antropologi
DESCRIPTION
Essay terkait fan fiction dalam budaya antropologiTRANSCRIPT
-
KETIMPANGAN WILAYAH ANTAR PROVINSI DI PULAU
SUMATERA DAN PENGARUHNYA TERHADAP BUDAYA
MASYARAKAT
Marlina Wirmas 15412056
Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Bandung
__________________________________________________________________________________
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulaun
yang terdiri dari ribuan pulau dan merupakan
pertemuan dari 3 lempeng benua yang
memberikan keuntungan tersendiri bagi
indonesia. Dengan letak geografis yang sangat
strategis ini, berbagai kekayaan sumber daya
alam tersebar ke seluruh wilayah Indonesia.
Selain itu Indonesia juga memiliki banyak potensi
baik dari segi sumber daya alam maupun
sumberdaya lainnya. Tetapi sayangnya masih
terdapat beberapa wilayah yang belum dapat
mengembangkan daerahnya sendiri sehingga
terjadilah ketimpangan wilayah antar Indonesia.
Pembangunan di Indonesia yang kurang
merata dan sebagian besar masih terpusat di
Pulau Jawa dan sekitarnya, membuat Indonesia
sangat rawan terhadap ketimpangan, baik dari
segi ekonomi, sosial-pendidikan, pembangunan,
modernisasi, yang membuat beberapa wilayah
Indonesia menjadi tertinggal dan tidak dapat
berkembang.
Perhitungan nilai ketimpangan antar
wilayah sebaiknya dilakukan sebagai dasar untuk
melakukan pembangunan wilayah, karena pada
prinsipnya perencanaan wilayah dilakukan untuk
mengurangi ketimpangan yang terjadi antar
wilayah. Sehingga dalam penelitian ini kami akan
menganalisis nilai ketimpangan wilayah yang
terjadi di Indonesia, khususnya di Pulau
Sumatera.
Pemilihan Pulau Sumatera sebagai
wilayah analisis kami disebabkan oleh beberapa
pertimbangan. Pertama, Pulau Sumatera memiliki
letak geografis Pulau Sumatera di Indonesia,
yaitu dekat dengan Singapura, Malaysia dan
India. Hal ini bisa menjadi potensi
pengembangan Pulau Sumatera ke depannya.
Seperti Batam yang telah dikembangkan karena
letak strategisnya yang dekat dengan Singapura.
Untuk mengembangkan potensi ini sebaiknya
diketahui dahulu apakah terjadi ketimpangan di
pulau ini sehingga wilayah yang timpang tersebut
harus mendapatkan perhatian khusus agar
pembangunannya dapat merata. Kemudian yang
kedua, beberapa wilayah di Pulau Sumatera
memiliki keunggulan khusus di bidang sumber
daya alam, yaitu adanya potensi pertambangan.
Sehingga dalam penelitian ini ngin dilihat apakah
potensi sumberdaya ala mini akan
memepengaruhi munculnya ketimpangan wilayah
di Pulau Sumatera.
Adanya pemekaran wilayah di Pulau
Sumatera seharusnya dapat membantu
meningkatkan perekonomian dan pembangunan
di daerah pemekaran tersebut. Melalui indeks
ketimpangan, ingin dilihat apakah wilayah yang
telah mengalami pemekaran ini pembangunannya
dapat lebih baik sehingga dapat mengurangi
terjadinya ketimpangan atau malah sebaliknya.
Di lain pihak ketimpangan yang terjadi
antar wilayah juga diikuti dengan perbedaan
budaya dari masyarakatnya. Wilayah yang
memiliki ketimpangan lebih tinggi memiliki
karakteristik budaya yang berbeda disebabkan
oleh pembangunan yang tidak merata di dalam
wilayah tersebut. Pada tulisan ini nantinya juga
akan dibahas mengenai pengaruh ketimpangan
wilayah terhadap budaya masyarakat.
II. TUJUAN
1. Bagaimana kondisi ketimpangan wilayah
antar provinsi di Pulau Sumatera?
2. Bagaimana kondisi ketimpangan wilayah di
masing-masing provinsi di Pulau Sumatera?
3. Bagaimana ketimpangan antar wilayah
mempengaruhi budaya masyarakat?
