referat anestesi pada asma

37
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pengelolaan pasien dengan penyakit asma selama pembedahan membutuhkan terapi khusus berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium yang seksama untuk mengurangi komplikasi selama dan pasca operasi. Masalah paru adalah penyebab umum morbiditas dan mortalitas selama pembedahan. Berdasarkan frekuensinya, 1,2-4% pasien yang menjalani prosedur bedah mayor dilaporkan mempunyai penyakit asma. Komplikasi pada pasien dengan penyakit paru telah didokumentasikan, hanya 3% dari pasien dengan pra operasi normal fungsi paru yang akan berkembang menjadi atelektasis atau pneumonia, sedangkan 70% dari pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik dengan perubahan fungsi paru akan menemui beberapa kesulitan. Shnider melaporkan bahwa 6,5% pasien tanpa gejala asma sebelumnya mengalami bronkospasme selama operasi. Gold dan Helrich menemukan 24% insiden dari operasi dan komplikasi pasca operasi pada populasi asma, sangat berbeda kejadiannya dengan 14% dalam kelompok kontrol. Asma merupakan kelainan yang banyak terjadi pada 5-7% populasi. Jenisnya berupa inflamasi dan

Upload: rahmah-fitri-utami

Post on 25-Oct-2015

351 views

Category:

Documents


41 download

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Anestesi Pada Asma

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pengelolaan pasien dengan penyakit asma selama pembedahan

membutuhkan terapi khusus berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium

yang seksama untuk mengurangi komplikasi selama dan pasca operasi.

Masalah paru adalah penyebab umum morbiditas dan mortalitas selama

pembedahan. Berdasarkan frekuensinya, 1,2-4% pasien yang menjalani

prosedur bedah mayor dilaporkan mempunyai penyakit asma. Komplikasi

pada pasien dengan penyakit paru telah didokumentasikan, hanya 3% dari

pasien dengan pra operasi normal fungsi paru yang akan berkembang menjadi

atelektasis atau pneumonia, sedangkan 70% dari pasien dengan penyakit paru

obstruktif kronik dengan perubahan fungsi paru akan menemui beberapa

kesulitan. Shnider melaporkan bahwa 6,5% pasien tanpa gejala asma

sebelumnya mengalami bronkospasme selama operasi. Gold dan Helrich

menemukan 24% insiden dari operasi dan komplikasi pasca operasi pada

populasi asma, sangat berbeda kejadiannya dengan 14% dalam kelompok

kontrol.

Asma merupakan kelainan yang banyak terjadi pada 5-7% populasi.

Jenisnya berupa inflamasi dan hipereaktivitas bronkus sebagai respon terhadap

berbagai macam stimulasi. Secara klinis, asma dimanifestasikan sebagai

episode serangan sesak nafas yang reversible akibat kontraksi otot polos

bronkus, edema dan peningkatan sekresi.

Gejala-gejala asma yang umum terjadi seperti sesak napas, batuk,

whezing, dan sampai sulit bernapas. Penyebab klasik yang memicu terjadinya

asma antara lain: substansi udara seperti polutan, serbuk sari, debu, dan

beberapa uap kimia. Stimulasi psikologi (seperti emosi, stres, cemas), cuaca,

penggunaan obat NSAID (seperti aspirin, ibuprofen), olah raga. Infeksi saluran

napas oleh karena virus.2

Page 2: Referat Anestesi Pada Asma

2

Berdasarkan penyebabnya asma dapat dibagi menjadi dua macam, asma

ekstrinsik (asma alergi), asma intrinsik (asma yang tidak diketahui

penyebabnya atau idiopatik). Pada asma ekstrinsik biasanya pada anak-anak

dan dipicu oleh alergen, asma intrinsik dipicu oleh faktor-faktor non alergen

seperti infeksi saluran napas oleh virus, emosi, iritasi saluran napas, dan olah

raga. Pada asma intrinsik umumnya pada orang dewasa.

Asma dapat timbul pada semua kelompok umur. Terdapat peningkatan

prevalensi asma baik pada negara maju ataupun pada negara berkembang.

Meskipun angka kematian karena asma rendah tetapi penykit ini mempunyai

dampak yang cukup besar karena penderita asma sering mengalami serangan

sehingga mengganggu aktivitas kerja ataupun kehilangan hari sekolah.11

Pada umumnya pasien dengan gangguan fungsi paru derajat tertentu

yang mengalami pembedahan masih memiliki kemampuan toleransi terhadap

gangguan pernapasan pasca bedah. Tetapi pasien dengan penyakit paru

memiliki peluang resiko yang lebih tinggi terjadinya komplikasi paru pasca

bedah dibandingkan pasien yang normal, oleh karena itu diperlukan

pengelolaan perioperatif yang memadai untuk mencegah komplikasi tersebut.

B. TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui dan memahami tentang

penatalaksanaan perioperatif asma bronchial.

Page 3: Referat Anestesi Pada Asma

3

BAB II

ISI

DEFINISI ASMA

Penyakit asma adalah penyakit kronik yang merupakan gangguan

inflamasi saluran pernafasan yang dihubungkan dengan hiperesponsif,

keterbatasan aliran udara yang reversible dan gejala pernafasan.

Menurut GINA (Global Initiative for Asma) asma didefinisikan sebagai

gangguan inflamasi kronik saluran napas respiratorik dengan banyak sel yang

berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan

inflamasi ini menyebabkan episode wheezing berulang, sesak napas, rasa dada

tertekan, dan batuk, khususnya malam hari atau dini hari. Gejala ini biasanya

berhubungan dengan penyempitan saluran respiratorik yang luas namun

bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan

maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan

hiperaktivitas saluran respiratorik terhadap berbagai rangsangan.8

Asma adalah penyakit saluran napas kronik akibat terjadinya peningkatan

kepekaan saluran napas terhadap berbagai rangsangan. Pada penderita yang peka

hal ini menyebabkan munculnya serangan batuk, bunyi mengi, banyak dahak,

sesak napas, dan tidak enak didada terutama pada malam hari atau pagi hari.15

Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensivitas

cabang-cabang tracheobronchial terhadap pelbagai jenis rangsang. Keadaan ini

bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodik dan

reversibel akibat bronkospasme. 15

Patofisiologi Asma

Pathofisiologi asma melibatkan pelepasan mediator kimiawi ke jalan

napas dan mungkin pula adanya aktivitas yang berlebihan dari sistem saraf

parasimpatis. Substansi yang terhirup dapat menimbulkan bronkospasme melalui

respon imun spencifik dan non spencifik oleh daya degranulai sel mast bronkial.

