androgini
DESCRIPTION
tugas mata kuliah DESAIN DAN GAYA HIDUP yang dibuat saat aku masih bego!!! citationnya buruk sekali, sumpah!TRANSCRIPT
![Page 1: ANDROGINI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022062419/5572111c497959fc0b8e5cce/html5/thumbnails/1.jpg)
FENOMENA FASHION DAN GAYA HIDUP
ANDROGINI
DALAM PERSPEKTIF KULTURAL
UJIAN TENGAH SEMESTER
DESAIN DAN KEBUDAYAAN I
WARIDAH MUTHI’AH
NIM. 27110047
JURUSAN DESAIN
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2010
![Page 2: ANDROGINI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022062419/5572111c497959fc0b8e5cce/html5/thumbnails/2.jpg)
1. PENDAHULUAN
Di masa sekarang, gaya androgini, khususnya dalam fashion
perempuan, merupakan hal yang lumrah. Saat fashion kembali pada
gaya tahun 1980 dan 1990-an seperti sekarang ini, androgini menjadi
istilah yang sering tampil dalam majalah mode, runway, televisi,
hingga pembicaraan sehari-hari. Dalam fashion kaum hawa, gaya
androgini selalu dikaitkan dengan emansipasi perempuan dengan
dasar kepraktisan dan kemudahan bergerak. Namun fashion androgini
sudah bergeser dari sekadar masalah kepraktisan. Pengadaptasian
gaya busana pria, walau yang tidak memiliki korelasi apapun dengan
sisi fungsional, misalnya dasi, topi fedora, dan vest, selalu dianggap
sebagai simbol kebebasan. Di sisi lain, walau kenyataannya androgini
adalah konsep yang dengan cair dapat diterapkan oleh siapapun dan
latar belakang apapun, gaya androgini seringkali diasosiasikan dengan
subkultur tertentu.
Cara pandang masyarakat mengenai hal yang disebut maskulin dan
feminin senantiasa berubah seiring waktu dan sangat bergantung pada
tempat. Celana jeans yang bagi masyarakat sekarang lazim dikenakan
perempuan dan sudah dimodifikasi menjadi bentuk yang dianggap
feminin, tidak bisa dikatakan demikian dari sudut pandang masa
lampau atau dalam masyarakat yang berbeda. Demikian pula dengan
rok yang selalu diidentikkan dengan feminitas, dalam bentuk yang
berbeda, yakni sarung, oleh masyaraka yang sama, yaitu masyarakat
Indonesia, diterima sebagai busana maskulin.
Makalah ini berusaha meninjau fenomena androgini dalam fashion
kaum perempuan dan gaya hidup urban di masa sekarang dalam
kaitannya dengan budaya popular dan subkultur, dengan ditinjau dari perspektif kultural.
Pembahasan mengenai subkultur di sini akan difokuskan pada satu subkultur yang secara
konsisten memakai konsep androgini dalam penampilan dan gaya hidup, yakni subkultur
lesbian.
Pag | 1
![Page 3: ANDROGINI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022062419/5572111c497959fc0b8e5cce/html5/thumbnails/3.jpg)
Untuk menelaah latar belakang konsep androgini, perlu diterangkan
mengenai konsep kultural masyarakat masa lampau dalam pembagian
peran gender berdasarkan sex. Selanjutnya, akan dibahas
perkembangan konsep androgini sebagai gaya dalam fashion dan
sebagai gaya hidup. Terkait dengan gaya hidup, androgini akan
diperlakukan sebagai sebuah konsep mutlak yang mempengaruhi pola
perilaku, interaksi, dan gaya visual suatu kultur. Adaptasi gaya
androgini dalam fashion populer dan subkultur tertentu juga akan
ditelaah untuk mengetahui perbandingan dan keterkaitan di antara
keduanya. Yang tidak kalah penting dalam masyarakat visual dalam
perkembangan suatu gaya adalah peran ikon dan trendsetter,
sehingga akan dibahas sejauh mana pengaruh ikon media dalam
perkembangan gaya androgini di tengah masyarakat.
2. TINJAUAN KONSEP ANDROGINI
2.1. PENGERTIAN
Androgini, diturunkan dari bahasa Inggris androgyny, merupakan istilah yang
berasal dari bahasa Yunani άνδρας (andras, berarti laki-laki) and γυνή (gyné,
berarti perempuan). Oxford English Dictionary mengartikan androgyny sebagai
mixing of masculine and feminine characteristics. This may be as in fashion, sexual
identity, or sexual lifestyle, or it may be true hermaphrodite physicality.
Dalam pengertian tersebut, definisi androgini dapat berbeda tergantung pada
konteks kata tersebut ditempatkan. Dalam konteks fisik, androgini
mengacu pada ambiguitas jenis kelamin karena ciri fisik yang
melekat, baik pembawaan (hermafrodit sejati) maupun hasil
rekayasa (transeksual). Dalam konteks gaya hidup, androgini
mengacu pada adaptasi pola-pola perilaku yang secara kultural
diasosiasikan dengan lawan jenisnya. Sedangkan dalam konteks
fashion, androgini dapat diartikan sebagai adaptasi sebagian atau
keseluruhan gaya penampilan lawan jenisnya. Konteks terakhir ini
menimbulkan ambiguitas tersendiri karena fashion selalu
berubah, begitu pula nilai-nilai feminin dan maskulin di dalamnya
terus mengalami rekonstruksi pemahaman.
Pag | 2
![Page 4: ANDROGINI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022062419/5572111c497959fc0b8e5cce/html5/thumbnails/4.jpg)
Dalam konteks fashion, The Fairchild Dictionary of Fashion
mengemukakan pengertian androgini sebagai
androgynous/androgynous look (an-droj'-eh-nus) Posessing both male and female characteristic. Style of various periods may include androgynous elements. Examples for women include short boyish bob hairstyles; man-tailored suits of men's wear fabric; trenchcoats, slouch hats, neckties, and button down collars. For men, the adoption of more traditionally feminine styles included long hair, makeup, jewelry, and clothes with more color.
