analisis terhadap indikasi adanya motif war profiteering...

12
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 3, Oktober 2016 63 Analisis Terhadap Indikasi Adanya Motif War Profiteering di Balik Perang Irak Joshua Francis Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga Abstract The Iraq War that lasted between 2003 and 2011 was United States of America’s biggest and most expensive military operation after the Vietnam War. Aside of spending quite a lot of expenses, this war was also unauthorized by the UN. When discussing about the reason of USA’s war in Iraq, we usually focus on classic reasons such as politics, security, and territorial matter. We also tend to discuss about the national interest of state actors as the reason. What is less discussed is economic motives of the war, and historically there are too few studies regarding economic motives that becomes the interest of sub-state actors behind the Iraq War. Economic profit is gained from the Iraq War through government projects and contracts that is given to private contractors. The practice of gaining economic profit from war is called war profiteering. Key Words: War Profiteering, Iraq War, USA, Elite Interest. Perang Irak yang berlangsung antara 2003 dan 2011 adalah operasi militer terbesar dan termahal Amerika Serikat setelah Perang Vietnam. Selain menghabiskan cukup banyak biaya, perang ini juga tidak sah-kan oleh PBB. Ketika membahas tentang alasan perang oleh Amerika Serikat di Irak, kita biasanya fokus pada alasan klasik seperti politik, keamanan, dan materi teritorial. Kita juga cenderung membahas tentang kepentingan nasional dari aktor negara sebagai alasan. Apa yang kurang dibahas adalah motif ekonomi dari perang, dan secara historis, terlalu sedikit penelitian mengenai motif ekonomi yang menjadi kepentingan aktor sub-negara di balik Perang Irak. Terdapat keuntungan ekonomi yang diperoleh dari Perang Irak melalui proyek-proyek pemerintah dan kontrak yang diberikan kepada kontraktor swasta. Praktik mendapatkan keuntungan ekonomi dari perang disebut pencatutan perang. Kata Kunci: Pencatutan Perang, Perang Irak, Amerika Serikat, Kepentingan Elit Perang Irak dimulai dari invasi Amerika Serikat ke Irak pada tanggal 20 Maret 2003 dan berakhir secara resmi pada 18 Desember 2011 dan menjadikan perang ini sebagai operasi militer yang terlama, terbesar, dan paling mahal setelah Perang Vietnam. Perang Irak juga merupakan operasi militer Amerika Serikat yang pertama kali dilakukan tanpa ada persetujuan dari organisasi internasional seperti PBB setelah Perang Dingin berakhir dan juga pertama kalinya pasukan militer Amerika Serikat menduduki suatu wilayah di kawasan timur tengah (Lieberfeld, 2005). Menurut Congressional Research Service, Amerika Serikat sudah menghabiskan biaya sebanyak 815 milyar dolar Amerika Serikat (Belasco, 2014). Selain menghabiskan uang yang tidak sedikit, Perang Irak juga menelan korban jiwa yang banyak. Amerika Serikat telah mengalami korban jiwa sebanyak 4424 jiwa selama Perang Irak. Biaya dan korban jiwa yang tidak sedikit menimbulkan pertanyaan – pertanyaan mengenai Perang Irak dan alasan dari mengapa Amerika Serikat menyerang Irak. Dalam membahas mengenai alasan sebuah negara maju berperang, kita selalu cenderung melihat alasan alasan besar seperti masalah keamanan,

Upload: lynga

Post on 11-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis Terhadap Indikasi Adanya Motif War Profiteering ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahic80bc8324ffull.pdf · sebagai penyebab terjadinya perang. Seperti bahwa Irak

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 3, Oktober 2016 63

Analisis Terhadap Indikasi Adanya Motif War

Profiteering di Balik Perang Irak

Joshua Francis

Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga

Abstract

The Iraq War that lasted between 2003 and 2011 was United States of America’s biggest and most expensive military operation after the Vietnam War. Aside of spending quite a lot of expenses, this war was also unauthorized by the UN. When discussing about the reason of USA’s war in Iraq, we usually focus on classic reasons such as politics, security, and territorial matter. We also tend to discuss about the national interest of state actors as the reason. What is less discussed is economic motives of the war, and historically there are too few studies regarding economic motives that becomes the interest of sub-state actors behind the Iraq War. Economic profit is gained from the Iraq War through government projects and contracts that is given to private contractors. The practice of gaining economic profit from war is called war profiteering.

Key Words: War Profiteering, Iraq War, USA, Elite Interest.

Perang Irak yang berlangsung antara 2003 dan 2011 adalah operasi militer terbesar dan termahal Amerika Serikat setelah Perang Vietnam. Selain menghabiskan cukup banyak biaya, perang ini juga tidak sah-kan oleh PBB. Ketika membahas tentang alasan perang oleh Amerika Serikat di Irak, kita biasanya fokus pada alasan klasik seperti politik, keamanan, dan materi teritorial. Kita juga cenderung membahas tentang kepentingan nasional dari aktor negara sebagai alasan. Apa yang kurang dibahas adalah motif ekonomi dari perang, dan secara historis, terlalu sedikit penelitian mengenai motif ekonomi yang menjadi kepentingan aktor sub-negara di balik Perang Irak. Terdapat keuntungan ekonomi yang diperoleh dari Perang Irak melalui proyek-proyek pemerintah dan kontrak yang diberikan kepada kontraktor swasta. Praktik mendapatkan keuntungan ekonomi dari perang disebut pencatutan perang.

Kata Kunci: Pencatutan Perang, Perang Irak, Amerika Serikat, Kepentingan Elit

Perang Irak dimulai dari invasi Amerika Serikat ke Irak pada tanggal 20 Maret 2003 dan berakhir secara resmi pada 18 Desember 2011 dan menjadikan perang ini sebagai operasi militer yang terlama, terbesar, dan paling mahal setelah Perang Vietnam. Perang Irak juga merupakan operasi militer Amerika Serikat yang pertama kali dilakukan tanpa ada persetujuan dari organisasi internasional seperti PBB setelah Perang Dingin berakhir dan juga pertama kalinya pasukan militer Amerika Serikat menduduki suatu wilayah di kawasan timur tengah (Lieberfeld, 2005). Menurut Congressional Research Service, Amerika Serikat sudah

menghabiskan biaya sebanyak 815 milyar dolar Amerika Serikat (Belasco, 2014). Selain menghabiskan uang yang tidak sedikit, Perang Irak juga menelan korban jiwa yang banyak. Amerika Serikat telah mengalami korban jiwa sebanyak 4424 jiwa selama Perang Irak. Biaya dan korban jiwa yang tidak sedikit menimbulkan pertanyaan – pertanyaan mengenai Perang Irak dan alasan dari mengapa Amerika Serikat menyerang Irak.

