anastesi pada bedah otorhinolaringologi

Upload: iqbal-harziky

Post on 02-Jun-2018

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/10/2019 Anastesi Pada Bedah Otorhinolaringologi

    1/18

    nastesi pada Bedah Otorhinolaryngologi

    1

    Anastesi pada

    Bedah Otorhinolaringologi

    KONSEP D S R

    Tujuan pemberian anastesi pada endoskopi meliputi relaksasi pada otot masseter pada saatlaryngoskop masuk, oksigenasi dan ventilasi yang adekuat selama manipulasi pembedahah pada saluranjalan nafas, dan kondisi kardiovaskuler yang stabil selama pembedahan.

    Monitor gerakan dada secara konstan pada saat pernafasan untuk menghindari terjadinya airtrapping dan barotrauma.

    Kekhawatiran yang terbesar selama dilakukannya bedah laser adalah terbakarnya ETT .Hal inidapat dilakukan dengan menggunakan teknik ventilasi yang tidak menyebabkan selang ETT atau katetermudah terbakar yaitu dengan teknik apnea yang intermitten atau jet ventilasi pada laryngoscope di satusisi.

    Teknik untuk meminimalisasi jumlah perdarahan selama operasi adalah dengan menambahkankokain atau epinphrine yang berisi lokal anastesi dan untuk menjaganya dengan memposisikan kepalalebih tinggi disertai teknik hipotensi terkontrol.

    Biasanya, bila ada keraguan yang serius pada masalah saluran jalan nafas, induksi melalui intravenasebaiknya dihindarkan, sehingga laryngoscopy fiberoptic (pada pasien yang kooperatif) dilakukan denganteknik awake atau induksi secara inhalasi, menjaganya dengan ventilasi sponta (pada pasien yang tidakkoopratif0. Pada banyak kasus peralatan serta personil terlatih disiapkan untuk trakeostomi darurat bila

    sewaktu-waktu dibutuhkan.

    Ahli bedah terkadang meminta penggunaan obat penghambat neuromuskular selama dilakukandiseksi atau pada saat parotidektomi agar dapat mengidentifikasi saraf (spinal asesoris, saraf wajah)dengan rangsangan langsung.

    Manipulasi pada sinus karotis dan ganglion stellate selama pembedahan radikal pada daerah leher(sisi kanan lebih sering daripada sisi yang kiri) berhubungan dengan tekanan darah,bradikardi,disritmia,sinus arest, QT interval yang memanjang. Diseksi bilateral dapat mengakibatkan hipertensi postoperatif dan hipoksia oleh karena denervasi sinus karotis.

    Pada pasien yang dilakukan rekonstruksi maxillofacial atau prosedur pembedahan orthognathicsering saluran jalan nafas terekspose dan hal ini merupakan tantangan terbesar bagi anestesiologist. Jikaada tanda-tanda yang menimbulkan masalah saat pemberian ventilasi sungkup atau intubasi trakeal,maka daerah jalan nafas dipastikan aman sebelum dilakukan induksi.

    Jika ada edema post operatif termasuk adanya yang menghalangi saluran jalan nafas (contoh;lidah) , maka pasien harus selalu diawasi dan bila perlu diintubasi.

    Nitrit-oksid dihindari selama timpanoplasti atau dihentikan saat akan penempatan graft.

  • 8/10/2019 Anastesi Pada Bedah Otorhinolaringologi

    2/18

    nastesi pada Bedah Otorhinolaryngologi

    2

    PENDAHULUAN

    Tidak ada kerjasama dan komunikasi antara ahli bedah dan seorang ahli

    anestesiologi selain yang lebih penting daripada selama pembedahan kepala dan leher.

    Pemahaman, pemeliharaan, dan penjagaan anatomi wajah yang abnormal secara

    simultan saat intervensi bedah dapat menguji kesabaran seorang ahli anastesiologi.

    Dengan jelas pemahaman mengenai anatomi saluran jalan nafas (Bab 5) dan

    ketertarikan akan prosedur otolaringologi dan maksilofasial akan membuktikan hal yang

    tak ternilai dalam menghadapi dan menangani tantangan prosedur anestesi bedah

    kepala dan leher.

    ENDOSKOPIEndoskopi meliputi laringoskopi (diagnostik dan operatif), mikrolaringoskopi

    (laringoskopi yang ditambah dengan mikroskop operasi), esofagoskopi dan bronkoskopi

    (Bab 24). Prosedur endoskopi kadang disertai dengan bedah laser.

    Penilaian Preoperatif

    Penilaian yang perlu pada pasien yang akan dilakukana persiapan bedah dengan

    endoskopi adalah suara parau, stridor atau hemoptisis. Masalah yang mungkin terjadi

    saat pembedahan antara lain adalah aspirasi oleh benda asing, trauma aerodigestif,

    papilomatosis, penyempitan trakea, sumbatan oleh karena tumor, atau gangguan pada

    pita suara. Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan diagnostik saat preoperatif

    serta ditanyakan riwayat penyakit terdahulu dengan perhatian secara khusus yang

    dapat mengganggu pada daerah jalan nafas dan harus segera dapat diambil keputusan

    sehubungan dengan tindakan anastesi yang akan dilakukan. Pada beberapa pasien

    dilakukan pemeriksaan radiografi (contoh ; tomogram, CT scan, MRI). Banyak pasien

    yang dilakukan dengan laringoskopi indirect di klinik ahli bedah dan hasil penemuan

    klinis pada saat preoperatif adalah penting untuk didiskusikan oleh tim bedah untukmenentukan tindakan prosedur operasi yang akan dilakukan.

    Pertanyaan utama yang harus dijawab adalah apakah pasien dapat dengan mudah

    dilakukan ventilasi dengan face-mask atau mudah untuk dilakukan intubasi dengan

    laringoskop direct. Jika ada keraguan dengan masalah pada jalan nafas, maka pasien

    seharusnya dipastikan dalam kondisi aman sebelum dilakukan tindakan induksi dengan

    teknik alternatif seperti yang telah didiskusikan pada Bab 5 (contoh : pemakaian

    fiberoptik pada bronkoskopi atau trakeostomi dengan anastesi lokal). Seharusnya

    dipastikan keamanan jalan nafas saat trakeostomi akan dilakukan sehingga dapat

  • 8/10/2019 Anastesi Pada Bedah Otorhinolaringologi

    3/18

    nastesi pada Bedah Otorhinolaryngologi

    3

    menghilangkan kemungkinan terjadinya obstruksi saluran nafas selama operasi oleh

    karena manipulasi dan teknik pembedahan.

