analisis kebijakan pertanian

16
Analisis Kebijakan Pertanian, Kartel Internasional, dan Kebijakan Industrial Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Ekonomi Internasional II Disusun Oleh: Ahmad Zakariya (125020100111048)

Upload: ahmad-zakariya

Post on 29-Jan-2016

218 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ekonomi

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis Kebijakan Pertanian

Analisis Kebijakan Pertanian, Kartel Internasional, dan Kebijakan Industrial

Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Ekonomi Internasional II

Disusun Oleh:

Ahmad Zakariya (125020100111048)

JURUSAN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

2014

Page 2: Analisis Kebijakan Pertanian

Kebijakan Pertanian

Kebijakan pertanian adalah salah satu dari kegiatan untuk masyarakat (public action)

yang bertujuan peningkatan taraf hidup secara umum, melalui perbaikan kesempatan

ekonomi bagi para petani dan pengembangan struktur progresif dalam kehidupan masyarakat,

termasuk rekayasa sistem kelembagaan yang diperlukan sebagai pendukung.

Merumuskan suatu kebijakan untuk pembangunan pertanian berarti menentukan

strategi untuk mengkondisikan faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan pertanian

agar dapat mencapai keadaan yang diinginkan. Upaya mencapai keadaan yang diinginkan ini

harus memenuhi kriteria berikut:

Secara teknis dapat dilaksanakan, artinya teknologi, alat dan keterampilan yang

ada dapat dan memadai untuk menjalankan strategi tersebut.

Secara ekonomi menguntungkan, artinya penerapan strategi ini secara finansial

memberikan net benefit pihak-pihak yang terlibat di dalamnya

Secara sosiologis dapat dipertanggungjawabkan, artinya penerapan strategi ini

tidak membuat komunitas masyarakat menjadi terganggu keseimbangan

harmoninya.

Secara ekologis berkelanjutan, artinya penerapan strategi ini ramah lingkungan

dan tidak menyebabkan terjadinya kerusakan pada sistem keseimbangan

lingkungan alami.

Secara garis besar kebijakan pertanian memberikan fokus penekanan pada tiga bidang

utama yaitu:

a) Farm (usahatani) yaitu bidang kebijakan yang didasarkan pada kenyataan bahwa

pertanian adalah usaha keluarga dan karena itu pembangunan pertanian tidak bisa

terlepas dari pembangunan keluarga petani secara utuh.

b) Price Parity (pasangan harga) yaitu bidang kebijakan yang diarahkan untuk

memperoleh tingkat harga yang wajar bagi produk pertanian relatif terhadap produk-

produk sektor lainnya dalam perekonomian.

c) Bargaining Position (posisi tawar) yaitu bidang kebijakan yang dimaksudkan untuk

membantu memperkuat posisi petani sehingga mereka dapat memperoleh insentif

yang layak untuk usaha yang mereka jalankan.

Page 3: Analisis Kebijakan Pertanian

Studi Kasus: Impor Kedelai Bebas Bea Masuk

Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan yang sangat strategis karena

merupakan bahan baku tahu dan tempe yang merupakan sumber lauk-pauk utama sebagian

besar penduduk Indonesia. Bahkan pada tahun 60-an, bangsa Indonesia dikenal sebagai

bangsa tempe, karena tingginya konsumsi masyarakat pada komoditas tempe.

Kebutuhan kedelai dari tahun ke tahun semakin meningkat, namun Indonesia

mengalami berbagai permasalahan seperti ketersediaan dalam negeri yang belum mencukupi,

rata-rata baru mencapai sekitar 40 persen sehingga untuk memenuhi kekurangannya melalui

impor. Selain itu, tata niaga kedelai yang didominasi pengusaha importir sering berdampak

pada instabilitas harga kedelai di tingkat masyarakat, baik produsen dalam hal ini pengrajin

tahu dan tempe, maupun konsumen atau masyarakat luas. Ketergantungan kedelai terhadap

produk impor juga berpengaruh terhadap harga di dalam negeri akibat fluktuasi harga kedelai

di pasar internasional. Kondisi tersebut menyebabkan kedelai berpengaruh terhadap

perubahan inflasi.