Dalam membahas mengenai alasan sebuah negara maju berperang, kita selalu cenderung melihat alasan – alasan besar seperti masalah keamanan,

Page 2: Analisis Terhadap Indikasi Adanya Motif War Profiteering ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahic80bc8324ffull.pdf · sebagai penyebab terjadinya perang. Seperti bahwa Irak

Joshua Francis

64

politik, kemanusiaan dan teritori sebagai penyebab terjadinya perang. Seperti bahwa Irak mensponsori organisasi teroris yang anti-barat, bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal, dan bahkan sampai masalah politik seperti bahwa Perang Irak dijalankan sebagai bentuk show of force oleh Amerika Serikat untuk mempertahankan posisinya sebagai hegemon setelah peristiwa 9/11 (Lieberfeld, 2005). Namun, seringkali kita melewatkan motif ekonomi sebagai alasan sebuah negara untuk berperang. Hal ini menjadi sangat menarik karena jika kita merunut sejarah umat manusia, perang memang didasari oleh berbagai alasan namun dari berbagai alasan tersebut ada satu konstan yang sama yaitu motif ekonomi (Anderton, 2003). Secara historis, manusia selalu berperang didasari oleh motif ekonomi meskipun seringkali dibalut oleh berbagai alasan normatif lainnya (Robinson, 1900 ; Mills, 2002) namun dalam konteks spesifik Perang Irak, kajian mengenai hal tersebut masih sangat sedikit.

Sebelumnya, militer dan pemerintahan Amerika Serikat merupakan salah satu rezim yang paling mandiri dan self - sufficient di dunia, namun sekarang Amerika Serikat sangat bergantung kepada sektor privat (Surowiecki, 2004). Sejak tahun 1990an Amerika Serikat mulai mendelegasikan berbagai macam tugasnya kepada kontraktor swasta melalui kontrak – kontrak pemerintah. Seiring dengan berjalannya kampanye War On Terror, maka semakin banyak konflik yang harus dihadapi oleh militer Amerika Serikat. Dengan adanya perang di Afghanistan dan Irak, muncul kesempatan besar bagi berbagai korporat swasta untuk memperoleh keuntungan. Praktek untuk memperoleh keuntungan dari perang ini dikenal dengan sebutan war profiteering.

Karena itu, Perang Irak menjadi kesempatan besar bagi perusahaan – perusahaan swasta terutama dalam bidang logistik perang, akomodasi bagi tentara Amerika Serikat di Irak, pengelolaan industri minyak Irak dan juga sektor konstruksi dan teknik sipil melalui proyek rekonstruksi sarana dan infrastruktur Irak. Dengan jumlah dana sebesar 60 milyar dolar Amerika Serikat yang dialokasikan untuk proyek pembangunan kembali Irak, maka banyak perusahaan yang saling berebut untuk memenangkan kontrak mewah

tersebut dimana mereka juga menggunakan koneksi mereka di pemerintahan untuk memenangkan kontrak tersebut.

Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan Teori Kepentingan Elit sebagai alasan Amerika Serikat maju berperang di Irak. Kepentingan yang dimaksud disini adalah keuntungan ekonomi yang akan didapat oleh para kelompok elit melalui Perang Irak. Hal ini didasari oleh sebuah premis bahwa dalam membahas

alasan sebuah negara maju berperang, kita selalu cenderung melihat alasan – alasan besar seperti masalah keamanan, politik, dan teritori sebagai penyebab terjadinya perang. Yang seringkali terlewatkan adalah motif ekonomi sebagai alasan sebuah negara untuk berperang. Hal ini menjadi sangat menarik karena jika kita merunut sejarah umat manusia, perang memang didasari oleh berbagai alasan namun dari berbagai alasan tersebut ada satu konstan yang selalu muncul yaitu motif ekonomi (Anderton, 2003).

Penulis menggunakan teori ini karena motif perang yang akan menjadi bahasan merupakan motif keuntungan ekonomi yang tidak berasal dari kepentingan nasional aktor negara tapi kepentingan partisan dari aktor sub-negara. Penulis menggunakan Teori Kepentingan Elit karena teori ini

Dalam penelitian ini

penulis akan

menggunakan Teori

Kepentingan Elit

sebagai alasan Amerika

Serikat maju berperang

di Irak. Kepentingan

yang dimaksud disini

adalah keuntungan

ekonomi yang akan

didapat oleh para

kelompok elit melalui

Perang Irak.

Page 3: Analisis Terhadap Indikasi Adanya Motif War Profiteering ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahic80bc8324ffull.pdf · sebagai penyebab terjadinya perang. Seperti bahwa Irak

Analisis Terhadap Indikasi

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 3, Oktober 2016 65

berfokus pada analisa mengenai kepentingan aktor sub-negara dimana tindakan dari para konstituen domestik, terutama kaum elit ekonomi dan politik mempengaruhi keputusan yang berhubungan dengan militer dan perang (Lieberfeld, 2005). Dalam teori ini, aktor yang menjadi kajian utama adalah aktor sub-negara yang berupa kelompok elit baik elit politik, ekonomi, maupun militer dan bagaimana kepentingan dari aktor sub-negara tersebut mendorong negara sebagai sebuah institusi untuk maju berperang demi mencapai kepentingan mereka sendiri.

Munculnya war profiteering sebagai motif perang berangkat dari teori Kepentingan Elit dimana kepentingan dari aktor sub-negara yang menjadi pendorong atau alasan sebuah negara maju berperang. Seperti yang akan dijelaskan dibawah ini, war profiteering merupakan suatu praktek pencarian keuntungan yang didapatkan oleh sekelompok elit yang menjadi aktor sub-negara tersebut. Secara tradisional, war profiteering berbicara tentang mengeruk keuntungan finansial dari keadaan perang terutama melalui penjualan senjata baik kepada salah satu maupun semua pihak yang terlibat dalam perang tersebut (Vesperoni, 2014). Namun pada perkembangannya, tidak hanya produsen senjata saja yang dapat mengeruk keuntungan ekonomi dari terjadinya perang namun juga perusahaan – perusahaan yang bergerak di berbagai sektor privat.

Karena itu praktek war profiteering sudah tidak lagi eksklusif hanya bagi para pedagang senjata saja namun berubah menjadi praktek eksploitasi kontrak pemerintah selama masa perang yang biasanya dilakukan oleh sektor privat yang memenangkan kontrak untuk memberikan jasa selama atau setelah konflik terjadi (Areen et al, 2004). Terjadinya War Profiteering dapat dilihat dari adanya tiga hal yang saling berhubungan satu sama lain. Ketiga hal tersebut adalah adanya inkonsistensi dalam justifikasi resmi yang dikemukakan, mekanisme kontrak

yang relatif leluasa untuk pemanfaatan peluang yang muncul, dan juga relasi antara aktor – aktor yang terlibat baik secara personal maupun institusional yang dapat dirumuskan menggunakan konsep Patron-Client dan Iron Triangle yang sudah disebutkan diatas. Ketiga faktor tersebut harus hadir dan terpenuhi agar praktek War Profiteering dapat terjadi (Areen et al, 2004 ; Ortu, 2012).