    Premedikasi dengan sedasi adalah kontra indikasi pada beberapa pasien dengan

    obstruksi saluran nafas yang bermakna. Pemakaian glikopirolat (0,2-0,3 mg

    intramuskular) 1 jam sebelum operasi dilakukan terbukti sangat membantu

    meminimalisasi sekresi kelenjar air liur, sehingga dapat memfasilitasi saat visualisasi

    daerah saluran nafas.

    Manajemen Intraoperatif

    Tujuan anastesi pada endoskopi antara lain adalah merelaksasikan otot masseter

    pada saat laringoskop dimasukkan, oksigenasi dan ventilasi yang adekuat selama

    manipulasi pembedahah pada saluran pernafasan, dan kondisi kardiovaskuler yang stabil

    selama pembedahan.

    A. RELAKSASI OTOT

    Selama operasi relaksasi otot dapat diberikan secara kontinu dengan suksinilkolin

    perinfus atau bolus intermiten obat penghambat neuromuskuler non depolarisasi

    golongan intermediat (contoh ; rocuronium,vecuronium,cisatracrium). Kerugian suksinil

    drip adalah dapat terjadi phase II blok secara tak terduga pada prosedur yang lama.

    (Lihat Bab 9). Pada sisi lain obat penghambat neuromuskuler non depolarisasi golongan

    intermediat terbukti sulit untuk kembali melindungi refleks saluran nafas dan ekstubasi.

    Masalah ini dapat dihindari dengan memberikan bolus intermiten atau infus mivacurium

    atau cisatracrium, non depolarisasi jangka pendek. Perlu dicatat meskipun relaksan yang

    dalam diperlukan sampai akhir prosedur, pemulihan pasien secara cepat adalah hal yang

    terpenting pada saat endoskopi rawat jalan.

    B. OKSIGENASI DAN VENTILASI

    Beberapa metoda sudah pernah dengan baik dilakukan untuk memberikan

    ventilasi dan oksigenasi selama dilakukan endoskopi. Yang paling umum adalah pasien

    diintubasi dengan ETT yang berdiameter kecil (4.06.0 mm) dimana tekanan positif

    diatur secara konvensional. Namun sebenarnya, secara standar ukuran ETT ini dirancang

    untuk pasien pediatrik. Oleh karena itu ETT cenderung terlalu pendek untuk ukuran

    orang dewasa, dengan pemberian volume-cuff yang rendah akan melawan tekanan yang

    tinggi. Suatu microlaryngeal tracheal tube ( MLT) dengan ukuran 4.0-, 5.0-, atau 6.0-

    mm (Mallinckrodt Critical Care) adalah sama panjangnya dengan ukuran orang dewasa,

    dengan bentuk yang tidak porposional yaitu dengan volume yang besar dan tekanan cuff

    yang rendah dan lebih kaku serta lebih sedikit mengkompresi dibanding tipe tracheal

  • 8/10/2019 Anastesi Pada Bedah Otorhinolaringologi

    4/18

    nastesi pada Bedah Otorhinolaryngologi

    4

    tube yang reguler. Keuntungan intubasi antara lain sebagai perlindungan untuk

    mencegah aspirasi dan sarana untuk mengalirkan gas anestesi inhalasi yang masuk dan

    sebagai monitor untuk melihat end-tidal CO2 secara kontinu.

    Dalam beberapa hal (misalnya ; pada bagian komisura posterior), intubasi dengan

    tracheal tube dapat mempengaruhi lapangan pandang ahli bedah saat dilakukan

    prosedur pembedahan. Suatu alternatif sederhana adalah teknik insuflasi dengan

    oksigen yang tinggi melalui suatu selang ukuran kecil yang dimasukkan ke dalam trakea.

    Walaupun oksigenasi mungkin dialkukan secara ringkas pada pasien dengan fungsi

    paru-paru yang baik, ventilasi dapat tidak adekuat untuk prosedur yang lebih lama

    kecuali jika pasien diijinkan untuk bernafas secara spontan.

    Kemungkinan yang lain adalah teknik intermittent-apnea, di mana periode

    ventilasi dengan oksigenasi sungkup atau dengan penggunaan tracheal tube saat

    periode apnea, selama tindakan bedah dilakukan. Jangka waktu apnea, yang biasanya

    23 menit, ditentukan oleh seberapa baik pasien dapat memenuhi kebutuhan saturasi

    oksigen yang diukur dengan pulse-oksimetri. Hipoventilasi dengan hiperkarbi dan

    aspirasi paru-paru adalah resiko dari dilakukannya teknik ini.

    Suatu pendekatan yang lebih canggih melibatkan ventilator manual pada sisi

    laringoskop. . Selama inspirasi (12 detik), dengan tekanan tinggi (3050 psi) sumber

    oksigen diarahkan saat glotis terbuka dan masuk ke dalam dalam paru-paru (efek

    venturi). Ekspirasi (46 detik) adalah pasif. Adalah rumit untuk memonitor gerakan

    dinding dada secara konstan dan untuk memperoleh waktu yang cukup untuk ekhalasiuntuk menghindari air trapping dan barotrauma. Suatu variasi teknik ini adalah jet

    ventilasi (ventilasi pancaran tinggi) yang menggunakan suatu kanul kecil atau selang di

    trakea dengan udara selama 80300 kali per menit (lihat bab 49). Jet ventilasi dengan

    frekuensi tinggi memerlukan tindakan anestesi intravena. Kapnografi digunakan untuk

    mengukur PaCO2 selama dilakukan jet ventilasi oleh karena adanya dilusi gas alveolar

    yang konstan.

    C.

