anastesi spinal pada hipertiroid

58
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat serta karuniaNya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul Anestesi Spinal pada Pasien Mola Hidatidosa dengan Hipertiroid”. Dalam menyelesaikan laporan kasus ini, kami mendapat bantuan dan bimbingan, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. dr. Guntur, Sp.An dan sebagai pembimbing yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu dan menjalani Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soeselo, Slawi. 2. Staf dan paramedis yang bertugas di Kamar Operasi Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soeselo Slawi, khususnya kepada seluruh penata anestesi yang telah membantu selama kami menjalankan kepaniteraan. Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh karena kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Penulis berharap laporan khusus ini dapat memberikan manfaat yaitu menambah ilmu pengetahuan bagi seluruh pembaca, khususnya untuk mahasiswa kedokteran dan masyarakat pada umumnya. 1

Upload: julian-eka-putra

Post on 18-Jan-2016

81 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

anastesi spinal pada hipertiroid

TRANSCRIPT

Page 1: anastesi spinal pada hipertiroid

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan

rahmat serta karuniaNya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan kasus

dengan judul “Anestesi Spinal pada Pasien Mola Hidatidosa dengan Hipertiroid”.

Dalam menyelesaikan laporan kasus ini, kami mendapat bantuan dan bimbingan,

untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. dr. Guntur, Sp.An dan sebagai pembimbing yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu dan menjalani

Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi di Rumah Sakit Umum Daerah dr.

Soeselo, Slawi.

2. Staf dan paramedis yang bertugas di Kamar Operasi Rumah Sakit Umum

Daerah dr. Soeselo Slawi, khususnya kepada seluruh penata anestesi yang

telah membantu selama kami menjalankan kepaniteraan.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih memiliki banyak

kekurangan, oleh karena kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Penulis

berharap laporan khusus ini dapat memberikan manfaat yaitu menambah ilmu

pengetahuan bagi seluruh pembaca, khususnya untuk mahasiswa kedokteran dan

masyarakat pada umumnya.

Slawi, Desember 2014

Penulis

1

Page 2: anastesi spinal pada hipertiroid

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1

DAFTAR ISI 2

BAB I LAPORAN KASUS 3

IDENTITAS PASIEN 3

ANAMNESIS 3

PEMERIKSAAN FISIK 4

PEMERIKSAAN PENUNJANG 5

PENATALAKSANAAN 6

BAB II ANALISA KASUS 11

BAB III TINJAUAN PUSTAKA 14

DAFTAR PUSTAKA 39

2

Page 3: anastesi spinal pada hipertiroid

LAPORAN KASUS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI

RUMAH SAKIT UMUM DR. SOESELO SLAWI

---------------------------------------------------------------------------------------

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny Fatonah

Umur : 42 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Cerih 3/2 Jatinegara, Tegal

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Agama : Islam

Status : Menikah

Tanggal masuk : 12 Desember 2014

I. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 16

Desember 2014, pukul 07.00 WIB di bangsal Nusa Indah kelas III RSUD dr

Soeselo, Slawi.

1. Keluhan Utama

Perdarahan pada kemaluan sejak 8 jam SMRS.

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang pada hari Jumat tanggal 12 Desember 2014 ke Ponek

Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soeselo Slawi dengan G4P3A0 mengeluh

adanya perdarahan pada kemaluan sejak 8 jam SMRS. Pasien juga mengeluh

perut terasa melilit dibagian perut bawah, mual dan sering berkeringat.

Riwayat HPHT 15 Oktober 2014. Sebelumnya 2 jam SMRS pasien telah

melakukan USG dan dinyatakan adanya Mola Hidatidosa. Pasien menyangkal

adanya keluhan demam, muntah, batuk, jantung berdebar-debar. Buang air

kecil dan buang air besar lancar.

3

Page 4: anastesi spinal pada hipertiroid

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mengaku tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya. Riwayat

Hipertensi, Diabetes Mellitus, Asma, Sakit Jantung disangkal. Pasien menyangkal

pernah operasi sebelumnya. Riwayat persalinan pasien normal.

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama. Riwayat Diabetes

Melitus, Asma, Hipertensi dan Keganasan dalam keluarga disangkal.

5. Riwayat Kebiasaan

Pasien jarang berolahraga, riwayat merokok dan minum-minuman beralkohol

disangkal.

II. PEMERIKSAAN FISIK

STATUS GENERALIS

Keadaan Umum

Kesadaran : Compos Mentis

Tanda Vital

Tekanan Darah : 130/80mmHg

Nadi : 90x/menit, reguler

Suhu : 36,7C

Pernapasan : 20x/menit

Kepala : bentuk normochepali, rambut hitam, distribusi merata dan

tidak mudah dicabut

Wajah : Simetris, Pucat (-), Sianosis (-) dan Ikterik (-)

Mata : Conjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-

Hidung : Bentuk normal, deviasi septum (-), sekret -/-, hiperemis

mukosa -/-

Telinga : tidak ada kelainan

Mulut : sianosis (-), lidah tidak kotor

Leher : KGB tidak teraba membesar, kelenjar tiroid sedikit teraba

membesar.

Thoraks : Paru : suara nafas vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-

4

Page 5: anastesi spinal pada hipertiroid

Jantung : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Ekstremitas : Simetris, tidak sianosis, pitting oedem -/-, akral hangat.

Abdomen

Inspeksi : Simetris, perut buncit, efloresensi (-), spider nevi (-).

Auskultasi : Bising usus normal.

Palpasi : supel, nyeri perut bagian bawah (+), defans muscular (-),

smiling umbilicus (-), dilatasi pembuluh darah(-)

Perkusi : Timpani.

Status Obstetri :

Tinggi Fundus Uteri : 2cm diatas simfisis pubis

DJJ : Tidak ditemukan

Introitus vagina : perdarahan pervaginam, warna cokelat tua

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. LABORATORIUM

Hematologi

Leukosit 5.7 103/uL

Eritrosit 3.8 106/uL

Hemoglobin 10.5 %

Trombosit 150 103/uL

APTT 25.7 detik

PT 11.1 detik

Golongan darah AB

Rhesus factor Positif

Gula darah sewaktu 81

Ureum 19.5

Kreatinin 0.60

Albumin 3.05

SGOT 30

SGPT 26

TSH 0,01

T3 10,00

5

Page 6: anastesi spinal pada hipertiroid

T4 320,0

IV. ASSESSMENT

Ny Fatonah, 42 tahun dengan G4P3A0 mengeluh adanya perdarahan

pervaginam sejak 8 jam SMRS, keluhan perut terasa melilit dibagian bawah,

mual, dan sering berkeringat. Pada pemeriksaan fisik didapatkan vital sign

tekanan darah 130/80 mmHg dan pemeriksaan leher didapatkan teraba sedikit

pembesaran pada tiroid. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Hb 10.5 %,

APTT 25,7, PT 11,1, Gula darah 81, Kreatinin 0,60, Albumin 3,05, SGOT 30,

SGPT 26, TSH 0,01, T3 10,00, T4 320,0. Pada pemeriksaan USG didapatkan

adanya Mola Hidatidosa, Foto Thorax dalam batas normal.

Status ASA II dengan riwayat hipertiroid dan akan dilakukan spinal anestesi.

V PENATALAKSANAAN

1. Persiapan operasi

a. Persetujuan operasi tertulis (informed consent) ( + )

b. Puasa 6-8 jam (+)

c. Oksigenasi 3 L/ menit

d. Pemasangan IV line memakai abocath nomor 20 dan tranfusi set

dengan Ringer laktat 500-1000 cc

e. Pemasangan kateter urin dan disambungkan dengan urine bag

2. Premedikasi : Ondancentron 4mg/2ml, Midazolam 40mg

3. Jenis anestesi : Anestesi regional

4. Induksi : Bupivacaine HCl 5mg/ml; 3ml

5. Teknik anestesi : Spinal anestesi, L3-L4, LCS (+)

Pasien dalam posisi duduk, kepala menunduk, kemudian menentukan

lokasi penyuntikkan di L3-L4, yaitu di atas titik hasil perpotongan antara

garis yang menghubungkan crista iliaca dekstra dan sinistra dengan garis

vertical tulang vertebra yang berpotongan di vertebral lumbal IV.

Kemudian dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis dengan kassa steril

dan povidon iodine. Lalu dilakukan penyuntikkan di titik L3-L4

paramediana yang sudah ditandai sebelumnya dengan menggunakan jarum

spinal no. 25 G, kemudian jarum spinal dilepaskan hingga tersisa

6

Page 7: anastesi spinal pada hipertiroid

kanulnya, lalu dipastikan bahwa LCS yang berwarna jernih mengalir

melalui kanul (ruang subarachnoid), kemudian obat anestesi, yaitu Recain

(Bupivakain 20 mg) disuntikkan dengan terlebih dahulu melakukan

aspirasi untuk memastikan kanul spinal masih tetap di ruang subarachnoid.