Pemahaman mengenai apa yang disebut sebagai ‘gaya maskulin’, ‘gaya feminin’,
dan ‘gaya androgini’ sangat tergantung pada konteks ruang dan waktu. Sebagai
contoh, gaya Flapper a la Garconnes 1920-an akan tampak sangat feminin dari
kacamata fashion 1990-an, akan tetapi sangat maskulin jika dibandingkan dengan
tailored dress 1890-an. Tailored dress 1890-an sendiri adalah bentuk adaptasi gaya
busana pria, sehingga dapat disebut sebagai gaya androgini pada masanya. Dengan
demikian, untuk menilai tingkat ambiguitas gender pada suatu masa, harus pula
menelaah nilai-nilai kultural, perspektif, dan gaya hidup masyarakat pada masa itu.
Menurut Chaney (2009:40) gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang
membedakan antara satu orang dengan orang lain. Lebih lanjut Chaney (2009:157)
membedakan antara gaya hidup (lifestyle) dan cara hidup (way of life). Ia
mengemukakan bahwa gaya hidup merupakan sekumpulan hal-hal dan proses yang
memiliki persamaan rumpun (family likeness), sedangkan cara hidup dikaitkan
dengan suatu komunitas yang kurang lebih stabil. Cara hidup ditampilkan dengan
ciri-ciri seperti norma, ritual, pola-pola tatanan sosial, dan mungkin juga gaya
bicara atau dialek yang khas dalam sebuah komunitas.
2.2. PERKEMBANGAN KONSEP ANDROGINI
Fenomena androgini yang meluas di kalangan kaum hawa adalah sesuatu yang
relatif baru. Akan tetapi, konsep ini sudah muncul setidak-tidaknya sejak era
Yunani-Romawi Kuno di Eropa. Istilah yang serupa pemahamannya dengan
‘androgini’ muncul dalam berbagai istilah sepanjang peradaban,
mulai dari catamite di kalangan Anglo-Saxon Eropa Abad
Pertengahan hingga hingga La Garçonne pada 1920-an. Istilah
yang terakhir secara harfiah berarti anak laki-laki, tetapi merujuk
Pag | 3
![Page 5: ANDROGINI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022062419/5572111c497959fc0b8e5cce/html5/thumbnails/5.jpg)
pada gaya berpenampilan perempuan secara spesifik pada
dekade tersebut. Kata androgyny sendiri baru benar-benar meluas
pada dekade 1960-an.
Pemaknaan androgini sebagai sebuah gaya, bukan gaya hidup, hadir pada dekade
terakhir abad ke-20. Sebelumnya, konsep androgini selalu dikaitkan
dengan bentuk hermafrodit atau transseksual pemakainya. Pada
berbagai kebudayaan kuno, konsep ini hadir untuk menyatakan
penyatuan antara dua karakter yang berlawanan, dua elemen
yang menentukan keseimbangan dunia, dalam satu tubuh.
Adaptasi elemen-elemen busana laki-laki pada busana perempuan
dengan tujuan untuk menyatakan kebebasan sebenarnya berakar
pada pemahaman tradisional yang bersifat patriarki. Dalam
sistem patriarki, kaum lelaki memiliki tanggung jawab yang lebih
luas untuk melindungi dengan didasarkan pada kekhususan-
kekhususan yang bersifat fisik. Pada akhirnya, tanggung jawab ini
memberi kaum lelaki otoritas atau kekuasaan untuk mengatur
serta terlibat dalam ranah publik. Sementara itu, perempuan
sebagai pihak yang semula dilindungi dengan tujuan untuk
melindungi anak-anak, dipersempit perannya sebagai pihak yang
pasif dan karenanya dibatasi untuk hanya berperan dalam sektor
domestik.
Pada masyarakat seperti ini, tentunya nilai-nilai dari pihak yang
berkuasa, dalam hal ini nilai-nilai maskulinitas dari kaum lelaki,
menjadi nilai ideal yang membuatnya dianggap memiliki derajat
lebih tinggi ketimbang anggota masyarakat yang lain. Dalam
konsep gaya hidup dikenal teori mengenai keterkaitan antara
modal dan posisi. Jika maskulinitas bisa dianggap sebagai modal
simbolik yang menentukan kekuasaannya dan kedudukannya
yang lebih tinggi, maka pengadopsian unsur-unsur yang lekat dengan
maskulinitas oleh counter hegemonic, dalam hal ini pihak feminine, dianggap
dapat mendekatkan diri pada kelas tersebut.
Pag | 4
![Page 6: ANDROGINI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022062419/5572111c497959fc0b8e5cce/html5/thumbnails/6.jpg)
2.3. ANDROGINI DALAM PERSPEKTIF HISTORIS DAN KULTURAL
2.3.1. Konsep Androgini dalam Perspektif Kultural di Indonesia
Di Indonesia, konsep androgini bukanlah sesuatu yang baru.
Kendati fashion androgini masa kini dipengaruhi oleh kultur
barat, konsep keberadaan dua sifat yang bertentangan
dalam satu tubuh tidak dibawa oleh kebudayaan Barat. Pada
masyarakat adat seperti Dayak dan Toraja, konsep ini dipakai
untuk menggambarkan ‘dunia antara’ yang menghubungkan
dunia atas (dewa) dan dunia bawah (manusia).
Konsep ini berakar dari cara pandang kosmologi yang
berakar pada kebudayaan Polinesia dan Asia Tenggara.
Kosmologi melihat dunia sebagai sistem oposisi biner, yakni
atas:bawah, dewa:manusia, terang:gelap, matahari:bulan,
laki-laki:perempuan, dan lain sebagainya. Sebagai
penghubung dua dunia tersebut, manusia, yang secara
dikotomis dibagi menjadi laki-laki dan perempuan,
membutuhkan sosok yang memiliki kedua ciri yang
berlawanan tersebut. Inilah alasan mengapa di beberapa
kebudayaan primitif, tokoh transvestit memiliki peran
sebagai shaman atau dukun yang menghubungkan dunia
dewa dengan manusia. Dalam upacara-upacara tertentu,
mereka mengenakan busana perempuan dan dalam keadaan
trance, dikabarkan dewa memasuki tubuhnya untuk memberi
petunjuk bagi manusia.
