aspek hukum pidana terhadap informed consent *)

12
Aspek ASPEK HUKUM PIDANA TERHADAP INFORMED CONSENT *) Oleh : Loebby Loqrnan Meskipun di dalam prktek hak mem- berikan informasi kepada pasien ten tang apa yang akan dilakukan oleh seorang dokter kepada pasien, dan juga persetujuan pasien atas apa yang dllakukan oleh seorang dokter sudah dilaksanakan, namnn perselisihan pen- dapat sering terjadi apabila timbul peristiwa yang tidak diharapkan. Disini jelas hnkum pidana menjadi penting artinya, demikian diungkapkan penulis dalam tulisan ml, yang mencoba memaparkan Aspek Hnkum Pidana ter- hadap Informed Consent PENDAHULUAN 567 Hubungan hukum antara Tenaga Kesehatan/Dokter dengan pasien akhir-akhir ini sering menjadi perbincangan di masyarakat. Apakah pembicaraan di kalangan tenaga medis, apakah diantara para ahli hukum ataukah diantara masyarakat yang berhubungan dengan perawatan medis. Tirnbulnya masalah tersebut adalah karena sering diberitakan dalam mass media terhadap peristiwa-peristiwa, dirnana diduga terdapat "kesalahan-kesalahan" dalam suatu perawatan medis. Oleh karena itu dicari siapkah yang harus bertanggung jawab terhadap peristiwa yang menyebabkan kematian atau cacatnya seorang pasien dalam suatu peristiwa perawatan medis, dirnana pada akhirnya sampai ke suatu pembicaraan tentang Informed Consent, yakni memberikan informasi kepada pasien, serta persetujuan .pasien terhadap hal-hal yang akan dilakukan oleh seorang dokter . • ) Disampaikan pada Seminar Informed Consent di RS Pertamina, tanggal31 Agustus 1991

Upload: others

Post on 21-Nov-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Aspek

ASPEK HUKUM PIDANA TERHADAP INFORMED CONSENT *)

Oleh : Loebby Loqrnan

Meskipun di dalam prktek hak mem­berikan informasi kepada pasien ten tang apa yang akan dilakukan oleh seorang dokter kepada pasien, dan juga persetujuan pasien atas apa yang dllakukan oleh seorang dokter sudah dilaksanakan, namnn perselisihan pen­dapat sering terjadi apabila timbul peristiwa yang tidak diharapkan. Disini jelas hnkum pidana menjadi penting artinya, demikian diungkapkan penulis dalam tulisan ml, yang mencoba memaparkan Aspek Hnkum Pidana ter­hadap Informed Consent

PENDAHULUAN

567

Hubungan hukum antara Tenaga Kesehatan/Dokter dengan pasien akhir-akhir ini sering menjadi perbincangan di masyarakat. Apakah pembicaraan di kalangan tenaga medis, apakah diantara para ahli hukum ataukah diantara masyarakat yang berhubungan dengan perawatan medis.

Tirnbulnya masalah tersebut adalah karena sering diberitakan dalam mass media terhadap peristiwa-peristiwa, dirnana diduga terdapat "kesalahan-kesalahan" dalam suatu perawatan medis. Oleh karena itu dicari siapkah yang harus bertanggung jawab terhadap peristiwa yang menyebabkan kematian atau cacatnya seorang pasien dalam suatu peristiwa perawatan medis, dirnana pada akhirnya sampai ke suatu pembicaraan tentang Informed Consent, yakni memberikan informasi kepada pasien, serta persetujuan .pasien terhadap hal-hal yang akan dilakukan oleh seorang dokter .

• ) Disampaikan pada Seminar Informed Consent di RS Pertamina, tanggal31 Agustus 1991

568 Hukum dan Pembangunan

Padahal Informed Consent itupun belum menyelesaikan pennasalahan yang terjadi didalam praktek. Dengan kata lain rneskipun didalam praktek memberikan informasi kepada pasien tentang apa yang akan dilakukan oleh seorang dokter dan juga dimintakan persetujuan pasien atas apa yang akan dilakukan oleh seorang dokter, tetap terjadi selisih pendapat apabila terjadi suatu peristiwa yang tidak diharapkan. Umpamanya apabila terjadi suatu kematian atau cacat setelah suatu perawatan oleh dokter atau tenaga medis lainnya.

