rûh dalam al qur’ân -...
Post on 29-Mar-2019
219 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Rûh Dalam al-Qur’ân
(Telaah Penafsiran Syekh‘Abdul Qâdir al-Jîlânî dalam Tafsir al-Jîlânî)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuludddin untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh :
Muhammad Iman Maedi
NIM. 11140340000113
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
i
ABTRAK
Muhammad Iman Maedi
Rûh Dalam al-Qur’ân (Telaah Penafsiran Syekh ‘Abdul Qâdir al-Jîlânî dalam Tafsir al-
Jîlânî)
Penelitian ini membahas tentang rûh di dalam al-Qur‟an dan juga berbagai masalah
seputar rûh dalam pandangan Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî, melalui kitab tafsirnya yang
berjudul Tafsir al-Jîlânî, seorang ulama kharismatik yang populer dengan gelarnya sulthonul
auliya atau rajanya para wali,dikarenakan kedalaman ilmu beliau dan pengalaman spritual
yang konsisten sampai kepada tingkat tertinggi dalam penghambaan. pendekatan penelitian
ilmiah ini menggunakan sudut pandang sufistik, yang dimana merupakan salah satu corak
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan melihat sisi lain dalam sebuah ayat yang
ditafsirkan baik melalui ilham maupun yang laiinya.
Di dalam al-Qur‟an kata rûh sering kali di ulang-ulang dalam ayat dan surat yang
berbeda, dan juga dalam konteks yang berbeda, sehingga makna kata rûh itu pun mempunyai
perbedaan arti sesuai dengan konteks ayat tersebut,pada satu ayat kata rûh itu diartikan
sebagai dzat atau sesuatu yang menyebabkan kehidupan, dan di ayat lain terkadang diartikan
sebagai malaikat jibril a.s sang pembawa wahyu dan sebagai perantara Allah Swt dalam
menyampaikan berbagai hal yang Allah Swt perintahkan ke alam dunia, dan pada ayat yang
lain kata rûh juga dapat diartikan sebagai wahyu atau al-Qur’an dan beberapa makna lainnya.
dan pembahasan lainnya mengenai ayat-ayat tentang rûh seperti perbedaan makna kata rûh
dengan kata nafs, permasalahan mengenai eksistensi rûh , dan macam-macam perrmasalahan
laiinya mengenai rûh yang perlu untuk didiskusikan dan dikaji kembali dalam satu kajian
khusus.
Dalam hal ini penulis mengkaji tentang rûh di dalam al-Qur‟an melalui sudut
pandang penafsiran Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî, karena ketika para mufassir yang
menafsirkan kata rûh di dalam al-Qur‟an lebih mengedepankan kepatuhan atas sebuah
keterangan yang menyatakan bahwa pengetahuan mengenai rûh adalah domain yang hanya
Allah Swt miliki, tanpa menginterpretasikan sisi lainnya. Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî
menafsirkan kata rûh dengan sisi laiinya dengan tidak melupakan bahwa rûh itu adalah
domain yang hanya Allah Swt ketahui. Dan penulis juga mengkorelasikan antara penafsiran
Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî dengan salah satu kitab sufistik nya yang berjudul Sirrur al-
Asrâr wa Mazharul al-Anwâr yang memuat berbagai pengetahuan mengenai rūḥ dan
menyingkap berbagai masalah seputar rûh, seperti hakikat muhammadiyah, nur
muhammadiyah dan yang laiinya.
Jadi penulis menemukan arti kata rûh dalam makna yang lebih luas seperti rûh
diartikan sebagai dzat yang berasal dari cahaya wujudnya Allah Swt, yang mempresentasikan
seluruh nama-namaNya dan sifat-sifatNya di alam dunia. Kemudian, arti kata rûh yang
bermakna Jibril a.s, yang diartikan sebagai dzat yang suci, bersifat lahûtiyah yang bersih,
tidak tercampur dengan sifat nashûtiyah yang kuat, dan makna laiinya.
Kata kunci: Rūḥ, Nafs, Dzat, Jibril a.s, Wahyu, Hakikat Muhammadiyah.
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Swt adalah kalimat yang patut dalam
mengawali kata pengantar ini, dengan segala ni‟mat, hidayah dan inayah dariNya yang
senantiasa mengiringi penyelesaian skripsi ini, berbagai kemudahan, keberkahan dan
kesenangan adalah karunia yang wajib untuk disyukuri. Sholawat serta salam juga semoga
tercurahkan kepada panutan seluruh manusia, manusia yang paling sempurna yakni Nabi
Muhammad Saw, kepada keluarga, sahabat, tabi‟in dan para umatnya sampai hari kiamat
nanti.
