anestesi pada asma

36
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pengelolaan pasien dengan penyakit asma selama pembedahan membutuhkan terapi khusus berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium yang seksama untuk mengurangi komplikasi selama dan pasca operasi. Masalah paru adalah penyebab umum morbiditas dan mortalitas selama pembedahan. Berdasarkan frekuensinya, 1,2-4% pasien yang menjalani prosedur bedah mayor dilaporkan mempunyai penyakit asma. Komplikasi pada pasien dengan penyakit paru telah didokumentasikan, hanya 3% dari pasien dengan pra operasi normal fungsi paru yang akan berkembang menjadi atelektasis atau pneumonia, sedangkan 70% dari pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik dengan perubahan fungsi paru akan menemui beberapa kesulitan. Shnider melaporkan bahwa 6,5% pasien tanpa gejala asma sebelumnya mengalami bronkospasme selama operasi. Gold dan Helrich menemukan 24% insiden dari operasi dan komplikasi pasca operasi pada populasi asma, sangat berbeda kejadiannya dengan 14% dalam kelompok kontrol. Asma merupakan kelainan yang banyak terjadi pada 5-7% populasi. Jenisnya berupa inflamasi dan

Upload: anindhito-kurnia-pratama

Post on 25-Nov-2015

39 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

hgfhfhfhvhg

TRANSCRIPT

23

BAB IPENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pengelolaan pasien dengan penyakit asma selama pembedahan membutuhkan terapi khusus berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium yang seksama untuk mengurangi komplikasi selama dan pasca operasi. Masalah paru adalah penyebab umum morbiditas dan mortalitas selama pembedahan. Berdasarkan frekuensinya, 1,2-4% pasien yang menjalani prosedur bedah mayor dilaporkan mempunyai penyakit asma. Komplikasi pada pasien dengan penyakit paru telah didokumentasikan, hanya 3% dari pasien dengan pra operasi normal fungsi paru yang akan berkembang menjadi atelektasis atau pneumonia, sedangkan 70% dari pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik dengan perubahan fungsi paru akan menemui beberapa kesulitan. Shnider melaporkan bahwa 6,5% pasien tanpa gejala asma sebelumnya mengalami bronkospasme selama operasi. Gold dan Helrich menemukan 24% insiden dari operasi dan komplikasi pasca operasi pada populasi asma, sangat berbeda kejadiannya dengan 14% dalam kelompok kontrol. Asma merupakan kelainan yang banyak terjadi pada 5-7% populasi. Jenisnya berupa inflamasi dan hipereaktivitas bronkus sebagai respon terhadap berbagai macam stimulasi. Secara klinis, asma dimanifestasikan sebagai episode serangan sesak nafas yang reversible akibat kontraksi otot polos bronkus, edema dan peningkatan sekresi.Gejala-gejala asma yang umum terjadi seperti sesak napas, batuk, whezing, dan sampai sulit bernapas. Penyebab klasik yang memicu terjadinya asma antara lain: substansi udara seperti polutan, serbuk sari, debu, dan beberapa uap kimia. Stimulasi psikologi (seperti emosi, stres, cemas), cuaca, penggunaan obat NSAID (seperti aspirin, ibuprofen), olah raga. Infeksi saluran napas oleh karena virus.2Berdasarkan penyebabnya asma dapat dibagi menjadi dua macam, asma ekstrinsik (asma alergi), asma intrinsik (asma yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik). Pada asma ekstrinsik biasanya pada anak-anak dan dipicu oleh alergen, asma intrinsik dipicu oleh faktor-faktor non alergen seperti infeksi saluran napas oleh virus, emosi, iritasi saluran napas, dan olah raga. Pada asma intrinsik umumnya pada orang dewasa.

Asma dapat timbul pada semua kelompok umur. Terdapat peningkatan prevalensi asma baik pada negara maju ataupun pada negara berkembang. Meskipun angka kematian karena asma rendah tetapi penykit ini mempunyai dampak yang cukup besar karena penderita asma sering mengalami serangan sehingga mengganggu aktivitas kerja ataupun kehilangan hari sekolah.11

Pada umumnya pasien dengan gangguan fungsi paru derajat tertentu yang mengalami pembedahan masih memiliki kemampuan toleransi terhadap gangguan pernapasan pasca bedah. Tetapi pasien dengan penyakit paru memiliki peluang resiko yang lebih tinggi terjadinya komplikasi paru pasca bedah dibandingkan pasien yang normal, oleh karena itu diperlukan pengelolaan perioperatif yang memadai untuk mencegah komplikasi tersebut.

B. TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan referat ini adalah sebagai berikut :1. Untuk mengetahui dan memahami tentang penatalaksanaan perioperatif asma bronchial. BAB II

ISIDEFINISI ASMAPenyakit asma adalah penyakit kronik yang merupakan gangguan inflamasi saluran pernafasan yang dihubungkan dengan hiperesponsif, keterbatasan aliran udara yang reversible dan gejala pernafasan.Menurut GINA (Global Initiative for Asma) asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran napas respiratorik dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan episode wheezing berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya malam hari atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan saluran respiratorik yang luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperaktivitas saluran respiratorik terhadap berbagai rangsangan.8Asma adalah penyakit saluran napas kronik akibat terjadinya peningkatan kepekaan saluran napas terhadap berbagai rangsangan. Pada penderita yang peka hal ini menyebabkan munculnya serangan batuk, bunyi mengi, banyak dahak, sesak napas, dan tidak enak didada terutama pada malam hari atau pagi hari.15

Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensivitas cabang-cabang tracheobronchial terhadap pelbagai jenis rangsang. Keadaan ini bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodik dan reversibel akibat bronkospasme. 15Patofisiologi Asma

Pathofisiologi asma melibatkan pelepasan mediator kimiawi ke jalan napas dan mungkin pula adanya aktivitas yang berlebihan dari sistem saraf parasimpatis. Substansi yang terhirup dapat menimbulkan bronkospasme melalui respon imun spencifik dan non spencifik oleh daya degranulai sel mast bronkial. Pada asma alergi yang klasik antigen berikatan dengan Ig E di permukaan sel mast dan menyebabkan degranulasi, bronkokontriksi merupakan hasil dari pelepasan histamin berikutnya : bradiknin; leukotrien C, D, dan E; platelet activating-factor, prostaglandin (PG), PGE2, PGF2 alfa, dan PGD2; dan factor netrofil eosinofil kemotaktik.2 Sedikitnya ada 2 jenis T-helper (Th), limpfosit subtipe CD4+ telah dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis lifosit T mensekresi IL-3 dan granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), Th1 terutama memproduksi IL-2, IF- dan TNF-. Sedangkan Th2 terutama memprodusi sitokin yang terlibat dalam asma, yaitu IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan IL-16. Sitokin yang dihasilkan oleh Th2 bertanggung jawab atas terjadinya reaksi hipersensivitas tipe lambat maupun yang cell mediated. Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesoris yaitu suatu proses yang melibatkan molekul MHC/major histocompatibility complex (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada ael T CD8+). Sel dendritik adalah merupakan antigen presenting cell yang utama dalam saluran napas. Sel dendritik terbentuk perkusornya didalam sumsum tulang dan membentuk jaringan luas dan sel-selnya saling berhubungan pada epitel saluran respiratorik. Kemudian sel-sel tersebut bermigrasi kekumpulan sel-sel limfoid dibawah pengaruh GM-CSF yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivitas sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik berpindah menuju daerah yang banyak mengandung limfosit. Dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai antigen presenting cell (APC) yang efektif. Sel dendritik juga mendorong polarisasi selT nave-Th0 menuju Th2 yang mengkoordinasi sekresi sitokin-sitokin yang termasuk pada klaster kromosom 5q31-33 (IL-4 genecluster). 8

Pada asma baik dengan atau tanpa mekanisme alergi memiliki kelabilan bronkus abnormal yang memudahkan penyempitan saluran napas oleh banyak faktor, saluran napas ini seakan-akan merupakan persarafan -adrenergik yang tidak kompeten, dan banyak bukti memberikan paling tidak secara fungsional terdapat hambatan partial pada reseptor adrenergik pada penderita asma yang khas ini. Penyempitan saluran respiratorik pada asma dipengaruhi oleh banyak faktor. Penyebab utama penyempitan saluran respiratorik adalah kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi. Yang termasuk agonis adalah histamin, triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dari sel mast, neuropepetida dari saraf aferen setempat dan asetilkolin dari saraf postganglionik. Kontraksi otot polos saluran respirtorik diperkuat oleh penebalan dinding saluran napas akibat edema akut, infiltrasi sel-sel inflamasi dan remondeling, hiperplasia dan hipertropi kronis otot polos, vaskuler dan sel-sel sekretori serta deposisi matrik pada diding saluran respiratorik. Selain itu hambatan saluran respiratorik juga bertambah akibat produksi sekret yang banyak, kental, dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar submukosa, protein plasma yang keluar melalui mikrovaskuler bronkus dan debris seluler.16