Dalam kasus perang Irak, Amerika Serikat juga memiliki beberapa alasan yang sebelumnya diutarakan sebagai motif untuk menyerang Irak. Alasan – alasan tersebut sangat bervariasi dari alasan keamanan, hingga alasan personal. Secara umum, Amerika Serikat memiliki tiga alasan resmi pada saat menyerang Irak yaitu bahwa Irak terlibat bersama dengan Al – Qaeda dan Osama Bin Laden, bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal yang dapat membahayakan negara – negara sekitarnya, Israel, dan semua negara barat yang demokratis, dan yang terakhir adalah Irak merupakan sebuah rezim diktator yang melakukan pelanggaran HAM terhadap rakyatnya (Zizek, 2004). Yang menarik adalah, setelah invasi berlangsung ketiga alasan Amerika Serikat untuk menyerang Irak tersebut kemudian tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara absolut.

Alasan pertama yang digunakan oleh Amerika Serikat untuk menyerang Irak adalah bahwa Irak sedang mengembangkan senjata pemusnah massal. Dalam pidato State of the Union pada tahun 2002, Presiden George W. Bush menyatakan bahwa Irak dibawah rezim Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal (White House Press Release, 2002). Yang kemudian menjadi permasalahan adalah, setelah invasi terhadap Irak dilangsungkan dan rezim pemerintahan Saddam Hussein berhasil dijatuhkan, alasan bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal tersebut pada akhirnya tidak terbukti. Menurut inspektur senjata PBB, tidak ditemukan sama sekali tanda – tanda bahwa Irak

Page 4: Analisis Terhadap Indikasi Adanya Motif War Profiteering ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahic80bc8324ffull.pdf · sebagai penyebab terjadinya perang. Seperti bahwa Irak

Joshua Francis

66

sedang mengembangkan senjata pemusnah massal. Bahkan, melalui resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1441, PBB sudah mengirimkan inspektur untuk mencari tanda – tanda senjata pemusnah massal di Irak secara berkala sejak tahun 2002 hingga tahun 2003 (Squassoni, 2003). Inspeksi senjata di Irak dilakukan oleh dua badan pengawas yaitu UNMOVIC (United Nations Monitoring, Verification, and Investigation Comission) dan IAEA (International Atomic Energy Agency).

IAEA dan UNMOVIC secara total telah melakukan 750 inspeksi di 550 lokasi yang berbeda selama periode November 2002 sampai dengan Maret 2003 (Squassoni, 2003). Penyelidikan yang dilakukan berupa inspeksi mendadak, wawancara dengan personel Irak, pengambilan sampel, dan pengumpulan dokumen. Laporan berkala yang diberikan pimpinan dari IAEA Mohammed El Baradei dan UNMOVIC Hans Blix pada akhirnya tidak bisa memberikan bukti secara konkrit bahwa Irak sedang mengembangkan senjata pemusnah massal, hanya menunjukkan bukti – bukti bahwa Irak tidak bekerja sama sepenuhnya selama proses inspeksi berjalan. Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1441 tidak memberikan jangka waktu yang tetap untuk lamanya proses inspeksi berjalan. Karena itu inspeksi berjalan sejak akhir tahun 2002 sampai dengan dimulainya invasi Irak pada tahun 2003 dan kemudian dilanjutkan lagi setelah Amerika Serikat menduduki wilayah Irak.

Pada tanggal 27 Januari 2003, Hans Blix dan Mohammed ElBaradei memberikan laporan pertama ke Dewan Keamanan PBB mengenai kemajuan proses inspeksi senjata di Irak. Menurut laporan Blix dan ElBaradei, inspeksi telah dilakukan melalui identifikasi fasilitas – fasilitas industri di Irak melalui gambaran satelit dan melakukan inspeksi – inspeksi mendadak ke fasilitas – fasilitas tersebut. Selama inspeksi tersebut berjalan tidak ditemukan tanda – tanda bahwa Irak

sedang mengembangkan teknologi senjata nuklir (ElBaradei, 2003). Menurut Blix, Irak justru cukup kooperatif dengan inspektur dari UNMOVIC dan IAEA selama proses inspeksi berjalan dan memberikan akses ke semua situs serta dokumen yang diminta oleh UNMOVIC dan IAEA (Blix, 2003). Pada laporan kedua ke Dewan Keamanan PBB pada tanggal 14 Februari 2003, ElBaradei kembali melaporkan hasil yang sama dengan laporan pertama pada 27 Januari 2003 bahwa IAEA tidak menemukan bukti bahwa Irak sedang menjalankan program pengembangan senjata pemusnah massal (ElBaradei, 2003).

Selain itu, dalam laporan 14 Februari tersebut, baik Blix dan ElBaradei sama – sama menekankan bahwa Irak sangat kooperatif selama proses inspeksi berjalan sehingga hal ini tidak sesuai dengan klaim Amerika Serikat bahwa Irak sangat tidak kooperatif dan menghambat proses berjalannya inspeksi. Meskipun begitu, Amerika Serikat tetap menjalankan rencananya untuk menginvasi Irak meskipun hasil laporan dari UNMOVIC dan IAEA sama – sama telah mencapai kesimpulan bahwa Irak tidak memiliki atau sedang mengembangkan senjata pemusnah massal dan bahkan sangat kooperatif selama proses inspeksi sedang berjalan. Karena itu alasan Amerika Serikat untuk menyerang Irak bahwa Irak memiliki dan mengembangkan senjata pemusnah massal menjadi tidak valid lagi dan patut dipertanyakan kebenarannya.

Setelah alasan pertama tidak terbukti kebenarannya, maka saat berusaha menjawab pertanyaan mengenai mengapa Amerika Serikat menyerang Irak pada tahun 2003 akan selalu dihubungkan dengan peristiwa 9/11 dan isu – isu yang muncul karenanya. Isu – isu tersebut contohnya adalah isu terorisme global, dan yang lebih penting lagi adalah persenjataan yang dimiliki oleh Al-Qaeda sebagai aktor non-negara dalam peperangan yang bersifat trans-nasional dan asimetris. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar bagi kampanye

Page 5: Analisis Terhadap Indikasi Adanya Motif War Profiteering ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahic80bc8324ffull.pdf · sebagai penyebab terjadinya perang. Seperti bahwa Irak

Analisis Terhadap Indikasi

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 3, Oktober 2016 67

War on Terror Amerika Serikat dan alasan Amerika Serikat menginvasi Afghanistan pada tahun 2001 karena Afghanistan telah menjadi tempat persembunyian dan pusat pelatihan Al-Qaeda. Dalam pidatonya pada 29 Januari 2002, George W. Bush dengan jelas menyatakan bahwa Amerika Serikat tidak akan membedakan kelompok teroris dan negara yang melindungi serta mempersenjatai kelompok teroris tersebut (Bush, 2002).

Tidak ada laporan yang terverifikasi yang menyatakan Irak memiliki hubungan baik dengan Al-Qaeda. Saddam Hussein justru melihat Al-Qaeda sebagai ancaman akan rezim pemerintahannya (Katzman, 2004). Irak dibawah Saddam Hussein merupakan sebuah negara yang meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, namun merupakan sebuah negara sekuler yang tidak menganut agama sebagai dasar negara dan pemerintahan. secara historis Osama Bin Laden tidak memiliki hubungan yang baik dengan Saddam Hussein.