Setelah Bupivakain disuntikkan setengah volumenya kembali dilakukan

tindakan aspirasi LCS untuk memastikan kanul tidak bergeser, lalu

Bupivakain disuntikkan semua. Setelah itu luka bekas suntian ditutup

dengan kassa steril dan micropore. Kemudian pasien dibaringkan di meja

operasi.

6. Maintenance : Oksigen 3L/menit

7. Monitoring : Tanda vital selama operasi berlangsung setiap 5 menit,

cairan, dan perdarahan.

8. Pengawasan pasca anestesi di ruang pulih sadar

MONITORING

JAM TD HR SpO2 Keterangan

11.15 140/90 mmHg 90 x/menit 100 % Pasien masuk kamar operasi,

dibaringkan di meja operasi

kemudian dilakukan

pemasangan manset di lengan

kiri atas dan pulse oxymetri di

ibu jari tangan kanan. Setelah

itu dilakukan spinal anestesi

menggunakan spinocan no 25,

Recain 2,5cc..

11.20 138/89 mmHg 90x/menit 100% Mulai operasi

11.25 135/85 mmHg 86 x/menit 99%

Wida Hes 500 cc

Ondancentron 4mg iv

11.30 135/80 mmHg 96 x/menit 99 %

7

Page 8: anastesi spinal pada hipertiroid

11.35 130/80 mmHg 90 x/menit 100 %

11.40 130/80 mmHg 94 x/menit 99 %

11.45 128/77 mmHg 90 x/menit 99 %

11.50 125/76 mmHg 94 x/menit 99%

11.55 125/75 mmHg 80 x/menit 99%

12.00 123/68 mmHg 90 x/menit 100% RL 500 cc

12.05 130/72 mmHg 100 x/menit 100%

12.10 136/80 mmHg 104x/menit 99%

12.15 138/80 mmHg 90x/menit 100%

12.20 140/80 mmHg 80x/menit 100%

12.25 135/90 mmHg 85x/menit 99%

12.30 135/92mmHg 80x/menit Ketorolac 30mg

12.35 138/80 mmHg 90x/menit 100% Operasi Selesai

12.40 140/80 mmHg 80x/menit 100% • RR

• Nilai Bromage score

12.45 140/80 mmHg 80x/menit 100% Pasien dipindahkan ke bangsal

12.50 140/88 mmHg 80x/menit 100% BU (+)

POST OPERASI:

Kesadaran : Compos mentis

Kesan sakit : Tampak sakit ringan

TD : 140/80 mmHg

N : 80 x/menit

RR : 20 x/menit

Bromage score: 10

8

Page 9: anastesi spinal pada hipertiroid

Variabel Skor Skor

pasien

Aktivitas motorik Gerakan penuh dari tungkai

Tak mampu ekstensi tungkai

Tak mampu fleksi lutut

Tak mampu fleksi pergelangan kaki

0

1

2

3

2

Skor total 2

Instruksi post operasi :

Posisi supine dan head up 30 derajat selama 24 jam

Jika sistol <90 mmHg inj Efedrin 10mg iv

Fentanyl 0,1 mg+ Ketese 100mg dalam RL 500cc (20tpm micro drip)

Bolus ketese 2x50mg (iv)

Ondancentron 4mg k/p

Bila sadar penuh, mual muntah (-), pusing (-), BU (+) à diet biasa bertahap

BAB II

ANALISIS KASUS

9

Page 10: anastesi spinal pada hipertiroid

Berdasarkan anamnesis dan riwayat pasien, maka pasien dapat

diklasifikasikan dengan ASA II, yaitu pasien dengan penyakit sistemik ringan dan

tidak ada keterbatasan fungsi.2 Persiapan yang dilakukan sebelum operasi yaitu

memastikan pasien dalam keadaan sehat, memasang infus, dan dalam keadaan puasa

selama 6-8 jam sebelum operasi. Menjelang operasi pasien dalam keadaan tampak

sakit sedang dan kesadaran compos mentis. Jenis anestesi yang akan dilakukan adalah

regional anestesi dengan teknik spinal anestesi subarachnoid block sit position. Blok

subarachnoid adalah blok regional yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat

anestetik local ke dalam ruang sub arachnoid pada celah interspinosum L3-L4 atau

melalui tindakan pungsi lumbal.1

Indikasi dilakukannya anestesi spinal sub arachnoid adalah untuk pembedahan

daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah yaitu daerah abdominal dan

inguinal, daerah anorektal dan genitalia eksterna serta daerah ekstremitas inferior.

Adapun beberapa kontra indikasi pada penggunaan teknik anestesi spinal sub

arachnoid yng terbagi menjadi kontra indikasi absolut dan relative. Kontra indikasi

absolut meliputi pasien yang menolak, infeksi di daerah lumbal, syok hipovolemia,

koagulopati atau mendapat terapi koagulan, tekanan intracranial tinggi, fasilitas

resusitasi minim, kurang pengalaman atau tanpa pendampingan dari konsultan

anesthesia. Sedangkan untuk kontra indikasi relative yaitu infeksi sistemik (sepsis,

bakteriemi), kelainan neurologis, kelainan psikis, bedah lama, penyakit jantung dan

nyeri punggung kronis.2

Dari anamnesis didapatkan pasien wanita usia 42 tahun dengan keluhan

perdarahan pada vagina sejak 8 jam SMRS, nyeri di perut bagian bawah, mual dan

sering bekeringat, diagnosis preoperative pasien adalah Mola Hidatidosa. Pasien

direncanakan untuk operasi Histerectomy.

Sebelum operasi dimulai, pasien dipersiapkan terlebih dahulu dengan

memastikan infus berjalan lancar agar obat-obatan yang diberikan melalui jalur

intravena dapat bekerja secara efektif, lalu memasang alat-alat yang berhubungan

dengan tanda vital yaitu tensimeter dan saturasi O2 agar dapat dimonitor selama

operasi berlangsung, karena obat anestesi dapat memengaruhi tekanan darah dan

suplai oksigen pasien. Setelah itu dipastikan bahwa pasien dalam keadaan tenang dan

kooperatif.

Kemudian dilakukan anestesi terhadap pasien menggunakan obat Bupivacaine

5mg/ml, yaitu anestesi local yang bekerja memblok konduksi impuls saraf dengan

10

Page 11: anastesi spinal pada hipertiroid

meningkatkan ambang eksitasi listrik pada saraf, dengan memperlambat penyebaran

impuls, juga mengurangi laju kenaikan potensial aksi. Bupivacaine mengikat bagian

saluran intraseluler natrium dan memblok masuknya natrium ke dalam sel saraf

sehingga mencegah depolarisasi, dengan sifat reversible. Bupivacaine memiliki onset

cepat dan masa kerja panjang.5

Pasien diberikan obat premedikasi yaitu Ondansetron 4 mg secara bolus IV,

agar dapat mengurangi rangsang muntah pada pasien akibat obat-obat anestesi lainnya

yang akan diberikan. Ondansetron adalah suatu antagonis reseptor serotonin 5-HT3

selektif. Serotonin 5-hydroxytriptamine merupakan zat yang akan dilepaskan jika

terdapat toksin dalam saluran cerna, berikatan dengan reseptornya dan akan

merangsang saraf vagus menyampaikan rangsangan ke CTZ (chemoreceptor trigger

zone) dan pusat muntah, sehingga terjadi mual & muntah.4

Setelah operasi selesai, pasien diberikan Ketorolac 30 mg secara bolus IV

untuk mengurangi rasa sakit pasca operasi. Pasien dipindahkan ke recovery room

untuk dilakukan pemantauan sebelum dibawa kembali ke ruangan.

Terapi Cairan Intra operatif

Kebutuhan cairan basal (BB=65kg)

4 x 10kg = 40

2 x 10kg = 20

1 x 45kg = 45

----------+

105ml/jam

Kebutuhan cairan intraoperasi (operasi besar)

8 x 65kg = 520ml/jam

Kebutuhan cairan saat puasa dari pukul (8jam)

8 x 105ml/jam = 840ml

Di ruangan sudah diberi cairan 500ml

Jadi kebutuhan cairan puasa sekarang = 840 – 500 = 340ml

Pemberian cairan pada jam pertama operasi

: Kebutuhan basal + kebutuhan intraoperasi + 50% x kebutuhan cairan puasa

: 105 + 520 + 170 = 795 ml

Pemberian cairan pada jam kedua operasi

11

Page 12: anastesi spinal pada hipertiroid

: Kebutuhan basal + kebutuhan intraoperasi + 25% x kebutuhan cairan puasa

: 105 + 520 + 85 = 710 ml

Kebutuhan cairan selama operasi : ( 2 Jam )

= 1505 ml

Cairan yang masuk selama operasi (1 jam)

500cc RL + 500cc (1500cc kristaloid) wida Hes = 2000cc

Allowed Blood Loss

20 % x EBV = 20 % x (65 x 65) = 845 ml

Jumlah cairan keluar = 500 ml

Tidak perlu dilakukan transfusi darah karena jumlah cairan keluar tidak

melebihi nilai allowed blood loss pasien.

