk

berkomunikasi.

6. Lakukan speech

language setiap

interaksi dengan

pasien

rasionalnya

mengurangi

kebingungaan

pasien saat

berkomuniksi.

7. Jaga lingkungan

yang terstruktur

dan pertahankan

Page 68: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

rutinitas pasien

(misalnya,

menjamin daftar

harian yang

konsisten,

menyediakan

pengingat dengan

sering, dan

menyediakan

kalender serta

tanda-tanda lain

yang ada di

lingkungan).

8. Sesuaiakan gaya

komunikasi untuk

memenuhi

kebutuhan pasien

(misalnya berdiri

didepan pasien

saat

bicara,mendengar

kan dengan penuh

perhatian,

menyampaikan

satu ide atau

pemikiran pada

satu waktu, bicara

pelan untuk

menghindari

berteriak,

gunakan

komunikasi

Page 69: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

tertulis, atau

bantuan keluarga

dalam memenuhi

pembicaraan

pasien).

2. Hambatan

mobilitas fisik

b.d

Neuromuskula

r

Setelah dilakukan tindakan keperawatan

selama 3x7 jam, Hambatan mobilitas fisik

dapat teratasi dengan kriteria hasil:

Indikator 1 2 3 4 5

- Meningkat dalam

aktifitas fisik

2 4

- Mengerti tujuan

dari peningkatan

mobilitas

2 5

- Memverbalisasika

n perasaan dalam

meningktankan

kekuatan dan

kemampuan

berpindah

2 4

- Memperagakan

penggunaan alat

bantu untuk

mobilisasi

2 4

1. Monitoring vital

sign sebelum/

sesudah latihan

dan lihat respon

pasien saat

latihan

rasionalnya

untuk

mengetahui

keadaan umum

pasien.

2. Konsultasikan

dengan terapi

fisik tentang

rencana

ambulasi sesuai

dengan

kebutuhan

Rasionalnya

memberikan

bantuan yang

mantap untuk

mengembangkan

rencana terapi

dan

Page 70: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

mengidentifikasi

keutuhan

penyongkong

khusus.

3. Bantu pasien

untuk

menggunakan

tongkat saat

berjalan dan

cegah cedera

rasionalnya

kemudahan pada

pasien untuk

beraktifitas.

4. Ajarkan pasien

atau tenaga

kesehatan lain

tentang tekhnik

ambulasi.

rasionalnya

melibatkan

seluruh anggota

untuk membantu

proses

penyembuhan.

5. Kaji

kemampuan

pasien dalam

pemenuhan

kebutuhan

ADLs secara

Page 71: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

mandiri sesuai

kemampuan

rasionalnya

membantu

merencanakan

intervensi.

6. Dampingin dan

bantu pasien saat

mobilisasi dan

bantu penuhi

kebutuhan

ADLs rasional

menumbuhkan

kemandirian

perawatan.

7. Berikan alat

bantu jika pasien

memerlukan

rasionalnya

memebuhi

kebutuhan

ADLs pasien

Ajarkan

bagaimana

pasien

bagaimana

merubah posisi

dan berikan

bantuan jika

diperlukan

rasionalnya

Page 72: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

mengembangkan

rencana terapi.

3. Risiko

ketidakefektifn

perfusi

jaringan otak

faktor risiko

tumor otak

(penyakit

neurologis)

Setelah dilakukan tindakan keperawatan

selama3x7 jam masalah ketidakefektifan

perfusi jaringan otak dapat teratasi

dengan Kriteria Hasil :

Indikator 1 2 3 4 5

- Nyeri kepala

berkurang

2 4

- Berfungsinya

saraf dengan baik

2 4

- TTV dalam batas

normal

2 5

1. Monitor tingkat

kesadaran

rasionalnya

tingkat

kesadaran

merupakan

indikator terbaik

adanya

perubahan

neurologi,

2. Monitor tanda-

tanda vital

rasionalnya

untuk

mengetahui

perubahan

keadaan pasien.

3. Hindari kegiatan

yang bisa

meningkatkan

tekanan

intrakranial,

Pertahankan

pasien bedrest,

berikan

lingkungan yang

tenang, batasi

pengunjung, atur

Page 73: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

waktu istirahat

dan aktivitas

rasionalnya

istrihatat yang

cukup dan

lingkungan yang

tenang

mencegah

perdarahan

kembali.

F.IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Tanggal/jam DX Implementasi Respon Paraf

09-07-2017 I, II,

III,

IV

- Memonitor tingkat

kesadaran

- Mengobservasi tanda-

tanda vital

- Menganjurkan pada

keluarga untuk

membatasi pengunjung

- Memposisikan pasien

posisi head up

S:

O: Kesadaran

pasien

composmentis,

GCS= 11 E:4 V:2

M:6

S:

O: TD:163/76

mmHg, N: 85x/m,

RR:17 x/m, S: 360C.

S:

O: Keluarganya

Menyetujuinya

S:

Sofana

fairro

fingiyah

Page 74: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

- Melibatkan keluarga

dalam memahami

informasi dari atau ke

pasien

- Melatih pasien berbicara

secara mandiri di mulai

dengan terapi A, I, U, E,

O

- Mendengarkan dengan

penuh perhatian apa

yang diucapkan pasien

- Membantu memenuhi

kebutuhn ADLs pasien

(memberikan makan

lewat NGT)

- Mengajarkan ROM pasif

O: Pasien posisi

head up

S:

O: Keluarga

membantu

memahami

informasi dari atau

ke pasien

S:

O: Pasien sudah

mampu diajak

untuk berlatih

dimulai dari latihan

mengucapkan huruf

demi huruf.

S:

O: Melakukan

Komunikasi sesuai

kebutuhan pasien

S:

O: Segala

kebutuhan pasien

dibantu oleh

keluarga dan

perawat

S:

O: anggota tubuh

yang semula sangat

Page 75: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

kaku sedikit lebih

lemas

I, II,

III,

IV

- Mengobservasi tanda-

tanda vital

- Melibatkan keluarga

dalam memahami

informasi dari atau ke

pasien

- Melatih pasien berbicara

secara mandiri di mulai

dengan terapi A, I, U, E,

O

- Mendengarkan dengan

penuh perhatian apa

yang diucapkan pasien

- Membantu memenuhi

kebutuhn ADLs pasien

(memberikan makan

lewat NGT)

S:

O: TD: 160/90

mmhg, N:76x/m,

RR: 18x/m, S:

36,50c

S:

O: keluarga

membantu dalam

proses

penyembuhan

S:

O: Pasien sudah

mampu untuk

belajar terapi A, I,

U, E, O, pasien

sudah sampai

menyebutkan satu

kata.

S:

O: melakukan

komunikasi sesuai

dengan kebutuhan

pasien

S:

O: memenuhi

kebutuhan pasien

seperti makan,

mandi

Page 76: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

- Mengajarkan ROM pasif S:

O: pasien belum ada

peningkatan dalam

aktifitas fisik

- Melatih pasien berbicara

secara mandiri di mulai

dengan terapi A, I, U, E,

O

- Memberikan ROM pasif

- Mengobservasi tanda-tanda vital

S:

O: Pasien sudah

bisa mengikuti

perintah apa yang

diajarkan oleh

perawat, seperti

menyebutkan kata

sesuai huruf

awalannya yang

ditunjuk oleh

perawat.

S:

O: belum ada

peningkatan dalam

aktifitas fisik.

S:O: TD: 165/90mmHg, N: 78 x/m,RR: 18 x/m, S: 36,50C

Page 77: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

G.EVALUASI KEPERAWATAN

NO Hari/tanggal DX EVALUASI PARAF

1. 11 juli 2017 S:

O: Pasien belum dapat menirukan apa yang

diajarkan oleh perawat.

A: Masalah hambatan komunikasi verbal

belum teratasi

Indikator 1 2 3 4 5

Menggunakan

bahasa yang

tertulis

2 3

Menggunakan

bahasa lisan

2 3

Menggunkan foto

dan gambar

2 3

Menggunakan

bahasa isyarat

2 4

Menggunakan

bahasa non verbal

2 3

Mengarahkan

pesan pada

penerima yang

tepat

2 3

P: lanjutkan intervensi

- Speach leangguge theraphy

Sofana

fairro

fingiyah

11 juli 2017 S:

O: Anggota tunuh pasien masih terlihat kaku

saat dibantu untuk digerakkan.

A: Masalah hambatan mobilitas fisik belum

teratasi

indikator 1 2 3 4 5

- Meningkat dalam

aktifitas fisik

2 3

Sofana

fairro

fingiyah

Page 78: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

- Mengerti tujuan

dari peninggkatan

mobilitas

2 3

- Memverbalisasikan

perasaan dalam

meningkatkan

kekuatan dan

kemamuan

berpindah

2 3

- Memperagakan

penggunaan alat

bantu untuk

mobilisasi

2 3

P: Lanjutkan intervensi

- ROM pasif

- Konsuktasikan dengan terapi fisik

11 juli 2017 S:-

O: Pasien memgatakan masih pusing,

kepalanya masih terasa berat

TD: 145/50 mmHg

N: 78x/m

RR:18x/m

S:36,50C

SPO2:100%

A: Masalah risiko ketidakefektifan perfusi

jaringan otak belum teraatasi

Indikator 1 2 3 4 5

- Nyeri kepala

berkurang

- Berfungsinya

saraf dengan

baik

- TTV dalam

batas normal

2

2

2

3

3

4

Sofana

fairro

fingiyahs

Page 79: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

P: Lanjutkan intervensi

- Monitor tingkat kesadaran

- Monitor TTV

- Monitor TIK

Page 80: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah
Page 81: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah
Page 82: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah
Page 83: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah
Page 84: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah
Page 85: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah
Page 86: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah
Page 87: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

JURNAL PSIKOLOGI VOLUME 37, NO. 1, JUNI 2010: 34 – 49  

34   

Studi Metaanalisis terhadap Intensitas Terapi  Pada Pemulihan Bahasa Afasia 

Musdalifah Dachrud 1 

Fakultas Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Manado 

 

Abstract 

It  has  been  speculated  that  conflicting  results  demonstrated  across  poststroke  or  brain damage aphasia therapy studies might be related to differences in intensity of therapy provided across  studies.  This  study  provides  a meta  analitic  review  of  the  role  intensity  of  aphasia therapy on aphasia recovery when the findings aggregated across studies. The aim of the study is to investigate the relationship between intensity of aphasia therapy and aphasia recovery. It was  found  that  after  sampling  error  correction  was  r=0.201.  These  finding  indicates  that intensity of therapy aphasia have roles  in recovery. Changes  in mean scores  from each study were recorded.  Intensity of  therapy was  recorded  in  terms of  length of  therapy and hours of therapy provided per week. This study conclusion intense therapy over a short amount of time can improve outcomes of speech and language therapy for aphasia. Keywords: cerebrovascular accident, aphasia, therapy, treatment outcome  The1Agency  for  Health  Care  Policy  and 

Research  Post‐Stroke  Rehabilitation  Clinical Practice  Guidelines  mendefinisikan  afasia sebagai  hilangnya  kemampuan  untuk berkomunikasi  dengan  lisan,  isyarat, maupun  tertulis  atau  ketidakmampuan untuk memahami komunikasi tersebut atau hilangnya  kemampuan  berbahasa (Gresham et al., 1995). 

Darley  (1982)  mengemukakan  bahwa afasia  biasanya  melukiskan  suatu kerusakan  atau  pelemahan  bahasa  akibat terjadinya  cedera  otak pada  area dominan bahasa  cerebral  hemisphere.  Afasia  dapat terjadi mengikuti  stroke dan  traumatic brain injury,  dapat  pula  dihubungkan  dengan penyakit  yang  mempengaruhi  unsur  dan fungsi  otak  (Nadeau,  Rothi,  &  Crosson, 2000) 

1  Korespondensi mengenai  artikel  ini dapat dilaku‐kan dengan menghubungi: [email protected] 

Definisi  lain  mengungkapkan  afasia dicirikan sebagai permasalahan bahasa dan cognitive  communication  yang  berhubungan dengan  kerusakan  otak  lainnya  seperti dementia dan  traumatic brain  injury  (Orange &  Kertesz,  1998).  Bagaimanapun,  penje‐lasan  terhadap  afasia  bukan  sederhana semata‐mata sebagai kekacauan berbahasa, melainkan  sebagai  suatu  kesatuan  klinis yang kompleks. 

Secara  klinis  Kertezs  (1979)  meng‐uraikan afasia sebagai bagian dari neurology di  mana  gangguan  terjadi  pada  pusat bahasa  ditandai  oleh  paraphasias,  kesu‐karan menemukan  kata‐kata,  pemahaman yang  berbeda  dan  berubah  lemah. Disamping  itu  berkaitan  pula  dengan gangguan  membaca  dan  menulis  yang lazim  seperti  dysarthria,  konstruksi  non‐verbal,  kesulitan  menyelesaikan  masalah serta  kelemahan  dalam  memberi  dan 

Page 88: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA 

JURNAL PSIKOLOGI  35

merespon  melalui  isyarat  (impairment  of gesture). 

Agar  para  penderita  afasia  dapat memperoleh  kembali  bahasanya,  maka ditempuh  berbagai  perlakuan  (treatment), seperti  rehabilitasi,  training,  dan  terapi. Treatment dan  prosedur  treatment didefini‐sikan sebagai suatu hal yang perlu sebagai prasyarat  jawaban  bersifat  percobaan. Treatment  yang  didasarkan  pada  prosedur pembiasaan,  latihan dan  target pencapaian waktu  pada  umumnya  tergambar  dengan baik dan menjadi  hal menarik  serta dapat menjadi model bagi para perancang  terapi bicara  dan  bahasa  pada  afasia  agar  lebih efektif,  efisien  dan manjur  (Siguroardottir &  Sighvatsson,  2006).  Beberapa  di  antara perlakuan  tersebut  adalah  terapi  melalui Speech  Language  Therapy  (SLT),  Melody Intonation  Therapy  (MIT),  Semantic  and Phonological  Treatment,  Word  Treatment, Constraint‐Induced Aphasia Therapy (CIAT) 

Treatment berupa terapi yang diberikan pada  pasien  penderita  gangguan  komuni‐kasi  untuk  memberikan  kemampuan berkomunikasi  baik  secara  lisan,  tulisan maupun  isyarat  (Bakheit  et  al.,  2007). Target  pelatihan  dalam  terapi  adalah peningkatan  dalam  pengungkapan  dan pemahaman  di  mana  keduanya  dalam wujud percakapan atau bahasa, baik secara lisan  maupun  tulisan  secara  bersamaan untuk meningkatkan kualitas hidup sehari‐hari.  Tugas‐tugas  yang  diberikan  dalam pelatihan  bicara  dan  bahasa  bermacam‐macam  (Berthier,  2005)  seperti  pemilihan gambar  atau  objek, pemberian nama pada objek,  menggambarkan  dan  mengenali asosiasi  antar materi, memudahkan meng‐ungkapkan  pendapat  atau  perasaan  dam peningkatan  keterampilan  yang  bersifat percakapan.  Pasien  yang  diterapi  juga diarahkan  untuk  menggunakan  isyarat atau tanda‐tanda yang lain dari komunikasi non‐verbal, termasuk di dalamnya cakupan 

yang  lebih  luas  tentang  media  dan  alat bantu komunikasi (Bakheit et al., 2007). 

Pemulihan  berbahasa  afasia  sangat ditentukan  oleh  efektivitas  treatment  yang diterapkan.  Salah  satunya  penilaiannya adalah pada  intensitas  treatment.  Intensitas treatment  dalam  studi  ini  digambarkan dalam  terminologi  jam  terapi  dalam periode  belajar.  Sebuah  penelitian  yang dilakukan  Greener,  Enderby,  &  Whurr (2001) menyatakan bahwa saat ini treatment yang  dilakukan  pada  pasien  penderita afasia  di  rumah  sakit UK  terdiri  dari  dua sesi setiap minggu masing‐masing satu jam yang  dinamai  terapi  standar.  Sedangkan terapi intensif adalah terapi yang diberikan dalam  lima  jam  tiap  sesi  per  minggu, sebagaimana  direkomendasikan  pada penelitian‐penelitian  sebelumnya  dalam jangka  waktu  terapi  (Brindley,  Copeland, Demain,  &  Martin,  1989).  Optimalisasi treatment diberikan dalam dua belas ming‐gu bersamaan dengan periode kesembuhan maksimal  dari  stroke  (Wade,  Legh‐Smith, &  Hewer,  1987).  Studi  ini  untuk meneliti tingkat  efficacy pada  treatment  terapi bicara dan  bahasa  pada  penderita  afasia  yang hasil‐hasilnya banyak yang bertentangan. 

Penjelasan  terhadap  heterogen  pene‐muan  pada  studi‐studi  yang  telah dilakukan  sebelumnya  dapat  dilihat  pada perbedaan  intensitas terapi (Brindley et al., 1989;  Poeck,  Huber,  &  Williams,  1989). Telah  tercatat  bahwa  beberapa  kegagalan untuk  mengidentifikasi  manfaat  yang konsisten dari terapi dapat terjadi berkaitan dengan  intensitas  terapi bahasa dan bicara yang diterapkan  rendah yang dimasukkan dalam  studi‐studi yang negatif,  sedangkan intensitas  terapi  yang  lebih  tinggi  berada dalam studi‐studi positif  (Teasell, Doherty, Speechley, Foley, & Bhogal, 2002). 

Robey  &  Schultz  (1998)  mengajukan model klinis dalam treatment afasia dengan uji  coba  yang  dikontrol  dengan  random 

Page 89: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

DACHRUD 

JURNAL PSIKOLOGI 36 

untuk  tujuan  efektivitas  intervensi.  Gam‐baran prosedur dan peningkatannya dapat prediksi disesuaikan dengan pasien afasia, dilakukan dalam 3 tahap uji coba. 

Beberapa  kasus  tunggal  dan  studi kelompok  kecil  telah  dilakukan  berkaitan dengan  treatment  fonologi  dan  semantik. Treatment berkaitan dengan  fonologi  terba‐tas  dan  hanya  berlangsung  singkat  saat materi  dilatihkan,  sedangkan  treatment semantik  ditemukan  peningkatan  yang menyeluruh  dan  bersifat  menetap (Howard,  Patterson,  Franklin,  Orchard‐Lisle, & Morton, 1985). 

Treatment  semantik  sesuai  dengan pemrosesan  bahasa  yang  berpengaruh da‐lam  pemahaman  berbicara  dan  berbahasa, baik  tulisan maupun  percakapan.  Ukuran hasil  yang  meningkat  adalah  pencapaian kemampuan  memberikan  diskripsi penamaan suatu tugas. 

Proses  pemulihan  bicara  dan  bahasa secara spontan pada afasia menjadi pertim‐bangan mengapa  intervensi  secara  spesifik berpengaruh  pada  performance  afasia. Intervensi dengan cara yang berbeda ditu‐jukan  untuk  efektivitas  intervensi  yang didasarkan pada prinsip neuropsyichological, dan ini masih sangat kurang (Byng & Black, 1995; Mitchum, 1994). 

Howard  et  al.  (1985)  mengemukakan bahwa  penerimaan  sebuah  riset  yang diakui membutuhkan  spesifikasi  treatment yang  bertujuan  untuk  mengembalikan kemampuan  sebagaimana  spesifikasi mengenai prosedur treatment. Masih sedikit penelitian dangan uji  coba yang  terspesifi‐kasi  (Prins, Schoonen, & Vermeulen, 1989). Cochrane  menyimpulkan  dalam  tinjauan ulang akan ketidakmampuan statistik pada hampir  semua  uji  coba,  ini  berarti pertanyaan tentang efektivitas tritmen pada afasia  masih  terbuka.  Treatment  pada 

dasarnya  sudah  efektif  (Whurr,  Lorch,& Nye,  1992;  Robey,  1994)  walaupun beberapa  treatment  itu  hanya  efektif  pada pasien spesifik (Enderby, 1996).  

Penelitian Wertz et al.  (1986) menyim‐pulkan bahwa  treatment klinis pada pasien afasia selama 12 minggu dan treatment yang tertunda  hingga  24 minggu  tidak menun‐jukkan perbaikan akhir pada pasien afasia.  

Hartman  &  Landau  (1987)  memban‐dingkan terapi bicara konvensional dengan terapi konseling dukungan emosional yang diberikan dua kali seminggu dalam 6 bulan dan  hasilnya  terapi  konvensional  tidak lebih  efektif  dari  terapi  dukungan emosional.  

Dengan demikian,  terapi yang  intensif menjadi  hal  yang  penting  dalam  usaha pemulihkan  bahasa  afasia.  Terapi  afasia dapat  meningkatkan  pemulihan  bicara setahun  setelah  munculnya  afasia  pada beberapa  pasien  (Brindley  et  al.,  1989). Dengan  terapi  intensif,  78%  dari  pasien yang ditritmen  4  bulan  setelah permulaan dan 46% pada pasien yang diberi  treatment 4‐12  bulan  meningkat  di  luar  perkiraan dengan  pemulihan  spontan  (Poeck  et  al., 1989). 

Sasaran  dari  studi  yang  akan  dila‐kukan ini adalah meneliti hubungan antara intensitas  terapi  afasia  dengan  pemulihan afasia.  Studi  pada  treatment  berupa  terapi bahasa  dan  bicara  afasia  ini  dilakukan untuk  mengukur  tingkat  intensitas  perla‐kuan  dan  untuk  menentukan  apakah intensitas  terapi  berhubungan  dengan hasil‐hasilnya.  Dengan  menggunakan studi‐studi terapi afasia yang telah diterbit‐kan,  studi  ini  berusaha  untuk mengkuan‐tifikasikan intensitas perlakuan dan menen‐tukan  apakah  intensitas  berhubungan dengan hasil akhir. 

