anemia defisiensi besi

26
ANEMIA DEFISIENSI BESI: DIAGNOSIS DAN MANAJEMEN TUJUAN Anemia defisiensi besi (IDA) masih merupakan masalah yang banyak ditemukan di seluruh dunia. Tujuan utama dari tinjauan ini adalah untuk memberikan kritik terhadap artikel yang diterbitkan dalam 18 bulan terakhir tentang strategi untuk mendiagnosis dan manajemen terhadap masalah anemia defisiensi besi TEMUAN BARU Komunitas medis terus kekurangan konsensus ketika mencari pendekatan optimal untuk diagnosis dan manajemen dari IDA. Rekomendasi diagnostik saat ini berkutat seputar validitas dan pemakaian biomarker seperti konsentrasi reseptor transferrin dan lainnya, serta diagnostik berdasarkan penyebab yang menyertakan endoskopi. Manajemen IDA didasarkan pada suplementasi dikombinasikan dengan terapi etiologi yang efektif. Kemajuan dalam penyediaan preparat oral dan parenteral molekul rendah telah berkembang dan menambah modalitas terapi IDA. Sejak diperkenalkannya pemberian zat dengan molekul berukuran besar dibandingkan dengan zat bermolekul kecil secara intravena, telah banyak ditemukan kejadian efek samping yang serius berkaitan dengan pemberian preparat besi parenteral. KESIMPULAN Pedoman tatalaksana terbaik untuk diagnosis dan manajemen IDA seharusnya menyertakan desain algoritma yang mencakup pengukuran berbagai biomarker dan diagnostik berdasar

Upload: shila-lupiyatama

Post on 26-Oct-2015

113 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

materi jurnal

TRANSCRIPT

Page 1: Anemia Defisiensi Besi

ANEMIA DEFISIENSI BESI: DIAGNOSIS DAN MANAJEMEN

TUJUAN

Anemia defisiensi besi (IDA) masih merupakan masalah yang banyak ditemukan di seluruh dunia. Tujuan utama dari tinjauan ini adalah untuk memberikan kritik terhadap artikel yang diterbitkan dalam 18 bulan terakhir tentang strategi untuk mendiagnosis dan manajemen terhadap masalah anemia defisiensi besi

TEMUAN BARU

Komunitas medis terus kekurangan konsensus ketika mencari pendekatan optimal untuk diagnosis dan manajemen dari IDA. Rekomendasi diagnostik saat ini berkutat seputar validitas dan pemakaian biomarker seperti konsentrasi reseptor transferrin dan lainnya, serta diagnostik berdasarkan penyebab yang menyertakan endoskopi. Manajemen IDA didasarkan pada suplementasi dikombinasikan dengan terapi etiologi yang efektif. Kemajuan dalam penyediaan preparat oral dan parenteral molekul rendah telah berkembang dan menambah modalitas terapi IDA. Sejak diperkenalkannya pemberian zat dengan molekul berukuran besar dibandingkan dengan zat bermolekul kecil secara intravena, telah banyak ditemukan kejadian efek samping yang serius berkaitan dengan pemberian preparat besi parenteral.

KESIMPULAN

Pedoman tatalaksana terbaik untuk diagnosis dan manajemen IDA seharusnya menyertakan desain algoritma yang mencakup pengukuran berbagai biomarker dan diagnostik berdasar penyebab, yang akan memberikan arah dalam manajemen IDA, dan membedakan antara IDA dan anemia penyakit kronik

KATA KUNCI

Anemia defisiensi besi, resio reseptor transferrin/ferritin, zinc protoporfirin/hem.

Page 2: Anemia Defisiensi Besi

PENDAHULUAN

Tujuan utama dari artikel ini adalah untuk mengevaluasi criteria diagnostic yang

spesifik untuk anemia defisiensi besi (IDA). Dan mendeskripsikan strategi untuk

mengkoreksi IDA. Pendekatan untuk membedakan IDA dengan anemia penyakit

kronis (ACD) hanya akan dikemukakan dalam konteks untuk mengidentifikasi IDA.

Kendati demikian,penting untuk diselenggarakan konsensus dalam pendekatan

pragmatis diagnosis dan pengobatan pada penyakit ini.

