aplikasi konseptual madeline leininger
TRANSCRIPT
APLIKASI KONSEPTUAL MADELINE LEININGER
PADA ASUHAN KEPERAWATAN AN R DENGAN KASUS
KEP BERAT TIPE MARASMIK KWASHIORKOR
di Ruang Anak RSD dr. Soebandi jember
OLEH
Yunita Rengganis
07.1101.119
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
2009
1
LEMBAR PERSETUJUAN
Jember, 26 Juni 2009
CE Ruang Anak Pembimbing Akademik
Inganah, Amd. Kep Ners. Nikmatur R.
Kepala Ruang Anak RSD dr. Soebandi Jember
a/n
Tinuk Tri lestari, Amd. kep
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia berdampak juga pada semua sektor di
negeri ini. Hal yang paling nyata dalam dunia kesehatan adalah peningkatan jumlah
anak balita yang menderita kekurangan energi protein (KEP) sebagai akibat
kemiskinan, utamanya anak usia di bawah lima tahun (balita) yang merupakan
golongan rentan terhadap masalah kesehatan dan gizi. Berbagai upaya yang
dilakukan pemerintah sepertinya kurang berhasil, karena masih banyaknya kasus
gizi buruk di beberapa daerah yaitu mencapai 5,4 % total populasi anak-anak
(http://news.okezone.com).
Keberhasilan penanganan permasalahan gizi buruk sesungguhnya dipengaruhi
beberapa faktor karena masalah gizi buruk tidak hanya disebabkan karena tidak
tersedianya pangan, tetapi juga disebabkan karena ketidakmampuan mengakses
makanan dan ketidaktahuan terhadap ilmu pangan. Dan sesuai apa yang
diungkapkan oleh Menkes, masalah gizi kurang & gizi buruk yang terjadi pada anak
Balita di tanah air, bukanlah peristiwa yang terjadi seketika karena umumnya anak
gizi buruk sudah bermasalah dari dalam kandungan ibunya
(http://www.kapanlagi.com). Berbicara tentang gizi pada ibu hamil tidak lepas dari
kultur budaya, karena beberapa suku yang ada memiliki budaya pantang makan
makanan tertentu pada ibu hamil yang justru makanan tersebut bernilai gizi tinggi
yang dibutuhkan bagi ibu maupun janin. Hal ini artinya bahwa dimensi budaya
seperti yang diungkapkan oleh Madeliene Leininger yang terkenal dengan teori
Transkultural matahari terbit menjadi penentu baik sebagai penyebab masalah
maupun sebagai kunci keberhasilan penanganan masalah KEP ini.
RSD dr. Soebandi jember melayani klien dari segala lapisan masyarakat, di salah
salah satu ruangannya yaitu bangsal anak, dari seluruh pasien yang dirawat 90%
menyatakan dirinya tidak mampu, baik dengan cara menggunakan fasilitas
Jamkesmas maupun dengan menggunakan SKM (surat keterangan miskin). Dari
catatan rekam medik yang ada di ruangan tersebut, prevalensi jumlah pasien yang
3
dirawat dengan KEP berat meningkat yaitu dari jumlah 45 orang anak pada tahun
2007 menjadi 68 orang anak pada tahun 2008. Ada suatu fenomena yang menarik
dalam masalah ini yaitu mereka yang mengatakan dirinya miskin, memiliki anak
dirawat dengan gizi buruk justru tidak jarang berpenampilan sebaliknya. Apakah era
globalisasi berpengaruh pada pergeseran nilai-nilai budaya sehingga mereka lebih
mengutamakan penampilan ? Untuk mencari jawaban itulah penulis tertarik untuk
meneliti lebih jauh dengan menggunakan pendekatan transkultural Madeliene
Leininger.
Melihat permasalahan yang ada dalam mengatasi masalah gizi buruk pada anak ini,
yang paling penting adalah upaya antisipasi masalah, sehingga perhatian kita tidak
ditujukan hanya pada saat anak sudah mengalami masalah, tetapi perhatian mulai
diberikan saat ibu dinyatakan hamil. Peran perawat dalam hal ini sangat dibutuhkan
utamanya dalam hal memahami budaya klien baik sebagai individu, keluarga,
kelompok, maupun masyarakat, karena dengan cara ini ada jalan bagi perawat untuk
dapat merekontruksi adanya pandangan hidup/budaya yang salah di masyarakat atau
memberikan support terhadap budaya masyarakat yang sudah benar sehingga
potensi yang ada di masyarakat dapat dioptimalisasikan menuju kondisi kesehatan
dan pola hidup ke arah yang lebih baik.
B. PERNYATAAN MASALAH
Upaya pemerintah untuk menurunkan angka penderita KEP (kekurangan energi
protein) dengan program mengentas kemiskinan, seperti BLT (bantuan langsung
tunai) tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan karena kenyataannya setiap
tahun angka masyarakat miskin yang terdata dan angka penderita KEP berat pada
anak balita yang merupakan golongan usia rentan terhadap masalah kesehatan dan
gizi semakin bertambah. Hal ini disebabkan karena KEP yang ada bukan saja
disebabkan oleh adanya kemiskinan tetapi juga oleh faktor-faktor yang lain
diantaranya dimensi budaya/transkultural masyarakat terhadap kesehatan.
C. TUJUAN
1. Tujuan Umum
4
Mempelajari dan untuk mengetahui aplikasi Model Konsep Keperawatan
Transkultural Leinenger terhadap kasus KEP berat pada an. R. di Ruang Anak
RSD dr. Soebandi Jember
2. Tujuan Khusus
a. Menguraikan alasan ketertarikan dalam pengambilan kasus dan model
konsep yang dipilih
b. Melakukan penerapan model konsep keperawatan Transkultural Leininger
pada kasus KEP berat pada an. R
c. Melakukan pengelolaan kasus KEP Berat pada an. R dengan menggunakan
pendekatan model konsep keperawatan
5
BAB II
LANDASAN TEORI
A. KONSEP DASAR KEP BERAT (KEKURANGAN ENERGI PROTEIN)
1. Pengertian
a. Kurang Energi Protein (KEP)
KEP adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi
energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi
Angka Kecukupan Gizi (AKG).
b. Klasifikasi KEP
1) KEP ringan bila berat badan menurut umur (BB/U) 70-80% baku median
WHO-NCHS dan/atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) 80-
90% baku median WHO-NCHS;
2) KEP sedang bila BB/U 60-70% baku median WHO-NCHS dan/atau
BB/TB 70-80% baku median WHO-NCHS;
3) KEP berat/Gizi buruk bila BB/U <60% baku median WHO-NCHS
dan/atau BB/TB <70% baku median WHO-NCHS.