 

Page 90: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA 

JURNAL PSIKOLOGI  37

Metode 

Seleksi dan Identifikasi Data 

Penelitian  ini  menggunakan  metode metaanalisis  di  mana  data  dikumpulkan dari  sejumlah  studi  primer  yang  pernah dilakukan untuk menguji hubungan antara treatment  dengan  pemulihan  berbahasa pada  Afasia.  Treatment  yang  dimasukkan dalam studi  ini adalah  terapi yang diarah‐kan  untuk  memulihkan  kembali  kemam‐puan  berbahasa  pada  penderita  afasia setelah mengalami cedera otak. 

  Penelusuran  hasil‐hasil  penelitian secara manual, baik dengan mencari  jurnal di  perpustakaan  guna  menemukan  studi yang  sesuai,  berdasarkan  data  yang ditemukan di  internet maupun bibliografi, dan  juga penelusuran  jurnal melalui media elektronik  dengan  fasilitas  perpustakaan digital,  baik melalui  database  atau  dengan EBSCHO,  Pro‐Quest,  Spingerlink,  J‐Stor yang  diakses  melalui  www.lib.ugm.ac.id, ataupun dengan  search  engine  seperti pada Google dan SAGE Publication dengan kata kunci  aphasia  treatment,  aphasia  recovery. Beberapa  hasil  studi  yang  diperoleh menunjukkan  pengujian  efek  treatment yang  meliputi  berbagai  macam  terapi dalam pemulihan bahasa pada afasia, baik kata,  kalimat,  semantik,  fonologi,  leksikal (Prins  et  al.,  1989;  Siguroardottir  & Sighvatsson, 2006) 

Studi yang  telah dikumpulkan diklasi‐fikasikan  dalam  kelompok‐kelompok, untuk  kategorisasi  studi  yang  memenuhi syarat  untuk  dilakukan  metaanalisis. Seleksi  awal mengelompokkan  studi  yang berisi treatment terhadap afasia sebanyak 32 studi.  Selanjutnya  dari  32  studi  yang  ada, dipilih  12  studi  yang  telah  diseleksi  yang terkait dengan terapi pemulihan berbahasa. Studi  yang  dimasukkan  dalam  analisis adalah  studi  yang  berisi  terapi  dengan 

perlakuan  terhadap  pasien  afasia  dalam durasi  yang  ditentukan.  Studi  tidak dibatasi pada pasien afasia  sesudah  stroke saja  tapi  juga  pasien  dengan  cedera  otak traumatik. 

Setelah tiap kutipan studi diidentifikasi melalui  pencarian  literatur,  maka  selan‐jutnya dilakukan pengkajian abstrak terkait untuk  menilai  kesesuaian  metaanalisis yang  akan  dilakukan.  Dalam  studi  meta‐analisis  ini,  intensitas  treatment merupakan variabel  bebas  dan  pemulihan  bahasa penderita  afasia  sebagai  variabel  terikat. Hasil  identifikasi  studi  primer  mengha‐silkan  pengkodean  yang  meliputi  nama peneliti,  tahun,  sumber  sampel,  jumlah sampel, tipe sampel,  jenis, durasi treatment, dampak  treatment, dan score  treatment pada afasia. 

Hasil seleksi terhadap data yang terse‐dia dapat dilihat pada Tabel 1 berupa data‐data  yang  memenuhi  karakteristik  jurnal yang akan dimetakan. 

Sepuluh  studi  tersebut  yang  meneliti terapi  pada  afasia  memenuhi  kriteria setelah  dikaji.  Sepuluh  studi  ini merepre‐sentasikan  339  individu  pasien.  Deskripsi singkat  dari masing‐masing  artikel  adalah sebagai berikut :  

Meinzer,  Djundja,  Barthel,  Elbert,  & Rockstroh (2005) menemukan  jawaban atas dugaan yang terbentuk bahwa peningkatan fungsi  bahasa  pada  afasia  kronis  hanya dapat  dicapai  melalui  perlakuan  jangka panjang. Penelitian ini menguji kemanjuran perlakuan dalam  jangka pendek, pelatihan intensif  constraide  induced  pada  terapi afasia.  Temuan  dalam  program  ini  adalah prinsip  pencegahan  pada  komunikasi pengganti, kumpulan praktik dan pemben‐tukan.  Sebanyak  27  pasien  afasia  kronis dilatih  selama  20  jam  dalam  10  hari,  12 pasien  dilatih  dengan  program  CIAT,  15 pasien dilatih dengan modul bahasa dalam tulisan  dan  tambahan  pelatihan  komuni‐

Page 91: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

DACHRUD 

JURNAL PSIKOLOGI 38 

kasi  sehari‐hari,  yang melibatkan  anggota keluarga  (CIAT  Plus).  Pengukuran  dalam standarized  neurolinguistik  testing  dan  peni‐laian didasarkan pada kualitas dari  jumlah komunikasi  sehari‐hari.  Hasil  menunjuk‐kan  fungsi  bahasa  meningkat  dengan signifikan  setelah  pelatihan  untuk  kedua kelompok  dan  kestabilan  tetap.  Setelah hingga  6  bulan  berikut  analisis  kasus tunggal  menunjukkan  peningkatan  secara signifikan pada 85% pasien tersebut. Pasien yang  disertai  keluarga  dinilai  dan  jumlah komunikasinya  sebagai  peningkatan  sete‐lah  terapi.  Peningkatan  ini  lebih  pada pronounce  (pelafalan)  pasien  pada  kelom‐pok  CIAT  Plus  dalam  keluarganya. Konfirmasi hasil menunjukkan bahwa studi pelatihan bahasa yang  intens dalam waktu yang  pendek  didasarkan  pada  prinsip belajar  dapat mendorong  ke  arah  pening‐katan  permanen  dan  substansial  pada fungsi  bahasa  afasia  kronis.  Pada  fungsi bahasa  afasia  kronis  penggunaan  teman atau  keluarga  dalam  pelatihan menunjuk‐

kan  suatu unsur  tambahan yang berharga. Intensitas  ini efektif dan sukses digunakan pada  rehabilitasi  pasien  afasia  kronis apalagi didesain dalam waktu yang singkat membuatnya menarik bagi pelayanan jasa. 

Pulvermuller  et  al.  (2006)  meneliti pasien afasia kronis yang dibagi secara acak dalam  sebuah  kelompok  untuk menerima terapi  konvensional  dan  Contraid  Induced (CI),  sebuah  teknik pengobatan  baru  yang menuntut  kerja  keras dalam  praktek  yang singkat  pada  hari  yang  berturut‐turut. Terapi Afasia CI direalisasikan dalam suatu lingkungan  terapi komunikatif bagi pasien yang  terhambat  secara  sistematis  dalam praktik  berbicara  karena mengalami  kesu‐litan.  Kedua  kelompok  pasien  menerima perlakuan  yang  sama  (30‐35  jam)  dalam sepuluh  hari  latihan  praktek  berbahasa, untuk  kelompok CI  terapi  (minimal  3  jam per hari; 10 pasien) atau pada periode yang lebih  panjang,  4 minggu  untuk  kelompok terapi  konvensional  (7  pasien).  Terapi Afasia  CI mendorong  pentingnya  pening‐

Tabel 1 Karakteristik Jurnal yang Akan Dimetakan No 

Study Peneliti  tahun  N  Intensitas tritmen  Pemulihan Bahasa 

1  Wambaugh & Ferguson  2007  1  12 sesi 3 minggu   Kata kerja & kata benda 

2  Breinstein et al  2004  2  5 sesi jam per hari  Leksikal 3  Reymer et al   2006  2   3‐4 sesi 2 fase  Kata benda & kata 

kerja 4  Racette et al  2006  8  4 sesi 2 jam durasi fleksibel  Kata‐kata 5  Hebert & Racette   2003  1  2 sesi 39 bulan   Kata‐kata 6  Meinzer et al  2005  27  30 jam 2 minggu   Kata kata dan 

tulisan 7  Pulverlmuller  2001  17  3‐4 jam per hari 10 hari  Kata kata 8  Bakheit et al. 1  2007  116  2 ‐ 5 jam 12 minggu  Kata‐kata   Bakheit et al. 2  2007  116  2 ‐5 jan 24 minggu  Kata‐kata 9  Doesborgh et al  2004  35  1,5‐3 jam per minggu 2&3 sesi  Semantik 10  Gaiefsky 1  2003  5  3 fase 10 sesi 4 minggu  Kata‐kata & kalimat   Gaiefsky 2  2003  5  3 fase 10 sesi 4 minggu  Kata‐kata & kalimat   Gaiefsky 3  2003  5  3 fase 10 sesi 4 minggu  Kata‐kata & kalimat   Gaiefsky 4  2003  5  3 fase 10 sesi 4 minggu  Kata‐kata & kalimat   Gaiefsky 5  2003  5  3 fase 10 sesi 4 minggu  Kata‐kata & kalimat 

Page 92: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA 

JURNAL PSIKOLOGI  39

katan  pelafalan  pada  beberapa  tes  klinik standar,  pada  peningkatan  diri,  pening‐katan  penilaian  observer  pada  efektivitas komunikasi  pasien  dalam  kehidupan sehari‐hari.  Pasien  yang  menerima  inter‐vensi kontrol gagal mencapai peningkatan yang  dapat  dibandingkan.  Data  menun‐jukkan  bahwa  keterampilan  berbahasa pasien  afasia  kronis  meningkat  dalam waktu  singkat  dengan  menggunakan teknik  massed‐practice  yang  disesuaikan pada fokus kebutuhan komunikasi pasien. 

Doesborgh et al. (2003) mengemukakan bahwa  defisit  semantik  adalah  penurunan dalam  hal  memahami  maksud  atau  arti kata  yang  berdampak  besar  dalam  berko‐munikasi  secara  lisan  bagi  pasien  afasia. Penelitian  pada  efek  treatment  semantik dalam  berkomunikasi  secara  lisan.  Seba‐nyak  58  pasien  yang  mengalami  defisit kombinasi  berkaitan  dengan  fonologi  dan semantik yang dirandom untuk menerima treatment  semantik  atau  treatment  yang dikontrol pada fokus bunyi kata (fonologi). Sebanyak 55 pasien menyelesaikan pre dan post‐treatment dengan pengukuran komuni‐kasi  lisan  (ANELT). Pada analisis  treatment (n=46),  efek  spesifik  treatment  yang  ber‐kaitan  dengan  fonologi  dan  semantik menjadi  tolak  ukur  penyelidikan.  Pada kedua  kelompok  terdapat  peningkatan pada ANELT, ditemukan  tidak ada perbe‐daan  antar  kelompok  pada  skor  keselu‐ruhan.  Setelah  treatment  semantik,  pasien kembali  mengalami  peningkatan  pada pengukuran  semantik.  Sedangkan  pada treatment  fonologi,  pasien  mengalami peningkatan  berkaitan  dengan  fonologi. Sebagai  catatan  utama,  penelitian  ini menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan dalam  dua  treatment.  Tantangan  sekarang adalah  temuan  berkaitan  dengan  dugaan treatment  semantik  lebih efektif dibanding‐kan  treatment  fonologi  dengan  pasien defisit  kombinasi  semantik  dan  fonologi. 

Keutamaan pada pengukuran yang selektif berkaitan  dengan  pengukuran  semantik dan  fonologi  dinyatakan  bahwa  pening‐katan komunikasi lisan dicapai dengan cara yang  berbeda  untuk  masing‐masing kelompok treatment. 

Racette, Bard, & Peretz  (2004) berang‐kat  dari  observasi  klasik  dalam  neurologi bahwa  pasien  afasia melagukan  kata‐kata yang  tidak  dapat mereka  lafalkan  dengan cara  lain.  Penilaian  lebih  lanjut  dengan menginvestigasi  produksi  nyanyian  dan ucapan dalam berbicara pada 8 pasien brain damage yang menderita kesulitan berbicara akibat  cedera  pada  otak  sebelah  kiri. Eksperimen  pertama,  daya  ingat  pasien diuji  dengan  pengulangan  kata‐kata  dan catatan  tentang  materi  (hal‐hal)  umum yang  dikenal,  seperti  kata‐kata  dalam  doa dan  pepatah;  tidak  ditemukan  pelafalan yang  lebih  baik  dibandingkan  berbicara (bukan  nyanyian).  Eksperimen  kedua, pasien  afasia  mengingat  dan  mengulangi lirik  dari  lagu  baru.  Kembali  lagi  tidak menghasilkan  kata‐kata  yang  lebih  baik dalam  bernyanyi  dibandingkan  bila berbicara. Eksperimen ketiga, ketika diper‐kenankan  untuk  bernyanyi  atau  berbicara disertai  dengan  sebuah  model  yang difokuskan  pada  penggunaan  indera pendengar  selagi  mempelajari  nyanyian baru,  pasien  afasia  lebih  mengingat  dan mengulangi  kata‐kata  ketika  bernyanyi dibandingkan ketika berbicara. Pengurang‐an  kecepatan  tidak  memberikan  dampak yang menguntungkan pada nyanyian yang panjang  pada  penyesuaian  dalam  berbi‐cara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bernyanyi  dengan  sinkronisasi  model indera  pendengaran  –  berkaitan  dengan koor  nyanyian  –  adalah  lebih  efektif dibandingkan dengan koor pada berbicara. Indikasi ini setidaknya terlihat pada orang‐orang  Perancis,  peningkatan  kata  yang cukup jelas sebab bernyanyi yang berkaitan 

Page 93: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

DACHRUD 

JURNAL PSIKOLOGI 40 

dengan  koor mungkin  lebih diterima  atau lebih sesuai dengan satu penghubung vocal‐auditory. Dengan demikian, bernyanyi yang dikaitkan  dengan  koor  menunjukkan makna yang efektif pada terapi bicara. 

Hebert,  Racette,  Gagnon,  &  Peretz (2003)  menginvestigasi  produksi  ucapan pada  nyanyian  dan  bicara  pada  seorang pasien  afasia  non‐fluent,  yaitu  C.C.  yang mengalami  afasia  ekspresif  setelah  otak kirinya  mengalami  stroke  tetapi  memori dan  pengertian  bahasanya  masih  relatif terpelihara.  Eksperimen  pertama,  C.C. mengulang‐ulangi  kutipan  lagu  yang umum  telah dikenal dalam  empat  kondisi yang  berbeda,  berkaitan  dengan  lirik percakapan,  lirik  lagu  yang  asli  dengan melodi,  lirik  lagu  yang  baru  tetapi melodinya  telah  umum  dikenal,  dan  lagu dengan  melodi  netral  dengan  satu  suku kata  netral  “la”.  Eksperimen  kedua, mengulangi  kutipan  nyanyian  baru dalam tiga  kondisi  yang  berbeda;  berkaitan dengan  lirik  percakapan,  lirik  lagu,  dan lagu dengan melodi dua  suku kata”to‐la”. Jumlah  rata‐rata  kata  yang  diproduksi dalam  bentuk  percakapan  dan  nyanyian pada  kondisi  yang  berbeda  tidak  berbeda secara  signifikan dalam eksperimen mana‐pun.  Tercatat  jumlah  rata‐rata  kata  yang diproduksi  tidak  berbeda  dalam  kondisi manapun  pada  lagu  “to‐la”  dan  kondisi lagu  apapun,  tetapi  tidak  lebih  tinggi dibandingkan memproduksi kata‐kata, hal ini menunjukkan adanya  suatu pemisahan antara C.C. dalam produksi verbal dengan bakat musik.  Penemuan  ini  tidak mendu‐kung  pernyataan  bahwa  bernyanyi  dapat membantu produksi kata‐kata pada pasien afasia non‐fluent. Konsisten dengan gagasan bahwa  produksi  verbal,  apakah  itu  perca‐kapan  atau  nyanyian,  adalah  hasil  dari mekanisme operasi yang sama. 

Breitenstein,  Kamping,  Jansen,  Scho‐mascher,  &  Knecht  (2004)  berangkat  dari 

asumsi  bahwa  anak‐anak  memperoleh kata‐kata  baru  hingga  mengeksposnya tanpa perlu untuk diberi umpan balik yang tegas  dari  caregivers  (keluarga).  Dalam terapi  afasia,  umpan  balik  kepada  pasien amat  penting  menjadi  pertimbangan walaupun  data  empiris  pada  dasarnya menunjukkan pembelajaran dengan umpan balik  secara  langsung masih kurang. Studi ini  menguji  orang  dewasa  sehat  dengan pasien  afasia  kronis  untuk  mendapatkan perbendaharaan  kata  (leksikal)  dari  fre‐kuensi intensitas yang ditegaskan sendiri.  

Penelitian  ini  membandingkan  ting‐katan  tahap  belajar  dengan  “frekuensi ekspose diri”,  (kondisi  tanpa umpan  balik n=19 orang dewasa sehat, 2 pasien dengan afasia  Broca  dan  Wernicke  secara  beru‐rutan) di mana kondisi yang pokok dengan umpan  balik  langsung  (n=19).  Prinsip belajarnya  adalah  penilaian  ketelitian memasangkan  yang  “benar”  sesuai  kata dan  gambar  lebih  tinggi  dibandingkan dengan yang “salah” pasang. Pada kondisi umpan balik, umpan balik secara langsung memberikan  ketepatan  pada  masing‐masing pilihan yang disajikan. Hasil pene‐litian  menunjukkan  dua  kelompok  yang sehat  sukses  memperoleh  kata‐kata. Umpan  balik  mendorong  pada  suatu percepatan  (akselerasi)  pembelajaran  awal tetapi  tidak meningkat  secara  laten  untuk mencapai  puncak  atau  ingatan  jangka panjang  tentang pengetahuan yang berhu‐bungan  dengan  leksikal.  Penemuan  ini menunjukkan  frekuensi  yang  tinggi  pada ekspose  interaktif  adalah  mekanisme belajar kata yang kuat pada orang dewasa dan  umpan  balik  yang  tidak  rumit.  Bukti nyata  lebih  lanjut  dari  pelatihan  yang sukses adalah pada dua pasien afasia kro‐nis  tanpa  umpan  balik  langsung.  Kesim‐pulan  dalam  penemuan  ini  menunjukkan bahwa  kata  yang  dipelajari  kembali  dan diulang‐ulang  pada  afasia  dapat  berman‐

Page 94: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA 

JURNAL PSIKOLOGI  41

faat  dalam  memaksimalkan  frekuensi ekspose  dan  pemanfaatan  prinsip  terapi pada  “massed  practice”  (kumpulan  hasil praktek),  yang  telah  sukses  sebagaimana pada rehabilitasi fisik setelah stroke. Secara ringkas, pada umpan balik dapat mencegah pasien menjadi takut oleh konfrontasi yang berlanjut dengan kondisi defisit mereka. 

Wambaugh & Ferguson (2007) menguji efek  terhadap  semantik yang menonjolkan pemerolehan kembali tindakan penyebutan pada  peserta  dengan  afasia  anomic. Treatment diberlakukan secara sekuen pada dua kesatuan  tindakan dan dalam konteks berbagai  desain  awal  berkaitan  dengan perilaku.  Efek  treatment  dievaluasi  ber‐kaitan  dengan  penamaan  dari  tindakan yang  dilatih  dan  tidak  dilatih.  Efek  pro‐duksi percakapan  juga diuji dengan mem‐perhatikan  produktivitas  lisan,  informatif dan  produksi  kata  kerja  dan  kata  benda. Peningkatan penamaan diteliti pada kedua latihan  tindakan  penamaan,  dengan peningkatan  treatment  pada  enam minggu post  treatment.  Bagaimanapun,  ketelitian pada  respon  tidak  sampai  pada  tingkatan ukuran  sebelum  stabil.  Ekspose  yang diulangi pada  item  stimulus  tanpa  latihan menghasilkan  peningkatan  yang  temporer dan  tidak  stabil pada ketelitian penamaan. Tidak  ada  perubahan  yang  diamati  pada ketelitian penamaan dari yang tidak dilatih, yang  terukur hanya pada  internal sebelum dan  sesudah  treatment.  Peningkatan  pada informatif  dan  produktivitas  lisan  dalam menghasilkan  percakapan  berkaitan dengan treatment. 

Menurut Raymer & Kohen (2006), word retrieval pada afasia ditemukan mempunyai pengaruh  yang  besar  dalam  penamaan gambar bagi yang dilatih kata‐kata. Untuk meningkatkan  pengaruh  treatment  pada kata‐kata  yang  tidak  dilatih  dan  konteks kalimatnya,  diteliti  dalam  suatu  treatment pembacaan  kalimat  secara  hierarki  bahwa 

perpindahan  kesalahan  pada  produksi generatif  kalimat dengan mendampingkan noun dan verbs  target. Pada  individu afasia non‐fluent,  treatment  berdampak  pada peningkatan  berkaitan  dengan  penamaan gambar  pada  kata  benda  atau  kata  kerja dan  digeneralisasikan  dalam  jumlah,  isi, dan tata bahasa yang mengikuti terapi kata benda. Pada  individu afasia  fluent, ditemu‐kan  peningkatan  dengan  baik  setidaknya dalam  penamaan  gambar  dan  generatif kalimat  pada  keduanya,  yaitu  kata  benda dan kata kerja. Sentences based word retrieval training  ini,  di mana  proses  semantik  dan sintatik  saling  berhubungan,  mendorong peningkatan  jumlah  pengulangan  kata pada  afasia  non‐fluent.  Harapan  yang berlawanan,  di mana  perubahan  ini  lebih besar  terjadi  pada  pada  mereka  dengan terapi  kata  benda  dibandingkan  yang mengikuti kata kerja. 

