anemia defisiensi besi (adb)
DESCRIPTION
ReviewTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang MasalahAnemia defisiensi besi (ADB) merupakan anemia yang timbul akibat
berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi
kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan
pembentukan hemoglobin (Hb) berkurang. Pada anemia defisiensi besi
terdapat gejala umum anemia, defisiensi Fe yang berat akan mengakibatkan
perubahan kulit dan mukosa yang progresif, seperti konjungtiva pucat, lidah
yang halus dll. Selain itu Anemia defisiensi besi juga ditandai oleh anemia
hipokromik mikrositik dan hasil laboratorium yang menunjukan cadangan
besi kosong, dan trombosit meningkat. Penyebab ADB antara lain,
kehilangan darah, malabsorbsi dan asupan besi dari makanan yang buruk.
Asupan besi makanan yang buruk merupakan penyebab yang paling berperan
terutama pada anak-anak, dan perempuan ynag sedang menstruasi atau hamil.
Kebutuhan Fe dalam makanan sekitar 20 mg sehari, dari jumlah ini
hanya kira-kira 2 mg yang diserap. Jumlah total Fe dalam tubuh berkisar 2-4
g, kira-kira 50 mg/kg BB pada pria dan 35 mg/kg BB pada wanita. Anemia
defisiensi besi pada anak-anak paling sering disebabkan karena kekurangan
asupan makanan yang mengandung besi, sedangkan kebutuhan total besi
harian yang harus dicukupi pada anak-anak adalah sekitar 1,1 gram/hari.
Kandungan besi dan proporsi besi yang diabsorbsi berbeda antar makanan,
sumber besi (Fe) paling baik adalah yang berasal dari produk hewani (daging,
susu, hati) disbanding dari produk nabati (sayuran). Besi heme dalam produk
hewan lebih mudah diabsorbsi dari pada besi non-heme pada sayuran. Selain
itu vitamin C juga meningkatkan absorbs filtrate yang menghambat absorbsi
besi. Asupan besi dari makanan menggantikan kehilangan besi harian (sekitar
1 mg ) melalui rambut, kulit, dan darah menstruasi pada wanita. Pada anak-
anak memerlukan tambahan besi untuk meningkatkan masa sel darah
merahnya (Hb). Pencegahan terhadap anemia defisiensi besi pada anak-anak
Hematologi 1
dapat dilakukan dengan pemberian nutisi yang cukup terutama makanan yang
mengandung besi dan pemberian suplementasi besi. (Mehta, 2006)
B. Rumusan Masalah1. Apakah anemia defisiensi besi lebih sering menyerang anak-anak?
2. Bagaimana penyebab, perkembangan penyakit, dan pengaruhnya ke
sistem fisiologi tubuh?
3. Bagaimana pengaruh anemia defisiensi besi ini terhadap anak-anak?
4. Mengapa menyerang eritrosit?
5. Bagaimana proses pemeriksaannya?
C. TujuanAdapun tujuan penulisan laporan tutorial ini adalah :
1. Memahami tentang hematopesis.
2. Memahami penyakit hematologi yang disebabkan oleh berbagai kelainan.
3. Memahami manajemen penatalaksanaan Rehabilitasi Medik pada
penyakit-penyakit hematologi.
4. Memahami penyakit hematologi lainnnya.
D. Manfaat
1. Mahasiswa mampu dan mengenal dasar – dasar hemopoesis dalam
hematologi
2. Mahasiswa mampu menggali potensi dalam pemahaman kelainan
hematologi anemia defisiensi besi
3. Mahasiswa mampu dalam memahami gambaran umum dan pola
perawatan serta terapi anemia defisiensi besi
4. Mahasiswa mampu memahami pencegahan dan prognosis anemia
defisiensi besi
5. Menambah pengetahuan bagi penulis dan pembaca
6. Menunjang wawasan tentang anemia defisiensi besi
Hematologi 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hematopoesis
(Pembentukan sel darah)
Sel stem sel hematopoetik pluripoten, penginduksi pertumbuhan, dan penginduksi
diferensiasi
Sel darah memulai kehidupannya di dalam sumsum tulang dari suatu tipe
sel yang disebut sel stem hematopoetik pluripoten yang merupakan asal dari
semua sel dalam darah sirkulasi. Sewaktu sel-sel darah ini bereproduksi, ada
sebaian kecil dari sel-sel ini yang bertahan seperti sel-sel pluripoten asalnya dan
disimpan dalam sumsum tulang guna mempertahankan suplai sel-sel darah
tersebut, walaupun jumlahnya berkurangnya seiring dengan pertambahan usia.
Sebagian besar sel-sel yang direproduksi akan berdiferensiasi untuk membentuk
sel-sel tipe lain. Berbagai commited stem cellI, bila ditumbuhkan dalam biakan
akan menghasilkan koloni tipe sel darah yang spesifik. Suatu commited stem cell
yang menghasilkan eritrosit disebut unit pembentuk koloni eritrosit.
Pertumbuhan dan reproduksi berbagai stem sel diatur oleh bermacam-
macam protein yang disebut penginduksi pertumbuhan. Penginduksi pertumbuhan
akan memicu pertumbuhan dan bukan memicu diferensiasi sel-sel. Diferensiasi
sel-sel adalah fungsi dari rangkaian protein lainnya yang disebut penginduksi
diferensiasi.
Tahap-tahap diferensiasi eritrosit
Sel pertama disebut proeritroblas. Begitu proeritoblas ini terbentuk, maka
ia akan membelah beberapa kali sampai akhirnya membentuk banyak eritrosit
matur. Sel-sel generasi pertama ini disebut basofil eritroblas. Pada generasi
berikutnya sel sudah dipenuhi oleh hemoglobin sampai konsentrasi sekitar 34%,
nukleus memadat menjadi kecil, dan sisa akhirnya diabsorbsi atau didorong keluar
dari sel. Pada saat yang sama retikulum endoplasma diabsorbsi, pada tahap ini
Hematologi 3
disebut retikulosit karena masih mengandung materi basofilik, yaitu terdiri dari
sisa-sisa aparatus golgi, mitokondria, dan sedikit organel sitoplasma (Guyton,
2008).