Kebutuhan cairan selama operasi + cairan yang harus diberikan sebagai pengganti

perdarahan = 1505 ml + 500 ml = 2005 ml.

Selama puasa dan operasi pasien telah diberikan cairan RL 500cc sebanyak 2 kali dan

wida Hes 500cc 1 kali, maka total terapi cairan yang pasien dapat adalah 2500 cc, maka

terapi cairan pasien terpenuhi.

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

12

Page 13: anastesi spinal pada hipertiroid

Hipertiroidisme adalah suatu keadaan dimana terjadi kelebihan produksi dan

sekresi hormon tiroid pada tubuh seseorang. Bentuk yang paling sering timbul pada

kondisi ini adalah diffuse toxic goiter (penyakit grave), toxic multinodular goiter,

toxic adenoma. Hipertiroidisme dapat timbul dari berbagai etiologi, yaitu

autoimmune (penyakit Grave, penyakit Hashimoto, dan lain-lain), drug-induced

(pemberian iodine, amiodarone, antineoplastic agent), infeksi, idiopatik, iatrogenic,

maupun keganasan (seperti pada toxic adenoma). Penyebab tersering hipertiroidisme

adalah penyakit Grave, suatu penyakit autoimun dimana pada penyakit ini tubuh

dengan sendirinya membentuk Thyroid-stimulating immunoglobulin (TSI). TSI

adalah suatu antibodi yang sasarannya ada;ah reseptor TSH di sel tiroid. TSI

merangsang sekresi dan pertumbuhan tiroid dengan cara serupa yang dilakukan oleh

TSH. Namun, tidak seperti TSH, TSI tidak dipengaruhi oleh inhibisi umpan balik

negatif oleh hormon tiroid, sehingga sekresi dan pertumbuhan tiroid terus

berlangsung. Selain itu TSI juga menyebabkan peningkatan uptake iodium, sintesis

protein, dan pertumbuhan kelenjar tiroid.

Pasien dengan hipertiroidisme akan mengalami peningkatan laju metabolik

basal, terjadi peningkatan pembentukan panas tubuh sehingga menyebabkan

pengeluaran keringat berlebihan dan penurunan toleransi terhadap panas. Walaupun

nafsu makan dan asupan makanan meningkat yang terjadi sebagai akibat peningkatan

kebutuhan metabolik, berat badan biasanya berkurang karena tubuh membakar bahan

bakar dengan kecepatan abnormal. Terjadi degradasi simpanan karbohidrat, lemak,

dan protein. Penurunan massa protein otot rangka menyebabkan kelemahan.

Selain itu hipertiroidisme juga menyebabkan berbagai kelainan kardiovaskuler

yang disebabkan baik oleh efek langsung hormon tiroid, maupun oleh interaksinya

dengan katekolamin. Kecepatan dan kekuatan denyut jantung akan sangat meningkat,

sehingga pasien akan merasakan palpitasi atau berdebar. Pada kasus yang parah,

jantung mungkin tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh yang sangat meningkat

walaupun curah jantung meningkat. Keterlibatan susunan saraf ditandai oleh

kewaspadaan mental yang berlebihan sampai pada keadaan pasien yang mudah

tersinggung, tegang, cemas, dan sangat emosional.

Gambaran penyakit grave yang jelas mencolok dan tidak ditemukan pada jenis

hipertiroidisme lain adalah eksoftalmus dan kelainan kulit yang biasanya terdapat di

13

Page 14: anastesi spinal pada hipertiroid

ekstremitas bawah. Terjadi reaksi antibodi yang menyebabkan aktivasi sel T terhadap

jaringan pada celah retro orbita dimana jaringan ini memiliki epitope antigen yang

sama dengan sel folikel pada kelenjar tiroid. Proses imun ini menyebabkan reaksi

peradangan dan infiltrasi limfosit di jaringan orbita serta pelepasan sitokin yang

menstimulasi fibroblas orbita untuk bermultiplikasi dan memproduksi

mucopolysaccharida (glycosaminoglycans) yang akan menyerap air. Sebagai

konsekuensinya, otot ekstraokular akan menebal dan terjadi peningkatan volume

jaringan ikat dan adiposa pada retro orbita. Retensi cairan di belakang mata

mendorong bola mata ke depan, sehingga mata menonjol keluar dari tulang orbita.

Kelopak mata juga tidak dapat menutup sempurna sehingga mata menjadi kering,

teriritasi, dan rentan mengalami ulkus kornea.

Gejala yang timbul ringan karena hanya terjadi sedikit peningkatan pada kadar

hormon tiroid bahkan sering kali gejala tidak tampak karena biasanya pasien sudah

lanjut usia.

Diagnosis

Pada hipertiroid diagnosis dapat ditegakkan dengan manifestasi klinis yang

ada dan beberapa pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan T3, T4, dan TSH.

Manifestasi klinis dari hipertiroid dapat dilihat berdasarkan indeks Wayne dan New

Castle.

Gejala dan tanda hipertiroid tampak pada tabel dalam penilaian dengan indeks

Wayne. Hasil dari penilaian dengan indeks Wayne adalah jika kurang dari 11 maka

eutiroid, 11 sampai 18 adalah normal, dan jika lebih dari 19 adalah hipertiroid.

Gejala

SubyektifAngka

Gejala

ObyektifAda Tidak

Dispnoe

d’effort+1 Tiroid Teraba +3 -3

Palpitasi +2 Bising tiroid +2 -2

Lelah +2 Eksoftalmus +2 -

Tahan terhadap -5 Lid Retraction +2 -

14

Page 15: anastesi spinal pada hipertiroid

suhu panas

Tahan dingin +5 Lid Lag +1 -

Keringat

banyak+3 Hiperkinesis +4 -2

Nervous +2 Tangan panas +2 -2

Tangan basah +1 Nadi

Nafsu makan

bertambah+3

<80x/menit

80-90 x/menit

- -3

Nafsu makan

berkurang-3

- -Berat badan

naik-3

Berat badan

turun+3 >90 xmenit +3 -

Fibrilasi

atrium+3

≥ 20 : hipertiroid

Sementara itu menurut index New Castle dapat dilihat dari tabel berikut :

15

Page 16: anastesi spinal pada hipertiroid

Untuk fase awal penentuan diagnosis perlu T4 (T3) dan TSH, namun pada pemantauan

cukup diperiksa T4 saja, sebab sering TSH tetap tersupresi padahal keadaan membaik.

Hal ini karena supresi terlalu lama pada sel tirotrop oleh hormon tiroid, sehingga

lamban pulih (lazy pituitary). Untuk memeriksa mata disamping klinis digunakan alat

eksofalmometer Herthl. Karena hormon tiroid berpengaruh terhadap semua sel/organ

maka tanda kliniknya ditemukan pada organ kita.

10Untuk diagnosis dari pemeriksaan penunjang dapat ditemukan keadaan berikut :

Peningkatan FT4 dan TSH rendah atau tidak terdeteksi merupakan diagnosis

pasti keadaan tirotoksikosis

Peningkatan FT4 disertai TSH yang berlebih menunjukan keadaan

hipertiroidisme yang kelainannya berasal dari hipofisis.

Total T4 dan Thyroid-binding protein serum kadang diperlukan untuk

memastikan diagnosis hipertiroidisme..

Hyperglycemia

Hypercalcemia

Hepatic function abnormalities

Low serum cortisol

16

Page 17: anastesi spinal pada hipertiroid

Leukocytosis

Hypokalemia

Pada pemeriksaan EKG dapat ditemukan:

Sinus takikardi

Atrial Fibrilation, sering ditemukan pada pasien usia tua

Complete heart block, kondisi ini jarang ditemukan.

Pada pemeriksaan radiologi nuklir dapat ditemukan:

Uptake yang difus pada penyakit Grave

Focal uptake pada toxic nodular tiroiditis

Pengobatan hipertiroidisme

Pengobatan hipertiroidisme secara umum dapat dilakukan melalui

farmakoterapi antitiroid, iodine radioaktif, maupun pembedahan. Terapi

farmakoterapi yang digunakan adalah propylthiouracil (PTU) dan methimazole. PTU

biasanya diberikan 3 x 100 mg sehari. Obat-obatan ini cara kerjanya yaitu

menghambat formasi dan pengabungan iodotirosin pada tiroglobulin karena itu, efek

yang ditimbulkan biasanya perlahan, sekitar 2 – 8 minggu. Selain itu, PTU juga dapat

menghambat konversi T4 ke T3. Methimazole lebih poten daripada PTU, dan efek

yang ditimbulkan lebih panjang. Biasanya methimazole dikonsumsi sekali sehari.