Selama periode 2002-2012, harga kedelai dalam negeri baik kedelai lokal ataupun

kedelai eks-impor terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun dengan perubahan kenaikan

sekitar 11,46 persen per tahun seperti terlihat pada Gambar 3. Lonjakan kenaikan harga

kedelai yang sangat signifikan terjadi pada tahun 2008, sebesar 58,41 persen dari Rp 5.389/kg

menjadi Rp 8.536/kg, yang diakibatkan kenaikan harga kedelai di pasar internasional sebesar

48,16 persen.

Melihat berbagai permasalahan seperti di atas, pemerintah harus mengambil langkah-

langkah penanganan terhadap stabilitas dan pengendalian harga kedelai agar ketersediaan dan

fluktuasi harga kedelai tidak menganggu stabilitas masyarakat. Seperti kejadian tahun 2008,

untuk menurunkan harga kedelai dalam negeri, pemerintah membebaskan kebijakan bea

masuk kedelai impor pada tahun 2008 dan menggalakan petani untuk menanam kedelai

dengan memberikan subsidi.

Mengingat kedelai merupakan komoditas strategis, dan banyaknya permasalahan

dalam penanganannya, sejak tahun 2002 pemerintah telah berupaya untuk menjaga stabilitas

harga kedelai. Pada tahun 2003 pemerintah telah menargetkan untuk tahun 2006 tidak akan

melakukan impor kedelai terutama untuk kebutuhan industri, namun harus dipenuhi dari

dalam negeri agar harga jual kedelai petani tidak jatuh. Untuk melindungi produsen lokal

Page 4: Analisis Kebijakan Pertanian

agar harga kedelai lebih murah, pada Tahun 2005 bea masuk kedelai impor ditetapkan 10

persen, jauh lebih rendah dari usulan sekitar 30 persen.

Pada Tahun 2008, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menekan gejolak harga

kedelai impor, yaitu  bea masuk dibebaskan, PPh impor turun dari 2,5 persen ke 0,5 persen,

dan pemberian subsidi bagi bahan baku kedelai Rp 1.000/kg selama 6 bulan. Selain itu,

mengingat produksi nasional kedelai masih rendah, pemerintah menargetkan alokasi dana Rp

1 triliun bagi pengembangan kedelai nasional yang akan digunakan untuk peningkatan

produksi nasional kedelai menjadi 1 juta ton, dan pemberian bibit paritas unggul pagi petani.

Sampai tahun 2012 , produksi kedelai dalam negeri masih belum mencukupi

kebutuhan nasional, sehingga pemenuhanya dilakukan melalui impor. Namun demikian,

kebijakan tersebut berdampak pada gejolak harga di tingkat masyarakat. Harga jual kedelai

petani biasanya anjlok pada saat panen raya akibat harga kedelai impor yang jauh lebih

murah. Sedangkan pada saat tidak panen, harga jual kedelai ke pengrajin sangat mahal

sehingga berdampak pada naiknya harga tahu dan tempe yang ujungnya  berdampak pada

terganggunya daya beli masyarakat.

Hasil Analisis

Dari kasus tersebut terlihat bahwa Indonesia belum bisa mengatasi pemenuhan

kebutuhan terhadap kedelai di Indonesia. Hal ini menjadikan stok pemenuhan kebutuhan

terhadap kedelai terbatas sehingga menimbulkan peningkatan harga kedelai di pasar lokal.