CATATAN:
KEP berat/Gizi buruk secara klinis terdapat dalam 3 (tiga) tipe yaitu,
Kwashiorkor, Marasmus, dan Marasmik-Kwashiorkor;
Tanpa melihat Berat Badan bila disertai edema yang bukan karena penyakit
lain adalah KEP berat/Gizi buruk tipe Kwashiorkor;
KEP nyata adalah istilah yang digunakan di lapangan, yang meliputi KEP
sedang dan KEP berat/Gizi buruk dan pada KMS berada di bawah garis
merah (tidak ada garis pemisah antara KEP sedang dan KEP berat/Gizi
buruk pada KMS);
KEP total adalah jumlah KEP ringan, KEP sedang, dan KEP berat/Gizi
buruk (BB/U <80% baku median WHO-NCHS).
2. Gejala klinis KEP berat/Gizi buruk yang dapat ditemukan:
6
a. Kwashiorkor
- Edema, umumnya seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki (dorsum
pedis)
- Wajah membulat dan sembab
- Pandangan mata sayu
- Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut
tanpa rasa sakit, rontok
- Perubahan status mental, apatis, dan rewel
- Pembesaran hati
- Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri
atau duduk
- Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah
warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas (crazy pavement
dermatosis)
- Sering disertai: - penyakit infeksi, umumnya akut
- anemia
- diare.
b. Marasmus:
- Tampak sangat kurus, hingga tulang terbungkus kulit
- Wajah seperti orang tua
- Cengeng, rewel
- Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada
(pada daerah pantat tampak seperti memakai celana longgar/”baggy
pants”)
- Perut cekung
- Iga gambang
- Sering disertai: - penyakit infeksi (umumnya kronis berulang)
- diare
c. Marasmik-Kwashiorkor:
- Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klnik
Kwashiorkor dan Marasmus, dengan BB/U <60% baku median WHO-
NCHS disertai edema yang tidak mencolok.
3. Defisiensi nutrien mikro yang sering menyertai KEP berat/ Gizi buruk
7
Pada setiap penderita KEP berat/Gizi buruk, selalu periksa adanya gejala
defisiensi nutrien mikro yang sering menyertai seperti:
- Xerophthalmia (defisiensi vitamin A)
- Anemia (defisiensi Fe, Cu, vitamin B12, asam folat)
- Stomatitis (vitamin B, C).
4. Tata Laksana Rawat Inap KEP Berat/Gizi Buruk
Pada tata laksana rawat inap penderita KEP berat/Gizi buruk di Rumah Sakit
terdapat 5 (lima) aspek penting, yang perlu diperhatikan:
a. Prinsip dasar pengobatan rutin KEP berat/Gizi buruk (10 langkah
utama)
1) Atasi/cegah hipoglikemia
2) Atasi/cegah hipotermia
3) Atasi/cegah dehidrasi
4) Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit
5) Obati/cegah infeksi
6) Mulai pemberian makanan
7) Fasilitasi tumbuh-kejar (“catch up growth”)
8) Koreksi defisiensi nutrien mikro
9) Lakukan stimulasi sensorik dan dukungan emosi/mental
10) Siapkan dan rencanakan tindak lanjut setelah sembuh.
Dalam proses pengobatan KEP berat/Gizi buruk terdapat 3 fase yaitu fase
stabilisasi, fase transisi, dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus
trampil memilih langkah mana yang cocok untuk setiap fase. Tata laksana
ini digunakan pada semua penderita KEP Berat/Gizi Buruk (Kwashiorkor,
Marasmus maupun Marasmik-Kwashiorkor)
Bagan dan jadwal pengobatan sebagai berikut:
8
N
o
FASE STABILISASI TRANSISI REHABILITASI
Hari ke 1-2 Hari ke 2-
7
Minggu ke-2 Minggu ke 3-7
1 Hipoglikemia
2 Hipotermia
3 Dehidrasi
4 Elektrolit
5 Infeksi
6 MulaiPemberian
Makanan
7 Tumbuh
kejar/peningkata
n pemberian
makanan
8 Mikronutrien Tanpa Fe dengan Fe
9 Stimulasi
10 Tindak lanjut
b. Pengobatan penyakit penyerta
Pengobatan ditujukan pada penyakit yang sering menyertai KEP berat,
yaitu:
1) Defisiensi vitamin A
Bila terdapat tanda defisiensi vitamin A pada mata, beri anak vitamin A
secara oral pada hari ke-1, 2 dan 14 atau sebelum pulang dan bila terjadi
perburukan keadaan klinis dengan dosis:
umur > 1 tahun : 200.000 SI/kali
umur 6-12 bulan : 100.000 SI/kali
umur 0-5 bulan : 50.000 SI/kali
Bila ada ulserasi pada mata, beri tambahan perawatan lokal untuk
mencegah prolaps lensa :
9
beri tetes mata kloramfenikol atau salep mata tetrasiklin, setiap 2-3
jam selama 7-10 hari
teteskan tetes mata atropin, 1 tetes, 3 kali sehari selama 3-5 hari
tutup mata dengan kasa yang dibasahi larutan garam faali.
2) Dermatosis
Dermatosis ditandai adanya :
hipo/hiperpigmentasi
deskwamasi (kulit mengelupas)
lesi ulserasi eksudatif, menyerupai luka bakar, sering disertai infeksi
sekunder, antara lain oleh Candida.
Tata laksana :
kompres bagian kulit yang terkena dengan larutan KmnO4 (K-
permanganat) 1% selama 10 menit
beri salep/krim (Zn dengan minyak kastor)
usahakan agar daerah perineum tetap kering.
Umumnya terdapat defisiensi seng (Zn) : beri preparat Zn peroral
3) Parasit/cacing
Beri Mebendasol 100 mg oral, 2 kali sehari selama 3 hari, atau preparat
anti helmintik lain.
4) Diare Berlanjut
Diare biasa menyertai KEP berat, tetapi akan berkurang dengan
sendirinya pada pemberian makanan secara berhati-hati. Intoleransi
laktosa tidak jarang sebagai penyebab diare. Diobati hanya bila diare
berlanjut dan tidak ada perbaikan keadaan umum. Berikan formula
bebas / rendah laktosa. Sering kerusakan mukosa usus dan Giardiasis
merupakan penyebab lain dari melanjutnya diare. Bila mungkin, lakukan
pemeriksaan tinja mikroskopik.