LATAR BELAKANG

IDA merupakan kondisi kekurangan nutrisi yang paling umum dijumpai di seluruh

dunia, tetapi standard tata laksana untuk diagnosis dan modalitas pengobatan yang

dipakai secara global dipenuhi oleh inkonsistensi dan perdebatan di antara para

dokter. Pada artikel yang dibahas sebelumnya [1**] dipaparkan data evidence base

tentang insidensi dari IDA yang diasosiasikan dengan berbagai macam penyakit dan

kondisi kesehatan yang mempersulit diagnosis dari IDA. Artikel tersebut juga

memaparkan tentang berbagai penyebab IDA, parameter diagnostic dan manajemen

tatalaksana IDA. Tabel 1 merangkum penyebab fisiologis dan patologis dari IDA,

tabel 2 menggambarkan tentang tes diagnostic dari IDA. Tidak ada indicator tunggal

yang dapat digunakan untuk secara konsisten mendiagnosis defisiensi besi kecuali

dengan pemeriksaan “gold standard”, yaitu aspirasi sumsum tulang. Dengan

runtutnya perubahan status besi, kita perlu berpindah filosofi dari menggunakan uji

tunggal untuk mendiagnosis IDA ke pendekatan yang melibatkan pemeriksaan

sistematis untuk penyebab yang mendasarinya dan penggunaan berbagai macam

parameter.

Page 3: Anemia Defisiensi Besi

INDIKATOR DIAGNOSTIK DARI ANEMIA DEFISIENSI BESI

Mengkombinasikan beberapa indikator status besi menghasilkan pemeriksaan terbaik

untuk status besi. Evaluasi dari berbagai macam indikator seperti soluble transferring

receptors (sTfRs), sTfR-ferritin index (sTfR-F), rasio zinc protoporphyrin/heme

(ZPP/H), kandungan hemoglobin retikulosit (CHr) dan endoskopi selektif akan

memberikan diagnosis yang lebih baik dan pengobatan status besi untuk mencegah

IDA.

Tabel 1. Kondisi fisiologis dan patologis yang berhubungan dengan anemia defisiensi besi

Kondisi fisiologis(pertumbuhan dan perkembangan)

Kondisi patologis

Bertambahnya penggunaan besi Inflamasi kronisKehamilan Penyakit ginjal kronisMenyusui Gagal jantung kongestifBayi Obesitas Anak dan remaja Kehilangan darah

Bertambahnya intake makanan Inflamatory bowel diseaseKehamilan Donor darahMenyusui Sampling darah yang berlebihanBayi Kehilangan darah berlebihan saat

operasi dan tanpa penggantianAnak dan remaja MetroragiaMenstruasi Medikasi

Intak makanan yang tidak mencukupi Aspirin Antagonis H2

NSAID Inhibitor pompa protonAntasid

Kondisi gastrointestinal Saluran pencernaan atas

Ulkus gaster Gastritis erosifUlkus duodenum Celiac diseaseKeganasan Ulkus peptikumEsofagitis MalabsorpsiGastrectomi Gastritis etrofi

Saluran pencernaan bawahKeganasan malabsorbsiKolitis ulseratif

Resless leg syndrome

Page 4: Anemia Defisiensi Besi

Tabel 2 Tes diagnostik yang berhubungan dengan perubahan status besi

Indikator Normal Tahap awal kekurangan besi

Simpanan besi habis

Defisiensi eritropoiesis besi

IDA

Besi sumsum tulang

2-3 1 0-1 0 0

TIBC 330±30 330-360 360 390 410Ferritin 100±60 <25 20 10 <10Absorpsi besi

5-10 10-15 10-15 10-20 10-20

Besi plasma 115±50 <120 115 <60 <40Saturasi transferrin

35±15 30 30 <15 <15

Protoporfirin eritrosit

30 30 30 100 200

Eritrosit Normal Normal Normal Normal Mikrositik hipokromik

Reseptor transferin serum

Normal Normal-tinggi

Tinggi Sangat tinggi

Sangat tinggi

RESEPTOR TRANSFERRIN SERUM DAN LOG RESEPTOR

TRANSFERRIN SERUM/INDEX FERRITIN

sTfR menunjukkan eritropoiesis dan jumlah besi yang tersedia untuk eritropoiesis.

Nilai dari sTfR meningkat pada IDA karena proses upregulation dari sintesis reseptor

transferrin pada eritrosit, sehingga sel-sel darah dapat mengambil besi secara lebih

efisien. Tidak seperti ferritin serum,konsentrasi sTfR tidak dipengaruhi oleh proses

inflamasi. Rasio antara sTfR dan konsentrasi ferritin serum, atau index sTfR-F juga

dianggap sebagai indikator yang baik untuk mengevaluasi kekurangan zat besi.

sTfRs dapat berperan secara signifikan untuk deteksi dari IDA; tetapi, beberapa

beranggapan bahwa hal tersebut tidak lebih baik dari ferritin serum. Yang et al

Page 5: Anemia Defisiensi Besi

membandingkan konsentrasi ferritin plasma dengan rasio sTfR-F pada bayi, anak usia

sekolah, dan wanita hamil, pada kelompok tersebut juga diukur sTfR dan C-reactive

protein (CRP). Mereka menyimpulkan bahwa status besi dapat diukur secara efektif

lewat konsentrasi plasma ferritin saja, biomarker yang lain seperti CRP juga diukur

untuk menghindari peningkatan plasma ferritin sekunder akibat dari proses inflamasi.