Bakheit  et  al.  (2007)  menguji  apakah banyaknya jumlah terapi bahasa dan bicara mempengaruhi  kesembuhan  pada  pasien afasia  sesudah  stroke.  Pasien  stroke  yang afasia dipilih  secara  acak  kemudian dialo‐kasikan untuk menerima 5  jam  (kelompok terapi  intensif, n=51) atau 2  jam (kelompok terapi  standar)  terapi  bahasa  dan  bicara setiap  minggu  selama  12  minggu  yang dipraktekkan  segera  setelah  stroke. Sebanyak 19 pasien  lainnya direkrut untuk menerima terapi selama 2  jam tiap minggu dan  pengukuran  dilakukan  oleh  staf National  Health  Service  (NHS)  (kelompok NHS). Pengukuran dengan Western Aphasia Battery  (WAB)  dilakukan  dengan  pengu‐kuran awal yang disamarkan dengan acak, selanjutnya pada minggu ke‐4, 8, 12, dan 24 setelah  dimulainya  terapi.  Rerata  pening‐katan  ditunjukkan  pada  minggu  ke‐12 untuk kelompok intensif, standar dan NHS. Tidak terdapat efek perlakuan pada intensif terapi  (P>0.05),  tetapi  ada perbedaan yang signifikan  antara  studi  kelompok  standar 

Page 95: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

DACHRUD 

JURNAL PSIKOLOGI 42 

dengan NHS pada minggu ke‐12  (P=0.002) dan  minggu  ke‐24  (P=0.01).  Studi  ini menyimpulkan  bahawa  terapi  intensif bahasa  dan  bicara  tidak  meningkatkan perubahan  bahasa  yang  signifikan  diban‐dingkan  dengan  standar  terapi.  Adanya peningkatan  terapi  pada  afasia  setidaknya pada kelompok NHS.  

Gaiefsky (2003) meneliti 5 pasien afasia Broca  dengan  rancangan  treatment  reha‐bilitasi  untuk  meningkatkan  produksi bahasa  yang  dimulai  dengan  prosedur perekrutan  yang  benar melalui  Functional Magnetic  Resonance  Imaging  (FMRI). Treatment  diberikan  dalam  empat  fase, masing‐masing sepuluh sesi dengan durasi wakru empat minggu. Hasil menunjukkan bahwa tiga pasien secara signifikan menun‐jukkan  aktivitas  fungsional  dalam  area 

broca.  Satu  pasien  afasia  menunjukkan penurunan  aktivitas  fungsional  pada  area broca.  Sementara  satu  pasien  secara  signi‐fikan  tidak  menunjukkan  aktivitas  fung‐sional pada area berbahasa (broca). 

Analisis Data 

Hunter  &  Schmidt  (1990)  mengemu‐kakan bahwa dalam metaanalisis dilakukan beberapa langkah di antaranya menghitung koreksi kesalahan  sampel. Data yang dite‐mukan  menunjukkan  hasil  statistik  yang beragam,  baik  dari  perbedaan  maupun korelasional yaitu F, X²,  t, d, dan  r.  Selan‐jutnya  hasil  statistik  yang  diperoleh  dari studi primer dilakukan transformasi nilai F, X²,  t,  d  atau  r  (Hunter  &  Schmidt,  1990). Hasil  dari  transformasi  tersebut  dijadikan 

Tabel 2 Deskripsi Karakteristik Studi Metaanalisis Mengenai Intensitas Tritmen dan Efeknya pada Pemulihan Bahasa 

No  Peneliti &  Tahun 

N  Tipe sampel  Intensitas  Tritmen 

Pemulihan bahasa 

Hasilstudi

1  Wambaugh & Ferguson, 2007 

1  Afasia anomic  40‐60 menit per sesi selama 3 minggu dengan 12 sesi 

Kata kerja & kata benda 

2  Breitenstein et al. 2004  

2  Afasia kronis broca & wernicke 

5 sesi pd 1‐5 hari per sesi dgn 1‐6 jam per hari 

Leksikal  + 

3  Reymer et al 2006 2  Afasia fluent & non‐fluent 

Tiap hari 3‐4 sesi dalam 2 fase 

Kata benda & kata kerja 

4  Racette et al 2006 8  Afasia non‐fluent  4 sesi dalam 2 jam dgn durasi fleksibel 

Kata‐kata  ‐ 

5  Hebert & Racette 2003 

1  Afasia non‐fluent  2 sesi dalam 39 bulan (bulan ke 6 & 33) 

Kata‐kata  ‐ 

6  Meinzer et al. 2005 

27  Afasia kronis broca, wernicke, anomic & global 

30 jam selama 2 minggu & 3 jam per hari 

Kata kata  dan tulisan 

7  Pulverlmuller  17  Afasia kronis  3‐4 jam per hari selama 10 hari 

Kata kata  + 

8  Doesborgh et al. 2004 

58  Afasia wernicke, broca, anomic 

1,5‐3 jam per minggu 2 atau 3 sesi 

Semantik  dan fonologi 

9  Bakheit et al.  2007 

116   2 & 5 jam selama 12 minggu Kata‐kata  + 

10 Gaiefsky, 2003  5  Afasia non‐fluent  3 fase masing‐masing 10 sesi 4 minggu 

Kata‐kata & kalimat 

Page 96: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA 

JURNAL PSIKOLOGI  43

langkah awal untuk penghitungan koreksi kesalahan  sampel.  Analisis  kesalahan pengukuran  tidak  dilakukan  karena  tidak ditemukan dalam studi primer.  

H a s i l Transformasi  Perhitungan  Nilai  Terkon‐versi 

Langkah  perhitungan  kesalahan  sam‐pling dimulai dengan melakukan konversi nilai  atau  transformasi  nilai  terlebih dahulu.  Penelitian  terdiri  dari  penelitian korelasional dan penelitian perbedaan, oleh sebab  itu  harga  F,  X²,  perlu  ditransfor‐masikan  terlebih dahulu ke dalam harga  t, d  dan  r.  perhitungan  hasil  konversi  nilai studi primer sebagaimana berikut Tabel 3. 

Dari hasil  tranformasi nilai ke  r maka selanjutnya dapat dilakukan penghitungan koreksi kesalahan sampling yang meliputi: 

estimasi r populasi, varians dari koefisien r populasi  terbobot, varians r populasi kesa‐lahan  pengambilan  sampel  dan  estimasi varian r populasi. 

Setelah  dilakukan  koreksi  kesalahan sampling  dari  10  jurnal  dengan  22  studi, hanya  6  jurnal  yang  dapat  dimasukkan analisis karena terbentur pada penggunaan rumus  transformasi nilai  t ke  r  (Hunter & Schmidt,  1999)  di  mana  prasyarat  rumus transform  r=t/√t²+N‐2  adalah  subjek  harus lebih  dari  2,  sehingga  hasil  akhir  jurnal yang  dapat  dianalisis  untuk  koreksi kesalahan  sampling  sebanyak  6  jurnal dengan  17  studi.  Selain  itu,  analisis  lebih lanjut  terhadap  studi  yang  tidak  lagi diikutkan  karena  uraian  jumlah  waktu terapi  yang  mengindikasikan  intensitas terapi  dihubungkan  dengan  pemulihan pada  afasia  tidak  dilaporkan  hingga  pada jam terapi dalam tiap periode. 

Tabel 3 Hasil Perhitungan Konversi Nilai F, X², ke Harga t, d dan r 

No Study  Peneliti  N  F  X²  t  D  r 

1  Wambaugh & Ferguson, 2007 1        1.76  ‐ 2  Breinstein et al. 2004  2  135.68    11.6482    ‐ 3  Reymer et al 2006  2      2.94    ‐ 4  Racette et al 2006  8    1.23  1.1090    0.03 5  Hebert & Racette 2003  1  4.26    2.0639    ‐ 6  Meinzer et al. 2005  27  3.44    1.8547    0.3477 7  Pulverlmuller  17  5.0    2.3607    0.5204 8  Bakheit et al. 2007 ‐1  116      0.08944    0.0083 9  Bakheit et al. 2007 ‐2  116      0.21447    0.021 10  Doesborgh et al. 2004 ‐1  23          0.58 11  Doesborgh et al. 2004 ‐2  23          0.34 12  Doesborgh et al. 2004 ‐3   23          0.04 13  Doesborgh et al. 2004 ‐4  23          0.24 14  Doesborgh et al. 2004 ‐5  23          0.40 15  Doesborgh et al. 2004 ‐6  23          0.16 16  Doesborgh et al. 2004 ‐7  23          0.58 17  Doesborgh et al. 2004 ‐8  23          0.15 18  Gaiefsky, 2003 ‐1  5    74.79      0.98 19  Gaiefsky, 2003 ‐2  5    98.82      0.985 20  Gaiefsky , 2003 ‐3  5    0.00      0 21  Gaiefsky, 2003 ‐4  5    16.28      0.918 22  Gaiefsky , 2003 ‐5  5    304.08      0.995 

Page 97: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

DACHRUD 

JURNAL PSIKOLOGI 44 

Tabel 4 

Studi‐studi yang Dianalisis No 

Study Peneliti  N  R  Waktu terapi 

Total jam terapi 

Hasil studi 

1  Racette et al 2006  8  0.03  4 sesi 2 jam  Fleksibel  ‐ 2  Meinzer et al. 2005  27  0.3477  10 hari  30 jam  + 3  Pulverlmuller  17  0.5204  10 hari  40 jam  + 4  Bakheit et al. 2007‐1  116  0.0083  12 minggu  360 jam  + 5  Bakheit et al. 2007‐2  116  0.021  12 minggu  360 jam  + 6  Doesborgh et al. 2004‐1  23  0.58  12 minggu  600 jam  + 7  Doesborgh et al. 2004‐2  23  0.34  12 minggu  600 jam  + 8  Doesborgh et al. 2004‐3  23  0.04  12 minggu  600 jam  + 9  Doesborgh et al. 2004‐4  23  0.24  12 minggu  600 jam  + 10  Doesborgh et al. 2004‐5  23  0.40  12 minggu  600 jam  + 11  Doesborgh et al. 2004‐6  23  0.16  12 minggu  600 jam  + 12  Doesborgh et al. 2004‐7  23  0.58  12 minggu  600 jam  + 13  Doesborgh et al. 2004‐8  23  0.15  12 minggu  600 jam  + 14  Gaiefsky, 2003‐1  5  0.98  14 minggu  300 jam  + 15  Gaiefsky, 2003‐2  5  0.985  14 minggu  300jam  + 16  Gaiefsky, 2003‐3  5  0  ‐  ‐  ‐ 17  Gaiefsky, 2003‐4  5  0.918  14 minggu  300 jam  + 

Studi  yang  dilakukan  Wambaugh  & 

Ferguson, Racette et al., Raymer et al., dan Hebert  tidak  lagi diikutkan dalam  analisis karena  jumlah subjeknya hanya dua orang, sementara  satu  dari  lima  studi  yang dilakukan  Megan  tidak  dianalisis  karena nilai X²=0.00  sehingga  tidak dapat ditrans‐formasi.  

Berdasarkan  pada  studi meta  analisis ditemukan bahwa korelasi populasi setelah dikoreksi  didapatkan  sebesar  ř  0.201917, dengan  varians  korelasinya  (σr²)  sebesar 0.063807 dan standar deviasi sebesar 0.2526. Mengacu  pada  interval  kepercayaan sebesar  95%,  batas  penerimaannya  antara   ‐0.029318  <  ř  <  0.697014; dengan demikian hasil perhitungan ř sebesar 0.201917 berada pada batas penerimaan. 

Nilai  varians  kesalahan  pengambilan sampel  adalah  sebesar  0.03321  dan  varian korelasi  populasi  sebesar  0.063807.  Nilai varians  kesalahan  pengambilan  sampel dibandingkan dengan nilai varians korelasi populasi  dikalikan  100%  merupakan 

besarnya  persentasi  varians  yang  disebab‐kan  kesalahan  pengambilan  sampel,  yaitu sebesar 5.20%. Ini menunjukkan bahwa bias kesalahan  karena  kekeliruan  dalam pengambilan  sampel  besar  atau  berada  di atas  5%.  Variansi  yang  besar  ini  menun‐jukkan bahwa variansi nilai yang disebab‐kan  oleh  kesalahan  pengambilan  sampel besar.  Hal  ini  mengindikasikan  bahwa kemungkinan  bias  yang  disebabkan  oleh kesalahan  pengambilan  sampel  termasuk besar. 

Hasil  metaanalisis  diperoleh  ř  0.201 dan  berada  dalam  area  penerimaan  95%     (‐0.29318  <  ř  <  0.697014)  bahwa  intensitas treatment  menentukan  usaha  pemulihan bahasa pada afasia. Hasil  ini menunjukkan bahwa  perbedaan  intensitas  treatment dalam  durasi  waktu  yang  digunakan sangat  berhubungan  dengan  hasil  yang diperoleh dalam  pemulihan  bahasa  afasia. Hasil  ini  juga konsisten dengan penelitian‐penelitian  yang  telah  dilakukan  sebelum‐nnya  yang  mengamati  hubungan  antara terapi  intensif  yang  mendukung  pening‐

Page 98: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA 

JURNAL PSIKOLOGI  45

katan hasil pada afasia,  sebagaimana yang dilakukan  oleh Brindley  et  al.  (1989)  yang mengemukakan  bahwa  hanya  dengan peningkatkan  alokasi  waktu  pada  terapi bicara,  kemampuan  afasia  kronis  dapat lebih efektif. Pernyataan  ini didukung oleh Poeck  et  al.  (1989)  yang  mencatat  bahwa peningkatan  terjadi  pada  afasia  bahkan pada fase kronis dengan terapi intensif. 

Hasil  meta  ini  menunjukkan  bahwa intensitas treatment merupakan determinasi yang  berperan  dalam  pemulihan  bahasa pada  afasia  dan  mendukung  beberapa penelitian  yang  selama  ini  terpublikasi (Robey & Schultz, 1998; Lincoln et al., 1984; Shewan  &  Kertesz,  1984;  Bhogal,  Teasell, Speechley, 2003).  

Dengan  hasil  ini  dapat  dikatakan bahwa  intensitas  treatment  berupa  terapi dapat  mempengaruhi  hasil  terhadap pemulihan bahasa afasia. Dengan demikian disimpulkan bahwa hipotesis diterima. 

Diskusi 

Tujuh  belas  dari  delapan  belas  studi yang  dikaji  melaporkan  secara  signifikan hasil  positif  yang  memberikan  terapi  de‐ngan  jumlah  jam  terapi  yang  tersistematis dalam jumlah jam per hari, per minggu, per sesi  dengan  masing‐masing  durasi, dibandingkan  dengan  satu  studi  negatif yang  hanya  memberikan  rentang  waktu yang  panjang  tanpa  ukuran  waktu  yang jelas  serta  studi Racette  et  al., yang durasi waktunya  ditentukan  secara  fleksibel semata.  Analisa  menunjukkan  bahwa semakin  intensif  terapi  akan  memberikan hasil yang meningkat.  

Setelah  dilakukan  transformasi  nilai  t ke  r maka  dari  duapuluh  dua  studi  yang ditemukan  hanya  tujuh  belas  studi  yang dapat  dianalisis.  Hal  ini  disebabkan  lima studi lainnya tidak memenuhi syarat untuk dianalisis. 

Enam  belas  studi  yang  dianalisis menunjukkan  konsistensi  keberadaan waktu sebagai determinasi dalam treatment berupa  terapi  intensif  dan  terapi  dengan waktu  yang  standar  berpengaruh  dalam usaha  pemulihan  pada  afasia.  Keenam belas studi yang dikaji ini pun melaporkan secara  signifikan hasil yang positif dengan rata‐rata jam terapi di atas enam jam terapi per minggu.  Sedangkan  satu  studi  negatif yang dilakukan Racette et al.  (2006) hanya memberikan  kurang  dari  dua  jam  terapi per minggu dengan durasi yang  juga tidak ditentukan.  Analisa  menunjukkan  bahwa semakin  intensif  terapi  akan  memberikan peningkatan  hasil  pada  pemulihan  bahasa pada afasia. 

Terapi  afasia  Constraint‐Induced  (CI) dengan  kekhususannya  sebagai  bentuk terapi  intensif  bagi  pasien  afasia.  Penggu‐naan praktek intensitas waktu yang pendek lebih  sering dipilih dari pada waktu  yang panjang pada terapi CI. Dampak dari terapi intensif CI dengan menggunakan paradig‐ma  CI  (waktu  yang  singkat),  ditunjukkan oleh  Pulvermuller  et  al.  (2001),  di  mana pasien menerima terapi CI (3 jam terapi per hari  selam  2  minggu)  secara  signifikan menunjukkan perbaikan pada semua peng‐ukuran  hasil dibandingkan dengan  pasien yang menerima  terapi  konvensional  yang tidak menunjukkan  perbaikan  yang  signi‐fikan. 

Hubungan  antara  intensitas  terapi bicara dan bahasa dalam rangka pemulihan bahasa  pada  afasia  masih  membutuhkan studi  lebih  lanjut.  Sebagian  besar  keterba‐tasan  dari  kajian  ini  berasal  dari  keterba‐tasan  studi  asli  yang  berkualifikasi. Penggunaan ukuran tak terstandar, ukuran subjek dalam  studi‐studi  yang  relatif  kecil dan  kurangnya  pengacakan  dalam  kelom‐pok,  serta  kurangnya  kejelasan  mengenai intensitas  terapi  dan  tidak  adanya  pela‐poran  rata‐rata  untuk  penilaian  keselu‐

Page 99: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

DACHRUD 

JURNAL PSIKOLOGI 46 

ruhan  untuk  pengukuran  hasil  pada beberapa  studi.  Selain  itu,  banyak  studi yang  dianggap  tidak  kuat  dengan  ukuran sampel yang kecil. Penelitian terbesar yang dilakukan  Bakheit  et  al.  (2007), mengacak 309 pasien namun demikian yang dianalisa lengkap  untuk  dilaporkan  116  dan  hanya 70  pasien  yang menerima  tritmen  dengan konsisten. 

Demikian  pula  studi  yang  dilakukan Doesborgh  (2004),  dari  87  pasien  afasia yang  direferensikan  hanya  58  yang  dima‐sukkan dalam studi setelah dirandom. Dari 58 pasien dibagi dalam dua treatment yaitu semantik  dan  fonologi  dengan  masing‐masing  subjeknya  hanya  23  yang  masuk dalam analisis treatment. 

Adanya  hubungan  yang  ditunjukkan antara  intensitas  tritmen  dalam  bentuk terapi  dan  pemulihan  bahasa  pada  afasia, membutuhkan  perhatian  yang  lebih  besar yang  diperlukan  untuk menyusun  penga‐turan perlakuan yang lebih tepat. Lamanya terapi  yang  diberikan  dalam  per minggu, per  jam,  bahkan  per  sesi  yang  memung‐kinkan pencapaian pemulihan yang maksi‐mum membutuhkan penelitian lebih lanjut. Hal yang lebih penting, kajian ini menekan‐kan  pentingnya  terapi  bahasa  dan  bicara pada penderita afasia.  

Studi  yang  berpengaruh  seperti Bakheit  et  al.  (2007)  menghasilkan  kera‐guan  terhadap kekuatan  terapi bahasa dan bicara  pada  pemulihan  afasia.  Konfirmasi terhadap  keraguan  tersebut  bahwa  terapi dengan  intensitas  rendah  yang  diberikan dalam jangka waktu yang lama tidak mem‐berikan  hasil  yang  signifikan.  Walaupun demikian,  terapi  yang  lebih  intensif sekalipun  diberikan  dalam  jangka  waktu yang pendek, dapat memberikan perbaikan hasil  yang  signifikan.  Implikasi  penelitian ini adalah bahwa terapi afasia intensif yang diberikan selama 2 – 3 bulan sangat penting untuk  memaksimalkan  pemulihan  pada 

afasia. Selain  itu, adanya hubungan antara intensitas  terapi  dengan  pemulihan  pada afasia menjadi langkah yang membutuhkan perhatian  lebih  besar  dalam  penyusunan formulasi  treatment  yang  lebih  tepat. Adapun  jika  terjadi  kegagalan,  menjadi potensi  yang  dipersiapkan  untuk  dikom‐promikan pada hasil akhir individual. 

Berdasarkan  hasil  metaanalisis  diper‐oleh bahwa determinasi intensitas treatment dalam usaha pemulihan bahasa pada afasia adalah  faktor yang menentukan. Diindika‐sikan bahwa terapi yang  intensif sekalipun dalam waktu  yang pendek dapat mening‐katkan hasil pada  terapi bahasa dan bicara bagi pasien afasia. 

