anemia defisiensi besi

60
BAB 1 PENDAHULUAN Anemia adalah sindroma klinis yang ditandai dengan penurunan pada hemoglobin, hematokrit, jumlah sel darah merah dalam darah. Penyebab anemia terdiri dari 4 kelompok besar yaitu defisiensi, peningkatan darah yang hilang, hemolitik dan penyebab lainnya. Macam-macam anemia menurut hapusan darah tepi dan indeks eritrosit adalah anemia mikrositik hipokromik, anemia normositik normokromik dan anemia makrositik. Sedangkan anemia defisiensi besi termasuk anemia mikrositik hipokromik. Anemia defisiensi besi Adalah anemia akibat kekurangan besi untuk sintesis hemoglobin yang merupakan penyakit darah yang umum terjadi pada bayi dan anak-anak 1,2 . Defisiensi besi merupakan penyebab anemia di seluruh dunia. Diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia dan lebih kurang 500-600 juta menderita anemia defisiensi besi. Prevalensi yang tinggi terjadi di Negara yang sedang berkembang, disebabkan kemampuan ekonomi yang terbatas, masukan protein hewani yang rendah, dan infestasi parasit. Insiden anemia defisisensi besi di Indonesia 40,5% pada balita, 47,2% pada anak usia sekolah, 57,1% pada remaja putri, dan 50,9% pada ibu hamil. Dee Pee, dkk pada tahun 2002 melakukan penelitian tentang prevalensi anemia pada bayi usia 4-5 bulan di jawa barat, jawa tengah, dan jawa timur menunjukkan 37% bayi memiliki kadar hemoglobin di bawah 10 g/dl dan 71% memiliki kadar Hb di bawah 11 g/dl 3,4 . 1

Upload: vina241

Post on 19-Dec-2015

19 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Anemia Defisiensi Besi

TRANSCRIPT

BAB 1

PENDAHULUAN

Anemia adalah sindroma klinis yang ditandai dengan penurunan pada

hemoglobin, hematokrit, jumlah sel darah merah dalam darah. Penyebab anemia terdiri

dari 4 kelompok besar yaitu defisiensi, peningkatan darah yang hilang, hemolitik dan

penyebab lainnya. Macam-macam anemia menurut hapusan darah tepi dan indeks

eritrosit adalah anemia mikrositik hipokromik, anemia normositik normokromik dan

anemia makrositik. Sedangkan anemia defisiensi besi termasuk anemia mikrositik

hipokromik. Anemia defisiensi besi Adalah anemia akibat kekurangan besi untuk

sintesis hemoglobin yang merupakan penyakit darah yang umum terjadi pada bayi dan

anak-anak1,2. Defisiensi besi merupakan penyebab anemia di seluruh dunia.

Diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia dan lebih kurang 500-600 juta

menderita anemia defisiensi besi. Prevalensi yang tinggi terjadi di Negara yang sedang

berkembang, disebabkan kemampuan ekonomi yang terbatas, masukan protein hewani

yang rendah, dan infestasi parasit. Insiden anemia defisisensi besi di Indonesia 40,5%

pada balita, 47,2% pada anak usia sekolah, 57,1% pada remaja putri, dan 50,9% pada

ibu hamil. Dee Pee, dkk pada tahun 2002 melakukan penelitian tentang prevalensi

anemia pada bayi usia 4-5 bulan di jawa barat, jawa tengah, dan jawa timur

menunjukkan 37% bayi memiliki kadar hemoglobin di bawah 10 g/dl dan 71% memiliki

kadar Hb di bawah 11 g/dl3,4.

Etiologi dapat di bagi menjadi 4 golongan besar: Intake yang kurang,

Peningkatan kebutuhan, Kehilangan darah, dan Gangguan penyerapan.

Patogenesisnya terjadi dalam 3 tahap yaitu Storage iron deficiency, iron deficient

erythropoietin dan iron deficiency anemia5,6. Manifestasi klinisnya dapat di bagi menjadi

2 yaitu manifestasi dari anemia dan kekurangan besinya. Diagnosis didapatkan dari

anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Ada beberapa macam

Kriteria diagnosa yang dipakai antara lain: Menurut WHO, Cook dan Monsen dan

Lanzkowsky7,8. Prinsip penatalaksanaan anemia defisiensi besi adalah mengetahui

faktor penyebab dan mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan

preparat besi9. Ikatan dokter anak Indonesia mempunyai rekomendasi untuk mencegah

1

terjadinya anemia defisiensi besi10. Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya

karena kekurangan besi saja dan diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan

penanganan yang adekuat. Gejala anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik

dengan pemberian preparat besi11,12.

2

Bab 2

Tinjauan Pustaka

1.1.Definisi Anemia

Anemia adalah sindroma klinis yang ditandai dengan penurunan pada hemoglobin,

hematokrit, jumlah sel darah merah dalam darah.1

Dikatakan anemia jika kadar Hb2:

1) Neonatus: Hb <14g/dl

2) 1-12 bulan: Hb <10g/dl

3) 1-12 tahun: Hb <11g/dl

Gambar 2.1 Grafik harga normal hemoglobin2

(Sumber: Lissauer T, Clayden G. Illustrated textbook of Paediatrics. London: Mosby. 1999)

3

Tabel 2.1 Harga normal komponen darah3

(Sumber: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson Hb, dkk. Nelson textbook of pediatric edisi 18.

Philadelphia: Saunders Elsevier. 2007)

4

1.2. Etiologi Anemia

A. Menurut Lanzkowsky, 20051:

Tabel 2.2 Etiologi anemia menurut Lanzkowsky1

(Sumber: Lanzkowsky P. Pediatric Hematology and oncology edisi 4. California: Elsevier

Academic Press.2005)

5

(Sumber: Lanzkowsky P. Pediatric Hematology and oncology edisi 4. California: Elsevier

Academic Press.2005)

6

(Sumber: Lanzkowsky P. Pediatric Hematology and oncology edisi 4. California: Elsevier

Academic Press.2005)

B. Menurut Lissauer, 19992

Penyebab anemia di bagi menjadi 4:

1. Defisiensi

a) Intake asupan besi yang tidak memadai

b) Intake asupan folate yang tidak memadai

c) Berat badan lahir rendah-preterm, intrauterine growth retardation

d) Hemoglobin rendah saat lahir

e) Kegagalan sumsum tulang:

- Anemia aplastik: Fanconi, Acquired

- Red Cell Aplasia: Diamond-Blackfan

- Transient erythroblastopenia of childhood(TEC)

2. Peningkatan darah yang hilang

a) Gastrointestinal: Gastro-oesophageal reflux, Meckel divertikulum,

cow’s milk protein intolerance

b) Parasit: Hookworm

7

c) Menstruasi pada remaja wanita

d) Epistaxis

e) Iatrogenic: excessive venesection in infants

f) Penyakit perdarahan: Hemofilia, Von Willebrand disease

3. Hemolitik

a) Kekurangan enzim sel darah merah: G6PD, Pyruvate kinase

b) Haemoglobinopathies: Sickle cell, thalassaemia

c) Kerusakan pada membrane sel darah merah:Spherocytosis

d) Ketidakcocokan golongan darah: Rhesus, ketidakcocokan ABO

e) Anemia hemolitik autoimmune

4. Penyebab lainnya

a) Sindroma malabsorbsi: Coeliac disease

b) Penyakit inflamasi kronis: Juvenile Chronic arthritis

c) Kerusakan organ: kerusakan ginjal

d) Infeksi Kronis

e) Penyakit keganasan

f) Kelebihan konsumsi the

8

C. Menurut Budd, 19994

Gambar 2.2 Etiologi anemia menurut Budd4

(Sumber: Budd C, Gardiner M. Pediatric Mosby’s crash course. New York:Mosby.1999.)