Ketika Irak menyerang Kuwait pada tahun 1990, Osama Bin Laden menawarkan perlindungan kepada Arab Saudi dengan cara mengirimkan mujahidin dari Afghanistan untuk mempertahankan Arab Saudi dari serangan Irak. Setelah Perang Teluk berakhir Osama Bin Laden juga masih terus mengkritik pemerintahan Ba’ath Saddam Hussein dan menekankan bahwa Saddam Hussein tidak dapat dipercaya (Bergen, 2005). Selain itu, ideologi Ba’athist yang dipegang oleh Saddam Hussein merupakan sebuah ideologi yang menggabungkan konsep nasionalisme pan-Arab dengan sekularisme dan sosialisme Arab. Hal ini bertentangan dengan konsep politik Pan-Islam yang dianut oleh Osama Bin Laden (Abdel-Malek, 1983).

Pada 27 November 2002, Kongres membentuk komisi pencari fakta yang diresmikan dalam surat keputusan Presiden yang ditandatangani oleh George W. Bush. Komisi ini

dinamai National Commission on Terrorist Attacks Upon the United States dan seringkali dikenal dengan sebutan 9/11 Commission. Komisi ini bertugas untuk mencari fakta seputar serangan 9/11, termasuk kebenaran dari tuduhan keterlibatan Irak dalam serangan 9/11. Pada tahun 2004, komisi pencari fakta peristiwa 9/11 akhirnya menyimpulkan bahwa Irak tidak memiliki hubungan dengan Al-Qaeda dan tidak terlibat dalam peristiwa 9/11 (9/11 Commission, 2004). Dengan tidak adanya bukti konkret yang menunjukkan bahwa Irak melindungi dan bekerja sama dengan Al-Qaeda dalam merencanakan peristiwa 9/11 atau bahkan terlibat sama sekali dan fakta historis yang menunjukkan buruknya hubungan antara Osama Bin Laden dan Saddam Hussein maka alasan ini kemudian menjadi tidak dapat dijadikan sebuah alasan yang valid untuk menjustifikasi invasi Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003. Pemerintah Amerika Serikat sendiri juga telah menarik pernyataan yang menyatakan bahwa Saddam Hussein dan Al-Qaeda merupakan rekanan dan memiliki hubungan kerja sama.

Disaat bukti yang mendukung klaim Amerika Serikat bahwa Irak bekerja sama dengan Al-Qaeda dan juga memiliki senjata pemusnah massal semakin melemah, pemerintahan Bush mulai menggeser fokusnya pada isu lain yang telah dikemukakan oleh Kongres dalam Resolusi Irak yang dikeluarkan oleh Kongres sebagai resolusi yang mengijinkan tindakan militer terhadap Irak yaitu pelanggaran HAM oleh pemerintahan Saddam Hussein sebagai justifikasi untuk melakukan intervensi militer di Irak. Memang tidak dapat diragukan lagi, pemerintahan Saddam Hussein telah melakukan pelanggaran berat terhadap HAM rakyat Irak terutama pada etnis Kurdi.

Meskipun pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Saddam Hussein ini sangatlah buruk, namun banyak yang mempertanyakan mengapa masalah ini dijadikan sebagai alasan untuk

Page 6: Analisis Terhadap Indikasi Adanya Motif War Profiteering ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahic80bc8324ffull.pdf · sebagai penyebab terjadinya perang. Seperti bahwa Irak

Joshua Francis

68

melakukan intervensi militer. Alasan pelanggaran HAM baru mulai digunakan setelah bukti yang menghubungkan Saddam Hussein dengan Al-Qaeda tidak dapat ditemukan dan pencarian senjata pemusnah massal di Irak juga tidak membuahkan hasil. Kelompok pemerhati HAM Human Rights Watch dan Amnesty International juga menyatakan bahwa meskipun jika memang benar bahwa isu HAM merupakan alasan yang utama bagi Amerika Serikat untuk menyerang Irak, sebuah intervensi militer tetap tidak bisa dibenarkan menurut dasar kemanusiaan.

Selain itu, jika melihat secara historis maka kita akan menemukan bahwa Amerika Serikat dan Irak sebelumnya memiliki hubungan yang baik dan bahkan Amerika Serikat mendukung rezim Saddam Hussein pada dekade 1980an yang menjadi periode puncak kasus pelanggaran HAM oleh rezim Saddam Hussein sehingga hal ini semakin membuat klaim bahwa Amerika menyerang Irak karena masalah pelanggaran HAM oleh Saddam Hussein semakin diragukan. Amerika Serikat juga sebelum melakukan invasi, mengkategorikan Irak sebagai negara – negara “poros setan” yang merupakan sekelompok negara diktator yang melanggar HAM rakyatnya bersama dengan Iran dan Korea Utara. Namun yang aneh adalah sampai sekarang hanya Irak saja yang di invasi oleh Amerika Serikat sedangkan Iran dan Korea Utara sampai sekarang tidak disentuh oleh Amerika Serikat. Berdasarkan penjelasan diatas, kita dapat melihat bahwa ketiga alasan resmi Amerika Serikat menyerang Irak tidak dapat dibuktikan kebenarannya.

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat dilihat bahwa alasan Amerika Serikat untuk menyerang Irak selalu

berubah – ubah dan inkonsisten. Selain itu ketika invasi telah terlanjur dilangsungkan, ketiga alasan resmi tersebut juga tidak dapat dibuktikkan dengan pasti kebenarannya. Banyak hal – hal dan bukti yang melemahkan argumentasi Amerika Serikat dalam menggunakan ketiga alasan tersebut

untuk menjustifikasi Perang Irak. Dengan tidak terbuktinya ketiga alasan resmi yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat tersebut, maka muncul pertanyaan mengenai mengapa sebenarnya Amerika Serikat menyerang Irak.

Perang Irak dan proyek rekonstruksi Irak yang dinamai proyek “Irak Baru” merupakan sebuah usaha yang menghabiskan biaya yang sangat banyak dan seringkali dilihat sebagai pengeluaran sia – sia yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat tanpa ada

hasil yang memuaskan. Namun bukan berarti Perang Irak tidak memiliki keuntungannya tersendiri karena perang ini memunculkan banyak peluang untuk memperoleh berbagai macam keuntungan. Dalam sub-bab ini penulis akan memaparkan tentang bagaimana Perang Irak memunculkan peluang - peluang umtuk memperoleh keuntungan ekonomi dan bagaimana peluang - peluang tersebut dimanfaatkan oleh kelompok – kelompok yang memiliki kepentingan tersendiri.