Kepustakaan 

*Bakheit,  A.  M.  O.,  Shaw,  S.,  Barret,  L., Wood,  J.,  Griffiths,  S.,  Carrington,  S., Searle,  K.,  &  Kautsi,  F.  (2007).  A prospective,  randomized,  parallel group, controlled study of the effect of intensity  of  speech  and  language therapy  on  early  recovery  from poststroke  aphasia.  Clinical  Rehabili‐tation, 21, 885‐894 

Berthier, M. L.  (2005). Post  stroke aphasia: epidemiology,  pathophysiology,  and treatment. Drugs and Aging, 22  (2): 163 – 82 

Bhogal,  S. K., Teasell, R., &  Speechley, M. (2003).  Intensity  of  aphasia  therapy, impact on recovery. Stroke, 34, 987‐993 

*Breitenstein,  C.,  Kamping,  S.,  Jansen,  A., Schomascher, M., & Knecht,  S.  (2004). Word learning can be achieved without feedback:  Implication  for  aphasia therapy.  Restorative  Neurology  and Neuroscience, 22, 445 – 458 

Brindley,  P.,  Copeland M.,  Demain  C.,  & Martin P.  (1989). A  comparison of  the speech of  ten  chronic Broca’s  aphasics 

Page 100: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA 

JURNAL PSIKOLOGI  47

following  intensive  and  non  intensive periods of  therapy. Aphasiology, 3, 695‐479 

Byng, S., & Black, M. (1995). What makes a therapy?  Some  parameters  of  thera‐peutic  intervention  in  aphasia.  Euro‐pean  Journal  of  Disorders  of  Communi‐cation, 30, 303–316 

Cicerone, K. D., Dahlberg, C., Kalmar, K., Langenbahn,  D.  M.,  Malec,  J.  F., Bergquist, T. F. et al.  (2000). Evidence‐based  cognitive  rehabilitation: Recom‐mendations  for  clinical  practice. Archives  of  Physical  Medicine  and Rehabilitation, 81, 1596‐1615 

Darley,  F.L.  (1982).  Aphasia.  Philadelphia, Pa: WB Saunders. 

*Doesborgh, S. J. C., Sandt‐Koenderman, M. W. E., Dippel, D. W.  J., Harskamp, F., Kaudstaal,  P.  J.,  &  Visch‐Brink,  E.  G. (2003). Effects of semantic treatment on verbal  communication  and  linguistic processing  in  aphasia  after  stroke.  A rondomized  controlled  trial.  Stroke Journal of the American Heart Association, 35, t.pp 

*Doesborgh, S. J. C. (2004). Assessment and treatment  of  linguistic  defisits  in aphasic  patiens,  Thesis,  diakses  di http://pada 04 November 2008 

Enderby,  P.  (1996).  Speech  and  language therapy  ‐does  it work?  British Medical Journal, 321, 1655‐1658 

*Gaiefsky, M.E. (2003). Functional Magnetic Resonance Imaging of Overt Language Production  in  Aphasia  Rehabilitation: The  Contribution  of  The  Language Nondominant  Hemisphere,  Thesis, University of Florida, diakses di http:// pada 17 Juli 2008. 

Greener, J., Enderby, P., & Whurr, R. (2001). Speech  and  language  therapy  for aphasia  following  stroke.  Cochrane Review. Oxford: The Cochrane Library. 

Gresham, G. E., Duncan, P. W., Stason, W. B.,  Adams,  H.  P.,  Adelman,  A.  M., Alexander  D.  N.,  et  al.  (1995).  Post Stroke  Rehabilitaton:  Clinical  Practice Guidelines.  Washington,  DC:  Agency for  Health  Care  Policy  and  Research, Departement  of  Health  and  Human Services, Public Health Services. 

Hartman,  J.,  &  Landau  W.  M.  (1987). Comparison  of  formal  language therapy with supportive counseling for aphasia due to acute vascular accident. Archives of Neurology, 44 (6), 646‐649 

*Hebert,  S.,  Racette,  A.,  Gagnon,  L.,  & Peretz,  I.  (2003).  Revisiting  the  disso‐ciation  between  singing  and  speaking in expressive aphasia, Brain, 126, 1838 – 1850 

Howard, D.,  Patterson, K.  E.,  Franklin,  S., Orchard‐Lisle, V., & Morton,  J.  (1985). The  facilitation  of  picture  naming  in aphasia.  Cognitive  Neuropsychology,  2, 49‐80. 

Hunter,  J.  E.  &  Schmidt,  F.  L.  (1990). Methods  of Meta‐Analysis, Correcting Error  and  Bias  in  Research  Findings. Sage Publications, Newbury Park. 

Kertesz, A.  (1979). Aphasia and Associated Disorders: Taxonomy, Localization and Racovery.  Naw  York:  Grune  and Startton  

Lincoln, N. B., McGuirk, E., Mulley, G. P., Lendrem, W.,  Jones, A. C., & Mitchell, J.  R.  (1984).  Effectiveness  of  speech therapy  for  aphasic  stroke  patients:  a randomised  controlled  trial.  Lancet,  1, 1197–1200 

McNeil, M. R., Doyle, P.  J., Spencer, K. A., Goda, A.  J.,  Flores, D., &  Small,  S.  L. (1997).  A  double‐blind,  placebo‐controlled  study  of  pharmacological and  behavioural  treatment  of  lexical‐semantic  deficits  in  aphasia.  Apha‐siology, 11, 385‐400 

Page 101: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

DACHRUD 

JURNAL PSIKOLOGI 48 

*Meinzer,  M.,  Djundja,  D.,  Barthel,  G., Elbert, T., & Rockstroh, B. (2005). Long‐Term  stability  of  improved  language Functions  in  chronic  aphasia  after constraint‐induced  aphasia  therapy. Stroke  Journal  of  the  American  Hearth Association, 36, 1462 – 1466 

Miceli,  G.,  Amitrano,  A.,  Capasso,  R.,  & Caramazza, A. (1996). The treatment of anomia  resulting  from  output  lexical damage: Analysis of two cases. Brain & Language, 52, 150‐174 

Mitchum,  C.  C.  (1994).  Traditional  and contemporary  views  of  aphasia: Implication  for  clinical  management. Topics in Stroke Rehabilitation, 1, 14–36 

Nadeau,  S.,  Rothi,  L.  J. G., &  Crosson,  B. (2000).  Preface.  In  S. Nadeau,  L.  J. G. Rothi, & B. Crosson (Eds.), Aphasia and language: Theory  to  practice. New York: Guilford Press.  

Nettleton, J. & Lesser, R. (1991). Therapy for naming  difficulties  in  aphasia:  appli‐cation  of  a  cognitive  neuropsycholo‐gical model.  Journal  of Neurolinguistics, 6, 139‐159 

Orange,  J. B., & Kertesz A.  (1998). Efficacy of  language  therapy  for  aphasia.  In: Physical  Medicine  and  Rehabilitation: State  of  the  Art  Reviews.  Philadelphia, Pa: Hanley‐Belfus, Inc. 

Prins, R. S., Schoonen, R., & Vermeulen,  J. (1989).  Efficacy  of  two  different  types of  speech  therapy  for  aphasic  stroke patients.  Applied  Psycholinguistics,  10, 85‐123 

Poeck, K., Huber W., & Willmes K.  (1989). Outcome  of  intensive  language  treat‐ment  in  aphasia.  Journal  Speech  Hear Disorder, 54, 471–479  

Pulvermuller,  F., Neininger,  B.,  Elbert,  T., Mohr, B., Rockstroh, B., Koebbel, P., & Taub, E. Constraint‐induced therapy of chronic  aphasia  after  stroke.  (2001). 

Stroke  Journal  of  the  American  Heart Association, 32, 1621 – 1626* 

*Racette,  A.,  Bard,  C.,  &  Peretz,  I.  (2006). Making  non‐fluent  aphasics  speak: Sing along! Brain, 129, 2571 – 2584 

*Raymer, A. M., & Kohen, F. (2006). Word‐retrieval  treatment  in  aphasia:  Effects of  sentences  context.  Journal  of Rehabilitation  Research  &  Development, 43, 3: 367 – 378  

Raymer, A. M., Thompson, C. K., Jacobs, B., &  le Grand, H. R.  (1993). Phonological treatment  of  naming  deficits  in aphasia:  model‐based  generalization analysis. Aphasiology, 7, 27‐53 

Robey, R. R. (1994). The efficacy of treatment for  aphasic  persons:  a  meta  analysis. Brain and Language, 47, 582–608 

Robey,  R.  R.  &  Schultz,  M.  C.  (1998).  A model  for conducting clinical outcome research:  An  adaptation  of  the standard  protocol  for  use  in aphasiology. Aphasiology, 12, 787‐810 

Shewan, C. M., & Kertesz, A. (1984). Effects of  speech  and  language  treatment  on recovery  from  aphasia. Brain Lang,  23, 272–299 

Siguröardóttir, G. Z., & Sighvatsson, B. M. (2006).  Operant  conditioning  and errorless  learning  procedures  in  the treatment  of  chronic  aphasia. International  Journal  of  Psychology,  41 (6), 527–540 

Teasell, R., Doherty D., Speechley M., Foley N.,  and  Bhogal  S.K.  (2002).  Evidence‐based  review  of  stroke  rehabilitation. Heart  and  Stroke  Foundation Ontario and Ministry of Health and Long‐Term Care of Ontario. 

Van  Harskamp,  F.  &  Visch‐Brink,  E.  G. (1998).  Evaluatie  van  het  effect  van taaltherapie  bij  afatische  patiënten. 

Page 102: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA 

JURNAL PSIKOLOGI  49

Stem‐,  Spraak‐  en Taalpathologie,  7,  213‐232 

Wade, D.T., Legh‐Smith,  J., & Hewer, R.A. (1987). Depressed mood after stroke: A community study of  its  frequency. The British Journal of Psychiatry, 151, 200‐205 

Wertz,  R.  T., Weiss, D. G.,  Brookshire,  R. H.,  Aten,  J.  L.,  Garcia‐Bunuel,  L., Holland, A. L., Kurtzke,  J.F., LaPointe, L.  L.,  Milianti,  F.  J.,  Brannegan,  R., Greenbaum, H., Marshall, R. C., Vogel, D.,  Carter,  J.,  Barnes,  N.  S.,  & Goodman,  R.  (1986).  Comparison  of clinic,  home,  and  deferred  language 

treatment  for  aphasia.  Archives  of Neurology, 43 (7), 653‐658 

*Wambaugh,  J.  L., &  Ferguson, M.  (2007). Aplication of semantic  feature analysis to retrieval of action names in aphasia. Journal  of  Rehabilitation  Research  & Development, 44, 3: 381 – 394 

Whurr, R., Lorch, M. P., & Nye, C. (1992). A meta‐analysis  of  studies  carried  out between 1946 and 1988 concerned with the  efficacy  of  speech  and  language therapy  treatment  for aphasic patients. European  Journal  of  Disorders  of Communication, 27, 1‐17. 

 

Keterangan 

Tanda (*) : jurnal yang digunakan untuk studi metaanalisis 

Page 103: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

Neural Substrates of Spoken Language Rehabilitationin an Aphasic Patient: An fMRI Study

A. Leger, J-F. Demonet, S. Ruff, B. Aithamon, B. Touyeras, M. Puel, K. Boulanouar, and D. CardebatINSERM U 455 and Department of Neurology, CHU Purpan, Toulouse, France

Received October 23, 2002

Little is known about the neural counterparts ofspeech therapy in aphasic patients. An fMRI experi-ment was performed before and after a specific andintensive speech output therapy in RC, a patient withlong-lasting speech output deficit following a left-sided ischemic lesion. Overt picture naming and pic-ture/word rhyming were used as activation tasks inRC and 6 control subjects. The naming task concernedthe output lexicon deficit to be rehabilitated whilerhyming referred to preserved levels of processingand was used to control for repetition effect. Thespeech therapy program improved naming perfor-mance. By comparison to the pattern observed beforetherapy, the naming task after therapy induced a pat-tern of activation close to that observed in controlsubjects, involving left-sided language areas sur-rounding the lesion. Speech therapy effect was associ-ated with activations in Broca’s area and the left su-pra-marginal gyrus, which might reflect a therapy-induced phonological compensatory strategy fornaming. © 2002 Elsevier Science (USA)

INTRODUCTION

Aphasia following stroke generally evolves sponta-neously toward some degree of recovery, despite per-sistent brain damage. Several neuroimaging studiessought to evidence neural patterns related to sponta-neous recovery from aphasia. A crucial issue regardswhether language improvement is sustained by the lefthemisphere zones spared by the lesion or by recruit-ment of homologous right hemisphere regions. Indeed,some activation studies showed that spared perile-sional regions of the left hemisphere were the mainsubstrate of recovery mechanisms (Heiss et al., 1999;Warburton et al., 1999) whereas an involvement of theright hemisphere has been interpreted as a compensa-tory shift of function to homologous right-sided terri-tories by other authors (Buckner et al., 1996; Cardebatet al., 1994; Ohyama et al., 1996; Thulborn et al., 1999;Weiller et al., 1995). Such a discrepancy across studiesis probably related to the heterogeneity of patients in

terms of lesion localization, cognitive deficits, and ac-tivation tasks.

Remediation by speech therapy can help spontane-ous recovery of language in aphasic patients (Robey,1994; Holland et al., 1996), even at the chronic stage(Elman and Bernstein-Ellis, 1999; Katz and Wertz,1997) especially when an intensive training program isused (Pulvermuller et al., 2001). Contradictory resultscame from the very few studies of therapy-inducedneurofunctional changes in aphasic patients. For in-stance left-sided activations were reported by Belin etal. (1996) and Small et al. (1998) in patients who ben-efited from Melodic Intonation Therapy or a phonolog-ical training of reading aloud, respectively. On theother hand, Musso et al. (1999) demonstrated a corre-lation between increased activity in the right temporalcortex and comprehension scores, in Wernicke-type pa-tients undergoing a brief and intensive training of com-prehension between scanning sessions. Similarly, atherapy program devoted to sentence processing wasassociated with changes in the right hemisphere dur-ing a sentence-picture matching task, in a patient de-scribed by Thompson (2000). On the whole, these fewresults suggested that remediation might elicit activa-tion in the right hemisphere whereas the left hemi-sphere would be recruited when speech output wasrequired.

Although group studies, when lesion and neuropsy-chological profile are controlled, offer a good context forevaluating the physiological changes associated withthe language improvement induced by therapy, singlecase studies should be interesting as well, as bothremediation program and activation tasks can be spe-cifically set up. In the present study, we report the caseof an aphasic patient presenting a massive speech out-put deficit in whom we conducted a specific languagetherapy devoted to output lexicon rehabilitation. AnfMRI experiment including two lexical activation taskswas performed before and after therapy. In order toassess the specificity of therapy-induced brain reorga-nization, one of these tasks concerned preserved levelsof processing while the other focused on the speech

NeuroImage 17, 174–183 (2002)doi:10.1006/nimg.2002.1238

1741053-8119/02 $35.00© 2002 Elsevier Science (USA)All rights reserved.

Page 104: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

output deficit to be rehabilitated. fMRI data from thepatient were compared to those from 6 healthy volun-teers who performed the same functional neuroimag-ing experiment.

We hypothesized that activation in left perilesionalareas would parallel performance improvement inspeech output after intensive language therapy.

CASE HISTORY

RC, a highly educated 42-year-old right-handedman, has suffered from a left middle cerebral arteryinfarct on April 1998, after a spontaneous dissection ofthe left internal carotid. Initially, he presented a righthemiplegia, which disappeared in a few weeks, and asevere mixed aphasia that persisted 6 months later.The present study was carried out 2 years poststroke.

Structural MRI (see Fig. 1), performed in 2000, dis-closed a left hemispheric lesion in the superficial ter-ritory of the middle cerebral artery. According to theatlases from Talairach and Tournoux (1988) and Du-vernoy (1992), the lesion involved the posterior half ofthe insular cortex, and the posterior two-thirds of thesuperior temporal gyrus (T1) sparing the Heschl’s gy-rus. The lesion spread to the parietal opercule and theinferior part of the supra-marginal gyrus. Cortical at-rophy was observed in the middle part of the precentralgyrus.

A general neuropsychological assessment revealedno buccofacial apraxia, agnosic, or apraxic problems.Auditory verbal short-term memory, tested by pointingto written items because of the repetition deficit, wasseverely impaired (digit span: 3 forward and 2 back-ward). Visual and long-term memories were spared.

The language assessment evidenced the followingpattern. RC’s spontaneous speech was effortful anddisplayed severe phonemic distortions leading to un-intelligible fragments with conduites d’approche, im-poverished use of morphological and syntactic struc-tures, and some word-finding difficulties. These symp-toms were evidenced by poor performance on word andpseudo-word repetition, reading aloud, and oral-nam-ing tasks. All errors consisted in phonemic paraphasiasthat coexisted with an effortful and hesitating speechoutput. The patient seemed to seek for the correctarticulatory gestures to be combined to achieve oralproduction tasks.

By comparison to the massive deficit observed inactual speech output tasks, performance was normalon comprehension tasks involving semantic-lexicalprocessing or access to the output lexicon without vo-calization. For example, he scored 18/24 in a task inwhich he was asked to match two pictures of homony-mous items among distracters (e.g., “renne” -reindeer-and “reine” -queen-). Although he made occasional er-rors, his performance on a picture/word rhyming task

was remarkably close to the normal range. A similarpattern was found in writing tasks.

In summary, RC presented a severe expressive apha-sia reflected by his impaired spoken and written lan-guage production with a relative sparing of semantic-lexical processing and access to the phonologicallexicon. Together with impaired phonemic representa-tions, severe auditory verbal short-term memory im-pairment could contribute to RC’s disability in produc-ing the correct syllable sequence involved in a word.

The patient was proposed a customized speech ther-apy program lasting 6 weeks with 6 sessions per week,1-h per day, which focused on speech output processes.The method was based on visual memory, spared inRC, in order to teach him how to combine and producethe phonemes to be articulated during word produc-tion. The patient was trained to memorize “by heart”drawings showing the articulatory gestures associatedwith the syllables of the 30 words that constituted thematerial of the fMRI experiment. Various oral produc-tion tasks such as repetition, reading aloud, or picturenaming were used for training. It should be noted thatrhyming tasks were not worked out during therapy.

MATERIALS AND METHODS

Subjects

RC underwent two fMRI sessions, the first one beforethe beginning of therapy (Session 1: S1), and the sec-ond one at the end of the therapeutic program (Session2: S2).

Six healthy right-handed volunteers (5 men and 1woman, mean age 52.2 years), matched for educationlevel, were recruited as control subjects. Control sub-jects had no history of neurological or psychiatric ill-ness. fMRI experiment was performed only once for thecontrol subjects.

All control subjects and RC gave informed consent toparticipate in the study and the local ethics committeeapproved the study.

Stimuli, Experimental Design, and fMRI Procedure

Stimuli were (i) a set of 60 black and white linedrawings of familiar objects or animals taken from theSnodgrass and Vanderwart corpus (1980) and (ii) a setof 60 French written frequent words typed in 40-pointGeneva font. All the words were nouns that ranged inlength from 5 to 8 letters. These stimuli were includedunder two activation conditions.

The first one was an overt picture-naming task in-cluding the 60 pictures, half of them being used in thetherapy program as training material. Subjects wereinstructed to name the pictures overtly but to avoidhead movements while whispering responses.

In the second condition, the same stimuli were usedin a picture/written noun rhyming task. Subjects were

175SPEECH THERAPY AND fMRI IN AN APHASIC PATIENT

Page 105: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

FIG. 1. An illustration of the anatomy of RC’s cerebral infarct. In the top row, RC’s brain visualized in a three-dimensional rendering ofthe cortical surface obtained from structural MRI data. RC’s lesion is shown in red. In the lower rows, MRI axial contiguous slices(thickness � 1.2 mm) parallel to the bicommissural plane (slice 0) in RC (left hemisphere shown on right) indicate the depth of the lesion.RC’s lesion involves, in the left hemisphere, the posterior half part of the insula, the posterior two-thirds of the superior temporal gyrus, theparietal opercule, and the inferior part of the supra-marginal gyrus and spares the Heschl’s gyrus. On slice 30 and above, a limited atrophyis in the precentral gyrus.

176

Page 106: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

asked to say, “Yes” or “No” if the written word dis-played below the picture rhymed (e.g., picture of achicken with the word “children”) or not (e.g., picture ofknife with the word “hat”) with the name of the de-picted object. Rhyming (15 items) and nonrhyming (15items) trials were presented randomly. The rhymingtask that included the same lexical items as the nam-ing task was purposefully selected as control task fortwo reasons. First it shared many cognitive compo-nents with naming insofar as subjects had to retrievethe phonological form of the object, but without plan-ning and producing the syllabic series involved in spo-ken words. Second, and most importantly, the patientperformed at normal level on the rhyming taskwhereas performance on naming was known to be poorbefore therapy.

The fMRI procedure alternated Naming or Rhymingwith rest periods in a block design with 4 runs (Namingtask, run 1 and run 3, and Rhyming task, run 2 andrun 4). The duration of each block was 30 s and 1 runconsisted in a succession of 12 blocks alternating acti-vation with rest (during which a gray screen was pre-

sented). In the activation conditions, 5 stimuli perblock were centrally delivered via special goggles (Res-onance Tech., Northridge, CA) during 4 s with an in-tersequence interval (gray screen) of 2 s.

Responses were transmitted thanks to a microphoneand recorded by the examiner.

Imaging

MRI was performed on a 1.5-T scanner (SiemensVision, Erlangen, Germany) equipped for echo-planarimaging (EPI). A 3D high-resolution T1-weighted dataset of the whole brain (3D MPRAGE; 3D magnetizationprepared rapid acquisition gradient echo) was acquiredfor each subject (128 slices, TR � 15 ms, TE � 7 ms, flipangle � 12°, FOV � 30 cm, matrix � 256 � 256, voxelsize � 1.17 � 1.17 � 1 mm3). After sagittal localizationimages, 10 contiguous, 5-mm-thick, axial anatomic im-ages were obtained parallel to the intercommissuralplane (from z � �10 mm to z � �35 mm).