1.3.Klasifikasi Anemia

a) Berdasarkan hapusan darah tepi dan indeks eritrosit4

1. Anemia Mikrositik Hipokromik

A. Kerusakan dalam sintesis Hem

1) Defisiensi besi

9

2) Inflammasi kronis

B. Kerusakan dalam Sintesis Globin

1) Thalassemia

2. Anemia Normositik Normokromik

A. Anemia hemolitik

1) Kerusakan intrinsic sel darah merah

- Kerusakan membrane : Spherocytosis

- Haemoglobinopathies: Sickle cell disease

- Enzymopathies: kekurangan G6PD

2) Kerusakan intrisik

- Immune-mediated: Rh incompatibility

- Microangiopathy

- Hypersplenism

B. Perdarahan(akut atau kronis)

1) Infestasi hookworm

2) Meckel’s Diverticulum

3) Menstruasi

C. Gangguan pembentukan

1) Red cell apalsia : Penyakit ginjal

2) Pancytopenia: Marrow aplasia, leukemia

3. Anemia Makrositik

A. Bone marrow megaloblastic

1) Defisiensi vitamin B12

2) Defisiensi asam folat

B. Bone marrow not megaloblastic

1) Hypothyroidism

2) Anemia Fanconi

10

Gambar 2.3 Bagan Pembagian anemia menurut hapusan darah tepi dan indeks

eritrosit3

(Sumber: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson Hb, dkk. Nelson textbook of pediatric edisi 18.

Philadelphia: Saunders Elsevier. 2007)

11

Gambar 2.4 Gambar macam-macam anemia menurut indeks eritrosit dan hapusan

darah tepi3

(Sumber: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson Hb, dkk. Nelson textbook of pediatric edisi 18.

Philadelphia: Saunders Elsevier. 2007)

12

1.4.Diagnosis Anemia

Gambar 2.5 Bagan diagnosis anemia1

(Sumber: Lanzkowsky P. Pediatric Hematology and oncology edisi 4. California: Elsevier

Academic Press.2005)

13

1.5.Anemia defisiensi besi

1.5.1. Definisi Anemia defisiensi besi

Adalah anemia akibat kekurangan besi untuk sintesis hemoglobin yang

merupakan penyakit darah yang umum terjadi pada bayi dan anak-anak1.

Gambar 2.5.1 Gambar anemia defisiensi besi5

(Sumber: Theml H, Diem H, Haferlach T. Color Atlas of Hematology Practical Microscopic and

Clinical Diagnosis.New York:Thieme.2004.)

Bayi baru lahir(BBL) cukup bulan didalam tubuhnya mengandung besi 65-90

mg/kgBB. Bagian terbesar( sekitar 50 mg/kgBB) merupakan massa hemoglobin, sekitar

25 mg/kgBB sebagai cadangan besi dan 5 mg/kgBB sebagai mioglobin dan besi dalam

jaringan. Kandungan besi BBL ditentukan oleh berat badan lahir dan massa Hb6.

14

Bayi yang baru lahir mengandung 0,5 gram besi, sedangkan dewasa kira-kira

mengandung 5gram. Untuk menjaga perbedaan itu rata-rata 1 mg besi harus di

absorpsi tiap hari9. Sedangkan bayi kurang bulan mengandung besi kurang dari 50 mg.

Konsentrasi Hb pada pembuluh darah tali pusat bayi cukup bulan adalah 15,5-20,1

gr/dl6.

Kontraksi uterus selama 3 menit pada waktu persalinan menyebabkan darah

plasenta yang melalui tali pusat ke janin bertambah sekitar 87%. Perpindahan tersebut

menambah jumlah volume darah ± 20 ml/kgBB. Pemotongan tali pusat yang terlalu

cepat setelah persalinan akan mengurangi kandungan besi sekitar 15-30%, sedangkan

bila ditunda selama 3 menit dapat menambah jumlah volume sel darah merah sekitar

58%6.

Setelah dilahirkan terjadi perubahan metabolisme besi pada bayi. Selama 6-8

minggu terjadi penurunan yang sangat drastis dari aktivitas eritropoisis sebagai akibat

dari kadar O2 yang meningkat, sehingga terjadi penurunan kadar Hb. Karena banyak

zat besi yang tidak dipakai, maka cadangan besi akan meningkat. Selanjutnya terjadi

peningkatan aktivitas eritropoisis disertai masuknya besi ke sumsum tulang. Berat

badan bayi dapat bertambah dua kali lipat tanpa mengurangi cadangan besi. Pada bayi

cukup bulan keadaan tersebut dapat berlangsung sekitar 4 bulan, sedangkan pada bayi

kurang bulan hanya 2-3 bulan. Setelah melewati masa tersebut kemampuan bayi untuk

mengabsorpsi besi akan sangat menentukan dalam mempertahankan keseimbangan

besi dalam tubuh. Pada bayi cukup bulan untuk mendapatkan jumlah besi yang cukup

harus mengabsorpsi 200mg besi selama 1 tahun pertama agar dapat mempertahankan

kadar Hb yang normal yaitu 11 g/dl. Bayi kurang bulan harus mampu mengabsorpsi 2-4

kali dari jumlah biasa. Pertumbuhan bayi kurang bulan jauh lebih cepat dibandingkan

bayi cukup bulan sehingga cadangan besinya lebih cepat berkurang. Untuk mencukupi

kebutuhan besi, bayi cukup bulan membutuhkan 1 mg besi/kgBB/hari, sedangkan

BBLR memerlukan 2 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 15 mg/kgBB/hari. Bayi

dengan BBL<1000 gram membutuhkan suplementasi besi 4 mg/kgBB/hari, BBL 1000-

1500 gram memerlukan 3 mg/kgBB/hari, BBL 1500-2000 gram memerlukan 2

mg/kgBB/hari. Pemberian suplementasi tersebut dilanjutkan sampai usia 1 tahun. Oleh

15

karena pada masa tersebut terjadi peningkatan ketergantungan besi dari makanan,

maka bila tidak terpenuhi akan menimbulkan resiko terjadinya anemia defisiensi besi.

Prevalensi Anemia defiisiensi besi paling tinggi terjadi pada usia 6 bulan-3 tahun karena

pada masa ini cadangan besi sangat berkurang. Pada bayi kurang bulan anemia

defisiensi besi bahkan dapat terjadi mulai usia 2-3 bulan6.

Gambar 2.5.2 Kebutuhan besi saat anak-anak2

(Sumber: Lissauer T, Clayden G. Illustrated textbook of Paediatrics. London: Mosby. 1999.)

16

1.5.2. Fisiologi besi

Besi terdapat di semua sel manusia dan memiliki berbagai fungsi. ia membawa

oksigen (dalam bentuk Hb) ke jaringan dari paru-paru, membantu dalam penyimpanan

oksigen, yang digunakan dalam otot dalam bentuk myoglobin, dan dapat berfungsi

sebagai media transportasi (dalam bentuk sitokrom) untuk elektron dalam sel untuk

membantu berbagai proses seluler7.

Ketika seseorang tidak kekurangan zat besi,> 70% dari besi yang ditemukan

dalam tubuh adalah besi fungsional (80% dari ini ditemukan dalam sel darah merah /

RBC sebagai Hgb, dan sisanya berada dalam mioglobin dan sitokrom. Sisanya

disimpan dalam sumsum hati, tulang, limpa, dan otot rangka (sekitar 70% sebagai

feritin, sisanya sebagai hemosiderin) atau sebagai transportasi (oleh protein transferin)7.

Dua jenis zat besi: besi heme (10% dari diet besi, terutama berasal dari

hemoglobin dan mioglobin daging) besinya dapat langsung diserap tanpa

memperhatikan cadangan besi dalam tubuh, asam lambung ataupun zat makanan yang

dikonsumsi dan besi nonheme (90% dari diet besi dalam bentuk garam besi dan

makanan yang diperkaya zat besi) besinya harus diubah dulu menjadi bentuk yang

diserap7.

Tabel 2.5.1 Sumber besi2

(Sumber: Lissauer T, Clayden G. Illustrated textbook of Paediatrics. London: Mosby. 1999.)

17

Besi non heme di lumen usus akan berikatan dengan apotransferin membentuk

kompleks transferin besi yang kemudian akan masuk ke dalam sel mukosa. Di dalam

sel mukosa, besi akan dilepaskan dan apotransferinnya kembali ke dalam lumen usus.

Selanjutnya sebagian besi bergabung dengan apoferitin membentuk feritin, sedangkan

besi yang tidak diikat oleh apoferitin akan masuk ke peredaran darah dan berikatan

dengan apotransferin membentuk transferin serum6.

