ashd

18
Penatalaksanaan ASHD Non farmakologi Self care Perawatan mandiri mempunyai andil dalam keberhasilan pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak yang bermakna pada keluhan-keluhan pasien, kapasitas fungsional, morbiditas dan prognosis. Perawatan mandiri dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mempertahankan stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan deteksi dini gejala-gejala perburukan. Untuk bisa merawat dirinya pasien perlu diberi pelatihan baik oleh dokter atau perawat terlatih. Topik Edukasi Keterampilan dan Perilaku Perawatan Mandiri Definisi dan etiologi gagal jantung Memahami penyebab gagal jantung dan mengana keluhan-keluhan timbul Gejala-gejala dan tanda-tanda gagal jantung Memantau tanda-tanda dan gejala- gejala gagal jantung Mencatat berat badan setiap hari Mengetahui kapan menghubungi petugas kesehatan Menggunakan terapi diuretik secara fleksibel sesuai anjuran Terapi farmakologik Mengerti indikasi, dosis dan efek dari obat-obat digunakan Mengenal efek samping yang umum obat Modifikasi faktor risiko Berhenti merokok, memantau tekanan darah Kontrol gula darah (DM), hindari obesitas Rekomendasi diet Restriksi garam, pantau dan cegah malnutrisi

Upload: ranieffendi

Post on 25-Dec-2015

24 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Ashd

TRANSCRIPT

Page 1: Ashd

Penatalaksanaan ASHD

Non farmakologi

Self care

Perawatan mandiri mempunyai andil dalam keberhasilan pengobatan gagal jantung dan

dapat memberi dampak yang bermakna pada keluhan-keluhan pasien, kapasitas fungsional,

morbiditas dan prognosis. Perawatan mandiri dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan

yang bertujuan untuk mempertahankan stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat

memperburuk kondisi dan deteksi dini gejala-gejala perburukan. Untuk bisa merawat dirinya

pasien perlu diberi pelatihan baik oleh dokter atau perawat terlatih.

Topik Edukasi Keterampilan dan Perilaku Perawatan Mandiri

Definisi dan etiologi gagal jantung

Memahami penyebab gagal jantung dan mengana keluhan-keluhan timbul

Gejala-gejala dan tanda-tanda gagal jantung

Memantau tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantungMencatat berat badan setiap hari Mengetahui kapan menghubungi petugas kesehatanMenggunakan terapi diuretik secara fleksibel sesuai anjuran

Terapi farmakologik Mengerti indikasi, dosis dan efek dari obat-obat digunakanMengenal efek samping yang umum obat

Modifikasi faktor risiko Berhenti merokok, memantau tekanan darahKontrol gula darah (DM), hindari obesitas

Rekomendasi diet Restriksi garam, pantau dan cegah malnutrisiRekomendasi olah raga Melakukan olah raga teraturKepatuhan mengikuti anjuran pengobatan Prognosis Mengerti pentingnya faktor-faktor prognostik dan

membuat keputusan realistik

Terapi Farmakologi

Gagal jantung ditangani secara umum untuk mengurangi beban kerja jantung, baik

secara sendiri-sendiri maupun gabungan dari:

1. Beban awal

2. Beban akhir

3. Kontraktilitas

Page 2: Ashd

Penanganan biasanya mulai dari NYHA kelas fungsional II, timbul gejala saat aktivitas.

1. Pengurangan beban awal

Pembatasan asupan garam dalam makanan untuk mengurangi retensi cairan. Apabila

gejala menetap diperlukan pemberian diuretik oral

Vasodilatasi vena dapat menurunkan beban awal melalui redistribusi darah dari sentral

ke sirkulasi perifer. Venodilatasi menyebabkan mengalirkan darah ke perifer dan mengurangi

aliran balik vena ke jantung.