Pada asma alergi yang klasik antigen berikatan dengan Ig E di permukaan sel mast

dan menyebabkan degranulasi, bronkokontriksi merupakan hasil dari pelepasan

Page 4: Referat Anestesi Pada Asma

4

histamin berikutnya : bradiknin; leukotrien C, D, dan E; platelet activating-factor,

prostaglandin (PG), PGE2, PGF2 alfa, dan PGD2; dan factor netrofil eosinofil

kemotaktik.2 Sedikitnya ada 2 jenis T-helper (Th), limpfosit subtipe CD4+ telah

dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis lifosit T

mensekresi IL-3 dan granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-

CSF), Th1 terutama memproduksi IL-2, IF-γ dan TNF-β. Sedangkan Th2

terutama memprodusi sitokin yang terlibat dalam asma, yaitu IL-4, IL-5, IL-9, IL-

13, dan IL-16. Sitokin yang dihasilkan oleh Th2 bertanggung jawab atas

terjadinya reaksi hipersensivitas tipe lambat maupun yang cell mediated. Langkah

pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen yang

dipresentasikan oleh sel-sel aksesoris yaitu suatu proses yang melibatkan molekul

MHC/major histocompatibility complex (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan

MHC kelas I pada ael T CD8+). Sel dendritik adalah merupakan antigen

presenting cell yang utama dalam saluran napas. Sel dendritik terbentuk

perkusornya didalam sumsum tulang dan membentuk jaringan luas dan sel-selnya

saling berhubungan pada epitel saluran respiratorik. Kemudian sel-sel tersebut

bermigrasi kekumpulan sel-sel limfoid dibawah pengaruh GM-CSF yaitu sitokin

yang terbentuk oleh aktivitas sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag dan sel mast.

Setelah antigen ditangkap, sel dendritik berpindah menuju daerah yang banyak

mengandung limfosit. Dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik

menjadi matang sebagai antigen presenting cell (APC) yang efektif. Sel dendritik

juga mendorong polarisasi selT naïve-Th0 menuju Th2 yang mengkoordinasi

sekresi sitokin-sitokin yang termasuk pada klaster kromosom 5q31-33 (IL-4

genecluster). 8

Pada asma baik dengan atau tanpa mekanisme alergi memiliki kelabilan

bronkus abnormal yang memudahkan penyempitan saluran napas oleh banyak

faktor, saluran napas ini seakan-akan merupakan persarafan β-adrenergik yang

tidak kompeten, dan banyak bukti memberikan paling tidak secara fungsional

terdapat hambatan partial pada reseptor β adrenergik pada penderita asma yang

khas ini. Penyempitan saluran respiratorik pada asma dipengaruhi oleh banyak

faktor. Penyebab utama penyempitan saluran respiratorik adalah kontraksi otot

Page 5: Referat Anestesi Pada Asma

5

polos bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi.

Yang termasuk agonis adalah histamin, triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien

C4 dari sel mast, neuropepetida dari saraf aferen setempat dan asetilkolin dari

saraf postganglionik. Kontraksi otot polos saluran respirtorik diperkuat oleh

penebalan dinding saluran napas akibat edema akut, infiltrasi sel-sel inflamasi dan

remondeling, hiperplasia dan hipertropi kronis otot polos, vaskuler dan sel-sel

sekretori serta deposisi matrik pada diding saluran respiratorik. Selain itu

hambatan saluran respiratorik juga bertambah akibat produksi sekret yang banyak,

kental, dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar submukosa, protein plasma yang

keluar melalui mikrovaskuler bronkus dan debris seluler.16

Peran serotonin, suatu bronkokonstriktor, belum diketahui pada

manusia. Sistim saraf parasimpatik memainkan peran penting dalam menjaga

tonus normal bronkial. Aktifasi reflek vagal terjadi pada bronkokontriksi yang

dimediasi oleh peningkatan siklik guanosin monofosfat intraseluler (cGMP). 2

Selama serangan asma, bronkokontriksi, oedem mukosa, dan sekresi yang

terjadi akan meningkatkan tahanan aliran gas disetiap tempat jalan napas yang

lebih rendah. Tahanan jalan napas kembali normal pertama kali pada jalan napas

yang lebih besar (bronki utama, lobar, segmental dan sub segmental), kemudian

baru perifer. Laju ekspirasi menurun melampaui kapasitas vital paksa (force vital

capacity) tetapi pada pemulihan serangan laju rata-rata ekspirasi menurun hanya

pada volume paru rendah.

Volume residu (RV), TLC, FRC semua menurun. PaCO2 normal atau tinggi

menunjukkan bahwa pasien tidak dapat mempertahankan kerja napas lagi dan hal

ini sering merupakan tanda adanya gagal napas (impending). Pulsus paradoksus

dan gambaran EKG renggangan ventrikel kanan (perubahan ST, deviasi aksis

kanan, dan RBBB) menunjukan obstruksi jalan napas berat.2

Gambar 1. Patogenesis Asma

Page 6: Referat Anestesi Pada Asma

6

Gambar 2. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik

Etiologi Asma

Herediter

Kebiasaan : polusi udara, stress, makanan

Alergi : rokok, udara dingin, anjing, kucing, debu

Obat : obat nyeri seperti NSAID

Gejala dan tanda asma

Mengi saat ekspirasi

Page 7: Referat Anestesi Pada Asma

7

Batu berat pada malam hari dada sesak yang terjadi berulang dan nafas

tersengal-sengal.

Hambatan pernafasan yang reversibel secara bervariasi selama siang hari.

Adanya peningkatan gejala pada saat olah raga, infeksi virus, paparan

terhadap alergan, dan peruahan musim.

Terbangun malam hari dengan gejala tersebut diatas.

Klasifikasi Asma

Berdasarkan etiologi :

Asma intrinsik

Asma yang tidak disebabkan oleh faktor lingkungan.

Asma ekstrinsik

Penyakit asma yang berhubungan dengan atopi, predisposisi genetik yang

berhubungan dengan IgE sel mast dan respon eosinofil terhadap alergan.