Obat-obatan ini memiliki efek samping reaksi alergi dan dapat menyebabkan

gangguan atau kerusakan hepar. Karena itu, pemberian obat-obatan ini harus selalu

dikontrol. Selain itu dapat juga diberikan larutan potasium iodida ataupun iopanoic

acid 1gr/hari.

Selain itu pengobatan lain adalah pemberian iodine radioaktif yang lebih

populer digunakan di Amerika Serikat. Efek yang ditimbulkan lebih cepat dari

farmakoterapi dengan PTU dan Methimazole. Pengobatan ini tidak boleh dilakukan

pada wanita hamil, karena iodine radioaktif dapat menembus sawar plasenta dan

merusak kelenjar tiroid fetus sehingga akan mengakibatkan keadaan hipotiroid pada

fetus.

Karena pemberian obat antitiroid memberikan keberhasilan terapi yang

memuaskan, tiroidektomi hanya dilakukan berdasarkan indikasi tertentu. Indikasi

dilakukan tiroidektomi yaitu:

17

Page 18: anastesi spinal pada hipertiroid

Anak-anak dengan hipertiroid yang berat

Ibu hamil yang tidak berhasil atau tidak dapat mentoleransi pengobatan

antitiroid farmakoterapi

Pasien dengan goiter yang sangat besar atau memiliki gangguan

ophtalmopathy yang berat

Pasien yang menolak terapi iodine radioaktif

Pasien dengan hipertiroidisme yang diinduksi amiodarone yang refrakter

Pasien yang membutuhkan normalisasi fungsi hormon tiroid secara cepat,

seperti pada ibu hamil, wanita yang mengharapkan kehamilan dalam 6 bulan

kedepan, ataupun pasien dengan kondisi jantung yang tidak stabil

Persiapan tiroidektomi termasuk pemberian obat antitiroid, iodine treatment, dan

pemberian beta-blocker. Secara umum pemberian obat antitiroid diberikan hingga

fungsi tiroid normal 4-8 minggu. Propanolol di titrasi hingga nadi dibawah 80x/menit,

pemberian iodida dalam bentuk larutan potasium iodide 1-2 tetes 2x/hari selama 10-

14 hari sebelum tiroidektomi. Iodide terapi berguna untuk mengurangi ekskresi

hormon tiroid dan mengurangi aliran darah pada kelenjar tiroid sehingga membantu

mengurangi perdarahan intraopereative. Dexamethasone 8mg dapat diberikan

sebelom operasi untuk mengurangi nasuea, nyeri, muntah, dan memperbaiki fungsi

suara.10

Manajemen operatif hipertiroidisme

Manifestasi utama pada hipertiroid adalah kehilangan berat badan, diare, kulit

yang lembab-hangat, kelemahan otot-otot besar, abnormalitas menstruasi pada wanita,

osteopenia, kondisi gugup, tidak tahan terhadap suhu panas, takikardia, tremor,

aritmia jantung, prolaps mitral valvula, dan hingga gagal jantung. Ketika fungsi tiroid

dalam kondisi yang tidak normal, hal yang paling mengacam jiwa adalah gangguan

pada sistem kardiovaskuler.

Apabila terdapat diare yang berat, keadaan dehidrasi harus segera dikoreksi

saat preoperatif. Anemia ringan, trombositopenia, peningkatan enzim alkaline

fosfatase, hiperkalsemia, kelemahan otot dan tulang keropos seringkali muncul pada

keadaan hipertiroid. Kelainan pada otot yang ditimbulkan kondisi hipertiroid biasanya

melibatkan otot-otot bagian proksimal dan belum pernah ada laporan kejadian

paralisis otot pada otot pernapasan.6

18

Page 19: anastesi spinal pada hipertiroid

Pada pasien yang berumur lebih dari 60 tahun dengan kondisi hipertrioid,

gejala yang muncul seringkali terkait dengan efek gangguan dari jantungnya dan hal

ini mendominasi gejala klinik pasien-pasien ini. Beberapa tanda yang muncul akibat

gangguan fungsi jantung ini adalah takikardi, irama jantung yang ireguler, fibrilasi

atrium (10 %) sampai kepada gagal jantung.

Secara umum, penanganan pasien dengan hipertiroid adalah untuk

menurunkan level hormon tiroid dan memberikan “counter” (perlawanan balik)

terhadap tanda dan gejala yang muncul, terutama yang dapat mengancam jiwa.

Penanganan medis hipertiroid menggunakan obat-obatan yang menghambat sintesis

hormon (misalnya : obat propylthioruacil, methimazole) atau obat-obatan yang

menghambat pelepasan hormon (misalnya potasium, sodium iodida), atau obat yang

melawan overaktivitas dari adrenergik seperti propanolol. Meskipun β-adrenergik

antagonis tidak mempengaruhi fungsi dari kelenjar tiroid, obat-obatan ini

menghambat konversi perifer T4 menjadi T3. Iodium radioaktif merusak fungsi sel-

sel kelenjar tiroid tetapi obat ini tidak direkomendasikan untuk pasien hamil dan

dapat menghasilkan suatu kondisi hipotiroid. Tiroidektomi sub total sekarang mulai

berkurang penerapannya tetapi tetap dibutuhkan pada pasien dengan goiter multinodul

yang toksik ataupun adenoma toksik soliter.7

Preoperatif

Pasien yang menjalani tindakan pembedahan tetap diperlakukan seperti

pasien-pasien lain yang akan menjalani prosedur pembedahan dengan penekanan pada

anamnesis serta pemeriksaan fisik maupun penunjang untuk mengidentifikasi

kelainan fungsi tiroidnya. Gejala dan tanda yang harus menjadi perhatian utama

pasien hipertiroid adalah terkait dengan fungsi jantung dan respirasi. Pasien dengan

goiter yang besar memiliki problem potensial terkait dengan jalan napasnya.

Sehingga, pada pasien ini, penilaian jalan napas menjadi hal utama yang harus dinilai

dengan cermat. Pasien dapat memberikan gejala kesulitan napas misalnya positional

dyspnoe dan hal ini dapat dihubungkan dengan beberapa derajat dari disfagia. Pasien

juga dapat menunjukkan gejala sumbatan pada vena cava terutama pada kasus goiter

retrosternal. Beberapa penilaian lain terhadap jalan napas dapat beruba penilaian jarak

tiromental, derajat protrusi gigi bawah, keterbatasan gerak dari leher dan observasi

struktur faring.8

19

Page 20: anastesi spinal pada hipertiroid

Pasien dinilai tekanan darah, temperatur, denyut dan ritme jantungnya. Selain

itu juga dinilai gejala-gejala yang berhubungan dengan miopati, manifestasi sistem

saraf pusat ( misal : kondisi gugup), tanda-tanda di mata, tanda dehidrasi, maupun

adanya kehamilan maupun kehamilan mola. Pemeriksaan penunjang yang dapat

dilakukan di antaranya pemeriksaan EKG, profil darah tes fungsi pembekuan darah,

CT scan leher, foto rontgen dada (terutama pada pasien goiter). Pasien juga harus

dinilai apakah akan menjalani pembedahan elektif atau pembedahan emergency.

Pasien yang akan menjalani tindakan pembedahan elektif, termasuk tindakan

tiroidektomi subtotal, harus ditunda hingga pasien mengalami keadaan klinis dan

kimiawi yang “eutiroid”. Penilaian preoperatif harus termasuk penilaian terhadap

fungsi tiroid. Nadi isitirahat yang direkomendasikan adalah 85 kali/menit.

Benzodizepin adalah pilihan yang baik untuk sedasi preoperatif.8 Meski demikian,

beberapa berpendapat bahwa pemberian sedasi yang berlebihan tidak dianjurkan

terutama pada pasien yang memiliki goiter yang besar yang mengganggu airway.

Meskipun hal ini sebenaranya tidak berhubungan langsung dengan kondisi

hipertiroidnya,lebih pada gangguan jalan napas. Preparasi cepat dibutuhkan untuk

pasien yang akan menjalani pembedahan darurat. Preparasi cepat ini dilakukan

dengan memberikan kombinasi beta-bloker, kortikosteroid, thionamid, iodium dan

asam iopanoic (mengandung iodium dan penghambat pelepasan hormon tiroid).

Wanita yang akan menjalani evakuasi darurat dari mola hidatidosa dapat dalam

keadaan hipertiroid dan memiliki resiko terjadi badai tiroid.