For functional MR imaging studies, blood oxygenlevel-dependent (BOLD) imaging was performed using

FIG. 2. A rendering showing the regions activated for (1) the Naming task and (2) the Rhyming task of (a) the control group, (b) RC beforethe speech therapy, and (c) RC after the speech therapy. The activated areas are projected onto a template of a standard MNI brain for thecontrol group (all areas shown were significant at P � 0.05, uncorrected for multiple comparisons and k extent � 50) and for RC, onto atemplate of RC’s anatomical MRI scan (all areas shown were significant at P � 0.05, corrected for multiple comparisons and k extent � 50).

177SPEECH THERAPY AND fMRI IN AN APHASIC PATIENT

Page 107: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

a T2*-weighted single-shot EPI sequence (TE � 64 ms,flip angle � 90°, FOV � 22 cm, 128 � 128 matrix, TR �2.95 s, 5-mm slice thickness). Each scanning run (6min each, 6 blocks of activation, and 6 blocks of rest)thus comprises 120 image volumes (10 volumes perblock of activation and 10 volumes per block of rest,except for the first block of rest which was discarded toallow for T1 stabilization and dissipation of gradient-induced auditory cortical activation).

Functional MR Image Postprocessing

Image analysis was carried out on a SPARC work-station (Sun Microsystems, Surrey, UK) using interac-tive image display software (Analyze, Biodynamics Re-search Unit, Mayo Clinic, Rochester, MN), Matlab(Math Works Inc., Natick, MA), and SPM99 software(Wellcome Department of Cognitive Neurology, Lon-don, UK).

EPI images were normalized into Talairach’s spaceusing affine transformations (translations and zoomsin x and y axes), realigned, and smoothed using aGaussian filter (FWHM 6-6-6 mm).

The statistical analysis involved the following steps:

(i) Individual analyses were performed on each ofthe 6 control subjects and RC for both sessions, using ahemodynamic response function modeled by a bimodalcurve. “Main Contrasts” (Activation minus rest) forNaming and Rhyming tasks were calculated in thecontrol group on the one hand and in RC for eachsession on the other hand. For the control group, anal-yses were performed using a “random-effect” model(Holmes and Friston, 1998).

(ii) To explore common activations in control sub-jects and RC for the Main Contrasts, group analysesthat involved the control subjects and RC were per-formed by using one-sample t tests and the random-effect model. These analyses concerned, on the onehand, RC before therapy (S1) and RC after therapy(S2), on the other hand. The threshold was set up atP � 0.05 for peak height, uncorrected for multiplecomparisons, with spatial extent k � 50.

(iii) Similarities and differences between sessions 1and 2 in RC were studied by conjunction and interac-tion analyses using Main Contrasts (activation minusrest) for Naming and Rhyming tasks.

Areas activated by RC in Session 2 but not in Session1 were identified by compound contrasts as follows[(Activation-Rest)RCS2 � (Activation-Rest)RCS1] � 0. Aninclusive mask (with [Activation-Rest]RCS1 � 0) wasused to avoid the selection of significant voxels due todeactivations (threshold mask P � 0.5). The same pro-cedure was used to obtain the inverse contrast. Statis-tical threshold for activated clusters was set at P �0.05 (corrected for multiple comparisons) for peakheight and k � 50 for cluster extent, unless otherwise

specified. Speech-therapy effects were assessed by con-trasting Naming at the two sessions ([(ActivationNaming-Rest)RCS2 � (ActivationNaming-Rest)RCS1] � 0), with aninclusive mask (P � 0.5) corresponding to a conjunc-tion of [ActivationNaming-Rest]RCS1 � 0 and [(Activa-tionRhymingg� Rest)RCS2 � (ActivationRhyming-Rest)RCS1] � 0.This contrast was thresholded with P � 0.05 (correctedfor multiple comparisons) for peak height and k � 15for the cluster extent.

RESULTS

Behavioral Results

The mean accuracy in the 6 control subjects was94.6% for the Naming task and 94.5% for the Rhymingtask. These results suggest that the level of difficultyfor the subjects was the same in both tasks.

As expected, RC’s performance for the Rhyming taskdid not differ significantly from the normal subjects(RC’s hit rate was 91.7% at S1 and 95% at S2).

On the Naming task, at Session 1, RC scored iden-tically (6 correct/30) for trained and untrained items;however, the patient gave tentative responses to anyitem. At Session 2, a statistically significant improve-ment of performance was observed on naming for bothtrained (19/30) (�2 corrected test � 9.87, P � 0.05) anduntrained items (15/30) (�2 corrected test � 4.8, P �0.05). Correct responses at Session 2 included all thecorrect responses produced at Session 1.

Improved naming scores were also noted for itemsnot belonging to the therapy protocol, like those fromthe DO80 battery (Deloche et al., 1997). Before thetherapy and fMRI protocol, naming impairment wasnoted as stable (13 correct/80 on DO80 in March 1999and 15 correct/80 in January 2000). By contrast, afterthe therapy program, RC’s hit rate increased signifi-cantly (33 correct/80, �2 � 25.64, P � 0.05).

In sum improvement of naming performance was notobserved for the trained items only and a general pos-itive effect, even for external material, was found.fMRI contrasts combined therefore data acquired forboth trained and untrained naming stimuli.

fMRI Data

Naming Versus Rest and Rhyming Versus Rest

Control group (see Fig. 2). Activation patterns fornaming included the thalamus bilaterally. Areas acti-vated unilaterally were the left inferior frontal gyrus(BAs 44 and 46), the left insular cortex, the left junc-tion of the middle temporal gyrus, and the middleoccipital gyrus (BA 19), the left inferior temporal gyrus(BA 37), the left posterior superior temporal gyrus (BA42, 22), the left visual association areas (BA 19), andthe right inferior frontal gyrus (BA 44).

178 LEGER ET AL.

Page 108: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

For Rhyming, activations were found bilaterally inthe frontal opercula (BA 44). Areas activated unilater-ally were the left supra-marginal gyrus (BA 40), leftinferior temporal gyrus (BA 37, 19), left hippocampus,left thalamus, the right insular cortex, and the rightvisual association areas (BA 18).

RC at Session 1 (see Fig. 2). For Naming, activa-tions were located in the left inferior frontal gyrus (BA44, 45), left cingular cortex (BA 24), the right superiortemporal gyrus (BA 22), right supra-marginal gyrus(BA 40), and left and right visual association areas (BA18, 19).

For Rhyming, activations showed a bilateral patternincluding the frontal opercula (BA 44, 45, 46), theprecentral gyri (BA 6), and the visual association cor-tices (BA 18, 19) in addition to the left inferior tempo-ral cortex (BA 37), the right angular gyrus (BA 39), andthe right insular cortex.

RC at Session 2 (see Fig. 2). For Naming, maincontrast showed activations in the insular cortex, thesuperior temporal area (BA 22), and the supra-mar-ginal gyrus (BA 40) and in the association visual cortex(BA 18) bilaterally. Activations restricted to the lefthemisphere were found in Broca’s area (BA 44) and thethalamus.

For Rhyming, activations were located in the leftfrontal operculum (BA 44), left inferior temporal gyrus(BA 37), and left supra-marginal gyrus (BA 40) and inthe right insular cortex, the right angular gyrus (BA39), and right association visual areas (BA 18).

Common Activations for Control Group and RCbefore Therapy

Naming (see Table 1). Common activations for Con-trol group and RCS1 were found in the left frontaloperculum (BA 44), the spared portion of the left supe-rior temporal gyrus (BA 42), the right insular cortex,and the thalamus bilaterally.

Rhyming (see Table 1). Common activations forControl group and RCs1 were found in left inferiorfrontal lobe (BA 44–45), left association visual area(BA 18), and right insular cortex.

Common Activations for Control Group and RCafter Therapy

Naming (see Table 1). Areas that were activated byControl subjects and RCS2 revealed significant activa-tions in the left thalamus, the left insular cortex, theleft frontal operculum (BA 44), the spared portion of

TABLE 1

Common Activations for Control Group and RC in (a) Naming and (b) Rhyming Tasks: Stereotaxic Coordinates, Z Values,and Corresponding Brodmann Areas (BAs) for Regions Significantly Activated at Session 1 (S1) and Session 2 (S2)

Regions

S1 S2

BA (k) x y z Z BA (k) x y z Z

(a). Common activations for control group and RC in naming

Left inferior frontal BA 44 (528) �42 10 25 3.51 BA 44 (490) �42 12 25 3.76Left insula (290) �50 0 5 3.01Right insula (94) 32 10 10 3.30 (204) 50 6 10 3.40Left superior temporal BA 42 (105) �50 �22 10 3.50 BA 42 (111) �50 �24 10 3.41Left middle occipital BA19 BA19 (91) �46 �56 �5 3.13Left thalamus (160) �14 �20 15 4.10 (189) �14 �20 15 3.90Right thalamus (494) 28 18 10 3.40

(b). Common activations for control group and RC in Rhyming

Left inferior frontal BA 44 (512) �42 24 10 3.70 BA 44 (426) �46 14 25 3.98BA 45 (212) �42 14 25 3.38

Right inferior frontal BA 46 (206) 42 28 20 2.93Right insula (299) 40 18 15 3.05 (106) 36 10 0 2.67Left supra-marginalis BA 40 (111) �44 �42 30 2.89Left inferior parietal BA 40 (61) �54 �48 25 2.27Left middle occipital BA 19 (54) �30 �76 5 2.66Left inferior occipital BA 18 (64) �38 �72 �5 2.52 BA 18 (65) �42 �68 0 3.08Right lingual BA 18 (142) 32 �80 �5 3.71Left thalamus (98) �4 �22 10 3.12Right thalamus (60) 2 �34 5 3.69

Note. Coordinates are given in order x, y, z according to the atlas of Talairach and Tournoux (1988). The Z score is in italics and the voxelextent k is in bracket. The Z scores presented in this table are the mean Z scores of a cluster. Thresholds were P � 0.05 for peak height(uncorrected for multiple comparisons) and k � 50 for spatial extent.

179SPEECH THERAPY AND fMRI IN AN APHASIC PATIENT

Page 109: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

the left superior temporal gyrus (BA 42), and the leftassociation visual cortex (BA 19) as well as the rightinsular cortex.

Rhyming (see Table 1). RCS2 and Control subjectsactivated in common bilaterally the inferior frontalgyrus (BA 44–46), the association visual areas (BA18–19), and the thalamus, in addition to the superiorpart of the left supra-marginal gyrus (BA 40), the leftinferior parietal lobule (BA 40), and the right insularcortex.

Comparison between RCS2 and RCS1

Naming (see Table 2). Common activations for RCat Sessions 2 and 1 were found in the superior tempo-ral gyrus (BA 22) bilaterally, the left inferior frontalgyrus (BA 44), the left precentral gyrus (BA 6), and theright insular cortex.

Regions activated by RC at Session 2 but not atSession 1 were found in the left inferior frontal gyrus(BA 44) and in the superior part of the left supra-marginal gyrus (BA 40).

Conversely, areas activated by RC at Session 1 butnot at Session 2 were located in the upper part of theleft precentral gyrus (BA 6), and in the right associa-tion visual areas (BA 18).

Rhyming (see Table 2). Common activations be-tween RCS1 and RCS2 were found mainly in the inferiorfrontal cortex (BA 46) and in the precentral gyrus (BA 6)bilaterally, and in the junction between the right angulargyrus and the superior occipital gyrus (BA 39/19).

No difference was found in terms of areas signifi-cantly activated by RC at S2 but not at S1. The oppo-site contrast, revealing areas activated by RC at S1 butnot at S2, showed activations in the left precentralgyrus (BA 6), and bilaterally in the association visualareas (left BA 19, right BA 18, and right BA 31).

Speech-Therapy Effect. As noted under Materialsand Methods, speech-therapy effects were assessed bycontrasting Naming at the two sessions (NamingS2 �NamingS1 � 0), with an inclusive mask (P � 0.5)corresponding to a conjunction of NamingS1 � 0 andRhymingS2 � RhymingS1 � 0 in order to prevent foreffects of deactivations in Naming and account for apossible task repetition. Analysis demonstrated speech-therapy-induced activations in the superior posteriorpart of the left supra-marginal gyrus (BA 40) (k ex-tent � 18; coordinates x � �34, y � �44, z � 35; zscore � 6.51) and in the upper part of Broca’s area (BA44) (k extent � 28; coordinates: x � �50, y � 8, z � 25;z score � 6.07)

TABLE 2

Comparison between RC after Therapy (RCS2) and RC before Therapy (RCS1): Stereotaxic Coordinates, Z scores, andCorresponding Brodmann Areas (BAs) for Regions Activated Significantly in (a) RC before (RCS1) and after Therapy (RCS2);(b) RCS2 but Not RCS1; (c) RCS1 but Not RCS2 in Naming and Rhyming Tasks

Regions activated

Naming Rhyming

BA (k) x y z Z BA (k) x y z Z

(a) Common activations for RCS2 and RCS1

Left inferior frontal BA 44 (84) �48 10 15 8.24 BA 46 (116) �36 24 25 7.58Right inferior frontal BA 46 (65) 38 28 20 6.10Left precentral BA 6 (124) �54 0 15 8.65 BA 6 (216) �54 �2 15 8.58Right precentral BA 6 (328) 44 �6 25 8.40Right insula BA19 (209) 52 4 5 8.35Left superior temporal BA 22 (60) �32 �40 15 6.33Right superior temporal BA 22 (409) 52 �48 15 9.17Right angular/superior BA (99) 28 �60 30 8.82Occipital 39/19

(b) RCS2 but not RCS1

Left inferior frontal BA 44 (30) �50 8 25 6.07Left supra-marginalis BA 40 (27) �36 �46 35 7.80

(c) RCS1 but not RCS1

Left precentral BA 6 (33) �52 0 30 9.38 BA 6 (32) �48 �2 30 6.74Left middle occipital BA 19 (37) �34 �80 10 6.44Right lingual BA 18 (32) 18 �68 5 5.97 BA 18 (28) 6 �70 0 7.65Right cuneus BA 31 (120) 20 �76 10 8.72

Note. Coordinates are given in order x, y, z according to the atlas of Talairach and Tournoux (1988). The Z score is in italics and the voxelextent k is in bracket. The Z scores presented in this table are the mean Z scores of a cluster. Thresholds were P � 0.05 for peak height(corrected for multiple comparisons) and k � 50 for spatial extent for (a) and k � 15 for (b), (c), and (d).

180 LEGER ET AL.

Page 110: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

DISCUSSION

The purpose of this study was to investigate in anaphasic patient the neurofunctional changes that ac-company behavioral modifications after a languagetherapy, specifically devoted to speech output process-ing, even 2 years after stroke onset. We hypothesizedthat speech output improvement would be associatedwith peri-infarct activity in the left hemisphere.

Aphasia Features and Speech Therapy Effects

The major speech output deficit with phonemic er-rors, the severe deficit of auditory verbal workingmemory, and the sparing of word comprehension are inagreement with conduction aphasia profile (Goodglass,1992). But, at variance with typical features of conduc-tion aphasia, RC speech output appears unstable, ef-fortful, and hesitating when attempting to repeatwords. This speech output deficit could be compatiblewith a clinical profile of apraxia of speech (Hardcastle,1987; Kent and Rosenbek, 1983). A recent study byWise et al. (2001) emphasized the role of the left pari-eto-temporal junction, deep within the lateral sulcus,in speech production, and the infarction of this regionin our patient could account for the speech productiondeficit we observed.

RC’s deficit seemed to concern mainly planning andarticulation of the syllable series that constitute spo-ken words. The speech therapy program performed inthis study focused on this deficit and was based on themethods used for remediation of apraxia of speech(Pannbacker, 1988; Wambaugh et al., 1998). This pro-gram induced a significant improvement not only fortrained items but also for nontrained stimuli, suggest-ing a general beneficial effect. Moreover, this positivetherapeutic effect remained very stable with time,since 1 year after this experiment, RC obtained thesame scores in the Naming tests.

Functional Neuroimaging Results

In control subjects the brain regions activated duringthe picture-naming task involved a large pattern in-cluding mainly left frontal, insular, and temporal/oc-cipital areas in addition to the right inferior frontalcortex and to the left and right thalami and are con-sistent with many prior studies (Sergent et al., 1992;Bookheimer et al., 1995; Kosslyn et al., 1995; Damasioet al., 1996; Martin et al., 1996; Menard et al., 1996;Moore and Price, 1999; Murtha et al., 1996; Murtha etal., 1999).

Considering the Rhyming task, there are many sim-ilarities between the regions activated by normal sub-jects in our study, and those described in other fMRIstudies using the silent Rhyming task (Kareken et al.,2000; Lurito et al., 2000). These studies have shownbilateral but predominantly left-sided peri-sylvian ac-

tivations, particularly in Broca’s area (BA 44–45) andsupra-marginal gyrus (BA 40).

Activations for rhyming in RC are readily compara-ble to those found in control subjects since the patient’sperformance was normal and stable between sessions.Two main findings emerged from these results.

Despite close to ceiling performance on both ses-sions, the activation pattern observed after therapy inRC did not remain stable as a decrease of activity wasnoted at S2 compared to S1 in frontal areas bilaterallyand right temporo-occipital areas. This finding mightcorrespond to a test-retest effect that has been shownto induce diminished activations following practice, innormal subjects and in several experimental circum-stances (e.g., Raichle et al., 1994; Carel et al., 2000). Inthe present study it is difficult to reach a definiteconclusion on this matter, as we did not assess test-retest effects in the control subjects.

Moreover, the rhyming pattern of activation in RC atS2 tended to resemble that observed in normal subjectsas the number of regions that are activated in commonby RC and control subjects increased. In particular, acommon activation was found in the (spared) superiorpart of the left supra-marginal gyrus. The role of thisregion for phonological processing in control subjectshas been emphasized in several studies (Demonet etal., 1996; Paulesu et al., 1993; Salmon, 1996; Schuma-cher, 1996). Since RC showed normal performance onthis task even at Session 1, one may speculate that theleft supra-marginal gyrus, at least its inferior part, wasnot necessary to this Rhyming task for the patient(Price et al., 1999). Nevertheless improvement of nam-ing after speech therapy might have eased the Rhym-ing task for RC who could resort to less effortful strat-egies possibly associated with close-to-normal patternof activation.

For Naming, the neuro-functional results in RC lendsupport to the already noted hypothesis of a key rolefor left peri-lesional areas in the mechanisms of recov-ery from aphasia. Indeed, after therapy the “Naming–rest” contrast revealed that, in addition to frontal andtemporal regions activated before therapy, left-sidedregions surrounding the lesion became activated,namely the anterior insular cortex, the middle portionof the superior temporal gyrus, the superior part of thesupra-marginal gyrus.

The left anterior insula has been implicated inspeech production and planning both in lesion studies(Dronkers, 1996) and in functional neuro-imagingstudies (Wise et al., 1999) and this region might play arole in our experiment as speech therapy in RC en-hanced articulatory planning in speech production.The activation found in the superior temporal gyrus, aregion adjacent to the posterior part of the damagedtissues, is congruent with previous reports on goodrecovery associated with sparing of this region (Selneset al., 1985; Naeser et al., 1987, 1990; Heiss et al.,

181SPEECH THERAPY AND fMRI IN AN APHASIC PATIENT

Page 111: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

1999). Nevertheless, activation in homologous righttemporal regions was also observed in RC in both ses-sions. The role of the right hemisphere in aphasic pa-tients while recovering has long been underlined anddiscussed. Its impact may vary across time (Knopmanet al., 1983) and language functions (Musso et al.,1999). In the present study, the activity in the righttemporal cortex does not seem essential for recovery ofNaming as it was present on the first session associ-ated with poor performance. However a complete right-to-left functional shift was not observed even aftertherapeutic performance improvement and this incom-plete shift in RC might correspond to an unachievedlanguage recovery (Belin et al., 1996).

Among the left-sided set of regions activated in Nam-ing after therapy, the comparison for Naming betweenthe two sessions in RC evidenced the importance of theupper parts of Broca’s area and left supra-marginalgyrus since these regions remained activated evenwhen possible repetition effects were taken into ac-count. By comparison to activation seen before therapyin Broca’s area, activation in this region after therapyspread toward the upper part of pars opercularis whichmight be associated with sublexical output processing(Paulesu et al., 1997). The left supra-marginal gyruswas found activated for Naming only in RC after ther-apy and it is noticeable that the parietal region doesnot belong to the normal neuro-functional pattern forNaming tasks as shown by the present study as well asmost of studies analyzed by Murtha et al. (1999). To-gether with Broca’s area, the left supra-marginal gyrushas long been associated with phonological processingand phonological working memory. More specifically ameta-analysis from Demonet and colleagues (1996)emphasized the role of the supra-marginal gyrus inphonological storage whereas the superior part of Bro-ca’s area was linked to verbal rehearsal for tasks re-quiring phonological awareness and involving verbalworking memory. The speech therapy program used inRC purposefully resorted to enhancement of phonolog-ical and articulatory awareness and the specific acti-vations of Broca’ s area and left supra-marginal gyrusare likely to reflect the reinforcement of phonologicalstrategies in RC while Naming.