Ditinjau dari berat ringannya penyakit

DERAJAT

ASMA

GEJALA GEJALA MALAM FUNGSI PARU

INTERMITEN

Mingguan

Gejala < 1x/minggu

Tanpa gejala di luar serangan

Serangan singkat

Fungsi paru asimtomatik dan

normal di luar serangan.

< 2 kali sebulan VEP1 atau APE >

80%

PERSISTEN

RINGAN

Mingguan

Gejala > 1x/minggu tapi <

1x/hari

Serangan dapat mengganggu

aktivitas dan tidur.

> 2 kali

seminggu

VEP1 atau APE >

80%

normal

PERSISTEN

SEDANG

Gejala harian

Menggunakan obat setiap hari

> sekali

seminggu

VEP1 atau APE >

60% tetapi < 80%

Page 8: Referat Anestesi Pada Asma

8

Harian Serangan mengganggu

aktivitas dan tidur

Serangan 2x/minggu, bisa

berhari – hari

normal

PERSISTEN

BERAT

Kontinu

Gejala terus menerus

Aktivitas fisik terbatas

Sering serangan

Sering VEP1 atau APE <

80% normal

Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan di Indonesia, 2004

Ditinjau Dari Gejala Klinis

1. Serangan asma ringan : dengan gejala batuk, mengi dan kadang-kadang

sesak, Sa O2 95% udara ruangan, PEFR lebih dari 200 liter per menit, FEV1

lebih dari 2 liter, sesak nafas dapat dikontrol dengan bronkodilator dan faktor

pencetus dapat dikurangi, dan penderita tidak terganggu melakukan aktivitas

normal sehari-hari.

2. Serangan asma sedang : dengan gejala batuk, mengi dan sesak nafas

walaupun timbulnya periodik, retraksi interkostal dan suprasternal, SaO2 92-

95% udara ruangan, PEFR antara 80-200 liter per menit, FEV1 antara 1-2

liter, sesak nafas kadang mengganggu aktivitas normal sehari-hari.

3. Serangan asma berat : dengan gejala sesak nafas telah mengganggu aktivitas

sehari-hari secara serius, disertai kesulitan untuk berbicara dan atau kesulitan

untuk makan, bahkan dapat terjadi serangan asma yang mengancam jiwa

yang dikenal dengan status asmatikus. Asma berat bila SaO2 91%, PEFR 80

liter per menit, FEV1 0,75 liter dan terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas

berat seperti pernafasan cuping hidung, retraksi interkostal dan suprasternal,

pulsus paradoskus 20 mmHg, berkurang atau hilangnya suara nafas dan

mengi ekspirasi yang jelas.

Terapi :

Non Farmakologi yaitu melalui pencegahan

Page 9: Referat Anestesi Pada Asma

9

Farmakologi dengan menggunakan obat

o Short acting β2 agonsts (salbutamol, terbutalin)

o Antiklinergik

o Kortikosteroid

PENANGANAN ANESTESI PREOPERATIF

Evaluasi Preoperatif

Evalusi pasien asma sebelum tindakan anestesi dan pembedahan sangat

penting untuk mencegah ataupun mengendalikan kejadian asma attack, baik

intraoperatif maupun postoperatif. Maka diperlukan evaluasi yang meliputi

riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium, pemeriksaan fungsi paru-paru,

dan analisa gas darah, foto rontgen thorax.16

1. Riwayat Penyakit

Meliputi lama penyakitnya, frekwensi serangan, lama serangan atau berat

serangan, faktor-faktor yang memperngaruhi serangan, riwayat penggunaan obat-

obatan dan hasilnya, riwayat perawatan dirumah sakit, riwayat alergi (makanan,

obat, minuman), Riwayat serangan terakhir, beratnya, dan pengobatannya.4 Bila

baru-baru ini mendapat infeksi saluran napas atas dan menimbulkan serangan

maka operasi elektif sebaiknya ditunda 4-5 minggu untuk mencegah reaktifitas

jalan napas.3

2. Pemeriksaan Fisik

Tanda-tanda serangan asma tergantung dari derajat obstruksi jalan napas

yang terjadi. Dapat dilihat dari inspeksi penderita tampak sesak, sianosis, ekspirasi

memanjang, Palpasi takicardi. Perkusi hipersonor, auscultasi whezing, ronchi.4

Tanda-tanda serangan asma berat meliputi penggunaan otot-otot pernapasan

tambahan, tidak mampu berhenti napas pada saat bicara, sianosis, sedikit atau

tidak ada whezing (jalan napas tertutup, sedikit gerakan udara, dan whezing

menurun).5

3. Pemeriksaan Laboratorium

Page 10: Referat Anestesi Pada Asma

10

Pada asma eosinofil total dalam darah sering meningkat. Jumlah eosinofil

ini selain untuk menilai cukup tidaknya dosis terapi kortikosteroid dan dapat juga

untuk membedakan asma dengan bronchitis khronis. Pada pemeriksaan sputum

selain didapatkan eosinofil, juga dapat ditemukan adanya kristal charcat leyden,

spiral churschman dan mungkin juga miselium aspergilus fumigates.4

4. Pemeriksaan Rontgen Thorax

Pada umumnya hasil normal atau hiperinflasi. Pemeriksaan tersebut

umumnya dilakukan bila ada kecurigaan adanya proses patologi diparu atau

adanya komplikasi asma seperti pneumothorax, pneumomediastinum, atelektasis,

pneumonia. Kadang didapatkan gambaran air trapping, diafragma datar karena

hiperinflasi, jantung mengecil dan lapang paru yang hiperluscen.5

5. Pemeriksaan Fungsi Paru (Spirometri)

Untuk mengetahui kondisi klinis pasien asma perlu dilakukan pengukuran

aliran udara ekspirasi yaitu volum ekspirasi paksa detik pertama (FEV1) dan arus

puncak ekspirasi (PEFR). Lebih bagus lagi bila dibandingkan dengan hasil

pengukuran sebelumnya. Normalnya nilai volum ekspirasi paksa (FEV1) untuk

laki-laki adalah lebih dari 3 liter dan lebih 2 liter untuk wanita. Nilai normal arus