Klasifikasi anemia
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi maupun
fisiologinya. Cara pendekatan yang sering dipakai untuk mengetahui penyebab
anemia ada dua hal, kedua penyebab dari gangguan fungsional adalah:
1. Produksi sel darah merah tidak efektif, bisa karena gangguan maturasi dari
eritrosit, kegagalan dari eritropoiesis, atau eritroblastopenia.
2. Gangguan dari kecepatan kerusakan eritrosit, atau kehilangan darah yang
berakibat terjadinya anemia.
Anemia juga dapat diklasifikasikan dengan ukuran eritrosit, klasifikasi
ini dikategorikan dalam anemia mikrositik, anemia normositik, dan anemia
makrositik.
Klasifikasi berdasarkan gangguan fisiologi dari anemia:
A. Gangguan pembentukan eritrosit
a. Kegagalan sumsum tulang :
- Anemia aplastik
- Pure Red Cell Aplasia
- Infiltrasi pada sumsum tulang
b. Kekurangan produksi eritropoietin
- Penyakit ginjal kronis
- Hypothyroidism, hipopituitarism
- Peradangan kronik
- Protein malnutrisi
- Hemoglobin mutan dg berkurangnya afinitas terhadap oksigen
B. Gangguan maturasi dari eritrosit atau eritropoiesis inefektif
a. Maturitas dari sitoplasma yang abnormal
- Defisiensi besi
- Thalassemia
Hematologi 4
- Anemia sideroblastik
- Keracunan timah
b. Maturasi inti yang abnormal
- Defisiensi vit B12
- Defisiensi asam folat
- Thiamin responsive anemia megaloblastik
- Kelainan herediter metabolism asam folat
C. Anemia Hemolitik
a. Defek hemoglobin
b. Defek membrane eritrosit
c. Defek metabolism eritrosit
d. Antibody mediated
e. Kerusakan karena mekanik pada eritrosit
f. Kerusakan karena suhu pada eritrosit
g. Oksidan yang menjadi pencetus kerusakan eritrosit
h. Agen infeksi yang menyebabkan kerusakan eritrosit
i. Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria
j. Plasma lipid yang menyebabkan membran sel eritrosit abnormal
Klasifikasi anemia berdasarkan ukuran sel darah merah
A. Anemia mikrositik
a. Defisiensi besi ( nutrisi, kehilangan darah kronis)
b. Keracunan timah kronik
c. Thalassemia
d. Anemia sideroblastik
e. Peradangan kronik
f. Kelainan kongenital anemia hemolitik dengan Hb tidak stabil
B. Makrositik Anemia
a. Dengan sumsum tulang megaloblastik
- Defisiensi vitamin B12
- Defisiensi asam folat
Hematologi 5
- Herediter orotic aciduria
- Anemia yang responsive thiamin
b. Tanpa megaloblastik pada sumsum tulang
- Anemia aplastik
- Diamond blackfan Syndrome
- Hypothiroidism
- Penyakit hati
- Anemia diseritropoietik
C. Normositik anemia
a. Anemia hemolitik kongenital
- Hb mutant
- Defek eritrosit
- Kerusakan membran eritrosit
b. Anemia hemolitik didapat
- Antibody mediated
- Anemia hemolitik mikroangiopati
- Sekunder karena infeksi akut
c. Kehilangan darah akut
d. Splenic pooling
e. Penyakit ginjal kronis
Hematologi 6
Anemia Defisiensi Besi
A. Definisi
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat
kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan
besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan
hemoglobin (Hb) berkurang. (Bakta, I.M., 2007)
—Gambaran diagnosis etiologis dapat ditegakkan dari petunjuk
patofisiologi, patogenesis, gejala klinis, pemeriksaan laboratorium,
diagnosis banding, penatalaksanaan dan terapi. Beberapa zat gizi diperlukan
dalam pembentukan sel darah merah. Yang paling penting adalah zat besi,
vitamin B12 dan asam folat, tetapi tubuh juga memerlukan sejumlah kecil
vitamin C, riboflavin dan tembaga serta keseimbangan hormone, terutama
eritroprotein. Tanpa zat gizi dan hormone tersebut, pembentukan sel darah
merah akan berjalan lambat dan tidak mencukupi, dan selnya bisa memiliki
kelainan bentuk dan tidak mampu mengangkut oksigen sebagaimana
mestinya. (Hoffbrand, A.V., Pettit, J.E., Moss, P.A.H., 2005)
B. Etiologi
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan
besi, gangguan absorpsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun.
1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun, yang dapat
berasal dari :
a. Saluran Cerna : akibat dari tukak peptik, kanker lambung, kanker
kolon, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang.
b. Saluran genitalia wanita : menorrhagia, atau metrorhagia
c. Saluran kemih : hematuria
d. Saluran napas : hemoptoe
2. Faktor nutrisi : akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau
kualitas besi (bioavaibilitas) besi –yang tidak baik (makanan banyak
serat, rendah vitamin C, dan rendah daging).
Hematologi 7
3. Kebutuhan besi meningkat : seperti pada prematuritas, anak dalam masa
pertumbuhan dan kehamilan.
4. Gangguan absorpsi besi : gastrektomi, tropical sprue atau kolitis
kronik.
—Pada orang dewasa, anemia defisiensi besi yang dijumpai di klinik
hampir identik dengan perdarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan
kebutuhan besi jarang sebagai penyebab utama. Penyebab perdarahan paling
sering pada laki-laki ialah perdarahan gastrointestinal, di negara tropik
paling sering karena infeksi cacing tambang. Sementara itu, pada wanita
paling sering karena menormetrorhagia. (Bakta, I.M ., 2007)
Penyebab anemia gizi pada bayi dan anak :
1. Pengadaan zat besi yang tidak cukup
a. Cadangan zat besi pada waktu lahir tidak cukup.
1) Berat lahir rendah, lahir kurang bulan, lahir kembar
2) Ibu waktu mengandung menderita anemia kekurangan zat besi
yang berat
3) Pada masa fetus kehilangan darah pada saat atau sebelum
persalinan seperti adanya sirkulasi fetus ibu dan perdarahan
retroplasesta
b. Asupan zat besikurang cukup
2. Absorbsi kurang
a. Diare menahun
b. Sindrom malabsorbsi
c. Kelainan saluran pencernaan
3. Kebutuhan akan zat besi meningkat untuk pertumbuhan, terutama pada
lahir kurang bulan dan pada saat akil balik.