Dalam mengatasi masalah tersebut Indonesia masih tergantung pada impor kedelai. Orientasi

pemerintah terhadap impor kedelai merupakan suatu bentuk ketidakmandirian, padahal

pangan merupakan suatu kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia. Buktinya, tingkat

ketergantungan kedelai nasional terhadap produksi kedelai lokal cenderung mengalami

penurunan disertai dengan perubahan harga yang cukup tajam. Adapun kebijakan terhadap

pembebasan bea masuk terhadap impor kedelai merupakan hal yang kurang tepat dalam

memecahkan permasalahan pemenuhan kebutuhan kedelai. Hal ini bisa menimbulkan

murahnya harga kedelai impor sehingga membuat petani lokal kita enggan untuk menanam

kedelai. Selain itu kedelai lokal memang cenderung kalah bersaing dengan kedelai impor,

baik dalam segi harga maupun kualitas. Dengan adanya kebijakan ini petani merasa tidak

mendapatkan insentif untuk menanam kedelai, apalagi tak ada jaminan harga pada saat

musim panen kedelai telah tiba. Adapun implikasinya adalah terjadi penurunan produksi

kedelai dalam negeri, dan Indonesia semakin tergantung kepada kedelai impor.. Seharusnya

Page 5: Analisis Kebijakan Pertanian

pemerintah bisa mandiri dengan memberikan insentif kepada petani untuk menanam kedelai,

hal ini bisa dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas kedelai indonesia dengan

cara peningkatan teknologi pertanian dan pemberian subsidi atau pupuk gratis kepada petani

Page 6: Analisis Kebijakan Pertanian

Kartel Internasional

Kartel merupakan jenis perjanjian ayang dilakuakan oleh para pelaku usaha yang anti

terhadap persaingan. Para pelaku usaha ini melakukan perjanjian untuk mempengaruhi harga

melalui pengaturan proses produksi maupun pengaturan wilayah pemasaran produk, sebagai

akibat daripada perjanjian tersebut dapat menimbulkan praktek monopoli dan persaingan

usaha tidak sehat yang dapat merugikan konsumen selaku pemakai barang dan jasa juga

kepada pemerintah dan lebih kepada pelaku usaha lainnya yang tidak termasuk dalam

Cartellist. Padahal kegiaatan kartel merupakan sebuah perjanjian yang jelas-jelas dilarang

dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat.

Begitu juga dengan perjanjian penetapan harga Competition law tertua adalah

Sherman Act menyatakan “Every contract, combination in the form of trust or otherwise, or

conspiracy, in restraintof trade or commerce among the several state, or with foreign nation,

is declared to be illegal”. Perjanjian penetapan harga yang mempunyai sifat menghambat

inilah yang umumnya dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku pesainganya. Isi dari

perjanjian tersebut adalah menaikkan harga atau menetapkan harga pada level tertentu yang

bertujuan untuk meningkatkan harga barang atau jasa sehingga mungkin dan memaksimalkan

keuntungan.

Perjanjian penetapan harga memiliki potensi untuk mendistorsi pasar karena

menimbulkan kenaikan yang sangat tinggi. Harga yang mahal akibat perjanjian penetapan

harga dikarenakan harga yang terbentuk tidak melalui mekanisme pasar atau hukum supply

dan demand sebagaimana mestinya. Perjanjian penetapan harga mengakibatkan tidak

terjadinya mekanisme penyesuaian secara otomatis (automatic adjustment). Akibatnya

konsumen tidak mempunyai pilihan lain selain harus membayar pada level harga yang telah

ditentukan.

Kartel sendiri kadangkala diartikan secara sempit, namun disisilain juga diartikan

secara luas. Dalam arti sempit, kartel adalah sekelompok perusahaan yang seharusnya saling

bersaing, tapi mereka justru menyetujui satu sama lain untuk “menetapkan harga” guna

meraih keuntungan monopolistis. Sedangkan dalam pengertian luas kartel meliputi perjanjian

antara para pesaing untuk membagi pasar, mengalokasikan pelanggan, dan menetapkan

harga.

Page 7: Analisis Kebijakan Pertanian

Studi Kasus: Kartel Pangan

Kartel internasional dan nasional pada sektor pangan diduga mengendalikan harga,

stok, dan pasokan komoditas pangan utama di dalam negeri. Di pasar internasional,

setidaknya terdapat 12 perusahaan multinasional yang diduga terlibat kartel serealia,

agrokimia, dan bibit tanaman pangan. Di dalam negeri ada 11 perusahaan dan enam

pengusaha yang ditengarai menjalankan kartel kedelai, pakan unggas, dan gula.