puncak ekspirasi (PEFR) adalah lebih dari 200 L/.mnt ( pada laki-laki dewasa

muda lebih dari 500 L/mnt). Nilai PEFR kurang dari 200 L/mnt pada pria ( < 150

L/mnt pada wanita) menunjukkan gangguan efektivitas batuk dan akan

meningkatkan komplikasi pasca bedah. Hasil FEV1 atau PEFR < 50%

menunjukan asma sedang sampai berat. Nilai PEFR < 120 l/mnt atau FEV1 1 liter

menujukan obstruksi berat. Pemeriksaan ini penting dilakukan karena sering

terjadi ketidaksesuaian gambaran klinis asma dengan fungsi paru. Penderita yang

baru sembuh dari serangan akut atau penderita asma kronik sering tidak

mengeluh, tetapi setelah diperiksa ternyata obstruksi saluran napas. Pemeriksaan

ini diindikasikan pada pasien-pasien yang menderita penyakit paru-paru sedang

sampai berat yang menjalani operasi yang berdampak pada sistem

respirasi.Pemeriksaan ini juga dapat memprediksi terhadap resiko komplikasi paru

postoperatif dan memprediksi kebutuhan bantuan ventilasi dan respon pengobatan

(Bronkodilator).2

Page 11: Referat Anestesi Pada Asma

11

Hubungan asma dengan pemeriksaan spirometri :

Keadaan Klinik % FEV/FVC

Normal 80-100

Asma Ringan 75-79

Asma Sedang 50-74

Asma Berat 35-49

Status Asmatikus <35

6. Pemeriksaan Analisa gas darah

Pemeriksaaan analisa gas darah biasanya dilakukan pada penderita dengan

serangan asma yang berat. Keadaaan ini bisa terjadi hipoksemia, hiperkapnia, dan

asidosis respiratorik. Kondisi yang berat akan meningkatkan resiko komplikasi

paru-paru.4

7. Fisioterapi dada.

Merupakan istilah umum yang dipakai untuk membersihkan jalan napas.

Indikasi fisoterapi dada dapat akut dan sebagai profilaksis. Keadaan akut untuk

dilakukan fisioterapi adalah pada pasien- pasien dengan retensi sputum yang

berlebihan atau abnormal akibat batuk yang terus menerus atau pada pasien yang

batuknya sangat lemah.3

Pengelolaan preoperatif

Langkah pertama persiapan penderita dengan gangguan pernapasan yang

menjalani pembedahan adalah menentukan reversibilitas kelainan. Proses

obstruksi yang reversible adalah bronkospasme, sekresi terkumpul dan proses

inflamasi jalan napas. Obstruksi yang tidak reversible dengan bronkodilator

misalnya adalah empisema, tumor.3

Pasien dengan bronkospasme yang frekuen harus diobati dengan preparat

bronkodilator yang berisi β-adenergik agonis, dosis terapi teopilin dan

Page 12: Referat Anestesi Pada Asma

12

kortikosteroid.2 Pada pasien dengan serangan asma balans cairan dan elektrolit

perlu dipelihara, pada kondisi ini pasien sering mengalami dehidrasi.5

Terapi medis

Preparat yang digunakan untuk asma adalah sebagai berikut :

a. Simpatomimetik, atau beta 2 adrenergik agonis, menyebabkan bronkodilatasi

melalui relaksasi otot polos yang diperantarai oleh Cyclic adenosine

monophosphate (cAMP). Obat-obat ini juga menghambat antihistamin dan

juga neurotransmiter kolinergik.

1) Obat dengan selective beta 2 adrenergik. Misalnya albuterol(ventolin) 2

puffs atau lebih dengan MDI setiap 3-4 jam atau 0,5mL/2mL salin setiap

4-6 jam. Salmeterol(serevent) 2 puff dengan MDI setiap 12 jam dan

metaproterenol(Alupent) 2 atau lebih puffs dengan MDI setiap 3-4 jam

atau 0,5mL/2mL salin setiap 4-6 jam. Pasien-pasien yang menggunakan

terapi β-bloker hendaknya β bloker yang tidak menimbulkan spasme

bronkus seperti atenolol atsumetropolol atau esmolol.3

2) Obat dengan campuran beta 1 dan beta 2 adrenergik meliputi epinefrin

(adrenalin) dan isoproteronol. Potensi kronotropik dan aritmogenik obat-

obat ini perlu diperhatikan pada pasien dengan penyakit jantung.

Pemberian intervena dosis kecil epinefrin (1g/mt) dipertimbangkan pada

pasien bronkospasme. Pada dosis 0,25-1g/mt efek agonis beta 2 dominan,

dengan meningkatkan denyut jantung akibat stimulasi betal adrenergik.

Pada dosis tinggi epinefrin, efek alfa adrenergic menjadi dominan, dengan

peningkatan tekanan darah sistemik.

b. Parasimpatolitik

Mempunyai efek bronkodilatasi langsung dengan memblok kerja asetilkolin

pada second messenger seperti cGMP. Obat-obat ini meningkatkan FEV1 pada

pasien PPOK bila diberikan secara inhalasi.

Ipratropium bromide, merupakan obat aksi singkat yang diberikan dengan

inhaler dosis terukur atau dengan nebulizer.

Sulfas atropine, 0,2-0,8 mg perlu diprtimbangkan karena dapat

menyebabkan takikardi.

Page 13: Referat Anestesi Pada Asma

13

c. Metilxantin

Menyebabkan bronkodilatasi melalui hambatan fosfodiesterase, suatu enzim

yang bertanggung jawab pada pemecahan cAMP. Efek pulmoner obat ini lebih

komplek termasuk pelepasan katekolamin, blockade pelepasan histamine, dan

stimulasi diafragma. Teofilin kerja panjang peroral digunakan pada pasien

dengan gejala nocturnal. Namun sayangya teofilin memiliki terapi range yang

sempit, level terapi dalam darah sekitar 10-20g/ml. level yang lebih rendah

mungkin efektif. Aminofilin merupakan satu-satu yang dapat diberikan secara

intravena.

d. Kortikosteroid diberikan pada pasien yang tidak berespon terhadap

bronkodilator. Mekanisme kerjanya kemungkinan dengan menurunkan

inflamasi, edema, sekresi mukosa, kontriksi otot polos, stabilisasi membran

mast sel. Meskipun sangat berguna pada eksaserbasi akut, efek klinisnya

membutuhkan waktu beberapa jam. Steroid dapat diberikan melalui inhalasi.

