anemia defisiensi besi
DESCRIPTION
materi jurnalTRANSCRIPT
ANEMIA DEFISIENSI BESI: DIAGNOSIS DAN MANAJEMEN
TUJUAN
Anemia defisiensi besi (IDA) masih merupakan masalah yang banyak ditemukan di seluruh dunia. Tujuan utama dari tinjauan ini adalah untuk memberikan kritik terhadap artikel yang diterbitkan dalam 18 bulan terakhir tentang strategi untuk mendiagnosis dan manajemen terhadap masalah anemia defisiensi besi
TEMUAN BARU
Komunitas medis terus kekurangan konsensus ketika mencari pendekatan optimal untuk diagnosis dan manajemen dari IDA. Rekomendasi diagnostik saat ini berkutat seputar validitas dan pemakaian biomarker seperti konsentrasi reseptor transferrin dan lainnya, serta diagnostik berdasarkan penyebab yang menyertakan endoskopi. Manajemen IDA didasarkan pada suplementasi dikombinasikan dengan terapi etiologi yang efektif. Kemajuan dalam penyediaan preparat oral dan parenteral molekul rendah telah berkembang dan menambah modalitas terapi IDA. Sejak diperkenalkannya pemberian zat dengan molekul berukuran besar dibandingkan dengan zat bermolekul kecil secara intravena, telah banyak ditemukan kejadian efek samping yang serius berkaitan dengan pemberian preparat besi parenteral.
KESIMPULAN
Pedoman tatalaksana terbaik untuk diagnosis dan manajemen IDA seharusnya menyertakan desain algoritma yang mencakup pengukuran berbagai biomarker dan diagnostik berdasar penyebab, yang akan memberikan arah dalam manajemen IDA, dan membedakan antara IDA dan anemia penyakit kronik
KATA KUNCI
Anemia defisiensi besi, resio reseptor transferrin/ferritin, zinc protoporfirin/hem.
PENDAHULUAN
Tujuan utama dari artikel ini adalah untuk mengevaluasi criteria diagnostic yang
spesifik untuk anemia defisiensi besi (IDA). Dan mendeskripsikan strategi untuk
mengkoreksi IDA. Pendekatan untuk membedakan IDA dengan anemia penyakit
kronis (ACD) hanya akan dikemukakan dalam konteks untuk mengidentifikasi IDA.
Kendati demikian,penting untuk diselenggarakan konsensus dalam pendekatan
pragmatis diagnosis dan pengobatan pada penyakit ini.
LATAR BELAKANG
IDA merupakan kondisi kekurangan nutrisi yang paling umum dijumpai di seluruh
dunia, tetapi standard tata laksana untuk diagnosis dan modalitas pengobatan yang
dipakai secara global dipenuhi oleh inkonsistensi dan perdebatan di antara para
dokter. Pada artikel yang dibahas sebelumnya [1**] dipaparkan data evidence base
tentang insidensi dari IDA yang diasosiasikan dengan berbagai macam penyakit dan
kondisi kesehatan yang mempersulit diagnosis dari IDA. Artikel tersebut juga
memaparkan tentang berbagai penyebab IDA, parameter diagnostic dan manajemen
tatalaksana IDA. Tabel 1 merangkum penyebab fisiologis dan patologis dari IDA,
tabel 2 menggambarkan tentang tes diagnostic dari IDA. Tidak ada indicator tunggal
yang dapat digunakan untuk secara konsisten mendiagnosis defisiensi besi kecuali
dengan pemeriksaan “gold standard”, yaitu aspirasi sumsum tulang. Dengan
runtutnya perubahan status besi, kita perlu berpindah filosofi dari menggunakan uji
tunggal untuk mendiagnosis IDA ke pendekatan yang melibatkan pemeriksaan
sistematis untuk penyebab yang mendasarinya dan penggunaan berbagai macam
parameter.
INDIKATOR DIAGNOSTIK DARI ANEMIA DEFISIENSI BESI
Mengkombinasikan beberapa indikator status besi menghasilkan pemeriksaan terbaik
untuk status besi. Evaluasi dari berbagai macam indikator seperti soluble transferring
receptors (sTfRs), sTfR-ferritin index (sTfR-F), rasio zinc protoporphyrin/heme
(ZPP/H), kandungan hemoglobin retikulosit (CHr) dan endoskopi selektif akan
memberikan diagnosis yang lebih baik dan pengobatan status besi untuk mencegah
IDA.