4. Kehilangan darah
a. Perdarahan yang bersifat akut maupun menahun, misalnya pada
poliposis rektum, divertkel Meckel.
b. Infestasi parasit, misalnya cacing tambang.
Hematologi 8
C. Epidemiologi
Diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia dan lebih dari
50% penderita ini adalah ADB da terutama mengenai bayi, anak sekolah,
ibu hamil dan menyusui. Di Indonesia masih merupakan masalah gizi utama
selain kekurangan kalori protein, vitamin A dan yodium. Penelitian di
Indonesia mendapatkan prevalensi ADB pada anak balita sekitar 30 – 40%,
pada anak sekolah 25 – 35% sedangkan hasil SKRT 1992 prevalensi ADB
pada balita sebesar 5,55%. ADB mempunyai dampak yang merugikan bagi
kesehatan anak berupa gangguan tumbuh kembang, penurunan daya tahan
tubuh dan daya konsentrasi serta kemampuan belajar sehingga menurunkan
prestasi belajar di sekolah. (Weiss, G.,Goodnough, L.T., 2005)
D. Patofisiologi
Zat besidiperlukan untuk hemopoesis (pembentukan darah) dan juga
diperlukan oleh berbagai enzim sebagai faktor penggiat. Zat besi yang
terdapat dalam enzim juga diperlukan untuk mengangkut elektro (sitokrom),
untuk mengaktifkan oksigen (oksidase dan oksigenase). Defisiensi zat
besitidak menunjukkan gejala yang khas (asymptomatik) sehingga anemia
pada balita sukar untuk dideteksi.
Tanda-tanda dari anemia gizi dimulai dengan menipisnya simpanan
zat besi (feritin) dan bertambahnya absorbsi zat besiyang digambarkan
dengan meningkatnya kapasitas pengikatan besi. Pada tahap yang lebih
lanjut berupa habisnya simpanan zat besi, berkurangnya kejenuhan
transferin, berkurangnya jumlah protoporpirin yang diubah menjadi heme,
dan akan diikuti dengan menurunya kadar feritin serum. Akhirnya terjadi
anemia dengan cirinya yang khas yaitu rendahnya kadar Rb (Gutrie,
186 :303)
Bila sebagian dari feritin jaringan meninggalkan sel akan
mengakibatkan konsentrasi feritin serum rendah. Kadar feritin serum dapat
menggambarkan keadaan simpanan zat besi dalam jaringan. Dengan
demikian kadar feritin serum yang rendah akan menunjukkan orang tersebut
Hematologi 9
dalam keadaan anemia gizi bila kadar feritin serumnya <12 ng/ml. Hal yang
perlu diperhatikan adalah bila kadar feritin serum normal tidak selalu
menunjukkan status besidalam keadaan normal. Karena status besi yang
berkurang lebih dahulu baru diikuti dengan kadar feritin.
E. Patogenesis
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan zat besi sehingga
cadangan zat besi makin menurun. Jika cadangan kosong maka keadaan ini
disebut iron depleted state. Apabila kekurangan zat besi berlanjut terus
maka penyediaan zat besi untuk eritropoesis berkurang sehingga
menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit, tetapi anemia secara klinis
belum terjadi, keadaan ini disebut iron deficient erythropoiesis.Selanjutnya
timbul anemia hipokromik mikrositer sehingga disebut iron deficiency
anemia. (Bakta, I.M ., 2007)
F. Gejala Klinis
Anemia pada akhirnya menyebabkan kelelahan, sesak nafas, kurang
tenaga dan gejala lainnya. Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi,
tidak dijumpai pada anemia jenis lain, seperti :
1. Atrofi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap
karena papil lidah menghilang
2. Glositis : iritasi lidah
3. Keilosis : bibir pecah-pecah
4. Koilonikia : kuku jari tangan pecah-pecah dan bentuknya seperti
sendok. (Bakta, I.M ., 2007)
G. Diagnosis
Penegakkan diagnosis anemia defisiensi besi dilakukan anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang diteliti disertai pemeriksaan laboratorium yang
tepat. Secara laboratorik untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi
dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi sebagai berikut :
Hematologi 10
1. Adanya riwayat perdarahan kronis atau terbukti adanya sumber
perdarahan.
2. Laboratorium : Anemia hipokrom mikrosister, Fe serum rendah, TIBC
tinggi.
3. Tidak terdapat Fe dalam sumsum tulang (sideroblast)
4. Adanya respons yang baik terhadap pemberian Fe.
(Hoffbrand, A.V., Pettit, J.E., Moss, P.A.H., 2005)
H. Diagnosis Banding
Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromik
lainnya, seperti :
1. Thalasemia (khususnya thallasemia minor) : Hb A2 meningkat, Feritin
serum dan timbunan Fe tidak turun.
2. Anemia karena infeksi menahun : Biasanya anemia normokromik
normositik. Kadang-kadang terjadi anemia hipokromik mikrositik.
Feritin serum dan timbunan Fe tidak turun.
3. Keracunan timah hitam (Pb)
4. Anemia sideroblastik : terdapat ring sideroblastik pada pemeriksaan
sumsum tulang. (Bakta, I.M ., 2007)
I. Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat
dijumpai adalah :
1. Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit : didapatkan anemia hipokrom
mikrositer dengan penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan
sampai berat. MCV, MCHC dan MCH menurun. MCH < 70 fl hanya
didapatkan pada anemia difisiensi besi dan thalassemia mayor. RDW
(red cell distribution width) meningkat yang menandakan adanya
anisositosis.Indeks eritrosit sudah dapa mengalami perubahan sebelum
kadar hemoglobin menurun. Kadar hemoglobin sering turun sangat
rendah, tanpa menimbulkan gejala anemia yang mencolok karena
Hematologi 11
anemia timbul perlahan-perlahan. Apusan darah menunjukkan anemia
hipokromik mikrositer, anisositosis, poikilositosis, anulosit, sel pensil,
kadang-kadang sel target. Derajat hipokromia dan mikrositosis
berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan thalassemia.