    STABILITAS KARDIOVASKULER

    Tekanan darah dan denyut jantung sering berubah-ubah secara tajam selama

    dilakukan prosedur endoskopik dengan mempertimbangkan dua hal . Pertama, banyak

    dari pasien memiliki riwayat pengguna alkohol dan tembakau berat yang dapat menjadi

    predisposisi untuk timbulnya penyakit kardiovaskular. Sebagai tambahan, prosedur

    pembedahan yang dilakukan seperti stress-filled laryngoscopies dan intubations, yang

    dipisahkan dengan bermacam-macam periode rangsangan berhubungan dengan

    dilakukannya pembedahan minimal. Mencoba untuk memelihara pasien agar tetap level

    anestesi yang konstan tanpa adanya tindakan yang mengakibatkan interval hipertensi

    yang bertukar-tukar dengan hipotensi. Obat-obat anestesi yang digunakan untuk

  • 8/10/2019 Anastesi Pada Bedah Otorhinolaringologi

    5/18

    nastesi pada Bedah Otorhinolaryngologi

    5

    menjaga baseline level anestesi tersebut adalah dengan menggunakan supplementation

    yang short-acting anesthetics (misalnya, propofol, remifentanil) atau antagonis simpatik

    (misalnya, esmolol) yang diperlukan selama periode rangsangan ditingkatkan. Secara

    alternatif blok regional syaraf glossopharyngeal dan syaraf laringeal superior akan

    mengurangi tekanan darah selama operasi (lihat bab 5, Diskusi Kasus). Monitor invasif

    pada tekanan darah arterial perlu dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat

    hipertensi atau penyakit jantung koroner, meskipun ahli bedah mengantisipasinya

    dengan melakukan suatu prosedur bedah yang singkat.

    WASPADA LASER

    Laser(light amplification by stimulated emission of radiation), pancaran cahaya

    yang berbeda dengan cahaya yang biasa, dengan ciri-ciri , yaitu monokromatik

    (misalnya, cahaya ini memiliki panjang gelombang) , koheren (cahaya memancar pada

    fase yang sama), dan kolimat (berkas cahaya yang keluar bersifat paralel). Karakteristik

    ini memudahkan para ahli bedah untuk bekerja dengan ketepatan yang sempurna dan

    timbulnya hemostasis dengan edema atau nyeri yang minimal pasca operasi. Namun

    sayangnya, cahaya laser tersebut juga menimbulkan risiko yang besar ke dalam ruang

    operasi.

    Efek samping dan penggunaan yang potensial suatu sinar laser berbeda menurut

    panjang gelombangnya, tergantung oleh media dimana laser dihasilkan. Sebagai contoh

    adalah mdium gas CO2 yang menghasilkan laser dengan gelombang yang

    panjang.(laser CO2 memiliki panjang gelombang 10.600 nm), sedangkan medium

    ytrium-aluminium-garnet (YAG) menghasilkan gelombang yang lebih pendek (laser YAG

    memancarkan gelombang 1064 atau 1320 nm). Sebagaimana semakin bertambahnya

    panjang suatu gelombang, penyerapan oleh air akan meningkat dan penetrasi ke

    jaringan malah akan berkurang. Oleh karena itu efek laser CO2 lebih banyak terlokalisir

    dan lebih superfisial dibandingkan dengan laser YAC.

    Tindakan pencegahan yang umum dilakukan antara lain adalah mengevakuasi

    gas beracun (pancaran laser yang hebat) dari penguapan jaringan, yang mana hal ini

    potensial sebagai transmisi penyakit yang disebabkan oleh suatu mikrobakterial.

    Tergantung pada panjang gelombang laser yang digunakan, seluruh pengguna kamar

    operasi haruslah menggunakan alat proteksi mata, dan mata pasien pun juga harus

    ditutup.

    Ketakutan yang terbesar selama dilakukan tindakan laser di daerah jalan nafas

    adalah terbakarnya selang trakea. Hal ini dapat dicegah dengan menggunakan teknik

    ventilasi dengan tidak menggunakan selang mudah terbakar (misal: teknik intermitten

    apnea atau jet ventilasi melalui suatu sisi laringoskop). Bagaimanapun, beberapaprosedur memerlukan selang trakea oleh karena durasi kejadian, lokasi lesi, atau ada

  • 8/10/2019 Anastesi Pada Bedah Otorhinolaringologi

    6/18

    nastesi pada Bedah Otorhinolaryngologi

    6

    permasalahan paru-paru sebelumnya. Pada kasus-kasus ini , penggunaan selang trakea

    adalah relatif resistan terhadap laser (tabel 39-1). Salah satu usaha untuk melindungi

    selang trakea dari keterpaparan sinar laser adalah dengan melapisi selang dengan bahan

    metalik, yang seharusnya digunakan dengan penuh kehati-hatian.

    Tabel 39 1 Kentungan dan Kerugian Macam macam Tracheal TubePada Bedah Laser di Saluran Pernafasan

    Macam Tube Keuntungan Kerugian

    Polyvinyl chloride MurahTitik lebur rendahMudah terbakar

    Karet Merah Tahan bocor,struktur kuat Mudah terbakar

    Karet Silikon Non-reflektif Mudah terbakar, beracun

    LogamTahan panas1

    tidak kingkingDaerah lipatan mudah

    Terbakar

    1 Daya tahan panastergantung dari fraksi oksigen dan kekuatan laser

    Tabel 39 2 Kerugian membungkus Tracheal Tube dengan Metalik

    Tidak ada cuff yang melindungi

    Selang bertambah tebal

    Tidak direkomendasikan oleh FDA

    Perlindungan bervariasi dengan lapisan metal-foil

    Dapat memancarkan sinar laser ke jaringan yang bukan targetnya

    Tepi yang keras dapat merusak permukaan mukosa

  • 8/10/2019 Anastesi Pada Bedah Otorhinolaringologi

    7/18

    nastesi pada Bedah Otorhinolaryngologi

    7

    Ada selang trakea yang terbuat dari baja tahan karat dan bisa memantulkan sinar laser.

    Jika sinar laser mengenai selang trakea, mereka akan menjadi tidak terfokus, sehingga

    menyebabkan kerusakan pada jaringan yang normal. Ada doubl cuff pada bagian distal

    selang untuk mencegah kebocoran pada saluran pernafasan. Oleh karena itu jika cuff

    bagian atas diserang oleh laser dan salin keluar, maka cuff bagian bawah akan

    melanjutkan untuk menghalangi kebocoran. Teknologi untuk selang telah dikembangkan

    oleh National Aeronautics and Space Administration(NASA).