Chang et al membandingkan kegunaan dari serum sTfR level terhadap cadangan besi

di sumsum tulang pada identifikasi IDA. Aspirasi sumsum tulang dilakukan pada

pasien dewasa dan pemeriksaan hematologis: sTfR, ferritin serum, Hb, mean

corpuscular volume (MCV) dan mean corpuscular hemoglobin concentration

(MCHC). Nilai ambang sesuai dengan studi terdahulu yang digunakan untuk

menyngkirkan defisiensi besi termasuk nilai ferritin sekurang-kurangnya 100 mcg/l

dan sTfR/log rasio ferritin yang lebih dari 2.5. peningkatan level sTfR merupakan

penanda yang paling sensitif untuk deteksi hilangnya besi dari sumsum tulang

(100%), sedangkan rasio sTfR-F yang lebih dari 2.5 mempunyai sensitivitas yang

lebih rendah (50%). sTfR-F mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik

dibandingkan dengan nilai serum sTfR ketika membedakan antara IDA dengan ACD.

Goyal et al mengevaluasi index sTfR-F untuk menentukan prevalensi dari ACD, dan

ACD yang hadir bersamaan dengan IDA pada pasien arthritis rematik. Index sTfR-F

diketahui berguna untuk mengelompokkan pasien yang mempunyai ACD dan IDA

(80%) dan pasien yang hanya mempunyai ACD (20%). Mereka juga mengatakan

bahwa nilai sTfR-F yang kurang dari 2.2 mg/l menyingkirkan diagnosis IDA, tetapi

nilai sTfR-F yang lebih dari 2.9 mg/l mengkonfirmasi IDA. Penelitian yang hampir

sama membandingkan kegunaan dari ferritin serum, besi serum, dan cadangan besi di

sumsum tulang untuk mendiagnosis defisiensi besi pada pasien arthritis rematik.

Dengan menggunakan nilai cadangan besi sumsum tulang didapatkan, 36% pasien

dengan IDA dan 64% menunjukkan ACD. Ferritin serum dengan cadangan besi

sumsum tulang menunjukkan korelasi yang buruk pada grup IDA, namun korelasinya

baik pada grup ACD. Nilai perkiraan yang negative paling tinggi ketika nilai ambang

Page 6: Anemia Defisiensi Besi

untuk ferritin serum kurang dari 82 mcg/l berbeda dari nilai ambang penelitian lain,

yaitu 30-70 μg/l.

RASIO ZINC PROTOPORPHYRIN/HEME

Evaluasi status besi menggunakan ZPP/H merupakan salah satu indikator diagnostik

dari IDA pada awal defisiensi besi. Rasio ZPP/H menunjukkan status besi pada

sumsum tulang saat pembentukan Hb. Ketika persediaan besi menipis, pemanfaatan

Zn meningkat, menyebabkan rasi ZPP/H yang tinggi. Das dan Philip membandingkan

pemanfaatan rasio ZPP/H sebagai indikator diagnostik IDA pada aspirasi sumsum

tulang. Bersamaan dengan Hb dan index sel darah merah, ZPP dapat dipercaya untuk

menunjukkan status besi sumsum tulang kecuali pada fase prelaten defisiensi besi;

tetapi, metode ini mempunyai kekurangan dalam kemampuannya untuk membedakan

antara ACD dan IDA. Menggunakan rasio ZPP/H untuk menentukan nilai cadangan

besi lebih dipilih daripada tindakan invasive seperti aspirasi sumsum tulang.

Penelitian lain melaporkan bahwa meningkatnya rasio ZPP/H juga lebih dipilih

daripada menggunakan penurunan konsentrasi ferritin serum, nilai MCV dan Hb

dalam mendiagnosis IDA dan penurunan zat besi preanemic. Karena zinc juga

dipengaruhi oleh proses inflamasi, interpretesi dari ZPP dapat merupakan proses yang

sulit.