Leukosit dan trombosit normal. Retikulosit rendah dibandingkan derajat
anemia. Pada kasus ankilostomiasis sering dijumpai eosinofilia. (Bakta,
I.M ., 2007)
2. Apus sumsum tulang : Hiperplasia eritropoesis, dengan kelompok-
kelompok normo-blast basofil. Bentuk pronormoblast-normoblast kecil-
kecil, sideroblast. (Hoffbrand, A.V., Pettit, J.E., Moss, P.A.H., 2005)
3. Kadar besi serum menurun <50 mg/dl, total iron binding capacity
(TIBC) meningkat >350 mg/dl, dan saturasi transferin < 15%.
4. Feritin serum. Sebagian kecil feritin tubuh bersirkulasi dalam serum,
konsentrasinya sebanding dengan cadangan besi jaringan, khususnya
retikuloendotel. Pada anemia defisensi besi, kadar feritin serum sangat
rendah, sedangkan feritin serum yang meningkat menunjukkan adanya
kelebihan besi atau pelepasan feritin berlebihan dari jaringan yang
rusak atau suatu respons fase akut, misalnya pada inflamasi. Kadar
feritin serum normal atau meningkat pada anemia penyakit kronik.
5. TIBC (Total Iron Banding Capacity) meningkat.
6. Feses : Telur cacing Ankilostoma duodenale / Necator americanus.
7. Pemeriksaan lain : endoskopi, kolonoskopi, gastroduodenografi, colon
in loop, pemeriksaan ginekologi. (Bakta, I.M ., 2007)
Batasan nilai anemia
Anemia didefinisikan sebagai suatu keadaan kadar hemoglobin (Hb)
di dalam darah lebih rendah daripada nili normal untuk kelompok orang
yang bersangkutan. Kelompok ditentukan menurut umur dan jenis kelamin,
seperti yang terlihat di dalam tabel di bawah ini.
Hematologi 12
Table 1. Kriteria WHO untuk kadar hemoglobin yang dikatakan anemia
Kelompok Umur Hemoglobin
Anak6 bulan s/d 6 tahun 116 tahun s/d 14 tahun 12
DewasaLaki-laki 13Wanita 12
Wanita hamil 11Dikutip dari WHO Nutritional anemia. World Health OrganTech Rep
Ser1972;503:1
Tabel 2. Nilai normal dan batas bawah nilai normal dari kadar Hb, Hct dan MCV
Hb (g/dL)
Hematokrit% MCV (µ3)
Umur (tahun)
Rata-rata
Batas bawah
Rata-rata Batas bawah
Rata-rata
Batas bawah
0,5-1,9 12,5 11 37 33 77 702-4 12,5 11 38 34 79 735-7 13 11,5 39 35 81 758-11 13,5 12 40 36 83 7612-14 Wanita 13,5 12 41 36 85 78Laki-laki 14 12,5 43 37 84 7715-17 Wanita 14 12 41 36 87 79Laki-laki 15 13 46 38 86 7818-49 Wanita 14 12 42 37 90 80Laki-laki 16 14 47 40 90 80
Dikutip dari Nathan & Oski’ hematology of infancy and childhood, sixth ed p 410.
J. Penatalaksanaan
1. Mengatasi penyebab perdarahan kronik, misalnya pada ankilostomiasis
diberikan antelmintik yang sesuai.
2. Pemberian preparat Fe : Pemberian preparat besi
(ferosulfat/ferofumarat/feroglukonat) dosis 4-6 mg besi elemental/kg
BB/hari dibagi dalam 3 dosis, diberikan di antara waktu makan.
Hematologi 13
Preparat besi ini diberikan sampai 2-3 bulan setelah kadar hemoglobin
normal.
3. Bedah : Untuk penyebab yang memerlukan intervensi bedah seperti
perdarahan karena diverticulum Meckel.
4. Suportif : Makanan gizi seimbang terutama yang megandung kadar besi
tinggi yang bersumber dari hewani (limfa, hati, daging) dan nabati
(bayam, kacang-kacangan).
(Dunn, A., Carter, J., Carter, H., 2003)
K. Terapi
Setelah diagnosis ditegakan maka dibuat rencana pemberian terapi,
terapi terhadap anemia difesiensi besi dapat berupa :
1. Terapi kausal: tergantung penyebabnya,misalnya : pengobatan cacing
tambang, pengobatan hemoroid, pengubatan menoragia. Terapi kausal
harus dilakukan, kalau tidak maka anemia akan kambuh kembali.
2. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh :
a. Besi per oral : merupakan obat pilihan pertama karena efektif, murah,
dan aman.preparat yang tersedia, yaitu:
1) Ferrous sulphat (sulfas ferosus): preparat pilihan pertama
(murah dan efektif). Dosis: 3 x 200 mg.
2) Ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan
ferrous succinate,harga lebih mahal, tetepi efektivitas dan efek
samping hampir sama.
b. Besi parenteral
Efek samping lebih berbahaya, serta harganya lebih mahal. Indikasi,
yaitu :
1. Intoleransi oral berat
2. Kepatuhan berobat kurang
3. Kolitis ulserativa
4. Perlu peningkatan Hb secara cepat (hamil trimester akhir).
(Dunn, A., Carter, J., Carter, H., 2003)
Hematologi 14
L. Pencegahan
1. Srategi Penanggulangan
Strategi penanggulangan anemia gizi secara tuntas hanya mungkin
kalu intervensi dilakukan terhadap sebab langsung, tidak langsung maupun
mendasar. Secara pokok strategi itu adalah sebagai berikut :
a. Terhadap penyebab langsung
Penanggulangan anemiagizi perlu diarahkan agar :
1) Keluarga dan anggota keluarga yang resiko menderita anemia
mendapat makanan yang cukup bergizi dengan biovailabilita yang
cukup.
2) Pengobatan penyakit infeksi yang memperbesar resiko
anemiaPenyediaan pelayanan yang mudah dijangkau oleh keluarga
yang memerlukan, dan tersedianya tablet tambah darah dalam
jumlah yang sesuai.
b. Terhadap penyebab tidak langsung
Perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan perhatian dan kasih sayang
di dalam keluarga terhadap wanita, terutama terhadap ibu yang
perhatian itu misalnya dapat tercermin dalam:
1) Penyediaan makanan yang sesuai dengan kebutuhanny terutama
bila hamil.