2. Peningkatan kontraktilitas

Obat inotropik meningkatkan kekuatan kontraksi miokardium

2 golongan obat inotropik dapat dipakai:

a. Glikosida digitalis

b. Obat nonglikosida, meliputi amin simpatomimetik (epinefrin dan norepinefrin) dan

penghambat fosfodiesterase (amrinon dan enoksimon)

3. Pengurangan beban akhir

Terapi farmakologis

Pengobatan gagal jantung dengan farmakologis, secara garis besar bertujuan mengatasi

permaslahan preload, dengan menurunkan preload, meningkatkan kontraktilitas juga

menurunkan afterload. Pemilihan terapi farmakologis ini tergantung pada penyebabnya.

Selama bertahun-tahun, obat golongan diuretik dan digoksin digunakan dalam terapi gagal

jantung. Obat-obat ini mengatasi gejala dan meningkatkan kualitas hidup, namun belum

terbukti menurunkan angka mortalitas. Setelah ditemukan obat yang dapat mempengaruhi

sistem neurohumoral, RAAS dan sistem saraf simpatik, barulah morbiditas dan mortalitas

pasien gagal jantung membaik.

Angiotensin converting enzym inhibitor (ACEI)

Pasien dengan tidak ada kontra indikasi maupun pasien yang masih toleran terhadap

ACE Inhibitor (ACEI), ACEI harus digunakan pada semua pasien dengan gagal jantung yang

simtomatik dan LVEF < 40%. Terapi dengan ACEI memperbaiki fungsi ventrikel dan

kesejahteraan pasien, menurunkan angka masuk rumah sakit untuk perburukan gagal jantung

dan meningkatkan angka keselamatan. Pada pasien yang menjalani perawatan terapi dengan

ACEI harus dimulai sebelum pasien pulang rawat.

Page 3: Ashd

Pasien yang harus mendapatkan ACEI :

LVEF < 40%, walaupun tidak ada gejala.

Pasien gagal jantung disertai dengan regurgitasi

Kontraindikasi yang patut diingat antara lain :

Riwayat adanya angioedema

Stenosis bilateral arteri renalis

Konsentrasi serum kalsium > 5.0 mmol/L

Serum kreatinin > 220 mmol/L (>2.5 mg/dl)

Stenosis aorta berat

Cara pemberian ACEI :

Periksa fungsi renal dan elektrolit serum.

Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam

Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau

hiperkalemia

Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi meningkatkan

secara cepat sangat mungkin pada pasien yang dimonitoring ketat.

Kemungkinan yang dihadapi saat memberikan ACEI :

Page 4: Ashd

Perburukan fungsi renal – peningkatan urea dan kreatinin saat diberikan ACEI

adalah sesuatu yang diharapkan, dan tidak dianggap penting secara klinis

kecuali jika peningkatanya cepat dan bermakna. Periksa obat-obatan

nefrotoxic yang mungkin diberikan bersamaan seperti obat anti inflamasi non

steroid (OAINS). Jika diperlukan turunkan dosis ACEI atau jangan teruskan.

Jika terdapat peningkatan kreatinin lebih dari 50% dari baseline atau hingga

konsentrasi absolut 265 mmol/L (~3 mg/dL). Jika konsentrasi kreatinine

meningkat hingga 310 mmol/L (~3.5 mg/dL) atau diatasnya stop ACEI

secepatnya dan monitor kimia darah secara erat.

Hiperkalemia – periksa penggunaan agen lain yang dapat menyebabkan

hiperkalemia, misalnya suplementasi kalsium, diuretik hemat kalsium, dan

hentikan penggunaannya. Jika kadar kalsium meningkat diatas 5.5 mmol/L,

turunkan dosis ACEI setengahnya dan monitor kima darah secara erat. Jika

kalisum naik diatas 6 mmol/L stop penggunaan ACEI secepatnya dan monitor

kimia darah secara erat.

Hipotensi simtomatik (misal : pusing) adalah hal yang umum terjadi – hal ini

seringkali membaik seiring waktu, dan pasien perlu diyakinkan. Jika

mengganggu pertimbangkan untuk mengurangi dosis diuretik dan agen

hipotensif lainnya (kecuali ARB/ β-bloker/antagonis aldosteron). Hipotensi

asimtomatik tidak memerlukan intervensi.

