ashd
DESCRIPTION
AshdTRANSCRIPT
Penatalaksanaan ASHD
Non farmakologi
Self care
Perawatan mandiri mempunyai andil dalam keberhasilan pengobatan gagal jantung dan
dapat memberi dampak yang bermakna pada keluhan-keluhan pasien, kapasitas fungsional,
morbiditas dan prognosis. Perawatan mandiri dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan
yang bertujuan untuk mempertahankan stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat
memperburuk kondisi dan deteksi dini gejala-gejala perburukan. Untuk bisa merawat dirinya
pasien perlu diberi pelatihan baik oleh dokter atau perawat terlatih.
Topik Edukasi Keterampilan dan Perilaku Perawatan Mandiri
Definisi dan etiologi gagal jantung
Memahami penyebab gagal jantung dan mengana keluhan-keluhan timbul
Gejala-gejala dan tanda-tanda gagal jantung
Memantau tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantungMencatat berat badan setiap hari Mengetahui kapan menghubungi petugas kesehatanMenggunakan terapi diuretik secara fleksibel sesuai anjuran
Terapi farmakologik Mengerti indikasi, dosis dan efek dari obat-obat digunakanMengenal efek samping yang umum obat
Modifikasi faktor risiko Berhenti merokok, memantau tekanan darahKontrol gula darah (DM), hindari obesitas
Rekomendasi diet Restriksi garam, pantau dan cegah malnutrisiRekomendasi olah raga Melakukan olah raga teraturKepatuhan mengikuti anjuran pengobatan Prognosis Mengerti pentingnya faktor-faktor prognostik dan
membuat keputusan realistik
Terapi Farmakologi
Gagal jantung ditangani secara umum untuk mengurangi beban kerja jantung, baik
secara sendiri-sendiri maupun gabungan dari:
1. Beban awal
2. Beban akhir
3. Kontraktilitas
Penanganan biasanya mulai dari NYHA kelas fungsional II, timbul gejala saat aktivitas.
1. Pengurangan beban awal
Pembatasan asupan garam dalam makanan untuk mengurangi retensi cairan. Apabila
gejala menetap diperlukan pemberian diuretik oral
Vasodilatasi vena dapat menurunkan beban awal melalui redistribusi darah dari sentral
ke sirkulasi perifer. Venodilatasi menyebabkan mengalirkan darah ke perifer dan mengurangi
aliran balik vena ke jantung.
2. Peningkatan kontraktilitas
Obat inotropik meningkatkan kekuatan kontraksi miokardium
2 golongan obat inotropik dapat dipakai:
a. Glikosida digitalis
b. Obat nonglikosida, meliputi amin simpatomimetik (epinefrin dan norepinefrin) dan
penghambat fosfodiesterase (amrinon dan enoksimon)
3. Pengurangan beban akhir
Terapi farmakologis
Pengobatan gagal jantung dengan farmakologis, secara garis besar bertujuan mengatasi
permaslahan preload, dengan menurunkan preload, meningkatkan kontraktilitas juga
menurunkan afterload. Pemilihan terapi farmakologis ini tergantung pada penyebabnya.
Selama bertahun-tahun, obat golongan diuretik dan digoksin digunakan dalam terapi gagal
jantung. Obat-obat ini mengatasi gejala dan meningkatkan kualitas hidup, namun belum
terbukti menurunkan angka mortalitas. Setelah ditemukan obat yang dapat mempengaruhi
sistem neurohumoral, RAAS dan sistem saraf simpatik, barulah morbiditas dan mortalitas
pasien gagal jantung membaik.
Angiotensin converting enzym inhibitor (ACEI)
Pasien dengan tidak ada kontra indikasi maupun pasien yang masih toleran terhadap
ACE Inhibitor (ACEI), ACEI harus digunakan pada semua pasien dengan gagal jantung yang
simtomatik dan LVEF < 40%. Terapi dengan ACEI memperbaiki fungsi ventrikel dan
kesejahteraan pasien, menurunkan angka masuk rumah sakit untuk perburukan gagal jantung
dan meningkatkan angka keselamatan. Pada pasien yang menjalani perawatan terapi dengan
ACEI harus dimulai sebelum pasien pulang rawat.
Pasien yang harus mendapatkan ACEI :
LVEF < 40%, walaupun tidak ada gejala.
Pasien gagal jantung disertai dengan regurgitasi
Kontraindikasi yang patut diingat antara lain :
Riwayat adanya angioedema
Stenosis bilateral arteri renalis
Konsentrasi serum kalsium > 5.0 mmol/L
Serum kreatinin > 220 mmol/L (>2.5 mg/dl)
Stenosis aorta berat
Cara pemberian ACEI :
Periksa fungsi renal dan elektrolit serum.
Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam
Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia
Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi meningkatkan
secara cepat sangat mungkin pada pasien yang dimonitoring ketat.
Kemungkinan yang dihadapi saat memberikan ACEI :
Perburukan fungsi renal – peningkatan urea dan kreatinin saat diberikan ACEI
adalah sesuatu yang diharapkan, dan tidak dianggap penting secara klinis
kecuali jika peningkatanya cepat dan bermakna. Periksa obat-obatan
nefrotoxic yang mungkin diberikan bersamaan seperti obat anti inflamasi non
steroid (OAINS). Jika diperlukan turunkan dosis ACEI atau jangan teruskan.
Jika terdapat peningkatan kreatinin lebih dari 50% dari baseline atau hingga
konsentrasi absolut 265 mmol/L (~3 mg/dL). Jika konsentrasi kreatinine
meningkat hingga 310 mmol/L (~3.5 mg/dL) atau diatasnya stop ACEI
secepatnya dan monitor kimia darah secara erat.
Hiperkalemia – periksa penggunaan agen lain yang dapat menyebabkan
hiperkalemia, misalnya suplementasi kalsium, diuretik hemat kalsium, dan
hentikan penggunaannya. Jika kadar kalsium meningkat diatas 5.5 mmol/L,
turunkan dosis ACEI setengahnya dan monitor kima darah secara erat. Jika
kalisum naik diatas 6 mmol/L stop penggunaan ACEI secepatnya dan monitor
kimia darah secara erat.
Hipotensi simtomatik (misal : pusing) adalah hal yang umum terjadi – hal ini
seringkali membaik seiring waktu, dan pasien perlu diyakinkan. Jika
mengganggu pertimbangkan untuk mengurangi dosis diuretik dan agen
hipotensif lainnya (kecuali ARB/ β-bloker/antagonis aldosteron). Hipotensi
asimtomatik tidak memerlukan intervensi.
Angiotensin reseptor bloker (ARB)
Pada pasien dengan tnpa kontraindikasi dan tidak toleran dengan ACE, ARB
direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung dan LVEF < 40% yang tetap simtomatik
walau sudah mendapatkan terapi optimal dengan ACEI dan BB, kecuali telah mendapat
antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kejahteraan
pasien dan mengurangi hospitalisasi untuk perburukan gagal jantung. (Kelas Rekomendasi I,
Tingkat Bukti A).
Pemberian ARB mengurangi risiko kematian karena penyebab kardiovaskular. Kelas
Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B. ARB direkomendasikan sebagai alternatif pada pasein
yang intoleran terhadap ACEI. Pada pasien-pasien ini pemberian ARB mengurangi risiko
kematian akibat kardiovaskular atau perlunya perawatan akibat perburukan gagal jantung.
Pada pasien yang dirawat, terapi dengan ARB harus dimulai sebelum pasien
dipulangkan.Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B.
Pengobatan dengan ARB meningkatkan fungsi ventrikel dan kesehatan pasien dan
menurunkan angka masuk rumah sakit akibat perburukan gagal jantung. Angiotensin
Reseptor Blockerdirekomendasikan sebagai pilihan lain pada pasien yang tidak toleran
terhadap ACEI.
Pasien yang harus mendapatkan ARB :
Left ventrikular ejection fraction (LVEF)< 40%
Sebagai pilihan lain pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II-IV NYHA) yang tidak toleran terhadap ACEI.
Pasien dengan gejala menetap (kelas fungsionaal II-IV NYHA) walaupun
sudah mendapatkan pengobatan dengan ACEI dan bete bloker.
Memulai pemberian ARB:
Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum
Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam.
Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia
Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi meningkatkan secara
cepat sangat mungkin pada pasien yang monitoring ketat.
β-bloker / Penghambat sekat beta
Alasan penggunaan beta bloker(BB) pada pasien gagal jantung adalah adanya gejala
takikardi dan tingginya kadar katekolamin yang dapat memperburuk kondisi gagal jantung.
Pasien dengan kontraindikasi atau tidak ditoleransi, BB harus diberikan pada pasien gagal
jantung yang simtomatik, dan dengan LVEF < 40%. BB meningkatkan fungsi ventrikel dan
kesejahtraan pasien, mengurangi kejadian rawat akibat perburukan gagal jantung, dan
meningkatkan keselamatan. Jika memungkinkan pada pasien yang menjalani perawatan,
terapi BB harus dimulai secara hati-hati sebelum pasien dipulangkan. Kelas Rekomendasi I,
Tingkat Bukti A.