Obat antitiroid dan antagonis β-adrenergik dilanjutkan sampai pagi hari

operasi. Pemberian Prophylthiouracil dan methimazole adalah penting karena kedua

obat ini memiliki waktu paruh yang pendek. Apabila akan dilakukan pembedahan

darurat (emergency), sirkulasi yang hiperdinamik dapat dikontrol dengan

menggunakan titrasi esmolol.7

Obat antagonis β-adrenergik seringkali digunakan untuk mengontrol denyut

jantung. Akan tetapi, obat-obatan jenis ini harus dipertimbangkan ulang

pemberiannya untuk pasien-pasien dengan kondisi gagal jantung kongestif (CHF).

Meski demikian, menurunkan denyut jantung dapat meningkatkan fungsi pompa

jantung itu sendiri. Kemudian, pasen hipertiroid yang memiliki laju ventrikel yang

cepat dan dalam kondisi CHF serta membutuhkan pembedahan segera, dapat

20

Page 21: anastesi spinal pada hipertiroid

diberikan esmolol yang dipandu dengan perubahan pulmonary artery wedge pressure.

Jika dosis kecil esmolol (50 μg/kg) yang diberikan tidak memperparah kondisi gagal

jantung yang telah ada, dapat diberikan esmolol tambahan.9

Intraoperatif

Fungsi kardiovaskuler dan temperatur tubuh harus dimonitor secara ketat pada

pasien yang memiliki riwayat hipertiroid. Mata pasien harus dilindungi secara baik,

karena keadaan eksoftalmus pada penyakit Grave’s meningkatkan resiko abrasi

kornea sampai dengan ulserasi. Ketamin, pancuronium, agonis adrenergik indirek dan

obat-obat lain yang menstimulasi sistem saraf simpatis dihindari karena adanya

kemungkinan peningkatan tekanan darah dan denyut jantung. Thiopental dapat

menjadi obat induksi pilihan di mana obat ini memiliki efek antitiroid pada dosis

tinggi. Pasien hipertiroid dapat menjadi hipovolemi dan vasodilatasi dan menjadi

rentan untuk mengalami respon hipotensi selama induksi anestesi. Kedalaman

anestesi yang adekuat harus dicapai sebelum dilakukan laringoskopi atau stimulasi

pembedahan untuk menghindari takikardi, hipertensi atau aritmia ventrikel.

Pemberian agen blok neuromuskuler (NMBAs) harus diberikan secara hati-hati,

karena keadaan tirotoksikosis seringkali berhubungan dengan peningkatan insiden

miopati dan miastenia gravis. Hipertiroid tidak meningkatkan kebutuhan anestesia

seperti tidak berubahnya minimum alveolar concetration.7 Meski demikian, terkadang

kebutuhan dosis anestesi intravena diperlukan. Untuk menumpulkan respon

hemodinamik saat melakukan intubasi dapat diberikan lidokain, fentanyl atau

kombinasi keduanya yang diberikan sebelum intubasi. Pasien dengan goiter yang

besar dan mengalami obstruksi jalan napas dikelola seperti pasien-pasien lain yang

mengalami gangguan jalan napas.10 Kesulitan intubasi meningkat kejadiannya pada

pasien dengan goiter. Induksi inhalasi atau intubasi sadar dengan fiberoptik dapat

dipertimbangkan apabila ada bukti obstruksi jalan napas ataupun deviasi maupun

penyempitan.

Tujuan utama dari manajemen intraoperatif pasien hipertiroid adalah untuk

mencapai kedalaman anestesia (sering dengan isofluran atau desfluran) yang

mencegah peningkatan respon sistem saraf pusat terhadap stimulasi pembedahan.

Apabila menggunakan anestesi regional, epinefrin tidak boleh ditambahkan pada

larutan anestesi lokal.

21

Page 22: anastesi spinal pada hipertiroid

Postoperatif

Ancaman serius pada pasien hipertiroid pada periode postoperatif adalah badai

tiroid (thyroid storm)9,11 yang memiliki ciri hiperpireksia, takikardi, penurunan

kesadaran (agitasi, delirium, koma) dan hipotensi. Onset badai tiroid biasanya 6-24

jam setelah pembedahan tetapi dapat muncul intraoperatif, menyerupai hipertermi

maligna. Tidak seperti hipertermi maligna, badai tiroid tidak berhubungan dengan

rigiditas otot, peningkatan kreatinin kinase, atau keadaan asidosis metabolik maupun

respiratorik.

Penanganan badai tiroid termasuk hidrasi dan pendinginan, infus esmolol atau

propanolol intravena (0,5 mg dan ditingkatkan sampai denyut jantung < 100/menit),

propylthioruacil (250-500 mg tiap 6 jam secara oral maupun dengan nasograstric

tube) diikuti sodium iodida (1g intravena dalam 12 jam) dan koreksi faktor yang

mempresipitasi (misal: infeksi). Kortisol (100-200 mg tiap 8 jam) direkomendasikan

untuk mencegah komplikasi supresi kelenjar adrenal yang muncul.9

ANASTESI REGIONAL

Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh untuk

sementara pada impuls saraf, dengan menyuntikan obat anestesi disekitar syaraf

22

Page 23: anastesi spinal pada hipertiroid

sehingga impuls nyeri dari satu bagian tubuh diblokir untuk sementara. Fungsi

motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya, tetapi pasien tetap dalam

keadaan sadar. Anestesi Regional terbagi menjadi Epidural, Spinal dan Kaudal.

Spindal anestesi dengan menuntikan obat anestesi ke dalam ruang Subarachnoid dan

epidural Anestesi dalam Ekstradural. Spinal anestesi atau yang biasa disebut

Subarachnoid Block (SAB). Untuk mendapatkan analgesi pada daerah dermatom

tertentu maka perlu diketahui neurologi saraf serta derajat anestesi yang ingin dicapai

tergantung dari tinggi rendah lokasi penyuntikan, untuk mendapatkan blockade

sensoris yang luas, obat harus berdifusi ke atas, dan hal ini tergantung banyak faktor

yang mempengaruhi difusi obat ke atas antara lain posisi pasien selama dan setelah

penyuntikan, barisitas atau berat jenis obat serta gaya grafitasi obat. Berat jenis obat

lokal anesthesia dapat diubah–ubah dengan mengganti komposisinya.12

B. PEMBAGIAN ANESTESI/ANALGESIA REGIONAL

1. Blok sentral atau blok neuroaksial, yang meliputi blok spinal, epidural, dan

kaudal. Tindakan ini sering dikerjakan.

2. Blok perifer atau blok saraf, yang meliputi anestesi topikal, infiltrasi lokal, blok

lapangan, dan analgesia regional intravena.

C. KEUNTUNGAN ANESTESIA REGIONAL DIBANDINGKAN ANESTESI

UMUM

1. Alat tidak banyak dan teknik sederhana, sehingga biaya relatif lebih murah.

2. Relatif aman untuk pasien yang tidak puasa (operasi darurat, keadaan lambung

penuh) karena penderita sadar.

3. komplikasi jalan nafas dan respirasi jarang.

4. Tidak ada polusi kamar operasi oleh gas anestesi.

5. Perawatan post operasi lebih ringan.

D. KERUGIAN ANESTESIA REGIONAL DIBANDING ANESTESI UMUM

1. Tidak semua penderita mau dilakukan anestesi secara regional

2. Membutuhkan kerjasama pasien yang kooperatif.

3. Sulit pada anak-anak karena kurang kooperatif

4. Tidak semua ahli bedah menyukai anestesi regional.

23

Page 24: anastesi spinal pada hipertiroid

5. Tedapat kemungkinan kegagalan pada teknik anestesi regional.13

I. Anestesi Spinal

Anestesi spinal adalah pemberian obat ke dalam ruang subarachnoid.

Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam

ruang subarachnoid. Anestesi spinal (anestesi subaraknoid) disebut juga sebagai

analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.

Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan

menembus kutis à subkutis à Lig. Supraspinosum à Lig. Interspinosum à

Lig. Flavum à ruang epidural à durameter à ruang subarachnoid.

Gambar 1. Lokasi Penusukan Jarum pada Anestesi Spinal

Medula spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan

serebrospinal, dibungkus oleh meningens yang terdiri dari duramater, lemak dan

pleksus venosus. Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3.