Angiotensin reseptor bloker (ARB)

Pada pasien dengan tnpa kontraindikasi dan tidak toleran dengan ACE, ARB

direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung dan LVEF < 40% yang tetap simtomatik

walau sudah mendapatkan terapi optimal dengan ACEI dan BB, kecuali telah mendapat

antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kejahteraan

pasien dan mengurangi hospitalisasi untuk perburukan gagal jantung. (Kelas Rekomendasi I,

Tingkat Bukti A).

Pemberian ARB mengurangi risiko kematian karena penyebab kardiovaskular. Kelas

Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B. ARB direkomendasikan sebagai alternatif pada pasein

yang intoleran terhadap ACEI. Pada pasien-pasien ini pemberian ARB mengurangi risiko

kematian akibat kardiovaskular atau perlunya perawatan akibat perburukan gagal jantung.

Page 5: Ashd

Pada pasien yang dirawat, terapi dengan ARB harus dimulai sebelum pasien

dipulangkan.Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B.

Pengobatan dengan ARB meningkatkan fungsi ventrikel dan kesehatan pasien dan

menurunkan angka masuk rumah sakit akibat perburukan gagal jantung. Angiotensin

Reseptor Blockerdirekomendasikan sebagai pilihan lain pada pasien yang tidak toleran

terhadap ACEI.

Pasien yang harus mendapatkan ARB :

Left ventrikular ejection fraction (LVEF)< 40%

Sebagai pilihan lain pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas

fungsional II-IV NYHA) yang tidak toleran terhadap ACEI.

Pasien dengan gejala menetap (kelas fungsionaal II-IV NYHA) walaupun

sudah mendapatkan pengobatan dengan ACEI dan bete bloker.

Memulai pemberian ARB:

Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum

Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam.

Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau

hiperkalemia

Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi meningkatkan secara

cepat sangat mungkin pada pasien yang monitoring ketat.

β-bloker / Penghambat sekat beta

Alasan penggunaan beta bloker(BB) pada pasien gagal jantung adalah adanya gejala

takikardi dan tingginya kadar katekolamin yang dapat memperburuk kondisi gagal jantung.

Pasien dengan kontraindikasi atau tidak ditoleransi, BB harus diberikan pada pasien gagal

jantung yang simtomatik, dan dengan LVEF < 40%. BB meningkatkan fungsi ventrikel dan

kesejahtraan pasien, mengurangi kejadian rawat akibat perburukan gagal jantung, dan

meningkatkan keselamatan. Jika memungkinkan pada pasien yang menjalani perawatan,

terapi BB harus dimulai secara hati-hati sebelum pasien dipulangkan. Kelas Rekomendasi I,

Tingkat Bukti A.

Manfaat beta bloker dalam gagal jantung melalui:

Mengurangi detak jantung : memperlambat fase pengisian diastolik sehingga

memperbaiki perfusi miokard.

Page 6: Ashd

Meningkatkan LVEF

Menurunkan tekanan baji kapiler pulmonal

Pasien yang harus mendapat BB:

LVEF < 40%

Gejala gagal jantung sedang-berat (NYHA kelas fungsional II-IV), pasien

dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri setelah kejadian infark miokard.

Dosis optimal untuk ACEI dan/atau ARB (dan aldosterone antagonis jika

diindikasikan).

Pasien harus secara klinis stabil (tidak terdapat perubahan dosis diuresis).

Inisiasi terapi sebelum pulang rawat memungkinkan untuk diberikan pada

pasien yang baru saja masuk rawat karena GJA, selama pasien telah membaik

dengan terapi lainnya, tidak tergantung pada obat inotropik intravenous, dan

dapat diobservasi di rumah sakit setidaknya 24 jam setelah dimulainya terapi

BB.

Kontraindikasi :

Asthma (COPD bukan kontranindikasi).

AV blok derajat II atau III, sick sinus syndrome (tanpa keberadaan

pacemaker), sinus bradikardi (<50 bpm).

Bagaimana menggunakan BB pada gagal jantung :

Dosis awalan : bisoprolol 1 x 1.25 mg, carvedilol2 x 3.125-6.25 mg,

metoprolol CR/XL 1 x 12.5-25 mg, atau nebivolol 1 x 1.25 mg. Dengan

supervisi jika diberikan dalam setting rawat jalan.