2.3.2. Fashion Androgini dalam Fashion Barat pada Abad ke-
20
Abad ke-20 menjadi titik tolak pembahasan fashion androgini
karena pada awal abad inilah, fashion yang memiliki konsep
ambiguitas gender diterima oleh masyarakat tidak untuk
menunjukkan anomali dalam konteks orientasi seksual, tetapi
hadir sebagai konsep fashion untuk perempuan secara
Pag | 5
![Page 7: ANDROGINI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022062419/5572111c497959fc0b8e5cce/html5/thumbnails/7.jpg)
general. Pada beberapa dekade spesifik, bahkan gaya
androgini hadir sebagai suatu konsep utuh yang mencakup
perkembangan pola pikir, pemaknaan konsep gender,
dinamika sosial budaya, bahkan perubahan iklim politik serta
cerminan struktur demografi dan pola perilaku. Dengan kata
lain, androgini bukan sekadar fashion yang bisa dipilih, tetapi
mengarah pada gaya hidup.
Adopsi gaya yang lebih maskulin untuk gender feminin
berkembang secara gradual. Konsep ini sebenarnya telah
muncul sejak abad ke-18 dalam bentuk adaptasi jaket pria
untuk busana berkuda wanita yang disebut French
Redingote. Demikian pula pada akhir abad ke-19, ketika gaya
busana tailored pria diadaptasi sebagai busana wanita.
Namun, adaptasi yang terjadi hanya untuk menimbulkan
kesan yang lebih berwibawa dan sportif sesuai dengan event
busana tersebut dipakai. Adaptasi ini tidak
mempertimbangkan hal yang lebih fungsional, seperti
keleluasaan gerak dan kenyamanan. Hal ini bisa dimengerti
karena pada masa itu peran wanita di luar fungsi reproduksi
dan ornamentalnya, yang dengan mempertimbangkan
kebutuhan untuk bergerak lebih gesit, tidak terlalu
dipentingkan.
Adaptasi yang bersifat fungsional baru diperkenalkan setelah
Perang Dunia I. Mengantisipasi kekurangan tenaga untuk
melakukan pekerjaan kemasyarakatan karena kaum lelaki
pergi berperang, perempuan menggantikan peran lelaki di
sektor publik. Demi alasan kepraktisan dan profesionalisme,
mereka mengadaptasi busana termasuk atribut lelaki. Ketika
Perang Dunia I berakhir, kaum perempuan yang berhasil
membuktikan kemampuannya untuk melakukan pekerjaan
publik, menolak untuk kembali pada tatanan tradisional yang
menempatkannya hanya pada sektor domestik dan menuntut
Pag | 6
![Page 8: ANDROGINI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022062419/5572111c497959fc0b8e5cce/html5/thumbnails/8.jpg)
kesetaraan. Inilah yang menjadi cikal bakal konsep
feminisme.
Tuntutan akan kebebasan mencuat pada dekade 1920-an.
Inilah masa ketika perempuan secara terbuka berusaha
mendistorsi konsep-konsep tradisional mengenai kecantikan
ideal. Gaya androgini mencapai puncaknya dengan
diabaikannya kurva tubuh berlekuk yang selama berabad-
abad menjadi semacam fetisisme seksual. Tubuh langsing
tanpa lekuk yang mengandung ambiguitas seksual menjadi
idaman, sehingga banyak perempuan yang berusaha
melakukan artifisialisasi dengan mengenakan flattener dan
brassierre menggantikan korset. Namun penggunaan
instrumen tertentu untuk mengubah bentuk tubuh di sini
berbeda dengan upaya para transgender yang bertujuan
untuk menyarukan tubuh sebagai laki-laki. Pada era 1920-an,
sebagaimana abad-abad sebelumnya, bentuk tubuh adalah
bagian dari konsep kecantikan, yang definisinya terus
berubah. Bentuk figur androgini pada masa itu merupakan
standar bagi semua perempuan dan karenanya harus dilihat
sebagai trend. Kendati masa itu juga dikenal sebagai era
kebangkitan liberalisme perempuan dan gerakan lesbian,
konotasi orientasi seksual tidak bisa digunakan untuk
menjelaskan gaya busana masa itu secara general.
Konsep androgini 1920-an tidak hanya berkisar pada
idealisasi bentuk tubuh anak lelaki, yang dikenal dengan
istilah La Garconnes, dan hal-hal yang berhubungan dengan
penampilan, seperti tatanan rambut, gaya busana, dan make
up. Konsep ini berakar pada kritik terhadap citra, peran, dan
kedudukan perempuan dalam budaya patriarki. Norma-
norma yang mengatur citra perempuan, cara bersikap,
perilaku keseharian, hal-hal yang dianggap tabu, serta
pandangan terhadap seks dan keluarga, berusaha
direkonstruksi. Saat itulah androgini menjadi gaya hidup.
Pag | 7
![Page 9: ANDROGINI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022062419/5572111c497959fc0b8e5cce/html5/thumbnails/9.jpg)
Meskipun pada dekade-dekade berikutnya terjadi pergeseran
trend dari kurva tubuh lurus kembali ke kurva berlekuk khas
perempuan, pengaruh gaya androgini pada busana
perempuan tidak pudar. Busana tailored dekade 1930-an dan
1940-an paling jelas memperlihatkan hal ini. 1lemen yang
tampak antara lain adalah pada adaptasi jas berkerah,
penggunaan kemeja, penambahan pad bahu untuk
menimbulkan kesan bidang, dan siluet yang ramping. Kendati
demikian, pada masa itu penggunaan celana panjang bagi
perempuan di muka publik, kecuali celana kulot untuk
kesempatan santai, masih dianggap sebagai hal yang tabu.