Oleh karena itu, anestesi spinal dilakukan ruang sub arachnoid di daerah antara

vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5. Lebih sering pada L4-L5 garis yang

menghubungkan kedua Krista Illiaca.15

24

Page 25: anastesi spinal pada hipertiroid

Indikasi Anestesi Spinal :

1.  Bedah ekstremitas bawah

2.  Bedah panggul

3.  Tindakan sekitar rektum perineum

4.  Bedah obstetrik-ginekologi

5.  Bedah urologi

6.  Bedah abdomen bawah

7.  Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan

dengan anestesi umum ringan

Kontra Indikasi Absolut Anestesi Spinal :

1.  Pasien menolak

2.  Infeksi pada tempat suntikan

3.  Hipovolemia berat atau syok

4.  Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan

5.  Tekanan intrakranial meningkat

6.  Fasilitas resusitasi minimal

7.  Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi

8. Terdapat perdarahan intra atau ekstra kranial

Kontra Indikasi Relatif Anestesi Spinal :

1.  Infeksi sistemik

2.  Infeksi disekitar tempat suntikan

3.  Kelainan neurologis

4.  Kelainan psikis

5. Prediksi bedah yang berjalan lama

6.  Penyakit jantung

7.  Hipovolemia ringan

8.  Nyeri punggung kronik16

Persiapan Anestesi Spinal

Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan

pada anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan

menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung

25

Page 26: anastesi spinal pada hipertiroid

atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus.

Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:

1. Informed consent

Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia spinal

2. Pemeriksaan fisik

Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung dan

kelainan dari pemeriksaan fisik yang merupakan kontraindikasi absolut

dilakukannya anestesi regional

3. Pemeriksaan laboratorium anjuran

Hemoglobin, Hematokrit, PT (Prothrombine Time), PTT (Partial

Thromboplastine Time), BT (Bleeding Time), dan CT (Clotting Time)

4. Peralatan Anestesi Spinal

Peralatan monitor: tekanan darah, nadi, saturasi

Jenis Jarum spinal

Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing/quinckebacock)

jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point whitecare)17

Gambar 2. Jenis Jarum Spinal

Teknik pelaksanaan Anestesi Spinal

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis

tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Dengan persiapan tempat lengkap

dengan alat manajement jalan napas dan resusitasi tersedia. Biasanya dikerjakan di

atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi

26

Page 27: anastesi spinal pada hipertiroid

pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan

menyebarnya obat.

1. Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika

visite pre-operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda

kemungkinan adanya kesulitan dalam penusukan, maka pasien tidak perlu

dipersiapkan untuk spinal anestesi. Setelah dimonitor, tidurkan pasien

misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak

untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien

membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain

adalah duduk.

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka,

misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau di atasnya berisiko

trauma terhadap medula spinalis.

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.

Gambar 3. Posisi Duduk dan Lateral Decubitus

4. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,

23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G

atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik

biasa semprit 5 cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak

sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut

mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam

(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat

duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah ke atas atau ke

bawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat

timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang,

mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi

27

Page 28: anastesi spinal pada hipertiroid

obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi

aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau

yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar,

putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal secara

kontinyu dapat dimasukan kateter.

5. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah

hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit – ligamentum

flavum dewasa ± 6cm.19

Gambar 4. Tusukan Jarum pada Anestesi Spinal

Respon Fisiologis Pada Anestesia Spinal

Penyuntikkan obat anestesia lokal ke dalam ruangan subarakhnoid menghasilkan

respon fisiologis yang penting dan luas.7 Respon fisiologis yang terjadi kadang

dibingungkan dengan komplikasi dari teknik anestesia spinal. Pemahaman terhadap

etiologi dari efek fisiologis yang terjadi menjadi kunci dalam manajemen pasien

selama anestesia spinal dan mengerti indikasi dan kontraindikasi dari anestesia spinal.

Efek Pada Kardiovaskular. Salah satu respon fisiologis yang penting terjadi pada

anestesia spinal adalah pada sistem kardiovaskular.7 Efek yang terjadi sama dengan

pada penggunaan kombinasi obat α-1 dan β-adrenergic blockers, dimana nadi dan

tekanan darah menjadi turun sehingga terjadilah hipotensi dan bradikardi. Hal ini

28

Page 29: anastesi spinal pada hipertiroid

karena blok simpatis yang terjadi pada anestesia spinal.6,7 Level blok simpatis

mempengaruhi respon kardiovaskular pada anestesia spinal, dimana semakin tinggi

blok saraf yang terjadi semakin besar pengaruhnya terhadap parameter

kardiovaskular.7

Hipotensi yang terjadi berhubungan dengan penurunan cardiac output (CO)

dan systemic vascular resistance (SVR). Blok simpatis menyebabkan vasodilatasi

baik pada arteri maupun vena, namun karena jumlah darah pada vena lebih besar

(kurang lebih 75% dari total volume darah) dan otot dinding pembuluh darahnya lebih

tipis dibandingkan dengan arteri, efek venodilatasi yang terjadi lebih dominan.7

Akibat dari venodilatasi terjadi redistribusi darah ke splanknik dan ekstremitas

inferior yang menyebabkan venous return atau aliran darah balik vena menuju jantung

berkurang sehingga CO menurun.7,8 Pada pasien muda yang sehat, SVR hanya

menurun 15-18%, walaupun terjadi blok simpatis yang signifikan.8

Bradikardi yang terjadi selama anestesia spinal terutama pada blok tinggi

disebabkan oleh blokade pada cardioaccelerator fibers yang terdapat dari T1 sampai

T4.7,8 Bradikardi juga terjadi sebagai respon terhadap penurunan tekanan pada atrium

kanan akibat pengisian atrium yang berkurang menyebabkan penurunan peregangan

pada reseptor kronotropik yang terdapat pada atrium kanan dan vena-vena besar.

Efek Pada Respirasi. Perubahan variabel pulmonal pada pasien sehat selama

anestesia spinal mempunyai konsekuensi klinis yang kecil. Volume tidal tidak

berubah selama anestesia spinal tinggi, dan kapasitas vital hanya berkurang sedikit

dari 4,05 menjadi 3,73 liter.8 Penurunan kapasitas vital lebih disebabkan oleh

penurunan expiratory reserve volume (ERV) akibat dari paralisis otot-otot abdomen

yang penting pada ekspirasi paksa diabandingkan dengan penurunan fungsi saraf

frenikus atau diafragma. Henti nafas yang terjadi pada anestesia spinal tidak

berhubungan dengan disfungsi saraf frenikus atau diafragma, namun disebabkan oleh

hipoperfusi pada pusat pernafasan di medula oblongata. Hal yang mendukung

pernyataan tersebut adalah kembalinya pernafasan pasien apneu setelah mendapatkan

resusitasi yang cukup baik secara farmakologi ataupun dengan pemberian cairan

untuk meningkatkan cardiac output dan tekanan darah.

Hal yang penting diperhatikan dalam hubungannya dengan terjadinya paralisis

otot pernafasan pada anestesia spinal adalah otot-otot ekspiratori, karena jika terjadi

29

Page 30: anastesi spinal pada hipertiroid

paralisis pada otot-otot tersebut, kemampuan batuk dan pembersihan sekresi bronkus

menjadi terganggu.

Efek Pada Gastrointestinal. Organ lain yang dipengaruhi selama anestesia spinal

adalah traktus gastrointestinal. Mual dan muntah terjadi pada 20% pasien yang

mendapatkan anestesia spinal dan hal ini berhubungan dengan terjadinya

hiperperistaltik gastrointestinal akibat dari aktivitas parasimpatis (vagus) dan relaksasi

dari spinkter yang terdapat pada traktus gastrointestinal.7 Atropin efektif mengurangi

mual dan muntah pada anestesia subarakhnoid yang tinggi (sampai T5). Dilain pihak,

kombinasi dari usus yang berkontraksi dan relaksasi dari otot-otot abdominal

memberi keuntungan karena hal ini menyebabkan terciptanya kondisi yang bagus

untuk operasi.

Efek Pada Fungsi Ginjal. Aliran darah ginjal seperti halnya aliran darah serebral

dipelihara oleh mekanisme autoregulasi dalam hubungannya dengan tekanan perfusi

arteri.7 Jika tidak terjadi hipotensi yang parah, aliran darah ginjal dan produksi urin

tidak berpengaruh selama anestesia spinal. Jika anestesia spinal menyebabkan

terjadinya penurunan tekanan perfusi arteri samapi dibawah 50 mmHg, akan terjadi

penurunan aliran darah ginjal dan produksi urin secara bertahap.7 Walaupun begitu,

jika tekanan darah sudah kembali normal, maka fungsi ginjal juga akan kembali

normal.

Efek pada Termoregulator. Hipotermia perioperatif yang terjadi pada anestesia

spinal memiliki pendekatan yang sama dengan yang terjadi pada anestesia umum.8

Tiga mekanisme dasar yang menyebabkan terjadinya hipotermia selama anestesia

spinal antara lain redistribusi dari pusat panas ke perifer akibat dari vasodilatasi oleh

blok simpatis, hilangnya termoregulasi yang berhubungan dengan penurunan ambang

vasokontriksi dan menggigil dibawah level yang terblok, dan peningkatan hilangnya

panas dari vasodilatasi yang terjadi dibawah level yang terblok.