Dengan rasa penuh syukur dan bahagia atas segala hidayah Allah Swt dalam
penulisan skrispi ini dari awal dan sampai akhir penulisan, penulis selalu ingat terhadap satu
hadits dari Rasulullah Saw yang mengatakan “Barang siapa yang tidak bersyukur kepada
manusia, berarti ia tidak bersyukur kepada Allah Swt”, karena tanpa bantuan dari pihak lain
maka akan sulit skripsi ini diselesaikan tepat dalam waktunya. Maka penulis ingin
menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansur, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta staf pembantu
dekan.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Program Studi Ilmu al-Qur‟an
dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.pd., selaku Sekretaris Program
Studi Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir UIN Jakarta.
iii
4. Bapak M. Anwar Syarifuddin, S.Ag.MA., selaku dosen pembimbing skripsi yang
tak pernah lelah dalam memberikan motivasinya dan arahan yang terbaik untuk
penulis, juga yang selalu sabar dalam membimbing penulisan skripsi ini sampai
akhir penulisan dengan dedikasi yang terbaik.
5. Segenap jajaran para dosen dan civitas akademik Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu tetapi
tidak menghilangkan rasa hormat dan bangga penulis.
6. Kedua Orang Tuaku yang tercinta, ayahanda Edi Kusnanto yang tak pernah lelah
dan bersabar dalam mendidik anaknya untuk menjadi yang lebih baik, dan Ibunda
Maesaroh yang selalu mendukung dan memberikan nasihat yang terbaik, tanpa
do‟a dan dukungan dari keduanya niscaya penulis tidak akan mampu
menyelesaiakan penulisan skiripsi ini.
7. Kepada guru-guruku yang selalu mendoa‟kan penulis , juga saudara-saudara ku, di
kampung setu maupun yang di kampung gobang dan terkhusus untuk kakaku dan
adikku yang di alam surga sana, skripsi ini didedikasikan untukmu dan akan
menjadi motivasi dalam hidupku dalam membahagiakan orang tua kita.
8. Semua teman-teman IQTAF 2014 yang penulis banggakan dan semoga selalu
dalam lindungan Allah Swt, juga teman-teman KKN PETA 2017 yang senantiasa
memotivasi penulis dalam menyelsaikan studi.
9. Dan Juga kepada keluarga Ponpes Riyadhul Mufakkirin Bogor, komunitas Fakta
Bahasa Jaksel, Volunteer Asian Games 2018, bekasi yang selalu mensupport dan
mendoakan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan tak akan lupa segala
kenangan yang tak terlupakan.
10. Dan terkahir untuk my best friend Iip, Gepeng, Sona, Bongsang, Bewok, Indry,
Jalal Syehu, Jundi, My boss, Rusli, Mujahidin dan laiinya yang selalu mendorong
iv
agar skrispi ini cepat kelar dan untuk my best patner dalam kehdiupan yang tidak
bisa disebutkan namanya, tapi hanya ucapan terimakasih kepada semua yang
dapat penulis haturkan.
Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak akan
kekuranganya, kesalahan dan yang laiinya, maka dari itu penulis mengaharapkan
dari segala pihak yang membaca skripsi ini dapat memberikan saran, kritikan yang
membuat skripsi ini jauh lebih baik nantinya. dengan memohon ridho dari Allah
Swt, semoga skripi ini akan bermanfa‟at khusunya bagi penulis dan umumnya
untuk para pembaca di dunia dan di akhirat. Āmīn ya rabbal ālamīn....
Ciputat, 09 Oktober 2018
Muhammad Iman Maedi
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK................................................................................................ i
KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................. v
PEDOMAN TRANSLITERASI.............................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah......................................................................................... 1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah..................................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................................................................... 7
D. Kajian Pustaka........................................................................................................ 8
E. Metodologi Penelitian............................................................................................. 10
F. Sistematika Penulisan.............................................................................................. 10
BAB II PERKEMBANGAN TAFSIR SUFI DAN PROFIL SINGKAT
TAFSIR AL-JÎLÂNÎ
A. Perkembangan Tafsir Sufi.................................................................................... 12
B. Profil Tafsir al-Jîlânî............................................................................................ 18
C. Metode dan Metode Tafsir al-Jîlânî.................................................................... 23
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG RŪḤ DALAM AL-QUR’AN
A. Definisi Rûh di dalam al-Qur’an.............................................................................. 25
B. Perbedaan Rûh dengan Nafs.................................................................................... 36
C. Ayat-Ayat Tentang Rûh dalam al-Qur’an................................................................ 43
vi
BAB IV PENAFSIRAN RȖH DALAM AL-QUR’AN MENURUT ‘ABDUL
QÂDÎR AL-JÎLÂNÎ DALAM TAFSIR AL-JÎLÂNÎ
A. Pengertian Kata Rûh dalam al-Qur’an.................................................................. 52
B. Relevansi Penafsiran Ayat Tentang Rûh dengan Penjelasan Rûh dalam Kitab Sirrûr
al-Asrâr wa Mazharul al-Anwâr........................................................................... 69
C. Relevansi Penafsiran Rûh ‘Abdul Qâdir al-Jîlânî dalam Kehidupan Sehari-hari... 75
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................................ 79
B. Saran...................................................................................................................... 81
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 82
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Dalam skripsi, tesis, dan disertasi bidang keagamaan (baca: Islam), alih
aksara atau transliterasi, adalah keniscayaan. Oleh karena itu, untuk menjaga
konsistensi, aturan yang berkaitan dengan alih aksara ini penting diberikan.
Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan dipahami, tidak saja
oleh mahasiswa yang akan menulis tugas akhir, melainkan juga oleh dosen,
khususnya dosen pembimbing dan dosen penguji, agar terjadi saling kontrol
dalam penerapan dan konsistensinya.
Dalam dunia akademis, terdapat beberapa versi pedoman alih aksara, antara
lain versi Turabian, Library of Congress, Pedoman dari Kementerian Agama dan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, serta versi Paramadina. Umumnya,
kecuali versi Paramadina, pedoman alih aksara tersebut meniscayakan
digunakannya jenis huruf (font) tertentu, seperti font Transliterasi, Times New
Roman, atau Times New Arabic.
Untuk memudahkan penerapan alih aksara dalam penulis tugas akhir,
pedoman alih aksara ini disusun dengan tidak mengikuti ketentuan salah satu versi
di atas, melainkan dengan mengkombinasikan dan memodifikasi beberapa ciri
hurufnya. Kendati demikian, alih aksara versi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini
disusun dengan logika yang sama.
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara lain:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts Te dan es ث
J Je ج
H H dengan garis bawah ح
viii
Kh Ka dan Ha خ
D De د
Dz De dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy Es dan Ye ش
(S Es dengan garis di bawah ص
(D De dengan garis di bawah ض
(T Te dengan garis di bawah ط
Z Zet dengan garis di bawah ظ
‘ عKoma terbalik di atas hadap
kanan
Gh Ge dan ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrof ` ء
Y Ye ي
ix
2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a Fathah َـ
i Kasrah ِـ
u Dammah ُـ
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي َـ ai a dan i
و َـ au a dan u
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), ynag dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dan garis di atas َـا
î i dan garis di atas ِـْي
û u dan garis di atas ُـو
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiah
maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar- rijâl, al-dîwân bukan ad-
dîwân.
x
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda tasydīd dalam alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan
tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu
terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.
Misalnya, kata (الضرورة) tidak ditulis ad-ḏarûrah melainkan al-ḏarûrah,
demikian seterusnya.
6. Ta Marbûṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
/h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûṯah
tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta
marbûṯah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
Ṯarîqah طريقة 1
al-Jâmi‘ah al-Islâmiyyah اجلامعة اإلسالمية 2
Wahdat al-wujûd وحدة الوجود 3
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain
untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,
nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka
yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan
huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû
Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.
xi
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat dierapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring
(italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis
dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian
seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan
meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Mislanya ditulis
Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-
Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf
(harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas
kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-
ketentuan di atas:
Kata Arab Alih Aksara
Dzahaba al-ustâdzu ذهب األستاد
Tsabata al-ajru ثبت األجر
Al-harakah al-‘asriyyah احلركة العصرية
Asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh أشهد أن ال إله إال اهلل
Maulânâ Malik al-Sâlih موالنا ملك الصاحل
yu`atstsirukum Allâh يؤثركم اهلل
Al-maẕâhir al-‘aqliyyah املظاهر العقلية
Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka.
Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu
dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd;
Mohamad Roem, bukan Muhammad Rûm; Fazlur Rahman, bukan Fadl al-
Rahmân.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari, antara ilmu, filsafat dan agama terjalin menjadi
satu, tidak terpisah antara satu sama lain. Apa yang tidak bisa ditembus oleh ilmu,
akan diteruskan oleh filsafat dan apa yang tidak ditembus oleh filsafat diteruskan
oleh agama.1
Al-Qur‟an adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah Swt melalui
Rasul-Nya yang berisi tuntunan dalam sendi-sendi kehidupan sekaligus sebagai
sumber utama dalam hukum islam serta menjadi pedoman dalam kehidupan
beragama. Maka, ketika seorang muslim ingin melakukan sebuah penelitian
terhadap hal yang berkaitan dengan agama, maka harus dikembalikan kepada al-
Qur‟an dan as-Sunnah. Seperti halnya ketika membicarakan tentang manusia,
sebagai material terpenting di dunia ini dan sebagai pelaku dari setiap hal apapun
yang terjadi di dunia, maka al-Qur‟an menjelaskan banyak perihal penting
mengenai manusia itu sendiri mulai dari awal penciptaanya hingga pada akhir
hidup nya.