HEMOGLOBIN RETIKULOSIT

CHr menilai jumlah Hb dalam retikulosit. Penilaian CHr memberikan gambaran dari

zat besi yang dapat digunakan untuk proses eritropoiesis dalam 3-4 hari, membuat

metode pengukuran ini berfungsi sebagai indikator awal dari cadangan besi. CHr

darah diketahui dapat dibandingkan dengan parameter lain untuk defisiensi zat besi

(besi serum, ferritin serum dan Hb) untuk mengkonfirmasi diagnosis defisiensi zat

Page 7: Anemia Defisiensi Besi

besi. CHr darah juga dapat menjadi indikator awal dari respon terhadap pemberian zat

besi parenteral, CHr darah meningkat dalam 2-4 hari bila dilakuakan pengamatan

terhadap pengukuran yang runtut.

PROSEDUR DIAGNOSTIK ENDOSKOPI

Rekomendasi yang dipakai saat ini memasukkan prosedur endoskopi untuk

mengkonfirmasi IDA yang tidak dapat dijelaskan pada orang dewasa. Capruso et al

mengidentifikasi faktor risiko pada pasien IDA yang dapat menjadi indikasi untuk

dilakukan kolonoskopi atau esofagoduodenoskopi (EGD) sedini mungkin. Ferritin

serum, darah rutin, dan fecal occult blood test (FOBT) diukur. Pemeriksaan

endoskopi memberikan informasi bahwa setidaknya terdapat satu sebab untuk

terjadinya IDA yang tidak dapat dijelaskan pada 86.7% pasien; penyebab-penyebab

tersebut termasuk: perdarahan, kanker kolon, ulkus peptikum, sebab-sebab yang tidak

terkait dengan perdarahan, gastritis atrofi, Helicobacter pylori dan celiac disease.

Factor risiko yang mempengaruhi adalah usia tua (>50 tahun), MCV yang rendah,

dan jenis kelamin pria. Mereka menyimpulkan bahwa endoskopi diagnostic pada

pasien dengan IDA hendaknya dilakukan pertama kali pada pasien dengan usia tua

(>50 tahun), dengan MCV yang rendah dan Hb dibawah 12 g/dl. EGD dengan biopsy

hendaknya dilakukan pertama kali pada pasien yang lebih muda dengan IDA yang

tidak dapat dijelaskan. Namun ketidakseimbangan pasien wanita (76%) dari pria pada

penelitian tersebut menjadi pertanyaan saat kesimpulan ini didapat.

Vannella et al juga melakukan evaluasi tentang penyebab terjadinya IDA yang tidak

dapat dijelaskan pada wanita usia premenopause, yaitu sekitar 20-56 tahun, dengan

menggunakan endoskopi. IDA didefinisikan sebagai keadaan dimana Hb dibawah 12

g/dl dengan ferritin serum kurang dari 30 μg/dl, dan defisiensi zat besi dimana ferritin

serum kurang dari 30 μg/dl. Semua pasien menjalani prosedur gastroskopi termasuk

biopsy dan FOBT. Pasien (≥50 tahun), dengan FOBT positif atau riwayat keluarga

Page 8: Anemia Defisiensi Besi

menderita kanker kolon diberikan opsi untuk menjalani kolonoskopi. Evaluasi

endoskopi memberikan informasi tentang penyebab IDA yang banyak dialami oleh

68.5% pasien. Penyebabnya antara lain malabsorpsi besi pada 65.2% pasien,

sekunder terhadap pangastritis karena H.pylori, celiac disease dan gastritis atrofi.

Hanya 3.7% pasien dengan anemia defisiensi besi mempunyai lesi berdarah, dimana

67.4% didiagnosis dengan menorrhagia. Penelitian ini memberikan hasil diagnostik

yang tinggi untuk penyebab IDA.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Ioannou et al mengidentifikasi tes diagnostik dan

tampilan klinis yang dapat digunakan sebagai dasar dilakukannya endoskopi pada

pasien dengan anemia (<13 g/dl pada wanita, <12 g/dl pada pria) menggunakan

ferritin serum (<45 ng/dl) dan saturasi transferring (<15%). Anemia ditemukan pada

35.4% dari 1798 pasien rawat inap; 74% pasien pria, 26% wanita, rata-rata umur

pasien 62 tahun, 51% kulit putih dan 49% kulit berwarna. Pasien-pasien yang

didiagnosis dengan IDA, 39% mempunyai ferritin serum yang rendah atau saturasi

transferring yang rendah dan menjalani prosedur endoskopi. Satu-satunya prediktor

yang signifikan untuk dilakukannya prosedur endoskopi adalah FOBT positif.