Strategi untuk meminimalkan hilangnya panas adalah dengan memonitor suhu

tubuh pasien, memberikan cairan intravena yang hangat, menutupi kulit yang terpapar

udara dingin, dan membatasi ketinggian blok dari anestesia spinal.13,14

Komplikasi tindakan anestesi spinal :

30

Page 31: anastesi spinal pada hipertiroid

1. Hipotensi berat

Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan

memberikan infus cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml sebelum

tindakan.

2. Bradikardia

Dapat terjadi tanpa  disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok

sampai T-2

3. Hipoventilasi

Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas

4. Trauma saraf

5. Mual-muntah

6. Menggigil

7. Kejang

Komplikasi pasca tindakan

1.  Nyeri tempat suntikan

2.  Nyeri punggung

3.  Nyeri kepala karena kebocoran likuor

4.  Retensio urine

5.  Meningitis.20

Farmakologi

Obat anestesia lokal yang disuntikkan ke dalam ruangan subarakhnoid akan

mengalami pengenceran oleh cairan serebrospinal, menyebar baik ke kranial maupun

ke kaudal dan kontak dengan radiks medula spinalis yang belum mempunyai

selubung myelin. Obat anestesia lokal tidak boleh mengandung bahan (material) yang

mempunyai efek iritasi pada radiks dan medula spinalis. Obat yang dipakai untuk

anestesia spinal adalah obat yang khusus.

31

Page 32: anastesi spinal pada hipertiroid

Penggunaan obat-obatan anestesia lokal yang umum dipakai dalam anestesia

spinal harus diikuti dengan pertimbangan-pertimbangan seperti distribusi dari obat

dalam cairan serebrospinalis (level dari anestesia), ambilan obat oleh elemen-elemen

saraf pada ruang subarakhnoid (tipe dari saraf yang terblok), dan eliminasi obat dari

ruangan subarakhnoid (duration of action).6 Terdapat beberapa macam obat anestesia

lokal yang sering dipakai pada anestesia spinal seperti prokain, lidokain (Xylocaine),

tetrakain (Pantocaine), bupivakain (Marcaine atau Sensorcaine), dan dibukain

(Cinchorcaine).6 Prokain dan lidokain bersifat short-intermediate acting, sedangkan

tetrakain, bupivakain dan dibukain mempunyai sifat intermediate-long duration.13

Prokain. Menghasilkan anestesia spinal dengan onset efek sekitar 3 sampai 5 menit

dengan durasi antara 50-60 menit.7 Di Amerika Serikat, prokain untuk anestesia spinal

terdapat dalam sediaan ampul sebanyak 2 ml larutan 10%. Jika dilarutkan dengan

cairan serebrospinal dalam jumlah yang sama menghasilkan larutan prokain 5% yang

mempunyai berat hampir sama dengan cairan serebrospinal dan jika dicampur dengan

glukosa 10% dalam jumlah yang sama akan menghasilkan larutan yang lebih berat

dari cairan serebrospinal. Larutan prokain 2,5% dalam air lebih banyak digunakan

sebagai diagnostik dibandingkan dengan anestesia spinal untuk operasi. Dosis yang

disarankan berkisar antara 50-100 mg untuk operasi daerah perineum dan ekstremitas

inferior dan 150-200 mg untuk operasi abdomen bagian atas.

Lidokain. Juga mempunyai onset anestesia spinal dalam 3 sampai 5 menit dengan

durasi yang lebih lama dari prokain yaitu 60-90 menit.7 Lidokain yang dipakai untuk

anestesia spinal adalah larutan 5% dalam glukosa 7,5%. Dosis yang biasa digunakan

adalah 25-50 mg untuk operasi perineum dan saddle block anesthesia dan 75-100 mg

untuk operasi abdomen bagian atas.

Tetrakain. Obat ini mempunyai onset anestesia dalam 3 sampai 6 menit dengan

durasi yang lebih lama dibandingkan dengan prokain dan lidokain (210-240 menit).7

Tetrakain tersedia dalam bentuk ampul berisi kristal 20 mg dan dalam ampul sebesar

2 ml larutan 1% dalam air. Larutan 1%, jika dicampur dengan glukosa 10% dalam

jumlah yang sama (tetrakain 0,5% dalam 5% glukosa) digunakan secara luas untuk

anestesia spinal dimana mempunyai berat yang lebih besar daripada cairan

serebrospinal. Dosis yang digunakan berkisar antara 5 mg untuk operasi daerah

perineum dan ekstremitas inferior dan 15 mg untuk operasi abdomen bagian atas.

32

Page 33: anastesi spinal pada hipertiroid

Bupivakain. Obat ini menghasilkan onset anestesia spinal dalam waktu 5 sampai 8

menit. Durasi anestesia yang dihasilkan sama dengan tetrakain. Di Australia dan

kebanyakan negara eropa, larutan 0,5% hipobarik atau hiperbarik telah digunakan

sebagai anestesia spinal. Dosis yang direkomendasikan berkisar antara 8-10 mg untuk

operasi perineum dan ekstremitas inferior dan 15-20 mg untuk operasi abdomen

bagian atas.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel 2.2 di bawah tentang dosis obat

anestesia lokal yang digunakan untuk mencapai ketinggian blok yang diinginkan.

Tabel 2.2 Obat-obatan Untuk Anestesia Spinal

Obat dan

Konsentrasinya

Dosis (mg) Durasi (menit)

L4 T10 T4 Plain Dengan 0,2 mg

Epinefrin

Prokain (5%)

Lidokain (5%)

Tetrakain (0,5%)

Bupivakain (0,75%)

Dibukain (0,5%)

50-75

25-50

4-6

4-8

4-6

100-150

50-75

6-10

8-12

6-8

150-200

75-100

12-16

14-20

10-15

40-55

60-70

60-90

90-110

150-180

60-75

60-70

120-180

90-110

180-240

Salah satu faktor yang mempengaruhi spinal anestesi blok adalah barisitas (Barik

Grafity) yaitu rasio densitas obat spinal anestesi yang dibandingkan dengan densitas

cairan spinal pada suhu 370C. Barisitas penting diketahui karena menentukan

penyebaran obat anestesi lokal dan ketinggian blok karena grafitasi bumi akan

menyebabkan cairan hiperbarik akan cendrung ke bawah. Densitas dapat diartikan

sebagai berat dalam gram dari 1ml cairan (gr/ml) pada suhu tertentu. Densitas

berbanding terbalik dengan suhu.

33

Page 34: anastesi spinal pada hipertiroid

Obat-obat lokal anestesi berdasarkan barisitas dan densitas dapat di golongkan

menjadi tiga golongan yaitu:

1)   Hiperbarik

Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih besar dari pada

berat jenis cairan serebrospinal, sehingga dapat terjadi perpindahan obat ke dasar

akibat gaya gravitasi. Agar obat anestesi lokal benar–benar hiperbarik pada semua

pasien maka baritas paling rendah harus 1,0015gr/ml pada suhu 37C.

contoh: Bupivakain 0,5%. Contoh: Lidokaine (xylocain,lignokaine) 5% dalam

dextrose 7.5%: berat jenis 1.033, sifat hiperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml),

Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik,

dosis 5-15mg (1-3ml)

2)        Hipobarik

Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih rendah dari berat

jenis cairan serebrospinal. Densitas cairan serebrospinal pada suhu 370C adalah

1,003gr/ml. Perlu diketahui variasi normal cairan serebrospinal sehingga obat yang

sedikit hipobarik belum tentu menjadi hipobarik bagi pasien yang lainnya. contoh:

tetrakain,dibukain.