Jika berbicara tentang perang, maka seringkali pikiran kita akan tertuju kepada akibat – akibatnya seperti kerusakan – kerusakan infrastruktur, serta pengeluaran dan biaya yang diperlukan untuk menjalankan sebuah usaha perang. Beberapa dampak negatif perang terhadap ekonomi termasuk meningkatnya utang publik dan pajak untuk membiayai perang, penurunan tingkat persentase konsumsi terhadap GDP, penurunan tingkat persentase investasi terhadap GDP, dan

Perang Irak dan

proyek rekonstruksi

Irak yang dinamai

proyek “Irak Baru”

merupakan sebuah

usaha yang

menghabiskan biaya

yang sangat banyak

dan seringkali dilihat

sebagai pengeluaran

sia – sia yang

dilakukan oleh

pemerintah Amerika

Serikat tanpa ada hasil

yang memuaskan.

Page 7: Analisis Terhadap Indikasi Adanya Motif War Profiteering ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahic80bc8324ffull.pdf · sebagai penyebab terjadinya perang. Seperti bahwa Irak

Analisis Terhadap Indikasi

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 3, Oktober 2016 69

peningkatan inflasi selama kondisi perang atau sebagai akibat langsung dari perang (The Institute of Economics and Peace, 2011). Namun, pada saat yang sama kondisi perang juga menjadi kesempatan untuk memperoleh keuntungan finansial dari berbagai macam sektor terutama sektor privat. Yang seringkali terlewatkan adalah bagaimana perang tersebut dapat memunculkan peluang – peluang untuk mendapatkan keuntungan. Perang Irak juga tidak berbeda dengan perang lainnya.

Pertama dimulai dari dimulainya perang Irak yang dikenal dengan sebutan Operation Iraqi Freedom itu sendiri, sebuah usaha perang membutuhkan biaya yang banyak terutama dalam hal persediaan senjata, perlengkapan tentara, serta logistik dan akomodasi tentara Amerika Serikat selama di Irak. Operation Iraqi Freedom mencakup segala bentuk persiapan menuju perang yang dimulai pada musim gugur 2002, invasi pada Maret 2003, dan operasi – operasi anti-pemberontakan dan stabilisasi selama pendudukan Irak oleh militer Amerika Serikat sampai tahun 2010 (Belasco, 2014). Operation Iraqi Freedom kemudian dilanjutkan oleh Operation New Dawn dimana keberadaan militer Amerika Serikat di Irak bersifat sebagai konsultan dan penasihat bagi Irak dan berakhir dengan penarikan militer Amerika Serikat dari Irak pada tahun 2011. Kedua operasi ini telah menghabiskan biaya sebanyak US$ 815 milyar (Belasco, 2014). Selain menghabiskan biaya yang tidak sedikit, Operation Iraqi Freedom juga menimbulkan kerusakan pada sarana dan infrastruktur Irak.

Setelah invasi berjalan dan Saddam Hussein berhasil dilengserkan, proyek rekonstruksi Irak dimulai. Ada tujuh sektor yang menjadi prioritas dalam rekonstruksi Irak yaitu listrik, air bersih, sanitasi, infrastruktur fisik seperti bangunan dan jalan, fasilitas kesehatan, sistem pendidikan, dan infrastruktur minyak. Ketujuh sektor ini kemudian dijadikan satu dibawah program Iraq

Relief and Reconstruction Fund atau IRRF. Selain itu rekonstruksi Irak juga mencakup pelatihan dan pengadaan perlengkapan untuk pasukan keamanan dan militer Irak dibawah program Iraq Security Forces Fund atau ISFF (Bowen Jr, 2013). Selain rekonstruksi dalam bidang fisik dan keamanan, Amerika Serikat juga menjalankan program rekonstruksi dalam hal demokrasi, capacity-building, dan segala pembangunan yang berhubungan dengan sektor ekonomi dibawah program Economic Support Fund atau ESF.

Dalam rekonstruksi Irak, terdapat ratusan hingga ribuan proyek yang dapat dikerjakan dan dikontrakkan kepada kontraktor – kontraktor swasta untuk pengerjaannya. Kontrak yang digunakan semua menggunakan model cost-plus dengan sistem pembayaran reimbursement dan diberikan dalam proses kompetisi terbatas dimana hanya perusahaan – perusahaan yang diundang untuk berkompetisi saja yang bisa mengajukan tender namun dengan proses seleksi yang tidak transparan atau ada juga yang tidak menggunakan sistem kompetisi sama sekali. Kontrak dengan sifat cost-plus berarti bahwa kontrak yang diberikan pembayarannya bersifat reimbursement dengan marjin keuntungan tetap sebesar 2% dan potensi keuntungan tambahan berupa insentif sebanyak 5% dari jumlah nilai akhir kontrak. Banyaknya jumlah proyek yang harus dikerjakan ditambah dengan kurangnya staf pengawas yang dimiliki Amerika Serikat menyebabkan minimnya pengawasan.

Dari sekian banyak kontraktor yang mendapatkan kontrak pemerintah, ada enam kontraktor yang mendapat jumlah proyek dengan nilai kontrak terbesar dan memiliki kedekatan baik berupa patron-client maupun iron triangle dengan pemerintahan Bush yaitu Bechtel, Halliburton, KBR, Black & Veatch, Parsons Corporations, dan Perini Corporations (USLAW, 2003). Masing – masing dari keenam kontraktor tersebut merupakan

Page 8: Analisis Terhadap Indikasi Adanya Motif War Profiteering ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahic80bc8324ffull.pdf · sebagai penyebab terjadinya perang. Seperti bahwa Irak

Joshua Francis

70

kontributor finansial dari kampanye presidensial Bush dan juga memiliki petinggi yang merangkap jabatan sebagai anggota kabinet atau dewan pertimbangan dan penasehat terdekat presiden.

Salah satu pegawai Bechtel yaitu presiden firma Bechtel George Shultz yang juga pernah menjabat beberapa jabatan kementrian seperti Menteri Ketenagakerjaan pada tahun 1969 – 1970, Direktur Lembaga Keuangan Presiden pada tahun 1970 – 1972, Menteri Keuangan pada tahun 1972 – 1974, dan Menteri Luar Negeri pada tahun 1982 – 1989 (Shultz, 1993) merupakan ketua dari dewan penasihat dari Komite Pembebasan Irak menggunakan pengaruh politiknya untuk mendorong terjadinya Perang Irak seperti melalui salah satu pidatonya yang berjudul “A Changed World” pada 11 Februari 2003. Sesuai dengan namanya, komite ini mendorong invasi Amerika Serikat ke Irak dengan alasan untuk membebaskan rakyat Irak dari kekuasaan diktator rezim Saddam Hussein. Selain itu komisaris dan CEO dari Bechtel yaitu Riley P. Bechtel bagian dari Dewan Ekspor Presiden yang merupakan para penasehat Bush di bidang perdagangan internasional (Buffa et al, 2003). Posisi ini juga menjadi sangat penting untuk peluang ekspansi Bechtel ke wilayah Timur Tengah karena melalui Dewan ini, presiden Bush merencanakan untuk mendirikan zona free trade area antara Amerika Serikat dan Timur Tengah setelah kampanye di Irak berakhir.