Beri: Metronidasol 7.5 mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hari.
5) Tuberkulosis
Pada setiap kasus gizi buruk, Lakukan tes tuberkulin/Mantoux
(seringkali alergi) dan Ro-foto toraks. Bila positif atau sangat mungkin
TB, obati sesuai pedoman pengobatan TB.
10
c. Kegagalan pengobatan
Kegagalan pengobatan tercermin pada angka kematian dan kenaikan berat
badan:
1) Tingginya angka kematian
Bila mortalitas >5%, perhatikan saat terjadi kematian:
dalam 24 jam pertama: kemungkinan hipoglikemia, hipotermia,
sepsis yang terlambat atau tidak terdeteksi, atau proses rehidrasi
kurang tepat.
dalam 72 jam: cek apakah volume formula terlalu banyak atau
pemilihan formula tidak tepat
malam hari: kemungkinan terjadi hipotermia karena selimut kurang
memadai, tidak diberi makan, perubahan konsentrasi formula terlalu
cepat.
2) Kenaikan berat-badan tidak adekwat pada fase rehabilitasi
Penilaian kenaikan BB: - baik : 50 gram/kgBB/minggu
- kurang : <50 gram/kgBB/minggu
Kemungkinan penyebab kenaikan BB <50 gram/kgBB/minggu antara
lain:
pemberian makanan tidak adekwat
defisiensi nutrien tertentu; vitamin, mineral
infeksi yang tidak terdeteksi, sehingga tidak diobati.
masalah psikologik.
d. Penderita pulang sebelum rehabilitasi tuntas
Rehabilitasi dianggap lengkap dan anak siap dipulangkan bila gejala klinis
sudah menghilang, berat badan/umur mencapai minimal 70% atau berat
badan/tinggi badan mencapai minimal 80%.
Anak KEP berat yang pulang sebelum rehabilitasi tuntas, dirumah harus
diberi makanan tinggi energi (150 Kkal/kgBB/hari) dan tinggi protein (4-6
gram/kgBB/hari):
beri anak makanan yang sesuai (energi dan protein) dengan porsi paling
sedikit 5 kali sehari
beri makanan selingan diantara makanan utama
upayakan makanan selalu dihabiskan
beri suplementasi vitamin dan mineral/elektrolit
11
teruskan ASI.
e. Tindakan pada kegawatan.
1) Syok (renjatan):
Syok karena dehidrasi atau sepsis sering menyertai KEP berat dan sulit
membedakan keduanya secara klinis saja. Syok karena dehidrasi akan
membaik dengan cepat pada pemberian cairan intravena, sedangkan
pada sepsis tanpa dehidrasi tidak. Hati-hati terhadap terjadinya
overhidrasi.
Pedoman pemberian cairan:
Berikan larutan Dekstrosa 5% : NaC1 0.9% (1:1) atau larutan Ringer
dengan kadar dekstrosa 5% sebanyak 15 ml/KgBB dalam 1 jam pertama.
Evaluasi setelah 1 jam :
- Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekwensi nadi dan pernafasan)
dan status hidrasi syok disebabkan dehidrasi. Ulangi pemberian
cairan seperti diatas untuk 1 jam berikutnya, kemudian lanjutkan
dengan pemberian Resomal/pengganti, per oral/nasogastrik, 10
ml/kgBB/jam selama 10 jam, selanjutnya mulai berikan formula
khusus (F-75/pengganti).
- Bila tidak ada perbaikan klinis anak menderita syok septik. Dalam
hal ini, berikan cairan rumat sebanyak 4 ml/kgBB/jam dan berikan
transfusi darah sebanyak 10 ml/kgBB secara perlahan-lahan (dalam
3 jam). Kemudian mulailah pemberian formula (F-75/pengganti).
2) Anemia berat
Transfusi darah diperlukan bila:
Hb <4 g/dl
Hb 4-6 g/dl disertai distres pernafasan atau tanda gagal jantung.
Transfusi darah:
- berikan darah segar 10 ml/kgBB dalam 3 jam.
Bila ada tanda gagal jantung, gunakan ‘packed red cells’ untuk
transfusi dengan jumlah yang sama.
- beri furosemid 1 mg/kgBB secara i.v. pada saat transfusi dimulai.
Perhatikan adanya reaksi transfusi (demam, gatal, Hb-uria, syok).
12
Bila pada anak dengan distres nafas setelah transfusi Hb tetap <4
g/dl atau antara 4-6 g/dl, jangan diulangi pemberian darah.
5. Pemberian Diet
Pemberian diet pada KEP berat/gizi buruk harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
1. Melalui 3 periode yaitu periode stabilisasi, periode transisi, dan periode
rehabilitasi.
2. Kebutuhan energi mulai dari 80 sampai 200 kalori per kg BB/hari.
3. Kebutuhan protein mulai dari 1 sampai 6 gram per kg BB/hari.
4. Pemberian suplementasi vitamin dan mineral bila ada defisiensi atau
pemberian bahan makanan sumber mineral tertentu, sebagai berikut:
Bahan makanan sumber mineral khusus
Sumber Zn : daging sapi, hati, makanan laut, kacang tanah, telur ayam.
Sumber Cuprum : tiram, daging, hati
Sumber Mangan : beras, kacang tanah, kedelai
Sumber Magnesium : daun seldri, bubuk coklat, kacang-kacangan, bayam,
Sumber Kalium : jus tomat, pisang, kacang-kacangan, kentang, apel,
alpukat, bayam, daging tanpa lemak.
1. Jumlah cairan 130-200 ml per kg BB/hari, bila terdapat edema dikurangi
2. Cara pemberian : per oral atau lewat pipa nasogastrik
3. Porsi makanan kecil dan frekwensi makan sering
4. Makanan fase stabilisasi hipoosmolar/isoosmolar dan rendah laktosa dan
rendah serat, (lihat tabel 1 formula WHO dan modifikasi).