Pada 1950-an, di bawah pengaruh euforia berakhirnya
perang, Christian Dior menggiring kaum perempuan untuk
kembali pada romantisme abad silam dengan menghadirkan
konsep New Line. Gaya androgini benar-benar ditinggalkan
dengan kembali digunakannya korset dan petticoat untuk
menghadirkan kurva berlekuk a la Victorian. Terpinggirkan ke
daerah suburban dan rural di Amerika, gaya androgini
muncul dalam adaptasi gaya cowboy oleh remaja, kemeja
kotak-kotak dan celana jeans. Pada era rock ‘n roll di akhir
dekade 1950-an yang ditenarkan oleh Elvis Preasley, jaket
dan celana kulit dipakai secara luas oleh laki-laki maupun
perempuan. Ini menjadi awal era pemberontakan remaja
terhadap gaya hidup mapan, yang mempengaruhi trend
busana dekade-dekade selanjutnya.
Konsep androgini pada dekade 1960-an erat kaitannya
dengan konsepsi mengenai kemudaan. Remaja, yang
sebelumnya tidak dipentingkan dalam menentukan arah
fashion, pada dekade tersebut menjadi fokus atensi. Gaya
make up dan busana bergerak dari make-up yang
mencerminkan kedewasaan dan keanggunan menjadi gaya
make-up kekanak-kanakkan. Dengan dasar yang hampir
Pag | 8
![Page 10: ANDROGINI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022062419/5572111c497959fc0b8e5cce/html5/thumbnails/10.jpg)
sama dengan 1920-an, yakni menitikberatkan pada idealisasi
bentuk tubuh anak laki-laki, fashion 1960-an bergerak lebih
jauh dengan tidak hanya menghadirkan ilusi tubuh yang
ambigu, tetapi juga secara konstan menghubungkannya
dengan kemudaan. Ambiguitas gender juga diterapkan pada
fashion remaja lelaki, yang mengadopsi warna-warna cerah
yang secara kultural dikaitkan dengan feminitas.
Pada dekade inilah Yves Saint Laurent menghadirkan koleksi
Le Smoking, yang didasarkan pada busana tuxedo pria
dimaksudkan sebagai busana formal perempuan. Akan
tetapi, pada masa itu, konsep yang sepenuhnya
menanggalkan unsur feminin seperti ini masih dianggap
kontroversial, sehingga banyak tempat-tempat yang menolak
keberadaan perempuan yang memakai busana semacam ini.
Memang sejak awal dekade, adopsi sebagian unsur maskulin
dalam busana perempuan merupakan hal yang lumrah,
tetapi baru Le Smoking yang menghadirkan kesan maskulin
secara total. Baru pada awal abad ke-21 gaya ini diterima
secara luas oleh masyarakat.
Fashion dekade 1970-an secara luas mengadaptasi gaya
androgini tidak hanya bagi perempuan, tetapi juga bagi laki-
laki. Pada fashion yang sangat dipengaruhi oleh subkultur
hippies ini, gaya androgini tampil dalam pemakaian bahan
berat seperti tweed, adaptasi gaya cowboy, diterimanya
penggunaan celana panjang oleh kaum hawa, serta bentuk
kurva tubuh yang sama bagi gaya busana laki-laki dan
perempuan. Film Annie Hall turut mempopulerkan gaya ini.
Bahkan sebagai kelanjutan dari warna-warni cerah era Mods,
kaum adam juga lazim mengenakan kemeja ber-frills,
diadaptasi dari gaya kemeja era Victorian dan cravat dari
abad ke-18.
Pag | 9
![Page 11: ANDROGINI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022062419/5572111c497959fc0b8e5cce/html5/thumbnails/11.jpg)
Film Annie Hall (kanan) dan pengaruhnya dalam gaya androgini masa kini (kiri)
Sumber: www.about.com
Dekade 1980-an dan 1990-an merupakan puncak gaya
androgini yang dihadirkan dalam bentuk yang berbeda.
Meriahnya warna-warni cerah dan gaya sporty yang longgar
menjadi jalan bagi masuknya gaya androgini. Dekade ini juga
dikenal dengan puncak perkembangan subkultur. Konsep
androgini dihadirkan secara total dalam gaya Glam dan
Peacock Revolution, dengan tokoh yang terkenal yakni David
Bowie, dan Gothic dengan tokoh Siouxsie and The Banshees.
Pada dekade inilah terdapat tukar menukar simbol secara
global dalam komunitas subkultur, saat laki-laki meminjam
atribut-atribut perempuan seperti make up dan busana yang
meriah, sedangkan perempuan juga meminjam elemen
busana laki-laki.
Dekade 1990-an dikenal sebagai The Department Store of
Fashion, tempat bercampur aduknya gaya berbagai subkultur
dan siapapun dapat memilih suatu gaya tanpa mengerti
benar esensi dari gaya it sendiri. Pada dekade ini, setidaknya
ada dua gaya baru yang memiliki sifat androgini, tetunya
bagi anggota subkultur yag perempuan, yakni gaya Grunge
dan Hip Hop.
Pag | 10
![Page 12: ANDROGINI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022062419/5572111c497959fc0b8e5cce/html5/thumbnails/12.jpg)
2.3.3. Androgini dan Subkultur
Gagasan tentang subkultur diciptakan untuk menunjuk pada
pengertian perbedaan yang diterima antara nilai-nilai dan
kebiasaan dari suatu kelompok yang dengan mudah dikenali
dari praktik-praktik konvensional. (Chaney, 2009: 209).
Dengan kata lain, subkultur dinyatakan sebagai kalangan
minoritas yang memiliki perbedaan atau kekhasan tertentu
jika dibandingkan dengan subkultur lain atau masyarakat
yang lebih dominan.
Dalam pemahaman popular, sebagai sebuah gaya, androgini tidak
diasosiasikan dengan suatu subkultur tertentu. Akan tetapi, berdasarkan
sejarah, gaya androgini bermula dari penggunaan atribut identitas,
misalnya busana dan gaya rambut, secara konsisten untuk mengaburkan
identitas sex yang sebenarnya. Dengan kata lain, gaya androgini berawal dari
sebagian kalangan homoseksual dalam fungsinya untuk mengidentifikasi diri
sebagai bagian dari gender tertentu yang secara kultural tidak
direlasikan dengan identitas seksual dirinya.