Selain kedua personel Bechtel yang disebutkan diatas, terdapat beberapa personel Bechtel lainnya yang juga menjabat posisi – posisi penting di pemerintahan Bush. Purnawirawan Jenderal Jack Sheehan yang merupakan salah satu wakil presiden senior Bechtel adalah anggota dari Dewan Kebijakan Pertahanan yang sangat berpengaruh. Dewan ini adalah dewan penasehat untuk Pentagon yang terdiri dari tokoh – tokoh neo-konservatif dan mendorong terjadinya Perang Irak dalam sebuah

pertemuan tertutup dengan Donald Rumsfeld dan beberapa petinggi pemerintahan Bush lainnya seperti Paul Wolfowitz (New York Times, 2001 ; Steinberg, 2002). Daniel Chao yang juga salah satu wakil presiden senior Bechtel menjabat di dewan penasihat Bank Ekspor-Impor Amerika Serikat, dan yang terakhir Ross J. Connelly yang telah bekerja di Bechtel selama 21 tahun dan sekaligus menjabat sebagai wakil presiden eksekutif dan COO dari US Overseas Private Investment Corporations (Buffa et al, 2003).

Tidak berbeda jauh dengan Bechtel, Parsons Corporations juga memiliki hubungan yang dekat dengan pemerintahan Bush. Salah satu anggota dewan direksi Parsons adalah Elaine Chao yang tidak lain adalah Menteri Ketenagakerjaan pemerintahan Bush dan seperti yang telah disebutkan dalam bab 2, Elaine Chao mendukung berjalannya Perang Irak. Suami dari Elaine Chao adalah Mitch McConnell yang merupakan asisten dari ketua United States House of Representatives Majority dan ketua Sub-Komite Persetujuan Operasi Luar Negeri yang merupakan posisi penting dalam proses pengambilan kebijakan luar negeri Amerika Serikat.

McConnell sendiri juga memiliki hubungan dengan kontraktor swasta lain yang terlibat dalam Perang Irak seperti kontraktor pertahanan Northrop Grumman, dan telah menerima sumbangan dana dari Halliburton dan firma persenjataan Lockheed-Martin yang merupakan penyedia senjata bagi militer Amerika Serikat. McConnell juga terlibat langsung dengan proses pengambilan kebijakan untuk menyerang Irak dimana pada Oktober 2002, McConnell memilih untuk meloloskan Resolusi Irak yang memberikan ijin untuk melakukan operasi militer di Irak (Washington Post, 2002). Parsons Corporation juga banyak memberikan sumbangan dana kepada Partai Republikan selama periode 1999-2002 dengan total sumbangan yang mencapai 152 ribu

Page 9: Analisis Terhadap Indikasi Adanya Motif War Profiteering ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahic80bc8324ffull.pdf · sebagai penyebab terjadinya perang. Seperti bahwa Irak

Analisis Terhadap Indikasi

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 3, Oktober 2016 71

dolar Amerika Serikat dan 2000 dolar sumbangan pribadi kepada Presiden Bush (USLAW, 2003).

Dari penjelasan diatas ada dua poin utama yang dapat dilihat. Yang pertama adalah banyak sekali uang yang dikeluarkan oleh pemerintah Amerika Serikat untuk upaya rekonstruksi di Irak. Yang menarik adalah, dari penjelasan diatas dapat kita lihat bahwa dana senilai milyaran dolar tersebut pada akhirnya juga kembali masuk kedalam kantong Amerika Serikat sendiri melalui kontraktor – kontraktor swasta yang merupakan perusahaan dari Amerika Serikat yang dipekerjakan untuk mengerjakan berbagai proyek yang termasuk pada upaya rekonstruksi di Irak. Kontrak yang digunakan pada semua proyek rekonstruksi ini bersifat cost-plus dan metode pembayaran reimbursement dengan persentase keuntungan dan insentif tetap yang menyebabkan nilai uang yang sangat besar harus dibayarkan kepada kontraktor – kontraktor swasta yang berasal dari Amerika Serikat.

Yang menarik dari kebijakan ini adalah, banyak proyek rekonstruksi Irak yang sebetulnya redundant karena banyak proyek pembangunan yang tidak diperlukan atau cukup hanya dengan memperbaiki sarana dan infrastruktur yang sudah ada tanpa harus membangun yang baru lagi atau ada proyek yang seharusnya bisa dikerjakan oleh perusahaan dari Irak namun pemerintah Amerika Serikat bersikeras untuk memberikan kontrak proyek tersebut kepada kontraktor Amerika Serikat (Miller, 2006).

Poin yang kedua adalah bahwa kontraktor – kontraktor yang mendapatkan proyek – proyek besar dalam rekonstruksi Irak juga memiliki hubungan yang dekat dengan pemerintahan Bush. Kedekatan hubungan ini dapat berupa kontribusi finansial kepada pemerintahan Bush atau adanya hubungan personal diantara oknum – oknum elit dari kedua belah pihak. Yang menarik adalah

bagaimana perusahaan – perusahaan yang seringkali memiliki personel yang menduduki jabatan rangkap di pemerintahan dan di perusahaan – perusahaan atau perusahaan yang telah memberikan kontribusi signifikan terutama berupa kontribusi finansial selama masa kampanye Presiden Bush lah yang memenangkan kontrak proyek tersebut.

Hal ini kemudian dieksploitasi oleh kontraktor untuk menagihkan biaya yang dilebih – lebihkan kepada pemerintah Amerika Serikat untuk memperoleh keuntungan yang sangat besar meskipun hasil pengerjaannya seringkali tidak memenuhi target atau bahkan tidak terselesaikan. Kontraktor dapat menagihkan biaya yang dilebih – lebihkan karena mekanisme kontrak yang longgar dan minim pengawasan menyebabkan kontrak tersebut rawan untuk dieksploitasi. Pada bab selanjutnya, penulis akan menjelaskan bagaimana hubungan antara petinggi – petinggi dari pihak kontraktor swasta dan pemerintah sebagai klien mempengaruhi proses pemberian kontrak serta nilainya dan bagaimana hubungan antara industri dan pemerintahan ini dapat berujung pada praktek war profiteering dan keberadaannya sebagai motif terjadinya Perang Irak.

Seperti yang telah disebutkan di awal penelitian, penulis akan berfokus pada kepentingan war profiteering oleh kelompok elit sebagai motif Amerika Serikat menginvasi Irak. Untuk melihat adanya motif – motif war profiteering dalam Perang Irak maka harus ada tiga hal yang dilihat yaitu adanya inkonsistensi dalam justifikasi resmi, adanya keleluasaan dalam mekanisme kontrak, dan adanya hubungan antar elit baik berupa hubungan patron-client maupun iron triangle.