5. Terus memberikan ASI
6. Membedakan jenis makanan berdasarkan berat badan, yaitu:
BB <7 kg diberikan kembali makanan bayi dan BB >7 kg dapat
langsung diberikan makanan anak secara bertahap
Mempertimbangkan hasil anamnesis riwayat gizi
13
Tabel 1 :
KEBUTUHAN GIZI MENURUT FASE PEMBERIAN MAKAN
ZAT GIZI
FASE
STABILISASI TRANSISI REHABILITASI
Energi 100
Kkal/KgBB/hr
150 Kkal/KgBB/hr 150-200 Kkal/KgBB/hr
Protein 1-1,5 g/KgBB/hr 2-3 g/KgBB/hr 4-6 g/KgBB/hr
Vitamin A Lihat langkah 8 Lihat langkah 8 Lihat langkah 8
Asam Folat Idem Idem Idem
Zink Idem Idem Idem
Cuprum Idem Idem Idem
Fe Idem Idem Idem
Cairan 130 ml/KgBB/hr
atau
100 ml/KgBB/hr
bila ada edema
150 ml/KgBB/hr 150-200 ml/KgBB/hr
Keterangan :
1. Fase stabilisasi diberikan Formula WHO 75 atau modifikasi.
Larutan Formula WHO 75 ini mempunyai osmolaritas tinggi sehingga
kemungkinan tidak dapat diterima oleh semua anak, terutama yang
mengalami diare. Dengan demikian pada kasus diare lebih baik digunakan
modifikasi Formula WHO 75 yang menggunakan tepung
2. Fase transisi diberikan Formula WHO 75 sampai Formula WHO 100 atau
modifikasi
14
3. Fase rehabilitasi diberikan secara bertahap dimulai dari pemberian Formula
WHO 135 sampai makanan biasa
6. Evaluasi Dan Pemantauan Pemberian Diet
Evaluasi dengan menggunakan formulir pemantauan kasus gizi buruk
1. Timbang berat badan sekali seminggu, bila tidak naik kaji penyebabnya
(asupan gizi tidak adequat, defisiensi zat gizi, infeksi, masalah psikologis).
2. Bila asupan zat gizi kurang, modifikasi diet sesuai selera.
3. Bila ada gangguan saluran cerna (diare, kembung,muntah) menunjukkan
bahwa formula tidak sesuai dengan kondisi anak, maka gunakan formula
rendah atau bebas lactosa dan hipoosmolar, misal: susu rendah laktosa,
formula tempe yang ditambah tepung-tepungan.
4. Kejadian hipoglikemia : beri minum air gula atau makan setiap 2 jam
B. DESKRIPSI KONSEP TRANSCULTURAL NURSING TEORY MADELIENE
LEININGER
Teori Keperawatan Transkultural menekankan pentingnya peran perawat dalam
memahami budaya klien baik individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat.
Karena dengan memahaminya maka dapat mencegah terjadinya culture shock
maupun cultur imposition. Cultur shock terjadi saat pihak luar (perawat) mencoba
mempelajari atau beradaptasi secara efektif dengan kelompok budaya tertentu
(klien), dimana klien merasakan perasaan tidak nyaman, gelisah dan disorientasi
karena perbedaan nilai budaya, keyakinan dan kebiasaan. Sedangkan Cultur
Imposition adalah kecenderungan tenaga kesehatan (perawat), baik secara diam-
diam maupun terang-terangan, memaksakan nilai-nilai budaya, keyakinan dan
kebiasaan/perilaku yang dimilikinya kepada individu, keluarga, atau kelompok dari
budaya lain karena mereka meyakini bahwa budayanya lebih tinggi daripada budaya
dari kelompok lain.
Leininger menggambarkan teori keperawatan transkultural matahari terbit, sehingga
disebut juga sebagai sunrise model. Sunrise model ini melambangkan esensi
keperawatan transkultural yang menjelaskan bahwa sebelum memberikan
keperawatan kepada klien, perawat terlebih dahulu harus mempunyai pengetahuan
mengenai pandangan dunia tentang dimensi budaya serta struktur sosial yang
15
berkembang di berbagai belahan dunia. Dimensi budaya dan stuktur sosial tersebut
menurut leininger dipengaruhi oleh 7 faktor yaitu: teknologi, agama dan falsafah
hidup, politik dan hukum, ekonomi dan pendidikan. Jika disesuaikan dengan proses
keperawatan, ketujuh faktor tersebut masuk kedalam level pertama yaitu tahap
pengkajian.
Peran perawat pada transcultural nursing teori adalah menjembatani antara sistem
perawatan yang dilakukan masyarakat awam dengan sistem perawatan profesional
melalui asuhan keperawatan. Tindakan keperawatan yang diberikan kepada klien
harus tetap memperhatikan tiga prinsip , yaitu :
1. Cultur Care Preservation/mantenance, yaitu prinsip membantu, memfasilitasi,
atau memperhatikan fenomena budaya guna membantu individu menentukan
tingkat kesehatan dan gaya hidup yang diinginkan
2. Cultur Care accommodation/negotiation, yaitu prinsip membantu,
memfasilitasi, atau memperhatukan fenomena budaya ada, yang merefleksikan
cara-cara beradaptasi, bernegosiasi, atau mempertimbangkan kondisi kesehatan
dan gaya hidup individu atau klien
3. Cultur Care repatterning/restructuring, yaitu prinsip merekontruksi atau
mengubah desain untuk membantu memperbaiki kondisi kesehatan dan pola
hidup klien ke arah yang lebih baik.
Peran Ners :
Memberi intervensi keperawatan berdasarkan praktek asuhan budaya klien
meliputi : mempertahankan, menegosiasi dan merestrukturisasikan asuhan
berbudaya
Memahami bahwa dalam memberikan asuhan keperawatan harus disadari
pentingnya keperawatan transkultural karena budaya setiap individu berbeda
Memberi dukungan pada klien dan keluarga untuk mempertahankan keyakinan
dan tradisi dalam budayanya.
Fokus intervensi dalam Praktek keperawatan transkultural adalah membina
hubungan saling percaya melalui penghargaan terhadap nilai-nilai budaya, agama,
dan sosial serta mengatasi masalah/konflik melalui pendekatan budaya klien.
16
BAB III
APLIKASI MODEL KONSEP TRANSKULTURAL
MEIDELINE LEININGER PADA STUDI KASUS
A. PENGKAJIAN
1. Riwayat Pasien
a. Identitas
An. R., Reg : 254314, umur 15 bulan, jenis kelamin perempuan, MRS
tanggal : 15 Juni 2009, Alamat dusun Prapah Wonolangu RT 02/RW 03
Kecamatan Panti. Penanggung Jawab Pembiayaan Rumah Sakit: SKM
b. Keluhan Utama
Diare, badan bengkak dan seluruh tubuh lecet-lecet.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Selama 1 bulan klien diare terus menerus dalam sehari BAB ± 4 x
konsistensi cair, ada ampas, berlendir tapi tidak ada darah. Nafsu makan
tambah turun apalagi setelah timbul selaput putih di mulut. Sudah berobat ke
puskesmas bahkan lebih dari sekali, tetapi keluhan selalu hilang timbul.