Peran serotonin, suatu bronkokonstriktor, belum diketahui pada manusia. Sistim saraf parasimpatik memainkan peran penting dalam menjaga tonus normal bronkial. Aktifasi reflek vagal terjadi pada bronkokontriksi yang dimediasi oleh peningkatan siklik guanosin monofosfat intraseluler (cGMP). 2

Selama serangan asma, bronkokontriksi, oedem mukosa, dan sekresi yang terjadi akan meningkatkan tahanan aliran gas disetiap tempat jalan napas yang lebih rendah. Tahanan jalan napas kembali normal pertama kali pada jalan napas yang lebih besar (bronki utama, lobar, segmental dan sub segmental), kemudian baru perifer. Laju ekspirasi menurun melampaui kapasitas vital paksa (force vital capacity) tetapi pada pemulihan serangan laju rata-rata ekspirasi menurun hanya pada volume paru rendah.

Volume residu (RV), TLC, FRC semua menurun. PaCO2 normal atau tinggi menunjukkan bahwa pasien tidak dapat mempertahankan kerja napas lagi dan hal ini sering merupakan tanda adanya gagal napas (impending). Pulsus paradoksus dan gambaran EKG renggangan ventrikel kanan (perubahan ST, deviasi aksis kanan, dan RBBB) menunjukan obstruksi jalan napas berat.2Etiologi Asma Herediter

Kebiasaan : polusi udara, stress, makanan

Alergi : rokok, udara dingin, anjing, kucing, debu

Obat : obat nyeri seperti NSAID Gejala dan tanda asma Mengi saat ekspirasi

Batu berat pada malam hari dada sesak yang terjadi berulang dan nafas tersengal-sengal.

Hambatan pernafasan yang reversibel secara bervariasi selama siang hari.

Adanya peningkatan gejala pada saat olah raga, infeksi virus, paparan terhadap alergan, dan peruahan musim.

Terbangun malam hari dengan gejala tersebut diatas. Klasifikasi Asma

Berdasarkan etiologi :

Asma intrinsik

Asma yang tidak disebabkan oleh faktor lingkungan.

Asma ekstrinsik

Penyakit asma yang berhubungan dengan atopi, predisposisi genetik yang berhubungan dengan IgE sel mast dan respon eosinofil terhadap alergan. Ditinjau dari berat ringannya penyakit

DERAJAT ASMAGEJALAGEJALA MALAMFUNGSI PARU

INTERMITEN

Mingguan Gejala < 1x/minggu

Tanpa gejala di luar serangan

Serangan singkat

Fungsi paru asimtomatik dan normal di luar serangan. < 2 kali sebulan VEP1 atau APE > 80%

PERSISTEN

RINGAN

Mingguan Gejala > 1x/minggu tapi < 1x/hari

Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur. > 2 kali

seminggu VEP1 atau APE > 80%

normal

PERSISTEN

SEDANG

Harian Gejala harian

Menggunakan obat setiap hari

Serangan mengganggu aktivitas dan tidur

Serangan 2x/minggu, bisa berhari hari > sekali

seminggu VEP1 atau APE > 60% tetapi < 80% normal

PERSISTEN

BERAT

Kontinu Gejala terus menerus

Aktivitas fisik terbatas

Sering serangan Sering VEP1 atau APE < 80% normal

Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan di Indonesia, 2004Ditinjau Dari Gejala Klinis