Dalam pembahasan sebelumnya, penulis telah menjelaskan mengenai bagaimana alasan – alasan resmi yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat inkonsisten dan berubah – ubah serta tidak ditemui

Page 10: Analisis Terhadap Indikasi Adanya Motif War Profiteering ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahic80bc8324ffull.pdf · sebagai penyebab terjadinya perang. Seperti bahwa Irak

Joshua Francis

72

bukti konkret yang mendukung kebenaran dari alasan – alasan tersebut.. Karena itu penulis kemudian mencari penjelasan alternatif mengenai invasi Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003. Dalam penjelasan sebelumnya penulis telah menjelaskan bagaimana perekonomian Amerika Serikat sangat dipengaruhi oleh perang dan bagaimana keuntungan yang diperoleh dinikmati oleh hanya sekelompok elit saja seusai dengan teori Kepentingan Elit dimana suatu negara maju berperang karena ada kepentingan partisan dari kelompok elit sebagai aktor sub-negara dimana mereka berusaha memperoleh keuntungan dari tindakan perang tersebut. Karena itu syarat pertama dari indikasi adanya motif - motif war profiteering yaitu adanya inkonsistensi justifikasi telah terpenuhi.

Dalam penjelasan sebelumnya telah dijelaskan bagaimana Amerika Serikat menjalankan proyek rekonstruksi di Irak dan nilai uang yang berputar dalam proses tersebut sangatlah besar dengan dana sebesar 60 milyar dolar dialokasikan oleh pemerintah Amerika Serikat untuk membangun kembali Irak setelah invasi. Proyek rekonstruksi ini dikerjakan oleh kontraktor swasta yang memperoleh kontrak untuk mengerjakan berbagai proyek rekonstruksi dan pembangunan sarana dan infrastruktur dalam berbagai sektor di Irak (Bowen Jr, 2013).

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kontrak yang digunakan dalam proyek rekonstruksi Irak memiliki mekanisme yang memberikan keleluasaan bagi kontraktor yang rawan untuk dieksploitasi. Sistem pembayaran reimbursement dengan persentase

keuntungan yang sudah ditetapkan sejak awal dan pengawasan yang minim membuka peluang besar bagi praktek war profiteering. Hal ini juga memenuhi indikasi kedua motif – motif war profiteering dalam Perang Amerika Serikat di Irak yaitu adanya keleluasaan mekanisme kontrak.

Penulis juga telah menjabarkan dalam penjelasan diatas bagaimana perusahaan – perusahaan yang memenangkan kontrak dengan jumlah

terbanyak dan nilai terbesar merupakan perusahaan yang memiliki kedekatan dengan pemerintahan George W. Bush dalam bentuk hubungan personal maupun finansial atau juga terlibat langsung didalamnya dan juga terlibat dalam keputusan untuk maju menyerang Irak pada tahun 2003 atau bahkan melibatkan aktor – aktor yang memiliki jabatan rangkap dalam pemerintahan dan perusahaan yang menjadi kontraktor. Hal ini memenuhi indikasi ketiga yaitu adanya hubungan antar aktor elit yang terlibat baik berupa patron-client maupun iron triangle.

Dengan terpenuhinya ketiga indikasi yang menandakan keberadaan motif – motif war profiteering dalam perang Amerika Serikat di Irak tersebut, maka dapat dilihat bahwa memang terdapat motif – motif war profiteering dalam Perang Amerika Serikat di Irak. Penulis juga mengakui bahwa ada motif – motif lain yang bermain dalam perang tersebut namun melalui penelitian dan data – data yang sudah dikumpulkan dan disajikan maka penulis mencapai kesimpulan bahwa motif – motif war profiteering merupakan salah satu motif yang dominan dalam Perang Irak.

Terdapat motif – motif

war profiteering dalam

Perang Amerika

Serikat di Irak. Ada

pula motif – motif lain

yang bermain dalam

perang tersebut namun

melalui penelitian dan

data – data yang sudah

dikumpulkan dan

disajikan maka penulis

mencapai kesimpulan

bahwa motif – motif

war profiteering

merupakan salah satu

motif yang dominan

dalam Perang Irak.

Page 11: Analisis Terhadap Indikasi Adanya Motif War Profiteering ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahic80bc8324ffull.pdf · sebagai penyebab terjadinya perang. Seperti bahwa Irak

Analisis Terhadap Indikasi

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 3, Oktober 2016 73

Daftar Pustaka

[1] Abdel-Malek, Anouar, 1983. Contemporary Arab Political Thought. London: Zed Books.

[2] Adams, Gordon, 1982. The politics of Defense Contracting: The Iron Triangle. New Brunswick. N.J. Transaction Books.

[3] Anderton, Charles H, 2003. “Economic Theorizing of Conflict: Historical Contributions, Future Possibilities”, dalam Defence and Peace Economics 14, no. 3: 209-222.

[4] Areen, M., Schwartz, E., Gilmer, G., 2004. “War Profiteering in Iraq: Corporate Contracts, Private Military Companies, and the National Resource Curse”, dalam EDGE Final Paper.

[5] Aspaturian, V. V., 1972. "The Soviet military-industrial 'complex': does it exist?", dalam Journal of International Affairs 26 vol 1 pp 1-28.

[6] Brown, C., dan Ainley, K., 2009. Understanding International Relations. Hampshire, Palgrave MacMillan.

[7] Bentley, Michelle, 2014. Weapons of Mass Destruction: The Strategic Use of a Concept. Routledge Publisher

[8] Bergen, Peter L., 2006. The Osama Bin Laden I Know. Free Press; First Free Press Trade Paperback Edition edition

[9] Bolton, Patrick and Dewatripoint, Mathias, 2005. Contract Theory. MIT Press

[10] Buffa, Andrea et. al., 2003. Bechtel: Profitting from Destruction, Why The Corporate Invasion of Iraq Must Be Stopped. CorpWatch Publication

[11] Bush, George W., 2003. State of The Union Address. White House Press Release

[12] Burchill, S., 2009. „Liberalism‟, dalam Burchill, S., Linklater, A., Devetak, R., Donnelly, J., Nardin, T., Paterson, M., Reus-Smith, C., dan True, J. 2009 (Eds) Theories of International Relations. Hampshire: Palgrave MacMillan.

[13] Dinstein, Yoram, 2004. “Legislation Under Article 43 of the Hague Regulations: Belligerent Occupation and Peacebuilding”, dalam Program on Humanitarian Policy and Conflict Research Harvard University Occasional Paper Series No. 1.

[14] Dobbins, James; Jones, Seth G; Runkle, Benjamin; dan Mohandas, Siddarth, 2009. “Occupying Iraq: A History of the Coalition Provisional Authority”. RAND National Security Research Division

[15] Donnelly, J., 2009. „Realism‟, dalam Burchill, S., Linklater, A., Devetak, R., Donnelly, J., Nardin, T., Paterson, M., Reus-Smith, C., dan True, J. 2009 (Eds) Theories of International Relations. Hampshire, Palgrave MacMillan.

[16] Doyle, M., 1986. “Liberalism and World Politics”, dalam American Political Science Review, 80 (December) pp. 1151-69.

[17] Dunne, T., 2008. “Liberalism”, dalam Baylis, J., Smith, S., and Owens, P. 2008 (Eds) The Globalization of World Politics. An introduction to international relations. New York: Oxford University Press.