BAK lancar, 4 hari SMRS klien batuk pilek, 2 hari ini badan klien
bertambah bengkak diikuti luka berair, sebenarnya badan mulai bengkak
sejak 2 bulan yang lalu tetapi dipikir oleh ibu klien bertambah gemuk karena
minum susu yang diberi oleh Posyandu. Karena luka di kulit klien semakin
banyak, ada demam, tadi pagi klien dibawa ke puskesmas lagi dan
disarankan MRS ke RSD dr. Soebandi Jember.
d. Riwayat Peyakit Dahulu
Sejak umur 2 bulan klien sakit-sakitan, sering diare, nafsu makan kurang
baik. Tapi belum pernah opname.
e. Riwayat Imunisasi
Lengkap, pada lengan kiri juga terlihat scar BCG.
f. Riwayat Tumbuh Kembang
Perkembangan klien awalnya normal, umur 7 bulan sudah dapat duduk, usia
13 bulan anak sudah berjalan, tapi semenjak 2 bulan terakhir ini klien tidak
dapat berjalan lagi.
17
2. Sunrise teori
a. Faktor pendidikan
Klien dibesarkan oleh orang tua dengan tingkat pendidikan yang rendah.
Ayah klien pendidikan sampai klas 2 SD, sementara ibu klien sampai klas 6
SD. Tetapi walaupun tingkat pendidikan yang dimilikinya tergolong rendah,
keinginan untuk meningkatkan ekonomi keluarga cukup baik, orang tua
klien berusaha hidup sederhana/tidak konsumtif. Saat mendapat bantuan
BBM dari pemerintah oleh orang tua tidak dibelikan Hp maupun tidak
digunakan untuk ngredit sepeda motor seperti tetangga-tetangganya yang
lain, tapi dibelikan kambing tetapi sayangnya 4 ekor kambing yang
dimilikinya mati semua.
b. Faktor ekonomi
Tingkat ekonomi klien tergolong rendah, walaupun rumah yang dihuni
terbuat dari tembok tapi alas rumah sebagian tidak disemen, tidak punya
listrik sendiri hanya numpang milik tetangga dengan membayar Rp.
20.000/bulan untuk 2 mata lampu. Sumber penghasilan suami, dari
pekerjaan yang tidak tetap sulit diambil rata-rata pendapatan per bulan,
soalnya begitu dapat uang langsung habis untuk kebutuhan sehari-hari.
Kadang ayah klien jadi buruh tani, kadang sebagai kuli bangunan. Bila
sedang mendapat pekerjaan sehari ± dapat uang Rp. 20.000, tetapi pada saat
tidak mendapat pekerjaan ayah klien mencari hutangan kadang hutang
bahan-bahan pokok di warung atau hutang uang pada tetangga.
c. Faktor Politik dan Hukum
Kebijakan pemerintah dibidang politik & hukum terhadap orang miskin
dinikmati juga oleh klien. Biaya RS klien ditanggung pemerintah walaupun
klien tidak memiliki Jamkesmas tapi klien menggunakan fasilitas surat SKM
(surat keterangan miskin). Orang tua klien pernah dapat program bantuan
dari pemerintah yaitu BBM tapi sekarang sudah tidak lagi karena
programnya telah habis. Klien juga mendapat bantuan susu dari Posyandu
berupa susu kotak tapi hanya dapat 2 X (2 kotak) setelah itu tidak dapat lagi,
informasi yang diterima jatahnya sudah habis.
d. Nilai Budaya dan gaya Hidup
1) Kebiasaan Keluarga terhadap keyakinan yang berkaitan dengan
Kesehatan
18
Keyakinan keluarga terhadap kesehatan baik, terbukti klien rutin
datang ke Posyandu setiap bulan dan Imunisasi lengkap. Harapan dan
keyakinan tentang kesembuhan saat dirawatpun baik, orang tua tidak
tampak acuh saat dilakukan anamnesa, dan mematuhi anjuran yang
diberikan.
2) Pola Nutrisi dan Cairan
Nilai budaya tentang kesehatan terutama tentang gizi kurang baik.
Orang tua klien menganut anggapan bahwa makan banyak ikan
menyebabkan cacingan, yang menyebabkan anaknya diare akibat
pemberian susu, ibu klien mengatakan sebelumnya klien
mengkonsumsi susu formula 400 G untuk 2 hari, dengan takaran 1
takar peres untuk 60 cc, tetapi karena klien diare terutama setelah
minum susu sejak umur 2 bulan klien tidak diberikan susu tapi air putih
saja. Saat 2 bulan terakhirpun saat badan klien bengkak dan lecet-lecet
orang tua menganggap alergi akibat diberikannya telur, ikan ayam,
atau ikan laut, sehingga dua bulan terakhir klien tidak pernah
mengkonsumsi ikan kecuali tempe tahu.
3) Pola Eleminasi
BAK lancar sehari ≥ 4 x, tapi sejak badan bengkak jumlah yang keluar
sedikit. BAB memang bermasalah, klien sering diare.
4) Pola istirahat/tidur
Kebutuhan tidur tidak ada masalah, walaupun klien sangat cengeng
tapi cenderung kelihatan tidur terus.