Penyerapan besi oleh tubuh berlangsung melalui mukosa usus halus, terutama di

duodenum sampai pertengahan jejunum, makin kea rah distal usus penyerapannya

semakin berkurang. Besi dalam makanan terbanyak ditemukan dalam bentuk senyawa

besi non heme berupa kompleks senyawa besi inorganik(feri/Fe3+) yang oleh pengaruh

asam lambung, vitamin c, dan asam amino mengalami reduksi menjadi bentuk

fero(Fe2+). Bentuk fero ini kemudian diabsorpsi oleh sel mukosa usus dan didalam sel

usus bentuk fero ini mengalami oksidasi menjadi bentuk feri yang selanjutnya berikatan

dengan apoferitin menjadi feritin. Selanjutnya besi feritin dilepaskan ke dalam

peredaran darah setelah melalui reduksi menjadi bentuk fero dan didalam plasma ion

fero direoksidasi kembali menjadi bentuk feri. Yang kemudian berikatan dengan 1

globulin membentuk transferin. Absorpsi besi non heme akan meningkat pada penderita

anemia defisiensi besi. Transferin berfungsi untuk mengangkut besi dan selanjutnya

didistribusikan ke dalam jaringan hati, limpa dan sumsum tulang serta jaringan lain

untuk disimpan sebagai cadangan besi tubuh6.

Di dalam sumsum tulang sebagian besi dilepaskan ke dalam eritrosit(retikulosit)

yang selanjutnya bersenyawa dengan porfirin membentuk heme dan persenyawaan

globulin dengan heme membentuk hemoglobin. Setelah eritrosit berumur ± 120 hari

fungsinya kemudian menurun dan selanjutnya dihancurkan didalam sel

retikuloendotelial. Hemoglobin mengalami proses degradasi menjadi biliverdin dan besi.

Selanjutnya biliverdin akan direduksi menjadi bilirubin, sedangkan besi akan masuk ke

dalam plasma dan mengikuti siklus seperti di atas atau akan tetap disimpan sebagai

cadangan tergantung aktivitas eritropoisis6.

Besi heme didalam lambung dipisahkan dari proteinnya oleh asam lambung dan

enzim proteosa. Kemudian besi heme mengalami oksidasi menjadi hemin yang akan

masuk ke dalam sel mukosa usus secara utuh, kemudian akan dipecah oleh enzim

18

hemeoksigenase menjadi ion feri bebas dan porfirin. Selanjutnya ion feri bebas ini akan

mengalami siklus seperti di atas6.

Absorpsi besi (utamanya melalui sistem gastrointestinal) dipengaruhi oleh jumlah

cadangan besi dalam tubuh. Faktor yang memnyebabkan peningkatan absorpsi

termasuk cadangan besi total yang rendah dalam tubuh, peningkatan produksi sel

darah merah, konsumsi zat besi heme( daging, ikan, dan daging unggas), dan vitamin

C. Penurunan absoprsi besi disebabkan oleh kecukupan cadangan besi dalam tubuh,

konsumsi polyphenols, tanin(teh), kalsium, fitat, oksalat, fosfat dan obat-obatan(antacid,

tetrasiklin dan kolestiramin)7.

Pada bayi yang sehat lahir dengan cadangan zat besi yang memadai untuk 4

bulan pertama kehidupan (75 mg / kg). Bayi prematur memiliki zat besi total tubuh yang

rendah, tetapi proporsi besi untuk berat badan adalah mirip dengan bayi cukup bulan7.

Kehilangan besi: dua-pertiga dari mukosa usus, sepertiga dari pergantian kulit dan

saluran kemih. Rata-rata 0,2 mg/kg/hari pada bayi cukup bulan yang sehat7.

Usia 9-18 bulan adalah faktor resiko terbesar untuk menderita anemia defisiensi

besi karena pesatnya laju pertumbuhan dengan asupan besi yang kurang. Bayi cukup

bulan mempunyai cadangan besi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sampai

sekitar usia 4-6 bulan; anemia defisiensi besi biasanya tidak terlihat sampai 9 bulan.

Bayi dengan berat badan lahir rendah dan tidak cukup bulan lahir dengan cadangan

besi yang rendah dan memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih cepat di tahun pertama

kehidupan, sehingga cadangan besi mereka dapat habis dalam usia 2-3 bulan7.

Rekomendasi menurut commite nutrisi American academic of pediatric

1mg/kg/hari besi (maksimal 15mg/hr) mulai dari usia 4 bulan sampai 3 tahun. Bayi

dengan berat badan rendah membutuhkan 2 mg/kg/hari( maksimal 15 mg/hari) mulai

dari usia 2 bulan. Bayi dengan berat badan lahir <1000 gram membutuhkan 4

mg/kg/hari dan itu berlanjut selama tahun pertama kehidupan7.

Untuk anak yang lebih besar: usia 4-10 tahun 10mg/hari, dan bertambah menjadi

18mg/hari pada usia diatas 11 tahun karena pertumbuhan yang cepat pada masa

remaja7.

Sekitar 50% besi pada ASI terserap, sebaliknya, sekitar 10% besi pada formula

susu sapi yang tidak difortifikasi. Sekitar 4% besi diserap dari formula susu sapi yang

19

terfortifikasi dengan ditambahkan sekitar 12 mg besi perliter dalam bentuk fero sulfat.

Sekitar 4% besi diserap dari sereal kering bayi yang difortifikasi besi8.

Gambar 2.5.3 Metabolisme besi6

(Sumber: Raspati H, Reniarti L, Susanah S. Anemia defisiensi besi. Dalam: Permono H B, Sutaryo, Ugrasena IDG, dkk ed. Buku

ajar Hematologi-Onkologi Anak edisi 2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.2010.)

1.5.3. Epidemiologi

Defisiensi besi merupakan penyebab anemia di seluruh dunia. Diperkirakan 30%

penduduk dunia menderita anemia dan lebih kurang 500-600 juta menderita anemia

defisiensi besi. Prevalensi yang tinggi terjadi di Negara yang sedang berkembang,

disebabkan kemampuan ekonomi yang terbatas, masukan protein hewani yang rendah,

dan infestasi parasit9.

Insiden anemia defisisensi besi di Indonesia 40,5% pada balita, 47,2% pada anak

usia sekolah, 57,1% pada remaja putri, dan 50,9% pada ibu hamil. Dee Pee, dkk pada

tahun 2002 melakukan penelitian tentang prevalensi anemia pada bayi usia 4-5 bulan di

jawa barat, jawa tengah, dan jawa timur menunjukkan 37% bayi memiliki kadar

hemoglobin di bawah 10 g/dl dan 71% memiliki kadar Hb di bawah 11 g/dl9.

Prevalensi anemia defisiensi besi pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%.

Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan prevalens anemia

defisiensi besi pada bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-turut

sebesar 61,3%, 64,8% dan 48,1%.8 Penelitian kohort terhadap 211 bayi berusia 0

20

bulan selama 6 bulan dan 12 bulan didapatkan insidens anemia defisiensi besi sebesar

40,8% dan 47,4%. Pada usia balita, prevalens tertinggi Defisinesi Besi umumnya terjadi

pada tahun kedua kehidupan akibat rendahnya asupan besi melalui diet dan

pertumbuhan yang cepat pada tahun pertama. Angka kejadian Defisiensi Besi lebih

tinggi pada usia bayi, terutama pada bayi prematur (sekitar 25-85%) dan bayi yang

mengonsumsi ASI secara eksklusif tanpa suplementasi10.

1.5.4. Etiologi

a) Menurut Lanzkowsky, 2005, penyebab anemia defisiensi besi adalah1:

1. Intake yang kurang

Diet(susu, 0,5-1,5 mg iron/L). Bayi baru lahir mendapatkan

makanan umumnya dari susu. ASI dan susu sapi berisi kurang dari

1,5mg besi per 1000 kalori(0,5-1,5 mg/L). Meskipun susu sapi dan

ASI sama dalam kandungan besinya, ASI dapat diserap 49% besinya

sedangkan susu sapi hanya diserap 10%. Bioavaibilitas besi dari ASI

lebih besar daripada susu sapi

.

Tabel 2.5.2 Kandungan besi dalam makanan bayi1

(Sumber: Lanzkowsky P. Pediatric Hematology and oncology edisi 4. California: Elsevier Academic

Press.2005)

21

2. Peningkatan kebutuhan

Pertumbuhan(Berat badan lahir rendah, premature, berat

badan lahir rendah kembar, remaja, kehamilan), Penyakit jantung

bawaan sianosis.