III. GAMBARAN UMUM
Pulau Sumatera merupakan salah satu
pulau terbesar di Indonesia, luasnya sebesar
443.065,8 km2. Pulau ini berbatasan langsung
dengan Samudera Hindia di sebelah barat, Selat
Malaka di sebelah timur, Selat Sunda di sebelah
selatan, dan Teluk Benggala di sebelah utara. Di
pulau ini terdiri dari sepuluh provinsi, yaitu
-
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera
Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau,
Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Bangka
Belitung, dan Lampung.
Seperti wilayah lain di Indonesia, Pulau
Sumatera memiliki sumber daya alam yang
sangat kaya. Dari lima provinsi kaya di
Indonesia, tiga provinsi terdapat di Pulau
Sumatera, yaitu provinsi Aceh, Riau dan
Sumatera Selatan. Hasil-hasil utama dari pulau
Sumatera ialah kelapa sawit, tembakau, minyak
bumi, timah, bauksit, batubara dan gas alam.
Provinsi-provinsi di Pulau Sumatera juga banyak
menghasilkan barang tambang, seperti penghasil
gas alam di Arun (Nangroe Aceh Darussalam),
penghasil minyak bumi di Pangkalan Brandan
(Sumatera Utara), Duri, Dumai, dan Bengkalis
(Riau), Plaju dan Sungai Gerong (Sumatera
Selatan), penghasil batubara di Tanjung Enim
(Sumatera Selatan), penghasil bauksit di
Tanjungpinang (Kepulauan Riau), dan penghasil
semen di Indarung (Sumatera Barat).
Dari segi kependudukan, pulau ini
memiliki jumlah penduduk pada tahun 2010
sebanyak 52.210.926 jiwa dengan kepadatan
penduduk sebesar 96 jiwa/km. Suku yang ada di
pulau ini juga sangat beragam, mulai dari Suku
Aceh, Batak, Melayu, Minangkabau, Besemah,
Suku Rejang, Ogan, Komering, dan Lampung. Di
wilayah pesisir timur Sumatera dan di beberapa
kota-kota besar seperti Medan, Batam,
Palembang, Pekanbaru, dan Bandar Lampung,
banyak bermukim etnis Tionghoa. Penduduk
pulau Sumatera hanya terkonsentrasi di wilayah
Sumatera Timur dan dataran tinggi Minangkabau.
Mata pencaharian penduduk Sumatera sebagian
besar sebagai petani, nelayan, dan pedagang.
IV. TINJAUAN KETIMPANGAN WILAYAH
DAN BUDAYA MASYARAKAT
Ketimpangan wilayah pada dasarnya
disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan
sumberdaya alam dan perbedaan kondisi geografi
yang terdapat pada masing masing wilayah. Teori ketimpangan wilayah salah satunya
dikemukakan oleh J.G Williamson, salah satu
tujuan perencanaan wilayah adalah untuk
mengurangi Indeks Ketimpangan wilayah.
Berikut ini adalah rumus perhitungan Indeks
ketimpangan wilayah menurut Williamson
y
n
fiyyi
vw
2)(
Dimana :
fi = Penduduk daerah ke-i
n = Penduduk nasional
yi = Pendapatan perkapita daerah ke-i
= Pendapatan perkapita nasional
Semakin tinggi nilai vw yang di
dapatkan, maka ketimpangan antara wilayah
(daerah) satu dengan wilayah nasional semakin
tinggi. Sedangkan jika nilai vw yang didapatkan
rendah atau mendekati not, maka ketimpangan
antar wilayah tersebyt semakin rendah.
Suatu wilayah (negara) yang memiliki
pendapatan per kapita yang rendah, memiliki
ketimpangan wilayah yang kecil. Namun,
semakin tinggi nilai pendapatan per kapita, maka
ketimpangan antarwilayah akan semakin tinggi,
dan seterusnya nilai ketimpangan wilayah
menjadi rendah kembali seiring dengan
meningkatnya pendapatan per kapita yang
dialami suatu wilayah (negara).
Selain pendapatan per kapita, variabel
lain yang dapat dijadikan acuan dalam
mengetahui ketimpangan antarwilayah adalah
kemauan politik (intervensi), luas wilayah
(semakin luas wilayah suatu negara, disparitasnya
semakin kecil) karena semakin mungkin
menyebar.