Negara sebagai sebuah institusi pelindung rakyat akhirnya harus berhadap-hadapan

dengan organisasi perdagangan yang memang berorientasi mengakumulasi keuntungan. Tak

pelakkeanggotaan Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah membuka jalan

bagi perusahaan multinasional memonopoli usaha perbenihan dan pangan.

Komite Ekonomi Nasional (KEN) misalnya menyebutkan di pasar internasional

terdapat empat pedagang besar yang disebut “ABCD”, yaitu Acher Daniels Midland (ADM),

Bunge, Cargill, dan Louis Dreyfus. Mereka menguasai sekitar 90 persen pangsa perdagangan

serealia (biji-bijian) dunia. Struktur pasar komoditas pangan juga memiliki kecenderungan

oligopolistik.

Dalam industri agrokimia global juga terdapat enam perusahaan multinasional, yaitu

Dupont, Monsanto, Syngenta, Dow, Bayer, dan BASF yang menguasai 75 persen pangsa

pasar global. Dalam industri bibit terdapat empat perusahaan multinasional, yakni Monsanto,

Dupont, Syngenta, dan Limagrain, dengan penguasaan 50 persen perdagangan bibit global.

Pada sektor pangan, kartel juga terjadi pada industri pangan dan impor. Indikasinya,

satu per satu perusahaan makanan domestik diakuisisi perusahaan asing. Misalnya, Aqua

diakuisisi Danone (Prancis), ABC diakuisisi Unilever (Inggris), dan Kecap Bango dikuasai

Heinz (Amerika). Sementara itu, tren misalnya pada impor daging mayoritas rupanya dari

Australia, bawang putih dari Tiongkok, dan bawang merah dari Filipina.

Hal tersebut kemudian berdampak langsung pada maraknya kriminalisasi dan

hilangnya kedaulatan petani dalam mengelola benih memproduksi sumber pangan nasional,

target swasembada pangan berkala pada 2014 akan jadi isapan jempol belaka. Tak pelak,

Indonesia terperangkap dalam liberalisasi perdagangan yang mengakibatkan Indonesia

dibanjiri produk pangan dan manufaktur impor.

Page 8: Analisis Kebijakan Pertanian

Di mana nasib petani produsen pangan kita? Tampaknya negara tak terlalu ambil

peduli dengan nasib petaninya sendiri. Kebijakan Food Estate melalui MIFEE/sentra pangan

dan upaya memberikan dominasi sekuatnya pada kartel dagang dalam kasus benih melalui

UU No 12/1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman adalah indikasi nyata ke mana kebijakan

pangan pertanian pemerintah sedang mengarah.

Hasil Analisis:

Melihat permasalahan tersebut terlihat bahwa pememerintah kurang cermat dalam

mengatasi permasalahan kartel pangan yang timbul di Indonesia. Padahal dengan adanya

masalah ini dapat merugikan rakyat kecil, contohnya saja pengrajin tahu-tempe, dia akan

mengalami kerugian akibat bahan dasar produksi tahu-tempe yaitu kedelai mengalami

peningkatan. Kementerian Perdagangan seharusnya perlu lebih proaktif dalam mengeluiarkan

kebijakan sehingga tidak terlambat dan membiarkan pelaku kartel mengendalikan harga

pangan strategis yang dibutuhkan. Koordinasi dan sinergi antar kementerian dan lembaga

harus dilakukan secara kuat, agar kebijakan dan regulasi yang keluarkan tidak mudah

dipermainkan oleh para penguasa pasar. Dan yang terpenting juga untuk mencegah timbulnya

arus balik negatif bagi pemerintah akibat kebijakan yang tidak terintegrasi dan tidak saling

menguatkan. Selain itu, transparansi birokarasi-pun penting dilakukan, Tanpa birokrasi yang

transparan akan dengan mudah terjadi kong kalikong antara penguasa pasar dengan

pemangku kebijakan.