1. Serangan asma ringan : dengan gejala batuk, mengi dan kadang-kadang sesak, Sa O2 95% udara ruangan, PEFR lebih dari 200 liter per menit, FEV1 lebih dari 2 liter, sesak nafas dapat dikontrol dengan bronkodilator dan faktor pencetus dapat dikurangi, dan penderita tidak terganggu melakukan aktivitas normal sehari-hari. 2. Serangan asma sedang : dengan gejala batuk, mengi dan sesak nafas walaupun timbulnya periodik, retraksi interkostal dan suprasternal, SaO2 92-95% udara ruangan, PEFR antara 80-200 liter per menit, FEV1 antara 1-2 liter, sesak nafas kadang mengganggu aktivitas normal sehari-hari. 3. Serangan asma berat : dengan gejala sesak nafas telah mengganggu aktivitas sehari-hari secara serius, disertai kesulitan untuk berbicara dan atau kesulitan untuk makan, bahkan dapat terjadi serangan asma yang mengancam jiwa yang dikenal dengan status asmatikus. Asma berat bila SaO2 91%, PEFR 80 liter per menit, FEV1 0,75 liter dan terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas berat seperti pernafasan cuping hidung, retraksi interkostal dan suprasternal, pulsus paradoskus 20 mmHg, berkurang atau hilangnya suara nafas dan mengi ekspirasi yang jelas.Terapi :

Non Farmakologi yaitu melalui pencegahan

Farmakologi dengan menggunakan obat

Short acting 2 agonsts (salbutamol, terbutalin)

Antiklinergik

KortikosteroidPENANGANAN ANESTESI PREOPERATIFEvaluasi Preoperatif

Evalusi pasien asma sebelum tindakan anestesi dan pembedahan sangat penting untuk mencegah ataupun mengendalikan kejadian asma attack, baik intraoperatif maupun postoperatif. Maka diperlukan evaluasi yang meliputi riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium, pemeriksaan fungsi paru-paru, dan analisa gas darah, foto rontgen thorax.161. Riwayat Penyakit

Meliputi lama penyakitnya, frekwensi serangan, lama serangan atau berat serangan, faktor-faktor yang memperngaruhi serangan, riwayat penggunaan obat-obatan dan hasilnya, riwayat perawatan dirumah sakit, riwayat alergi (makanan, obat, minuman), Riwayat serangan terakhir, beratnya, dan pengobatannya.4 Bila baru-baru ini mendapat infeksi saluran napas atas dan menimbulkan serangan maka operasi elektif sebaiknya ditunda 4-5 minggu untuk mencegah reaktifitas jalan napas.32. Pemeriksaan Fisik

Tanda-tanda serangan asma tergantung dari derajat obstruksi jalan napas yang terjadi. Dapat dilihat dari inspeksi penderita tampak sesak, sianosis, ekspirasi memanjang, Palpasi takicardi. Perkusi hipersonor, auscultasi whezing, ronchi.4 Tanda-tanda serangan asma berat meliputi penggunaan otot-otot pernapasan tambahan, tidak mampu berhenti napas pada saat bicara, sianosis, sedikit atau tidak ada whezing (jalan napas tertutup, sedikit gerakan udara, dan whezing menurun).53. Pemeriksaan Laboratorium

Pada asma eosinofil total dalam darah sering meningkat. Jumlah eosinofil ini selain untuk menilai cukup tidaknya dosis terapi kortikosteroid dan dapat juga untuk membedakan asma dengan bronchitis khronis. Pada pemeriksaan sputum selain didapatkan eosinofil, juga dapat ditemukan adanya kristal charcat leyden, spiral churschman dan mungkin juga miselium aspergilus fumigates.44. Pemeriksaan Rontgen Thorax

Pada umumnya hasil normal atau hiperinflasi. Pemeriksaan tersebut umumnya dilakukan bila ada kecurigaan adanya proses patologi diparu atau adanya komplikasi asma seperti pneumothorax, pneumomediastinum, atelektasis, pneumonia. Kadang didapatkan gambaran air trapping, diafragma datar karena hiperinflasi, jantung mengecil dan lapang paru yang hiperluscen.55. Pemeriksaan Fungsi Paru (Spirometri)