Pertumbuhan umumnya terjadi cepat selama masa bayi dan

pubertas. Volume darah dan besi dalam tubuh berhubungan langsung

dengan berat badan selama masa kehidupan. Setiap kenaikan 1

kilogram berat badan memerlukan peningkatan 35-45 mg besi.

Jumlah besi pada bayi baru lahir 75mg/kg. Jika tidak ada besi

dalam diet atau jika terjadi kehilangan darah, cadangan besi saat

kelahiran akan habis dalam waktu 6 bulan pada bayi aterm dan habis

dalam 3-4 bulan pada bayi premature.

Penyebab paling sering anemia defisiensi besi adalah

inadekuat intake selama pertumbuhan cepat tahunan pada bayi dan

anak-anak.

3. Kehilangan darah

i. Perinatal

a. Plasenta

- Perdarahan transplasental ke dalam sirkulasi

maternal

- Retroplacental( contoh: Premature placental

separation)

- Intraplacental

- Perdarahan fetus saat/sebelum kelahiran( contoh:

Placenta previa)

- Perdarahan fetofetal pada kembar monochorion

- Placenta yang abnormal

22

b. Umbilicus

- Ruptured umbilical cord( contoh: vasa previa) dan

abnormalitas umbilical cord yang lain

- Inadequate cord tying

- Postexchange transfusion

ii. Postnatal

a. Traktus gastrointestinal

- Anemia defisiensi besi primer yang mengakibatkan

perubahan pada usus dengan perdarahan yang

memperparah kekurangan besi; 50% anemia

defisiensi besi pada anak-anak mempunyai guaiac-

positive stools

- Hipersensitivitas terhadap susu sapi, karena heat-

labile protein, yang mengakibatkan hilangnya darah

dan enteropati eksudatif(leaky gut syndrome)

- Lesi pada anatomi pencernaan( contohnya: varices,

hiatus hernia, ulcer, leiomyomata, ileitis, Meckel’s

diverticulum, duplication of gut, hereditary

telangiectasia, polyps, colitis, hemorrhoids); exudative

enteropathy caused by underlying bowel disease

(e.g., allergic gastroenteropathy, intestinal

lymphangiectasia)

- Gastritis dari aspirin, Adenocortical steroids,

indomethacin, phenylbutazone

- Parasit intestinal( contoh: hookworm/necator

americanus)

- Henoch-Schonlein purpura

b. Sistem hepatobilier: Hematobilia

c. Paru-paru: Hemosiderosis pulmonal, Goodpasture

syndrome, mobilisasi besi yang rusak dengan

kekurangan IgA

23

d. Hidung: epistaxis berulang

e. Uterus: Menstruasi

f. Jantung: intracardiac myxomata, Valvular prostheses

atau patches

g. Ginjal: microangiopathic hemolytic anemia, hematuria,

nephrotic syndrome (urinary loss of transferrin),

hemosiderinurias—chronic intravascular hemolysis (e.g.,

paroxysmal nocturnal hemoglobinuria, paroxysmal cold

hemoglobinuria, march hemoglobinuria)

h. Extracorporeal: Hemodialisis, trauma

4. Gangguan penyerapan

Sindroma malabsorpsi, celiac disease, severe prolonged diarrhea,

postgastrectomy, inflammatory bowel disease, helicobacter pylori

infection associated chronic gastritis.

b) Menurut Dwiprahasto, 2004, Defisiensi besi pada bayi dan anak sebagian

besar disebabkan oleh faktor nutrisi. Pada peroide kehidupan kelompok ini,

defisiensi besi terjadi antara lain karena11:

1. Penurunan cadangan besi saat lahir (bayi premature, gemelli,

perdarahan perinatal, dan pengekleman umbilicus terlalu dini/early

clamping)

2. Suplai besi yang tidak adekuat( penurunan masukan besi dan/atau

rendahnya ketersediaan besi dalam makanan

3. Meningkatnya kebutuhan besi karena proses tumbuh kembang dan

4. Meningkatnya kehilangan besi (akibat diare, perdarahan

gastrointestinal).

24

1.5.5. Patogenesis

Raspati (2010) menyatakan bahwa anemia defisiensi besi merupakan

hasil akhir keseimbangan negatif besi yang berlangsung lama. Bila

kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap, akan menyebabkan

cadangan besi terus berkurang. Adapun tahap defisiensi besi seperti yang

disebutkan oleh Raspati (2010) 3 yaitu6:

1. Tahap pertama

Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron deficiency, ditandai

dengan berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi.

Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan

ini terjadi peningkatan absorbsi besi non heme. Feritin serum menurun

sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan besi

masih normal. Meskipun tidak disertai konsekuensi fisiologis yang buruk,

namun keadaan ini menggambarkan adanya peningkatan kerentanan dari

keseimbangan besi yang marjinal untuk jangka waktu lama sehingga

dapat terjadi defisiensi zat besi yang berat6.

2. Tahap kedua

Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient

erythropoietin atau iron limited erythropoiesis didapatkan suplai besi

yang tidak cukup untuk menunjang eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan

laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun dan saturasi transferin

menurun sedangkan total iron binding capacity (TIBC) meningkat dan free

erythrocyte porphyrin (FEP) meningkat. Hal-hal tersebut merupakan

perubahan biokimia yang mencerminkan kurangnya zat besi bagi

produksi hemoglobin yang normal6.

3. Tahap ketiga

Tahap inilah yang disebut iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi

bila besi yang menuju eritroid susum tulang tidak cukup sehingga

menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari gambaran darah tepi didapatkan

mikrositosis dan hipokromik yang progresif. Pada anemia defisiensi besi

yang berat, kadar hemoglobinnya kurang dari 7 g/dl. Pada tahap ini telah

25

terjadi perubahan epitel terutama pada anemia defisiensi besi yang lebih

lanjut6.

Tabel 2.5.3 Tahapan kekurangan besi6 :

Hemoglobin Tahap 1

normal

Tahap 2 Sedikit

menurun

Menurun jelas

(mikrositik/hipokromik

Cadangan besi ( mg)

Fe serum (ug/dl)

TIBC (ug/dl)

Saturasi transferin(%)

Feritin Serum

Sideroblas(%)

FEP(Ug/dl sel darah merah)

MCV

<100

Normal

360-390

20-30

<20

40-60

>30

normal

0

<60

>390

<15

<12

<10

>100

normal

0

<40

>410

<10

<12

<10

>200

Menurun

(Sumber: Raspati H, Reniarti L, Susanah S. Anemia defisiensi besi. Dalam: Permono H B, Sutaryo, Ugrasena IDG, dkk ed. Buku

ajar Hematologi-Onkologi Anak edisi 2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.2010.)

1.5.6. Manifestasi klinis

Gejala Klinis

A. Gejala klinis menurut Kliegman 20073

Pucat merupakan tanda paling penting pada defisiensi besi. Pada

kenyataannya WHO merekomendasikan untuk screening anemia menggunakan

palmar pallor. Sklera berwarna biru juga sering, meskipun ini juga ditemukan

pada bayi normal. Pada defisiensi ringan sampai sedang ( Hb 6-10 g/dl)

mekanisme kompensasi, seperti kenaikan 2,3-difosfogliserat(2,3-DPG) dan

pergeseran kurva disosiasi oksigen, mungkin demikian efektif sehingga sedikit

saja keluhan anemia timbul, meskipun mungkin ada kenaikan iritabilitas.

Pagofagia, yaitu keinginan untuk makan bahan yang tidak biasa seperti es atau

26

tanah, mungkin ada. Pada beberapa anak, memakan bahan yang mengandung

timah hitam dapat menyebabkan plumbisme bersamaan. Bila Hb menurun

sampai di bawah 5 g/dl, iritabilitas dan anoreksia mencolok. Takikardi dan

dilatasi jantung terjadi, dan bising sistolik sering ada3.

Limpa teraba membesar pada 10-15% penderita. Pada kasus menahun,

dapat terjadi pelebaran diploe tulang tengkorak yang mirip dengan yang terlihat

pada anemia hemolitik congenital. Perubahan ini membaik dengan perlahan-

lahan bersama terapi subtitusi. Anak dengan defisiensi besi mungkin gemuk atau

kurang berat, dengan tanda lain kurang gizi. Iritabilitas dan anoreksia yang khas

untuk kasus lanjut mungkin merupakan gambaran defisiensi besi jaringan,

karena dengan terapi besi perbaikan yang nyata dalam perilaku sering terjadi

sebelum terjadi perbaikan hematologis yang nyata3.