Dalam perkembangannya, konsep ini, yang mengalami penyempitan makna
menjadi konsep berpenampilan, turut dimasyarakatkan oleh ikon-ikon
popular dan subkultur lain seperti Mods, Punk, Hippie, Skinhead,
Peacock Revolution, Glam, Grundge, dan lain sebagainya. Misalnya
dalam subkultur Skinhead yang berasal dari kelas pekerja
Inggris pada dekade 1960-an. Skinhead berusaha
menampilkan kesan yang ultra maskulin, dengan ciri khas
kepala botak, jaket kulit, celana kulit atau jeans ketat, dan
sepatu Doc Mart, yang berlaku secara general baik bagi
anggota lelaki maupun perempuan. Namun, di antara beberapa
subkultur yang mengusung konsep androgini, subkultur lesbian, yang
menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini, adalah yang paling
konsisten mempertahankan konsep androgini tidak hanya sebagai gaya
berbusana, tetapi sebagai gaya hidup.
Pag | 11
![Page 13: ANDROGINI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022062419/5572111c497959fc0b8e5cce/html5/thumbnails/13.jpg)
2.3.4. Analisa Subkultur Lesbian
Perkembangan lesbian tidak lagi sebagai suatu pilihan orientasi seksual,
tetapi sebagai sebuah subkultur, berangkat dari pemahaman bahwa subkultur
selalu menjadi counter-culture minoritas dari masyarakat mayoritas yang
bersifat heteroseksual. Subkultur lesbian berkembang sebagai respon
terhadap kategori lesbianisme sebagai permasalahan medis. Perkembangan
teknologi yang diikuti oleh maraknya komunitas dunia maya, termasuk
forum, chatting room, dan berbagai situs jejaring sosial turut memberi ruang
bagi perkembangan subkultur ini.
Sebagai sebuah subkultur, masyarakat lesbian
mengembangkan suatu kode yang khas meliputi sistem
identitas, hierarki label, pola interaksi, gaya busana, dan pola
perilaku yang didasarkan pada kesepakatan komunal akan
idealisme personal dan kelompok. Sistem ini didasarkan pada
disposisi, yakni seperangkat pilihan (preference) yang
berdasarkan pada struktur mental (habitus) yang
mempengaruhi kecenderungan (tendency), yang
menentukan posisi individu dalam relasi sosial. Disposisi
tidak hanya mempengaruhi hubungan antara lesbian dengan
masyarakat dalam ruang sosial yang luas, tetapi juga dalam
komunitas subkultur sendiri. Atas dasar hal ini, muncul terminologi
‘label’ untuk menyatakan identitas, yang dalam konteks kontemporer dibagi
menjadi empat, yakni butch, femme, andro, dan no-label. Dalam
komunitas, masing-masing anggota diharapkan untuk
berlaku homolog sesuai dengan labelnya.
Selanjutnya dikenal konsep yang secara umum mengatur pola interaksi
antaranggota, yakni konsep role playing. Secara singkat, role playing
dapat diartikan sebagai pengambilan suatu peran
(feminin/maskulin) dalam hubungan partnership maupun
interaksi dengan anggota lain. Di Indonesia, konsep ini dihubungkan
Pag | 12
![Page 14: ANDROGINI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022062419/5572111c497959fc0b8e5cce/html5/thumbnails/14.jpg)
dengan identitas, yang cakupannya meluas meliputi peran, pilihan gaya
busana, perilaku, bahkan preferensi seksual.
Dalam terminologi role playing, terdapat dikotomi yang khas berdasarkan
peran gender, yakni butch yang merujuk pada gender maskulin dan femme
yang merujuk pada gender feminin. Namun, relasi antara butch dan femme
tidak semata berkembang secara alamiah. Terdapat reproduksi makna yang
terus menerus, baik dalam lingkup pergaulan dalam kelompok, jaringan dunia
maya, maupun perspektif masyarakat, sehingga role playing, tak hanya
lesbianisme, dapat dikatakan sebagai suatu ideologi. Konsep butch-femme
secara stabil mengadopsi pola relasi heteroseksual, dan dengan sendirinya
bersifat patriarkis dan hierarkis. Terdapat dikotomi yang jelas dalam relasi
butch-femme, yang masing-masing secara konsisten mengadopsi ciri fisik,
perilaku, maupun peran laki-laki dan perempuan dalam relasi suami-istri
kaum heteroseksual. Dalam perkembangannya, pola relasi yang kaku ini
menyisakan ruang bagi perkembangan relasi dan label lain yang lebih cair.
Label dan pola relasi butch-femme merupakan pola yang relatif dan
bergantung pada konteks ruang dan waktu. Menurut Nardi dan Schneider
(1978), pada masyarakat urban, role playing yang bersifat dikotomis mulai
ditinggalkan sehingga tidak menjadi konsep utama yang mendasari pola
perilaku dan relasi lesbian secara general. Namun, pola semacam ini berlaku
pada masyarakat rural dan masyarakat yang masih erat memegang konsep
patriarki. Itu sebabnya di masyarakat urban yang konsep kesetaraan gender
dan feminismenya lebih tinggi, misalnya di Amerika Serikat masa sekarang,
yang menjadi lokasi penelitian Nardi dan Schneider, konsep butch-femme
jarang ditemukan. Akan tetapi hal ini tidak berlaku untuk masyarakat urban
di negara post-kolonial seperti di Indonesia, yang kendati telah
membudayakan emansipasi, masih ada kecenderungan untuk
mempertahankan konsep patriarki. Hal ini mendasari alasan masih
signifikannya pola tersebut dalam memetakan kecenderungan pola relasi
komunitas lesbian di Indonesia.
Dalam perkembangannya, dikenal gender ketiga, yakni andro. Keluar dari
pengertian dasar kata ‘andro’, yang dalam bahasa Latin berarti ‘laki-laki’,
Pag | 13
![Page 15: ANDROGINI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022062419/5572111c497959fc0b8e5cce/html5/thumbnails/15.jpg)
dalam konsep gender lesbian, ‘andro’ merupakan kependekan dari
androgyny, merujuk pada gender antara. Berbeda dengan terminologi butch
dan femme yang seringkali berkonotasi preferensi seksual dan peran gender,
andro tidak secara kaku dijabarkan dalam preferensi seksual tertentu. Andro
lebih merupakan pilihan gaya dan identitas ketimbang peran dan preferensi
seksual. Dengan demikian, label andro adalah label yang cair dari segi fungsi.