Untuk mengetahui kondisi klinis pasien asma perlu dilakukan pengukuran aliran udara ekspirasi yaitu volum ekspirasi paksa detik pertama (FEV1) dan arus puncak ekspirasi (PEFR). Lebih bagus lagi bila dibandingkan dengan hasil pengukuran sebelumnya. Normalnya nilai volum ekspirasi paksa (FEV1) untuk laki-laki adalah lebih dari 3 liter dan lebih 2 liter untuk wanita. Nilai normal arus puncak ekspirasi (PEFR) adalah lebih dari 200 L/.mnt ( pada laki-laki dewasa muda lebih dari 500 L/mnt). Nilai PEFR kurang dari 200 L/mnt pada pria ( < 150 L/mnt pada wanita) menunjukkan gangguan efektivitas batuk dan akan meningkatkan komplikasi pasca bedah. Hasil FEV1 atau PEFR < 50% menunjukan asma sedang sampai berat. Nilai PEFR < 120 l/mnt atau FEV1 1 liter menujukan obstruksi berat. Pemeriksaan ini penting dilakukan karena sering terjadi ketidaksesuaian gambaran klinis asma dengan fungsi paru. Penderita yang baru sembuh dari serangan akut atau penderita asma kronik sering tidak mengeluh, tetapi setelah diperiksa ternyata obstruksi saluran napas. Pemeriksaan ini diindikasikan pada pasien-pasien yang menderita penyakit paru-paru sedang sampai berat yang menjalani operasi yang berdampak pada sistem respirasi.Pemeriksaan ini juga dapat memprediksi terhadap resiko komplikasi paru postoperatif dan memprediksi kebutuhan bantuan ventilasi dan respon pengobatan (Bronkodilator).2Hubungan asma dengan pemeriksaan spirometri :Keadaan Klinik% FEV/FVC

Normal80-100

Asma Ringan75-79

Asma Sedang50-74

Asma Berat35-49

Status Asmatikus 15 ml/kgbb

4. Mampu komunikasi verbal dan mengikuti instruksi

5. Koordinasi tangan-mulut-inspirasi memadai

6. PEFR 150 Lt/menit untuk wanita dan > 200 Lt/menit untuk pria

Pada akhir pembedahan pasien harus bebas whezing, Reversal pemblok neuromuskular nondepolarising dengan antikolinesterase tidak menimbulkan brokospasme jika diberikan dosis antikolinergik yang tepat. Pasien yang teridentifikasi resiko tinggi perlu dimasukkan ke unit monitoring post operatif, dimana fisioterapi dada dan suction dapat dilakukan. Penanganan nyeri post operatif adalah hal yang penting menurunkan bronkospasme.17 Masalah berikut yang terjadi pasca bedah adalah penurunan volume paru akibat anestesi dan pembedahan. Secara fisiologi hal tersebut oleh karena terjadi penurunan VA (Ventilasi Alveolar) dan FRC (Functional Residual Capacity). Penurunan VA diaebabkan oleh penurunan volume semenit atau VE atau oleh peningkatn dead speace (VD). Penurunan VE pada pasca bedah disebabkan pengaruh anestesi, narkotik, sedasi, pelemas otot atau penyakit neuromuskuler, atau myesthenia gravis, Guillain Barre, lesi pada medula spinalis servikalis, cedera pada neervus phrenicus. Peningkatan VD terjadi oleh emboli paru, penurunan curah jantung, bronkospasme. Penurunan FRC biasanya disebabkan oleh atelektasis, edema paru, dan pneumonia. Penyebab atelektasis oleh karena ventilasi tidak adekuat,intubasi endobronkhial, penekanan atau traksi pembedahan, pelemas otot, efusi pleura, cedera nervus phrenicus. Penurunan FRC pada posisi tegak ke posisi terlentang merupakan predisposisi timbulnya atelektasis sehingga mobilisasi dini akan menurunkan angka kejadian komplikasi ini. Latihan napas dalam dan incentive spirometry merupakan cara yang sama efektifnya untuk mengembangkan paru dan mempertahankan FRC atau dengan continous positive airway pressure (CPAP) dapat menghindarkan atelektasis sama baiknya dengan latihan napas dalam. Disamping itu pengendalian nyeri secara adekuat sejak awal pasca bedah akan mengurangi hambatan batuk dan napas dalam serta mempermudah mobilisasi.3Adapun Kriteria untuk perawatan di ICU :

1. Pasien yang butuh bantuan Ventilatory Support2. FEV atau PEV < 50%

3. PCO2 > 50 mmHg

4. PO2 < 50 mmHg

5. Pasien nampak bingung dan lemah6. Pasien yang membutuhkan monitoring terapi, cairan dan farmakologis

7. Pasien dengan major trauma , multitrauma, dan luka bakar berat apalagi disertai instabilitas hemodinamika

8. Pasien major trauma yang dilakukan prosedur Damage Control Surgery9. Pasien yang menjalani major surgery.BAB III

KESIMPULAN1. Asma adalah satu keadaan klinis yang ditandai dengan episode berulang penyempitan bronkus yang reversible, biasanya diantara episode terdapat pernapasan yang lebih normal.