Indeks ketimpangan wilayah antara
negara satu dengan negara lain berbeda,
dikarenakan karakter masing-masing negara
berbeda. Nilai indeks yang tinggi di satu wilayah
belum tentu tinggi bagi wilayah yang lain. Hal ini
dikarenakan perbedaan masing-masing wilayah
(negara). Dengan demikian, nilai indeks tidak
memiliki batasan terendah dan batasan tertinggi
secara umum (internasional), melainkan nilai
indeks yang rendah dan tinggi sangat berbeda
antar wilayah.
V. TINJAUAN KEBUDAYAAN
Kebudayaan adalah suatu kelompok cara-
cara merasa, berfikir dan bertingkah laku, yang
sudah menjadi kebiasaan dari sejumlah manusia
tertentu sehingga dapat dipandang sebagai ciri2
masyarakat itu. Semua faktor itu saling
mempengaruhi dan mempunyai tugas-tugas
tertentu di dalam keseluruhan hubungan-
hubungan kebudayaan itu. Oleh sebab itu, setiap
perubahan besar dalam lingkungan bagian yang
satu mempengaruhi lingkungan bagian yang lain
dan dengan demikian mengakibatkan perubahan
susunan pula. Jadi kebudayaan adalah suatu
-
bentuk hidup masyarakat, yang agak tetap dan
berlaku untuk beberapa generasi. (Behrendf, 1974
: 36)
Industrialisasi merupakan aspek dari
paham modernisasi yang pada tingkatan negara-
negara berkembang ternyata mempunyai
kelemahan-kelemahan mendasar, walaupun
paham modernisasi terlanjur menjadi rujukan
utama dalam proses pembangunan (Dove,
1985:45).
Soemardjan mengatakan perubahan sosial
adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang
mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk
didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola
kelakukan diantara kelompok-kelompok dalam
masyarakat (dalam, Soekanto, 1974: 217).
Perubahan sosial merupakan bagian dari
perubahan budaya. Soekanto (1990) mengatakan
perubahan dalam kebudayaan mencakup semua
bagian, yang meliputi kesenian, ilmu
pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya.
Soemardjan (1982) mengemukakan
bahwa perubahan sosial dan perubahan
kebudayaan mempunyai aspek yang sama yaitu
keduanya bersangkut paut dengan suatu cara
penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan
dalam cara suatu masyarakat memenuhi
kebutuhannya.
Menurut Soekanto (1990), penyebab
perubahan sosial dalam suatu masyarakat
dibedakan menjadi dua macam yaitu faktor dari
dalam dan luar. Faktor penyebab yang berasal
dari dalam masyarakat sendiri antara lain
bertambah atau berkurangnya jumlah penduduk,
penemuan baru, pertentangan dalam masyarakat,
terjadinya pemberontakan atau revolusi.
Sedangkan faktor penyebab dari luar masyarakat
adalah lingkungan fisik sekitar, peperangan,
pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
V. ANALISIS
Ketimpangan Antar Provinsi di Pulau
Sumatera
Berdasarkan hasil perhitungan VW
indeks antar provinsi, didapatkan angka 0,609.
Angka ini berdasarkan Analisis Kesenjangan
Wilayah, tergolong ketimpangan sedang yang
rentang indeks VW-nya adalah 0,3-0,7. Ini berarti
terdapat beberapa provinsi yang memiliki PDRB
perkapita jauh melebihi rata-rata PDRB perkapita
provinsi lainnya.
Terdapat dua provinsi yaitu Riau dan
Kep. Riau yang PDRB perkapitanya jauh
melebihi provinsi lainnya, sehingga memengaruhi
perhitungan VW indeks. Kedua provinsi ini
memiliki PDRB perkapita yang tinggi karena
terdapat industri dan migas yang menjadi sektor
andalannya. Selain itu letak geografis yang
strategis berdekatan dengan Singapura
menjadikan pertumbuhan kedua sektor ekonomi
tersebut pesat dan sangat maju jika dibandingkan
dengan ke-delapan provinsi lainnya di Pulau
Sumatera.