Tabel 1. Kondisi fisiologis dan patologis yang berhubungan dengan anemia defisiensi besi
Kondisi fisiologis(pertumbuhan dan perkembangan)
Kondisi patologis
Bertambahnya penggunaan besi Inflamasi kronisKehamilan Penyakit ginjal kronisMenyusui Gagal jantung kongestifBayi Obesitas Anak dan remaja Kehilangan darah
Bertambahnya intake makanan Inflamatory bowel diseaseKehamilan Donor darahMenyusui Sampling darah yang berlebihanBayi Kehilangan darah berlebihan saat
operasi dan tanpa penggantianAnak dan remaja MetroragiaMenstruasi Medikasi
Intak makanan yang tidak mencukupi Aspirin Antagonis H2
NSAID Inhibitor pompa protonAntasid
Kondisi gastrointestinal Saluran pencernaan atas
Ulkus gaster Gastritis erosifUlkus duodenum Celiac diseaseKeganasan Ulkus peptikumEsofagitis MalabsorpsiGastrectomi Gastritis etrofi
Saluran pencernaan bawahKeganasan malabsorbsiKolitis ulseratif
Resless leg syndrome
Tabel 2 Tes diagnostik yang berhubungan dengan perubahan status besi
Indikator Normal Tahap awal kekurangan besi
Simpanan besi habis
Defisiensi eritropoiesis besi
IDA
Besi sumsum tulang
2-3 1 0-1 0 0
TIBC 330±30 330-360 360 390 410Ferritin 100±60 <25 20 10 <10Absorpsi besi
5-10 10-15 10-15 10-20 10-20
Besi plasma 115±50 <120 115 <60 <40Saturasi transferrin
35±15 30 30 <15 <15
Protoporfirin eritrosit
30 30 30 100 200
Eritrosit Normal Normal Normal Normal Mikrositik hipokromik
Reseptor transferin serum
Normal Normal-tinggi
Tinggi Sangat tinggi
Sangat tinggi
RESEPTOR TRANSFERRIN SERUM DAN LOG RESEPTOR
TRANSFERRIN SERUM/INDEX FERRITIN
sTfR menunjukkan eritropoiesis dan jumlah besi yang tersedia untuk eritropoiesis.
Nilai dari sTfR meningkat pada IDA karena proses upregulation dari sintesis reseptor
transferrin pada eritrosit, sehingga sel-sel darah dapat mengambil besi secara lebih
efisien. Tidak seperti ferritin serum,konsentrasi sTfR tidak dipengaruhi oleh proses
inflamasi. Rasio antara sTfR dan konsentrasi ferritin serum, atau index sTfR-F juga
dianggap sebagai indikator yang baik untuk mengevaluasi kekurangan zat besi.
sTfRs dapat berperan secara signifikan untuk deteksi dari IDA; tetapi, beberapa
beranggapan bahwa hal tersebut tidak lebih baik dari ferritin serum. Yang et al
membandingkan konsentrasi ferritin plasma dengan rasio sTfR-F pada bayi, anak usia
sekolah, dan wanita hamil, pada kelompok tersebut juga diukur sTfR dan C-reactive
protein (CRP). Mereka menyimpulkan bahwa status besi dapat diukur secara efektif
lewat konsentrasi plasma ferritin saja, biomarker yang lain seperti CRP juga diukur
untuk menghindari peningkatan plasma ferritin sekunder akibat dari proses inflamasi.
Chang et al membandingkan kegunaan dari serum sTfR level terhadap cadangan besi
di sumsum tulang pada identifikasi IDA. Aspirasi sumsum tulang dilakukan pada
pasien dewasa dan pemeriksaan hematologis: sTfR, ferritin serum, Hb, mean
corpuscular volume (MCV) dan mean corpuscular hemoglobin concentration
(MCHC). Nilai ambang sesuai dengan studi terdahulu yang digunakan untuk
menyngkirkan defisiensi besi termasuk nilai ferritin sekurang-kurangnya 100 mcg/l
dan sTfR/log rasio ferritin yang lebih dari 2.5. peningkatan level sTfR merupakan
penanda yang paling sensitif untuk deteksi hilangnya besi dari sumsum tulang
(100%), sedangkan rasio sTfR-F yang lebih dari 2.5 mempunyai sensitivitas yang
lebih rendah (50%). sTfR-F mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik
dibandingkan dengan nilai serum sTfR ketika membedakan antara IDA dengan ACD.