Ketika Allah Swt berfirman dalam al-Qur‟an, yang menyatakan
bahwasanya manusia itu diciptakan dari dua unsur yakni jiwa dan raga atau
jasmani dan rohani. Maka dari hal ini manusia tidak hanya dapat mementingkan
salah satu dari dua aspek tersebut, seperti hanya mementingkan aspek jasmani
mengabaikan aspek rohani atau pun sebaliknya mementingkan aspek rohani dan
.
1 Halimuddin, Kehidupan di Alam Barzakh ( Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 5.
2
mengabaikan aspek jasmani, akibatnya manusia tidak akan mencapai tujuan dari
maksud penciptaanya. Dan dari kedua unsur tersebut, unsur rûh atau rohani lah
yang dahulu diciptakan, sebagaimana Allah Swt berfirman dalam QS al-A‟râf(7) :
11.
“ Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami
bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada Para Malaikat:
"Bersujudlah kamu kepada Adam", Maka merekapun bersujud kecuali
iblis. Dia tidak Termasuk mereka yang bersujud”.(QS Al-A‟râf(7) : 11)
Dalam menafsirkan ayat ini, Ibnu Qayyim berpendapat bahwa diciptakan
Adam itu (dalam bentuk arwah ) bersamaan dengan diciptakannya Malaikat.2 Dan
menurut Plato jiwa/ rûh itu bersifat baka, dalam arti bahwa jiwa/ rûh tidak akan
mati pada saat kematian badan (immortal), melainkan juga bersifat kekal, karena
ada sebelum hidup di bumi ini. Jiwa sudah mengalami pra-eksistensi, di mana ia
memandang ide-ide.3
Pada saat lain juga manusia sebagai mahkluk yang diciptakan dari dua
unsur rûh dan badan harus berinteraksi dengan sesamanya yang lain (Hablum min
nannâs) dan juga berinteraksi dengan Sang PenciptaNya yaitu Allah Swt
(Hamblum minallah). Adapun ayat lain yang menyatakan bahwa unsur rûh yang
pertama kali di ciptakan, di jelaskan dalam QS. al-A‟râf(7) : 172
2 Halimuddin, Kehidupan di alam Barzakh ( Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h.10.
3 Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius,1999), h.137.
3
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-
anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap
jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka
menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)".(QS al-A‟raf(7) : 172)
Ayat di atas dengan jelas menyatakan, bahwa manusia ketika berada di
tahap awal penciptaan nya yakni di alam rûh bersaksi, bahwasannya mereka akan
mengakui Allah Swt sebagai Tuhannya kelak di dunia, dan kesaksian tersebut
terjadi antara mereka dengan Allah Swt ketika berada di alam rûh, adapun ketika
mereka berada di dunia maka sebagian dari mereka ada yang mengakui dan
bersaksi bahwasanya Allah Swt sebagai Tuhannya dan sebagian dari mereka tidak
mengakui dan bersaksi bahwa Allah Swt sebagai Tuhannya.
Perihal mengenai rûh itu sendiri memang masih menjadi misteri sampai
saat ini baik di kalangan para ilmuan maupun di masyarakat itu sendiri. Ketika
para Filusuf dan para Ahli Tafsir bersilang pendapat mengenai hakikat rûh itu
sendiri dan menjadikan pembahasan mengenai rûh menjadi hal yang teramat sulit
untuk dikupas tuntaskan. Hal ini didasarkan firman Allah SWT dalam QS. al-
Isrâ‟(17) : 85
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh
itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
melainkan sedikit".(QS. al-Isra‟(17) : 85)
4
Dalam ayat di atas Allah Swt menyatakan bahwasanya domain mengenai
rûh itu merupakan hak priogatifNya yang tidak dapat diketahui, hanya Allah Swt
yang mengetahuinya. Akan tetapi para Ahli Tafsir berbeda pendapat mengenai
hakikat rûh dalam ayat di atas pada penggalan kalimat “Dan tidaklah kamu di
beri pengetahuan melainkan sedikit”. Sebagian Ahli Tafsir berpendapat
bahwasannya ada ruang yang terbuka dalam mengetahui hakikat rûh itu sendiri
sekalipun terbatas dalam mengetahuinya. Dan sebagian ahli tafsir lain
berpendapat bahwasanya tidak ada ruang dalam mengetahui hakikat rûh.4 Dan
pendapat yang kedua, berdasarkan Hadits yang di riwatkan oleh Ibn Mas‟ûd yang
berbunyi:
حديث ابن مسعود د. ض قال ومل يؤذن لرسو ل اهلل ص.م ان يتكلم فيها وال ان (يقول الروح من امر ريب )متفق عليه
“Hadits Ibnu Mas‟d r.a katanya, kami tidak di izinkan oleh nabi
Saw membicarakan masalah arwah. Jangan di tambah firman tuhan yang
berbunyi‟ roh itu itu urusan tuhanku (mutafaq alaih).”