Ketimpangan Antar Kabupaten/ Kota setiap
Provinsi di Pulau Sumatera
Berdasarkan data Analisis Kesenjangan
Wilayah Tahun 2013 oleh Bappenas, didapatkan
hasil VW Indeks untuk masing-masing provinsi
di Pulau Sumatera sebagai berikut:
Tabel 1.
Indeks Williamson Provinsi di Pulau
Sumatera
PROVINSI INDEKS
WILLIAMSON
Aceh 0.65
Sumatera Utara 0.72
Sumatera Barat 0.34
Riau 0.66
Jambi 0.47
Sumatera Selatan 0.74
Bengkulu 0.4
Lampung 0.43
Kep. Bangka Belitung 0.28
Kep. Riau 0.38
Provinsi yang memiliki angka
ketimpangan tertinggi adalah provinsi Aceh,
Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Selatan.
Indeks Williamson di Provinsi Aceh menurun
setiap tahunnya, berbeda dengan angka Indeks
Williamson Provinsi Sumatera Utara yang selalu
naik selama empat tahun dan turun pada tahun
2011. Sementara itu, untuk Provinsi Riau dan
Sumatera Selatan menunjukan fluktuasi dalam
kurun waktu lima tahun tersebut.
Provinsi yang memiliki angka
ketimpangan terendah adalah Kepulauan Bangka
Belitung dan Sumatera Barat. Bangka Belitung
memilki angka yang naik turun, dan Sumatera
Barat memiliki angka yang tetap kemudian
menurun dalam waktu lima tahun tersebut.
-
Perubahan angka ketimpangan pada kedua
provinsi ini cukup kecil.
Terdapat empat provinsi yang memiliki
VW Indeks tertinggi, yaitu Aceh, Sumatera
Utara, Riau, dan Sumatera Selatan. Provinsi Aceh
memiliki angka ketimpangan sebesar 0,62 pada
tahun 2011. Hal ini disebabkan karena terdapat
satu kota, yaitu Lhokseumawe yang memiliki
PDRB perkapita paling tinggi sebesar 62.330 juta
per jiwa, dan sangat jauh perbedaannya dengan
rata-rata PDRB perkapita provinsi yaitu 18.606
juta per jiwa pada tahu 2011. Tingginya PDRB
pada Kota Lhoksumawe disebabkan karena
terdapat industri migas, yaitu industri petrokimia
modern yang menjadi penyumbang pemasukan
tertinggi. Kota ini memiliki SDA berupa gas
alam, sehingga menarik investor untuk
mendirikan perusahaan petrokimia disini. Salah
satu perusahaan terbesar adalah PT. Arun Natural
Gas Liquefaction (NGL) Co, yang merupakan
industri pengolahan gas alam cair, dan
memproduksi gas LPG untuk Pertamina. Seiring
dengan berkembangnya industri gas alam,
industr-industri lain juga didirikan dan
membentuk suatu kawasan industri di Kota ini.
Pertumbuhan jumlah industri hanya terjadi di
kota ini dan tidak merambah ke daerah lain di
Provinsi Aceh, sehingga menyebabkan
ketimpangan wilayah antar kabupaten/ kota di
Aceh tergolong tinggi.
Provinsi kedua yang memiliki indeks
VW tinggi adalah Sumatera Utara, dengan angka
0,72 pada tahun 2011. Kabupaten dengan PDRB
perkapita tertinggi adalah Batubara sebesar
50.066 juta per jiwa. Sedangkan PDRB perkapita
rata-rata provinsi adalah sebesar 23.975 juta per
jiwa. Kontribusi PDRB Kabupaten Batubara yang
tertinggi adalah dari sektor industri pengolahan,
yaitu yang berasal dari PT. Indonesia Asahan
Aluminium (INALUM). Perusahaan ini
merupakan joint venture Pemerintah Indonesia
dengan perusahan swasta asal Jepang, yang
bergerak pada industri peleburan alumunium, dan
merupakan satu-satunya di Asia Tenggara.
INALUM banyak membangun berbagai
infrastruktur di sekitar kawasan industrinya, yaitu
PLTA Sungai Asahan, Pelabuhan Kuala Tanjung,
stasiun pembangkit listrik, dan bendungan.