In conclusion this study reflects changes in left-sidedcortical activity associated with language output im-provement after intensive speech therapy at a latestage. At variance with studies showing enlargementof cortical representations in the sensorimotor cortexin studies of motor recovery (Chollet, 2000), the acti-vation pattern observed during Naming after therapyin RC does not recruit the same network as that ob-served in control subjects. As already noted, a limita-tion of this study is the absence of test-retest assess-ment in control subjects. However, this effect generallyconsists of decreases of activation whereas the therapyeffect in RC is associated with alterations of activation

patterns including an increase of activity in some re-gions. Such altered patterns might correspond to theinfluence of the sublexical, phonological strategy thathas been implemented by a dedicated program ofspeech therapy.

ACKNOWLEDGMENTS

We thank Patrice Peran and Sandra Le for their helpful assis-tance. This work was supported by grants from the French Cogni-tique Program-MENRT n° 1A012F (1999), and from the CEE GrantQLK6-CT-1999-02140.

REFERENCES

Belin, P., Van Eeckhout, P., Zilbovicius, M., Remy, P., Francois, C.,Guillaume, S., et al. 1996. Recovery from nonfluent aphasia aftermelodic intonation therapy: A PET study. Neurology 47: 1504–1511.

Bookheimer, S. Y., Zeffiro, T. A., Blaxton, T., Gaillard, W., andTheodore, W. 1995. Regional cerebral blood flow during objectnaming and word reading. Hum. Brain Mapp 3: 93–106.

Buckner, R. L., Bandettini, P. A., O’Craven, K. M., Savoy, R. L.,Petersen, S. E., Raichle, M. E., et al. 1996. Detection of corticalactivation during averaged single trials of a cognitive task usingfunctional magnetic resonance imaging. Proc. Natl. Acad. Sci.USA 93: 14878–14883.

Cardebat, D., Demonet, J. F., Celsis, P., Puel, M., Viallard, G., andMarc-Vergnes, J. P. 1994. Right temporal compensatory mecha-nisms in a deep dysphasic patient: A case report with activationstudy by SPECT. Neuropsychologia 32: 97–103.

Carel, C., Loubinoux, I., Boulanuar, K., Manelfe, C., Rascol, O.,Celsis, P., and Chollet, F. 2000. Neural substrate for the effects ofpassive training on sensory motor cortical representation: A studywith functional magnetic resonance imaging in healthy subjects.J. Cereb. Blood Flow Metab. 20: 478–484.

Chollet, F. 2000. Plasticity of the adult human brain. In BrainMapping: The Systems, pp. 621–638. Academic Press, San Diego.

Damasio, H., Grabowski, T. J., Tranel, D., Hichwa, R. D., andDamasio, A. R. 1996. A neural basis for lexical retrieval. Nature380: 499–505.

De Renzi, E., and Vignolo, L. 1962. The token test: A sensitive test todetect receptive disturbances in aphasics. Brain 85: 665–678.

Deloche, G., Hannequin, D., Dordain, M., Metz-Lutz, M. N., Kremin,H., Tessier, C., et al. 1997. Diversity of patterns of improvement inconfrontation naming rehabilitation: Some tentative hypotheses.J. Commun. Disord. 30: 11–21; quiz 21–22.

Demonet, J. F., Fiez, J. A., Paulesu, E., Petersen, S. E., and Zatorre,R. J. 1996. PET Studies of phonological processing: A critical replyto Poeppel. Brain Lang. 55: 352–379.

Dronkers, N. F. 1996. A new brain region for coordinating speecharticulation. Nature 384: 159–161.

Duvernoy, H. M. 1992. Le cerveau humain. Springer-Verlag, Paris.Elman, R. J., and Bernstein-Ellis, E. 1999. The efficacy of group

communication treatment in adults with chronic aphasia. J.Speech Lang. Hear. Res. 42: 411–419.

Goodglass, H. 1992. Diagnostic of conduction aphasia. In ConductionAphasia (S. E. Kohn, Ed.), pp. 39–49. Erlbaum, Hillsdale, NJ.

Hardcastle, W. J. 1987. Electropalatographic study of articulationdisorders in verbal dyspraxia. In Phonetic Approaches to SpeechProduction in Aphasia and Related Disorders (J. H. Ryalls, Ed.),College-Hill Press, Boston.

Heiss, W. D., Kessler, J., Thiel, A., Ghaemi, M., and Karbe, H. 1999.Differential capacity of left and right hemispheric areas for com-pensation of poststroke aphasia. Ann. Neurol. 45: 430–438.

182 LEGER ET AL.

Page 112: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

Holland, A. L., Fromm, D. S., DeRuyter, F., and Stein, M. 1996.Treatment efficacy: Aphasia. J. Speech Hear. Res. 39: S27–S36.

Holmes, A. P., and Friston, K. J. 1998. Generalisability, randomeffects and population inference. NeuroImage 7: S754.

Kareken, D. A., Lowe, M., Chen, S. H., Lurito, J., and Mathews, V.2000. Word rhyming as a probe of hemispheric language domi-nance with functional magnetic resonance imaging. Neuropsychi-atry Neuropsychol. Behav. Neurol. 13: 264–270.

Katz, R. C., and Wertz, R. T. 1997. The efficacy of computer-providedreading treatment for chronic aphasic adults. J. Speech Lang.Hear. Res. 40: 493–507.

Kent, R. D., and Rosenbek, J. C. 1983. Acoustic patterns of apraxiaof speech. J. Speech Hear. Res. 26: 231–249.

Knopman, D. S., Rubens, A. B., Selnes, O. A., Klassen, A. C., andMeyer, M. W. 1984. Mechanisms of recovery from aphasia: Evi-dence from serial xenon 133 cerebral blood flow studies. Ann.Neurol. 15: 530–535.

Kosslyn, S. M., Alpert, N. M., and Thompson, C. K. 1995. Identifyingobjects at different levels of hierarchy: A positron emission tomog-raphy study. Hum. Brain Mapp. 3: 107–132.

Kosslyn, S. M., Alpert, N. M., Thompson, W. L., Chabris, C. F.,Rauch, S. L., and Anderson, A. K. 1994. Identifying objects seenfrom different viewpoints. A PET investigation. Brain 117: 1055–1071.

Lincoln, N. B., McGuirk, E., Mulley, G. P., Lendrem, W., Jones, A. C.,and Mitchell, J. R. 1984. Effectiveness of speech therapy for apha-sic stroke patients. A randomised controlled trial. Lancet 1: 1197–1200.

Lurito, J. T., Kareken, D. A., Lowe, M. J., Chen, S. H., and Mathews,V. P. 2000. Comparison of rhyming and word generation withFMRI. Hum. Brain Mapp. 10: 99–106.

Martin, A., Wiggs, C. L., Ungerleider, L. G., and Haxby, J. V. 1996.Neural correlates of category-specific knowledge. Nature 379:649–652.

Menard, M. T., Kosslyn, S. M., Thompson, W. L., Alpert, N. M., andRauch, S. L. 1996. Encoding words and pictures: A positron emis-sion tomography study. Neuropsychologia 34: 185–194.

Moore, C. J., and Price, C. J. 1999. Three distinct ventral occipito-temporal regions for reading and object naming. NeuroImage 10:181–192.

Murtha, S., Chertkow, H., Beauregard, M., Dixon, R., and Evans, A.1996. Anticipation causes increased blood flow to the anteriorcingulate cortex. Hum. Brain Mapp. 4: 103–112.

Murtha, S., Chertkow, H., Beauregard, M., and Evans, A. 1999. Theneural substrate of picture naming. J. Cogn. Neurosci. 11: 399–423.

Musso, M., Weiller, C., Kiebel, S., Muller, S. P., Bulav, P., andRijntjes, M. 1999. Training-induced brain plasticity in aphasia.Brain 122: 1781–1790.

Naeser, M. A., Gaddie, A., Palumbo, C. L., and Stiassny-Eder, D.1990. Late recovery of auditory comprehension in global aphasia.Improved recovery observed with subcortical temporal isthmuslesion vs Wernicke’s cortical area lesion. Arch. Neurol. 47: 425–432.

Naeser, M. A., Helm-Estabrooks, N., Haas, G., Auerbach, S., andSrinivasan, M. 1987. Relationship between lesion extent in ‘Wer-nicke’s area’ on computed tomographic scan and predicting recov-ery of comprehension in Wernicke’s aphasia. Arch. Neurol. 44:73–82.

Ohyama, M., Senda, M., Kitamura, S., Ishii, K., Mishina, M., andTerashi A. 1996. Role of the nondominant hemisphere and undam-aged area during word repetition in poststroke aphasics. A PETactivation study. Stroke 27: 897–903.

Pannbacker, M. 1988. Management strategies for developmentalapraxia of speech: A review of literature. J. Commun. Disord. 21:363–371.

Paulesu, E., Frith, C. D., and Frackowiak, R. S. 1993. The neuralcorrelates of the verbal component of working memory. Nature362: 342–345.

Paulesu, E., Goldacre, B., Scifo, P., Cappa, S. F., Gilardi, M. C.,Castiglioni, I., Perani, D., and Fazio, F. 1997. Functional hetero-geneity of left inferior frontal cortex as revealed by fMRI. Neuro-report 8: 2011–2017.

Price, C. J., Mummery, C. J., Moore, C. J., Frakowiak, R. S., andFriston, K. J. 1999. Delineating necessary and sufficient neuralsystems with functional imaging studies of neuropsychologicalpatients. J. Cogn. Neurosci. 11: 371–382.

Pulvermuller, F., Neininger, B., Elbert, T., Mohr, B., Rockstroh, B.,Koebbel, P., et al. 2001. Constraint-induced therapy of chronicaphasia after stroke. Stroke 32: 1621–1626.

Raichle, M. E., Fiez, J., Videen, T., Macleod, A., Pardo, J., Fox, P.,and Petersen, S. 1994. Practice-related changes in human brainfunctional anatomy during nonmotor learning. Cereb. Cortex 4:8–26.

Robey, R. R. 1994. The efficacy of treatment for aphasic persons: Ameta-analysis. Brain Lang. 47: 582–608.

Salmon, E., Van der Linden, M., Gillette, F., Delfiore, G., Maquet, P.,Degueldre, C., Luxen, A., and Franck, G. 1996. Regional brainactivity during working memory tasks. Brain 119: 1617–1625.

Selnes, O. A., Knopman, D. S., Niccum, N., and Rubens, A. B. 1985.The critical role of Wernicke’s area in sentence repetition. Ann.Neurol. 17: 549–557.

Sergent, J., Ohta, S., and MacDonald, B. 1992. Functional neuro-anatomy of face and object processing. A positron emission tomog-raphy study. Brain 115: 15–36.

Small, S. L., Flores, D. K., and Noll, D. C. 1998. Different neuralcircuits subserve reading before and after therapy for acquireddyslexia. Brain Lang. 62: 298–308.

Snodgrass, J. G., and Vanderwart, M. 1980. A standardized set of260 pictures: Norms for name agreement, image agreement, famil-iarity, and visual complexity. J. Exp. Psychol. [Hum. Learn.] 6:174–215.

Talaraich, P., and Tournoux, J. 1988. A Stereotactic Coplanar Atlasof the Human Brain. Thieme, Stuttgart.

Thompson, C. K. 2000. The neurobiology of language recovery inaphasia. Brain Lang. 71: 245–248.

Thulborn, K. R., Carpenter, P. A., and Just, M. A. 1999. Plasticity oflanguage-related brain function during recovery from stroke.Stroke 30: 749–754.

Wambaugh, J. L., Kalinyak-Fliszar, M. M., West, J. E., and Doyle,P. J. 1998. Effects of treatment for sound errors in apraxia ofspeech and aphasia. J. Speech Lang. Hear. Res. 41: 725–743.

Warburton, E., Price, C. J., Swinburn, K., and Wise, R. J. 1999.Mechanisms of recovery from aphasia: Evidence from positronemission tomography studies. J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry 66:155–161.

Weiller, C., Isensee, C., Rijntjes, M., Huber, W., Muller, S., Bier, D.,et al. 1995. Recovery from Wernicke’s aphasia: A positron emissiontomographic study. Ann. Neurol. 37: 723–732.

Wise, R. J., Greene, J., Buchel, C., and Scott, S. K. 1999. Brainregions involved in articulation. Lancet 353: 1057–1061.

Wise, R. J. S. S., Blank, S. C., Mummery, C. J., Murphy, K., andWarburton, E. A. 2001. Separate neural subsystems within ‘Wer-nicke’s area’. Brain 124: 83–95.

183SPEECH THERAPY AND fMRI IN AN APHASIC PATIENT

Page 113: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

Reproduced with permission of the copyright owner. Further reproduction prohibited withoutpermission.

Page 114: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

Tinjauan Pustaka

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

Rehabilitasi Stroke padaPelayanan Kesehatan Primer

Rosiana Pradanasari Wirawan

SMF Rehabilitasi Medis RS Fatmawati, Jakarta

Abstrak: Stroke menjadi masalah yang besar dan serius. Sebagai penyebab kecacatan terbanyak

kedua pada individu usia di atas 60 tahun, stroke menimbulkan beban psikososial serta biaya

yang sangat besar. Bagi pasien pasca stroke diperlukan intervensi rehabilitasi medik agar

mereka mampu mandiri untuk mengurus dirinya sendiri dan melakukan aktivitas kehidupan

sehari-hari tanpa harus terus menjadi beban bagi keluarganya. Namun tidak semua pasien

mendapat kesempatan melanjutkan program rehabilitasi stroke setelah pulang dari perawatan.

Sebagian besar disebabkan karena tidak tersedianya fasilitas rehabilitasi medik di sekitar

tempat tinggal pasien. Secara umum rehabilitasi stroke fase subakut dan kronis dapat ditangani

melalui tatalaksana rehabilitasi medis sederhana yang tidak memerlukan peralatan canggih.

Berfokus pada upaya untuk mencegah komplikasi immobilisasi yang dapat membawa dampak

kepada perburukan kondisi dan mengembalikan kemandirian dalam aktivitas sehari-hari,

diharapkan pasien dapat mencapai hidup yang lebih berkualitas. Pelayanan Kesehatan Primer

sangat penting perannya.

Kata kunci: stroke, rehabilitasi, subakut

61

Page 115: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

Stroke Rehabilitation in Primary Health Care

Rosiana Pradanasari Wirawan

Physical Medicine and Rehabilitation, Fatmawati Hospital -Jakarta

Abstract: Stroke has become an enormous and serious health problem. Being the second most

cause of disability for individual above 60 years old, stroke is considered a psychosocial burden

and very costly. Post-stroke patient therefore need a medical rehabilitation intervention, which

enable them to take care of themselves and do their own daily activity without being a burden to

their family. Unfortunately, not all post-stroke patients have their chance to continue their rehabili-

tation program after discharged from the hospital. The reason behind is mostly the lack of medical

rehabilitation facility near their home. Generally, stroke rehabilitation in subacute and chronic

phase could also be managed by simple procedures without using a sophisticated apparatus.

Focusing on preventing of the complication of immobilization that could make the condition

became worse, and achievement of the independency of their daily activity, is aiming for the

patients, better quality of life. Primary Health Care has a very important role in this case.

Keywords: stroke, rehabilitation, subakute.

Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

Pendahuluan

Baik di negara maju maupun berkembang, beban yang

ditimbulkan stroke sangat besar. Stroke merupakan penyebab

kematian kedua terbanyak di negara maju dan ketiga

terbanyak di negara berkembang. Berdasarkan data WHO

tahun 2002, lebih dari 5,47 juta orang meninggal karena stroke

di dunia.1 Dari data yang dikumpulkan oleh American Heart

Association tahun 2004 setiap 3 menit satu orang meninggal

akibat stroke.

Dengan kemajuan teknologi, stroke lebih sering

meninggalkan kecacatan dibandingkan kematian. Stroke

merupakan penyebab kecacatan kedua terbanyak di seluruh

dunia pada individual di atas 60 tahun.1 Beban biaya yang

ditimbulkan akibat stroke sangat besar, selain bagi pasien

dan keluarganya, juga bagi negara. Kondisi ini belum

memperhitungkan beban psikososial bagi keluarga yang

merawatnya.

Oleh karena itu pencegahan stroke menjadi sangat

penting. Upaya pencegahan antara lain berupa kontrol

terhadap faktor risiko stroke (Tabel 1) dan perilaku hidup

yang sehat (primary prevention). Bagi pasien yang telah

mendapat serangan stroke, intervensi rehabilitasi medis

sangat penting untuk mengembalikan pasien pada

kemandirian mengurus diri sendiri dan melakukan aktivitas

kehidupan sehari-hari tanpa menjadi beban bagi keluarganya.

Perlu diupayakan agar pasien tetap aktif setelah stroke untuk

mencegah timbulnya komplikasi tirah baring dan stroke

berulang (secondary prevention). Komplikasi tirah baring

dan stroke berulang akan memperberat disabilitas dan

menimbulkan penyakit lain yang bahkan dapat membawa

kepada kematian.

Tabel 1. Faktor Risiko Stroke2

Tidak dapat Dapat dimodifikasi Potensial

dimodifikasi dimodifikasi

Usia Hipertensi Obesitas

Jenis kelamin Diabetes mellitus Inaktivitas fisik

Ras Hiperkolesterolemia Hiperhomosisteinemia

Hereditas Atrial fibrilasi Kondisi hiperkoagulitas

Merokok Kontrasepsi oral terapi

stenosis karotis hormonal pengganti

(asimptomatik) Proses inflamasi

Penyakit sel sabit Alkohol berlebihan

Abuse obat-obatan

Sindrom Stroke

Patologi stroke dapat dibagi dalam 2 kategori yaitu

hemoragik dan iskemia. (Tabel 2)

Gejala klinis stroke bervariasi tergantung pada bagian

otak yang sirkulasinya terganggu. Secara umum stroke

memberikan gambaran klinis dengan pola yang khas, dengan

variasi secara individual tergantung pada ukuran pembuluh

darah, pola aliran atau luasnya disrupsi aliran darah ke otak.

(Tabel 3 dan 4.)

62

Page 116: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Januari 2009

Tabel 2. Patomekanisme Stroke Akut2

Patomekanisme Persentase

Iskemik 85%

Trombotik 60%

Embolik 20%

Lain-lain 5%

Hemoragik 15%

Intraserebral 10%

Subarakhnoid 5%

Tabel 3. Sindrom Stroke Iskemik3

Sirkulasi tergganggu Sensomotorik Gejala klinis lain

Sindrom Sirkulasi anterior

A. Serebri media (total) Hemiplegia kontralateral (lengan lebih berat Afasia global (hemisfer dominan) Hemi-neglect

dari tungkai) hemihipestesia kontralateral (hemisfer non-dominan), agnosia, defisit visuo-

spassial apraksia, disfagia

A. Serebri media (bagian atas) Hemiplegia kontralateral(lengan lebih berat Afasia motorik (hemisfer dominan)

dari tungkai)hemiestesia kontralateral Hemi-neglect (hemisfer non-dominan), hemia-

nopsia, disfagia

A. Serebri media (bagian bawah) Tidak ada gangguan Afasia sensorik (hemisfer dominan)

Agnosia afektif (hemisfer non-dominan)

Kontruksional apraksia

A. Serebri media dalam Hemiparese kontralateral Afasia sensoris transkortikal (hemisfer dominan)

Tidak ada gangguan sensoris, atau ringan sekali Visual dan sensoris neglect sementara. (hemisfer

non-dominan)

A. Serebri anterior Hemiplegia kontralateral (tungkai lebih berat dari Afasia transkortikal (hemisfer dominan), Apraksia

lengan) hemiestesia kontralateral (umumnya ringan) (hemisfer non dominan) perubahan perilaku dan

personalitas Inkontinensia urin dan alvi

Sindrom sirkulasi posterior

A. Basilaris (total) Kuadriplegia. Sensoris umumnya normal Gangguan kesadaran sampai ke sindrom lock-in

Gangguan saraf kranial yang menyebabkan diplopia,

disartria, disfagia, disfonia.

Ganggguan emosi

A. Serebri posterior Hemiplegia sementara, berganti dengan pola gerak Gangguan lapang pandang bagian sentral,

chorea pada tangan.hipestesia atau anestesia Prosopagnosia, Aleksia

terutama pada tangan

Pembuluh darah kecil

Lacunar Infark Gangguan motorik murni, Gangguan sensorik murni

Hemiparesis ataksik, Sindrom Clumsy Hand

Stroke hemoragik memiliki sejumlah penyebab. Ada 4

tipe yang paling umum, yaitu perdarahan hipertensif

intrakranial, ruptur aneurisma sakular, perdarahan dari AVM

(arteriovenous malformation) dan perdarahan spontan di

daerah lobus.

Gangguan Fungsi akibat Stroke

Dalam rehaebilitasi medis, istilah fungsi merujuk pada

kemampuan/ketrampilan seseorang untuk melakukan

aktivitas sehari-hari, aktivitas hiburan atau hobi, pekerjaan,

interaksi sosial dan perilaku lain yang dibutuhkan. Aktivitas

sehari-hari seseorang tentu sangat luas, individu yang satu

berbeda dengan individu lain. Aktivitas sehari-hari yang

perlu dinilai adalah kemampuan dasar dalam melakukan

aktivitas perawatan diri sendiri yaitu makan-minum, mandi,

berpakaian, berhias, menggunakan toilet, kontrol buang air

kecil dan besar, berpindah tempat (transfer), mobilitas-jalan,

dan menggunakan tangga.