5) Keyakinan terhadap hari-hari tertentu yang berhubungan dengan
Kesehatan
Orang tua menganggap semua hari dalam satu minggu baik, tidak ada
hari buruk
e. Faktor Kekerabatan dan Sosial
Hubungan kekerabatan, jiwa sosial dari orang tua yang mengasuhnya dengan
keluarga maupun tetangga sangat baik. Terbukti klien merupakan anak
angkat yaitu anak bibi dari sang istri, dibantu mengasuh/diambil sebagai
anak angkat karena merasa kasihan kepada bibinya yang memiliki anak
sebanyak 8 orang yang masih kecil-kecil. Sementara orang tua yang
19
mengasuhnya memiliki anak kandung seorang laki-laki berumur 9 tahun,
klas 2 SD.
f. Faktor Agama dan Falsafah Hidup
Klien dibesarkan oleh keluarga yang memeluk agama islam. Tetapi karena
badan klien bengkak semua, orang tua klien awalnya menganggap bahwa
penyakit yang diderita anaknya karena diteluh orang, tapikarena setelah
berobat ke kyai, dukun prewangan maupun dukun urut badannya tetap
bengkak orang tua mulai berfikir yang lain, tidak mungkin orang
meneluhnya apalagi orang tua merasa tidak pernah bertengkar/mengganggu
orang, dan mereka tergolong orang miskin.
g. Faktor Teknologi
Klien jarang sekali mendapat informasi yang berkaitan dengan kesehatan
maupun pendidikan, karena disamping tidak memiliki TV maupun radio,
jika nonton TV di rumah tetangga yang ditonton juga sinetron. Sementara
jarak rumah klien dengan jalan raya maupun pasar sangat jauh sekali, tetapi
jalannya sudah terbuat dari aspal.
3. Pemeriksaan fisik
a. B1 (Breathing)
Pola nafas eupneu, reguler 40 x/mnt, tarikan dada simetris, tidak terdapat
retraksi inter costal maupun pernafasan cuping hidung. Perkusi sonor,
fremitus raba normal, suara nafas broncho vesikuler, tidak terdapat ronchi
maupun wheezing. Hasil photo thorax tgl 16 juni 2009 : Gambaran KP
b. B2 (Blood)
Akral hangat, kering, merah. Suhu tubuh : 38º C, Nadi : 140 x/mnt, Hasil
laborat 15 Juni 2009 : Hb 8,6 gr % (anemis), Leucosit 24.400, Hitung Jenis
-/-/-/40/57/3, Gol darah B/RH +, PCV 28 %, Trombosit 211.000, Albumin
1,6 gr/dl (Hipo Albumin), Gula darah acak : 140, Imbalance elektrolit : Na
137,9, K 2,87 (hipokalemi), Cl 109, Ca 1,86 (Hipokalsemi), hasil evaluasi
darah tepi : Eritrosit (Hipokrom normositer sebagian makrositer,
anisositosis, sel polikromasia ±) Leukosit (Leukositosis, netrofilia,
limfositosis) Trombosit (kesan jumlah dalam batas normal, anisositosis)
c. B3 (Brain)
20
Kesadaran compos mentis. Tidak kejang, reflek fisiologis +
d. B4 (Bladder)
BAK spontan, tidak ada keluhan nyeri saat BAK, turgor sulit dievaluasi
(klien bengkak)
e. B5 (Bowel)
Pada mulut terdapat moniliasis, Abdomen flat, hipertimpani, Bising usus >
15 x/mnt, pada palpasi soepel tidak ada nyeri tekan, Berat badan 6 Kg, status
gizi 57 % (KEP berat tipe Marasmic-Kwashiorkor)
f. B6 (Bone & Integument)
Kulit warna pucat, tekstur kasar dan kering, terdapat crazy pavement
dermatosis, dan oedem anasarka, kekuatan otot nomal, aktivitas lemah :
tidak kuat berdiri/digendong ibunya.
4. Program Pengobatan Farmakologi
Infus Dex 5%-NaCl 0,225 % = 25 TPM mikro
Injeksi : - Cefotaxim 2 X 300 mg
- Gentamicine 2 X 15 mg
Vit A (hari pertama, kedua, dan empat belas hari rawat inap)
Diet : sesuai Program Fase (Stabilisasi-Transisi- Rehabilitasi) dan pemberian
mikronutrien
Koreksi elektrolit, cegah hipothermi dan hipoglikemi,
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. PK : Syock Hipovolumik
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh ybd penurunan masukan oral sekunder
akibat persepsi orang tua yang salah terhadap gizi
3. Resti perluasan infeksi ybd kehilangan pertahanan tubuh sekunder (Crazy
Pavement Dermatosis)
4. Intoleransi aktivitas ybd ketidakadekuatan sumber energi sekunder akibat
malnutrisi
C. RENCANA TINDAKAN
3. PK : Syock Hipovolumik
Tujuan : tidak terjadi syock hipovolumik
Kriteria Hasil :
21
Tanda vital normal : Nadi (70-120x/mnt) suhu (36,5-37,5 ° C) RR (20-40
x/mnt), BAK spontan dan lancar, Berat badan berkurang, Albumin serum
meningkat minimal 3 gr/dl, BAB konsistensi lembek sehari ≤ 3 x
Intervensi :
a) Informasikan pada ibu sebab- sebab terjadinya syock hipovolumik
b) Berikan kebutuhan cairan 100cc/Kg BB/hari = 25 TPM mikro
c) Lakukan koreksi elektrolit dengan cairan Infus Dex 5%-NaCl 0,225 % drip
KCl 10 cc/fles cairan
d) Monitoring TTV tiap 8 jam atau sesuai kebutuhan
e) Monitoring intake-output
f) Monitoring BB tiap hari dengan timbangan yang sama
g) Monitoring ACCT faeses
h) Kolaborasi dengan dokter : K/p pertahankan status haemodinamik dengan
cairan koloid (albumin)
i) Cek ulang Albumin serum setelah 1 minggu perawatan
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh ybd penurunan masukan oral sekunder
akibat persepsi orang tua yang salah terhadap gizi
Tujuan : Nutrisi terpenuhi sesuai kebutuhan tubuh ( 2 minggu)
Kriteria Hasil : Nafsu makan meningkat, Berat badan berkurang sampai oedem
hilang selanjutnya meningkat 0,5 kg/minggu, Albumin serum meningkat
minimal 3 gr/dl, BAB konsistensi lembek sehari ≤ 3 x. Hb minimal 10 gr%
Intervensi :
a) Kaji pemasukan nutrisi sebelumnya
b) Restrukturisasi pemahaman ibu terhadap kebutuhan gizi yang benar
c) Berikan diet dengan kalori sesuai fase :
Fase Stabilisasi 80-100 kklal/KgBB/hari dgn protein 1-1,5