Steroid intravena yang sering digunakan meliputi hidrokortisone 100 mg tiap 8

jam dan metilpredisolon 0,5 mg/kg setiap 6 jam pada asma bronkiale dan dosis

lebih besar pada eksaserbasi asma berat. Kortikosteroid dapat meningkatkan

efek langsung pada otot polos, kortikosteroid juga meningkatkan jumlah

reseptor beta 2 adrenergik dan responnya terhadap agonis beta 2 adrenergik.

e. Kromolin, merupakan obat inhalasi yang digunakan untuk profilaksis pada

asma. Bekerja dengan menstabilisasi membrane sel mast dan mengumpulkan

pelesan akut mediator bronkoaktif. Obat ini tidak berguna pada serangan akut

bronkospasme.

f. Mukolitik

Asetilsitein, diberikan melalui nebulisasi, dapat menurunkan viskositas

mucus dengan memecahkan ikatan disulfide pada mukoprotein.

Premedikasi

Tujuan utama untuk menghilangkan cemas, meminimalkan reflek

bronkonstriksi terhadap iritasi jalan nafas.

Page 14: Referat Anestesi Pada Asma

14

a. Beberapa jam sebelum operasi sedasi yang diinginkan pada pasien asma dapat

diberikan untuk operasi elektif pada pasien terutama penyakit yang memiliki

komponen emosional. Secara umum, benzodiazepin adalah agen yang paling

aman untuk premedication. Sedatif ( Benzodiazepin) adalah efektif untuk

anxiolitik tetapi pada pasien dengan asma berat dapat menyebabkan depresi

pernapasan. Sedasi ini penting diberikan pada pasien dengan riwayat asma

yang dipicu oleh emosional.

b. Narcotik(Opioid). Penggunaan sebagai analgesia dan sedasi sebaiknya dipilih

yang tidak mempunyai efek pelepasan histamin misalnya fentanil, sufentanil14

c. Agen antikolinergik tidak diberikan kecuali pemberian dilakukan jika terdapat

sekresi berlebihan atau penggunaan ketamin sebagai agen induksi.

Antikolinergik tidak efektif untuk mencegah reflek bronkospasme oleh karena

tindakan intubasi.2

d. H2 antagonis (Cimetidin, Ranitidin) penggunaan agen pemblok H2 secara

teori dapat mengganggu, karena aktivasi reseptor H2 secara normal akan

menyebabkan bronkodilatasi dengan adanya pelepasan histamin, aktivitas H1

yang tanpa hambatan dengan blokade H2 dapat menimbulkan

bronkokonstriksi.2

e. Pada pasien asma yang sudah menggunakan bronkodilator inheler atau

kortikosteroid inheler obat-obat ini perlu dibawa masuk ke ruang operasi.

Dianjurkan pemberian kortikosteroid parenteral ( Methilprednisolon 40-80

mg) 1-2 jam sebelum induksi anestesi.6 Bronkodilator harus diberikan sampai

proses pembedahan selesai, pasien yang mendapatkan terapi lama

glukokortikoid harus diberikan tambahan untuk mengkompensasi supresi

adrenal. Hidrokortison 50-100 mg sebelum operasi dan 100mg/8 jam selama

1-3 hari post operasi.2,9

f. Pada penderita asma intubasi dapat diberikan lidocain 1-1,5 mg/kgBB atau

Fentanyl 1-2 mcg/kgBB dapat menurunkan reaktifitas laring terhadap ETT.

Pemberian anestesi inhalasi menggunakan halothan/enfluran pada stadium

dalam dapat mengatasi spasme bronkial berat yang refrakter.9,10

Page 15: Referat Anestesi Pada Asma

15

PENANGANAN ANESTESI INTRAOPERATIF

Sesuai dengan bidang kecabangan anestesi, suatu pemahaman masalah

pathofisiologi yang mendasar adalah lebih penting pada pilihan tehnik anestesi

khusus atau obat. Pilihan tekhnik bisa regional anestesi saja, dengan pasien tetap

sadar, mampu mengontrol sistem napasnya sendiri, dan pada situasi lain

diperlukan kombinasi general anestesi dengan regional anestesi, karena

pertimbangan atau untuk mengendalian nyeri postoperatif.

A. Regional Anestesi

Spinal anestesi atau epidural adalah pilihan pada pembedah ektrimitas

bawah. Pada pasien asma pernapasannya tergantung pada penggunaan otot-otot

tambahan (intercostal untuk inspirasi, otot perut untuk ekspirasi paksa). Spinal

anestesi dapat memperburuk kondisi jika hambatan motorik menurunkan FRC,

mengurangi kemampuan untuk batuk dan membersihkan lendir atau memicu

gangguan respirasi atau bahkan terjadi gagal napas. Spinal tinggi atau epidural

anestesi dapat memperburuk bronkokontriksi karena terhambatnya tonus simpatis

pada jalan napas bawah(T1-T4) dan menyebabkan aktifitas parasimpatis tidak

terhambat. Kombinasi tehnik epidural dan anestesi umum dapat menjamin kontrol

jalan napas, ventilasi adekuat, dapat mencegah hypoxemia dan atelectasi. Pada

prosedur pembedahan perifer yang panjang sebaiknya dilakukan dengan general

anestesi. Faktor-faktor penting yang menghalangi keberhasilan penggunaan

regional anestesi seperti pasien tidak tahan berbaring lama dimeja operasi dalam

waktu lama, batuk spontan dan tidak terkendali dapat membahayakan yaitu pada

tahap kritis pembedahan.

B. Anestesi Umum

Waktu paling kritis pada pasien asma yang dianestesi adalah selama

instrumentasi jalan napas. Nyeri, stress, emosional atau rangsangan selama

anestesi dangkal dapat menimbulkan bronkospasme. Obat-obatan yang sering

dihubungkan dengan pelepasan histamin (seperti curare, atracurium, mivacurium,

morfin, meperidin) harus dicegah atau diberikan dengan sangat lambat jika

Page 16: Referat Anestesi Pada Asma

16

digunakan. Tujuan dari anestesi umum adalah smooth induction dan kedalaman

anestesi disesuaikan dengan stimulasi. Pemilihan agen anestesi tidak sepenting

dalam pencapaian anestesi yang dalam sebelum intubasi dan stimulasi

pembedahan.