Dan ketika sebagian para Ahli Tafsir yang menyatakan bahwa rûh dapat
ditafsirkan secara luas, maka mereka mencoba menyingkap hakikat rûh yang
dijelaskan dalam al-Qur‟an, sehingga terjadi berbagai macam definisi dan makna
dari kata rûh tersebut. salah satunya yang dikemukakan oleh al-Qusyairî yang
mengatakan bahwasanya rûh adalah jisim yang halus bentuknya (sebagaimana
Malaikat dan Iblis ) yang merupakan tempat ahlak terpuji.5 rûh sebagaimana di
4 Abu al-Fadâ Ismâil Ibn Katsîr, Tafsir al-Qur‟ânul al-„Azhîm (Beirut : Dar
Tayyibah,1999), h.177.
5 Nassirudin, Pendidikan Tasawuf (Semarang : Rasail, 2010), h.51.
5
tegaskan kepada kita, adalah unsur terakhir yang masuk dalam tubuh manusia
(saat proses penciptaan).6
Setelah rûh sebagai unsur yang diciptakan oleh Allah Swt yang lebih
dahulu, maka kemudian rūḥ tersebut disematkan kedalam badan atau jasmani
dan mengalami tahap-tahap berikutnya yang dijelaskan dalam QS. al-Hajj(22) : 5
“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan
(dari kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya Kami telah menjadikan
kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal
darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan
yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami
tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang
sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian
(dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di
antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang
dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya Dia tidak mengetahui lagi
sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. dan kamu Lihat bumi ini
kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah
bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-
tumbuhan yang indah”.(Q.S Al-Hajj(22) : 5)
Dan ketika unsur rûh dan Jasmani bersatu padu dan berada di dunia, maka
ada dua sisi unsur yang bertolak belakang satu dengan yang lainnya, yakni ketika
unsur rûh yang begitu sakral dan suci, yang ketika awal diciptakan
6 Mutawalli Sya‟rawi, Esensi Hidup dan Mati ( Jakarta: Gema Insani,2008),
h.21.
6
bermukallamah dengan Allah Swt, bersatu dengan jasad atau unsur jasmani yang
mempunyai nafsu yang beraneka ragam dan salah satunya lebih cenderung
mendorong terhadap keburukan sebagaimana dijelaskan dalam QS. Yusuf(12) : 53
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena
Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu
yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha Penyanyang”.(Q.S Yusuf(12) : 53)
Dan fenomena saat ini, banyak sekali manusia yang lupa akan hakikat
dirinya, hakikat awal penciptaanya dan lebih cenderung kepada hal buruk yang
diinginkan oleh nafsunya sehingga banyak terjadi pembunuhan, kejahatan dan hal
yang buruk lainnya, sehingga melupakan untuk apa mereka diciptakan dan untuk
apa mereka hidup di dunia ini, yang hakikat nya sebagai bagian dari tahap
kehidupannya yang masih akan berlanjut ke tahap berikutnya. Dan berdasarkan
dari masalah tersebut dan masih adanya ruang penafsiran mengenai makna rûh
maupun hakikat rûh dalam al-Qur‟an maka penulis ingin membahas persoalan
hakikat rûh ini yang dijelaskan oleh imam nya para wali yakni Syeikh „Abdul
Qâdir al-Jîlânî dalam judul :“RUH DALAM AL-QUR‟AN; TELAAH
PENAFSIRAN SYEKH „ABDUL QADIR AL-JILANI DALAM TAFSIR AL-
JILANI” Meliputi pengertian rûh itu sendiri dan bagaimana makna dan hakikat
rûh dalam al-Qur‟an Yang dijelaskan secara teratur dalam kitab Tafsir al-Jîlânî
karangan„Abdul Qâdir al-Jîlânî.
Dengan tulisan ini penulis berharap bahwa masyarakat dapat memahami
makna rûh itu sendiri dan hakikatnya,sehingga mereka tidak akan cenderung
hanya kepada kehidupan yang sedang dijalaninya di dunia tetapi memahami
7
mengenai hakikat rûh dan konsep rûh, dan akan kemana rûh tersebut serta
menjelaskan sisi lain dari berbagai hal yang berkaitan dengan rûh.
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
Dalam pembahasan skripsi ini penulis hanya membahas sebagian dari
sekian banyaknya kajian mengenai rûh yang dapat dibahas. akan tetapi, penulis
memilih pembahasan yang pokok dan lebih penting untuk dibahas. maka penulis
membatasi dan merumuskan masalah yakni Bagaimana „Abdul Qâdir al-Jîlânî
menafsirkan ayat-ayat mengenai rûh dalam al-Qur‟an.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Ada dua tujuan pokok dari skripsi mengenai rûh dalam al-Qur‟an ini,
yakni secara teoritis maupun praktis, disamping untuk mengetahui hakikat rûh itu
sendiri dan bagaimana rûh yang dijelaskan dalam al-Qur‟an oleh „Abdul Qâdir al-
Jîlânî.