Konsep role playing merupakan konsep yang penuh dengan polemik. Sistem
klasifikasi yang kaku dengan mengadopsi karakteristik patriarkal klasik pada
hubungan heteroseksual untuk mendefinisikan hubungan homoseksual
merupakan sesuatu yang seringkali tidak diterima oleh kalangan lesbian
sendiri. Hal ini memunculkan sebuah terminologi baru, yakni no-label. No-
label yang secara eksplisit tidak mengkorelasikan diri dengan suatu identitas
tertentu, dalam perkembangannya justru menjadi identitas tersendiri.
Kebutuhan untuk mengidentifikasikan diri dalam sebuah struktur label yang
khas membuat label andro sendiri terbagi menjadi dua, yakni androfemme
yang merujuk pada andro yang bersifat lebih feminin, dan androbutch yang
merujuk pada andro yang lebih maskulin. Diferensiasi semacam ini seringkali
membingungkan bagi kalangan lesbian sendiri. Dalam pengamatan pada
jejaring sosial seperti Facebook dan forum lesbian lainnya, tampak bahwa
khususnya bagi remaja, masalah identitas gender ini mendapat porsi yang
cukup signifikan. Terbukti bahwa dalam beberapa message subject, situs
pertemanan, dan situs percomblangan, identitas gender, dalam hal ini label
gender bahkan label relasi, seringkali dipertanyakan untuk mendeskripsikan
dirinya, sebagai alternatif dari identitas jenis kelamin laki-laki/perempuan
dalam dunia heteroseksual.
Dalam perkembangannya, muncul pula istilah-istilah yang merujuk pada
konsep preferensi hubungan antarpersonal dalam relasi ‘gender2gender’.
Gender pertama merujuk pada gender ego (orang pertama), sedangkan gender
kedua merujuk pada identitas alter-ego (orang kedua sebagai preferensi
pasangan), sedangkan angka ‘2’ merupakan kosakata slank merujuk pada
kata sambung ‘to’ yang menunjukkan fungsi korelatif. Di sini saya digunakan
istilah label relasi untuk merujuk pada label yang selain menunjukkan fungsi
identitas gender, juga menunjukkan relasi preferensi secara spesifik.
Pag | 14
![Page 16: ANDROGINI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022062419/5572111c497959fc0b8e5cce/html5/thumbnails/16.jpg)
Muncullah relasi butch2butch, butch2femme, butch2andro, andro2andro,
andro2femme, dan femme2femme. Relasi terakhir merujuk pada gender
femme yang secara seksual lebih mengapresiasi hubungan dengan sesama
femme. Dalam konteks ini, femme2femme merupakan sebuah reaksi represif
dari konsep dikotomi butch-femme dengan meniadakan kebutuhan yang
bersifat patriarkis akan peran maskulin dalam relasi yang bersifat feminin.
Patut digarisbawahi bahwa sistem relasi ini adalah fenomena yang baru
menanjak pada dekade terakhir ini, walau bukti otentik mengenai kapan dan
oleh siapa istilah ini bermula sukar ditelusuri.
3. ANALISA KONSEP ANDROGINI DALAM FASHION DAN GAYA HIDUP
3.1. GAYA FASHION ANDROGINI DALAM BUDAYA POPULER MASA KINI
Sesuai dengan konsep trend yang terus berulang dan memiliki siklus hidup, gaya
androgini juga mengalami masa kelahiran (birth), perkembangan (youth), puncak
(maturity), hingga menurun (decline) dan hilang (death). Pada saat menghilang,
sebuah gaya memasuki fase laten, yang dapat muncul kembali sebagai
retrospective/ nostalgic. Gaya-gaya yang biasanya diasosiasikan dengan dekade
tertentu akan hilang dengan sendirinya saat trend bergerak. Akan tetapi, dalam
fashion androgini, hal tersebut tidak atau belum terjadi.
Berbeda dengan gaya lain yang lebih spesifik seperti Hippies, Glam, atau Punk,
sifat gaya androgini yang cair dalam artian bisa diinterpretasikan dan diadaptasikan
ke dalam gaya fashion/trend subkultur manapun dan bisa ditransformasikan untuk
kesempatan formal, semiformal, nonformal, hingga santai membuatnya lebih
mudah bertahan. Esensi gaya androgini sebenarnya adalah memunculkan kesan
yang lebih praktis dengan menggunakan elemen-elemen gaya busana pria, sehingga
dengan sendirinya, gaya ini juga bisa ditransformasikan menjadi gaya yang lebih
feminin tanpa kehilangan sisi androginusnya.
Pada masyarakat umum, gaya androgini meliputi peminjaman elemen-elemen
busana pria bisa dilakukan sebagian atau keseluruhan seperti dasi, jaket, kemeja,
sepatu, hingga gaya rambut. Dalam masyarakat postmodern, hal ini bisa dilihat
Pag | 15
![Page 17: ANDROGINI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022062419/5572111c497959fc0b8e5cce/html5/thumbnails/17.jpg)
sebagai bagian dari permainan/ pertukaran tanda sehingga tidak memiliki fungsi
sebagai fetisisme seksual sebagaimana pada subkultur lesbian.
Di masyarakat masa kini, terutama masyarakat heteroseksual, pada dasarnya
terdapat kecenderungan untuk menganggap lumrah variasi disposisi tingkah laku
dan gaya busana perempuan, tanpa mengaitkannya dengan suatu konotasi seksual.
Gaya Androgini untuk koleksi Musim Panas 2008www.fashion.com
Gaya fashion androgini masa kini yang lebih feminin
Sumber: dokumentasi pribadi, www.about.com, www.fashion.com
Memang secara umum dalam masyarakat juga ada semacam ekspektasi yang
hampir sama dengan label dalam komunitas lesbian, yakni agar seseorang memiliki
kesesuaian antara sesuatu yang perseptual dari sudut tampilan dengan struktur
Pag | 16
![Page 18: ANDROGINI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022062419/5572111c497959fc0b8e5cce/html5/thumbnails/18.jpg)
mental. Sehingga jika seseorang mengadopsi tampilan androgini, ia diharapkan
bersifat tomboy, melakukan pekerjaan yang aktif, dan lain sebagainya.