Industri ini menjadi penyupply alumunium ke
Jepang dan negara-negara lain, dengan
pendapatan bersih pertahun lebih dari 50 juta
dolar. Selain Kabupaten Batubara, Kota Medan
juga memiliki PDRB perkapita tinggi dengan
angka 44.214 juta per jiwa. Status Kota Medan
sebagai kota terbesar di Pulau Sumatera yang
memiliki beragam sektor ekonomi, menjadikann
PDRB perkapita kota ini tinggi. Selain kedua
daerah itu, kab/kota lain di Sumatera Utara
memiliki PDRB perkapita berkisar antara 10.000-
25.000 juta perjiwa. Karena terdapat perbedan
yang jauh antara dua daerah dengan daerah ini,
maka menghasilkan ketimpangan antar daerah
yang cukup tinggi di Provinsi Sumatera Utara.
Provinsi Riau juga tergolong memiliki
indeks ketimpangan tertinggi di Sumatera dengan
angka 0,68. PDRB rata-rata provinsi ini tergolong
tinggi dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau
Sumatera, namun terdapat satu Kabupaten yaitu
Bengkalis yang memiliki PDRB perkapita
sebesar 206.862 yang sangat jauh dengan rata-
rata provinsi sebesar 72.031 juta perjiwa. Analisis
tingginya pendapatan Bengkalis adalah karena
terdapat SDA migas dan perkebunan kelapa sawit
yang melimpah di Kabupaten ini. Beberapa
perusahaan besar yang berada di kabupaten ini
antara lain PT. Chevron Pacific Indonesia (CPI)
dan BOB Pertamina. Kekayaan alam berupa
minyak bumi di kabupaten ini mendorong banyak
perusahaan dan industri datang berinvestasi ke
kabupaten ini. Perbandingan PDRB Kabupaten
Bengkalis tanpa migas dengan migas mencapai
lima kali lipatnya. Hal ini menjadikan sektor
migaslah yang sangat berpengaruh dalam PDRB
perkapita Kabupaten Bengkalis. Ketimpangan
yang terjadi di Provinsi Riau disebabkan oleh
perbedaan jumlah SDA yang berada pada
masing-masing daerah.
Provinsi lain yang memiliki indeks
ketimpangan antar wilayah tinggi adalah
Sumatera Selatan, dengan angka ketimpangan
mencapai 0,74. Kabupaten dengan PDRB
perkapita tertinggi adalah Musi Banyuasin,
dengan angka 53.905 juta per jiwa, dengan rata-
rata provinsi adalah 23.980 juta per jiwa. Seperti
Bengkalis, kabupaten ini memiliki sektor
pertambangan dan energi yang melimpah dengan
sumbangan ke PDRB sebesar 66,86%. Terdapat
tiga perusahaan migas besar yang berlokasi di
kabupaten ini, yaitu PT. Conoco Phillips, PT.
Medco, dan Pertamina.
Terdapat dua provinsi yang memiliki
Indeks VW terendah, yaitu Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung dan Sumatera Barat. Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung memiliki angka
ketimpangan sebesar 0,28 pada tahun 2011. Dari
tahun ke tahun indeks VW di Provinsi ini
memang selalu menjadi yang terendah diantara
provinsi lainnya. Hal ini terjadi karena di provinsi
tersebut, tidak ada kota/kabupaten yang
-
perkembangannya terlalu mencolok. Hal ini
terlihat dari data PDRB, pada tahun 2007, sektor
primer yang menopang perekonomian di provinsi
tersebut adalah sektor pertanian sebesar 18,67%
dan sektor pertambangan sebesar 20,40%.
Pertambangan timah di wilayah tersebut
jumlahnya semakin sedikit, oleh karena itu sejak
tahun 2007 Provinsi Bangka Belitung didominasi
oleh kelompok industri kimia dan bahan
bangunan, yaitu sebanyak 1187 unit usaha yang
tersebar di seluruh kabupaten/kota di provinsi
tersebut.
Sementara itu, Provinsi Sumatera Barat
memiliki angka ketimpangan sebesar 0,34 pada
tahun 2011. Dari tahun ke tahun indeks VW di
Provinsi Sumatera Barat memang selalu
menurun. Rendahnya tingkat ketimpangan di
provinsi Sumatera Barat terjadi karena di provinsi
tersebut tidak terjadi konsentrasi kegiatan
ekonomi yang terlalu mencolok di salah satu
kota/kabupaten. Selain itu, semenjak tahun 2009,
setelah terjadinya bencana gempa bumi,
perekonomian di provinsi ini terus membaik,
dimana terjadi pertumbuhan ekonomi yang
mencapai 0,90%.