BIOMARKER DIAGNOSTIK BARU: HEPCIDIN

Hepcidin merupakan regulator kunci dari matabolisme besi; hepcidin mengatur

konsentrasi besi dan distribusi zat besi di jaringan dengan inhibisi absorpsi besi di

intestinum, penimbunan besi oleh makrofag dan mobilisasi besi dari simpanan besi

hati. Produksinya berkurang pada pasien dengan IDA. Dan bertambah saat terjadi

inflamasi dan kelebihan besi. Produksi yang berlebihan dari hepcidin pada respon

fase akut menyebabkan berkurangnya absorpsi besi, mobilisasi, atau keduanya, yang

mempengaruhi terhadap terjadinya anemia.

Page 9: Anemia Defisiensi Besi

Kemma et al mengembangkan algoritma [saturasi transferring (%)-sTfR (mg/l)+CRP

(mg/l)=hepcidin] untuk memprediksi tingkat hepcidin. Hubungan yang kuat antara

prediksi nilai hepcidin dan tingkat hepcidin yang diukur secara langsung telah

diketahui. Meskipun begitu, parameter yang dimasukkan ke dalam algoritma ini

mempunyai kekurangan masing-masing; index laboratorium telah tersedeia dan lebih

murah daripada serum hepcidin. Tingkat hepcidin mempunyai potensi untuk

meningkatkan akurasi dalam membedakan IDA dan ACD.

TATALAKSANA ANEMIA DEFISIENSI BESI

Modalitas pengobatan untuk mengatasi IDA tergantung dari penyebab yang

mendasarinya. Jika penyebab dari IDA sudah diketahui, pemberian terapi besi oral

atau parenteral umum diresepkan untuk memperbaiki defisiensi zat besi.

TERAPI BESI ORAL

Terapi besi oral biasanya cukup bagi sebagian besar pasien; terapi ini efisien,

ditoleransi baik dan efektif dari segi biaya untuk menggantikan cadangan zat besi

tubuh. Empat preparat yang umum diberikan disediakan dalam tabel 3. Sejak dulu,

ferro sulfat telah digunakan untuk memperbaiki IDA karena diserap dengan baik di

saluran gastrointestinal dan mempunyai efek samping yang lebih sedikit (rasa

terbakar di ulu hati, nyeri perut, mual, diare, konstipasi). Ketika bentuk zat besi

kompleks atau khelasi digunakan, gejala gastrointestinal yang ditimbulkan minimal.

Page 10: Anemia Defisiensi Besi

TERAPI ION ORAL MENGGUNAKAN KOMPLEKS-KELASI BESI

Pitarresi et al mendeskripsikan kegunaan dari kompleks inulin-besi. Inulin adalah

polimer fruktosa alami dengan produk fermentasi yang meingkatkan penyerapan zat

besi di usus besar. Dua turunannya dipakai, yaitu kompleks inulin-besi terkarboksilasi

dibentuk dengan suksinat anhidrat dan kompleks inulin-besi terthiolasi dibentuk

menggunakan reaksi dengan sistein. Sumber besi yang digunakan adalah ferri klorida,

bentuk zat besi dengan bioaviabilitas yang lebih baik. Penelitian tentang pelepasan

besi dilakukan dengan kedua kompleks merangsang kondisi di intestinum; besi

dilepaskan dari kompleks dengan rasio 60-70%. Mereka menyimpulkan bahwa

pemberian zat besi menggunakan kompleks inulin-ferri klorida lebih baik daripada

bentuk ferro yang lebih umum digunakan.

Tabel 3 Preparat besi oral yang umum digunakan

Garam besi Kandungan besi (%)

Dosis (mg) Dosis besi (mg)

Ferro sulfat 20 325, t.i.d 65Ferro sulfat tereksikasi

30 200, t.i.d 65

Ferro glukonat 12 325, t.i.d 36Ferro fumarate 33 325, t.i.d 106

Mimura et al membandingkan penggunaan dari kompleks besi yang lain, khelasi ferro

glisinat dengan ferro sulfat untuk terapi IDA pada pasien postgastrektomi. Indikator

standar diamati (Hb, MCH, MCHC, besi serum, ferritin serum, transferring, dan

saturasi transferring) dan dilakukan EGD. Pasien mendapatkan ferro sulfat 400

mg/hari atau khelasi ferro glisinat 250 mg/hari. Setelah 2 bulan, tingkat transferring

menurun secara nyata pada pasien yang mendapat ferro sulfat. Hasil penelitian

menyatakan bahwa ferro sulfat lebih efektif untuk memperbaiki status defisiensi besi

daripada khelasi ferro glisinat, hal ini berlawanan dengan penelitian yang dilakukan

Page 11: Anemia Defisiensi Besi

sebelumnya. Beberapa hasil yang tidak menguntungkan dihubungkan dengan

menurunya absorpsi besi pada pasien dengan gastritis alkali. Faktor lainnya yang ikut

berperan adalah infeksi H. pylori. Infeksi H. pylori merupakan faktor komorbid yang

umum ditemukan pada pasien gastrektomi, pasien-pasien tersebut mempunyai

penurunan absorpsi besi. Keberadaan H. pylori atau gastritis alkali tidak dijelaskan

dalam penelitian ini.