Apabila hal demikian sampai ke pengadilan, rnaka hukum pidana akan menjadi penting artinya. Untuk mengetahui sejauh mana terjadi suatu kesalahan, maka harus dibuktikan melalui hukurn pidana. Meskipun tidak selamanya permasalahan akan dapat diselesaikan rnelalui hukum pidana.

Hubungan antara pasien dan dokter semula merupakan hubungan antara individu. Akan tetapi apabila dalam perawatan terjadi meninggalnya atau terjadi caeat terhadap pasien, maka hubungan ersebut telah berubah menjadi hukuman dalam hukum pidana. Yakni hubungan antara individu, masyarakat dan negara. Sedangkan apabila hal ini terjadi maka sanksinya bukan sekedar suatu ganti rugi atas · kerugian yang dialami oleh pihak lain, tetapi sudah sampai ke suatu yang bersifat "memberi derita" kepada mereka yang dianggapnya bersalah.

Pasal-pasal yang mana saja dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dapat diterapkan kepada peristiwa yang menyebabkan kematian atau cacatnya seorang pasien, hampir setiap dokter telah rnengetahuinya. Juga pasal berapa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yanga berkaitan dengan hubungan perawatan seorang dokter, barangkali juga banyak yang telah mengetahuinya.

Masalah yang timbul, adalah sejauh mana infonnasi yang telah diberikan oleh seorang dokter kepada pasien terhadap apa yang akan dilakukan sehingga apabila terjadi hal yang tidak diinginkan, bukanlah menjadi tanggung jawab seorang dokter itu lagi. Juga masalah ten tang sejauh mana persetujuan yang telah diberikan pasien kepada dokter yang merawatnya, dapat melepaskan dokter tersebut dari tanggung jawab apabila terjadi hal yang menyebabkan kernatian atau caea!.

Aspek 569

Kedua hal tersebut diatas menjadi perhatian untuk dicari pemecahannya. Dengan suatu catatan bahwa dalam uraian ini terutama melalui pendekatan ilmu hukum khususnya ilmu hukum pidana.

HAK INDIVIDU

Yang paling berhak atas diri seseorang, baik badannya maupun jiwanya adalah orang itu sendiri. Sekalipun demikian terhadap sebuah nyawa, meskipun nyawa tersebut milik orang lain yang mempunyai nyawa, tidak demikian saja dapat menyuruh orang lain untuk menghilangkannya alas permintaan dari orang yang mempunyi nyawa tersebut. Itulah sebabnya perihal euthanasia selalu menjadi perdebatan dimana saja, sekalipun dinegara yang menganut prinsip kebebasan individu. Sedangkan terhadap badan seseorang hak atasnya adalah sepenuhnya ada pada diri orang itu sendiri.

Bahakan dengan adanya lembaga "Habeas Corpus merupakan bukti sejauh mana hak individu seseorang harus dihormati. Sedangakan dalam dunia kedokteran terjadi peristiwa-peristiwa yang pada hakekatnya dapat dianggap sebagai penganiayaau meskipun dengan latar belakang medis. Itulah sebabnya selalu akan menjadi permasalahan apabila terjadi pelanggaran terhadap diri seseorang meskipun semula dimulai dengan suatu perjanjian dalam bidang medis.

Dari hak pribadi inilah sebenamya timbul hak dalam informed consent, meskipun pada hakekatnya dalam pelayanan kesehatan adalah demi kepentingan si pasien itu sendiri. Dalam pelayanan kesehatan, hak yang dijamin secar yuridis termasuk di Indonesia, diharap](an dengan hak pribadi. Disatu pihak dokter wajib berusaha memberikan pelayanan kesehatan,di pihak lain aoa suatu hak pribadi dimana harus ada persetujuan-persetujuan terhadap hal-hal yang akan dilakukan terhadap orang tersebut.

INFORMED CONSENT

Dari segi yuridis, hubungan antara dokter dan pasien merupakan suatu hubungan perjanjian diantara mereka. Apabila ada suatu persetujuan yang harus ditanda tangani pasien, berarti telah terjadi suatu perjanjian secara tertulis. Sedangkan apabila tidak dilakukan penanda tanganan suatu persetujuan, artinya telah terjadi suatu perjanjian secara diam-diam.