Goyal et al mengevaluasi index sTfR-F untuk menentukan prevalensi dari ACD, dan
ACD yang hadir bersamaan dengan IDA pada pasien arthritis rematik. Index sTfR-F
diketahui berguna untuk mengelompokkan pasien yang mempunyai ACD dan IDA
(80%) dan pasien yang hanya mempunyai ACD (20%). Mereka juga mengatakan
bahwa nilai sTfR-F yang kurang dari 2.2 mg/l menyingkirkan diagnosis IDA, tetapi
nilai sTfR-F yang lebih dari 2.9 mg/l mengkonfirmasi IDA. Penelitian yang hampir
sama membandingkan kegunaan dari ferritin serum, besi serum, dan cadangan besi di
sumsum tulang untuk mendiagnosis defisiensi besi pada pasien arthritis rematik.
Dengan menggunakan nilai cadangan besi sumsum tulang didapatkan, 36% pasien
dengan IDA dan 64% menunjukkan ACD. Ferritin serum dengan cadangan besi
sumsum tulang menunjukkan korelasi yang buruk pada grup IDA, namun korelasinya
baik pada grup ACD. Nilai perkiraan yang negative paling tinggi ketika nilai ambang
untuk ferritin serum kurang dari 82 mcg/l berbeda dari nilai ambang penelitian lain,
yaitu 30-70 μg/l.
RASIO ZINC PROTOPORPHYRIN/HEME
Evaluasi status besi menggunakan ZPP/H merupakan salah satu indikator diagnostik
dari IDA pada awal defisiensi besi. Rasio ZPP/H menunjukkan status besi pada
sumsum tulang saat pembentukan Hb. Ketika persediaan besi menipis, pemanfaatan
Zn meningkat, menyebabkan rasi ZPP/H yang tinggi. Das dan Philip membandingkan
pemanfaatan rasio ZPP/H sebagai indikator diagnostik IDA pada aspirasi sumsum
tulang. Bersamaan dengan Hb dan index sel darah merah, ZPP dapat dipercaya untuk
menunjukkan status besi sumsum tulang kecuali pada fase prelaten defisiensi besi;
tetapi, metode ini mempunyai kekurangan dalam kemampuannya untuk membedakan
antara ACD dan IDA. Menggunakan rasio ZPP/H untuk menentukan nilai cadangan
besi lebih dipilih daripada tindakan invasive seperti aspirasi sumsum tulang.
Penelitian lain melaporkan bahwa meningkatnya rasio ZPP/H juga lebih dipilih
daripada menggunakan penurunan konsentrasi ferritin serum, nilai MCV dan Hb
dalam mendiagnosis IDA dan penurunan zat besi preanemic. Karena zinc juga
dipengaruhi oleh proses inflamasi, interpretesi dari ZPP dapat merupakan proses yang
sulit.
HEMOGLOBIN RETIKULOSIT
CHr menilai jumlah Hb dalam retikulosit. Penilaian CHr memberikan gambaran dari
zat besi yang dapat digunakan untuk proses eritropoiesis dalam 3-4 hari, membuat
metode pengukuran ini berfungsi sebagai indikator awal dari cadangan besi. CHr
darah diketahui dapat dibandingkan dengan parameter lain untuk defisiensi zat besi
(besi serum, ferritin serum dan Hb) untuk mengkonfirmasi diagnosis defisiensi zat
besi. CHr darah juga dapat menjadi indikator awal dari respon terhadap pemberian zat
besi parenteral, CHr darah meningkat dalam 2-4 hari bila dilakuakan pengamatan
terhadap pengukuran yang runtut.