Pada pasien yang baru mengalami dekompensasi, BB dapat dimulai sebelum

pasien dipulangkan dengan hati-hati.

Titrasi dosis :

Kunjungan tiap 2-4 minggu dapat digunakan untuk meningkatkan dosis BB

(peningkatan dosis yang lebih lambat mungkin dibutuhkan pada beberapa pasien

degan gagal jantung yang berat). Jangan tingkatkan dosis bila terdapat

perburukan gagal jantung, hipotensi sistemik, atau bradikardia yang berlebih

(<50x/menit).

Page 7: Ashd

Pasien dengan tanpa permasalahan diatas, dosis BB dapat ditingkatkan 2x lipat

tiap kunjungan hingga dicapai target dosis. (Bisoprolol 10 mg o.d., carvedilol 25-

50 mg b.i.d., metaprolol CR/XL 200 mg o.d., atau vebivolol 10 mg o.d.-atau

dosis yang bisa ditoleransi maksimal.

Diuretik

Diuretik direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung yang disertai tanda dan

gejala kongesti.Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B

Diuretik memperbaiki kesejahteraan hidup pasien dengan mengurangi tanda dan gejala

kongesi vena sistemik dan pulmoner pada pasien dengan gagal jantung. Diuretik

mengakibatkan aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) dan biasanya digunakan

bersamaan dengan ACEI atau ARB. Dosis diuretik harus disesuaikan dengan kebutuhan tiap

pasien dan membutuhkan monitoring klinis yang cermat. Secara umum loop diuretik

dibutuhkan pada gagal jantung sedang-berat. Thiazid dapat pula digunakan dengan loop

diuretik untuk edema yang resisten, namun harus diperhatikan secara cermat kemungkinan

dehidrasi, hipovolemia, hiponatremia, atau hipokalemia. Selama terapi diuretik, sangat

penting level kalium, natrium, dan kreatinine dipanantau secara berkala.4

Hal yang harus dicermati pada pemberian diuretik :

Diuretik dan ACEI/ARB/atau antagonis aldosteron dapat meningkatan risiko

hipotensi dan disfungsi ginjal, terutama jika digunakan bersamaan.

Pasein dengan menggunakan ACEI/ARB/antagonis aldosteron digunakan

bersamaan dengan diuretik, penggantian kalium biasanya tidak dibutuhkan.

Hiperkalemia yang berat dapat terjadi jika diuretik hemat kalsium termasuk

antagonis aldosteon digunakan bersamaan dengan ACEI/ARB. Penggunaan

diuretik antagonis non-aldosteron harus dihindari. Kombinasi dari antagonis

aldosteron dan ACEI/ARB hanya boleh diberikan pada supervisi yang cermat.

Penggunaan diuretik pada gagal jantung :

Periksa selalu fungsi ginjal dan serum elektrolit.

Kebayakan pasien diresepkan loop diuretik dibandingkan thiazid karena

efektivitasnya yang lebih tinggi dalam memicu diuresis dan natriuresis.

Selalu mulai dengan dosis rendah dan tingkatkan hingga terrdapat perbaikan

klinis dari segi tanda dan gejala gagal jantung. Jenis dan dosis pemberian dapat

dilihat pada tabel 7.

Page 8: Ashd

Dosis harus disesuaikan, terutama setelah berat badan kering normal telah

tercapai, hindari risiko disfungsi ginjal dan dehidrasi. Upayakan untuk

mencapai hal ini dengan menggunakan dosis diuretik serendah mungkin.

Keadaan yang mungkin terjadi pada penggunaan diuretik dapat dilihat pada

tabel 8.

Penyesuaian dosis sendiri oleh pasien berdasarkan pengukuran berat badan

harian dan tanda-tanda klinis lainnya dari retensi cairan harus selalu disokong

pada pasien gagal jantung rawat jalan. Untuk mencapai hal ini diperlukan

edukasi pasien.