Defisiensi besi dapat mempengaruhi fungsi neurologis dan intelektual.

Sejumlah laporan menduga bahwa anemia defisiensi besi, dan bahkan defisiensi

besi tanpa anemia dapat mempengaruhi perhatian, kewaspadaan, dan belajar

bayi maupun remaja, tetapi itu tidak tegas benar apakah defisiensi besi

merupakan penyebab atau apakah ia sekedar membantu mengidentifikasi bayi-

bayi yang berperilaku suboptimal atas dasar lain. Remaja putri dengan serum

feritin ≤ 12ng/L tetapi tanpa anemia menunjukkan peningkatan pengetahuan

verbal dan ingatan setelah mendapatkan terapi besi selama 8 minggu3.

B. Gejala klinis menurut Abdulsalam, 200212

Gejala dari keadaan deplesi besi maupun defisiensi besi tidak spesifik.

Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium

yaitu penurunan kadar feritin/saturasi transferin serum dan kadar besi serum.

Pada anemia defisiensi besi gejala klinis terjadi secara bertahap. Kekurangan

zat besi di dalam otot jantung menyebabkan terjadinya gangguan kontraktilitas

otot organ tersebut. Pasien anemia defisiensi besi akan menunjukkan

peninggian ekskresi norepinefrin; biasanya disertai dengan gangguan konversi

tiroksin menjadi triodotiroksin. Penemuan ini dapat menerangkan terjadinya

iritabilitas, daya persepsi dan perhatian yang berkurang, sehingga menurunkan

27

prestasi belajar kasus anemia defisiensi besi. Anak yang menderita anemia

defisiensi besi lebih mudah terserang infeksi karena defisiensi besi dapat

menyebabkan gangguan fungsi neutrofil dan berkurangnya sel limfosit T yang

penting untuk pertahanan tubuh terhadap infeksi. Perilaku yang aneh berupa

pika, yaitu gemar makan atau mengunyah benda tertentu antara lain kertas,

kotoran, alat tulis, pasta gigi, es dan lain lain, timbul sebagai akibat adanya rasa

kurang nyaman di mulut. Rasa kurang nyaman ini disebabkan karena enzim

sitokrom oksidase yang terdapat pada mukosa mulut yang mengandung besi

berkurang. Dampak kekurangan besi tampak pula pada kuku berupa permukaan

yang kasar, mudah terkelupas dan mudah patah. Bentuk kuku seperti sendok

(spoon-shaped nails) yang juga disebut sebagai kolonikia terdapat pada 5,5%

kasus anemia defisiensi besi. Pada saluran pencernaan, kekurangan zat besi

dapat menyebabkan gangguan dalam proses epitialisasi. Papil lidah mengalami

atropi. Pada keadaan anemia defisiensi besi berat, lidah akan memperlihatkan

permukaan yang rata karena hilangnya papil lidah. Mulut memperlihatkan

stomatitis angularis dan ditemui gastritis pada 75% kasus anemia defisiensi

besi12.

Pemeriksaan Penunjang

Menurut Raspati, 20106:

Untuk menegakkan diagnosis Anemia defisiensi besi diperlukan pemeriksaan

laboratrium yang meliputi pemeriksaan darah rutin seperti Hb, PCV, Leukosit,

Trombosit ditambah pemeriksaan indeks eritrosit, retikulosit, morfologi darah tepi dan

pemeriksaan status besi ( Fe serum, Total iron binding capacity(TIBC), saturasi

transferin, FEP, feritin), dan apus sumsum tulang6.

Menentukan adanya anemia dengan memeriksa kadar Hb dan atau PCV

merupakan hal pertama yang penting untuk memutuskan pemeriksaan lebih lanjut

dalam menegakkan diagnosis Anemia defisiensi besi. Pada anemia defisiensi besi nilai

indeks eritrosit MCV, MCH, dan MCHC menurun sejajar dengan penurunan kadar Hb.

Jumlah retikulosit biasanya normal, pada keadaan berat karena perdarahan jumlahnya

meningkat. Gambaran morfologi darah tepi ditemukan keadaan hipokromik, mikrositik,

28

anisositosis dan poikilositosis( dapat ditemukan sel pensil, sel target, ovalosit, mikrosit

dan self ragmen)6.

Jumlah leukosit biasanya normal, tetapi pada Anemia defisiensi besi yang

berlangsung lama dapat terjadi Granulositopenia. Pada keadaan yang disebabkan

infestasi cacing sering ditemukan eosinofilia6.

Jumlah trombosit meningkat 2-4 dari nilai normal. Trombositosis hanya terjadi

pada penderita dengan perdarahan yang masif. Kejadian trombositopenia dihubungkan

dengan anemia yang sangat berat. Namun demikian kejadian trombositosis dan

Trombositopenia pada bayi dan anak hampir sama, yaitu trombositosis sekitar 35%

dan Trombositopenia 28%6.

Pada pemeriksaan status besi didapatkan kadar Fe serum menurun dan TIBC

meningkat. Pemeriksaan Fe serum untuk menentukan jumlah besi yang terikat pada

Transferin, sedangkan TIBC untuk mengetahui jumlah transferin yang berada dalam

sirkulasi darah. Perbandingan antara Fe serum dan TIBC(saturasi transferin) yang

dapat diperoleh dengan cara menghitung Fe serum/TIBC x 100% merupakan suatu

nilai yang menggambarkan suplai besi ke eritroid sumsum tulang dan sebagai

penilaian terbaik untuk mengetahui pertukaran besi antara plasma dan cadangan besi

dalam tubuh. Bila saturasi transferin (ST) < 16% menunjukkan suplai besi yang tidak

adekuat untuk mendukung eritropoisis. ST < 7 % diagnosis Anemia defisiensi besi

dapat ditegakkan, sedangkan pada kadar ST 7-16% dapat dipakai untuk mendiagnosis

Anemia defisiensi besi bila didukung oleh nilai MCV yang rendah atau pemeriksaan

lainnya6.

Untuk mengetahui kecukupan penyediaan besi ke eritroid sumsum tulang dapat

diketahui dengan memeriksa kadar Free Erytrocyte Protoporphyrin. Pada

pembentukan eritrosit akan dibentuk cincin porfirin sebelum besi terikat untuk

membentuk heme. Bila penyediaan besi tidak adekuat menyebabkan terjadinya

penumpukan porfirin didalam sel. Nilai FEP> 100 ug/dl eritrosit menunjukkan adanya

Anemia defisiensi besi. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya anemia defisiensi

besi lebih dini. Meningkatnya FEP disertai ST yang menurun merupakan tanda anemia

defisiensi besi yang progresif6.

29

Jumlah cadangan besi tubuh dapat diketahui dengan memeriksa kadar feritin

serum. Bila kadar feritin , 10-12 ug/l menunjukkan telah terjadi penurunan cadangan

besi dalam tubuh6.

Pada pemeriksaan apus sumsum tulang dapat ditemukan gambaran yang khas

anemia defisiensi besi yaitu hyperplasia sistem eritropoitik dan berkurangnya

hemosiderin. Untuk mengetahui ada atau tidaknya besi dapat diketahui dengan

pewarnaan Prussian blue6.

Tabel 2.5.4 Kesimpulan hasil pemeriksaan penunjang anemia defisiensi besi2

Kesimpulan Hasil pemeriksaan penunjang anemia defisiensi besi

1. Konsentrasi Hb menurun

2. Jumlah sel darah merah menurun

3. MCV menurun

4. Hapusan darah tepi Mikrositik Hipokromik

5. Feritin menurun

6. Fe serum menurun

7. TIBC meningkat

8. Saturasi Transferin menurun

9. Free Erytrocyte Protoporphyrin meningkat

(Sumber: Lissauer T, Clayden G. Illustrated textbook of Paediatrics. London: Mosby. 1999.)

1.5.7. Diagnosis

Diagnosis Anemia defisiensi besi ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari

anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan

dengan gejala klinis yang sering tidak khas6.