2) Mendahulukan ibu hamil pd waktu makan
3) Perhatian agar pekerjaan fisik disesuaikan dengan kondisi
wanita/ibu hamil
c. Terhadap penyebab mendasar :
Dalam jangka panjang, penanggulangan anemia gizi hanya dapat
berlangsung secara tuntas bila penyebab mendasar terjadinya anemia
juga ditanggulang, misalnya melalui:
1) Usaha untuk meningkatkan tingkat pendidikan, terutama
pendidikan wanita.
2) Usaha untuk memperbaiki upah, terutama karyawan rendah.
3) Usaha untuk meningkatkan status wanita di masyarakat
Hematologi 15
4) Usaha untuk memperbaiki lingkungan fisik dan biologis, sehingga
mendukung status kesehatan gizi masyarakat.
2. Pendidikan kesehatan:
a. Kesehatan lingkungan: pemakaian jamban, perbaikan lingkungan
kerja (pemakaian alas kaki sehingga mencegah penyakit cacing
tambang).
b. Penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang
membantu absorbsi besi
3. Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan
kronik yang paling sering dijumpai di daerah tropik. Pengendalian
cacing tambang dapat dilakukan dengan pengobatan masal dengan
anthelmentik dan perbaikan sanitasi.
4. Suplemen besi yaitu pemberian besi profilaksis pada segmen penduduk
yang rentan: ibu hamil dan anak balita memakai pil besi dan folat
5. Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi pada
bahan makanan. Di negara barat dilakuakan dengan mencampur tepung
untuk roti atau susu bubuk dengan besi (Made et al, 2007).
Hematologi 16
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam skenario 1 “Sering mengantuk di kelas” ini dikatakan bahwa Anis
seorang anak laki-laki yang berusia 5 tahun, pagi itu dianatar ibunya ke dokter
karena akhir-ahir ini sering sakit. Hampir tiap bulan Anis pergi ke dokter untuk
berobat. Ia sering mengalami demam dan nafsu makan yang kurang. Dalam
menegakkan suatu diagnosis terlebih dahulu melakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik serta pemeriksaan laboratorium. Anamnesis tentang riwayat penderita yaitu
Anis . Pemeriksaan fisik dilakukan pada tahap inspeksi terlihat atau tampak berat
badan menurun, tubuh menjadi lebih kurus, lemah,letih dan lesu. Pada hasil
palpasi, suhu badannya dan nadi normal dan hasil perkusi tidak terdapat
abnormalitas pada abdomen. Pada auskultasi didapatkan hasil respirasi yang
normal. Selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium yang hasilnya
terdapat penurunan hemoglobin, hematokrit, MCV, MCH dan MCHC . Dari
pernyataan diatas dapat di diagnosis bahwa penyakit yang diderita Anis yaitu
anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat
berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong
yang pada akhirnya terjadi penurunan pembentukan hemoglobin. (Utama, 2004)
Di samping pada hemoglobin, besi juga menjadi komponen yang penting dari
mioglobin dan berbagai enzim yang dibutuhkan dalam penyediaan energy dan
transport elektron. Oleh karena itu defisiensi besi dapat menimbulkan penurunan
fungsi mioglobin, enzim sitokrom, dan gliserofosfat oksidase, menyebabkan
gangguan glikolisis yang berakibat penumpukan asam laktat sehingga mudah
lelah dan sakit. Sudah lama mengalami nafsu makan yang kurang dan sering
mengalami demam. Menurunnya selera makan atau nafsu makan tersebut terjadi
karena bahan pembentuk eritrosit yang bertugas beredar pada aliran darah
mengalami defisiensi besi sehingga menekan pusat rasa lapar di central pusat
limbik temporal. Selain itu juga sering mengalami demam yaitu merupakan
kompensasi terhadap kehilangan zat pembentuk eritrosit sehingga memicu
Hematologi 17
pirogen eksogen ke dalam jaringan disertai dengan mediator kimiawi sitokin
interleukin 1 dan interleukin 6 (pirogen endogen) dibawa ke hipotalamus
kemudian merangsang prostaglandin hipotalamus sehingga terjadi peningkatan
thermostat hipotalamus terjadi demam yaitu suhu Anis meningkat dimana
normalnya antara( 36,5 – 37,5)ºC. (Sheerwod, 2001). Skemanya yaitu Demam ini
mengakibatkan Anis nafsu makan ↓. Mekanisme demam sendiri dikarenakan
nafsu makan ↓ à kondisi tubuh ↓à imunitas ↓ à ada bakteri pirogen endogen
yang masuk à tubuh mengeluarkan respon imun untuk melawan, dan salah
satunya prostaglandin à demam.
Ibunya juga mengeluh bahwa Anis sering mengantuk apabila sedang
belajar di sekolah dan malas bermain dengan temannya. Badan lemah dikarenakan
pasokan O2 untuk respirasi sel menghasilkan energi berkurang. Mengantuk pada
anemia defisiensi besi disebabkan oleh menurunnya hemoglobin dalam eritrosit
sehingga ikatan aliran darah turun akibatnya perfusi darah ke otak menurun
menjadi kurangnya oksigenasi pada otak yaitu di pusat glandula pinealis
diensefalon dikarenakan oksigenasi lebih mengutamakn organ vital. Konjungtiva
pucat atau konjungiva anemis dan jaringan di bawah kuku dikarenakan kurangnya
suplai O2 yang dibawa oleh hemoglobin. Gejala umum pada anemia berupa pucat
yang disebabkan oleh kurangnya volume darah, berkurangnya hemoglobin, dan
vasokonstriksi untuk memaksimalkan pengiriman O2 ke organ-organ vital. Gejala
khas pada anemia defisiensi besi diantaranya: koilonikia (kuku sendok) di mana
kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertical, dan menjadi cekung. Koilonikia dan
disfagia disebabkan oleh kurangnya zat besi pada epitel yang juga menyebabkan
atrofi papil lidah (lidah licin dan mengkilap) serta stomatitis angularis
(keradangan pada sudut mulut, berwarna pucat keputihan). (Corwin, 2001)
Pola makan sejak kecil memang tidak suka daging dan susu karena
orangtuanya vegetarian. Besi terdapat dalam makanan sebagai ferri hidroksida,
kompleks ferri protein dan kompleks heme protein. Kandungna besi dan proporsi
besi yang diabsorbsi berbeda antar makanan. Secara umum, daging dan khususnya
hati adalah sumber besi yang lebih baik dibanding sayuran, telur, atau produk
Hematologi 18
susu. Pola makan seseorang rata-rata mengandung 10-15 mg besi dan hanya 5-10
% yang diabsorbsi pada keadaan normal. Besi yang diserap usus setiap hari
berkisar antara 1-2 mg, ekskresi besi terjadi dalam jumlah yang sama melalui
eksfoliasi epitel. Besi dari usus dalam bentuk transferin akan bergabung dengan
besi yang dimobilisasi dari makrofag dalam sumsum tulang sebesar 22 mg untuk
dapat memenuhi kebutuhan eritropoesis sebanyak 24 mg per hari. Zat besi
berikatan dengan protophoryfirin IX membentuk heme, heme berikatan dengan
globin membentuk hemoglobin diperlukan untuk hemopoesis (pembentukan
darah) dan juga diperlukan oleh berbagai enzim sebagai faktor penggiat. Zat besi
yang terdapat dalam enzim juga diperlukan untuk mengangkut elektro (sitokrom),
untuk mengaktifkan oksigen (oksidase dan oksigenase). Sehingga apabila terjadi
defisiensi besi maka terjadi pula penurunan hemoglobin yang mengandung zat
besi. (Sudoyo, 2006)
Anemia defisiensi zat besi terjadi karena ketidakseimbangan antara
eritropoesis dengan destruksi eritrosit yang paling sering menyerang anak-anak.