Dari segi PDRB per kapita dari masing-
masing kabupaten/kota yang ada di Kepulauan
Bangka Belitung maupun di Sumatera Barat,
tidak ada kota/kabupaten yang memiliki nilai
PDRB yang terlalu tinggi maupun terlalu rendah.
Selain itu, sumber daya alam di kedua provinsi
tersebut juga tidak ada kota/kabupaten yang
memiliki kekayaan sumber daya alam yang
terlalu mencolok. Hal inilah yang menyebabkan
rendahnya tingkat ketimpangan wilayah di
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan
Sumatera Barat.
Pengaruh Ketimpangan Wilayah dengan
Kebudayaan Masyarakat
Terdapatnya sumber daya alam yang
berbeda di setiap provinsi menyebabkan
ketimpangan pada antar provinsi dan kabupaten/
kota di Pulau Sumatera. Sumber daya alam yang
melimpah kemudian dijadikan industri yang
kemajuan pembangunan pada daerah yang
memilikinya. Industri yang hadirpun berskala
besar dan memiliki pengaruh yang sangat besar
kepada wilayahnya. Begitu pula dengan sosial
kependudukan, dimana lahirnya industri secara
tidak langsung mengubah kebiasaan dan budaya
masyarakat sekitarnya, yang bisa saja berbeda
dengan wilayah yang tidak memiliki industri
besar.
Sebelum memiliki industri besar, rata-
rata budaya yang terdapat di wilayah Pulau
Sumatera masih bersifat tradisional dengan
semangat gotong royong yang tinggi. Namun
seterlah hadirnya industri perlahan budaya
tersebut memudar dikarenakan industri yang
membawa modenisasi ke sana. Industri yang
membuka lapangan pekerjaan dalam jumlah besar
menyebabkan perubahan struktur mata
pencaharian utama pada penduduk lokal. Selain
itu banyak juga penduduk yang bermigrasi ke
sana akibat banyaknya lapangan pekerjaan yang
terdapat di industri maupun di wilayah
sekitarnya.
Pertambahan jumlah penduduk dari luar
ke dalam wilayah industri tersebut menyebabkan
heterogenitas budaya di dalam masyarakatnya.
Disini terjadi perubahan sosial dimana merubah
pola kelakukan masyarakat di dalamnya.
Berdasarkan hasil penelitian dampak kehadiran
industri terhadap kehidupan sosial Masyarakat
Desa Pesisir Lalang tempat terdapatnya Pabrik
Inalum di Sumatera Utara (Mhd. Dian Safei,
2010), diketahui bahwa heterogenitas suku tidak
menyebabkan permasalahan interaksi antar
masyarakat. Mereka saling menjalin sillaturrahmi
ketika terdapat suatu acara maupun musibah.
Bahkan telah banyak penduduk asli yang
menikah dengan penduduk pendatang sehingga
dapat dikatakan kedatangan penduduk baru tidak
menimbulkan dampak negatif bagi penduduk asli
dari segi interaksi sosial.
Dari segi struktur pekerjaan utama
masyarakat, terjadi perubahan dari yang awalnya
pada sector pertanian menjadi sector jasa swasta
dengan bekerja di Pabrik serta sector informal
seperti berdagang di sekitar pabrik. Ekonomi di
wilayah ini menjadi tumbuh dan terjadi
pergeseran wilayah dari yang awalnya masih desa
menjadi mengkota.
Modernisasi yang terjadi di wilayah
tempat industri berada memengaruhi budaya
masyarakat sekitar. Pergeseran budaya yang
terjadi adalah menurunnya budaya tolong
menolong dan gotong royong dalam aktivitas
masyarakatnya.
Sebelum terdapatnya industri, dimana
mayoritas penduduk bekerja pada sector
pertanian, gotong royong di aktivitas sehari-hari
masyarakat masih sangat kental terutama pada
aktivitas pertanian, sekitar rumah tangga, serta
saat menyelenggarakan acara dan musibah.