Desember 1991

570 Hukum Ihln Pembangunan

Bertitik tolak dari adanya perjanjian diatas, maka suatu informed consent haruslah sedemikian rupa agar isi perjanjian tersebut baik tertulis maupun lisan dapat dimengerti oleh pihak-pihak yang melakukan perjanjian. Dalam hal ini tentunya informasi yang diberikan oleh seorang dokter diharapkan dapat dimengerti oleh pasien.

Seperti dikatakan oleh Paul S. Appelbaum, Cbarles W. Lindz dan Alan Meisel yang dikutip oleh Soerjono Soekanto, arti informed consent adalah : ••••. .Iegal rules prescibe behaviors for physicians in their interaction with patients and provide for penalties, under given circumstances, if physicians deviate from those expectations; to an etbical doctrine, rooted in our society's cberished value of autonomy, that insure the patients their right os self determination when medical decisions need to made; and to an interpersonal process whereby pbysicians ...... interact with patients to select an appropriate course of medical care .•

Dengan kutipan diatas, suatu informed consent sebenarnya adalah awal dilakukan perjanjian antara dokter dan pasien. Pasien menyetujui hak pribadinya dilanggar setelah ia · mendapatkan informasi dari dokter terhadap hal-hal yang akan dilakukan dokter sehubungan dengan pelayanan kesehatan yang akan diberikan kepadanya.

Yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah sifat dari informasi. Oleh sebab itu informasi tersebut haruslah dapat menunjukkan sejauh mana resiko yang akan terjadi terhadap pelayanan sejauh mana resiko yang akan terjadi terhadap pelayanan kesehatan yang akan diberikan terhadap pasien. Bukan hanya sekedar sejauh mana resiko yang akan terjadi, akan tetapi juga sejauh mana keseriusan resiko tersebut terhadap badan pasien yang akan mendapat pelayanan kesehatan tersebut.

Apabila secara sepintas diuraikan hal-hal tentang informasi yang harus diberikan oleh dokter dan persetujuan yang diberikan oleh pasien, terlihat seolah-olah suatu pernyataan yang tegas didalamnya. Padabal justeru karena informasi serta persetujuan tersebutlah sering menjadi permasalahan dalam praktek.

Banyak faktor menyebabkan informed consent tidak seperti yang diharapkan. Faktor subyektif yang menjadi kekhususan seseorang dapat saja menjadikan penyimpangan dari informasi yang telah diberikan oleh dokter. Suatu sifat khusus yang mungkin hanya ada pasien menyebabkan

Aspek 571

terjadinya penyimpangan akibat suatu pelayanan kesehatan. Dapat juga penyimpangan dari infonnasi yang telah diberikan sebelum persetujuan terjadi, karena kurang dipahaminya informasi yang diperoleh pasien. Belum lagi segi-segi teknis ilmu kedokteran yang kebanyakan tidak dapat dimengerti oleh orang-orang awam, dan faktor inilah menurut pendapat penulis amat diraskan dalam praktek.

Oleh karena itu hal yang paling utama dalam infonned consent adalah "dapat dimengertinya" infonnasi oleh pasien. Dengan kata lain, kepentingan pasienlah yang harns diperhatikan. Infonnasi yang diberikan oleh dokter benar-benar harns mengarah kepada memberikan pengertian terhadap apa yang akan dilakukan dan sejauh mana resiko yang akan terjadi secara jelas.

HUKUM PIDANA

Peranan hukum pidana adalah sebagai hukum sanksi (sanctie recht), oleh sebab itu terhadap adanya hukum sanksi seharusnya didahului dengan hukum nonna (nonn recht). Dalam hal pelayanan kesehatan, hukum normanya adanya hukum kesehatan itu sendiri, sedangkan terhadap penyimpangan barulah kita berbicara tentang hukum sanksi, yakni hukum pi dana dalam bidang kesehatan.

Hukum pi dana merupakan salah satu aspek dari terjadinya penyimpangan dalam pelayanan kesehatan. Hal itu terjadi apabila menyangkut kematian atau terjadinya cacat sebagai akibat suatu pelayanan kesehatan. Banyak pendapat mengatakan bahwa dengan adanya persetujuan pasien atas pelayanan kesehatan merupakan dasar peniadaan pidana. Artinya bahwa pasien telah mengetahui serta menyetujui risiko apa yang akan terjadi dalam pelayanan kesehatan yang diberikan dokter padanya, sehingga apabila terjadi hal diluar apa yang diharapkan adalah bukan lagi tanggung jawab dokter yang telah memberikan pelayanan kesehatan.