gram/KgBB/hari
FaseTransisi 100-150 kklal/KgBB/hari dgn protein 1,5-3
gram/KgBB/hari
Fase Stabilisasi 150-200 kklal/KgBB/hari dgn protein 3-4
gram/KgBB/hari
d) Awali diet dengan jumlah kalori yang sama saat di rumah
e) Berikan porsi kecil tapi sering: 8 x pemberian / hari
22
f) Jaga oral higiene
g) Observasi intake-Out Put
h) Tingkatkan diet bila k/u memungkinkan
i) Monitor BB tiap hari dengan timbangan yang sama
j) Kolaborasi dengan ahli gizi tentang bentuk & jumlah kalori yang sesuai
dengan k/u klien
k) Kolaborasi dengan dokter tentang :
Oral obat Candistantine 3 x 1 ml
K/p transfusi dan Albumin, vitamin supplay
3. Resti perluasan infeksi ybd kehilangan pertahanan tubuh sekunder (Crazy
Pavement Dermatosis)
Tujuan : Perluasan infeksi tidak terjadi
Kriteria Hasil : luka kering tak berair, kulit yang sehat tetap intack, tidak
terdapat tanda-tanda infeksi, TTV normal : Nadi (70-120x/mnt) suhu (36,5-37,5
° C) RR (20-40 x/mnt), laborat leukosit dalam batas normal
Intervensi :
a) Informasi kepada keluarga sebab-akibat lecet-lecet di kulit
b) Ajarkan keluarga untuk mengenali tanda awal kerusakan kulit
c) Pengendalian infeksi secara rutin
Cuci tangan
Teknik antiseptik
Batasi pengunjung
d) Kaji terhadap prediktor infeksi : saat pemasangan alat-alat invasive,
pengobatan injeksi
e) Skin Care & Self Care asistant : lindungi permukaan kulit yang sehat dengan
minyak dan massage dengan lembut kulit yang sehat, mandikan anak dengan
sabun yang lembut
f) Monitoring vital sign/ 8 jam atau sesuai kebutuhan
g) Pertahankan suhu dalam batas normal
h) Kolaborasi dengan team medis tentang obat yang sudah diberikan.:
Cefotaxim 2 x 300 mg
Gentamicine 2 x 15 mg
23
Vit A (Hr I, II, XIV hari rawat)
k/p konsul specialist kulit
4. Intoleransi aktivitas ybd ketidakadekuatan sumber energi sekunder akibat
malnutrisi
Tujuan : toleran terhadap aktivitas (1 minggu)
Kriteria Hasil : sebelum saat dan sesudah aktivitas TTV normal : Nadi (70-
120x/mnt) suhu (36,5-37,5 ° C) RR (20-40 x/mnt), tidak cyanosis,
aktivitas/perkembangan kembali seperti semula.
Intervensi :
a) Kaji respon klien terhadap aktivitas
b) Ajarkan ibu methode penghematan energi : jangan membiarkan anak
menangis terlalu lama
c) Berikan stimulus pemulihan perkembangan klien sesuai dengan kemampuan
d) Tingkatkan aktivitas/stimulus perkembangan secara bertahap
e) Hentikan aktivitas bila klien berespon negatif terhadap TTV maupun
keadaan umum, istirahatkan klien selama 3 menit.
f) Ukur tanda-tanda vital saat istirahat dan k/p 3 menit setelah klien melakukan
aktivitas
D. TINDAKAN YANG TELAH DILAKUKAN
1. Melakukan restrukturisasi tentang pemahaman keluarga yang dsalah terhadap
nutrisi, penyakit kulit yang diderita anaknya.
2. Memenagement pemberian cairan sesuai fase yaitu:
Tgl 15 – 17 juni 2009 fase stabilisasi pemberian cairan terpenuhi 100 %,
pada hari pertama pemenuhan cairan dari infus yaitu 25 TPM mikro, hari
kedua dan ketiga infus stop terpenuhi full dari minum susu 10 x 60cc =
600 cc
Tgl 18 – 22 Juni 2009 Fase transisi kebutuhan cairan ditingkatkan menjadi
150 cc/kgBB/hari. Cairan terpenuhi full dari minum susu formula tgl 18 –
19 Juni 2009 terpenuhi 750 cc = 83,3 %, ditengkatkan pelan-pelan sampai
tagl 22 Juni 2009 terpenuhi kebutuhan 100%
Tgl 23 Juni 2009 diawali fase Rehabilitasi kebutuhan cairan ditingkatan
menjadi 200cc?kgBB/hari tercapai 95,2 %.
24
3. Melakukan Koreksi elektrolit dengan menambahkan potasium 10 cc tiap fles
cairan Dex 5%-NaCl 0,225 % (hanya hari pertama saja)
4. Melakukan monitoring terhadap perkembangan berat badan, yaitu :
Saat pertama MRS Berat badan 6 Kg, hari ke-2 turun menjadi 5,9 Kg hari 3 –
8 berat badan turun dan bertahan 5,6 Kg, mulai hari ke 9 berat badan turun
pada level terendah berat badan turun menjadi 5,4 kg.
5. Melakukan monitoring terhadap TTV, klien tidak pernah mengalami
hipothermi, hari ke 3 dirawat klien yang semula demam suhu tubuhnya
kembali normal
6. Keluhan BAB cair tidak terbukti, hari ke dua dirawat BAB klien lembek/tidak
pernah diare
7. Melakukan management Nutrisi/Diet :
Tgl 15 – 17 juni 2009 fase stabilisasi pemberian nutrisi/kalori terpenuhi
440 kkal atau 98 %, protein terpenuhi 10 gram atau 100% dengan bentuk
diet LLM 10 x 60 cc (1 takar LLM mengandung 22 kkal dan protein 0,5
gram)
Tgl 18 – 22 Juni 2009 Fase transisi kebutuhan kalori ditingkatkan menjadi
150 kkal/kgBB/hari. Awalnya diberikan extra bubur halus sehingga kalori
terpenuhi 76.9% selanjutnya bertahap ditingkatkan susunya menjadi 10 x
75cc sehingga kalori tercapai 100%
Tgl 23 Juni 2009 diawali fase Rehabilitasi kebutuhan nutrisi ditingkatan
menjadi 200cc/kgBB/hari berupa llm 10 x 80 cc dan buburkasar 1/2 porsi.
Sehingga kalori maupun protein tercapai 100 %
8. Melakukan program pengobatan sesuai jadwal, dari hasil konsul kulit
didapatkan terapi Hidrocortisan 2 % dioles tipis di kulit. Sejak Tgl 17 Juni
2009 klien mendapat pengobatan OAT yaitu : INH 1 x 50 mg, Rifampisine 1 x
75 mg, PZA 1 x 150 mg, vit B6 1x 5 mg. Pada tanggal 18 Juni 2009 dapat
tambahan teraphy Apialist sirup 1 x 1 cth. Program teraphy/advis dokter yang
tidak dilakukan adalah transfusi darah PRC 60 cc pro lasix 6 mg dikarenakan
klien tidak memiliki uang untuk membayar harga darah.