Dan semua dari tujuan penelitian ilmiah ini dirinci sebagai berikut :
1. Secara Teoritis
a. Mengetahui makna rûh dalam al-Qur‟an.
b. Mengetahui penafsiran ayat tentang rûh menurut oleh „Abdul Qâdir al-Jîlânî.
c. Mengetahui penjelasan mengenai rûh dan relevansi dengan kehidupan sehari-
hari yang dijelaskan oleh„Abdul Qâdir al-Jîlânî.
2. Secara Praktis
a. Mengetahui berbagai masalah mengenai rûh dan relevansinya.
b. Sebagai referensi bagi Akademisi yang ingin melakukan kajian mengenai rûh
dalam penelitian maupun bacaan tersendiri.
8
c. Menyumbang khazanah ilmiah mengenai rûh dalam al-Qur‟an pada karya-karya
ilmiah di lingkungan Akademisi dan masyarakat umumnya.
D. Kajian Pustaka
Dalam dunia akademisi ketika seorang peneliti akan membahas suatu
penelitian maka hendaknya terlebih dahulu mencari karya ilmiah sebelumnya,
yang berkaitan dengan tema atau judul yang akan diteliti guna sebagai acuan
dalam melakukan penelitian baik dari segi metode, sumber penelitian,
penyusunan dan laiinya. Maka penulis mencoba melakukan kajian pustaka dan
menemukan beberapa karya ilmiah yang telah membahas mengenai rûh di
antaranya:
1. Rûh dalam Al-Qur‟an analisis penafsiran Prof.Dr. M. Quraish Shihab atas QS.
al-Isrâ‟ ayat 85. penelitian ini berbentuk skripsi yang ditulis oleh Atti Nurliati
Fakultas Ushuluddin program Tafsir Hadits, adapun perbedaan penelitian
dengan skripsi yang di tulis oleh penulis yakni dalam perspektif tokoh yang
berbeda dan pada konsep, rûh skripsi “rûh dalam Al-Qur‟an analisis penafsiran
Prof.Dr. M. Quraish shihab atas QS. al-Isrâ‟ ayat 85” mengemukan pendapat
Quraish shihab mengenai rûh dan memberikan penafsiran ulama yang lain
mengenai rûh sedangkan skripsi penulis dengan judul rûh dalam al-Qur‟an
telaah penafsiran „Abdul Qâdir al-Jîlânî dalam Tafsir al-Jîlânî yang menjelaskan
makna rûh menurut beliau dan sekaligus menjelaskan konsep dan relevansi rûh
dalam al-Qur‟an yang dijelaskan oleh beliau di dalam kitab Sirrūr al-Asrâr wa
Mazharul al-Anwâr.
2. Rûh dalam perspektif Imam Fakhruddin ar-Râzi penelitian ini juga berbentuk
skirpsi oleh Abdul Rahman Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits tahun
9
2002 yang perbedaan nya terletak pada objek penelitian yang dibahas secara
umum dan spesifik, skripsi rûh dalam perspektif Imam Fakhruddin ar-Râzi
membahas secara umum tanpa merujuk pada ayat tertentu dalam al-Qur‟an.
3. Konsep rûh dalam perspektif hadits (Pemahaman hadits tentang rûh dalam kitab
ar-Rûh karya Ibnu al-Qayyim Al-Jauziyah). Karya ilmiah ini berbentuk skripsi
oleh M.Iqbal Alam Islami Fakultas Ushuluddin tahun 2010. Perbedaan dengan
skripsi penulis terletak pada objek kajian dan pembahasan rûh dalam al-Qur‟an
dan Hadits.
4. Rûh manusia dalam al-Qur‟an dan Sains (studi korelatif fenomena manusia
menurut penafsiran M.Quraish shihab dan Tantawi Jauhari dalam sains). Karya
ilmiah ini berbentuk skripsi oleh Ahmad Dani El-Rasyad Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2016 dalam skripsi ini
membahas rûh dalam perspektif sains dan membandingkan dengan penafsiran
ulama tersebut di dalam al-Qur‟an mengenai rûh dan perbedaaan dengan skripsi
yang penulis akan tulis dari sisi topik pembahasan mengenai rûh yang lebih
fokus kepada pengertian rûh dan hakikat rûh menurut„Abdul Qâdir al-Jîlânî.