Pemerintah seharusnya memberikan ruang gerak dan kepercayaan pada BULOG

untuk melakukan stabilisasi harga dan mengelola distribusi pangan. Dan juga Komisi

Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) harus berani membatasi distribusi pangan yang

ditangani oleh sekelompok orang. Jika ada yang melakukan pelangaran maka harus di tindak

tegas.

Selain itu pemerintah perlu meningkatan produksi pangan dalam negeri. Tentunya

upaya meningkatan produksi ini juga perlu ada dukungan kongkrit serta regulasi yang jelas

dan berpihak, seperti pemberian subsidi, penyediaan bibit unggul dan yang tidak kalah

penting adalah jaminan harga panen yang baik. Dengan adanya peningkatan produksi maka

permintaan pangan dalam negeri bisa terpenuhi dan program swasembada pangan bisa

tercapai dan permasalahan kartel dapat terselesaikan yang notabene akibat terlalu banyaknya

impor pangan.

Page 9: Analisis Kebijakan Pertanian

Kebijakan Industri

Kebijakan industri merupakan upaya atau tindakan pemerintah untuk menstabilkan

perekonomian ke arah yang lebih baik dengan menerapkan kebijakan yang dapat memajukan

industry di Indonesia. Kebijakan industri merupakan suatu pendekatan yang bersifat agresif

yang diusulkan untuk mendorong perkembangan teknologi dalam kegiatan industri. ( Muana

Nanga , Mikroekonomi : 2001 hal 85 ).

Industri merupakan unit kegiatan mengahasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan

oleh masyarakat atau konsumen yang diproduksi oleh produsen. Penyaluran barang dari

produsen dilakukan melalui kegiatan distribusi. Orang atau pihak yang melakukan kegiatan

distribusi disebu distributor.

Kebijakan industri dan perdagangan merupakan kebijakan pelengkap untuk

menstabilkan kegiatan perekonomian suatu Negara. Artinya kebijakan ini menopang

keberhasilan dari kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Dengan demikian diberlakukannya

kebijakan moneter dan kebijakan fiskal tidak akan berhasil tanpa adanya kebijakan industry

dan perdagangan ini. Jadi berdasarkan fakta diatas kebijakan industry dan perdagangan ini

sangat vital sekali peranannya.

Jadi perlu dipilih sektor-sektor apa atau industri mana yang harus tetap menjadi milik

Indonesia dan nantinya akan digunakan sebagai pusat keunggulan. Untuk itu pemerintah

sewajarnya membuat kebijakan industri di masa depan yang jelas dan transparan sehingga

tidak menyebabkan warga negara Indonesia, 5 – 10 tahun ke depan hanya menjadi penonton

di negeri sendiri. Kebijakan industri merupakan salah satu kaki terpenting dari ketiga kaki

pertumbuhan ekonomi nasional, selain dua kaki yang lain yaitu kebijakan fiskal dan moneter.

Peningkatan kekuatan kompetitif  industri-industri tertentu yang terutama

mempengaruhi perekonomian nasional ditentukan oleh kebijakan yang dikeluarkan oleh

negara yang kemudian diterapkan pada level perusahaan.  Oleh karena itu menjadi sangat

vital bagi pemerintah untuk mempertimbangkan dan mengembangkan kebijakan  yang

menyangkut pembentukan kemampuan perusahaan untuk mendapatkan keuntungan

kompetitif.

Page 10: Analisis Kebijakan Pertanian

Studi Kasus: PT. Astra International, Tbk

Astra International didirikan oleh keluarga keturunan Indonesia-Cina, keluarga

Soeryadjaya pada tahun 1957. Pada tahun 1970an, pemerintah memberlakukan kebijakan

industrialisasi substitusi impor. Di industri otomotif, pemerintah menetapkan kebijakan

lokalisasi mobil dan komponen motor sejak tahun 1976. Sebagai respon atas kebijakan

pemerintah ini, AI menetapkan seluruh produk komponen otomotif di pabrik lokalnya.