PROSEDUR DIAGNOSTIK ENDOSKOPI
Rekomendasi yang dipakai saat ini memasukkan prosedur endoskopi untuk
mengkonfirmasi IDA yang tidak dapat dijelaskan pada orang dewasa. Capruso et al
mengidentifikasi faktor risiko pada pasien IDA yang dapat menjadi indikasi untuk
dilakukan kolonoskopi atau esofagoduodenoskopi (EGD) sedini mungkin. Ferritin
serum, darah rutin, dan fecal occult blood test (FOBT) diukur. Pemeriksaan
endoskopi memberikan informasi bahwa setidaknya terdapat satu sebab untuk
terjadinya IDA yang tidak dapat dijelaskan pada 86.7% pasien; penyebab-penyebab
tersebut termasuk: perdarahan, kanker kolon, ulkus peptikum, sebab-sebab yang tidak
terkait dengan perdarahan, gastritis atrofi, Helicobacter pylori dan celiac disease.
Factor risiko yang mempengaruhi adalah usia tua (>50 tahun), MCV yang rendah,
dan jenis kelamin pria. Mereka menyimpulkan bahwa endoskopi diagnostic pada
pasien dengan IDA hendaknya dilakukan pertama kali pada pasien dengan usia tua
(>50 tahun), dengan MCV yang rendah dan Hb dibawah 12 g/dl. EGD dengan biopsy
hendaknya dilakukan pertama kali pada pasien yang lebih muda dengan IDA yang
tidak dapat dijelaskan. Namun ketidakseimbangan pasien wanita (76%) dari pria pada
penelitian tersebut menjadi pertanyaan saat kesimpulan ini didapat.
Vannella et al juga melakukan evaluasi tentang penyebab terjadinya IDA yang tidak
dapat dijelaskan pada wanita usia premenopause, yaitu sekitar 20-56 tahun, dengan
menggunakan endoskopi. IDA didefinisikan sebagai keadaan dimana Hb dibawah 12
g/dl dengan ferritin serum kurang dari 30 μg/dl, dan defisiensi zat besi dimana ferritin
serum kurang dari 30 μg/dl. Semua pasien menjalani prosedur gastroskopi termasuk
biopsy dan FOBT. Pasien (≥50 tahun), dengan FOBT positif atau riwayat keluarga
menderita kanker kolon diberikan opsi untuk menjalani kolonoskopi. Evaluasi
endoskopi memberikan informasi tentang penyebab IDA yang banyak dialami oleh
68.5% pasien. Penyebabnya antara lain malabsorpsi besi pada 65.2% pasien,
sekunder terhadap pangastritis karena H.pylori, celiac disease dan gastritis atrofi.
Hanya 3.7% pasien dengan anemia defisiensi besi mempunyai lesi berdarah, dimana
67.4% didiagnosis dengan menorrhagia. Penelitian ini memberikan hasil diagnostik
yang tinggi untuk penyebab IDA.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Ioannou et al mengidentifikasi tes diagnostik dan
tampilan klinis yang dapat digunakan sebagai dasar dilakukannya endoskopi pada
pasien dengan anemia (<13 g/dl pada wanita, <12 g/dl pada pria) menggunakan
ferritin serum (<45 ng/dl) dan saturasi transferring (<15%). Anemia ditemukan pada
35.4% dari 1798 pasien rawat inap; 74% pasien pria, 26% wanita, rata-rata umur
pasien 62 tahun, 51% kulit putih dan 49% kulit berwarna. Pasien-pasien yang
didiagnosis dengan IDA, 39% mempunyai ferritin serum yang rendah atau saturasi
transferring yang rendah dan menjalani prosedur endoskopi. Satu-satunya prediktor
yang signifikan untuk dilakukannya prosedur endoskopi adalah FOBT positif.
BIOMARKER DIAGNOSTIK BARU: HEPCIDIN
Hepcidin merupakan regulator kunci dari matabolisme besi; hepcidin mengatur
konsentrasi besi dan distribusi zat besi di jaringan dengan inhibisi absorpsi besi di
intestinum, penimbunan besi oleh makrofag dan mobilisasi besi dari simpanan besi
hati. Produksinya berkurang pada pasien dengan IDA. Dan bertambah saat terjadi
inflamasi dan kelebihan besi. Produksi yang berlebihan dari hepcidin pada respon
fase akut menyebabkan berkurangnya absorpsi besi, mobilisasi, atau keduanya, yang
mempengaruhi terhadap terjadinya anemia.