[18] Dunne, T. dan Schmidt, B.C. 2008 “Realism”, dalam Baylis, J., Smith, S., and Owens, P. 2008. (Eds) The Globalization of World Politics. An introduction to international relations. New York: Oxford University Press.

[19] Dutta, Prajit, dan Radner, Roy, 1994. "Moral Hazard", dalam Robert Aumann dan Sergiu Hart (eds.) Handbook of game theory. Elsevier, hal. 870–903

[20] Fidler, David P., 2003. "Weapons of Mass Destruction and International Law", dalam American Society of International Law.

[21] Franks, Tommy R., 2004. “American Soldier”, dalam Harper Colins, hal. 23.

[22] Galbraith, J.K., 1967. The New Industrial State. New York: Signet.

[23] Galbraith, J.K., 1969. How to Control the Military. New York: New American Library

[24] Goldschmidt Jr, Arthur dan Davidson, Lawrence, 2006. “A Concise History of the Middle East”, dalam Westview Press, hal. 432–438.

[25] Goodin, Robert E., 2009. The Oxford Handbook of Political Science. Oxford: Oxford UP Print.

[26] Halchin, L. Elaine, 2005. “The Coalition Provisional Authority (CPA): Origins, Characteristics, and Institutional Authorities”, dalam CRS Report for Congress.

[27] Hayden, G.F., 2002. “Policymaking Network of the Iron-Triangle Subgovernment for Licensing Hazardous Waste Facilities”, dalam CBA Faculty Publications Paper 8.

[28] Hobden, S. dan Wyn Jones, R., 2008. “Marxist Theories of International Relations”, dalam Baylis, J., Smith, S., dan Owens, P. 2008. (Eds) The Globalization of World Politics. An introduction to international relations. New York: Oxford University Press.

[29] Laffont, Jean-Jacques, dan Martimort, David, 2002. The Theory of Incentives: The Principal-Agent Model. Princeton University Press.

[30] Lenin, V.I., 1996. Imperialism: the Highest Stage of Capitalism. London: Pluto Press.

[31] Lieberfeld, Daniel, 2005. “Theories of Conflict in The Iraq War”, dalam International Journal of Peace Studies, Volume 10, Number 2, Autumn/Winter 2005

[32] Levy, J.S., 1989. “The diversionary theory of war: A Critique”, dalam Handbook of War Studies, hal. 259-288

[33] Marx, K. dan Engels, F., 2008. The Communist Manifesto, with The Condition of the Working Class in England, and Socialism Utopian and Scientific. Hertfordshire: Wordsworth Editions.

[34] Miller, Christian T., 2006. Blood Money : Wasted Billions, Lost Lives, and Corporate Greed in Iraq. Back Bay Books.

[35] Mills, John, 2002. A Critical History of Economics. Hampshire: Palgrave Macmillan.

Page 12: Analisis Terhadap Indikasi Adanya Motif War Profiteering ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahic80bc8324ffull.pdf · sebagai penyebab terjadinya perang. Seperti bahwa Irak

Joshua Francis

74

[36] Mintz, Alex, 1985. “Military-Industrial Complex: The American Concepts and Israeli Realities”, dalam The Journal of Conflict Resolution, Vol 29, No.4 pp. 623-639

[37] Naidu, M.V., 2001. "Anti-American Islamic Terrorism and War of Self Defence", dalam Peace Research 33, no. 2 p. 1-33.

[38] Pauwels, Jacques R., 2003. “Why America Needs Wars?”, dalam Indy Media Belgium and Global Research.

[39] Robinson, Edward Van Dyke, 1900. “War and Economics in History and in Theory”, dalam Political Science Quarterly 15, no. 4: 581-628.

[40] Roniger, Luis, 2004. “Political Clientelism, Democracy and Market Economy”, dalam Comparative Politics, Vol. 36 no. 3, April, 353-37

[41] Schwedler, Jillian dan Gerner, Deborah, 2008. “Understanding the Contemporary: Middle East”, dalam Lynne Rienner Publishers, Inc, hal. 248–251.

[42] Shultz, George Pratt, 1993. Turmoil and Triumph: My Years as Secretary of State. New York: Scribner's.

[43] SIGIR, 2010. “Quarterly Report to the United States Congress”, dalam Special Inspector General for Iraq Reconstruction Reports, p. 90.

[44] SIGIR, 2009. “Iraq Reconstruction: Lessons in Program”, dalam Special Inspector General for Iraq Reconstruction Reports

[45] SIGI, 2006. “Quarterly Report to the United States Congress”, dalam Special Inspector General for Iraq Reconstruction Reports.

[46] Singer, P.W., 2005. “Outsourcing War”, dalam Foreign Affairs. Vol. 84, No. 2 (Mar. - Apr., 2005), hal. 119-132.

[47] Spagat, Michael, 2010. “Truth and Death in Iraq Under Sanctions”, dalam Significance Journal Vol.7 No.3 pp. 116-120.

[48] Steinberg, Michael, 2002. “Rumsfeld‟s “Feith and Bum” Corps: What Is Defemse Policy Board”. Executive Intelligence Review.

[49] Stokes, Susan C; Dunning, Thad; Nazareno, Marcelo; Brusco, Valeria, 2013. Brokers, Voters, and Clientelism: The Puzzle of Distributive Politics. Cambridge: Cambridge University Press.

[50] UNICEF, 2003. “Iraq Watching Briefs: Water and Environmental Sanitation,” 7/2003, hal. 2, 7–8.

[51] UN/World Bank, 2010 “Joint Iraq Needs Assessment,” United Nations/World Bank Reports.

[52] UN, Inter-Agency Information and Analysis Unit. 2011 “Water in Iraq Factsheet,” United Nations Reports.

[53] USLAW. 2003. Profile of US Corporations Awarded Contracts in British/US Occupied Iraq. USLAW Publications

[54] Waltz, K.N, 2001. Man, the State and War, a theoretical analysis. New York: Columbia University Press.

[55] Zizek, Slavoj, 2004. “Iraq‟s False Promises”, dalam Foreign Policy, No. 140 (Jan. - Feb., 2004), hal. 42-49

[56] Gilfeather, Paul, 2002. "War, Whatever. Bush Aid: Inspections or Not, We'll attack Iraq," Mirror (U.K.).

[57] Milbank, Dana & Deane, Claudia, 2003. "Hussein Link to 9/11 Lingers in Many Minds," Washington Post.

[58] Milbank, Dana & Pincus, Walter, 2003. "Cheney Defends U.S. Actions in Bid to Revive Public Support". Washington Post p. 1, A19.

[59] MSNBC, 2004. "Transcript for Sept. 14 - Meet the Press", MSNBC.

[60] MSNBC, 2004. “9/11 panel sees no link between Iraq, al-Qaida” MSNBC.

[61] White House Press Release, 2001. "The Vice President Appears on NBC's Meet the Press". The White House.

[62] Coalition Provisional Authorit, 2003. “Coalition Provisional Authority Regulation Number 1, CPA/REG/16 May 2003/01”. Coalition Provisional.