    Seharusnya ditekankan bahwa tidak ada cuff pada selang trakea yang benar-benar

    terlindungi dari sinar laser. Oleh karena itu, kapan saja dilakukan bedah laser di

    daerah saluran pernafasan perlu diperhatikan letak selang trakea, dibawah ini

    adalah hal-hal yang menjadi perhatian :

    -

    Konsentrasi oksigen saat inspirasi sebaiknya serendah mungkin (beberapa pasien

    dapat toleransi pada nilai FiO2 21 %)

    - Nitrous oxide mudah terbakar dan sebaiknya diganti dengan udara (nitrogen)

    atau helium).

    - Tracheal tube diolesi dengan cairan yang bersifat garam dan ditambah dengan

    methylene blue untuk memantulkan panas dan sebagai signal bila cuff bocor .

    Suatu cuff selang akan dapat memperkecil konsentrasi oksigen di dalam faring

    Penambahan 2% jeli lidocaine(perbandingan dengan salin 1 :2) ke dalam cuff

    bagian proksimal dapat mengurangi insiden sinar laser untuk menimbulkankebocoran pada selang, terutama mencegah agar tidak mudah terbakar.

    - Kuantitas sinar laser dan lamanya pemakaian sebaiknya dibatasi sekecil

    mungkin.

    - Salin (teraturasi komplet) sebaiknya ditempatkan di saluran pernafasan untuk

    memperkecil resikopembakaran.

    - Suatu sumber air (misalnya; 60 ml via syringe) harus segera dipersiapkan bila

    ada kebakaran.

  • 8/10/2019 Anastesi Pada Bedah Otorhinolaringologi

    8/18

    nastesi pada Bedah Otorhinolaryngologi

    8

    Hal-hal tersebut di bawah ini menjadi perhatian, terhadap risiko terbakarnya daerah

    saluran pernafasan; dan seorang anestesiologi harus selalu mempersiapkan diri . (tabel

    39-3)

    Tabel 39

    3 . Protokol Terjadinya Kebakaran pada Saluran Nafas

    1. Ventilasi diberhentikan dan cabut selang trakea

    2. Matikan oksigen dan putuskan hub sirkuit dgn mesin

    3. Masukkan tube ke dalam air.

    4. Beri ventilasi dengan face mask dan lakukan reintubasi

    5. Lakukan pemeriksaan foto thorax dan bronchoscopy untuk melihat kerusakan

    jalan nafas

    6.

    Pertimbangkan bronchial lavage dan pemberian steroid

    BEDAH HIDUNG DAN SINUS

    Bedah hidung dan sinus meliputi polipektomi, bedah sinus endoskopi, sinustomi

    maksillaris (prosedur Caldwell Luc), rinoplasti dan septoplasti.

    Pertimbangan Preoperatif

    Pasien yang akan dilakukan bedah hidung dan sinus memiliki beberapa

    pertimbangan preoperatif sebelum dioperasi. Pasien biasanya datang dengan gejala

    adanya hidung tersumbat yang mungkin disebabkan oleh polip, septum deviasi, atau

    pembengkakan mukosa hidung akibat infeksi. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam hal

    ventilasi, terutama bila ada kombinasi degan penyebab lain yang mengakibatkan terjadi

    gangguan ventilasi (misalnya obesitas, kelainan deformitas maksilofasial) .

    Polip hidung seringkali dihubungkan dengan reaksi alergi seperti asma. Pasien

    dengan riwayat reaksi alergi dengan aspirin sebelumnya tidak dapat diberikan obat

    nonsteroid antiinflamasi (contoh : ketorolac). Penampakan klinis polip nasal biasa

    dijumpai pada penyakit fibrosis kistik.

    Oleh karena daerah mukosa hidung kaya akan pembuluh darah,pertanyaan yang

    perlu ditanyakan saat preoperatif harus dikonsentrasikan pada riwayat penggunaan

    obat sebelumnya (misalnya aspirin) dan riwayat hidung berdarah sebelumnya.

  • 8/10/2019 Anastesi Pada Bedah Otorhinolaringologi

    9/18

    nastesi pada Bedah Otorhinolaryngologi

    9

    Manajemen Intraoperatif

    Prosedural bedah hidung banyak dilakukan dengan menggunakan anestesi lokal

    dan sedasi. Saraf etmoidalis anterior dan saraf sfenoidalis (lihat Gambar 5-3) mensarafi

    persarafan sensorik di daerah septum hidung dan dinding lateral hidung. Kedua saraf

    dapat diblok dengan menaruh kapas / kain kassa yang telah terapapar dengan anestesi

    lokal. Anestesi lokal topikal harus dibiarkan pada daerah yang akan dibedah sedikitnya

    10 menit sebelum dilakukan pembedahan.

    Injeksi submukosal dengan anestesi lokal seringkali diperlukan, secara rutin

    digunakan bila terdapat jaringan parut sebelum operasi. Penggunaan dari suatu

    epinephrine yang berupa cairan atau kokain (biasanya 4% atau 10% cairan) akan

    mengerutkan mukosa hidung dan potensia untuk mengurangi keluarnya darah selama

    operasi. Kokain yang digunakan sebagai intranasal (dosis maksimum adalah 3 mg/kgBB)

    secara cepat terabsorbsi (mencapai level puncak dalam waktu 30 menit) dan mungkin

    dapat mempengaruhi fungsi kardiovaskuler yang merugikan.

    Manajemen Intraoperatif

    Anestesi umum adalah teknik anestesi yang lebih disukai untuk bedah hidung

    oleh karena sering timbul ketidaknyamanan dan blok yang tidak sempurna yang terjadi

    saat pemberian anestesi topikal. Perhatian khusus adalah pada saat dilakukan induksi

    yaitu pada bagian oral saat mempertahankan jalan nafas selama pemberian ventilasi

    dengan menggunakan sungkup untuk mencegah obstruksi, dilakukan dengan teknik

    intubasi dengan memasukkan selang , yaitu dengan teknik right-angle endotracheal

    (RAE) (sebagai contoh dengan menggunakan selang oral RAE, Mallinckrodt Critical Care;

    gambar 391), Oleh karena dekatnya daerah yang dilakukan pembedahan dengan mata

    maka mata pasien hendaknya ditutup erat untuk menghindari terjadinya abrasi kornea.