RESPON TERHADAP TERAPI ORAL

Terapi terhadap IDA seharusnya menggunakan strategi untuk menilai respon terhadap

terapi pemberian besi. Sejak dulu, peningkatan 2 g/dl dari Hb dianggap sebagai

respon suplementasi zat besi yang baik; tetapi parameter yang lain mungkin leibh

dapat dipercaya. Lin et al mengukur tingkat sTfR untuk mengukur respond an efikasi

dari pemberian ferro L-treonat oral selama 12 minggu pada pasien IDA atau

defisiensi besi eritropoiesis (IDE). Status besi diukur pada wanita (18-45 tahun)

menggunakan ferritin serum, ZPP dan Hb pada minggu 0, 3, 6 dan 12. kelompok IDE

dan IDA mendapatkan suplementasi ferro L-treonat selama 12 minggu (14 dan 28

mg/hari, secara teratur). Perubahan yang nyata terjadi pada tingkat sTfR pada semua

pengukuran yang dilakukan di kedua kelompok; tingkat sTfR normal pada minggu ke

12. Hubungan antara konsentrasi sTfR terhadap idikator lain juga ditemukan, tetapi

ZPP merupakan indikator yang terbaik. Temuan menguntungkan lain dari respon

suplementasi besi adalah rasio sTfR-F menurun lebih nyata selama terapi

suplementasi besi.

Saat IDA refrakter tidak responsif terhadap terapi besi oral, infeksi H. pylori dan

gastritis kronik sering dijadikan alasan. Chen dan Luo menilai efek dari terapi H.

pylori pada parameter eritrositik dan besi di pasien gastritis H. pylori dengan IDA.

Pasien mendapatkan ferro suksinat dan pengobatan untuk H. pylori atau hanya

suplemen zat besi. Perubahan pada Hb, MCH, besi serum, dan ferritin serum

Page 12: Anemia Defisiensi Besi

dibandingkan antar kelompok. Ferro suksinat (200 mg) dan asam askorbat (100 mg)

diberikan tiga kali setiap hari. Pengobatan untuk H. pylori melibatkan tiga obat: sitrat

deuteron-bismut, amoksisilin, dan metroidazole selama 2 minggu. Setelah H. pylori

hilang, nilai Hb, besi serum, dan ferritin serum meingkat secara nyata sampai nilai

normal. Eradikasi dari H. pylori dapat memaksimalkan efek terapi suplementasi besi

oral pada IDA.

TERAPI BESI PARENTERAL

Terapi besi parenteral dibutuhkan pada pasien yang intoleran atau tidak responsif

terhadap suplementasi besi oral. Sejak dulu, terapi besi parenteral sudah digunakan

dengan pengawasan karena potensi terjadinya reaksi anafilaktik. Meskipun telah

diperkenalkan preparat besi intravena (i.v) yang baru dengan tingkat keamanan yang

telah ditingkatkan, para dokter tampak ragu untuk memberikan besi i.v. tersedia

empat preparat besi parenteral (tabel 4). Dua diantaranya adalah besi dekstran yang

berbeda besar molekul dan dua yang lain adalah preparat garam besi, ferri glukonat

dan besi sukrosa. Preparat besi i.v, kompleks lain, ferri karboksimaltosa (i.v-FeCarb),

adalah besi i.v nondextran yang hanya boleh dipakai diluar Amerika Serikat.

Tabel 4 Preparat besi parenteral

Besi dextran molekul kecil

Besi sukrosa Ferri glukonat Besi dextran molekul besar

Dibutuhkan dosis percobaan

Ya Tidak Tidak Ya

Besi per vial (mg/ml)

50 20 12.5 50

Berat molekul (Da)