Keterangan: *Dosis harus disesuaikan dengan volume status / berat badan pasien , dengan pertimbangan dosis yang besar dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal dan ototoksisitas. ** Jangan menggunakan thiazid jika eGFR < 30mL/menit, kecuali diresepkan dengan loop diureti

Page 9: Ashd

Antagonis aldosteron

Antagonis aldosteron menurunkan angka masuk rumah sakit untuk perburukan gagal

jantung dan meningkatkan angka keselamatan jika ditambahkan pada terapi yang sudah ada,

termasuk dengan ACEI.

Pasien yang seharusnya mendapat antagonis aldosteron :

LVEF < 35%

Gejala gagal jantung sedang- berat ( kelas fungsional III-IV NYHA)

Dosis optimal BB dan ACEI atau ARB

Memulai pemberian spironolakton :

Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum

Pertimbangkan peningkatan dosis setelah 4-8 minggu. Jangan meningkatkan

dosis jika terjadi penurunan fungsi ginjal atau hiperkalemia.

Hydralizin & Isosorbide dinitratPada pasien simtomatik dengan LVEF < 40%, kombinasi dari Hidralizine-ISDN dapat

digunakan sebagai alternatif jika terdapat intoleransi baik oleh ACEI dan ARB. Penambahan

kombinasi H-ISDN harus dipertimbangkan pada pasien dengan gejala yang persisten walau

sudah diterapi dengan ACEI, BB, dan ARB atau Aldosteron Antagonis.Terapi dengan H-

Page 10: Ashd

ISDN pada pasien-pasien ini dapat mengurangi risiko kematian.9Kelas Rekomendasi IIa,

Tingkat Bukti B

Mengurangi angka kembali rawat untuk perburukan gagal jantung.Kelas Rekomendasi

IIa, Tingkat Bukti B

Memperbaiki fungsi ventrikel dan kemampuan latihan.Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat

Bukti A

Pasien yang harus mendapatkan hidralizin dan ISDN berdasarkan banyak uji klinis

adalah :

Sebagai alternatif ACEI/ARB ketika keduanya tidak dapat ditoleransi.

Sebagai terapi tambahan terhdap ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron

tidak dapat ditoleransi.

Manfaat pengobatan secara lebih jelas ditemukan pada keturunan afrika-

amerika.

Kontraindikasinya anatara lain hipotensi simtomatik, sindroma lupus, gagal ginjal

berat (pengurangan dosis mungkin dibutuhkan).

Cara pemberian hidralizin dan ISDN pada gagal jantung :

Dosis awalan : hidralizin 37.5 mg dan ISDN 20 mg tiga kali sehari.

Pertimbangkan untuk menaikan titrasi setelah 2-4 minggu, jangan dinaikan

bila terdapat hipotensi simtomatik.

Jika dapat ditoleransi, upayakan untuk mencapai target dosis yang digunakan

pada banyak uji klinis- yaitu hidralizine 75 mg dan ISDN 40 mg tiga kali sehari, atau

jika tidak dapat ditoleransi hingga dosis maksimal tertoleransi.

Kemungkinanan efek samping yang dapat timbul :

Hipotensi ortostatik (pusing) – seringkali membaik seiring waktu,

pertimbangkan untuk mengurangi dosis obat yang dapat menyebabkan hipotensi

(kecuali ACEI/ARN/BB/Antagonis aldosteron). Hipotensi yang asimtomatik tidak

membutuhkan intervensi.

Artralgia, nyeri sendi atau bengkak, perikarditis/pleuritis, ruam atau demam –

pikirkan sindroma mirip lupus akibat obat, cek antinuclear antibodies (ANA), jangan

teruskan H-ISDN.