Secara "mudahnya" memang hal diatas dapat diterima, akan tetapi seperti diutarakan diatas, banyak faktor yang menyebabkan masih timbulnya masalah dalam informed consent. Terutama tentang ketidak pahaman segi-segi teknis ilmu kedokteran bagi pasien. Dimana tentunya hal tersebut tidak mungkin dijelaskan secara rinci kepada pasien. Akan tetapi apakah memang benar informed consent merupakan dasar

Desember 1991

572 Hukum dan Pembangunan

peniadaaan pidana, oleh karena telah diinformasikan dan telah disetujui risikonya maka apapun yang terjadi sebagai akibat suatu pelayanan kesehatan bukan lagi menjadi tanggung jawab dokter yang merawatnya. Hal inilah yang menjadi porsi analisis hukum pidana.

Suatu perjanjian yang didasari oleh hal yang melanggar undang­undang, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. QLeh sebab itu menjadi suatu hal yang perlu diperhincangkan sejauh man informasi yang diberikan dokter kepada pasiennya sudah dianggap memenuhi perjanjian dengan segala akibatnya yang mungkin akan timbul.

Suatu hal yang harus diteliti terlebih dahulu adalah sifat dari hukum pidana itu sendiri. Apa sebenamya tujuan pengaturan hukum pidana, seperti diketahui hukum pidana adalah hukum yang kejam diantara hukum yang ada. Sedangkan diketahui pula atauran pidana hampir terdapat di semua bidang kehidupan manusia, oleh sebab itu harus diketahui apa hakekat yang terdapat dalam hukum pidana dan sejauh mana hukum pidana memasuki suatu bidang.

Dasar utama hukum pidana adalah orang jangan membuat kesalahan. Terlebih lagi apahila akihat kesalahannya menyehabkan penderitaan orang lain. Sedang kesalahan dapat merupakan kesalahan yang disengaja ataupun hanya sekedar kelalaian helaka. Perlu mendapat perhatian bahwa uraian selanjutnya adalah apabila peristiwa-peristiwa pelayanan kesehatan tersehut hukan dalam keadaan darurat, dalam suatu keadaaan darurat hukum pidana sudah memberikan alasan pemaaf maupun alasan peniadaan kesalahan.

Dalam bidang kesehatan, justeru titik pautnya dengan hukum pidana adalah adanya kesalahan. Sejauh mana terjadi kesalahan, inilah yang menjadi permasalahan. Apakah henar peristiwa yang terjadi akihat dari suatu kesalahan. Banyak peristiwa memhuktikan adanya heda pendapat terhadap terjadinya kesalahan ini, bandingkan pendapat dalam putusan kasus dr. Setianingrum oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dengan Mahkamah Agung.

Dalam kasus diatas nyata-nyata terjadi perbedaan terhadap terjadinya suatu kesalahan, meskipun dari semula sikap hali-hali telah ditujukan oleh dokter yang bersangkutan, setelah diajukan ke depan pengadilan dianggap telah terjadi kelalaian dalam melakukan perawatan sehingga terdakwa dinyatakan hersalah. Demikian pula di Pengadilan Tinggi. Akan tetapi

Aspek 573

apabila kita perhatikan putusan Mahkamah Agung yang membatalkan putusan Pengadilan Tinggi didasari tidak adanya kesalahan dalam kasus tersebut.

Secara teori mungkin mudah memberikan konstruksi tentang kesalahan, dimana bentuk kesalahan dalarn hukum pidana dapat berupa sengaja atu kelalaian. Sedangkan bentuk kesengajaan ada tiga, yakni Kesengajaan Dalam Perbuatan Yang Memang Dikebendaki (opzet als oogmerk), Kesengajaan Dengan Kepastian Yang Disadarinya (opzet bij zekerbeid bewustzijn), dan Kesengajaan Dengan Kemungkinan Yang disadari (opzet bij mogelijkheid bewustzijn). Kesalahan ada dua macam yakni kelalaian berat dan kelalaian ringan.