    Satu perkecualian saat dilakukannya bedah sinus endoskopi, dimana ahli bedah pada

    waktu tertentu ingin melihat gerakan pada daerah mata selama pembedahan oleh

    karena dekatnya daerah sinus dengan mata (gambar 392). Dengan cara yang sama,

    obat pelumpuh otot betul-betul diusulkan oleh karena pasien potensial untuk terjadi

    komplikasi pada neurologik dan daerah mata apabila pasien bergerak selama dilakukan

    operasi sinus.

    Teknik yang dilakukan untuk meminimalisir perdarahan selama operasi salah

    satunya adalah menggunakan kokain atau epinefrin kombinasi dengan anestesi lokal,

    dengan posisi kepala ditegakkan sedikit (slightly head-up position) dan perlunya

    mengkontrol keadaan sedikit hipotensi. Pemasangan pack pada derah belakang faring

    seringkali digunakan untuk mengurangi risiko aspirasi akibat darah yang keluar.

    Meskipun hal ini menjadi suatu hal yang perlu diperhatikan, namun para anestesiologi

  • 8/10/2019 Anastesi Pada Bedah Otorhinolaringologi

    10/18

    nastesi pada Bedah Otorhinolaryngologi

    10

    harus benar-benar mempersiapkan jika terjadi perdarahan, khususnya bila dilakukan

    reseksi pada tumor pembuluh darah (misalnya pada kasus juvenil angiofibroma

    nasopharyngeal).

    Idealnya, ekstubasi pada pasien haruslah secara smooth, dengan minimal batuk,

    oleh karena hal ini dapat meningkatkan tekanan vena dan rentan untuk menimbulkan

    pendarahan post-operasi. Sangat disayangkan, strategi yang dilakukan untuk mengatasi

    masalah ini juga dapat meningkatkan risiko aspirasi (contoh ekstubasi dalam)

    Gambar 39-1. Sebuah selang Right-Angle Endotracheal(RAE).Tampak adanya ikatan

    pada sudut sebelah kanannya (right-angle) yang sesuai untuk gigi sehingga mudah

    untuk dikeluarkan dari mulut saat dilakukan bedah pada mata dan hidung.

    Gambar 39-2. Proksimal sinus hingga ke daerah orbita.(ATampak Depan; BPotongan

    Koronal) memperlihatkan kemungkinan terjadi fraktur di daerah orbita selama dilakukan

    bedah sinus endoskopi. (Reproduksi dan modifikasi, dengan seijin, Snell RS, Katz J :

    Clinical Anatomy for Anesthesiologists.Appleton & Lange, 1988)

    Gambar 39-1

  • 8/10/2019 Anastesi Pada Bedah Otorhinolaringologi

    11/18

    nastesi pada Bedah Otorhinolaryngologi

    11

    BEDAH KANKER KEPALA DAN LEHER

    Pembedahan untuk kanker kepala leher antara lain adalah laringektomi,

    glossektomi, faringektomi, parotidektomi, hemimandibulektomi, dan radical neck

    dissection. Pemeriksaan endoskopi seringkali mendahului teknik prosedur pembedahan

    tersebut, sementara waktu untuk trakeostomi tergantung pada kondisi jalan nafas

    pasien saat preoperatif. Beberapa prosedur yang termasuk juga untuk bedah kanker

    kepala dan leher antara lain adalah bedah rekonstruksi, seperti transplantasi flap.

    Pertimbangan Preoperatif

    Tipikal pasien untuk bedah kanker kepala dan leher adalah berusia tua dan

    memiliki riwayat sebagai perokok berat dan pencandu alkohol. Kondisi medis

    sebelumnya perlu diketahui sebagai evaluasi preoperatif dan optimilisasi, antara lain

    adalah adanya riwayat penyakit paru obstruksi kronik, penyakit jantung koroner,

    pecandu alkohol kronis, aspirasi pneumonia, dan malnutrisi.

    Tatalaksana jalan nafas mungkin saja sering disertai dengan komplikasi lesi

    akibat obstruksi atau terapi radiasi preoperatif yang mengakibatkan gangguan anatomi.

    Oleh karena itu, apabila timbul keraguan yang sangat serius, induksi secara intravena

    seharusnya dihindari dimana lebih disukai dengan cara awake atau menggunakan

    laringoskopi fiberoptik (jika pasien kooperatif) atau dengan induksi secara inhalasi,

    dilanjutkan dengan ventilasi spontan (jika pasien tidak kooperatif). Pada beberapa

    kasus, personil dan peralatan yang sangat diperlukan adalah trakeostomi emergensi

    apabila diperlukan tindakan yang bersifat tiba-tiba. Trakeostomi secara elektif diengan

    anestesi lokal adalah pilihan, khususnya jika pada laringoskopi indirect memperlihatkan

    adanya kecurigaan suatu lesi yang mengganggu selama intubasi.

    Manajemen Intraoperatif

    A. Pemantauan

    Oleh karena perdarahan yang terjadi sering dihubungkan dengan banyaknya

    intervensi prosedural dan adanya riwayat penyakit kardiopulmoner sebelumnya,

    maka pasien sering memerlukan pemasangan kanulasi arteri, dan perlunya

    pemantauan tekanan darah, analisis gas darah, dan nilai hematokrit. Jika vena

    sentral kateter atau arteri pulmoner kateter dianggap perlu, maka vena antekubiti

    atau vena femoral dapat menjadi pilihan yang terbaik. Jalur arterial dan kanul

    intravena tidak boleh dipasang di lengan jika direncanakan pemasangan flap pada

    daerah radial lengan atas. Sedikitnya digunakan dua jalur intravena dengan bore

    besar dan pemasangan kateter urin (lebih disukai untuk pemantauan temperatur).

    Udara inspirasi seharusnya yang hangat dan lembab, dan selimut penghangat

  • 8/10/2019 Anastesi Pada Bedah Otorhinolaringologi

    12/18

    nastesi pada Bedah Otorhinolaryngologi

    12

    seharusnya dipasang di daerah ektremitas bawah untuk menjaga agar temperatur

    tubuh tetap normal. Hipotermi dapat terjadi selama operasi dan akibatnya

    vasokontriksi pembuluh darah dan mempengaruhi pada perfusi ke tempat

    pemasanagan flap.