Akan tetapi, dalam permainan pertukaran tanda, anomali bisa dianggap wajar.
Pertukaran tand adalah hal yang biasa dalam fashion. Pertukaran tanda tidak hanya
bisa terjadi dalam seks yang berbeda yakni laki-laki perempuan, tetapi juga bisa
terjadi dalam perangkat disposisi perempuan tomboy perempuan feminin.
Sehingga dalam masyarakat zaman sekarang, gaya androgini dalam fashion adalah
salah satu pilihan dalam berbusana, yang belum tentu harus dilihat sebagai
kecenderungan pilihan yang homogen jika dikaitkan dengan sifat seseorang.
Dengan demikian, gaya androgini bisa bersifat netral.
3.2. IKON GAYA ANDROGINI
Sebagai sebuah gaya dan lebih lagi sebagai sebuah gaya hidup, androgini tentunya
harus memiliki tiga komponen, yakni keberadaan ‘pola’ yang berulang,
massa/followers, dan life cycle (daur ulang) yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Terkait dengan massa dan budaya visual, secara logis muncul pertanyaan mengenai
‘trendsetter’, yakni sosok yang memetakan konsep dasar suatu gaya yang kemudian
diikuti; dan ‘ikon’, yakni sosok yang merupakan representasi gaya hidup tertentu.
Ikon tidak harus merupakan trendsetter. Dalam kasus ini, mereka merupakan
follower dari suatu gaya hidup yang bisa dibilang telah mapan. Namun, dalam
tataran tertentu, mereka juga turut menjadi trendsetter bagi massa yang lebih luas.
Dalam dunia visual masa kini yang dibentuk oleh media, selebriti merupakan pusat
perhatian yang dapat dimanfaatkan sebagai kekuatan yang dapat mempengaruhi
masyarakat. Dengan sendirinya terdapat konstruksi citra yang disengaja dengan
alasan-alasan praktis yang kadang bersifat materialistis dalam pembentukan sesuatu
atau seseorang menjadi ikon. Dengan kata lain, ikon dalam dunia visual tidak lepas
dari manipulasi permukaan untuk membentuk citra/image sebagai pesan yang
diterima oleh audiens sebagai kesadaran yang dibentuk (artificial consciousness).
Dalam dunia visual, terjadi persaingan terus menerus dalam ranah dunia
entertainment, guna merebut perhatian pemirsa. Image atau citra menjadi penilaian
utama. Jika dikaitkan dengan alasan ekonomi, yakni branding, pembentukan citra
androgini yang disengaja pada beberapa selebriti dapat dimengerti sebagai bagian
Pag | 17
![Page 19: ANDROGINI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022062419/5572111c497959fc0b8e5cce/html5/thumbnails/19.jpg)
dari upaya menjaring simpati dan meraup pasar tertentu, atau secara sederhana
sebagai upaya pemberian identitas yang khas guna memenangkan persaingan.
Bagi masyarakat Indonesia sekarang, setidaknya ada beberapa contoh selebriti yang
menjadi ikon gaya androgini. Musisi Sherina, penyanyi Agnes Monica,
bassis Yua Kotak, gitaris She, model Sauzan, dan musisi Mitha The Virgin,
merupakan beberapa contoh dari dalam negeri yang cukup representatif.
Sherina untuk album Gemini (2010)Sumber: kissfmjember.com
The Virgin merupakan duo musisi yang secara konsisten mempertahankan citra
dikotomi maskulin-feminin dalam penampilannya, sehingga bagi komunitas
subkultur lesbian tertentu, secara sepihak mereka dianggap sebagai representasi
butch-femme. Citra ini hampir sama dengan duo vokal asal R.usia T.A.T.U, yang
sempat menjadi ikon subkultur lesbian pada dekade pertama 2000-an.
Pag | 18
![Page 20: ANDROGINI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022062419/5572111c497959fc0b8e5cce/html5/thumbnails/20.jpg)
Duo The Virgin dan T.A.T.USumber: hotlinenow.bolgspot.com dan a-lh.blogspot.com
Citra androgini lebih umum direpresentasikan dalam konteks preferensi dan
kecenderungan yang berhubungan dengan variasi dalam gaya fashion kaum
perempuan. Dalam hal ini, gaya androgini dianggap tidak berkonotasi seksual.
Joan Jett dan Kristen Steward sebagai Joan Jett muda dalam The RunawaysSumber: www.about.com
Sedangkan dari mancanegara, muncul nama-nama seperti Kristen Steward dalam
perannya sebagai musisi Joan Jett dalam film The Runaway. serta Katherine
Moennig sebagai Shane McCutcheon dan Daniela Sea sebagai transeksual
Moira/Max Sweeney dalam serial The L Word.
Pag | 19
![Page 21: ANDROGINI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022062419/5572111c497959fc0b8e5cce/html5/thumbnails/21.jpg)
Shane dan Moira/Max dalam The L WordSumber: www.about.com
3.3. GAYA FASHION ANDROGINI DALAM SUBKULTUR LESBIAN
Dalam subkultur lesbian, gaya androgini secara konsisten diadaptasi terutama oleh
label butch dan andro. Kebutuhan untuk mengidentifikasi diri dalam citra maskulin
tidak hanya dengan peminjaman sebagian unsur fashion, baik busana maupun
potongan rambut, yang dikategorikan sebagai ‘maskulin’ secara kultural; tetapi juga
lewat perilaku, gesture, dan pola interaksi baik dengan sesama label dan antarlabel
dalam komunitas lesbian maupun dengan masyarakat di luar komunitas. Hal ini
membuat konsep androgini dipakai secara luas tidak hanya dalam konteks fashion,
tetapi juga gaya hidup.