World Health Organization (WHO) pada tahun 1980

memperkenalkan The International Classification of Impair-

ments, Disabilities and Handicaps (ICIDH) sebagai model

rehabilitasi.5-8

Model ini membagi kondisi sakit dalam 4 level berbeda

yaitu:

a. Patologi (penyakit)

Patologi sinonim dengan penyakit atau diagnosis,

Tabel 4. Sindrom Hemoragik4

Area yang terkena Sensomotorik Gejala Klinis lain

Putamen

(apsula interna, basal Hemiplegia kontra- Stupor/Koma dengan

ganglia) lateral kompresi batang otak

krigiditas deserebrasi

Talamus

(talamus, kapsula Hemiplegia kontra- Afasia (hemisfer

interna) lateral dominan)

Gangguan sensoris Gangguan lapangan

berat semua modalitas pandang

Sindrom Horner

Pontin

(pons, batang otak, Kuadriparesis, kua- Sindroma lock in

midbrain) driplegia Rigiditas deserebrasi

Serebelum Hemiparesis ringan Vertigo/dizziness,

gangguan koordinasi, Nausea, vomiting

ataksia Nystagmus Disfagia,

disartria

63

Page 117: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

didefinisikan sebagai kerusakan atau proses abnormal

yang terjadi di dalam organ atau sistem organ tubuh.

Contoh patologi: stroke non-hemoragik yang di-

sebabkan oleh trombosis, hipertensi, diabetes mellitus,

dan sebagainya.

1. Impairment (gangguan organ atau fungsi organ)

Impairments merupakan akibat langsung dari patologi,

didefinisikan sebagai hilang atau terganggunya struktur

atau fungsi anatomis, fisiologis, atau psikologis tubuh.

Contoh impairment adalah hemiparesis, afasia, disartria,

disfagia, depresi dan lain sebagainya.

2. Disability (ketidakmampuan)

Disability didefinisikan sebagai keterbatasan atau

hilangnya kemampuan untuk melakukan aktivitas yang

umum dapat dilakukan oleh orang lain yang normal

karena impairment yang dideritanya. Contoh disabil-

ity: adalah ketidak mampuan berjalan (akibat hemipare-

sis), ketidakmampuan berkomunikasi (akibat afasia,

disatria) atau ketidakmampuan melakukan perawatan diri

sendiri seperti berpakaian (akibat hemiparesis, gangguan

kognitif, gangguan sensoris dan lain-lain)

3. Handicap (keterbatasan dalam peran)

Handicap atau kecacatan merupakan suatu konsekuensi

sosial dari penyakit, didefinisikan sebagai terganggu

atau terbatasnya kemampuan aktualisasi diri dan untuk

berperan secara sosial, budaya, ekonomi dalam keluarga

dan lingkungan bagi individual tertentu akibat impair-

ment dan disability yang dideritanya. Contoh handi-

cap adalah ketidakmampuan berperan sebagai ayah

bermain dengan anaknya (karena hemiparesis yang

menyebabkannya sulit bergerak atau berjalan), tidak

dapat bekerja (karena kesulitan berjalan ke tempat kerja,

melakukan pekerjaan sebelumnya) dan lain sebagainya.

Pada tahun 2001 WHO mempublikasikan revisi dari

ICIDH menjadi ICF (International Classification of Func-

tioning) dimana istilah disability dan handicap diganti

menjadi activity and participation.5-7 Revisi ini secara prinsip

tidak terlalu banyak berbeda dengan ICIDH, hanya di-

definisikan lebih positif, yaitu disability (ketidakmampuan)

diganti menjadi activity (kemampuan fungsional penderita),

sedangkan handicap (kecacatan) diganti menjadi partici-

pation (peran-serta penderita dalam kehidupan sesuai

dengan ketidak-mampuan, aktivitas, kondisi kesehatan dan

faktor kontekstual lainnya ). Rehabilitasi medis tidak hanya

berfokus pada apa yang pasien tidak mampu lakukan namun

juga pada apa yang pasien masih mampu lakukan.

Proses Pemulihan setelah Stroke

Proses pemulihan setelah stroke dibedakan atas

pemulihan neurologis (fungsi saraf otak) dan pemulihan

fungsional (kemampuan melakukan aktivitas fungsional).

Health condition

(Disorder or Disease)

Activities Participation Body functions

and structure

Environmental

factors

Personal

factors

Gambar 1. Rehabilitation Model: ICF7

Pemulihan neurologis terjadi awal setelah stroke. Mekanisme

yang mendasari adalah pulihnya fungsi sel otak pada area

penumbra yang berada di sekitar area infark yang se-

sungguhnya, pulihnya diaschisis dan atau terbukanya

kembali sirkuit saraf yang sebelumnya tertutup atau tidak

digunakan lagi. Kemampuan fungsional pulih sejalan dengan

pemulihan neurologis yang terjadi.

Setelah lesi otak menetap, pemulihan fungsional masih

dapat terus terjadi sampai batas-batas tertentu terutama dalam

3-6 bulan pertama setelah stroke. Hal itulah yang menjadi

fokus utama rehabilitasi medis, yaitu untuk mengembalikan

kemandirian pasien mencapai kemampuan fungsional yang

optimal. Proses pemulihan fungsional terjadi berdasarkan

pada proses reorganisasi atau plastisitas otak melalui:

1. Proses Substitusi

Proses ini sangat tergantung pada stimuli eksternal yang

diberikan melalui terapi latihan menggunakan berbagai

metode terapi. Pencapaian hasilnya sangat tergantung

pada intaknya jaringan kognitif, visual dan proprioseptif,

yang membantu terbentuknya proses belajar dan

plastisitas otak.

b. Proses Kompensasi

Proses ini membantu menyeimbangkan keinginan

aktivitas fungsional pasien dan kemampuan fungsi

pasien yang masih ada. Hasil dicapai melalui latihan

berulang-ulang untuk suatu fungsi tertentu, pemberian

alat bantu dan atau ortosis, perubahan perilaku, atau

perubahan lingkungan.

Pemilihan jenis intervensi rehabilitasi didasarkan pada

pertimbangan beratnya gejala-sisa stroke, fase stroke saat

terapi, penyakit penyerta dan atau komplikasi medis, serta

berbagai faktor terkait lainnya seperti usia pasien, motivasi,

serta dukungan dan ekonomi keluarga. Sebagai contoh pasien

usia lanjut, penderita PPOK yang mendapat stroke akibat

oklusi total a.cerebri media tentu tidak mungkin diberikan

program rehabilitasi substitusi agar ia dapat berjalan dan

64

(Disorder or Disease)

Page 118: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

mandiri penuh dalam aktivitas sehari-harinya, rehabilitasi

kompensasi tentu lebih tepat untuknya.

Intervensi Rehabilitasi Medis pada Stroke

Secara umum rehabilitasi pada stroke dibedakan dalam

beberapa fase. Pembagian ini dalam rehabilitasi medis dipakai

sebagai acuan untuk menentukan tujuan (goal) dan jenis

intervensi rehabilitasi yang akan diberikan, yaitu:

1. Stroke fase akut: 2 minggu pertama pasca serangan

stroke

2. Stroke fase subakut: antara 2 minggu-6 bulan pasca

stroke

3. Stroke fase kronis: diatas 6 bulan pasca stroke

Rehabilitasi Stroke Fase Akut

Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien belum stabil,

umumnya dalam perawatan di rumah sakit, bisa di ruang rawat

biasa ataupun di unit stroke. Dibandingkan dengan

perawatan di ruang rawat biasa, pasien yang di rawat di unit

stroke memberikan outcome yang lebih baik. Pasien menjadi

lebih mandiri, lebih mudah kembali dalam kehidupan sosialnya

di masyarakat dan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik.9

Rehabilitasi pada fase itu tidak akan di bahas lebih lanjut

dalam makalah ini, karena memerlukan penanganan

spesialistik di rumah sakit.

Rehabilitasi Stroke Fase Subakut

Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien umumnya

sudah stabil dan diperbolehkan kembali ke rumah, kecuali

bagi pasien yang memerlukan penanganan rehabilitasi yang

intensif. Sebagian kecil (sekitar 10%) pasien pulang dengan

gejala sisa yang sangat ringan, dan sebagian kecil lainnya

(sekitar 10%) pasien pulang dengan gejala sisa yang sangat

berat dan memerlukan perawatan orang lain sepenuhnya.

Namun sekitar 80% pasien pulang dengan gejala sisa yang

bervariasi beratnya dan sangat memerlukan intervensi

rehabilitasi agar dapat kembali mencapai kemandirian yang

optimal.

Rehabilitasi pasien stroke fase subakut dan kronis

mungkin dapat ditangani oleh pelayanan kesehatan primer.

Rehabilitasi fase ini akan dibahas lebih rinci terutama

mengenai tatalaksana sederhana yang tidak memerlukan

peralatan canggih.

Pada fase subakut pasien diharapkan mulai kembali

untuk belajar melakukan aktivitas dasar merawat diri dan

berjalan. Dengan atau tanpa rehabilitasi, sistim saraf otak

akan melakukan reorganisasi setelah stroke. Reorganisasi

otak yang terbentuk tergantung sirkuit jaras otak yang pal-

ing sering digunakan atau tidak digunakan. Melalui

rehabilitasi, reorganisasi otak yang terbentuk diarahkan agar

mencapai kemampuan fungsional optimal yang dapat dicapai

oleh pasien, melalui sirkuit yang memungkinkan gerak yang

lebih terarah dengan menggunakan energi/tenaga se-efisien

mungkin. Hal tersebut dapat tercapai melalui terapi latihan

yang terstruktur, dengan pengulangan secara kontinyu serta

mempertimbangkan kinesiologi dan biomekanik gerak.

Prinsip-prinsip Rehabilitasi Stroke:

1. Bergerak merupakan obat yang paling mujarab. Bila

anggota gerak sisi yang terkena terlalu lemah untuk

mampu bergerak sendiri, anjurkan pasien untuk bergerak/

beraktivitas menggunakan sisi yang sehat, namun

sedapat mungkin juga mengikutsertakan sisi yang sakit.

Pasien dan keluarga seringkali beranggapan salah,

mengharapkan sirkuit baru di otak akan terbentuk dengan

sendirinya dan pasien secara otomatis bisa bergerak

kembali. Sebenarnya sirkuit hanya akan terbentuk bila

ada “kebutuhan” akan gerak tersebut. Bila ekstremitas

yang sakit tidak pernah digerakkan sama sekali,

presentasinya di otak akan mengecil dan terlupakan.

2. Terapi latihan gerak yang diberikan sebaiknya adalah

gerak fungsional daripada gerak tanpa ada tujuan

tertentu. Gerak fungsional misalnya gerakan meraih,

memegang dan membawa gelas ke mulut. Gerak

fungsional mengikutsertakan dan mengaktifkan bagian–

bagian dari otak, baik area lesi maupun area otak normal

lainnya, menstimulasi sirkuit baru yang dibutuhkan.

Melatih gerak seperti menekuk dan meluruskan (fleksi-

ekstensi) siku lengan yang lemah menstimulasi area lesi

saja. Apabila akhirnya lengan tersebut bergerak, tidak

begitu saja bisa digunakan untuk gerak fungsional,

namun tetap memerlukan terapi latihan agar terbentuk

sirkuit yang baru.

3. Sedapat mungkin bantu dan arahkan pasien untuk

melakukan gerak fungsional yang normal, jangan biarkan

menggunakan gerak abnormal. Gerak normal artinya sama

dengan gerak pada sisi sehat. Bila sisi yang terkena masih

terlalu lemah, berikan bantuan “tenaga” secukupnya

dimana pasien masih menggunakan ototnya secara

“aktif”. Bantuan yang berlebihan membuat pasien tidak

menggunakan otot yang akan dilatih (otot bergerak

pasif). Bantuan tenaga yang kurang menyebabkan pasien

mengerahkan tenaga secara berlebihan dan mengikut-

sertakan otot-otot lain. Ini akan memperkuat gerakan

ikutan ataupun pola sinergis yang memang sudah ada

dan seharusnya dihindari. Besarnya bantuan “tenaga”

yang diberikan harus disesuaikan dengan kemajuan

pemulihan pasien.

4. Gerak fungsional dapat dilatih apabila stabilitas batang

tubuh sudah tercapai, yaitu dalam posisi duduk dan

berdiri. Stabilitas duduk dibedakan dalam stabilitas duduk

statik dan dinamik. Stabilitas duduk statik tercapai apabila

pasien telah mampu mempertahankan duduk tegak tidak

bersandar tanpa berpegangan dalam kurun waktu

tertentu tanpa jatuh/miring ke salah satu sisi. Stabilitas

duduk dinamik tercapai apabila pasien dapat

mempertahankan posisi duduk sementara batang tubuh

65

Page 119: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

doyong ke arah depan, belakang, ke sisi kiri atau kanan

dan atau dapat bertahan tanpa jatuh/miring ke salah satu

sisi sementara lengan meraih ke atas, bawah, atau samping

untuk suatu aktivitas. Latihan stabilitas batang tubuh

selanjutnya yaitu stabilitas berdiri statik dan dinamik.

Hasil latihan ini memungkinkan pasien mampu melakukan

aktivitas dalam posisi berdiri. Kemampuan fungsional

optimal dicapai apabila pasien juga mampu melakukan

aktivitas sambil berjalan.

5. Persiapkan pasien dalam kondisi prima untuk melakukan

terapi latihan. Gerak fungsional yang dilatih akan

memberikan hasil maksimal apabila pasien siap secara

fisik dan mental. Secara fisik harus diperhatikan

kelenturan otot-otot, lingkup gerak semua persendian

tidak ada yang terbatas, dan tidak ada nyeri pada

pergerakan. Secara mental pasien mempunyai motivasi

dan pemahaman akan tujuan dan hasil yang akan dicapai

dengan terapi latihan tersebut. Kondisi medis juga

menjadi salah satu pertimbangan. Tekanan darah dan

denyut nadi sebelum dan sesudah latihan perlu

dimonitor. Lama latihan tergantung pada stamina pasien.

Terapi latihan yang sebaiknya adalah latihan yang tidak

sangat melelahkan, durasi tidak terlalu lama (umumnya

sekitar 45-60 menit) namun dengan pengulangan

sesering mungkin.

6. Hasil terapi latihan yang diharapkan akan optimal bila

ditunjang oleh kemampuan fungsi kognitif, persepsi dan

semua modalitas sensoris yang utuh. Rehabilitasi fisik

dan rehabilitasi fungsi kognitif tidak dapat dipisah-

pisahkan. Mengembalikan kemampuan fisik seseorang

harus melalui kemampuan kognitif, karena rehabilitasi

pada prinsipnya adalah suatu proses belajar, yaitu belajar

untuk mampu kembali melakukan suatu aktivitas

fungsional dengan segala keterbatasan yang ada.

Intervensi rehabilitasi pada stroke fase subakut ditujukan

untuk:

1. Mencegah timbulnya komplikasi akibat tirah baring

2. Menyiapkan/mempertahankan kondisi yang memung-

kinkan pemulihan fungsional yang paling optimal

3. Mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas

sehari-hari

4. Mengembalikan kebugaran fisik dan mental

Mencegah Komplikasi Akibat Tirah Baring

Pasien yang pulang ke rumah sebelum mencapai

kemampuan duduk stabil serta mulai belajar berdiri dan jalan,

cenderung akan lebih lama masa tirah baringnya di rumah.

Keluarga seringkali “memanjakan” pasien dengan membantu

secara berlebihan dan menjadikan pasien terbaring pasif

“menunggu kondisi menjadi lebih baik, dan gerak menjadi

lebih mudah”. Akan tetapi tirah baring lama menyebabkan

pasien bertambah lemah, lebih cepat lelah karena stamina

makin rendah, gerak semakin bertambah berat karena semua

anggota gerak menjadi kaku dan timbul komplikasi-komplikasi

lain. Keluarga dan pasien harus disadarkan bahwa tirah bar-

ing berkelanjutan akan lebih banyak membawa dampak buruk

dari pada baik. (Tabel 5).

Selain itu pemulihan fungsional mempunyai “periode

emas” yang terbatas waktunya; stimulasi yang diberikan pada

3 bulan pertama akan lebih memberikan hasil dibandingkan

fase kronis, dan tentu tidak boleh disia-siakan. Pasien harus

diberikan motivasi untuk selalu aktif melakukan aktivitas

sesuai dengan kemampuan yang ada. Terapi latihan di-

programkan dengan durasi dan frekuensi latihan secara

bertahap ditingkatkan.

Gambar 2. Latihan dengan Bantuan

Bantuan terapis disesuaikan dengan kemampuan pasien. Terapis dapat melakukan kontrol tenaga pasien dalam bergerak,

dengan meniadakan gerak ikutan ataupun gerak sinergis.

66

Page 120: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

Tabel 5. Komplikasi Tirah Baring10

Sistem tubuh Efek terhadap sistem tubuh

Sistem Kardiovaskuler § Denyut nadi meningkat ½ ketuk/menit

setiap hari selama 3-4 minggu

§ Ortostatik hipotensi

§ Risiko terjadinya Deep Vein Trombosis

dan emboli pulmonal

§ Viskositas darah meningkat

Sistem Respirasi § Retensi sputum dan menurunnya

oksigenasi

§ Kecepatan pernafasan meningkat

§ Risiko terjadinya pneumonia

Sistem Muskuloske- § Kekuatan dan massa otot menurun

le tal § Perubahan histologi otot

§ Perubahan kelenturan sendi

(kontraktur)

§ Osteoporosis

Sistem Metabolik § Persentase lemak tubuh meningkat

dan Endokrin § Hipercalcaemia

§ Toleransi glukose menurun dalam 3 hari

tirah baring

Sistem Integumen § Decubitus ulcers

Sistem Gastrointes- § Konstipasi

t inal § Refluks Gastroesofageal

Sistem Urogenital § Awal volume urin meningkat, kemudian

menurun /stasis

§ Inkontinensia urine

Sistem Saraf Pusat § Perubahan pada afeksi

§ Penurunan kognitif dan persepsi

Menyiapkan/mempertahankan kondisi yang memung-

kinkan pemulihan fungsional yang paling optimal

Berbagai komplikasi dapat timbul setelah stroke yang

dapat membatasi pemulihan kemampuan fungsional yang

seharusnya dapat dicapai. Karena kondisi tersebut sebagian

besar dapat dicegah, maka meningkatkan pemahaman

keluarga dan pasien sangat penting dan krusial.

1. Mencegah pemendekan otot dan kontraktur sendi

Fungsi otot bergerak (berkontraksi) memendek dan

memanjang. Bila otot diam pada satu posisi tertentu dalam

waktu lama kelenturannya akan hilang. Otot akan kaku

pada posisi tersebut, sulit dan memerlukan tenaga lebih

besar untuk kontraksi memendek ataupun memanjang.

Demikian pula berlaku pada sendi, yang akan menjadi

kering dan kaku. Kedua kondisi ini membuat pasien yang

karena kelumpuhannya sudah sulit bergerak menjadi

tambah tidak mungkin bergerak. Latihan mencapai

lingkup gerak penuh pada semua persendian disertai

latihan regangan otot sedikitnya 2 kali per hari

diperlukan.

2. Mencegah spastisitas dan pola gerak sinergis berlebihan

Setelah stroke akan terbentuk spastisitas dan pola gerak

khas yaitu pola sinergis fleksor atau ekstensor (Tabel 6).

Pada umumnya, akan terbentuk pola sinergis fleksor pada

ekstremitas atas sedangkan pada ekstremitas bawah pola

sinergis ekstensor. Spastisitas dan pola gerak sinergis

tidak dapat dihilangkan akan tetapi perlu dikontrol agar

tidak berlebihan dan mengganggu gerak fungsional yang

akan dilatih. Pemberian posisi yang tepat sebagai

antisipasi sudah harus dimulai sejak awal dan diterapkan

dalam seluruh aktivitas.

Tabel 6. Pola Sinergistik11

Bagian tubuh Pola sinergis fleksor Pola sinergis

ekstensor

Ekstremitas atas Retraksi bahu Protraksi bahu

Abduksi bahu Adduksi bahu

Rotasi eksternal lengan Rotasi internal lengan

Fleksi siku Ekstensi siku

Supinasi tangan Pronasi tangan

Fleksi pergelangan Ekstensi pergelangan

tangan tangan

Fleksi jari-jari tangan Fleksi jari-jari tangan

Ekstremitas Fleksi panggul Ekstensi panggul

bawah Abduksi panggul Adduksi panggul

Rotasi eksternal Rotasi internal paha

panggul

Fleksi lutut Ekstensi lutut

Dorsifleksi pergelangan Plantar fleksi pergela-

kaki ngan kaki

Eversi pergelangan kaki Inversi pergelangan kaki

Ekstensi jari-jari kaki Fleksi jari-jari kaki

Posisi antisipasi adalah posisi sebaliknya dari pola gerak

yang akan timbul. Pada ekstremitas atas misalnya,

cenderung timbul spastisitas fleksor, maka lengan

diupayakan selalu dalam posisi ekstensi apabila tidak

sedang latihan. Pasien diberikan motivasi secara sadar

menggunakan posisi antisipasi pada saat tidur, duduk

serta berdiri dan bergerak. Pasien seringkali lebih memilih

posisi yang menyenangkan baginya. Posisi yang

menyenangkan dan terasa nyaman belum tentu

merupakan posisi yang baik untuknya.

3. Mencegah timbulnya nyeri.

Nyeri sering terjadi setelah stroke dan sangat

mengganggu terapi latihan. Nyeri dapat merupakan akibat

atau komplikasi dari stroke. Lesi yang mengenai area

talamus seringkali menimbulkan nyeri yang disebut

sebagai thalamic pain syndrome. Nyeri jenis itu

disebabkan oleh gangguan sensorik sentral dimana

interpretasi stimulus yang datang dari luar diterima

sebagai rasa nyeri di otak. Sayangnya nyeri tersebut

tidak selalu mudah diatasi, namun dapat dicoba dengan

pemberian trisiklik antidepresan atau antikonvulsan.