Kemma et al mengembangkan algoritma [saturasi transferring (%)-sTfR (mg/l)+CRP
(mg/l)=hepcidin] untuk memprediksi tingkat hepcidin. Hubungan yang kuat antara
prediksi nilai hepcidin dan tingkat hepcidin yang diukur secara langsung telah
diketahui. Meskipun begitu, parameter yang dimasukkan ke dalam algoritma ini
mempunyai kekurangan masing-masing; index laboratorium telah tersedeia dan lebih
murah daripada serum hepcidin. Tingkat hepcidin mempunyai potensi untuk
meningkatkan akurasi dalam membedakan IDA dan ACD.
TATALAKSANA ANEMIA DEFISIENSI BESI
Modalitas pengobatan untuk mengatasi IDA tergantung dari penyebab yang
mendasarinya. Jika penyebab dari IDA sudah diketahui, pemberian terapi besi oral
atau parenteral umum diresepkan untuk memperbaiki defisiensi zat besi.
TERAPI BESI ORAL
Terapi besi oral biasanya cukup bagi sebagian besar pasien; terapi ini efisien,
ditoleransi baik dan efektif dari segi biaya untuk menggantikan cadangan zat besi
tubuh. Empat preparat yang umum diberikan disediakan dalam tabel 3. Sejak dulu,
ferro sulfat telah digunakan untuk memperbaiki IDA karena diserap dengan baik di
saluran gastrointestinal dan mempunyai efek samping yang lebih sedikit (rasa
terbakar di ulu hati, nyeri perut, mual, diare, konstipasi). Ketika bentuk zat besi
kompleks atau khelasi digunakan, gejala gastrointestinal yang ditimbulkan minimal.
TERAPI ION ORAL MENGGUNAKAN KOMPLEKS-KELASI BESI
Pitarresi et al mendeskripsikan kegunaan dari kompleks inulin-besi. Inulin adalah
polimer fruktosa alami dengan produk fermentasi yang meingkatkan penyerapan zat
besi di usus besar. Dua turunannya dipakai, yaitu kompleks inulin-besi terkarboksilasi
dibentuk dengan suksinat anhidrat dan kompleks inulin-besi terthiolasi dibentuk
menggunakan reaksi dengan sistein. Sumber besi yang digunakan adalah ferri klorida,
bentuk zat besi dengan bioaviabilitas yang lebih baik. Penelitian tentang pelepasan
besi dilakukan dengan kedua kompleks merangsang kondisi di intestinum; besi
dilepaskan dari kompleks dengan rasio 60-70%. Mereka menyimpulkan bahwa
pemberian zat besi menggunakan kompleks inulin-ferri klorida lebih baik daripada
bentuk ferro yang lebih umum digunakan.
Tabel 3 Preparat besi oral yang umum digunakan
Garam besi Kandungan besi (%)
Dosis (mg) Dosis besi (mg)
Ferro sulfat 20 325, t.i.d 65Ferro sulfat tereksikasi
30 200, t.i.d 65
Ferro glukonat 12 325, t.i.d 36Ferro fumarate 33 325, t.i.d 106
Mimura et al membandingkan penggunaan dari kompleks besi yang lain, khelasi ferro
glisinat dengan ferro sulfat untuk terapi IDA pada pasien postgastrektomi. Indikator
standar diamati (Hb, MCH, MCHC, besi serum, ferritin serum, transferring, dan
saturasi transferring) dan dilakukan EGD. Pasien mendapatkan ferro sulfat 400
mg/hari atau khelasi ferro glisinat 250 mg/hari. Setelah 2 bulan, tingkat transferring
menurun secara nyata pada pasien yang mendapat ferro sulfat. Hasil penelitian
menyatakan bahwa ferro sulfat lebih efektif untuk memperbaiki status defisiensi besi
daripada khelasi ferro glisinat, hal ini berlawanan dengan penelitian yang dilakukan
sebelumnya. Beberapa hasil yang tidak menguntungkan dihubungkan dengan
menurunya absorpsi besi pada pasien dengan gastritis alkali. Faktor lainnya yang ikut
berperan adalah infeksi H. pylori. Infeksi H. pylori merupakan faktor komorbid yang
umum ditemukan pada pasien gastrektomi, pasien-pasien tersebut mempunyai
penurunan absorpsi besi. Keberadaan H. pylori atau gastritis alkali tidak dijelaskan
dalam penelitian ini.