Ada beberapa criteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan anemia defisiensi

besi.

a. Kriteria diagnose anemia defisiensi besi menurut WHO6:

1) Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia

2) Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata < 31% (N: 32-35%)

3) Kadar Fe serum < 50 Ug/dl (N: 80-180 ug/dl)

30

4) Saturasi transferin < 15% (N: 20-50%)

b. Kriteria diagnosis anemia defisiensi besi menurut Cook dan Monsen6:

1) Anemia Hipokrom mikrositik

2) Saturasi transferin < 16%

3) Nilai FEP > 100ug/dl eritrosit

4) Kadar feritin serum < 12 ug/dl

Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 dari 3 kriteria( ST, Feritin serum,

dan FEP)

c. Kriteria diagnosis anemia defisiensi besi menurut Lanzkowsky6:

1) Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi

dengan kadar MCV, MCH dan MCHC yang menurun

Red cell distribution width(RDW) >17 %

2) FEP meningkat

3) Feritin serum menurun

4) Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST<16%

5) Respons terhadap pemberian preparat besi

- Retikulositosis mencapai puncak pada hari ke 5-10 setelah

pemberian besi

- Kadar hemoglobin meningkat rata-rata 0,25-0,4 g/dl/hari atau PCV

meningkat 1%/hari

6) Sumsum tulang

- Tertundanya maturasi sitoplasma

- Pada pewarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi

berkurang

Cara lain untuk menentukan adanya Anemia defisiensi besi adalah dengan trial

pemberian preparat besi. Penentuan ini penting untuk mengetahui adanya anemia

defisiensi besi subklinis dengan melihat respons hemoglobin terhadap pemberian

preparat besi. Prosedure ini sangat mudah, praktis, sensitive dan ekonomis terutama

pada anak yang beresiko tinggi menderita anemia defisiensi besi. Bila dengan

pemberian preparat besi dosis 6 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu terjadi peningkatan

31

kadar Hb 1-2 g/dl maka dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan menderita anemia

defisiensi besi6.

1.5.8. Diagnosa banding

Diagnosa banding menurut Raspati ,20106

Tabel 2.5.5 Diagnosa banding anemia defisiensi besi6

Pemeriksaan lab ANEMIA

DEFISIENSI BESI

Talasemia minor Anemia penyakit

kronis

MCV

Fe serum

TIBC

Saturasi transferin

FEP

Feritin Serum

Menurun

Menurun

meningkat

menurun

Meningkat

Menurun

Menurun

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal, menurun

Menurun

Menurun

Menurun

Normal, meningkat

Menurun

(Sumber: Raspati H, Reniarti L, Susanah S. Anemia defisiensi besi. Dalam: Permono H B, Sutaryo, Ugrasena IDG, dkk ed. Buku

ajar Hematologi-Onkologi Anak edisi 2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.2010.)

1.5.9. Penatalaksanaan anemia defisiensi besi

Prinsip penatalaksanaan anemia defisiensi besi adalah mengetahui faktor

penyebab dan mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat

besi. Sekitar 80-85% penyebab anemia defisiensi besi dapat diketahui sehingga

penanganannya dapat dilakukan dengan tepat. Pemberian preparat Fe dapat secara

peroral atau parenteral. Pemberian peroral lebih aman, murah, dan sama efektifnya

dengan pemberian secara parenteral. Pemberian secara parenteral dilakukan pada

penderita yang tidak dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak dapat

terpenuhi secara peroral kerena ada gangguan pencernaan6.

a. Pemberian preparat besi peroral

Garam ferrous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan garam feri.

Preparat yang tersedia berupa ferrous glukonat, fumarat dan suksinat. Yang

32

sering dipakai adalah ferrous sulfat karena harganya yang lebih murah, mudah di

absorpsi dan mempunyai sedikit efek samping pada anak-anak daripada

dewasa. Ferous glukonat, ferrous fumarat dan ferrous suksinat diabsorpsi sama

baiknya. Untuk bayi tersedia preparat besi berupa tetes(drop)6.

Untuk mendapatkan respons pengobatan dosis besi yang dipakai 4-6 mg

besi elemental/kgBB/hari. Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi

elemental yang ada dalam garam ferous. Garam ferrous sulfat mengandung besi

elemental 20%. Dosis obat yang terlalu besar akan menimbulkan efek samping

pada saluran pencernaan yaitu muntah, kolik, konstipasi atau mencret dan tidak

memberikan efek penyembuhan yang lebih cepat. Absorpsi besi yang terbaik

adalah pada saat lambung kosong, diantara dua waktu makan, akan tetapi dapat

menimbulkan efek samping pada saluran cerna. Untuk mengatasi hal tersebut

pemberian besi dapat dilakukan pada saat makan atau segera setelah makan

meskipun akan mengurangi absorpsi obat sekitar 40-50%. Obat diberikan dalam

2-3 dosis sehari. Tindakan tersebut lebih penting karena dapat diterima tubuh

dan akan meningkatkan kepatuhan penderita. Preparat besi ini harus terus

diberikan selama 2 bulan setelah anemia pada penderita teratasi6.

Respon terapi dari pemberian preparat besi dapat dilihat secara klinis dan

dari pemeriksaan laboratorium, seperti tampak pada table di bawah ini6:

Tabel 2.5.6 Respon terapi dari pemberian preparat besi6

Waktu setelah

pemberian besi

Respons

12-24 jam

36-48 jam

48-72 jam

4-30 hari

1-3 bulan

Penggantian enzim besi intraselular; keluhan subyektif

berkurang, nafsu makan bertambah

Respon awal dari sumsum tulang: hyperplasia eritroid

Retikulositosis, puncaknya pada hari ke 5-7

Kadar Hb meningkat

Penambahan cadangan besi

(Sumber: Raspati H, Reniarti L, Susanah S. Anemia defisiensi besi. Dalam: Permono H B, Sutaryo, Ugrasena IDG, dkk ed. Buku

ajar Hematologi-Onkologi Anak edisi 2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.2010.)

33

Efek samping pemberian preparat besi peroral lebih sering terjadi pada

orang dewasa dibandingkan bayi dan anak. Pewarnaan gigi yang bersifat

sementara dapat dihindari dengan meletakkan larutan tersebut ke bagian

belakang lidah dengan cara tetesan6.

Sementara pengobatan dengan besi yang cukup diberikan, keluarga

harus diberi edukasi mengenai diet penderita, dan konsumsi susu harus dibatasi

sampai sejumlah yang bisa diterima, lebih baik 500ml/24 jam atau kurang.

Pengurangan ini mempunyai pengaruh ganda yaitu jumlah makanan yang kaya

akan besi bertambah, dan kehilangan darah karena intoleransi protein susu

dapat dicegah. Bila edukasi-ulang anak dan keluarganya tidak berhasil,

pemberian besi parenteral mungkin terindikasi3.

b. Pemberian preparat besi parenteral

Pemberian besi secara intramuscular menimbulkan rasa sakit dan

harganya mahal. Dapat menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi.

Kemampuan untuk menaikkan kadar Hb tidak lebih baik dibanding peroral6.

Indikasi pemberian1:

- Ketidakpatuhan dalam pemeberian oral

- Penyakit pencernaan yang parah( contoh: inflammatory bowel

disease, menggunakan besi secara oral mungkin memperburuk

penyakit yang mendasari usus

- Perdarahan kronis( contoh: hereditary telangiectasia, menorrhagia,

kronik hemoglobinuroa dari katub jantung buatan)

- Penyakit diare akut pada populasi yang kurang mampu dengan

anemia defisiensi besi

Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini

mengandung 50 mg besi/ml. Dosis dihitung berdasarkan6:

34

Dosis besi(mg): BB(kg)x kadar Hb yang diinginkan(g/dl) x 2,5

c. Transfusi darah

Transfusi darah jarang diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan pada

keadaan anemia yang sangat berat atau disertai infeksi yang dapat

mempengaruhi respons terapi. Koreksi anemia berat dengan transfusi tidak perlu

secepatnya, malah akan membahayakan karena dapat menyebabkan

hipervolemia dan dilatasi jantung. Pemberian PRC dilakukan secara perlahan

dalam jumlah yang cukup untuk menaikkan kadar Hb sampai tingkat aman

sambil menunggu respon terapi besi. Secara umum, untuk penderita anemia

berat dengan kadar Hb< 4 g/dl hanya diberi PRC dengan dosis 2-3 ml/kgBB

persatu kali pemberian disertai pemberian diuretic seperti furosemid. Jika

terdapat gagal jantung yang nyata dapat dipertimbangkan pemberian transfusi

tukar menggunakan PRC yang segar6.