2. Penilaian terhadap reversibilitas penyakit penting dilakukan evaluasi pasien dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan AGD dan pemeriksaan tes fungsi paru-paru.

3. Pasien dengan riwayat asma frekuen atau kronis perlu dilakukan pengobatan sampai tercapai kondisi yang optimal untuk dilakukan operasi atau kondisi dimana gejala-gejala asma sudah minimal.

4. Pencegahan bronkospasme pada saat operasi penting dilakukan terutama pada saat manipulasi jalan napas.

5. Pemilihan obat-obatan dan tindakan anestesi perlu dipertimbangkan untuk menghindari penggunaan obat-obatan dan tindakan yang merangsang terjadinya bronkospasme atau serangan asma.

DAFTAR PUSTAKA1. William R. Solomon, 1995 : Pathofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit hal : 149-161

2. Morgan G.E, 2006 : Anestesi for patients with Respiratory Disease in ClinicalAnaesthesiology third edition, page : 571-576.

3. Indro Mulyono, 2000 : Pengelolaan Perioperatif pada penderita gangguanPernapasan dalam PIB X IDSAI diBandung, hal : 111-133.

4. Karnen B, 1999 : Asma Bronchial dalam Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hal : 21-39.

5. Oberoi G, Phillip G, 2000 : Management of some Medical Emergency Situation,Mc. Graw Hill, page : 315-318

6. Stoelting R.K, 1999 : Pharmacology in Pharmacology and Physiology in Anaesthetic Practice, Fourth edition, Lippincott William & Wilkins, page : 253-418.

7. Kevin C. Dennehy and Kenneth E. Shepherd, 2002 : Specifik Consideration with Pulmonary Disease in Clinical Anaesthesia Prosedures of the Massachusetts General Hospital, six edition Lippincott Williams & Wilkins page : 33-41

8. Lenfant C, Khaltaev N. GINA. NHLBI/WHO Workshop Report 2002.

9. Mark R. Ezekeil, MD,MS. Pulmonary disease, Handbook of Anesthesiology, Current Clinical Strategies, 2004-2005 edition page : 34-3510. St. Mulyata.2004 : Clinical Problem Solving In Postanesthesia Care Unit dalam Konggres Nasional VII IDSAI di Makasar, hal : 305-306.

11. Faisal Y, 2002 : Terapi Controller pada Asma dalam Pertemuan Ilmiah Paru Milenium 2002, Surabaya hal : 1-6.

12. Taib S, 2002 : Peran Kortikosteroid pada Serangan Asma dalam Pertemuan Ilmiah Paru Milenium Surabaya, hal : 1-16.

13. William R. Solomon, 2002 : Pathologi, Konsep Klinis Proses-prose Penyakit hal: 171-186.

14. Gal, TJ, 2002, Reactive airway Disease: Anesthetic Perspective, IARS 2002Review Course Lectures, USA.

15. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) 2004, Pedoman Diagnosis danpenatalaksanaan Asma di Indonesia. Penerbit FKUI, Jakarta.

16. Bouquet J, Jeffery PK. Busse WW, Jhonson M, Vignola AM, Asthma. Frombronchocontriction to airwy remondelling. Am J Respir Crit Care Med, 2000; 161:1720-45.

17. Epstein L,L,1999 : Spesific Consideration With Pulmonary Disaeae in ClinicalAnaesthesia Prosedure Of Massechusetts General Hospital,6 ed, LippinCottWlliam & Wilkins, page: 6, 33-41, 259-261.

18. Shirly Murphy, MD, October 1997 : Practical Guide for the Management ofAsthma, University of NewMaxico. Page 32, 35.19. Allman KG., Wilson IH., 2003 Asthma in Respiratory desease Oxford Handbook of Anesthesia: 57-60