165000 34-60000 289-440000 265000

Page 13: Anemia Defisiensi Besi

TERAPI BESI PARENTERAL DIBANDINGKAN DENGAN TERAPI BESI

ORAL

Van Wyck et al membandingkan penggunaan i.v-FeCarb dengan besi oral untuk

pengobatan pasien anemia wanita postpartum. Pasien dikelompokkan berdasarkan

nilai Hb, perlunya tindakan seksio cesaria, saturasi transferin lebih dari 20% dan nilai

ferritin serum paling rendah 50 ng/ml. Dilakukan pengacakan pada peserta penelitian

untuk kemudian diberikan iv-FeCarb, 1000 mg atau kurang dalam 15 menit, setiap

minggu sampai penggantian besi selesai, atau ferro sulfat oral, 325 mg (65 mg besi)

tiga kali sehari, 1 jam sebelum makan selama 42 hari. Keberhasilan terapi adalah

peningkatan Hb setidaknya 2 g/dl setelah terapi. Ketaatan pengobatan paling besar

pada kelompok pasien yang mendapatkan i.v-FeCarb, dan rata-rata waktu untuk

mencapai ambang nilai keberhasilan terapi lebih pendek daripada kelompok pasien

yang menerima terapi besi oral (7 banding 14 hari). Proporsi pasien dengan anemia

yang terkoreksi leibh tinggi pada kelompok yang mendapatkan besi i.v. ferritin serum

dan saturasi transferring meningkat secara nyata setelah 1 minggu pada pemberian

i.v-FeCarb dibandingkan dengan kelompok terapi besi oral. Penanganan yang lebih

awal dengan terapi pemberian besi leibh memberikan hasil, dan meningkatkan

kualitas hidup dari wanita dengan anemia postpartum.

Breyman et al juga membandingkan i.v-FeCarb dengan ferro sulfat oral pada

pengobatan IDA postpartum dengan mengukur efek pemberian preparat terhadap

peningkatan Hb, status besi, serta keamanan dan toleransi terhadap ibu dan anak yang

sedang disusui. Pasien menerima i.v-FeCarb (dosis maksimum 1000 mg dalam 15

menit) atau ferro sulfat oral (100 mg dua kali sehari selama 12 minggu). Indikator

utama dalam mengukur keberhasilan terapi adalah menilai perubahan nilai Hb,

ferritin serum, dan saturasi transferrin dari awal terapi sampai minggu ke 12. Nilai Hb

pada kedua kelompok penelitian meningkat dalam waktu 12 minggu. Peningkatan

rata-rata pada pasien yang mendapatkan i.v-FeCarb adalah 13.04 g/dl dibandingkan

dengan 12.89 g/dl pada kelompok pasien yang mendapatkan ferro sulfat, walaupun

Page 14: Anemia Defisiensi Besi

secara statistic tidak signifikan. Berbeda dengan hasil tadi, perubahan nilai ferritin

serum pada kelompok i.v-FeCarb dibandingkan dengan kelompok ferro sulfat

mempunyai perbedaan yang signifikan. Saturasi transferring bertambah pada kedua

kelompok dengan nilai rata-rata maksimal dicapai pada minggu ke-4, namun terdapat

peningkatan yang lebih signifikan pada rasio respon untuk ferritin serum dan saturasi

transferrin pada kelompok yang mendapatkan i.v-FeCarb. Kedua alur pengobatan

ditoleransi baik dan tidak terdapat masalah keamanan pengobatan. Besi yang

dikandung dalam ASI lebih tinggi secara signifikan pada ibu yang mendapatkan

FeCarb pada 48 jam terapi. Terapi FeCarb parenteral dan ferro sulfat oral efektif

diberikan kepada pasien dengan anemia postpartum; peningkatan Hb, ferritin serum,

dan saturasi transferrin lebih tinggi secara signifikan pada pemberian i.v-FeCarb.

Penggantian secara cepat dari cadangan besi setelah pemberian i.v-FeCarb

merupakan keuntungan yang tidak dimiliki bila dipilih terapi suplementasi besi oral.

Meskipun penemuan-penemuan ini memberikan harapan, tetapi harus diingat bahwa

ijin pemakaian i.v-FeCarb oleh badan pengawas obat dan makanan Amerika Serikat

masih ditangguhkan.

BESI SUKROSA PARENTERAL

Besi sukrosa intravena telah disetujui untuk pengobatan anemia yang berhubungan

dengan gagal ginjal kronik (GGK). Tetapi, data tentang penggunaan besi sukrosa i.v

infus pada pasien tanpa GGK masih sangat minim. Wall dan Pauly berusaha untuk

meneleiti kemanjuran dan keamanan dari pemberian besi sukrosa i.v pada pasien

dengan IDA dan tidak mendapatkan terapi eritropoietin, produk darah, dan suplemen

besi oral maupun menderita GGK. Besi yang dibutuhkan dihitung dan dosisnya

dibagi (250 mg, maksimal 500 mg). terapi diberikan setiap hari sampai dosis total

diberikan. Mereka mengukur tingkat Hb sebagai indikator kemanjuran terapi pada

hari 1, 10, 21 dan setelah infus terakhir; saturasi transferrin dan ferritin serum