Manfaat beta bloker dalam gagal jantung melalui:
Mengurangi detak jantung : memperlambat fase pengisian diastolik sehingga
memperbaiki perfusi miokard.
Meningkatkan LVEF
Menurunkan tekanan baji kapiler pulmonal
Pasien yang harus mendapat BB:
LVEF < 40%
Gejala gagal jantung sedang-berat (NYHA kelas fungsional II-IV), pasien
dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri setelah kejadian infark miokard.
Dosis optimal untuk ACEI dan/atau ARB (dan aldosterone antagonis jika
diindikasikan).
Pasien harus secara klinis stabil (tidak terdapat perubahan dosis diuresis).
Inisiasi terapi sebelum pulang rawat memungkinkan untuk diberikan pada
pasien yang baru saja masuk rawat karena GJA, selama pasien telah membaik
dengan terapi lainnya, tidak tergantung pada obat inotropik intravenous, dan
dapat diobservasi di rumah sakit setidaknya 24 jam setelah dimulainya terapi
BB.
Kontraindikasi :
Asthma (COPD bukan kontranindikasi).
AV blok derajat II atau III, sick sinus syndrome (tanpa keberadaan
pacemaker), sinus bradikardi (<50 bpm).
Bagaimana menggunakan BB pada gagal jantung :
Dosis awalan : bisoprolol 1 x 1.25 mg, carvedilol2 x 3.125-6.25 mg,
metoprolol CR/XL 1 x 12.5-25 mg, atau nebivolol 1 x 1.25 mg. Dengan
supervisi jika diberikan dalam setting rawat jalan.
Pada pasien yang baru mengalami dekompensasi, BB dapat dimulai sebelum
pasien dipulangkan dengan hati-hati.
Titrasi dosis :
Kunjungan tiap 2-4 minggu dapat digunakan untuk meningkatkan dosis BB
(peningkatan dosis yang lebih lambat mungkin dibutuhkan pada beberapa pasien
degan gagal jantung yang berat). Jangan tingkatkan dosis bila terdapat
perburukan gagal jantung, hipotensi sistemik, atau bradikardia yang berlebih
(<50x/menit).
Pasien dengan tanpa permasalahan diatas, dosis BB dapat ditingkatkan 2x lipat
tiap kunjungan hingga dicapai target dosis. (Bisoprolol 10 mg o.d., carvedilol 25-
50 mg b.i.d., metaprolol CR/XL 200 mg o.d., atau vebivolol 10 mg o.d.-atau
dosis yang bisa ditoleransi maksimal.
Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung yang disertai tanda dan
gejala kongesti.Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B
Diuretik memperbaiki kesejahteraan hidup pasien dengan mengurangi tanda dan gejala
kongesi vena sistemik dan pulmoner pada pasien dengan gagal jantung. Diuretik
mengakibatkan aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) dan biasanya digunakan
bersamaan dengan ACEI atau ARB. Dosis diuretik harus disesuaikan dengan kebutuhan tiap
pasien dan membutuhkan monitoring klinis yang cermat. Secara umum loop diuretik
dibutuhkan pada gagal jantung sedang-berat. Thiazid dapat pula digunakan dengan loop
diuretik untuk edema yang resisten, namun harus diperhatikan secara cermat kemungkinan
dehidrasi, hipovolemia, hiponatremia, atau hipokalemia. Selama terapi diuretik, sangat
penting level kalium, natrium, dan kreatinine dipanantau secara berkala.4
Hal yang harus dicermati pada pemberian diuretik :
Diuretik dan ACEI/ARB/atau antagonis aldosteron dapat meningkatan risiko
hipotensi dan disfungsi ginjal, terutama jika digunakan bersamaan.
Pasein dengan menggunakan ACEI/ARB/antagonis aldosteron digunakan
bersamaan dengan diuretik, penggantian kalium biasanya tidak dibutuhkan.
Hiperkalemia yang berat dapat terjadi jika diuretik hemat kalsium termasuk
antagonis aldosteon digunakan bersamaan dengan ACEI/ARB. Penggunaan
diuretik antagonis non-aldosteron harus dihindari. Kombinasi dari antagonis
aldosteron dan ACEI/ARB hanya boleh diberikan pada supervisi yang cermat.
Penggunaan diuretik pada gagal jantung :
Periksa selalu fungsi ginjal dan serum elektrolit.