Bentuk-bentuk kesalahan diatas, semata-mata untuk menentukan penjatuhan pi dana dan bukan dalam ancaman pidananya, memang suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja mendapatkan ancaman pidana yang lebih tinggi daripada perbuatan yang dilakukan karen a suatu kelalaian. Akan tetapi apapun bentuk kesengajaan, terhadap perbuatannya mendapatkan ancaman yang sarna, demikian pula terhadap perbuatan yang dilakukan karena kelalaian, apapun bentuk °kelalaian itu, akan mendapat ancaman yang sarna. Sehingga bentuk-bentuk kesengajaan maupun kelalaian hanya dipakai sebagai ukuran pemberat maupun peringan penjatuhan pidana oleh hakim.

Permasalahan akan timbul dalam praktek tentang konstruksi bentuk­bentuk kesalahan diatas. Apabila kalau menyangkut okelalaian, kapan ada suatu kelalaian, kesulitan ini timbul karena dari semula perbuatan atau akibat yang timbul dalam suatu peristiwa memang tidak dikehandaki oleh pembuatnya. Pada hakekatnya kelalaian baru ada apabila dapat dibuktikan adanya kekurang hati-hatian. Akantetapi kekurang hat i- hatian inipun sulit untuk memberikan suatu perumusan yang bersifat menyeluruh. Ukuran kurang bati-bati lebih bersifat subyektif, banyak faktor dalam diri seseorang yang rnempengaruhi kekurang hati-hatian, dirnana faktor-faktor tersebut akan berbeda antara orang yang satu dengan orang yang lain. Sekalipun orang-orang tersebut mempunyai pendidikan yang sarna. Oleh sebab itu dalam menentukan kesalahan seseorang haruslah secara kasuistis, rnelihat keseluruhan faktor baik dala diri maupun faktor diluar diri orang yang dianggap bersalah tersebut.

Desember 1991

574 Hukum dan Pembangunan

Inilah perbedaan antara sistem hukum pi dana di Eropa Kontinental dengan sistem hukum pidana di Anglo Saxon, dimana penentuan kesalahan menu rut sistem hukum pidana Eropa Kontinental menjadi satu dalam penentuan terjadinya tindak pi dana, sedangkan di Anglo Saxon dibedakan (meskipun tidak dipisahkan) antara perbuatan seseorang dan kemampuan bertanggung jawab orang tersebut.

Untuk menentukan apakah memang telah terjadi kesalahan, menurut hukum pidana di Eropa Kontinental haruslah menjadi satu pembuktiannya dengan perbuatan yang dituduhkan. Sehingga untuk setiap perkara, disamping pembuktian atas perbuatan yang dituduhkan, juga diperiksa memang pelakunya dapat dipersalahkan. Itulah sebabnya dianggap setiap perkara pi dana yang diajukan kedepan pengadilan harns dicari hukumnya. Sedangkan sistem preseden yang dianut di Anglo Saxon, menerapkan hukum yang sarna terhadap peristiwa yang dikualifikasi sebagai peristiwa yang sarna. Tentunya dengan suatu faktor yang membedakan dengan peristiwa terdahulu . Itulah sebabnya, maka untuk setiap peristiwa akan diperiksa apakah terdakwa mampu bertanggung jawab, disamping harus diperiksa apakah terhadapnya memang patut untuk dipertanggung jawabkan.

Kembali ke pennasalahan kesalahan yang terjadi dalam dunia pelayanan kesehatan, haruslah dicari secara perkasus baik faktor yang ada dalam diri pemberi pelayanan kesehatan, pasien maupun faktor- faktor diluar kedua subyek tersebut. Kesalahan yang paling berat dalam hal pelayanan kesehatan adalah apabila terjadi kesembronoan (recklessness), kesembronoan lehih berat dari kekurangan hali -halian (negligence).

Dengan melihat urutan bentuk-bentuk kesalaban dalam bukum pi dana dapat dikatakan bahwa kesembronoan yang paling berat adalah berbatasan dengan "kesengajaan dengan kemungkinan yang disudari" , atau denga perkataan lain, kesengajaan dengan kemungkinan 'yang disadari adalah sebagai kesembronoan yang paling berat. Dalam kedua bentuk kesalaban tersebut merupakan perbatasan antara " kesengajaan " dan" kelalaian".