Penggunaan laryngeal mask airway LMA) menurunkan bronkospasme,

tapi tidak menghilangkan resiko bronkospasme sebagai akibat dari tindakan

laringkoskopi. Resiko tambahan pada penggunaan LMA ketidak mampuan untuk

ventilasi selama bronkospasme karena tekanan inspirasi dapat menambah

penutupan LMA pada laring. Yang paling bagus LMA proseal yang dapat

mengatasi keterbatasan itu.

1. Agent Inhalasi

Agent inhalasi anestesi seperti halothan akan menyebabkan bronkodilatasi

dan dapat digunakan untuk mencegah terjadinya bronkospasme. Halothan

berpengaruh pada diameter airway dengan cara memblok reflek airway dan efek

langsung relaksasi otot polos airway. Namun hati-hati dalam penggunaannya pada

pasien dengan gangguan jantung karena efek depresi miokardial dan efek

aritmianya. Isofluran dan desfluran dapat pula menimbulkan bronkodilator dengan

derajat yang setara tetapi harus dinaikkan secara lambat karena sifatrnya iritasi

ringan di jalan napas. Sevofluran tidak terlalu berbau (tidak menusuk) dan

memiliki efek bronkodilator serta sifatnya tidak iritasi di jalan napas. Agen

inhalasi halothane lebih efektif sebagai bronkodilator dibandingkan dengan

isoflurane, namun bila dibandingkan dengan desfluran, desflurane dapat

menyebabkan batuk dan dapat mencetus bronkospasme. Namun halotan tidak

ideal pada pasien yang menderita kelainan jantung karena halotan dapat

mengakibatkan disaritmia karena efek katekolamin release. Alternatif lain untuk

menurunkan reflek pada jalan nafas dapat diberikan 1,5 mg/kg i.v 1-3 menit

sebelum intubasi.

2. Obat-Obat Induksi Intravena

Untuk induksi anestesi dapat digunakan obat-obat yang mempunyai onset

kerja yang cepat. Contoh obat induksi yang dapat digunakan adalah thiopenton,

propofol, dan ketamin. Ketamin, satu-satunya agen intravena dengan kemampuan

Page 17: Referat Anestesi Pada Asma

17

bronkodilatasi, dengan menghambat re-uptake nonadrenalin pada ujung syaraf

simpatis sehingga berefek bronkodilatasi.

Tiopenton paling banyak digunakan untuk usia dewasa tetapi kadang-

kadang dapat menimbulkan bronkospasme karena adanya pelepasan histamin,

beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa thiopenton dapat menyebabkan

bronkokonstriksi melalui reseptor μ2, menimbulkan kontraksi dan mengaktifkan

mekanisme umpan balik negatif dengan membatasi pelepasan ACH lebih lanjut

akibat stimulasi yang terus berlangsung. Oleh karena itu blok reseptor μ2 dapat

menghambat ACH dan potensiasi bronkokonstriksi yang disebabkan aktivitas

vagal (biasanya karena iritan)14 propofol dan ethomidat dapat sebagai alternatif.

Ketamin dan propofol dapat digunakan untuk mencegah dan mereverse

bronkokonstriksi melalui mekanisme utama penekanan neural dan melalui

penekanan langsung aktivitas otot polos airway. Dari hasil suatu penelitian,

walaupun keduanya terbukti dapat digunakan untuk terapi bronkokonstriksi,

ketamin dikatakan lebih poten daripada propofol.16 Propofol dengan dosis 2,5

mg/kgBB dapat menurunkan insidensi whezing setelah intubasi dibanding dengan

penggunaan metohexital dengan dosis setara yaitu 6 mg/kgBB. Dibandingkan

dengan benzodiazepin, propofol lebih menguntungkan karena faktor onset yang

cepat dan akhit cepat pula.16 Ketamin mempunyai efek bronkodilatasi selain efek

analgesik untuk menghindari efek depresi respirasi, ketamin diberikan dengan

pelan-pelan, ketamin juga mempunyai efek meningkatkan sekresi kelenjar saliva

dan tracheobronchial. Efek ini dapat dicegah dengan menggunakan antisialogogue

seperti atropin ataupun gycopyrrolate.17

Reflek brokospasme dapat dicegah sebelum intubasi dengan pemberian

tambahan tiopenton 1-2 mg/kgBB, pasien diventilasi dengan 2-3 MAC agen

volatil selama 5 menit atau diberikan lidocain intravena atau intratracheal 1-2

mg/kgBB. Tetapi perlu di ingat lidocain sendiri dapat memicu bronkospasme jika

dosis tiopenton tidak adekuat. Dapat juga dengan antikolinergic (atropin 2 mg

atau glikoperolat 1 mg) tetapi dapat menyebabkan takikardi.

Penggunaan morfin masih diperdebatkan karena aktivitas pelepasan

histamine. Opioid mempunyai efek analgesi dan sedasi, tapi penggunaannya

Page 18: Referat Anestesi Pada Asma

18

sebaiknya dititrasi untuk menghindari depresi respirasi, terutama pada pasien

dengan disfungsi paru berat. Kodein dan morfin pada dosis besar dapat mencetus

pelepasan histamin.

3. Muscle Relaxant

Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam penggunan muscle relaxan

adalah perlu tidaknya mereverse kerjanya. Dengan menghambat penghancuran

ACH endogen, inhibitor cholinesterase seperti neostigmin dapat meningkatkan

sekresi jalan napas dan dapat menimbulkan bronkospasme. Efek ini dapat dicegah

dengan penggunaan antagonis muscarinik seperti atropin 1 mg atau glycopyrrolate

0,5 mg untuk meminimalkan efek samping muskarinik. Alternatif lain dapat

digunakan muscle relaxan short acting. Meskipun suksinilkolin dapat

menyebabkan pelepasan histamin tetapi secara umum dapat digunakan dengan

aman pada kebanyakan pasien asma. Obat muscle relaksan selama maintenance

sering digunakan adalah non depolarisasi, dimana dihindari obat yang histamine

release seperti atrakurium. Secara teori obat antagonis non depolarisasi

neuromuscular menghambat antikolinesterase yang akan mengakibatkan

bronkospasme.

Terapi Bronkospasme Intraoperatif

Bronkospasme pada intraoperatif ditunjukan dengan wheezing, munculnya

penurunan volume tidal ekshalasi atau munculnya suatu kenaikan pelan dari

gelombang dicapnograf, hal ini dapat diatasi dengan mendalamkan anestesinya.