Sampai dengan pertengahan tahun 1980an, seluruh penjualan AI berfokus pada pasar

domestik – sesuai dengan fokus kebijakan subsitusi impor pemerintah. Sejak tahun 1983

terlihat terjadinya penurunan harga minyak, pemerintah kemudian memutuskan untuk

mengurangi ketergantungannya ke pendapatan minyak dan memulai industrialisasi yang

berorientasi ekspor. AI merespon kebijakan ini dengan mengekspor komponen kendaraan

bermotor (spark plugs, batre mobil dll).

Pada tahun 1990, AI mengambil langkah besar dengan menjadi perusahaan yang

terdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES), dengan saham

mayoritas (82%) dimiliki oleh Keluarga Soeryadjaya. Pada tahun 1992, keluarga Soeryadjaya

melepaskan kendalinya di perusahaan tersebut. AI kemudian dibawah kendali keluarga

Soeharto dan kroninya. Saat Ekonomi Indonesia mengalami resesi tahun 1997/1998 dan

berpengaruh ke pasar otomotif, menyebabkan AI menderita kerugian operasional sebesar

US$ 200 juta di akhir tahun 1998. Jatuhnya regim Soeharto pada bulan Mei 1998, sekitar

45% saham Astra yang dimilik presiden dan kroninya kemudian diambil alih kendalinya oleh

Badan Penyehatan Perbankan Indonesia (BPPN).

Di tahun 2000, BPPN mengumumkan penjualan saham perusahaan kepada suatu

konsorsium yang dipimpin oleh Cycle & Carriage, Ltd. AI melanjutkan restrukturisasi dalam

operasinya dengan mengurangi gaji memperkenalkan Employee Participation Options Plan

(ESOP) pada tahun 1999, dan menjual 46% saham AI kepada prinsipal dalam joint-venture,

Toyota pada tahun 2003 – dengan hanya menyisakan 5% saham AI. AI kemudian

menggunakan hasilnya senilai US$ 226 juta untuk membayar hutangnya. Toyota dan AI

memisahkan kerja sama nya menjadi subsidi dari manufaktur dan distribusi dengan AI tetap

menguasai 51% saham di distribusi. Pada tahun 2008, saat perayaan 51 tahun, AI terdiri dari

Page 11: Analisis Kebijakan Pertanian

116.867 pekerja yang terbagi di 130 sunsidiari dan afiliasi, dengan enam bisnis utamanya

yaitu otomotif, peralatan berat, infrastruktur, jasa keuangan, agribisnis, dan teknologi

informasi.

Hasil Analisis:

Dari permasalahan kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan Industrialisasi

Substitusi Impor membawa pengaruh yang signifikan terhadap pengembangan industri oleh

PT. Astra International. Kebijakan industrialisasi susbtitusi impor sendiri merupakan suatu

usaha negara untuk melakukan subtitusi barang-barang impor dengan barang-barang sejenis

yang diproduksi oleh industri domestik. ISI (Industrialisasi Subtitusi Impor) terdiri dari ISI

yang berorientasi pada pasar yang memusatkan diri pada produksi barang-barang konsumtif

dan masih mengimpor barang-barang kapital seperti mesin, perlengkapan pabrik. Dan ISI

juga berorientasi pada kapital yang melakukan pemusatan produksi barang-barang kapital

maupun bahan baku industri.

Kebijakan ISI pertama kali diterapkan di Amerika Selatan pada tahun 1950-an, yang

merupakan tindak lanjut dari Economic Commission On Latin America) sebagai bentuk

untuk mengatasi krisis neraca pembayaran yang dialami negara dikawasan Amerika Selatan.

Upaya tersebut untuk mengurangi ketergantungan impor negara-negara Amerika Selatan

dengan memnbuat sendiri barang-barang konsumtif didalam negeri.