Sebagian besar nyeri pasca stroke merupakan nyeri

muskuloskeletal, terutama pada bahu sisi yang terkena.

Penyebab utamanya seringkali adalah penanganan bahu

yang salah atau kurang tepat, seperti dalam penempatan

bahu saat tidur miring ke sisi sakit sehingga bahu tertindih

tubuh, atau saat duduk bahu tidak tersanggah dengan

baik. Saat membantu pasien pindah tempat (transfer) dan

saat membantu dalam aktivitas sehari-hari, misalnya

67

Page 121: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

berpakaian (Gambar 3), ataupun cara melatih yang salah

pada bahu sisi yang lumpuh, menyebabkan terjadinya

tendinitis, kapsulitis, cedera otot-otot gelang bahu, nyeri

miofascial, dan atau nyeri neuropatik.

Kontraktur sendi dan spastisitas juga dapat menimbulkan

nyeri saat otot digerakkan. Pencegahan merupakan upaya

utama daripada mengobati yang telah terjadi. Edukasi

untuk mencapai pemahaman mengenai pemberian posisi

yang tepat, cara membantu pasien dalam transfer atau

aktivitas sehari-hari serta cara berlatihan oleh karena itu

sangat penting diberikan pada pasien dan keluarganya.

Terapi Latihan untuk Kemandirian dalam Melakukan

Aktivitas Sehari-hari

Mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas

sehari-hari setelah stroke merupakan fokus utama rehabilitasi

stroke fase subakut. Terapi latihan dan remediasi yang

diberikan merupakan paduan latihan sederhana dan latihan

spesifik menggunakan berbagai metode terapi dan

melibatkan berbagai disiplin ilmu. Menentukan jenis, metode

pendekatan, waktu pemberian, frekuensi dan intensitas terapi

yang tepat harus disesuaikan dengan kondisi medis pasien.

Selain itu terapi latihan fungsional baru efektif apabila

terpenuhi beberapa kondisi yaitu:

1. Tidak ada nyeri, keterbatasan gerak sendi atau

pemendekan otot. Apabila ada, maka kondisi tersebut

perlu diatasi terlebih dahulu.

2. Pasien memahami tujuan dan hasil yang akan dicapai

melalui latihan yang diberikan. Kesulitan pemahaman

Gambar 3. Membantu Berpakaian.

Memegang lengan di bagian distal saat membantu berpakaian (A) dapat menimbulkan tarikan pada bahu yang dapat menimbulkan

nyeri. Lengan harus ditunjang dengan baik sampai proksimal (B).

terjadi pada pasien afasia sensorik dan gangguan

kognitif. Pemberian stimulasi untuk kemampuan

pemahamanan bahasa dan persepsi pasien diintegrasikan

ke dalam terapi latihan.

Gangguan Komunikasi

Kemampuan manusia berkomunikasi satu sama lain

melibatkan bermacam-macam fungsi, yang utama adalah

kemampuan berbahasa dan berbicara. Gangguan fungsi

bahasa disebut sebagai afasia sedangkan gangguan fungsi

bicara disebut disartria.

1. Afasia

Afasia didefinisikan sebagai gangguan untuk mem-

formulasikan dan menginterpretasikan simbol bahasa.

Afasia terjadi sebagai akibat adanya lesi pada mekanisme

bahasa di sistem saraf pusat, umumnya di hemisfer

dominan.

Kemampuan berbahasa seseorang dibedakan antara lain:

a. kemampuan mengekspresikan bahasa verbal (bicara

spontan)

b. kemampuan memahami bahasa verbal (pemahaman

auditori)

c. kemampuan mengekspresikan bahasa melalui tulisan

(bahasa simbol)

d. kemampuan memahami bahasa tulisan/membaca

(pemahamanan visual)

e. menamakan

f. meniru

68

Page 122: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2008

Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

Stroke dapat mengakibatkan gangguan pada salah satu

beberapa atau bahkan semua kemampuan berbahaya (afasia

global). Secara umum afasia dibedakan menjadi afasia motorik,

afasia sensorik, afasia transkortikal sensorik, afasia

transkortikal motorik, afasia anomik dan afasia global.

Kemampuan pemahaman bahasa menjadi indikator penting

untuk kemandirian aktivitas fungsional, artinya semakin berat

gangguan afasia sensorik yang diderita, semakin sulit tercapai

kemandirian dalam aktivitas sehari-hari.

Pasien afasia harus diajak berbicara dengan suara biasa

afasia bukan gangguan pendengaran, jadi tidak perlu

berteriak keras). Selain itu, jangan terlalu cepat dan dengan

kalimat pendek yang mengandung satu informasi saja dalam

setiap kalimat. Akan lebih bermanfaat apabila stimulasi

auditori (bahasa verbal) yang diberikan secara simultan

dengan stimulasi visual (bahasa tulisan atau gambar-gambar).

Pasien afasia jangan diajarkan mengeja huruf, karena akan

membuat pasien frustasi. Mengeja merupakan fungsi

hemisfer kiri yang justru terganggu. Stimulasi melalui lagu,

menyanyikan dan menyuarakan syair lagu yang sudah

pasien kenal sebelum sakit akan lebih bermanfaat.

2. Disartria

Disartria didefinisikan sebagai gangguan dalam

mengekspresikan bahasa verbal, akibat kelemahan,

spastisitas dan atau gangguan koordinasi pada organ

bicara dan artikulasi.

Parameter bicara yang terkena pada disatria antara lain

respirasi, fonasi/suara, artikulasi, resonansi dan prosodi.

Tergantung letak lesi disatria dibedakan atas disatria

flaksid, spastik, ataksik, hipokinetik dan hiperkinetik.

Terapi latihan diberikan sesuai dengan penyebab disatria,

antara lain untuk memperbaiki kontrol pernapasan,

meningkatkan kelenturan dan penguatan organ bicara

dan artikulasi termasuk otot wajah, otot leher dan otot

pernapasan.

Gangguan Fungsi Luhur

Fungsi kortikal luhur merupakan fungsi yang paling

luhur pada manusia, yang membedakan manusia dengan

mahkluk Tuhan lainnya. Kerja fungsi ini melibatkan jaringan

yang rumit dan kompleks serta sulit untuk dipisahkan karena

saling terkait satu sama lain. Untuk memudahkan pemahaman,

fungsi kortikal luhur dibedakan menjadi fungsi berbahasa,

fungsi memori, fungsi visuospasial, fungsi emosi dan fungsi

kognisi. Fungsi kognisi seseorang memerlukan intaknya

fungsi kortikal luhur yang lain. Fungsi kognisi antara lain

kemampuan atensi, konsentrasi, registrasi, kategorial,

kalkulasi, persepsi, proses pikir, perencanaan, tahapan serta

pelaksanaan aktivitas/tugas, pertimbangan baik buruk,

bahaya tidak bahaya, pemecahan masalah dan lain se-

bagainya. Pasien stroke disertai gangguan fungsi luhur

memerlukan rehabilitasi spesifik. Rehabilitasi untuk me-

ngembalikan kemampuan fungsional (karena ada gangguan

fungsi kognisi) tersebut lebih sulit dan memerlukan waktu

lebih lama. Salah satu yang perlu mendapat perhatian adalah

hemi-neglect. Pasien dengan gangguan hemi-neglect

umumnya mempunyai lesi di hemisfer kanan dan mengabaikan

semua yang berada di sisi kirinya. Pasien tersebut seringkali

berjalan menabrak pintu yang ada di sebelah kiri, jatuh

tersandung benda yang berada di sisi kiri, atau tidak

menyadari ada makanan atau minuman yang diletakkan di

sisi kirinya. Gangguan hemi-neglect paling parah adalah ia

tidak mengenali tangan kirinya sebagai bagian dari tubuhnya.

Gangguan ini tidak sama dengan hemianopsia, dimana lapang

pandang pasien menjadi terbatas.

Gangguan Menelan

Gangguan menelan disebut sebagai disfagia. Insiden

gangguan menelan akibat stroke cukup banyak berkisar

antara 30-65%.2,11,12 Sekitar 30% akan pulih dalam 2 minggu,

sisanya akan pulih dalam bulan-bulan berikutnya. Disfagia

merupakan gejala klinis penting karena menempatkan pasien

pada risiko aspirasi dan pneumonia, selain dehidrasi dan

malnutrisi.

Suara pasien yang serak basah perlu dicurigai adanya

gangguan menelan. Mendeteksi adanya disfagia dapat

dilakukan melalui pemeriksaan sederhana sebagai berikut:

1. Pasien mampu memahami tujuan tes ini dan kooperatif.

2. Posisikan pasien duduk tegak. Apabila belum ada

keseimbangan duduk, perlu diberikan tunjangan bantalan

agar dapat mempertahankan posisi duduk dengan baik.

3. Berikan satu sendok teh (5 ml) air dingin, minta pasien

untuk menelan dengan kepala sedikit menunduk.

4. Perhatikan apakah pasien mampu menutup bibir saat

mencoba menelan.

5. Lihat atau lakukan palpasi dengan meletakan jari pada

laring, rasakan apakah terjadi elevasi laring yang

menunjukan terjadinya proses menelan. Monitor apakah

ada keterlambatan atau terjadi proses menelan yang

inkomplit.

6. Minta pasien untuk menyuarakan huruf “aaaa.....” Moni-

tor suara yang terdengar kering atau basah/serak.

7. Minta pasien berusaha membatukkan lendir, ulangi

menyuarakan huruf aaa.... Monitor kembali bagaimana

suara yang terdengar.

Apabila ternyata pasien tidak dapat menelan atau suara

menjadi basah, maka makan dan minum per oral harus

dihentikan. Pasien memerlukan pemeriksaan fungsi menelan

lebih lanjut dengan VFSS (video fluorosgraphic swallow

study) atau FEES (fiberoptic endoscopic evaluation of swal-

lowing).5,11,12

Gangguan Fungsi Miksi dan Defekasi

Gangguan miksi yang terjadi pada stroke umumnya

adalah uninhibited bladder yang menimbulkan inkontinensia

urin. Walaupun pasien kelihatannya mampu miksi, namun

69

Page 123: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

harus tetap dievaluasi apakah urin keluar tuntas, artinya

residu sisa dalam kandung kemih setelah miksi kurang dari

50-80 ml. Sisa urin yang terlalu banyak akan menyebabkan

timbulnya infeksi kandung kemih.

Pasien inkontinensia karena uninhibited bladder dapat

diatasi dengan manajemen waktu berkemih. Catat waktu serta

jumlah minum dan urine pada voiding diary selama minimal

3 hari berturut-turut. Berdasarkan voiding diary tersebut

dapat ditentukan kapan pasien setiap kali harus berkemih

dengan pengaturan minum yang sesuai. Apabila frekuensi

miksi terlalu sering, obat seperti antikolinergik dapat

membantu, namun hati-hati dengan risiko timbulnya retensio

urin.12

Gangguan defekasi pada stroke fase subakut pada

umumnya adalah konstipasi akibat immobilisasi. Perlu diingat

bahwa diare yang timbul kemudian selain gastroenteritis juga

bisa disebabkan oleh adanya skibala, terutama bila didahului

oleh obstipasi lama sebelumnya.

Sarankan pasien untuk banyak bergerak aktif, berikan

cukup cairan (sekitar 40 ml/kg BB ditambah 500 ml air/cairan

bila tidak ada kontraindikasi), serta makan makanan berserat

tinggi. Bila perlu obat laksatif dapat diberikan.

Gangguan Berjalan

Ambulasi jalan merupakan suatu aktivitas komplex yang

memerlukan tidak hanya kekuatan otot ekstremitas bawah

saja, tetapi juga kemampuan kognitif, persepsi, keseimbangan

dan koordinasi.

Terapi latihan menuju ambulasi jalan perlu diberikan

bertahap, dimulai dari kemampuan mempertahankan posisi

duduk statik dan dinamik, keseimbangan berdiri statik dan

dinamik kemudian latihan berjalan. Dalam latihan berdiri perlu

selalu diperhatikan bahwa panggul harus pada posisi ekstensi

00, lutut mengunci pada posisi ekstensi 00 sedangkan

pergelangan kaki dalam posisi netral 900 . Pastikan berat

badan tertumpu juga pada tungkai sisi yang sakit. Paralel bar

yaitu palang dari besi, kayu atau bambu yang dipasang sejajar

merupakan tempat latihan jalan yang paling baik. Letakan

kaca setinggi tubuh di depan paralel bar agar pasien dapat

melihat sendiri postur berdiri serta jalannya dan melakukan

koreksi secara aktif. Apabila jalan sudah cukup stabil di dalam

paralel bar, maka latihan jalan dapat dilanjutkan dengan

memakai tripod, yaitu tongkat yang ujung bawahnya

bercabang tiga. Untuk memperbaiki stabilitas jalan, tidak

jarang diperlukan perespon splint kaki (dynamic foot ortho-

sis) atau sepatu khusus.

Gangguan Melakukan Aktivitas Sehari-hari

Pasien yang telah kembali ke rumah seharusnya di

motivasi untuk mengerjakan semampunya aktivitas

perawatan dirinya sendiri. Apabila sisi kanan yang terkena,

pasien dapat diajarkan untuk menggunakan tangan kirinya

untuk semua aktivitas. Pastikan juga tangan yang sakit diikut-

sertakan dalam semua kegiatan (Gambar 4). Semakin cepat

dibiarkan melakukannya sendiri, semakin cepat pula pasien

menjadi mandiri. Hanya aktivitas yang dapat menimbulkan

risiko jatuh atau membahayakan pasien sendiri yang perlu

ditolong oleh keluarga.

Mengembalikan Kebugaran Fisik dan Mental

Pasien stroke seringkali mengeluh cepat lelah. Ia selalu

berupaya untuk sedikit bergerak dan lebih banyak istirahat.

Gambar 4. Aktivitas Perawatan Diri

Pasien diberikan motivasi untuk mandiri melakukan aktivitas perawatan diri menggunakan tangan sisi sehat (A) atau mengikut-

sertakan tangan sisi yang sakit disanggah oleh tangan sisi yang sehat (B). Aktivitas sehari-hari seperti ini dapat dipakai juga seba-

gai terapi latihan.

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 200970

Page 124: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH NIM... · Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah

Keluarga seringkali membenarkan perilaku seperti itu,

menganggap biasa karena pasien baru pulang rawat dan

mengharapkan kondisi seperti ini akan bertambah baik.

Kenyataannya pasien akan semakin cepat lelah bahkan untuk

aktivitas yang kecil sekalipun, seperti misalnya duduk

beberapa menit di kursi roda. Hal tersebut disebabkan oleh

endurans pasien menjadi rendah karena immobilisasi lama.

Selain itu, adanya kelemahan otot menyebabkan tenaga yang

diperlukan untuk bergerak lebih besar dari biasanya. Kedua

kondisi tersebut menyebabkan pasien menjadi cepat lelah.

Terapi yang terbaik adalah biasakan pasien sejak awal

aktif semampunya. Pasien jangan dibiarkan istirahat

berkepanjangan. Pasien dianjurkan agar sering duduk, bukan

duduk di tempat tidur melainkan duduk di kursi di luar kamar

tidur. Waktu aktif dan istirahat dijadwalkan secara

proporsional sesuai dengan kondisi pasien. Pasien dimotivasi

untuk selalu makan di kamar makan bersama keluarga dan

dibiarkan untuk mengambil makananan pilihannya sendiri.

Pasien selalu dilibatkan dalam aktivitas keluarga bahkan bagi

pasien dengan afasia. Pasien diajak berlatih yang

bertargetkan hasil misalnya melempar bola masuk ke

keranjang, bowling kecil, main catur atau halma.

Kegiatan tersebut awalnya mungkin hanya sebentar,

namun bila dilakukan sesering mungkin akan memperbaiki/

meningkatkan endurans pasien. Latihan endurans dengan

beban ringan selanjutnya dapat dimulai misalnya dengan

latihan mengayuh sepeda statik atau menggunakan thera-

band atau karet ban dalam bekas.

Suasana hati yang murung juga membuat pasien merasa

cepat lelah dan bosan. Berikan sedikit demi sedikit peran dan

tanggung jawab serta ungkapkan selalu bahwa peran serta

pasien sangat dibutuhkan oleh keluarga. Dengan demikian

pasien akan merasa dirinya masih berharga dan berguna

bagi orang lain.

Rehabilitasi Stroke Fase Kronis

Program latihan untuk stroke fase kronis tidak banyak

berbeda dengan fase sebelumnya. Hanya dalam fase ini

sirkuit-sirkuit gerak/aktivitas sudah terbentuk, membuat

pembentukan sirkuit baru menjadi lebih sulit dan lambat. Hasil

latihan masih tetap dapat berkembang bila ditujukan untuk

memperlancar sirkuit yang telah terbentuk sebelumnya,

membuat gerakan semakin baik dan penggunaan tenaga

semakin efisien. Latihan endurans dan penguatan otot secara

bertahap terus ditingkatkan, sampai pasien dapat mencapai

aktivitas aktif yang optimal.

Tergantung pada beratnya stroke, hasil luaran

rehabilitasi dapat mencapai berbagai tingkat seperti (a)

Mandiri penuh dan kembali ke tempat kerja seperti sebelum

sakit, (b) Mandiri penuh dan bekerja namun alih pekerjaan

yang lebih ringan sesuai kondisi, (c) Mandiri penuh namun

tidak bekerja, (d) Aktivitas sehari-hari perlu bantuan minimal

dari orang lain atau (e) Aktivitas sehari-hari sebagian besar

atau sepenuhnya dibantu orang lain.

Kesimpulan

Dampak gejala sisa akibat stroke sangat bervariasi dan

kompleks. Rehabilitasi stroke memerlukan keterlibatan tenaga

profesional dalam bentuk tim yang membahas secara

berkesinambungan perkembangan hasil dan secara dinamis

menetapkan intervensi yang tepat dan sesuai. Namun tidak

semua pasien mudah mendapatkan pelayanan rehabilitasi

spesialistik. Walaupun demikian banyak hal yang masih dapat

dilakukan untuk membantu pasien dan keluarganya.

Mencegah komplikasi sekunder dan mengembalikan

kemandirian pasien dapat sekaligus meringankan beban

psikososial dan ekonomi keluarga. Profesi dokter di

pelayanan kesehatan primer yang menjadi ujung tombak di

masyarakat memiliki peran yang sangat penting.

Daftar Pustaka

1. De Freitas GR, Bezerra DC, Maulaz AB, Bogousslavsky J. Stroke:

background, epidemiology, etiology and avoiding recurrence. In:

Barnes M, Dobkin B and Bogousslavsky J. (ed.) Recovery after

Stroke. Cambridge, Cambridge University Press, 2005:1-46.

2. Brammer CM, Herring GM. Stroke Rehabilitation. In: Brammer

CM, Spires MC. (ed). Manual of Physical Medicine and Rehabili-

tation. Philadelphia, Hanley & Belfus, Inc., 2002:139-66.

3. Bronstein SC, Popovich JM, Stewart-Amidei C. Promoting Stroke

Recovery. A Research-Based Approach for Nurses. St.Louis,

Mosby-Year Book, Inc., 1991:13-24.

4. Bartels MN. Pathophysiology and Medical Management of Stroke.

In: Gillen G, Burkhardt A.(ed). Stroke Rehabilitation. A Func-

tional-Based Approach. St. Louis, Mosby-Year Book, Inc., 1998:1-

30.

5. Graham A. Measurement in stroke: activity and quality of life.

In: Barnes M, Dobkin B and Bogousslavsky J. (ed.) Recovery

after Stroke. Cambridge, Cambridge University Press, 2005:135-

60.

6. O’Dell MW, Lin CD, Panagos A and Fung NQ. The Physiatric

History and Physical Examination. In: Braddom RL (ed). Physi-

cal Medicine & Rehabilitation. 3rd. Edition. Elsevier, WB Saunders

Company, 2007:1-36.

7. Granger CV, Black T and Braun SL. Quality and Outcome Mea-

sures for Medical Rehabilitation. In: Braddom RL (ed). Physical

Medicine & Rehabilitation. 3rd. Edition. Elsevier, WB Saunders

Company, 2007:151-64.

8. Wade DT. Measurement in Neurological Rehabilitation. Oxford,

Oxford University Press, 1994:3-14,26-34.

9. Wood-Dauphinee S, Kwakkel G. The impact of rehabilitation on

stroke outcomes: what is the evidence? In: Barnes M, Dobkin B

and Bogousslavsky J. (ed.) Recovery after Stroke. Cambridge,

Cambridge University Press, 2005:161-88.

10. Tong HC, Brammer CM. Deconditioning and Bed Rest. In:

Brammer CM, Spires MC.(ed). Manual of Physical Medicine and

Rehabilitation. Philadelphia, Hanley & Belfus, Inc., 2002:221-

9.

11. Harvey RL, Roth EJ, Yu D. Rehabilitation in Stroke Syndromes.

In: Braddom RL (ed). Physical Medicine & Rehabilitation. 3rd.

Edition. Elsevier, WB Saunders Company, 2007:1175-212.

12. Harwood R. Huwez F, Good D. Stroke Care. A Practical Manual.

Oxford, Oxford University Press, 2005.

MS

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 2, Pebruari 2009

Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

71