Pada aktivitas pertanian, sebelum
terdapatnya industri petani melakukan aktivitas
pengolahan tanah dan pemanenan dibantu oleh
-
tetangga dan masyarakat sekitar tanpa ada
imbalan. Sebagai gantinya saat penduduk lain
meminta tolong maka akan dibantu juga oleh
petani tersebut. Namun ketika banyak penduduk
yang beralih profesi bekerja di pabrik, semakin
sedikit terjadi gotong royong dalam kegiatan
pertanian. Dalam mengolah lahan sampai panen,
petani sekarang cenderung mengupahkannya
pada satu orang untuk mengerjakannya.
Kemudian pada aktivitas rumah tangga
yang terlihat dalam membangun rumah, biasanya
penduduk akan saling membantu dalam
pembangunan saatn menggali pondasi,
menaikkan kayu penyangga atap, dan
pemasangan genting. Mereka akan menyediakan
alat sendiri untuk digunakan dalam
pembangunan. Namun setelah terjadi perubahan
wilayah yang menjadi lebih moder, masyarakat
menginginkan rumah yang dibangun lebih bagus
dan sempurna sehingga mereka akan cenderung
memanggil tukang untuk mengerjakan semua
pembangunan. Selain itu penduduk juga
merasakan sungkan apabila ingin meminta tolong
pada orang lain karena ditakutkan akan
merepotkan.
Dalam kegiatan penyelenggaraan acara
seperti pesta dan upacara, sama seperti kegiatan
sebelumnya, juga diselenggarakan dengan
bantuan tetangga. Para ibu ibu akan membantu
pada urusan dapur dan para bapak-bapak akan
mengurus tempat acara. Sekarang setelah berubah
menjadi modern, saat menyelenggarakan acara
masyarakat lebih memilih untuk memanggil
catering untuk urusan makanan dan meminta
pertolongan hanya kepada kerabat dan tetangga
terdekat saja.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa terdapatnya
industry pada suatu wilayah akan merubah
budaya masyrakat setempat dimana menjadi lebih
modern dan individualis. Masyarakat tidak lagi
membudayakan gotong royong dalam aktivitas
sehari-harinya dan lebih memilih untuk
mengupahkannya.
Ketimpangan wilayah yang terjadi juga
memunculkan ketimpangan budaya dimana
wilayah yang lebih maju akan lebih modern
karena terdapatnya pembangunan yang lebih
pesat. Oleh sebab itu ketimpangan wilayah secara
tidak langsung akan membawa kepada pergeseran
budaya gotong royong pada wilayah yang lebih
maju.
VI. KESIMPULAN
Analisis mengenai angka ketimpangan
antar daerah di Pulau Sumatera menunjukkan
bahwa faktor sumber daya alam menjadi
penyebab tingginya angka ketimpangan. SDA
berupa minyak dan gas alam saat ini masih
menjadi modal utama yang dapat menumbuhkan
industri dan berdampak kepada tingginnya PDRB
perkapita suatu daerah, dan menyebabkan
perbedaan pendapatan yang tinggi antar daerah
pengahasil migas dengan daerah yang tidak.
Selain itu, provinsi yang memiliki kota besar
dengan pembangunan yang pesat, cenderung
memiliki ketimpangan yang semakin besar
[Sumut, Sumsel, dan Riau].
Ketimpangan juga berpengaruh kepada
pergeseran budaya dimana wilayah yang lebih
maju dimana terjadi industrialisasi,
masyarakatnya menjadi lebih modern dan
individualis sehingga budaya gotong royong yang
dulu sangat lekat menjadi pudar.
Sumber:
Safei, Mhd Dian. 2010. Dampak Industrialisasi
terhadap Kehidupan Sosial, Ekonomi dan
Budaya Masyarakat. Skripsi. Departemen
Antropologi Fisip Universitas Sumatera
Utara.
www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1516
id.wikipedia.org/wiki/Sumatera
id.wikipedia.org/wiki/Kepulauan_Bangka_Belitung
id.wikipedia.org/wiki/Sumatera_Barat
mubakab.go.id/index.php/public/potensi_daerah/perta
mbangan/16
www.bengkaliskab.go.id/semua-download.html
www.otoritaasahan.go.id/inalum/think_aluminium.htm
bappeda.batubarakab.go.id/daftar-grafik/industri-
pengolahan/
id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Aceh_Utara