5. Rûh dalam perspektif al-Qur‟an dan Sains modern, karya ilmiah ini berbentuk
jurnal oleh Zaenatul Hakamah yang membahas seputar masalah rûh dan
relevansi nya dengan sains modern yang berkembang di zaman ini dan
membahas mengenai definisi rûh dari sisi sains. Dan perbedaan dengan skripsi
penulis pada sisi relevansi rûh yang dikaitkan pada kehidupan sosial masyarakat
saat ini dan makna rûh itu sendiri. Dan banyak lagi Karya-Karya ilmiah baik
berupa artikel, jurnal dan yang laiinya yang berkaitan mengenai rûh. Tetapi
10
penulis disini lebih memfokuskan terhadap pembahasan rûh dan persoalannya
menurut„Abdul Qâdir al-Jîlânî.
E. Metedologi Penelitian
Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis menggunakan metode Peneletian
Kepustakaan (Library Reseach) yaitu penelitian yang dilaksanakan dengan
menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa buku, catatan, maupun
laporan hasil penelitian dari penelitian terdahulu.7 Dan dalam pengumpulan data
mengenai konsep rûh oleh „Abdul Qâdir al-Jîlânî penulis menggunakan data
primer dalam hal ini kitab Tafsir al- al-Jîlânî karya „Abdul Qâdir al-Jîlânî dan
kemudian menggunakan data sekunder yakni buku-buku karangan„Abdul Qâdir
al-Jîlânî, skripsi, artikel-artikel, jurnal dan makalah yang berkaitan dengan topik
pembahasan.
Dan dalam tehnik pembahasan dalam skrispi ini penulis mengunnakan
metode Deskriptif Analitis yaitu usaha untuk mengumpulkan data dan menyusun
data dan kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut.8 Maka penulis akan
mengemukakan penjelasan mengenai makna rûh dan hakikat rûh menurut
„Abdul Qâdir al-Jîlânî kemudian dianalisis oleh penulis. Adapun teknik dalam
penulisan skripsi ini berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi,tesis dan
disertasi UIN Jakarta 2017.
F. Sistematika Penulisan
7 M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metedologi Penelitian dan Aplikasinya
Jakarta:Ghalia,2002), h. 11. 8 Winarto Surachman, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode Dasar Teknik
(Jakarta : Tarsita, 1990), h. 139.
11
Skripsi ini terdiri dari lima bab, dan terdapat sub-sub bab, disetiap bab
nya. Satu bab dengan bab yang yang lain saling berkorelasi. Adapun sistem
penulisan ini sebagai berikut:
Bab I: Terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, kajian pustaka, tujuan dan manfaat penelitian, metedologi penelitian
dan sistematika penulisan.
Bab II: Terdiri dari ,Biografi„Abdul Qâdir al-Jîlânî,Sejarah Intelektual„Abdul
Qâdir al-Jîlânî, Karakteristik Pemikiran „Abdul Qâdir al-Jîlânî dan Karya-Karya
Ilmiahnya.
Bab III: Membahas rûh dalam al-Qur‟an, Ayat-Ayat Tentang rûh dalam al-
Qur‟an ,Penafsiran Makna rûh dalam Al-Qur‟an
Bab IV: Pengertian Kata rûh oleh „Abdul Qâdir al-Jîlânî dalam Tafsirnya ,
Relevansi Penafsiran Ayat Tentang rûh dengan Konsep rûh dalam kitab Sirrûr
al-Asrâr wa Mazharul al-Anwâr, Relevansi Penafsiran rûh „Abdul Qâdir al-
Jîlânî dalam Kehidupan Sehari-hari.
Bab V : Penutup yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran-Saran.
12
BAB II
PERKEMBANGAN TAFSIR SUFI DAN PROFIL SINGKAT TAFSIR AL-
JÎLÂNÎ
A. Perkembangan Tafsir Sufi
Tafsir secara bahasa mengikuti wajan taf‟îl )تفعيل( berasal dari kata
fa)ف(,sa)س(,ra)ر(, yang berarti menjelaskan, menyingkap, dan menampakkan atau
menerangkan makna yang abstrak,di dalam kitab Lisânul al-Arab kata al-Fasr
diartikan menyingkap sesuatu lafadz yang musykil atau pelik.1 Sedangkan kata
tafsir secara istilah diartikan sebagai “Ilmu dalam memahami kitab Allah Swt
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dalam menjelaskan maknanya
dan mengeluarkan hukum-hukum dan hikmahnya.2
Dan perkembangan tafsir dari dulu sampai sekarang dilakukan empat cara
atau metode yaitu ijmali (global), tahlili (analitis), muqarrin (perbandingan),
maudhui (tematik). Menurut Baidan, metode ijmali merupakan metode tafsir yang
pertama kali muncul, dengan alasan bahwa Nabi Saw dan para sahabat
menafsirkan al-Qur‟an secara ijmali tidak memberikan rincian yang memadai,
kemudian metode tahlili adalah metode yang ada setelah ijmali dengan
mengambil bentuk al-Ma‟tsur yang kemudian berkembang menjadi bentuk al-
ra‟yi. Bentuk terakhir inilah yang berkembang pesat sehingga mengkhusukan
kajiannya dalam bidang-bidang tertentu seperti fiqh, tasawuf, bahasa dan laiinya.3
1 Abî Fadhli Jamaluddin Muhammad bin Makram Ibn Mandzûr, Lisân al-„Arab (Beirut :
Dar Shadir,1990), vol.2 juz.5 h.156.