Page 11: Ashd

Glikosida jantung (Digoxin)Pada pasien gagal jantung simtomatik dan atrial fibrilasi, digoxin dapat digunakn

untung mengurangi kecepatan irama ventrikel. Pada pasien dengan AF dan LVEF < 40%

digoxin dapat pula diberikan bersamaan dengan BB untuk mengontrol tekanan darah.Kelas

Rekomendasi I, Tingkat Bukti C

Pada pasien sinus ritme dengan gagal jantung simtomatik dan LVEF < 40%, terapi

dengan digoxin bersamaan dengan ACEI meningkatkan fungsi ventrikel dan kesejahteraan

pasien, mengurangi kemungkinan perawatan ulang untuk perburukan gagal jantung, hal ini

walau demikian tidak memiliki dampak terhadap angka mortalitas.Kelas Rekomendasi IIa,

Tingkat Bukti B.

Glikosida jantung menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung dengan

meningkatkan kontraksi sarkomer jantung melalui peningkatan kadar kalsium bebas dalam

protein kontraktil, yang merupakan hasil dari peningkatan kadar natrium intrasel akibat

penghambatan NaKATPase dan pengurangan relatif dalam ekspulsi kalsium melalui

penggantian Na+ Ca2+ akibat peningkatan natrium intrasel.

Digoksin memberikan keuntungan pada terapi gagal jantung dalam hal :

Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan fungsi

ventrikel kiri.

Menstimulasi baroreseptor jantung

Meningkatkan penghantaran natrium ke tubulus distal sehingga menghasilkan

penekanan sekresi renin dari ginjal.

Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan peningkatan vagal

tone.

Pasien atrial fibrilasi dengan irama ventrikular saat istirahat> 80x/menit, dan

saat aktivitas > 110-120x/ menit harus mendapatkan digoksin.

Pasien dengan irama sinus dan disfungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF < 40%)

yang mendapatkan dosis optimal diuretik, ACEI atau/ dan ARB, beta bloker dan

antagonis aldosteron jika diindikasikan, yang tetap simtomatis, digoksin dapat

dipertimbangkan.

Page 12: Ashd

Antikoagulan (antagonis vit K)

Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif lainnya) direkomendasikan pada pasien

gagal jantung dengan atrial fibrilasi permanen, persisten, atau paroksismal tanpa adanya

kontraindikasi terhadap antikoagulasi. Dosis antikoagulan harus disesuaikan dengan risiko

komplikasi tromboembolik termasuk stroke.Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A

Antikoagulasi juga direkomendasikan pada pasien dengan trombus intrakardiak yang

terdeteksi pada echocardiography atau bukti adanya tromboembolisme sistemikKelas

Rekomendasi I, Tingkat Bukti C

Temuan yang perlu diingat :

Pada pasien atrial fibrilasi yang dilibatkan pada serangkaian uji klinis acak,

termasuk pada pasien dengan gagal jantung, warfarin ditemukan dapat mengurangi

risiko stroke dengan 60-70%.

Warfarin juga lebih efektif dalam mengurangi risiko stroke dibanding terapi

antiplatelet, dan lebih dipilih pada pasien dengan risiko stroke yang lebih tinggi,

seperti yang ditemukan pada pasien dengan gagal jantung.

Tidak terdapat peranan antikoagulan pada pasien gagal lainnya, kecuali pada

mereka yang memiliki katup prostetik.

Pada analisis dua uji klinis skala kecil yang membandingkan efektifitas

warfarin dan aspirin pada pasien dangan gagal jantung, ditemukan bahwa risiko

perawatan kembali secara bermakna lebih besar pada pasien yang mendapat terapi

aspirin, dibandingkan warfarin.

Page 13: Ashd

DAFTAR PUSTAKA

1. Price, Sylvia. Patofisiologi dan konsep klinis penyakit. EGC. Jakarta : 2006

2. Hess OM, Carrol JD. Clinical Assessment of Heart Failure. In: Libby P, Bonow RO,

Mann DL, Zipes DP, editor. Braunwald’s Heart Disease. Philadelphia: Saunders; 2007.

p. 561-80.

3. Mann DL. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL,

editor. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: Mc graw hill;

2008. p. 1443.

4. Maisel AS, Krishnaswamy P, Nowak RM, et al: Rapid measurement of B-type natriuretic

peptide in the emergency diagnosis of heart failure. N Engl J Med 2002; 347:161-167.

5. Sudoyo, DR.dr. Aru W, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit FKUI,

Jakarta, 2009.