Kendati demikian, terdapat perbedaan yang spesifik mengenai cara visualisasi gaya
androgini dalam kedua label tersebut. Butch secara general mengapresiasi gaya
yang lebih maskulin, bahkan dalam beberapa kasus mengikutsertakan upaya
artifisialisasi dan ambiguasi bentuk tubuh untuk menampakkan citra yang kurang
feminin. Dalam hal ini, butch berusaha menampilkan citra yang berlawanan dengan
fetish seksual bentuk tubuh ideal perempuan yang dibentuk oleh kerangka
patriarkis. Bentuk yang tidak menunjukkan kurva kewanitaan merupakan bentuk
ideal, sehingga bentuk kurus berdada rata atau sebaliknya, bentuk gemuk yang
menyamarkan lekuk feminin, berupaya dicapai lewat pendekatan-pendekatan
spesifik. Hal ini pada gilirannya menimbulkan fetisisme seksual tersendiri.
Pag | 20
![Page 22: ANDROGINI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022062419/5572111c497959fc0b8e5cce/html5/thumbnails/22.jpg)
Identifikasi label dalam gaya berbusanaSiumber: dokumentasi pribadi
Sedangkan andro secara umum mengadaptasi gaya maskulin dalam tataran tertentu
yang masih menyisakan ruang bagi munculnya sifat feminin. Bagi mayoritas andro,
tidak ada kebutuhan untuk secara total mengidentifikasikan diri sebagai laki-laki.
Selain preferensi seksual yang bersifat cair, dalam banyak hal, disposisi yang
dilakukan merupakan bentuk negosiasi kultural, baik dengan keluarga, pekerjaan,
maupun masyarakat. Andro lebih mudah mengidentifikasikan diri sebagai tomboy,
karena dalam masyarakat terjadi degeneralisasi makna ‘tomboy’ menjadi variasi
gaya personal perempuan yang tidak berkaitan dengan orientasi seksual, dan
karenanya lebih dapat diterima. Asumsi ini berpegang pada fakta bahwa dalam
masyarakat heteroseksual sendiri, banyak perempuan yang mengidentifikasikan diri
sebagai tomboy tanpa memiliki kecenderungan homoseksual maupun biseksual.
Sebagai antitesis bagi golongan butch dan andro dalam subkultur lesbian, femme
secara konsisten mempertahankan gaya yang ultrafeminin. Bahkan menurut Nardi
dan Schneider, citra ini sengaja ditampilkan untuk menempatkan diri pada posisi
yang berlawanan dengan butch yang mengisi peran maskulin. Sedangkan non-label,
sesuai dengan namanya, kerap tidak mengidentifikasikan diri dengan citra tertentu.
Meskipun opsi non-label hadir berdasarkan alasan politis, yakni penolakan terhadap
konsep hierarkis label itu sendiri, pada praktiknya banyak lesbian yang merasa non-
label adalah label yang paling nyaman, yang tidak mengharuskannya untuk
memilih salah satu di antara pilihan biner (binary choice). Dalam hal ini, non-label
bersifat lebih cair ketimbang andro, dan dengan mudah mengakomodasi sifat dasar
manusia yang polimorfik dalam kaitannya dengan masyarakat.
4. KESIMPULAN
Pag | 21
![Page 23: ANDROGINI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022062419/5572111c497959fc0b8e5cce/html5/thumbnails/23.jpg)
Gaya androgini merupakan gaya yang memiliki sejarah yang panjang secara kultural.
Dalam perkembangannya, terjadi perubahan makna androgini dari yang semula
dikonotasikan dengan suatu preferensi seksual tertentu menjadi gaya yang mengusung
konsep kebebasan. Keterkaitan antara konsep androgini dalam busana perempuan dengan
kebebasan dapat ditelaah dari konsep patriarki pada masyarakat. Hal ini berkaitan dengan
konsep otoritas maskulin, sehingga pengadopsian unsur-unsur yang lekat dengan
otoritas/kelas tertentu dianggap dapat mendekatkan diri pada kelas tersebut.
Saat ini dalam pengertian popular, gaya androgini sudah bersifat netral. Elemen-elemen
gaya androgini sebagai tanda dapat dengan bebas dipertukarkan tanpa memiliki konotasi
seksual seperti pada abad-abad silam. Namun, dalam subkultur lesbian, khususnya yang
berkembang pada masyarakat patriarki seperti di Indonesia, konsep androgini masih
dikaitkan dengan konsep disposisi label dan role playing. Subkultur lesbian masih
berpegang pada konsep homologi pencitraan peran dalam hierarki label. Dengan
demikian, pemakaian suatu tanda, dalam hal ini gaya fashion androgini, masih dikaitkan
dengan peran dan preferensi seksual seseorang.
DAFTAR PUSTAKA
Chaney, David. 2009. Lifestyles: Sebuah Pendekatan Komprehensif.
Edisi kesembilan. Bandung: Jalasutra.
Calasibetta, Charlotte Mankey dan Tortora, Phyllis. 2003. The Fairchild
Dictionary of Fashion. London: Fairchild Publications, Inc.
Lubiski, David, dll. 1983. ‘Masculinity, Femininity, and Androgyny Viewed and
Assessed ad Distinct Concepts’, Journal of Personality and Social Psychology. American
Psychology Associaton, Inc. 44. 423-439.
Nardi, Peter M. dan Schneider, Beth E (ed.). 1978. Social Perspective in Lesbian and
Gay Studies: A Reader. London: Routledge.
Oxford University. 1989. Oxford English Dictionary. 2nd ed. Oxford: Oxford University
Press.
Pag | 22
![Page 24: ANDROGINI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022062419/5572111c497959fc0b8e5cce/html5/thumbnails/24.jpg)
Payne, Blanche, dkk. The History of Cosutume. Edisi kedua. New York: Addison-
Wesley Educational Publishers.
Spencer, Colin. 2004. Sejarah Homoseksualitas dari Zaman Kuno
hingga Sekarang. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Watson, Linda. 2006. Twentieth Century Fashion. London: Carlton
Books, Ltd.
www.about.com
www.facebook.com
www.fashion.com
www.voy.com
Pag | 23