Sekali lagi perlu diutarakan disini bahwa hal yang pertama kali dilakukan adalah pembuktian adanya kesalahan dalam suatu peristiwa pelayanan kesehatan, sedangkan langkah berikutnya adalab menentukan bentuk dari kesalahan itu sendiri.

Aspek 575

Jadi meskipun telah ada suatu informasi oleh pemberi layanan kesehatan terhadap pasien, dimana akhirnya pasien memberikan persetujuan untuk dilakukan tindakan-tindakan medis, tetap akan menjadi suatu peristiwa yang melibatkan hukum pidana apabila ternyata timbul akibat yang disebabkan oleh suatu kesalaban.

SIFAT MEIAWAN HUKUM

Dalan hal menentiIkan apakah informed consent dapat melepaskan seseorang dari suatu pemidanaan, memurut pendapat penilis, ada naiknya apahila juga diperhatikan sifat melawan hukum dari suatu peristiwa yang terjadi. Apabnila suatu perbuatan nyata-nyata dilarang undang- undang maka perbuatan tersebut secara formal dianggap sebagai perbuatan yang melawan hukum. Akan tetapi apakah perbuatan tersebut dengan demikian harus dipidana, haruslah diperhatikan babwa apakab perbuatan tersebut secara material melawan hukum , artinya apakah memang perbuatan tersebut tercela didalam masyarakat.

Ada pendapat di Indonesia permasalaban sifat melawan hukum suatu perbuatim dipergunakan baik sifat melawan hukum dalam arti formal maupun material, tidak seprti di Belanda, dimana sifat melawan hukum material masih menjadi perdebatan, oleh karena dikhawatirkan dengan diterimannya sifat melawan hukum material dikhawatirkan akan terjadi ketidakpastian hukum. Sedangkan di Indonesia sifat melawan hukum secara material sudab diterima melalui perundangan-undangan yakni; Undang-undang No.3 Tabun 1971 ten tang Pemberatasan Tindak Pidan Korupsi, juga telah ada putusan Mahkamah Agung yang membebaskan seorang tertuduh dengan dasar bahwa perbuatannya tidak melawan hukum secara material, merkipun nyata-nyatasecara formal perbuatan tersebut melwan hukum.

Dikaitkan sifat melawan hukum dalam pembicaraan informed Consent adalah untuk melibatkan faktor ketercelaan suatu perbuatan dalam pelayanan kesehatan. Sebatas mana informasi yang diberikan oleh pemberi pelayanan kesehatan agar dapat diterima oleh masyarakat. Dengan kata lain apakah informasi yang diberikan memang sudah merupakan perbuatan yang layak, sehingga dengan kelayakan tersebut sudab dapat menutupi kesalahanapabila terjadi kematian atau eacat dalam pelayanan kesehatan.

Desember 1991

576 Hukum dan Pembangunan

Mungkin terkesan bahwa dengan mengkaitkan sifat melawan hukum dalam masalah informed consent menjadikan permasalahn lebih kabur, akan tetapi sifat melawan hukum suatu perbuatan merupakan hal yang paling hakiki dalam terjadinya tindak pidana. Ambil contoh saja, tentang penyebaran alat pencegah kehamilan, dimana nyata-nyata masih dilarang dlam KUHP, akan tetapi menu rut pendapat penulis, perbuatan tersebut tidak melawan hukum secara material, sehingga tidak ada gunanya untuk memidana perbuatan penyebaran alat pencegah kehamilan.

Penentuan· sejauh mana informasi yang telah' diberikan dalam suatu pelayana kesehatan, terkait dengan kelayakan pemberian informasi tersebut memberikan pengaruh kepada pasien untuk memberikan persetujuannya sehingga dengan demikian perlu ditegaskan sekali lagi informasi harus berlandaskan kepentingan pasien.

Lain daripada itu, sutau waktu terjadi dimana pasien bimbang untuk melakukan penentuan, hal demikian dapat terjadi apabila informasi yang diberikan menunjukan beberapa altematif yang dapat diambil. Barangkali disinilah diperlukan kelayakan pemberian informasi sehingga pasien dapat memutuskan altematif mana yang dapat disetujuinya.

PENUTUP

Informed Consent itu sendiri sebenamya terlepas dari masalah hukum pidana, akan tetapi merkipun telah ada informed consent dimana terjadinya suatu kesalahan dalam hal demikian hukum pi dana dapat dikaitkan.