Bayi cukup bulan yang lahir dari ibu nonanemik dan bergizi baik, memiliki cukup
persediaan zat besi sampai berat badan lahirnya menjadi dua kali lipat umumnya
saat berusia 4-6 bulan. Sesudah itu zat besi harus tersedia dalam makanan untuk
memenuhi kebutuhan anak. Jika asupan zat besi dari makanan tidak mencukupi
terjadi anemia defisiensi zat besi . Hal ini paling sering terjadi karena pengenalan
makanan padat yang terlalu dini ( sebelum usia 4-6 bulan) dihentikannya susu
formula bayi yang mengandung zat besi atau ASI sebelum usia 1 tahun dan
minum susu sapi berlebihan tanpa tambahan makanan padat kaya besi. Bayi yang
tidak cukup bulan, bayi dengan perdarahan perinatal berlebihan atau bayi dari ibu
yang kurang gizi dan kurang zat besi juga tidak memiliki cadangan zat besi yang
adekuat. Bayi ini berisiko lebih tinggi menderita anemia defisiensi besi sebelum
berusia 6 bulan. (Hassan, 2007)
Tanda-tanda dari anemia defisiensi besi dimulai dengan menipisnya
simpanan zat besi (feritin) dan bertambahnya absorbsi zat besi yang digambarkan
dengan meningkatnya kapasitas pengikatan besi. Pada tahap yang lebih lanjut
Hematologi 19
berupa habisnya simpanan zat besi, berkurangnya kejenuhan transferin,
berkurangnya jumlah protoporpirin yang diubah menjadi heme, dan akan diikuti
dengan menurunya kadar feritin serum. Akhirnya terjadi anemia dengan cirinya
yang khas yaitu rendahnya kadar Hb. Bila sebagian dari feritin jaringan
meninggalkan sel akan mengakibatkan konsentrasi feritin serum rendah. Kadar
feritin serum dapat menggambarkan keadaan simpanan zat besi dalam jaringan.
Dengan demikian kadar feritin serum yang rendah akan menunjukkan orang
tersebut dalam keadaan anemia gizi bila kadar feritin serumnya <12 ng/ml. Hal
yang perlu diperhatikan adalah bila kadar feritin serum normal tidak selalu
menunjukkan status besi dalam keadaan normal. Karena status besi yang
berkurang lebih dahulu baru diikuti dengan kadar feritin. (Mansjoer, 2000)
Saat diperiksa oleh dokter dari pemerisaan fisik didapatkan : BB 12 kg,
konjungtiva pucat, tidak febris, nadi 80x/ menit, respirasi 20x/menit, tidak
terdapat abnormalitas pada abdomen. Selain itu dari hasil pengamatan (inspeksi)
konjungtiva penderita tampak pucat (anemis) dan pada pemeriksaan laboratorium
ada penurunan Hb 9,46 g/ dl. Hemoglobin merupakan protein pada sel darah
merah yang menurun akibat terjadi pengadaan zat besi yang tidak cukup misalnya
cadangan zat besi pada waktu lahir tidak cukup, berat lahir rendah, lahir kurang
bulan, lahir kembar, ibu waktu mengandung menderita anemia kekurangan zat
besi yang berat , pada masa fetus kehilangan darah pada saat atau sebelum
persalinan seperti adanya sirkulasi fetus ibu dan perdarahan retroplasesta serta
asupan zat besi kurang cukup, absorbsi kurang karena kelainan saluran
pencernaan , kehilangan darah atau perdarahan yang bersifat akut maupun
menahun, serta infestasi parasit, misalnya cacing tambang. Akibat dari penurunan
hemoglobin sehingga konjungtiva anemis yang terdiri atas jaringan ikat kolagen
dan palpebra inferior terlihat berkantung akibat dari penurunan protein dalam
darah yang menyebabkan peningkatan hipoalbumin dan tekanan hidrostatik
sehingga terjadi penimbunan jaringan interstitial pada palpebra. (Sherwood, 2001)
Kemudian pada pemeriksaan palpasi oleh dokter, ternyata Anis tidak
mengalami febris atau demam, nadi nya normal dimana range nadi normal antara
Hematologi 20
(60 – 100)x/menit demikian pula respirasi Anis juga normal dimana respirasi
normal 16-24 x/menit. Dari hasil pemeriksaan fisik normal, sebab organ tubuh
pada sistem respirasi masih bisa mengkompensasi penurunan hemoglobin
sehingga defisiensi zat besi tidak menunjukkan gejala yang khas (asymptomatik)
oleh karena itu anemia pada balita sukar untuk dideteksi. Apabila terjadi
penurunan pH darah yang akan merangsang frekuensi nafas lebih cepat terjadi
asidosis metabolik. Reaksi ini adalah usaha kompensasi badan untuk
mengeluarkan asam karbonat agar pH darah kembali normal. (Hassan, 2007)
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil Hb: 9,46 g/dl ; eritrosit
4,65 x 106/ul ; hematokrit: 29, 3% ; MCV 63,0 Fl, MCH 20,4 pg, MCHC 32,3
g/dl, leukosit 8,73x10 3/ul, trombosit 320x10 3/mm3. Diagnosis anemia defisiensi
besi ditentukan dengan tes skrining dengan cara mengukur kadar Hb, hematokrit
(Ht), volume sel darah merah (MCV), konsentrasi Hb dalam sel darah merah