RESPON TERHADAP TERAPI ORAL
Terapi terhadap IDA seharusnya menggunakan strategi untuk menilai respon terhadap
terapi pemberian besi. Sejak dulu, peningkatan 2 g/dl dari Hb dianggap sebagai
respon suplementasi zat besi yang baik; tetapi parameter yang lain mungkin leibh
dapat dipercaya. Lin et al mengukur tingkat sTfR untuk mengukur respond an efikasi
dari pemberian ferro L-treonat oral selama 12 minggu pada pasien IDA atau
defisiensi besi eritropoiesis (IDE). Status besi diukur pada wanita (18-45 tahun)
menggunakan ferritin serum, ZPP dan Hb pada minggu 0, 3, 6 dan 12. kelompok IDE
dan IDA mendapatkan suplementasi ferro L-treonat selama 12 minggu (14 dan 28
mg/hari, secara teratur). Perubahan yang nyata terjadi pada tingkat sTfR pada semua
pengukuran yang dilakukan di kedua kelompok; tingkat sTfR normal pada minggu ke
12. Hubungan antara konsentrasi sTfR terhadap idikator lain juga ditemukan, tetapi
ZPP merupakan indikator yang terbaik. Temuan menguntungkan lain dari respon
suplementasi besi adalah rasio sTfR-F menurun lebih nyata selama terapi
suplementasi besi.
Saat IDA refrakter tidak responsif terhadap terapi besi oral, infeksi H. pylori dan
gastritis kronik sering dijadikan alasan. Chen dan Luo menilai efek dari terapi H.
pylori pada parameter eritrositik dan besi di pasien gastritis H. pylori dengan IDA.
Pasien mendapatkan ferro suksinat dan pengobatan untuk H. pylori atau hanya
suplemen zat besi. Perubahan pada Hb, MCH, besi serum, dan ferritin serum
dibandingkan antar kelompok. Ferro suksinat (200 mg) dan asam askorbat (100 mg)
diberikan tiga kali setiap hari. Pengobatan untuk H. pylori melibatkan tiga obat: sitrat
deuteron-bismut, amoksisilin, dan metroidazole selama 2 minggu. Setelah H. pylori
hilang, nilai Hb, besi serum, dan ferritin serum meingkat secara nyata sampai nilai
normal. Eradikasi dari H. pylori dapat memaksimalkan efek terapi suplementasi besi
oral pada IDA.
TERAPI BESI PARENTERAL
Terapi besi parenteral dibutuhkan pada pasien yang intoleran atau tidak responsif
terhadap suplementasi besi oral. Sejak dulu, terapi besi parenteral sudah digunakan
dengan pengawasan karena potensi terjadinya reaksi anafilaktik. Meskipun telah
diperkenalkan preparat besi intravena (i.v) yang baru dengan tingkat keamanan yang
telah ditingkatkan, para dokter tampak ragu untuk memberikan besi i.v. tersedia
empat preparat besi parenteral (tabel 4). Dua diantaranya adalah besi dekstran yang
berbeda besar molekul dan dua yang lain adalah preparat garam besi, ferri glukonat
dan besi sukrosa. Preparat besi i.v, kompleks lain, ferri karboksimaltosa (i.v-FeCarb),
adalah besi i.v nondextran yang hanya boleh dipakai diluar Amerika Serikat.
Tabel 4 Preparat besi parenteral
Besi dextran molekul kecil
Besi sukrosa Ferri glukonat Besi dextran molekul besar
Dibutuhkan dosis percobaan
Ya Tidak Tidak Ya
Besi per vial (mg/ml)
50 20 12.5 50
Berat molekul (Da)
165000 34-60000 289-440000 265000
TERAPI BESI PARENTERAL DIBANDINGKAN DENGAN TERAPI BESI
ORAL
Van Wyck et al membandingkan penggunaan i.v-FeCarb dengan besi oral untuk
pengobatan pasien anemia wanita postpartum. Pasien dikelompokkan berdasarkan
nilai Hb, perlunya tindakan seksio cesaria, saturasi transferin lebih dari 20% dan nilai
ferritin serum paling rendah 50 ng/ml. Dilakukan pengacakan pada peserta penelitian
untuk kemudian diberikan iv-FeCarb, 1000 mg atau kurang dalam 15 menit, setiap
minggu sampai penggantian besi selesai, atau ferro sulfat oral, 325 mg (65 mg besi)
tiga kali sehari, 1 jam sebelum makan selama 42 hari. Keberhasilan terapi adalah
peningkatan Hb setidaknya 2 g/dl setelah terapi. Ketaatan pengobatan paling besar
pada kelompok pasien yang mendapatkan i.v-FeCarb, dan rata-rata waktu untuk
mencapai ambang nilai keberhasilan terapi lebih pendek daripada kelompok pasien
yang menerima terapi besi oral (7 banding 14 hari). Proporsi pasien dengan anemia
yang terkoreksi leibh tinggi pada kelompok yang mendapatkan besi i.v. ferritin serum
dan saturasi transferring meningkat secara nyata setelah 1 minggu pada pemberian
i.v-FeCarb dibandingkan dengan kelompok terapi besi oral. Penanganan yang lebih
awal dengan terapi pemberian besi leibh memberikan hasil, dan meningkatkan
kualitas hidup dari wanita dengan anemia postpartum.