Oleh karena itu diperhatikan apakah dalamn pembabasan informed consent diarahkan untuk mengadakan peraturan pidana, artinya diperlukan suatu peraturan pi dana untuk mengatur hubungan pemberian informasi dan persetujuan dalam pelayana kesehatan.

Peru mendapat perhatian bahwa meskipun hukum pidana diperlukan dalam semua bidang kehidupan akan tetapi bukan berarti bukum pidana didahulukan dalam suatu penindakan, perlu diperhatikan pula bahwa tidak semua masalah akan selesai dengan penggunaan hukum pidana.

Kepentingan pasien adalah dasar utama pemberian informasi, meskipun diakui terjadi kesulitan komunikasi yang disebabkan adanya kesenjangan anatara pengetabuan pasien dan pengetabuan pemberi layana kesehatan. Istilab-istilah sosialogis perlu dikembangkan agar kesenjangan tersebut dapat diperkecil. Dengan demikan berarti petugas pemberi layanan

Aspek 577

kesehatan sedapatnya menghindari istilah-istilah teknis kedokteran, dan dicari padanannya dalam istilah sehari-hari.

Penindakan melalui hukum pi dana hendaknya dilakukan secara per kasus, sehingga dengan demikian dapat dilihat seluruh faktor yang mempengaruhi terjadinya suatu peristiwa.

Sebaiknya tidak mencari suatu penyelesaian yang bersifat umum, meskipun ada azas-azas umum dalam hukum pidana. Undang-undang hukum pidana yang memberikan ketentuan yang bersifat limitatif justru akan dapat membelenggu suatu persoalan yang terjadi dalam praktek, dimana selalu banyak variasi. Perkembangan dalam praktek hendaknya diikuti dalam perkembangan ilmu hukum, sedangkan terhadap penindakannya perkembangan dalam praktek hendaknya diikuti melalui putusan pengadilan.

Mungkin dalam hal yang terakhir ini yang mendapat kesulitan dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia . Perkembangan melalui puiusan pengadilan sulit untuk didapatkan. Hal ini terjadi karena keengganan anggota masyarakat untuk berurusan dengan pengadilan, baru ada apabila ada perkara yang masuk ke Pengadilan, disamping itu perkembangan ilmu hukum dalam putusan pengadilan diharapkan lebih banyak lagi dilakukan oleh para hakim.

Pada akhirnya keseluruhan persoalan akan kembali kepada manusia yang terkait dalam masalah-masalah informed consent ini. Baik pemberi pelayanan kesehatan, pasien, atau siapapun yang berhunungan dengan pelayana kesehatan. Faktor manusialah akhimya memegang peranan dalam segala hal.

DAFI'AR PUSTAKA

Groenhuisen, M.M.S. en D. Van der Landen, (Red), DE MOD ERNE RICHTING IN HET STRAFRECHT, Teori - Praktijk, Latere Ontwikkelingen on Actuele Betekenis, Gouda Quint by Amhem, 1990.

Hazewinkel-Suringa, D., INLEIDING TOT STUDIE HET NEDERLANDSE STRAFRECHT, Bewerkt door Mr. J. Remmelink, Samson H.D. Tjeenk Willink, Alphen aid Rijn, 1984.

Desember 1991

578 H uJcum dan Pembangulllln

Jacob, Francis, G., CRIMINALRESPONSmILITY, London Schoool of Economics and Politicals Sciences, Londone, 1971.

Ninik Mariyanti, MAIAPRAKTEK KEDOKTERAN, Bina Aksara, Jakarta, 1988.

Oemar SenoAdji, PROFESI DOKTER, Erlangga,jakarta, 1991.

Soerjono Soekanto, SEGI-SEGI HUKUM HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN, C. V. Mandor Maju, bandung, 1990.

Soejono Soekanto dan Herkutanto, PENGANTAR HUKUM KESE­HAT AN, C.V. Remaja Karya, Ba~dung, 1987.

Tamba, B.I.T" . PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DOKTER DAIAM MElAKUKAN PERAWATAN, Disertasi, Universitas Indonesia, 1990.

Redaksi i'J\ajalah HUKUM dan PEMBANGUNAN beserta segenap karyawannya,

1t1e"9uropkan :

Selamat Hari Natal dan

Tahun Baru 1992