(MCH) dengan batasan terendah 95% acuan. Pasien menderita anemia
dikarenakan adanya penurunan indeks eritrosit, penurunan Hb, penurunan
hematokrit yang disertai tanda dan gejala anemia, diantaranya: konjungtiva
anemis (+), pucat, telapak tangan dan kaki pucat. Kemudian meningkatnya cairan
plasma membuat presentasi zat padat darah terhadap cairannya menurun
akibatnya hematokrit menurun kurang dari 3x hemoglobin. Hemoglobin normal
pada bayi umur 3-6 tahun yaitu 12-14 gr%. Jumlah eritrosit normal pada anak
laki-laki yaitu 4,5-6,5 juta/mm3. Penurunan indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC)
menunjukkan pasien anemia mikrositik hipokromik. (Baron, 2005)
Dimana nilai normal eritrosit rata-rata atau nilai indeks normal eritrosit
bertujuan untuk menegakkan diagnosa, memperkirakan eritrosit rata-rata dan
banyaknya hemoglobin tiap eritrosit meliputi MCV (Mean Corpusculer Volume)
adalah volume eritrosit rata-rata dalam satuan femtoliter dengan nilai normal 82 –
92 Fl, MCH (Mean Corpusculer Hemoglobin) adalah hemoglobin eritrosit rata-
rata atau banyaknya Hb per eritrosit dalam satuan pikogram dengan nilai normal
27-32 pikogram dan MCHC (Mean Corpusculer Hemoglobin Concentration)
adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata atau kadar hemoglobin yang di
Hematologi 21
dapat per eritrosit dengan nilai normal 32-37%. Kadar normal pada jumlah
leukosit dan trombosit menunjukkan bahwa tidak ada infeksi dan perdarahan yang
dapat menyebabkan anemia. Trombosit normal 200 x 10 3 – 400 x 10 3/mm3 dan
leukosit normal 4000-11.000/mm3. (Metha, 2006)
Kehilangan zat besi melebihi asupannya, sehingga menghabiskan
cadangan dalam tubuh, terutama di sumsum tulang. Kadar ferritin (protein yang
menampung zat besi) dalam darah berkurang secara progresif. Cadangan besi
yang telah berkurang tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk pembentukan se
darah merah, sehingga sel darah merah yang dihasilkan jumlahnya lebih sedikit.
Mulai terjadi anemia. Pada awal stadium ini, sel darah merah tampak normal,
tetapi jumlahnya lebih sedikit. Kadar hemoglogin dan hematokrit menurun.
Sumsum tulang berusaha untuk menggantikan kekurangan zat besi dengan
mempercepat pembelahan sel dan menghasilkan sel darah merah dengan ukuran
yang sangat kecil (mikrositik), yang khas untuk anemia karena kekurangan zat
besi. Dengan semakin memburuknya kekurangan zat besi dan anemia, maka akan
timbul gejala-gejala karena kekurangan zat besi dan gejala-gejala karena anemia
semakin memburuk. (Bakta, 2007)
Hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien didapatkan penurunan MCV
< 70 fl di mana hal tersebut hanya terdapat pada anemia defisiensi besi dan
thalassemia major. Peningkatan TIBC dan penurunan serum besi merupakan hasil
pemeriksaan yang khas untuk anemia defisiensi besi di mana hal tersebut tidak
terdapat pada anemia mikrositik hipokromik lainnya (anemia penyakit kronis,
anemia sideroblastik, dan thalassemia). Walaupun sebetulnya terdapat satu
pemeriksaan penunjang lagi yang dapat mengidentifikasikan anemia defisiensi
besi yaitu besi sumsum tulang. Pada anemia defisiensi besi, tidak terdapat besi
dalam sumsum tulang (hasil negatif) sedangkan pada anemia mikrositik
hipokromik lainnya besi sumsum tulang bisa meningkat atau normal. Berdasarkan
hal di atas, maka pasien tersebut mengalami anemia defisiensi besi. (Hoffbrand,
2005)
Hematologi 22
Adanya penyebab dari salah satu diatas menyebabkan cadangan besi
menurun yang ditandai dengan penurunan ferritin serum, peningkatan absorbsi
dalam usus, pengecatan sumsum tulang negatif sebagai kompensasi atau
mekanisme homeostatis. Apabila kekuragan besi ini berlanjut maka cadangan besi
menjadi kosong sama sekali sehingga menyebabkan berkurangnya besi untuk
eritropoesis dalam sumsum tulang sehingga menyebabkan gangguan pada bentuk
eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Pada keadaan ini terjadi
peningkatan protoporfirin bebas dikarenakan sintesis heme berkurang sehingga
produksi prekusor (protoporfirin) meningkat. Saturasi transferin menurun dan
TIBC meningkat. Apabila jumlah besi terus-menerus menurun sehingga
eritropoesis menurun yang menyebabkan kadar hemoglobin mulai menurun,
akibatnya timbul anemia mikrositik hipokromik khususnya anemia defisiensi besi.
(Metha, 2006)
Kemudian dokter menyarankan untuk melakukan pemeriksaan darah tepi.