E. EVALUASI
Perkembangan keadaan umum klien semakin hari semakin meningkat, tidak terjadi
syock, nafsu makan klien tampak baik, tidak ada keluhan mual/mentah. nutrisi dan
25
cairan terpenuhi sesuai program, Kulit klien yang luka berair kering dan kulit yang
sehat tetap intact. Badan klien mulai tampak kuat, belajar jalan dibantu oleh ibunya.
Hasil laboratorium Tgl 16 Juni 2009 : Hb meningkat dengan sendirinya yaitu 9,1%,
Leukosit .900, PCV 29 %, Trombosit 180.000, retikulosit 0,1
26
BAB IV
PEMBAHASAN
Ada beberapa hal menarik yang ingin penulis sampaikan dari hasil penerapan teori
konseptual Transkultural Madeline Lininger pada kasus yang diamati, utamanya yaitu
saat melakukan anamnesa untuk mendapatkan data yang telah ditulis ternyata tidaklah
mudah. Informasi yang diberikan orang tua selalu berganti-ganti, mungkin karena
adanya kekuatiran dari orang tua kalau berkata jujur akan dimarahi maka mereka
cenderung berkata bohong. Salah satu kalimat yang paling mencolok adalah saat ibu
mengatakan bahwa saat anak usia 2 bln susu SGM 1 kotak 400 gram habis dalam waktu
1 hari. Disini sangat nampak sekali adanya ketidak jujuran data yang diberikan oleh
orang tua, karena sesuai anjuran yang ada dikemasan tidak mungkin susu satu kotak
akan habis dalam waktu Cuma 1 hari. Tentu dalam hal ini dibutuhkan kesabaran,
beberapa kali interaksi agar terbina jalinan hubungan saling percaya.
Pada akhinya dari 3 kali membina hubungan saling percaya penulis mendapatkan juga
data yang benar-benar valid, sehingga data yang diperoleh pada hari pertama disangkal
sendiri oleh ibu pasien. Semula ibu mengatakan bahwa sakit sejak 1 bulan berganti
menjadi 2 bulan. Bengkak awalnya diakui selama 2 hari diralat menjadi 2 bulan, dll.
Persepsi klien terhadap kesehatan cukup baik, terbukti klien selalu rutin datang ke
posyandu. Begitu pula keinginan klien untuk memperbaiki ekonomi maupun kesehatan
cukup baik terbukti klien berusaha mengembangkan penghasilannya dengan cara
membeli kambing untuk bisnis walaupun pada akhirnya gagal.
Potensi dan budaya yang dimiliki klien dalam hal ini perlu mendapat support sehingga
klien dapat mencapai hidup sehat secara maksimal. Salah satu yang perlu di
restrukturisasi adalah pandangan klien yang salah terhadap nutrisi yaitu tentang makan
banyak ikan akan menjadi cacingan dan alergi, susu menyebabkan diare.
Suatu kendala ekonomi yang mengakibatkan advis dokter tidak dapat dilaksanakan
dalam memberikan asuhan keperawatan pada kasus ini adalah pemberian transfusi darah
PRC dan penambahan Albumin. Tetapi disini justru menunjukkan kepada kita bahwa
penanganan gizi yang baik, pengaturan diet dan penghitungan kebutuhan kalori dengan
benar menunjukkan hasil yang menggembirakan, karena tanpa tambahan transfusi darah
27
maupun penambahan albumin. Hb dan albumin klien meningkat dengan sendirinya
yaitu yang semula Hb 8,6 gr%menjadi 9,1 gr% dan albumin yang semula 1,6 mg/dl
meningkat menjadi 2,8 mg/dl
28
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Kesehatan disamping banyak diakibatkan
adanya gangguan akibat stress fisik, genetik dari dalam tubuh tetapi penyakit
juga dapat dipengaruhi oleh budaya dan pandangan hidup yang salah
2. Model konseptual Madeline Lininger
sangat sesuai digunakan untuk mengidentifikasi masalah kesehatan utamanya
kasus ini, karena memang problem utama masalah kurang gizi pada an. R erat
hubungannya dengan masalah kultur, kepercayaan dan pengetahuan yang
salah terhadap Gizi.
3. Praktek keperawatan transkultural dapat
diterapkan dan menjadi salah satu hal penting dan relevan dalam
mempertahankan keyakinan nilai-nilai budaya orang lain
B. SARAN
Perawat dalam memberikan Asuhan Keperawatan hendaklah membina hubungan
saling percaya melalui penghargaan terhadap nilai-nilai budaya, agama, dan sosial.
Dan hendaknya dalam mengatasi masalah/konflik dapat dilakukan dengan
pendekatan budaya yang dimiliki klien.
Daftar Pustaka
Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Hasil Penataran Petugas Kesehatan Dalam Rangka
Pelayanan Gizi Buruk di Puskesmas dan Rumah Sakit, BLK Cimacan,
Oktober 1981.
29
Departemen Kesehatan RI, WHO, Unicef. Buku Bagan Manajemen Terpadu Balita
Sakit (MTBS) Indonesia, Jakarta 1997
Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Ditjen Binkesmas Depkes. Pedoman Penanggulangan
Kekurangan Energi Protein (KEP) dan Petunjuk Pelaksanaan PMT pada
Balita, Jakarta 1997.
London School of Hygiene and Tropical Medicine. Dietary Management of PEM (Not
Published, 1998)
WHO. Guideline for the Inpatient Treatment of Severely Malnourished Children,
WHO Searo, 1998.
Waterlow JC. Protein Energy Malnutrition, Edward Arnold, London, 1992
Departemen Keseharan RI, Petunjuk Teknis Bagi Bidan Desa Program Jaring
Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK).
Asmadi, 2002, Konsep Dasar Keperawatan, EGC, Jakarta
Indriyani, 2008, Laporan Aplikasi Model Konsep “ Materi Kuliah Fikes S1 Unmmuh
Jember” tidak dipublikasikan
Anonim, 2005, Konsep Penanganan Gizi Buruk di Indonesia Secara Makro Cukup
Bagus,
http://www.kapanlagi.com
Anonim, 2009, Pemerintah belum Seriau Tangani Gizi Buruk, http://news.okezone.com
30