analisis kasus pelanggaran ham

Upload: dekomvan

Post on 04-Oct-2015

57 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

not

TRANSCRIPT

ANALISIS KASUS PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA TANJUNG PRIOK 1984 BERDASARKAN DASAR-DASAR HAK ASASI MANUSIA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIAMarch 25, 2013 - Posted by iezty_muaniz Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasanyang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak jugamerupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah Hak Asasi Manusia (HAM) adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi ini. Hak Asasi Manusia lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi dari pada era sebelum reformasi.Dalam era reformasi ini, pelanggaran Hak Asasi Manusia merupakan salah satu kasus yang cukup menyita perhatian publik baik dalam maupun luar negeri karena hal ini menyangkut dengan hak asasi setiap manusia. Di Indonesia sering terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia.Dua puluh enam tahun yang lalu, sekitar pertengahan bulan September tahun 1984, terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia. Pelanggaran hak asasi manusia tersebut lebih dikenal dengan sebutan pelanggaran hak asasi manusia Tanjung Priuk 1984. Sejumlah besar pengunjuk rasa yang kebanyakan beragama islam yang menuntut pembebasan saudara-saudara mereka yang ditahan di kantor Komando Distrik Militer (KODIM) setempat dianiaya, diberondong dengan senjata api oleh pasukan Tentara Nasional Indonesia yang menurut laporan ditugaskan untuk mengendalikan dan mengamankan situasi yang rusuh. Akibatnya sejumlah besar pengunjuk rasa itu mengalami luka-luka dan banyak yang meninggal dunia. Sebagian dari mereka yang meninggal itu semasa berkuasanya rezim Soeharto tidak diketahui tempat kuburnya. Pelanggaran hak asasi manusia tersebut tercatat sebagai salah satu pelanggaran HAM berat. Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, Tanjung Priok, Sabtu, 8 September 1984, Tanjung Priok, Ahad, 9 September 1984, Tanjung Priok, Senin, 10 September 1984, Tanjung Priok, Selasa, 11 September 1984, Tanjung Priok, Rabu, 12 September 1984.Berdasarkan kasus pelanggaran hak asasi manusia tersebut dapat dianalisis pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Tanjung Priok 1984, antara lain, Pembunuhan secara kilat (summary killing), tindakan pembunuhan secara kilat (summary killing) terjadi di depan Mapolres Metro Jakarta Utara tanggal 12 September 1984 pkl 23.00 akibat penggunaan kekerasan yang berlebihan dari yang sepatutnya terhadap kelompok massa oleh satu regu pasukan dari Kodim Jakarta Utara dibawah pimpinan Serda Sutrisno Mascung dengan senjata semi otomatis. Para anggota pasukan masing-masing membawa peluru yang diambil dari gudang masing-masing sekitar 5-10 peluru tajam. Atas tindakan ini jatuh korban 24 orang tewas, 54 luka berat dan ringan. Atas perintah Mayjen Try Soetrisno Pangdam V Jaya korban kemudian dibawa dengan tiga truk ke RSPAD Gatot Subroto. Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (unlawful arrest and detention), setelah peristiwa, aparat TNI melakukan penggeledahan dan penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai mempunyai hubungan dengan peristiwa Tanjung Priok. Korban diambil di rumah atau ditangkap disekitar lokasi penembakan. Semua korban sekitar 160 orang ditangkap tanpa prosedur dan surat perintah penangkapan dari yang berwenang. Keluarga korban juga tidak diberitahu atau diberi tembusan surat perintah penahanan. Para korban ditahan di Laksusda Jaya Kramat V, Mapomdam Guntur dan RTM Cimanggis. Penyiksaan (Torture), semua korban yang ditahan di Laksusda Jaya, Kodim, Guntur dan RTM Cimanggis mengalami penyiksaan, intimidasi dan teror dari aparat. Bentuk penyiksaan antara lain dipukul dengan popor senjata, ditendang, dipukul dan lain-lain. Penghilangan orang secara paksa (Enforced or involuntary disappearance), penghilangan orang ini terjadi dalam tiga tahap, pertama; menyembunyikan identitas dan jumlah korban yang tewas dari publik dan keluarganya. Hal itu terlihat dari cara penguburan yang dilakukan secara diam-diam ditempat terpencil, terpisah-pisah dan dilakukan di malam hari. Lokasi penguburan juga tidak dibuat tanda-tanda, sehingga sulit untuk diketahui. Kedua; menyembunyikan korban dengan cara melarang keluarga korban untuk melihat kondisi dan keberadaan korban selama dalam perawatan dan penahanan aparat. Ketiga adalah merusak dan memusnahkan barang bukti dan keterangan serta identitas korban. Akibat tindakan penggelapan identitas dan barang bukti tersebut sulit untuk mengetahui keberadaan dan jumlah korban yang sebenarnya secara pasti