    B. Trakeostomi

    Trakeostomi selama operasi seringkali diperlukan pada saat bedah kanker kepala

    dan leher. Selama pemberian ventilasi oksigen 100%, selang trakea dan daerah

    hipofaring seharusnya disuction untuk mengurangi terjadinya risiko aspirasi akibat

    darah atau sekresi ludah. Pengaruh diseksi ke arah trakea , maka cuff selang trakea

    di arahkan ke bawah untuk menghindari terjadinya kebocoran cuff saat pemotongan

    dengan scalpel. Ketika dinding trakea ditranseksi, selang trakea ditarik perlahan

    sehingga ujungnya berada ke sefalat terhadap daerah yang diinsisi. Ventilasi yang

    terjadi saat periode tersebut sangatlah sulit oleh karena dapat terjadi kebocoran

    yang besar di sepanjang trakea. Selang trakea yang steril atau selang laringektomi

    yang berbentuk huruf J, dimasukkan ke dalam trakea, dihubungkan ke sirkuit nafas

    yang steril dan di jahit di dinding trakea. Secepatnya posisi dikoreksi dan

    dikonfirmasi dengan kapnografi dan diperiksa askultasi dadaas. Peningkatan pada

    nilai peak inspiratory pressure secara tiba-tiba dapat menjadi tanda adanya posisi

    yang salah pada selang, atau terjadi bronkospasme, atau ada debris/kotoran trakea.

    C.

    Pemeliharaan Anestesi

    Ahli bedah mungkin memerlukan obat pelumpuh otot saat diseksi leher atau

    parotidektomi untuk mengidentifikasikan saraf-saraf (sebagai contoh : saraf spinal

    asesorius, saraf fasialis) dengan stimulasi langsung dan untuk melindungi saraf-saraf

    tersebut. Teknik mild hypotensive dapat sangat membantu untuk mengurangi

    perdarahan. Tekanan perfusi serebral haruslah diperhatikan, ketika tumor mengenai

    arteri karotis (menurunkan tekanan arterial serebral, atau vena jugularis

    (meningkatkan tekanan vena serebral). Lebih lanjut, posisi head-up tilt mungkin

    dapat meningkatkan terjadinya emboli udara di vena. Mengikut daripadareanostomosis dari flap bebas mikrovaskuler, tekanan darah seharusnya

    dipertahankan pada tekanan darah basal pasien. Vasokontriktor (contoh :penileprin)

    seharusnya dihindari karena meskipun tekanan darah meningkat, perfusi flap akan

    menurun oleh karena vasokontriksi pemubuluh darah di graft. Meskipun demikian,

    vasodilator (seperti sodium nitroprusid atau hidralazin) seharusnya dihindari oleh

    karena penurunan tekanan perfusi.

  • 8/10/2019 Anastesi Pada Bedah Otorhinolaringologi

    13/18

    nastesi pada Bedah Otorhinolaryngologi

    13

    D. Transfusi

    Hilangnya darah dapat terjadi dengan cepat . Keputusan akan transfusi harus

    seimbang terhadap masalah medis pasien dengan adanya kemungkinan peningkatan

    risiko angka kekambuhan terjadinya kanker akibat imunosupresi. Faktor reologikal

    dapat membuat angka hematokrit yang relatif rendah (contoh 27-30%)yang dapat

    ditolerir saat dilakukan free-flap mikrovaskuar. Diuresis hendaknya dihindari pada

    bedah free-flap mikrovaskular untuk mendapat perfusi graft yang adekuat pada

    periode post-operatif.

    E. Ketidakstabilan Kardiovaskular

    Manipulasi terhadap sinus karotis dan ganglion stelate selama diseksi leher

    radikal (sisi sebelah kanan lebih sering dibandingkan sisi sebelah kiri) akan

    menyebabkan penurunan tekanan darah, bradikardi, aritmia, arest sinus, dan

    pemanjangan interval QT. Infiltrasi selaput karotis dengan anestesi lokal biasanya

    akan memperbaiki masalah ini. Diseksi leher bilateral dapat menyebabkan hipertensi

    post-operasi dan gangguan oksigenasi oleh karena denervasi dari sinus karotis dan

    badan sinus.

    BEDAH ORTHOGNATIK DAN

    REKONSTRUKSI MAKSILOFASIAL

    Rekonstruksi maksillofasial seringkali diperlukan untuk mengoreksi trauma

    (misalnya ; fraktur LeFort) atau gangguan pembentukan dan pertumbuhan tulang,

    digunakan untuk bedah kanker yang radikal (contoh : mandibulektomi) atau obstruksi

    sleep-apnea . Prosedural orthognatik (misal Osteotomi LeFort, Osteotomi Mandibula)

    untuk gangguan oklusi tulang memerlukan kerjasama antara bedah dan tindakan

    anestesi.

    Pertimbangan Preoperatif

    Pasien yang akan dilakukan tindakan rekonstruksi maksilofasial atau prosedur

    bedah orthognatik kerapkali memiliki tantangan bagi seorang anestesiolog dalam hal

    penatalaksanaan jalan nafas. Evaluasi jalan nafas saat preoperatif haruslah dilakukan

    secara cermat dan teliti. Perhatian khusus terfokus pada kemampuan membuka rahang,

    kesesuaian ukuran masker, gerak leher, mikrognati, retrognati, anatomi maksila, lidah

    besar (makroglosia), gigi yang patologis, patensi hidung, atau lesi maupun debris di

    daerah intraoral. Jika ada tanda-tanda yang berhubungan dengan gangguan dalam

    pemberian ventilasi dengan masker ataupun kesulitan dalam intubasi trakeal, maka

  • 8/10/2019 Anastesi Pada Bedah Otorhinolaringologi

    14/18

    nastesi pada Bedah Otorhinolaryngologi

    14

    pastikan jalan nafas dapat dikendalikan sebelum dilakukan induksi. Perlu

    dipertimbangkan intubasi nasal dengan fibreoptic, atau intubasi oral dengan fibreoptic,

    atau trakeostomi. Intubasi nasal dengan menggunakan selang RAE atau selang yang

    lurus dengan sudut konektor yang fleksibel (Gambar 39-3) yang biasanya lebih sering

    dipakai untuk bedah gigi dan mulut. Selang trakea dapat diarahkan ke arah sefalad, dan

    dihubungkan dengan selang pernafasan mengarah pada kepala pasien. Di sisi yang lain,

    intubasi nasal haruslah sangat hati-hati pada fraktur LeFort II dan LeFort III oleh karena

    kemungkinan adanya fraktur dasar tengkorak (basis cranii) dan adanya rinorea cairan

    serebrospinal.