Kebayakan pasien diresepkan loop diuretik dibandingkan thiazid karena
efektivitasnya yang lebih tinggi dalam memicu diuresis dan natriuresis.
Selalu mulai dengan dosis rendah dan tingkatkan hingga terrdapat perbaikan
klinis dari segi tanda dan gejala gagal jantung. Jenis dan dosis pemberian dapat
dilihat pada tabel 7.
Dosis harus disesuaikan, terutama setelah berat badan kering normal telah
tercapai, hindari risiko disfungsi ginjal dan dehidrasi. Upayakan untuk
mencapai hal ini dengan menggunakan dosis diuretik serendah mungkin.
Keadaan yang mungkin terjadi pada penggunaan diuretik dapat dilihat pada
tabel 8.
Penyesuaian dosis sendiri oleh pasien berdasarkan pengukuran berat badan
harian dan tanda-tanda klinis lainnya dari retensi cairan harus selalu disokong
pada pasien gagal jantung rawat jalan. Untuk mencapai hal ini diperlukan
edukasi pasien.
Keterangan: *Dosis harus disesuaikan dengan volume status / berat badan pasien , dengan pertimbangan dosis yang besar dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal dan ototoksisitas. ** Jangan menggunakan thiazid jika eGFR < 30mL/menit, kecuali diresepkan dengan loop diureti
Antagonis aldosteron
Antagonis aldosteron menurunkan angka masuk rumah sakit untuk perburukan gagal
jantung dan meningkatkan angka keselamatan jika ditambahkan pada terapi yang sudah ada,
termasuk dengan ACEI.
Pasien yang seharusnya mendapat antagonis aldosteron :
LVEF < 35%
Gejala gagal jantung sedang- berat ( kelas fungsional III-IV NYHA)
Dosis optimal BB dan ACEI atau ARB
Memulai pemberian spironolakton :
Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum
Pertimbangkan peningkatan dosis setelah 4-8 minggu. Jangan meningkatkan
dosis jika terjadi penurunan fungsi ginjal atau hiperkalemia.
Hydralizin & Isosorbide dinitratPada pasien simtomatik dengan LVEF < 40%, kombinasi dari Hidralizine-ISDN dapat
digunakan sebagai alternatif jika terdapat intoleransi baik oleh ACEI dan ARB. Penambahan
kombinasi H-ISDN harus dipertimbangkan pada pasien dengan gejala yang persisten walau
sudah diterapi dengan ACEI, BB, dan ARB atau Aldosteron Antagonis.Terapi dengan H-
ISDN pada pasien-pasien ini dapat mengurangi risiko kematian.9Kelas Rekomendasi IIa,
Tingkat Bukti B
Mengurangi angka kembali rawat untuk perburukan gagal jantung.Kelas Rekomendasi
IIa, Tingkat Bukti B
Memperbaiki fungsi ventrikel dan kemampuan latihan.Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat
Bukti A
Pasien yang harus mendapatkan hidralizin dan ISDN berdasarkan banyak uji klinis
adalah :
Sebagai alternatif ACEI/ARB ketika keduanya tidak dapat ditoleransi.
Sebagai terapi tambahan terhdap ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron
tidak dapat ditoleransi.
Manfaat pengobatan secara lebih jelas ditemukan pada keturunan afrika-
amerika.
Kontraindikasinya anatara lain hipotensi simtomatik, sindroma lupus, gagal ginjal
berat (pengurangan dosis mungkin dibutuhkan).
Cara pemberian hidralizin dan ISDN pada gagal jantung :
Dosis awalan : hidralizin 37.5 mg dan ISDN 20 mg tiga kali sehari.
Pertimbangkan untuk menaikan titrasi setelah 2-4 minggu, jangan dinaikan
bila terdapat hipotensi simtomatik.
Jika dapat ditoleransi, upayakan untuk mencapai target dosis yang digunakan
pada banyak uji klinis- yaitu hidralizine 75 mg dan ISDN 40 mg tiga kali sehari, atau
jika tidak dapat ditoleransi hingga dosis maksimal tertoleransi.
Kemungkinanan efek samping yang dapat timbul :
Hipotensi ortostatik (pusing) – seringkali membaik seiring waktu,
pertimbangkan untuk mengurangi dosis obat yang dapat menyebabkan hipotensi
(kecuali ACEI/ARN/BB/Antagonis aldosteron). Hipotensi yang asimtomatik tidak
membutuhkan intervensi.