3)        Isobarik

Secara definisi obat anestesi lokal dikatakan isobarik bila densitasnya sama dengan

densitas cairan serebrospinalis pada suhu 370C. Tetapi karena terdapat variasi densitas

cairan serebrospinal, maka obat akan menjadi isobarik untuk semua pasien jika

densitasnya berada pada rentang standar deviasi

0,999-1,001gr/ml. contoh: levobupikain 0,5% Spinal anestesi blok mempunyai

beberapa keuntungan antara lain:perubahan metabolik dan respon endokrin akibat

stres dapat dihambat, komplikasi terhadap jantung, paru, otak dapat di

minimal, tromboemboli berkurang, relaksasi otot dapat maksimal pada daerah yang

terblok sedang pasien masih dalam keadaan sadar. Contoh: Lidokaine (xylocain,

lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik, dosis 20-100 mg (2-5 ml),

34

Page 35: anastesi spinal pada hipertiroid

Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik, dosis 5-20mg

(1-4ml).18

Penyebaran Anastetik Lokal, tergantung :

1. Faktor utama:

a. Berat jenis obat anestetik lokal (barisitas)

b. Posisi pasien (gaya gravitasi obat)

c. Dosis dan volume obat anestetik lokal

2. Faktor tambahan

a. Ketinggian lokasi penyuntikan

b. Kecepatan suntikan/barbotase

c. Ukuran jarum

d. Keadaan fisik pasien

e. Tekanan intra abdominal

Lama kerja anestetik lokal tergantung:

1.  Jenis obat anestesi lokal

2.  Besarnya dosis anestesi

3.  Ada tidaknya tambahan obat vasokonstriktor

4.  Besarnya penyebaran anestetik lokal

Penyerapan Obat Anestesia Lokal

Penyerapan atau uptake obat anestesia lokal ke dalam jaringan saraf dalam ruangan

subarakhnoid selama anestesia spinal bergantung pada 4 faktor yaitu konsentrasi

anestesia lokal dalam cairan serebrospinal, area permukaan saraf yang terpapar cairan

serebrospinal, kandungan lemak jaringan saraf, dan aliran darah yang menuju jaringan

saraf.7

Penyerapan obat anestesia lokal akan lebih besar apabila konsentrasi obat

anestesia lokal pada cairan serebrospinalis juga lebih besar.7 Proses penyerapan

anestesia lokal di cairan serebrospinalis terjadi seiring dengan jalannya akar saraf

berawal dari medula spinalis yang kemudian melewati ruang subarakhnoid menuju

35

Page 36: anastesi spinal pada hipertiroid

tempat keluarnya melewati duramater. Medula spinalis juga menyerap obat anestesia

lokal melalui 2 proses salah satunya adalah proses difusi dari anestesia lokal melewati

gradien konsentrasi dari cairan serebrospinalis melalui piamater menuju ke tabung

saraf. Hal ini merupakan proses yang berjalan lambat melibatkan hanya bagian

superfisial dari tabung saraf, dan proses yang lainnya melibatkan perpanjangan dari

ruang subarakhnoid yang dikenal dengan nama ruangan Virchow-Robin, yang

kemudian diikuti oleh penetrasi ke dalam pembuluh darah di piamater menuju medula

spinalis. Melalui ruangan Virchow-Robin anestesia lokal pada cairan serebrospinalis

dapat mencapai struktur yang lebih dalam dari tabung saraf. Jika jalan ini hanya

merupakan satu-satunya faktor yang menentukan konsentrasi obat anestesia lokal

pada jaringan maka konsentrasinya pada medula spinalis mungkin akan lebih rendah

daripada yang ditemukan pada akar saraf. Tetapi kenyataannya, konsentrasi obat

anestesia lokal ditemukan lebih besar pada medula spinalis. Hal ini karena peranan

dari kandungan lemak yang menentukan penyerapan dari obat anestesia lokal.

Sejak diketahui bahwa obat anestesia lokal lebih larut dalam lemak daripada

dalam air, maka jaringan yang memiliki selubung myelin yang sangat tebal dalam

ruangan subarakhnoid yang mengandung lemak yang sangat besar diharapkan

memiliki konsentrasi obat anestesia lokal yang lebih besar.

Penyerapan obat anestesia lokal oleh jaringan saraf dan pembuluh darah dalam

ruang subarakhnoid menyebabkan berkurangnya konsentrasi obat anestesia lokal

dalam cairan serebrospinalis. Distribusi, penyerapan dan eliminasi obat anestesia

lokal menyebabkan penurunan konsentrasi obat anestesia lokal sampai pada titik

tertentu dalam cairan serebrospinalis dimana larutan yang tersisa sebelumnya

hiperbarik mendekati isobarik. Jika titik tersebut tercapai (sekitar 30-35 menit dengan

lidokain), perubahan dari posisi pasien yang diberikan larutan hiperbarik tidak lagi

mempengaruhi konsentrasinya dalam cairan serebrospinalis. Level dari anestesia

menjadi terfiksasi dan perubahan dari posisi pasien tidak akan merubah level

anestesia.

Eliminasi Obat Anestesia Lokal

Laju eliminasi obat anestesia lokal menentukan durasi anestesia spinal.

Eliminasi tidak termasuk proses metabolisme obat anestesia lokal dalam ruang

subarakhnoid. Eliminasi dimulai oleh absorbsi pembuluh darah dan dicerminkan oleh

36

Page 37: anastesi spinal pada hipertiroid

level sistemik dalam darah dari obat anestesia lokal yang disuntikkan secara

intratekal.

Eliminasi melalui absorbsi oleh pembuluh darah terjadi dalam 2 area yaitu

ruang epidural dan ruang subarakhnoid. Karena perfusi vaskular dari tabung saraf

bervariasi di masing-masing area, maka laju eliminasi dan konsentrasinya juga

bervariasi. Laju eliminasinya dalam ruang subarakhnoid tergantung dari permukaan

absorbsi vaskular pada area yang terpapar.

Larutan yang mengandung lemak juga mempengaruhi eliminasi obat anestesia

lokal. Kandungan lemak dari obat anestesia lokal berhubungan secara langsung

dengan durasi kerjanya. Makin ketat ikatannya dengan lemak, makin susah untuk

diabsorbsi oleh vaskular sehingga makin lama dipindahkan dari tempat kerjanya.

Penurunan aliran darah dalam medula spinalis juga mengurangi laju eliminasi obat

anestesia lokal sehingga memperpanjang durasi kerjanya. Penggunaan vasokontriksi

seperi epinefrin dan fenilefrin juga menyebabkan penurunan laju eliminasi obat

anestesia lokal sebagai akibat dari vasokontriksi pembuluh darah intratekal. 17

DAFTAR PUSTAKA

1. Soenarto RF, Chandra S. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta 2014: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta 2014

2. Soenarjo, Jatmiko HD. Anestesiologi. Ikatan Dokter Spesialis Anestesi Dan

Reanimasi. Semarang 2002.

3. Said A. Latief, Kartini A Suryadi, M. Ruswan Dachlan. Petunjuk

PraktisAnestesiologi. Edisi ke-2. Bagian Anstesiologi dan Terapi Intensif

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2001.

37

Page 38: anastesi spinal pada hipertiroid

4. Ondansetron: Medscape reference. Ondansetron. [Online]. Updated January

2014. Available at http://reference.medscape.com/drug/zofran-zuplenz-

ondansetron-342052. Accessed 19 June, 2014.

5. Bupivacaine: Medscape Reference. Bupivacaine. [Online]. Updated January

2014. Available at http://reference.medscape.com/drug/marcaine-sensorcaine-

bupivacaine-343360. Accessed 19 June, 2014.

6. http://emedicine.medscape.com/article/121865-overview . “Hyperthyroid”.

Stephanie L Lee, MD, PhD; Chief Editor: George T Griffing, MD

7. Morgan GE, 2006, Anesthesia for Patient With Endocrine Disease, Clinical

Anesthesiology, 4th edition, McGraw-Hill, p 807-808

8. Farling, PA,2000, Thyroid Disease, British Journal of Anesthesia 85 (I) : 15-

28

9. Crisaldo S et Mercado A.,2005, Clinical Outcome During The Peri-operative

(Thyroidectomy) Period of Severely Hyperthyroid Patients with Normalized

Pre-operative Free-T4 Levels: Importance of I-131 Therapy as a part of Pre-

operative Preparation, World Journal of Nuclear Medicine, p 235-238

10. Bolaji et al., 2011, Anesthesia Management for Thyroidectomy in a Non-

Euthyroid Patient Following Cardiac Failure, Nigeria Journal of Clinical

Practice, Vol 14, p 482-485)

11. Braunwald, et all. Harrison’s Principles of Interal Medicine. Ed 15th.

McGraw-Hill. New York, USA. 2001.

12. Boulton TB, Blogg CE. 1994. Anestesiologi. Edisi 10. Jakarta: EGC

13. Dobson, MB. 1994. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta: EGC

14. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. 2009. Petunjuk Anestesiologi: Edisi

Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI

15. Miller RD. 2000. Anesthesia. Edisi Kelima. Chruchill Livingstone.

Philadelphia

16. Morgan, E. 2006. Clinical Anesthesiology. Edisi Keempat. McGraw-Hill

Company

38

Page 39: anastesi spinal pada hipertiroid

17. Muhiman M, Thaib R, Sunatrio S, Dahlan R. Anestesiologi. Jakarta: Bagian

Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI

18. Mulroy MF. 1996. Regional Anesthesia, An Illistrated Procedural Guide.

Edisi Kedua. Boston: Little Brown Company

19. Robyn Gymrek, MD. 2010. Regional Anesthesia at www.emedicine.com

20. Werth, M. Pokok-pkok Anestesi. Jakarta: EGC

39