    Manajemen Intraoperatif

    Bedah rekonstruksi dan orthognatik sering dihubungkan dengan kemungkinan

    perdarahan. Strategi yang dilakukan untuk mengurangi perdarahannya adalah dengan

    meposisikan kepala sedikit head-up, mengontrol tekanan darah dengan teknik hipotensi,

    dan infiltrasi larutan epinefrin secara lokal. Oleh karena lengan pasien secara tipikal

    dirapatkan pada kedua sisi lengan, maka jalur intravena harus benar-benar lancar

    sebelum tindakan bedah dimulai. Hal ini menjadi penting karena salah satu jalur

    intravenanya digunakan untuk pemberian obat anestesia. Jalur arteri juga dapat

    digunakan pada kasus dengan perdarahan yang hebat, khususnya bila ahli bedah

    mengenai lengan pasien yang dalam keadaan terpasang alat pengukur tekanan darah

    yang non invasif dan pada saat cuffnya mengukur tekanan darah pasien. Pack yang

    diletakkan pada orofaringeal sering dipakai untuk meminimalisasikan jumlah perdarahan

    atau debris yang masuk ke laring dan trakea. Oleh karena posisi jalan nafas yang

    proksimal terhadap lapangan pandang ahli bedah, sehingga posisi seorang anestesiolog

    adalah lain dari biasanya maka hal ini dapat menjadi salah satu masalah terhadap jalan

    nafas selama intraoperatif, misalnya selang trakeanya kinking, mudah diskonek, atau

    terjadi kebocoran atau perforasi akibat manipulasi instrumen bedah. Monitoring jalan

    nafas meliputi End-Tidal CO2, Tekanan puncak inspiratoar (Peak Inspiratory Pressure),

    dan suara stetoskop oesofagus yang dianggap meningkat pada beberapa kasus.

    Gambar 39-3

    A; Sebuah selang Nasal Right-Angle Endotracheal (RAE)

    terfiksasi pada hidung sehingga selang menghadap

    langsung ke arah dahi.

    B: Alternatifnya, selang trakea yang jenis straight regular

    dapat dipotong di dekat lubang hidung dan disambungkan

    dengan konektor yang fleksibel.

  • 8/10/2019 Anastesi Pada Bedah Otorhinolaringologi

    15/18

    nastesi pada Bedah Otorhinolaryngologi

    15

    Gambar 39-4. A: Representasi diafragmatik Fraktur LeFort I,II,dan III. LeFort II da III

    kemungkinan berhubungan dengan fraktur dasar tengkorak, kontraindikasi dengan intubasi nasal.

    B: CT Scan mendemostrasikan adanya fraktur di LeFort II. Tidak ada bukti adanya fraktur dasar

    tengkorak pada potongan di slide ini.

    Pada akhir pembedahan, pack yang di orofaringeal harus dikeluarkan dan derah

    faring harus disuction. Meskipun biasanya tidak ditemukan debris-debris darah pada

    suktion pertama, terus dilakukan suktion untuk mengurangi produksinya. Apabila

    dijumpai edema post-operasi termasuk obstruksi jalan nafas (misalkan : lidah), pasien

  • 8/10/2019 Anastesi Pada Bedah Otorhinolaringologi

    16/18

    nastesi pada Bedah Otorhinolaryngologi

    16

    haruslah diobservasi secara cermat dan mungkin masih harus dalam keadaan

    terintubasi. Namun di sisi lain, ekstubasi dapat dilakukan bila pasien sudah sadar penuh

    dan tidak ada tanda-tanda perdarahan yang berlanjut. Pasien dengan fiksasi

    intermaksilaris (misal dengan menggunakan kawat maksilomandibular), haruslah

    dipersiapkan alat pemotongnya di sisi tempat tidurnya apabila pasien muntah atau perlu

    tindakan penyelamatan jalan nafas segera.

    BEDAH TELINGA

    Bedah telinga yang seringkali dilakukan antara lain adalah stapedektomi (biasanya

    dilakukan dengan anestesi lokal), timpanoplasti, dan mastoidektomi. Miringotomi dengan

    insersi timpanostomi tube, adalah tindakan bedah yang paling sering dijumpai pada

    bedah anak dan didiskusikan pada Bab 44.

    Manajemen Intraoperatif

    A. N2O

    Oleh karena N2O lebih mudah larut dibandingkan dengan Nitrogen di dalam

    darah, maka nitrit oksid lebih mudah berdifusi melalui rongga rongga udara

    dibandingkan nitrogen (komponen utama adalah udara) dan lebih mudah

    diabsorbsi di pembuluh darah (lihat Bab 7) . Secara normalnya perubahan tekanan

    udara di dalam telinga tengah yang disebabkan oleh N2O dapat ditolerir dengan

    aliran pasif ke tuba eustachius. Pasien dengan riwayat penyakit telinga kronis

    (misalnya otits media, sinusitis), seringkali tuba eustachius tidak mengalami

    kerusakan dan pengalaman yang sangat jarang hilangnya pendengaran ataupun

    ruptur membran timpani akibat N2O.