1.5.10. Pencegahan

Tindakan penting yang dapat dilakukan untuk mencegah kekurangan besi pada

masa awal kehidupan6:

1) Meningkatkan penggunaan ASI eksklusif

2) Menunda pemakaian susu sapi sampai usia 1 tahun sehubungan dengan resiko

terjadinya perdarahan saluran cerna yang tersamar pada beberapa bayi

3) Memberikan makanan bayi yang mengandung besi serta makanan yang kaya

dengan asam askorbat(jus buah) pada saat memperkenalkan makanan

padat( usia 4-6 bulan)

4) Memberikan suplementasi Fe kepada bayi kurang bulan

5) Pemakian PASI(susu formula) yang mengandung besi.

Upaya umum untuk pencegahan kekurangan besi adalah dengan cara6:

1. Meningkatkan konsumsi Fe

Meningkatkan konsumsi besi dari sumber alami terutama sumber hewani yang

mudah diserap. Juga perlu peningkatan penggunaan makanan yang

mengandung vitamin C dan A.

2. Fortifikasi bahan makanan

35

Dengan cara menambah masukan besi dengan mencampurkan senyawa besi

kedalam makanan sehari-hari

3. Suplementasi

Tindakan ini merupakan cara yang paling tepat untuk menanggulangi anemia

defisiensi besi di daerah yang prevalensinya tinggi.

1.5.11. Rekomendasi IDAI

1. Latar belakang

Setiap kelompok usia anak rentan terhadap defisiensi besi. Kelompok usia yang

paling tinggi mengalami defisiensi besi adalah usia balita (0-5 tahun) sehingga

kelompok usia ini menjadi prioritas pencegahan defisiensi besi. Kekurangan besi

dengan atau tanpa anemia, terutama yang berlangsung lama dan terjadi pada usia 0-2

tahun dapat mengganggu tumbuh kembang anak, antara lain menimbulkan defek pada

mekanisme pertahanan tubuh dan gangguan pada perkembangan otak yang

berdampak negatif terhadap kualitas sumber daya manusia pada masa mendatang10.

Tabel 2.5.7 Rekomendasi 110

(Sumber: Gatot D, Idradinata P, Abdulsalam M, dkk. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia

Suplementasu Besi untuk Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2011.)

2. Pentingnya suplementasi besi untuk anak

Prevalensi anemia defisiensi besi pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%.

Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan prevalens anemia

defisiensi besi pada bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-turut

sebesar 61,3%, 64,8% dan 48,1%.8 Penelitian kohort terhadap 211 bayi berusia 0

bulan selama 6 bulan dan 12 bulan didapatkan insidens anemia defisiensi besi sebesar

40,8% dan 47,4%. Pada usia balita, prevalens tertinggi defisiensi besi umumnya terjadi

pada tahun kedua kehidupan akibat rendahnya asupan besi melalui diet dan

36

pertumbuhan yang cepat pada tahun pertama. Angka kejadian defisiensi besi lebih

tinggi pada usia bayi, terutama pada bayi prematur (sekitar 25-85%) dan bayi yang

mengonsumsi ASI secara eksklusif tanpa suplementasi10

Rekomendasi terbaru menyatakan suplementasi besi sebaiknya diberikan mulai

usia 4-8 minggu dan dilanjutkan sampai usia 12-15 bulan, dengan dosis tunggal 2-4

mg/kg/hari tanpa melihat usia gestasi dan berat lahir. Remaja perempuan perlu

mendapat perhatian khusus karena mengalami menstruasi dan merupakan calon ibu.

Ibu hamil dengan anemia mempunyai risiko 3 kali lipat melahirkan bayi anemia, 2 kali

lipat melahirkan bayi prematur, dan 3 kali lipat melahirkan bayi berat lahir rendah

sehingga suplementasi besi harus diberikan pada remaja perempuan sejak sebelum

hamil10.

A. Suplementasi untuk bayi prematur/bayi berat lahir rendah(BBLR)

Bayi berat lahir rendah (BBLR) merupakan kelompok risiko tinggi

mengalami DB. Menurut World Health Organization (WHO), suplementasi besi

dapat diberikan secara massal, mulai usia 2-23 bulan dengan dosis tunggal 2

mg/kgBB/hari. Bayi dengan berat lahir rendah memiliki risiko 10 kali lipat lebih

tinggi mengalami DB. Pada dua tahun pertama kehidupannya, saat terjadi pacu

tumbuh, kebutuhan besi akan meningkat.Bayi prematur perlu mendapat

suplementasi besi sekurangkurangnya 2 mg/kg/hari sampai usia 12 bulan.

Suplementasi sebaiknya dimulai sejak usia 1 bulan dan diteruskan sampai bayi

mendapat susu formula yang difortifikasi atau mendapat makanan padat yang

mengandung cukup besi.Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di

Amerika merekomendasikan bayi-bayi yang lahir premature atau BBLR

diberikan suplementasi besi 2-4 mg/kg/hari (maksimum 15 mg/hari) sejak usia 1

bulan, diteruskan sampai usia 12 bulan.Pada bayi berat lahir sangat rendah

(BBSLR), direkomendasikan suplementasi besi diberikan lebih awal10.

B. Suplementasi untuk bayi cukup bulan

Pada bayi cukup bulan dan anak usia di bawah 2 tahun, suplementasi

besi diberikan jika prevalens ANEMIA DEFISIENSI BESI tinggi (di atas 40%)

atau tidak mendapat makanan dengan fortifikasi. Suplementasi ini diberikan

37

mulai usia 6-23 bulan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari. Hal tersebut atas

pertimbangan bahwa prevalens DB pada bayi yang mendapat ASI usia 0-6

bulan hanya 6%, namun meningkat pada usia 9-12 bulan yaitu sekitar 65%. Bayi

yang mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan dan kemudian tidak mendapat

besi secara adekuat dari makanan, dianjurkan pemberian suplementasi besi

dengan dosis 1 mg/kg/hari. Untuk mencegah terjadinya defisiensi besi pada

tahun pertama kehidupan, pada bayi yang mendapatkan ASI perlu diberikan

suplementasi besi sejak usia 4 atau 6 bulan. The American Academy of

Pediatrics (AAP) merekomendasikan pemberian suplementasi besi pada bayi

yang mendapat ASI eksklusif mulai usia 4 bulan dengan dosis 1 mg/kg/hari

dilanjutkan sampai bayi mendapat makanan tambahan yang mengandung

cukup besi. Bayi yang mendapat ASI parsial (>50% asupannya adalah ASI) atau

tidak mendapat ASI serta tidak mendapatkan makanan tambahan yang

mengandung besi, suplementasi besi juga diberikan mulai usia 4 bulan dengan

dosis 1 mg/kg/hari10.

C. Suplementasi untuk balita dan anak usia sekolah

Pada anak usia balita dan usia sekolah, suplementasi besi tanpa skrining

diberikan jika prevalens anemia defisiensi besi lebih dari 40%. Suplementasi

besi dapat diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari (dapat sampai 30 mg/hari)

selama 3 bulan10.

D. Suplementasi untuk remaja

Suplementasi besi pada remaja lelaki dan perempuan diberikan dengan

dosis 60 mg/hari selama 3 bulan. Pemberian suplementasi besi dengan dosis 60

mg/hari, secara intermiten (2 kali/minggu), selama 17 minggu, pada remaja

perempuan ternyata terbukti dapat meningkatkan feritin serum dan free

erythrocyte protoporphyrin (FEP). Centers for Disease Control and Prevention

(CDC) dan AAP merekomendasikan suplementasi besi pada remaja lelaki hanya

bila terdapat riwayat anemia defisiensi besi sebelumnya, tetapi mengingat

prevalens DB yang masih tinggi di Indonesia sebaiknya suplementasi besi pada

38

remaja lelaki tetap diberikan. Penambahan asam folat pada remaja perempuan

dengan pertimbangan pencegahan terjadinya neural tube defect pada bayi yang

akan dilahirkan dikemudian hari10.

Tabel 2.5.8 Rekomendasi 210

(Sumber: Gatot D, Idradinata P, Abdulsalam M, dkk. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia

Suplementasu Besi untuk Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2011.)

3. Uji tapis(skrening) missal

Data WHO tahun 1990-1995 menunjukkan prevalens Anemia defisiensi besi

pada negara-negara berkembang adalah 39% (0-4 tahun), 48,1% (5-14 tahun) dan 52%

(wanita hamil). Data SKRT tahun 2001 menunjukkan prevalens ANEMIA DEFISIENSI

BESI pada bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-turut sebesar

61,3%, 64,8% dan 48,1%, serta 40,1% pada wanita hamil. Ringoringo mendapatkan

prevalensi Anemia Defisinesi Besi pada bayi berusia 0-6 bulan sebesar 38,5%.