Jika tidak hilang maka perlu dipikirkan hal lain seperti sumbatan tube

endotracheal dari kekakuan, balon yang terlalu keras, intubasi endobronchial,

tarikan aktif karena anestesi dangkal, oedem pulmo atau emboli dan

pneumothorak semua dapat menyebabkan bronkospasme.2 Bronkospasme harus

ditangani dengan suatu beta adrenergik agonist baik secara aerosol atau inheler

kedalam jalur inspirasi dari sirkuit napas (gas pembawa yang menggunakan dosis

terukur dapat berinterferensi dengan pembacaan massa spectrometer).

Hidrokortison intervena (1,5-2 mg / kg) dapat diberikan, terutama pada pasien

Page 19: Referat Anestesi Pada Asma

19

dengan riwayat terapi glukokortikoid.2 Tehnik pemberian ini adalah secara

matered dose inheler, berikan 5-10 puff obat tersebut kedalam jalan napas bagian

bawah. Asma sedang sampai berat perlu diterapi dengan aminopillin intravena,

terbutalin(0,25 mg) atau keduanya. Pasien yang tidak menerima aminopillin

preoperatif perlu diberikan aminopillin bolus 5-6 mg/kgBB intravena lebih dari 20

menit diberikan pemeliharaan 0,5-0,9 mg/kgBB. Pasien asma dengan serangan

asma berat sebaiknya diberikan ventilasi bantuan untuk mempertahankan PaO2

dan PCO2 pada level normal, kecepatan ventilasi yang rendah (6-10 napas/menit)

volume tidal yang rendah dan waktu ekshalasi yang panjang.9

Apabila terjadi bronkospasme yang berat terjadi managemen yang harus

dilakukan :

Oksigenasi dengan pemberian oksigen 100%

Mendalami anestesi dengan meningkatkan agen volatile

Aminophillyn 5-7 mg/kg i.v secara pelan-pelan

Ipratropium bromide 0,25 mg nebulizer, adrenalin bolus I.v (10μg=0,1

ml), ketamin 2 mg/kg magnesium 2 gr i.v secara lambat

Hidrokortison 200 mg i.v.

Penurunan diameter airway yang disebabkan bronkokontriksi yang berat

dapat mempengaruhi distribusi gas dalam paru. Dampak akibat penurunan

ventilasi pada beberapa unit paru-paru dengan rasio ventilasi dan perfusi yang

lebih rendah dapat menyebabkan hipoksemia arterial. Vasodilatasi pulmoner

akibat pemberian beberapa bronkodilator dapat memperberat rasio ventilasi

perfusi yang sudah rendah ini. Oleh karena itu pada pasien-pasien yang

teranestesi, yang penting adalah meningkatkan konsentrasi gas oksigen inspirasi

menjadi 100% pada saat terjadi bronbkospasme. Hal ini tidak hanya

meminimalkan derajat hipoksia arteial tetapi juga meyakinkan tekanan partial

oksigen dalam alveoli.14

Pada akhir pembedahan sebaiknya pasien sudah bebas wheezing, aksi

pelemas otot nondepolarisasi perlu direvese dengan anticholin esterase yang tidak

memacu terjadinya bronkospasme, bila sebelumnya diberikan antikolinergik

dengan dosis sesuai. Ekstubasi dalam perlu dilakukan sebelum terjadi pulihnya

Page 20: Referat Anestesi Pada Asma

20

reflek jalan napas normal untuk mencegah brokospasme atau setelah pasien asma

sadar penuh. Lidocain bolus 1,5-2 mg/ kgBB diberikan intravena atau dengan

kontinue dosis 1-2 mg/ mnt dapat menekan reflek jalan napas.2

PENANGANAN POST OPERATIF

Kontrol nyeri post operasi yang bagus adalah epidural analgesia. NSAID

harus dihindari karena dapat mencetus terjadinya bronkospasme. Oksigenasi harus

tetap diberikan. Pasien asma yang selesai menjalani operasi pemberian

bronkodilator dilanjutkan lagi sesegera mungkin pada pasca pembedahan.

Pemberian bronkodilator melalui nebulator atau sungkup muka. Sampai pasien

mampu menggunakan MDI (Meteroid Dose Inheler) sendiri secara benar.3,13

1. Buka penutup dan pegang inheler tegak

2. Kocok inhaler

3. Angkat sedikit kepala kebelakang dan ekshalasi sampai frc

4. Tempatkan inheler memakai spacer (pemisah) antar aktuator dan mulut

5. Tekan kebawah (on) inheler sementara sambil menarik napas pelan dan dalam

3-5 detik

6. Tahan inspirasi paling sedikit 5-10 detik bila mungkin agar obat mencapai

paru-paru

7. Ulangi inhalasi sebagai berikut tunggu 1 menit setelah inhalasi, bronkodilator

bisa membuat inhalasi berikutnya masuk lebih dalam ke paru-paru dan ini

perlu untuk memberikan dosis yang benar

8. Bilas mulut dan keluarkan setelah memakai inhaler

Pasien akan memperoleh manfaat dari terapi MDI specer bila memenuhi

kriteria sebagai berikut;3

1. Frekuensi pernapasan < 25 kali/menit

2. Mampu menahan napas selama 5 detik atau lebih

3. Kapasitas vital > 15 ml/kgbb

4. Mampu komunikasi verbal dan mengikuti instruksi

5. Koordinasi tangan-mulut-inspirasi memadai

6. PEFR ≥ 150 Lt/menit untuk wanita dan > 200 Lt/menit untuk pria

Page 21: Referat Anestesi Pada Asma

21

Pada akhir pembedahan pasien harus bebas whezing, Reversal pemblok

neuromuskular nondepolarising dengan antikolinesterase tidak menimbulkan

brokospasme jika diberikan dosis antikolinergik yang tepat. Pasien yang

teridentifikasi resiko tinggi perlu dimasukkan ke unit monitoring post operatif,

dimana fisioterapi dada dan suction dapat dilakukan. Penanganan nyeri post

operatif adalah hal yang penting menurunkan bronkospasme.17 Masalah berikut

yang terjadi pasca bedah adalah penurunan volume paru akibat anestesi dan

pembedahan. Secara fisiologi hal tersebut oleh karena terjadi penurunan VA

(Ventilasi Alveolar) dan FRC (Functional Residual Capacity). Penurunan VA

diaebabkan oleh penurunan volume semenit atau VE atau oleh peningkatn dead

speace (VD). Penurunan VE pada pasca bedah disebabkan pengaruh anestesi,

narkotik, sedasi, pelemas otot atau penyakit neuromuskuler, atau myesthenia

gravis, Guillain Barre, lesi pada medula spinalis servikalis, cedera pada neervus