Artralgia, nyeri sendi atau bengkak, perikarditis/pleuritis, ruam atau demam –
pikirkan sindroma mirip lupus akibat obat, cek antinuclear antibodies (ANA), jangan
teruskan H-ISDN.
Glikosida jantung (Digoxin)Pada pasien gagal jantung simtomatik dan atrial fibrilasi, digoxin dapat digunakn
untung mengurangi kecepatan irama ventrikel. Pada pasien dengan AF dan LVEF < 40%
digoxin dapat pula diberikan bersamaan dengan BB untuk mengontrol tekanan darah.Kelas
Rekomendasi I, Tingkat Bukti C
Pada pasien sinus ritme dengan gagal jantung simtomatik dan LVEF < 40%, terapi
dengan digoxin bersamaan dengan ACEI meningkatkan fungsi ventrikel dan kesejahteraan
pasien, mengurangi kemungkinan perawatan ulang untuk perburukan gagal jantung, hal ini
walau demikian tidak memiliki dampak terhadap angka mortalitas.Kelas Rekomendasi IIa,
Tingkat Bukti B.
Glikosida jantung menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung dengan
meningkatkan kontraksi sarkomer jantung melalui peningkatan kadar kalsium bebas dalam
protein kontraktil, yang merupakan hasil dari peningkatan kadar natrium intrasel akibat
penghambatan NaKATPase dan pengurangan relatif dalam ekspulsi kalsium melalui
penggantian Na+ Ca2+ akibat peningkatan natrium intrasel.
Digoksin memberikan keuntungan pada terapi gagal jantung dalam hal :
Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan fungsi
ventrikel kiri.
Menstimulasi baroreseptor jantung
Meningkatkan penghantaran natrium ke tubulus distal sehingga menghasilkan
penekanan sekresi renin dari ginjal.
Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan peningkatan vagal
tone.
Pasien atrial fibrilasi dengan irama ventrikular saat istirahat> 80x/menit, dan
saat aktivitas > 110-120x/ menit harus mendapatkan digoksin.
Pasien dengan irama sinus dan disfungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF < 40%)
yang mendapatkan dosis optimal diuretik, ACEI atau/ dan ARB, beta bloker dan
antagonis aldosteron jika diindikasikan, yang tetap simtomatis, digoksin dapat
dipertimbangkan.
Antikoagulan (antagonis vit K)
Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif lainnya) direkomendasikan pada pasien
gagal jantung dengan atrial fibrilasi permanen, persisten, atau paroksismal tanpa adanya
kontraindikasi terhadap antikoagulasi. Dosis antikoagulan harus disesuaikan dengan risiko
komplikasi tromboembolik termasuk stroke.Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A
Antikoagulasi juga direkomendasikan pada pasien dengan trombus intrakardiak yang
terdeteksi pada echocardiography atau bukti adanya tromboembolisme sistemikKelas
Rekomendasi I, Tingkat Bukti C
Temuan yang perlu diingat :
Pada pasien atrial fibrilasi yang dilibatkan pada serangkaian uji klinis acak,
termasuk pada pasien dengan gagal jantung, warfarin ditemukan dapat mengurangi
risiko stroke dengan 60-70%.
Warfarin juga lebih efektif dalam mengurangi risiko stroke dibanding terapi
antiplatelet, dan lebih dipilih pada pasien dengan risiko stroke yang lebih tinggi,
seperti yang ditemukan pada pasien dengan gagal jantung.
Tidak terdapat peranan antikoagulan pada pasien gagal lainnya, kecuali pada
mereka yang memiliki katup prostetik.
Pada analisis dua uji klinis skala kecil yang membandingkan efektifitas
warfarin dan aspirin pada pasien dangan gagal jantung, ditemukan bahwa risiko
perawatan kembali secara bermakna lebih besar pada pasien yang mendapat terapi
aspirin, dibandingkan warfarin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Price, Sylvia. Patofisiologi dan konsep klinis penyakit. EGC. Jakarta : 2006
2. Hess OM, Carrol JD. Clinical Assessment of Heart Failure. In: Libby P, Bonow RO,
Mann DL, Zipes DP, editor. Braunwald’s Heart Disease. Philadelphia: Saunders; 2007.
p. 561-80.
3. Mann DL. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL,
editor. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: Mc graw hill;
2008. p. 1443.
4. Maisel AS, Krishnaswamy P, Nowak RM, et al: Rapid measurement of B-type natriuretic
peptide in the emergency diagnosis of heart failure. N Engl J Med 2002; 347:161-167.
5. Sudoyo, DR.dr. Aru W, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta, 2009.