    Selama timpanoplasti, telinga tengah terbuka terhadap atmosfer dan tidak

    adanya tekanan disekelilingnya. Suatu ketika ahli bedah akan menempatkan graft

    pada membran timpani dan pada saat itu rongga telinga tengah akan menjadi

    ruang yang tertutup. Jika N2O diperbolehkan untuk berdifusi ke dalam rongga

    telinga tengah pada saat itu, maka tekanan di dalam telinga tengah akan

    meningkat dan graft mungkin dapat terlepas. Kebalikannya, diskontinu N2O setelah

    peletakkan graft akan menyebabkan tekanan rongga telinga tengah menjadi

    tekanan negatif, yang akan menyebabkan graft tidak menempel. Oleh karena itu,

    N2O haruslah dihindari pada operasi timpanoplasti atau dimatikan sebelum

    peletakkan graft. Kenyataannya, lama waktu yang diperlukan untuk mengeluarkan

    sisa N2O tergantung oleh banyak faktor, termasuk ventilasi alveolar dan fresh gas

    flow(lihat Bab 7), tapi biasanya dibutuhkan waktu 15-30 menit.

  • 8/10/2019 Anastesi Pada Bedah Otorhinolaringologi

    17/18

    nastesi pada Bedah Otorhinolaryngologi

    17

    B. Hemostasis

    Karena tindakan bedah yang akan dilakukan adalah bedah mikro, maka

    jumlah darah seberapapun jumlahnya dapat mengaburkan lapangan pandang

    operasi. Teknik yang dilakukan untuk meminimalisasikan perdarahan selama

    bedah telinga antara lain sedikit kepala ditinggikan (head elevation) 15, infiltrasi

    atau aplikasi topikal epinefrin (1:50.000-1:200.000) dan mengontrol hipotensi.

    Teknik mengontrol hipotensi pada bedah telinga pada beberapa masih

    kontroversial oleh karena ada risiko dan masih diragukan. Oleh karena batuk

    akibat rangsangan selang trakea saat pasien mulai bangun (khususnya saat

    kepala sudah dalam keadaan diperban) akan dapat meningkatkan tekanan vena

    dan dapat menyebabkan perdarahan, maka ekstubasi dalam akan dapat

    membantu.

    C. Identifikasi Saraf Fasialis

    Penyelamatan saraf fasialis adalah hal yang perlu diperhatikan selama

    dilakukan bedah telinga (misalnya : saat reseksi tumor glomus atau neuroma

    akustik), Selama operasi tersebut paralisis saraf intraoperatif dengan obat

    penghambat neuromuskular dapat membingungkan interpertasi stimulasi saraf

    fasilais dan pemakaian obat tersebut haruslah dihindari.

    D.

    Pasca Operasi Mual dan Muntah

    Oleh karena telinga tengah sangat erat berhubungan dengan sensasi

    keseimbangan, maka pasca operasi bedah telinga telinga dapat menimbulkan

    telinga berdengung (vrtigo), mual, dan muntah. Induksi dan pemeliharaan

    dengan menggunakan propofol telah menunjukkan berkurangnya insiden mual

    dan muntah pasca operasi selama pembedahan telinga tengah. Profilaksis dengan

    decadron selama induksi , biasanya pemberian obat penghambat 5HT perlu

    dipertimbangkan sebelum reaksi terjadi.

    Prosedur Bedah Mulut

    Bedah mulut banyak dilakukan dengan anestesi lokal dengan penambahan obat

    sedasi secara intravena yang dilakukan di klinik. Jika sedasi memang diperlukan dan jika

    prosedur yang dilakukan sangat kompleks, seorang anestesiologi dapat menyediakan

    alat bant untuk penyelamatan jalan nafas,serta perawatan yang optimal. Karena ahli

    bedah mulut dan seorang anestesiolog harus melakukan dengan penuh kehati-hatian

    maka diperlukan suatu kerja sama yang baik diantara keduanya. Sebagai contoh, suatu

    bite block dan pack di orofaringeal harus digunakan untuk mmproteksi jalan nafas.

    Penggunaan sedasi dosis ringan hingga sedang dengan pack di orofaring digunakan

  • 8/10/2019 Anastesi Pada Bedah Otorhinolaringologi

    18/18

    nastesi pada Bedah Otorhinolaryngologi

    18

    untuk menjaga cairan yang mengalir dan gigi yang patah yang masuk ke area jalan

    nafas. Namun, sedasi yang dalam dan anestesi umum ,perlu diantisipasi, serta

    memerlukan kontrol jalan nafas oleh seorang anestesiologi. Oleh karena bedah yang

    dilakukan adalah di mulut akan dapat mengurangi pemantauan akses jalan nafas oleh

    anestesiologi, maka rencana preoperatif harus benar-benar disesuaikan.

    Tindakan bedah mulut minor, seperti eksodonti, biasanya tidak lebih dari 1 jam.

    Daerah yang akan dioperasi diinfiltrasi dengan anestesi lokal atau dilakukan blok syaraf.

    Pada orang dewasa, seringkali menggunakan lidokain 2% dengan epinefrin 1/100.000

    dan 0,5% bupivakain dengan epinefrin 1/200.000 dalam jumlah 12 mL dan 18 mL.

    Anestesiolog harus diinformasikan jumlah anestesi lokal yang diinfiltrasikan oleh ahli

    bedah sehingga anestesi mengetahui dosis yang digunakan masih dalam batasan yang

    sesuai dengan berat badan. Pasien pediatrik,khusunya, sangatlah mudah untuk

    mengalami toksisitas akibat anestesi lokal oleh karena overdosis atau penyuntikan ke

    intravaskular secara langsung.

    Pemberian sedasi intravena selama dilakukan bedah mulut, bisanya memberikan

    kenyamanan pada pasien selama pembedahan dan lapangan pandang untuk

    pembedahan lebih mudah dilihat. Kombinasi fentanil (2-3 /kg) dan midazolam (20-50

    /kg) biasanya adekuat sebagai loading dose sebelum diinjeksikan obat anestesi lokal.

    Sedasi mungkin dapat ditambahkan dengan penambahan sedikit dosis fentanil ,

    midazolam, dan propofol. Propofol (20-30 mg sebagai incremental dose untuk dewasa)

    adalah sangat baik diberikan bila ahli bedah memerlukan suatu keadaan pasien yangunconciousness (tidak sadar).

    Teknik ini memerlukan kerja sama yang sangat baik dan partisipasi antara kedua

    ahli baik ahli bedah maupun seorang ahli anestesi; jika perlu, pasien lebih nyaman bila

    dilakukan di rumah sakit dengan anestesi umum dan perlindungan terhadap jalan nafas.