phrenicus. Peningkatan VD terjadi oleh emboli paru, penurunan curah jantung,

bronkospasme. Penurunan FRC biasanya disebabkan oleh atelektasis, edema paru,

dan pneumonia. Penyebab atelektasis oleh karena ventilasi tidak adekuat,intubasi

endobronkhial, penekanan atau traksi pembedahan, pelemas otot, efusi pleura,

cedera nervus phrenicus. Penurunan FRC pada posisi tegak ke posisi terlentang

merupakan predisposisi timbulnya atelektasis sehingga mobilisasi dini akan

menurunkan angka kejadian komplikasi ini. Latihan napas dalam dan incentive

spirometry merupakan cara yang sama efektifnya untuk mengembangkan paru dan

mempertahankan FRC atau dengan continous positive airway pressure (CPAP)

dapat menghindarkan atelektasis sama baiknya dengan latihan napas dalam.

Disamping itu pengendalian nyeri secara adekuat sejak awal pasca bedah akan

mengurangi hambatan batuk dan napas dalam serta mempermudah mobilisasi.3

Adapun Kriteria untuk perawatan di ICU :

1. Pasien yang butuh bantuan Ventilatory Support

2. FEV atau PEV < 50%

3. PCO2 > 50 mmHg

4. PO2 < 50 mmHg

5. Pasien nampak bingung dan lemah

Page 22: Referat Anestesi Pada Asma

22

6. Pasien yang membutuhkan monitoring terapi, cairan dan farmakologis

7. Pasien dengan major trauma , multitrauma, dan luka bakar berat apalagi

disertai instabilitas hemodinamika

8. Pasien major trauma yang dilakukan prosedur Damage Control Surgery

9. Pasien yang menjalani major surgery.

BAB III

KESIMPULAN

1. Asma adalah satu keadaan klinis yang ditandai dengan episode berulang

penyempitan bronkus yang reversible, biasanya diantara episode terdapat

pernapasan yang lebih normal.

2. Penilaian terhadap reversibilitas penyakit penting dilakukan evaluasi pasien

dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan

radiologi, pemeriksaan AGD dan pemeriksaan tes fungsi paru-paru.

3. Pasien dengan riwayat asma frekuen atau kronis perlu dilakukan pengobatan

sampai tercapai kondisi yang optimal untuk dilakukan operasi atau kondisi

dimana gejala-gejala asma sudah minimal.

4. Pencegahan bronkospasme pada saat operasi penting dilakukan terutama pada

saat manipulasi jalan napas.

5. Pemilihan obat-obatan dan tindakan anestesi perlu dipertimbangkan untuk

menghindari penggunaan obat-obatan dan tindakan yang merangsang

terjadinya bronkospasme atau serangan asma.

Page 23: Referat Anestesi Pada Asma

23

DAFTAR PUSTAKA

1. William R. Solomon, 1995 : Pathofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit hal : 149-161

2. Morgan G.E, 2006 : Anestesi for patients with Respiratory Disease in ClinicalAnaesthesiology third edition, page : 571-576.

3. Indro Mulyono, 2000 : Pengelolaan Perioperatif pada penderita gangguanPernapasan dalam PIB X IDSAI diBandung, hal : 111-133.

4. Karnen B, 1999 : Asma Bronchial dalam Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hal : 21-39.

5. Oberoi G, Phillip G, 2000 : Management of some Medical Emergency Situation,Mc. Graw Hill, page : 315-318

6. Stoelting R.K, 1999 : Pharmacology in Pharmacology and Physiology in Anaesthetic Practice, Fourth edition, Lippincott William & Wilkins, page : 253-418.

7. Kevin C. Dennehy and Kenneth E. Shepherd, 2002 : Specifik Consideration with Pulmonary Disease in Clinical Anaesthesia Prosedures of the Massachusetts General Hospital, six edition Lippincott Williams & Wilkins page : 33-41

8. Lenfant C, Khaltaev N. GINA. NHLBI/WHO Workshop Report 2002.9. Mark R. Ezekeil, MD,MS. Pulmonary disease, Handbook of Anesthesiology,

Current Clinical Strategies, 2004-2005 edition page : 34-3510. St. Mulyata.2004 : Clinical Problem Solving In Postanesthesia Care Unit dalam

Konggres Nasional VII IDSAI di Makasar, hal : 305-306.11. Faisal Y, 2002 : Terapi Controller pada Asma dalam Pertemuan Ilmiah Paru

Milenium 2002, Surabaya hal : 1-6.12. Taib S, 2002 : Peran Kortikosteroid pada Serangan Asma dalam Pertemuan

Ilmiah Paru Milenium Surabaya, hal : 1-16.13. William R. Solomon, 2002 : Pathologi, Konsep Klinis Proses-prose Penyakit hal:

171-186.14. Gal, TJ, 2002, Reactive airway Disease: Anesthetic Perspective, IARS 2002

Review Course Lectures, USA.

Page 24: Referat Anestesi Pada Asma

24

15. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) 2004, Pedoman Diagnosis danpenatalaksanaan Asma di Indonesia. Penerbit FKUI, Jakarta.

16. Bouquet J, Jeffery PK. Busse WW, Jhonson M, Vignola AM, Asthma. Frombronchocontriction to airwy remondelling. Am J Respir Crit Care Med, 2000; 161:1720-45.

17. Epstein L,L,1999 : Spesific Consideration With Pulmonary Disaeae in ClinicalAnaesthesia Prosedure Of Massechusetts General Hospital,6 ed, LippinCottWlliam & Wilkins, page: 6, 33-41, 259-261.

18. Shirly Murphy, MD, October 1997 : Practical Guide for the Management ofAsthma, University of NewMaxico. Page 32, 35.

19. Allman KG., Wilson IH., 2003 Asthma in Respiratory desease Oxford Handbook of Anesthesia: 57-60