Berdasarkan data tersebut, saat ini tidak perlu dilakukan uji tapis secara massal dalam

pemberian suplementasi besi10.

39

Tabel 2.5.9 Rekomendasi 310

(Sumber: Gatot D, Idradinata P, Abdulsalam M, dkk. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia

Suplementasu Besi untuk Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2011.)

4. Pemeriksaan kadar hemoglobin

The American Academy of Pediatrics (AAP) dan CDC di Amerika menganjurkan

melakukan pemeriksaan hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht) setidaknya satu kali pada

usia 9-12 bulan dan diulang 6 bulan kemudian pada usia 15-18 bulan atau pemeriksaan

tambahan setiap 1 tahun sekali pada usia 2-5 tahun. Pemeriksaan tersebut dilakukan

pada populasi dengan risiko tinggi seperti bayi dengan kondisi prematur, berat lahir

rendah, riwayat mendapat perawatan lama di unit neonatologi, dan anak dengan

riwayat perdarahan, infeksi kronis, etnik tertentu dengan prevalens anemia yang tinggi,

mendapat asi ekslusif tanpa suplementasi, mendapat susu sapi segar pada usia dini,

dan faktor risiko sosial lain. Pada bayi prematur atau dengan berat lahir rendah yang

tidak mendapat formula yang difortifikasi besi perlu dipertimbangkan untuk melakukan

pemeriksaan Hb sebelum usia 6 bulan10.

Pada anak usia sekolah (5-12 tahun) dan remaja lelaki, CDC hanya

merekomendasikan pemeriksaan Hb dan Ht pada individu yang memiliki riwayat

Anemia defisiensi besi. Pada usia remaja, uji tapis dapat dilakukan satu kali antara usia

11-21 tahun. Uji tapis dapat diulang setiap 5-10 tahun, kecuali pada remaja perempuan

yang telah menstruasi dan mempunyai risiko tinggi, uji tapis dapat diulang setahun

sekali. Indonesia merupakan salah satu negara dengan prevalens anemia yang tinggi

dan mempunyai kemungkinan etiologi yang beragam. Oleh karena itu, jika dari hasil

pemantauan ditemukan anemia, maka perlu dicari penyebabnya10.

Tabel 2.5.10 Rekomendasi 410

40

(Sumber: Gatot D, Idradinata P, Abdulsalam M, dkk. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia

Suplementasu Besi untuk Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2011.)

5. Dukungan kebijakan pemerintah

Dalam rangka menurunkan prevalens Anemia defisiensi besi dan mendukung

program nasional pencegahan Defisiensi Besi, maka diperlukan dukungan dari

pemerintah dan institusi lain10.

Tabel 2.5.11 Rekomendasi 510

(Sumber: Gatot D, Idradinata P, Abdulsalam M, dkk. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia

Suplementasu Besi untuk Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2011.)

1.5.12. Prognosis

Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja

dan diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat.

Gejala anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian

preparat besi6.

Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa

kemungkinan sebagai berikut6:

1) Diagnosis salah

2) Dosis obat tidak adekuat

41

3) Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluwarsa

4) Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak

berlansung menetap

5) Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian

besi( seperti: infeksi, Keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit

tiroid, penyakit karena defisiensi vitamin B12, asam folat)

6) Gangguan absorpsi saluran cerna(seperti pemberian antacid yang

berlebihan pada ulkus peptikum dapat menyebabkan pengikatan terhadap

besi

BAB 3

Penutup

Anemia defisiensi besi adalah anemia akibat kekurangan besi untuk sintesis

hemoglobin yang merupakan penyakit darah yang umum terjadi pada bayi dan anak-

anak. Rekomendasi menurut commite nutrisi American academic of pediatric

1mg/kg/hari besi (maksimal 15mg/hr) mulai dari usia 4 bulan sampai 3 tahun. Bayi

dengan berat badan rendah membutuhkan 2 mg/kg/hari( maksimal 15 mg/hari) mulai

dari usia 2 bulan. Bayi dengan berat badan lahir <1000 gram membutuhkan 4

mg/kg/hari dan itu berlanjut selama tahun pertama kehidupan7. Untuk anak yang lebih

besar: usia 4-10 tahun 10mg/hari, dan bertambah menjadi 18mg/hari pada usia diatas

11 tahun karena pertumbuhan yang cepat pada masa remaja. Ketika seseorang tidak

kekurangan zat besi,> 70% dari besi yang ditemukan dalam tubuh adalah besi

fungsional (80% dari ini ditemukan dalam sel darah merah / RBC sebagai Hgb, dan

sisanya berada dalam mioglobin dan sitokrom. Sisanya disimpan dalam sumsum hati,

tulang, limpa, dan otot rangka (sekitar 70% sebagai feritin, sisanya sebagai

hemosiderin) atau sebagai transportasi (oleh protein transferin).

Etiologi dapat di bagi menjadi 4 golongan besar: Intake yang kurang,

Peningkatan kebutuhan, Kehilangan darah, dan Gangguan penyerapan.

Patogenesisnya terjadi dalam 3 tahap yaitu Storage iron deficiency, iron deficient

erythropoietin dan iron deficiency anemia. Manifestasi klinisnya dapat di bagi menjadi 2

yaitu manifestasi dari anemia dan kekurangan besinya. Kriteria diagnose anemia

42

defisiensi besi menurut WHO: Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia, Konsentrasi

Hb eritrosit rata-rata < 31% (N: 32-35%), kadar Fe serum < 50 Ug/dl (N: 80-180 ug/dl),

dan saturasi transferin < 15% (N: 20-50%). Prinsip penatalaksanaan anemia defisiensi

besi adalah mengetahui faktor penyebab dan mengatasinya serta memberikan terapi

penggantian dengan preparat besi. Ikatan dokter anak Indonesia mempunyai

rekomendasi untuk mencegah terjadinya anemia defisiensi besi. Prognosis baik bila

penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja dan diketahui penyebabnya

serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia dan manifestasi

klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat besi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lanzkowsky P. Pediatric Hematology and oncology. edisi 4. California: Elsevier

Academic Press.2005. 1-46

2. Lissauer T, Clayden G. Illustrated textbook of Paediatrics. London: Mosby.

1999.223-36

3. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson Hb, dkk. Nelson textbook of pediatric edisi

18. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2007; 445-55

4. Budd C, Gardiner M. Pediatric Mosby’s crash course. New York:Mosby.1999.

161-69

5. Theml H, Diem H, Haferlach T. Color Atlas of Hematology Practical Microscopic

and Clinical Diagnosis.New York:Thieme.2004. 128-33

6. Raspati H, Reniarti L, Susanah S. Anemia defisiensi besi. Dalam: Permono H B,

Sutaryo, Ugrasena IDG, dkk ed. Buku ajar Hematologi-Onkologi Anak. edisi 2.

Jakarta: Badan Penerbit IDAI.2010. 30-43

7. Green T, Franklin W, Tanz RR. Pediatrics just the facts.New York: McGraw Hill.

2005.251-55

8. Dalman RR. Anemia Nutrisional. Dalam Rudolph AM, Hoffman J I E, Rudolph CH

eds. Buku ajar pediatric Rudolph. edisi 20. Jakarta: EGC 1990. 1295-299

9. Gunadi D, Lubis B, Rosdiana N. Terapi dan Suplementasi Besi Pada anak. Sari

pediatric. 2009. Vol 11(3), hal 207-10

43

10.Gatot D, Idradinata P, Abdulsalam M, dkk. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak

Indonesia Suplementasu Besi untuk Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2011.1-

8

11.Dwiprahasto I. Terapi anemia defisiensi besi berbasis bukti. Dalam : Rina Triasih,

ed. Anemia defisiensi besi. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UGM;2004.p.68-82.

12.Abdulsalam M, Daniel A. Diagnosis, pengobatan dan pencegahan anemia

defisiensi besi. Sari pediatric. 2002. Vol 4( 2), hal 74-77

13.Montalto SA, Saha V. Paediatrics A core text with Self Assesment. New York:

Churchill Living stone.1999.196-201

44