Ibu Anis menanyakan bagaimana hasil laboratorium dan apa yang harus ia
lakukan supaya Anis bisa sehat seperti teman-temannya? Hasil laboratorium
apusan darah tepi bertujuan untuk menegakkan diagnosis dengan menunjukan
gambaran anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, poikilostosis, anulosit, sel
pensil, kadang-kadang sel target. Derajat hipokromia dan mikrositosis berbanding
lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan thalasemia. Leukosit dan trombosit
normal. Retikulosit rendah dibandingkan derajat anemia. (Sudoyo, 2006)
Pada pemeriksaan laboratorium, anemia defisiensi besi bisa diidentifikasi
melalui penurunan kadar Hb, MCV <82 Fl) dan penurunan saturasi transferin (<
15%) merupakan hasil laboratorium khas pada anemia defisiensi besi yang dapat
membedakan dengan anemia lainnya. Peningkatan reseptor transferin dalam
serum dapat membedakan antara anemia defisiensi besi dengan anemia penyakit
kronik. Dan pemeriksaan laboratorium besi sumsum tulang merupakan pembeda
antara anemia defisiensi besi dengan anemia mikrositik hipokromik lainnya di
mana pada anemia defisiensi besi, besi sumsum tulang negatif (tidak terdapat besi
dalam sumsum tulang) sedangkan anemia mikrositik hipokromik lainnya
Hematologi 23
meningkat atau normal. Defisiensi besi meningkatkan kemampuan IRP (protein
pengatur besi) untuk berikatan dengan IRE (unsure respons besi) pada feritin.
Lokasi pengikatan IRP pada IRE di hulu (5’) atau di hilir (3’) pada gen pengode,
menentukan jumlah mRNA dan protein yang dihasilkan menurun. Peningkatan di
hulu mengurangi translasi sehingga jika besi plasma menurun maka terjadi
penurunan jumlah besi yang dipindahkan ke sel parenkim (misalnya sel parenkim
hati, organ endokrin, pankreas dan jantung). (Hoffbrand, 2005)
Hematologi 24
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
1. Anemia defisiensi besi (Anemia Gizi) adalah suatu keadaan kadar
hemoglobin di dalam darah leih rendah daripada nilai normal. Untuk
balita kadar Hb Normal adalah 12 g/dl. Adapun kebutuhan zat besi pada
anak adalah sekitar 5 – 9 mmg/hari.
2. Penyebab anemia Gizi pada balita sangat banyak diantaranya:
Pengadaan zat besi yang tidak cukup seperti cadangan besi yang tidak
cukup. Selain itu absorbsi yang kurang karena diare ataupun infestasi
cacing yang memperberat anemia. Faktor-faktor lain turut pula
mempengaruhi seperti faktor sosial ekonomi, pendidikan, pola makan,
fasilitas kesehatan dan faktor budaya.
3. Pengaruh Anemia pada balita diantaranya adalah penurunan kekebalan
tubuh dimana terjadi penurunan kemampuan sel humural dan seluler di
dalam tubuh. Hal ini mengakibatkan balita mudah terkena infeksi.
Terhadap fungsi kognitif terjadi pula penurunan sehingga kecerdasan
anak berkurang, kurang atensi (perhatian) dan prestasi belajar
terganggu. Hal ini akan melemahkan keadaan anak sebagai generasi
penerus.
4. Strategi penanggulangan anemia gizi meliputi strategi operasional KIE,
strategi operasioanl Suplementasi, Strategi penanggulangan anemia gizi
secara tuntas hanya mungkin kalau intervensi dilakukan terhadap sebab
langsung maupun sebab mendasar.
5. Mengingat balita adalah penentu dari tinggi rendahnya kualitas pemuda
dan bangsa kelak maka penanganan sedini mungkin sangatlah berarti
bagi kelangsungan pembangunan.
Hematologi 25
B. SARAN
1. Pola makan bergizi dengan menu seimbang dan hidup sehat sangat
berperan dalam pencegahan penyakit anemia defisiensi besi ini.
2. Diperlukan edukasi bagi wanita hamil, orang tua dan anak-anak yang
vegetarian karena dapat membahayakan keadaan janinnya bagi
kehamilan, imunitas tubuh bagi orang tua, dan mengganggu
pertumbuhan bagi anak-anak.
3. Makanlah makanan yang mengandung zat gizi yang cukup.
4. Kurangi konsumsi teh bagi penderita Anemia defisiensi besi, karena teh
mangandung tanin yang dapat mengganggu tubuh dalam mengabsorbsi
zat besi dari makanan yang dikonsumsi.
5. Sebaiknya pada waktu makan jangan minum susu, karena susu juga
dapat mengganggu absorbsi Fe, karena dalam metabolisme, Ca yang
terkandung dalam susu berkompetisi untuk masuk ke tubuh. Sehingga
kemungkinan besar Fe yang terserap oleh vili-vili di intestinum tenue
(usus halus) hanya 63%. Dan sebaiknya pada saat makan, menggunakan
air putih sebagai minumannya.
Hematologi 26
DAFTAR PUSTAKA
Bakta, I Made; Suega, Ketut; dan Tjokorda Gde Dharmayuda. 2007. Anemia
Defisiensi Besi dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II Edisi IV.
Jakarta : Penerbit Buku Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Bakta, I.M ., 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta : EGC.
Baron. 2005. Kapita selekta patologi klinik. Jakarta : EGC
Corwin, Elizabeth. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
Dunn, A., Carter, J., Carter, H., 2003. Anemia at the end of life: prevalence,
significance, and causes in patients receiving palliative care.
Medlineplus.
Guyton, Arthur C., dan John E. Hall. 2008. Buku ajar fisiologi kedokteran.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Hassan, Rusepno. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Hoffbrand, A.V., Pettit, J.E., Moss, P.A.H., 2005. Kapita Selekta Hematologi.
Jakarta : EGC.
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid II. FKUI.
Media Aesculapius
Mehta, Atul dan Victor Hoffbrand. 2007. At a Glance Hematologi edisi kedua.
Jakarta: Penerbit Erlangga
Metha, Atul B. 2006. Haematology At a Glance. Jakarta : Erlangga
Hematologi 27
Oski FA, Brugnara C, Nathan GD : A diagnostic approach to the anemic patient in
Nathan DG, Orkin SH, Ginsburg D, Look AT, ed Nathan and Oski’s
hematology of infancy and childhood, sixth ed, Saunders, Philadelphia,
2003
Schwart E. Iron Deficiency Anemia. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson
HB, Penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-16.
Philadelphia ; Saunders, 2000.
Sherwood, Lauratte. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC
Sudoyo, Aru W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Utama, Hendra. 2004. Ilmu Penyakit Dalam jilid 1,edisi 7. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Weiss, G.,Goodnough, L.T., 2005. Anemia of Chronic Disease.Nejm, 352 : 1011-
1023.
Hematologi 28
Oleh :
PRIAMBODO ILHAM A
J 5000 800 88
Tutor :
dr Sulistyani
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Hematologi 29