Breyman et al juga membandingkan i.v-FeCarb dengan ferro sulfat oral pada
pengobatan IDA postpartum dengan mengukur efek pemberian preparat terhadap
peningkatan Hb, status besi, serta keamanan dan toleransi terhadap ibu dan anak yang
sedang disusui. Pasien menerima i.v-FeCarb (dosis maksimum 1000 mg dalam 15
menit) atau ferro sulfat oral (100 mg dua kali sehari selama 12 minggu). Indikator
utama dalam mengukur keberhasilan terapi adalah menilai perubahan nilai Hb,
ferritin serum, dan saturasi transferrin dari awal terapi sampai minggu ke 12. Nilai Hb
pada kedua kelompok penelitian meningkat dalam waktu 12 minggu. Peningkatan
rata-rata pada pasien yang mendapatkan i.v-FeCarb adalah 13.04 g/dl dibandingkan
dengan 12.89 g/dl pada kelompok pasien yang mendapatkan ferro sulfat, walaupun
secara statistic tidak signifikan. Berbeda dengan hasil tadi, perubahan nilai ferritin
serum pada kelompok i.v-FeCarb dibandingkan dengan kelompok ferro sulfat
mempunyai perbedaan yang signifikan. Saturasi transferring bertambah pada kedua
kelompok dengan nilai rata-rata maksimal dicapai pada minggu ke-4, namun terdapat
peningkatan yang lebih signifikan pada rasio respon untuk ferritin serum dan saturasi
transferrin pada kelompok yang mendapatkan i.v-FeCarb. Kedua alur pengobatan
ditoleransi baik dan tidak terdapat masalah keamanan pengobatan. Besi yang
dikandung dalam ASI lebih tinggi secara signifikan pada ibu yang mendapatkan
FeCarb pada 48 jam terapi. Terapi FeCarb parenteral dan ferro sulfat oral efektif
diberikan kepada pasien dengan anemia postpartum; peningkatan Hb, ferritin serum,
dan saturasi transferrin lebih tinggi secara signifikan pada pemberian i.v-FeCarb.
Penggantian secara cepat dari cadangan besi setelah pemberian i.v-FeCarb
merupakan keuntungan yang tidak dimiliki bila dipilih terapi suplementasi besi oral.
Meskipun penemuan-penemuan ini memberikan harapan, tetapi harus diingat bahwa
ijin pemakaian i.v-FeCarb oleh badan pengawas obat dan makanan Amerika Serikat
masih ditangguhkan.
BESI SUKROSA PARENTERAL
Besi sukrosa intravena telah disetujui untuk pengobatan anemia yang berhubungan
dengan gagal ginjal kronik (GGK). Tetapi, data tentang penggunaan besi sukrosa i.v
infus pada pasien tanpa GGK masih sangat minim. Wall dan Pauly berusaha untuk
meneleiti kemanjuran dan keamanan dari pemberian besi sukrosa i.v pada pasien
dengan IDA dan tidak mendapatkan terapi eritropoietin, produk darah, dan suplemen
besi oral maupun menderita GGK. Besi yang dibutuhkan dihitung dan dosisnya
dibagi (250 mg, maksimal 500 mg). terapi diberikan setiap hari sampai dosis total
diberikan. Mereka mengukur tingkat Hb sebagai indikator kemanjuran terapi pada
hari 1, 10, 21 dan setelah infus terakhir; saturasi transferrin dan ferritin serum
diperiksa pada hari 10 dan 14. Hari ke-13 nilai Hb rata-rata setelah infus terakhir
meningkat (11±1.2 mg/dl) dibandingkan dengan nilai Hb sebelum terapi (9.45±0.8
mg/dl). Rata-rata nilai saturasi transferrin meningkat dari < 11% sampai dengan >
20% tetapi data yang tersedia hanya dari tiga pasien. Walaupun kejadian efek
samping obat tidak terjadi setelah infus, kemanjuran terapi belum teruji karena
masalah besar sampel.