Page 15: Anemia Defisiensi Besi

diperiksa pada hari 10 dan 14. Hari ke-13 nilai Hb rata-rata setelah infus terakhir

meningkat (11±1.2 mg/dl) dibandingkan dengan nilai Hb sebelum terapi (9.45±0.8

mg/dl). Rata-rata nilai saturasi transferrin meningkat dari < 11% sampai dengan >

20% tetapi data yang tersedia hanya dari tiga pasien. Walaupun kejadian efek

samping obat tidak terjadi setelah infus, kemanjuran terapi belum teruji karena

masalah besar sampel.

MANAJEMEN STRATEGI: ALGORITMA SEDERHANA ATAU SULIT

Tujuan utama dari manajemen anemia adalah mempertahankan keamanan,

mengkoreksi anemia, dan mempertahankan parameter status besi dalam batas yang

direkomendasikan serta meningkatkan kualitas hidup dan ketahanan pasien. Untuk

membantu mencapai tujuan tersebut, para dokter harus bergerak dalam satu filosofi

pengobatan dan mengimplementasikan strategi pengobatan yang lebih seimbang,

serta sistematis dan dapat diaplikasikan dalam berbagai situasi berbeda. Panduan tata

laksana yang nyata untuk diagnostik dan terapi dari IDA pada populasi risiko masih

kurang seragam karena bertambahnya prevalensi berbagai macam komorbid pada

pasien anemia. Standar praktek terbaru harus mencakup rekomendasi spesifik untuk

diagnosis yang juga termasuk strategi manajemen berdasar risiko yang diketahui

untuk IDA.

Gasche et al menggunakan pendekatan sistematik untuk mengembangkan panduan

diagnosis dan manajemen defisiensi besi dan IDA pada pasien dengan inflammatoru

bowel disease (IBD). Para gastroenterologis menilai literatur tersebut dan meninjau

tentang: evaluasi anemia (definisi anemia, parameter diagnostik, defisiensi besi dan

ACD), pemicu untuk terapi anemia (inisiasi terapi, inisiasi suplementasi besi, inisiasi

terapi eritropoietin, inisiasi suplementasi vitamin dan trasnfusi darah), target terapi

besi (tujuan terapi, respon terhadap terapi, dan evaluasi terapi), dan pengobatan

anemia (suplementasi besi, agen eritropoietik, dan terapi IBD). Artikel ini

Page 16: Anemia Defisiensi Besi

menjelaskan tentang rekomendasi mengenai alat diagnostik IDA; mengidentifikasi

pemicu untuk dilakukannya intervensi medis, tujuan terapi dan modalitas terapi. Hal

ini dapat digunakan sebagai model panduan tatalaksana yang digunakan secara

universal dimana algoritma manajemen dan diagnostik terbaru dipaparkan.

Menetapkan penyebab sebagai langkah pertama dalam algoritma merupakan langkah

yang penting dan akan mempengaruhi komponen algorima yang lain seperti

parameter kunci, pemeriksaan perkembangan pasien seperti sTfR, indeks sTfR-/F,

ZPP/H, tes untuk H. pylori, rekomendasi untuk endoskopi dan modalitas intervensi

yang lain. Algoritma yang lebih definitif juga harus mengikutsertakan penilaian

tentang inflamasi kronik dengan melihat CRP, hepcidin atau kemungkinan

menggunakan nilai prediktif hepcidin lewat perhitungan formula hepcidin.

Memasukkan lebih banyak komponen diagnostik kedalam algoritma yang dapat

digunakan untuk evaluasi defisiensi besi tahap awal dapat digunakan untuk mencegah

progresi dari IDA.

KESIMPULAN

Pada 2008, prevalensi IDA masih merupakan defisiensi nutrisi yang paling umum

dijumpai di seluruh dunia dan berdampak buruk kepada kesehatan. Kita harus

bergerak dalam satu ideologi untuk mempelajari bagaimana menilai secara lebih baik

pada populasi dengan faktor risiko untuk perkembangan menjadi defisiensi besi tanpa

memperhatikan kondisi kesehatannya. Pedoman tata laksana yang berdasar bukti

harus mencakup pengukuran diagnostik dan mengidentifikasi perubahan awal pada

status besi untuk menghindari progresi menjadi IDA, dan manajemen spesifik yang

mencakup strategi pengobatan dengan tetap menilai respon terapi sepanjang

pengobatan.