MANAJEMEN STRATEGI: ALGORITMA SEDERHANA ATAU SULIT
Tujuan utama dari manajemen anemia adalah mempertahankan keamanan,
mengkoreksi anemia, dan mempertahankan parameter status besi dalam batas yang
direkomendasikan serta meningkatkan kualitas hidup dan ketahanan pasien. Untuk
membantu mencapai tujuan tersebut, para dokter harus bergerak dalam satu filosofi
pengobatan dan mengimplementasikan strategi pengobatan yang lebih seimbang,
serta sistematis dan dapat diaplikasikan dalam berbagai situasi berbeda. Panduan tata
laksana yang nyata untuk diagnostik dan terapi dari IDA pada populasi risiko masih
kurang seragam karena bertambahnya prevalensi berbagai macam komorbid pada
pasien anemia. Standar praktek terbaru harus mencakup rekomendasi spesifik untuk
diagnosis yang juga termasuk strategi manajemen berdasar risiko yang diketahui
untuk IDA.
Gasche et al menggunakan pendekatan sistematik untuk mengembangkan panduan
diagnosis dan manajemen defisiensi besi dan IDA pada pasien dengan inflammatoru
bowel disease (IBD). Para gastroenterologis menilai literatur tersebut dan meninjau
tentang: evaluasi anemia (definisi anemia, parameter diagnostik, defisiensi besi dan
ACD), pemicu untuk terapi anemia (inisiasi terapi, inisiasi suplementasi besi, inisiasi
terapi eritropoietin, inisiasi suplementasi vitamin dan trasnfusi darah), target terapi
besi (tujuan terapi, respon terhadap terapi, dan evaluasi terapi), dan pengobatan
anemia (suplementasi besi, agen eritropoietik, dan terapi IBD). Artikel ini
menjelaskan tentang rekomendasi mengenai alat diagnostik IDA; mengidentifikasi
pemicu untuk dilakukannya intervensi medis, tujuan terapi dan modalitas terapi. Hal
ini dapat digunakan sebagai model panduan tatalaksana yang digunakan secara
universal dimana algoritma manajemen dan diagnostik terbaru dipaparkan.
Menetapkan penyebab sebagai langkah pertama dalam algoritma merupakan langkah
yang penting dan akan mempengaruhi komponen algorima yang lain seperti
parameter kunci, pemeriksaan perkembangan pasien seperti sTfR, indeks sTfR-/F,
ZPP/H, tes untuk H. pylori, rekomendasi untuk endoskopi dan modalitas intervensi
yang lain. Algoritma yang lebih definitif juga harus mengikutsertakan penilaian
tentang inflamasi kronik dengan melihat CRP, hepcidin atau kemungkinan
menggunakan nilai prediktif hepcidin lewat perhitungan formula hepcidin.
Memasukkan lebih banyak komponen diagnostik kedalam algoritma yang dapat
digunakan untuk evaluasi defisiensi besi tahap awal dapat digunakan untuk mencegah
progresi dari IDA.
KESIMPULAN
Pada 2008, prevalensi IDA masih merupakan defisiensi nutrisi yang paling umum
dijumpai di seluruh dunia dan berdampak buruk kepada kesehatan. Kita harus
bergerak dalam satu ideologi untuk mempelajari bagaimana menilai secara lebih baik
pada populasi dengan faktor risiko untuk perkembangan menjadi defisiensi besi tanpa
memperhatikan kondisi kesehatannya. Pedoman tata laksana yang berdasar bukti
harus mencakup pengukuran diagnostik dan mengidentifikasi perubahan awal pada
status besi untuk menghindari progresi menjadi IDA, dan manajemen spesifik yang
mencakup strategi pengobatan dengan tetap menilai respon terapi sepanjang
pengobatan.