2 Manna Khalil al-Qattân, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur‟an (Jakarta : PT.Pustaka Litera
AntarNusa,2015), h.28
3 Nasruddin Baydan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar,2000), h.3
13
Dan penulis di sini menggunakan pembahasan rûh dalam dimensi tasawuf
menurut „Abdûl Qâdir al-Jîlânî4 dalam Tafsir al-Jîlânî, timbulnya tasawuf dalam
islam karena belum merasa puasnya segolongan umat islam dalam mendekatkan
diri kepada Allah Swt, mereka ingin merasa lebih dekat lagi dengan Tuhan
dengan cara hidup menuju Allah Swt dan membebaskan diri dari ketertarikan
mutlak pada kehidupan duniawi. Al-Dzahabi membenarkan bahwa praktik
tasawuf semacam di atas telah dikenal sejak awal islam, Nabi Muhammad Saw
merupakan orang yang pertama kali mencotohkan praktik kehidupan sederhana,
banyak di antara sahabat yang melakukan praktik tasawuf yaitu hidup dalam
zuhud dan ibadah laiinya. Pada angkatan berikutnya yakni abad ke-2 Hijriyah dan
seterusnya secara berangsur-angsur kehidupan dunia menjadi lebih berat, ketika
itulah angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup
sederhana lebih dikenal dengan kaum suffah. Pada masa ini pulalah istilah
tasawuf dikenal.5
Praktik-praktik zuhud yang dilakukan ulama angkatan I dan II berlanjut
sampai masa pemerintahan Abbasiyah (4 H), ketika itu umat islam mengalami
kemakmuran yang melimpah, sehingga di kalangan atas dan menengah terdapat
pola kehidupan mewah. Pada masa itu gerakan tasawuf juga mengalami
4 „Abdul Qâdir al-Jîlânî nama lengkapnya adalah Syeikh Muhyiddīn Abū Muhammad
„Abd al-Qâdîr bin Shâlih Mûsa Zangi Dost bin „Abdullah bin Yahyâ az-Zâhid bin Muhammad bin
Dâud bin Mûsa bin „Abdullah bin Mûsa al-Juwaini bin „Abdullah al-Mahdi bin Hasan al-Matsani
bin Hasan bin Ali bin Abi Muthalib R.A,. Beliau juga di nasabkan kepada al-Majal bin Hasan al-
Mutsanna bin Ali bin Abi Thalib. Beliau lahir pada 2 Ramadhan 470 H (1077-1078) di Negeri
Jīlan yaitu sebuah daerah terpencil dibelakang Thabaristan. kini termasuk wilayah Iran. Daerah
tersebut juga biasa disebut dengan Kaila dan Kailāni serta dinisbahkan dengan Jailī, Jîlānī dan
Kailānī. Tahun kelahirannya ini didasarkan atas ucapannya kepada putranya bahwa ia berusia 18
tahun ketika tiba di Bagdad, bertepatan dengan wafatnya seorang ulama terkenal, al-Tamimi, pada
488 H.
5 Lenni Lestari, “Epistimologi Tafsir Corak Sufi” Jurnal Syahadah Vol.2 no.1 (April
2014): h. 10
14
perkembangan yang tidak terbatas hanya pada praktik hidup sederhana saja, tetapi
mulai ditandai dengan berkembanganya suatu cara penjelasan teoritis yang kelak
menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut dengan ilmu tasawuf. Pada masa ini
tasawuf mengalami pencampuran dengan filsafat dan kalam, sehingga muncullah
apa yang dikenal dengan tasawuf falsafi, nazari dan tasawuf amali. Tasawuf
nazari yaitu yang menjadikan tasawuf sebagai kajian dan pembahasan. Adapun
tasawuf amali yaitu tasawuf yang dibangun dengan prakti-praktik zuhud kepada
Allah Swt.
Berdasarkan pemetaan Abdul Mustaqim, tafsir corak sufi termasuk dalam
tafsir yang muncul pada abad pertengahan (sekitar abad ke-3 H sampai abad ke-
4/5 H). Hal ini ditandai dengan bergesernya tafsir bil ma‟thur menjadi bil al-ra‟yi.
Dilihat dari pemetaaan ilmu tafsir secara umum, posisi tafsir sufistik terbagi
menjadi tiga, yaitu berdasarkan bentuk penafsiran, metode penafsiran, dan corak
penafsirannya. Berdasarkan pembagian ini, maka dapat dikatakan bahwa bentuk
penafsiran sufistik adalah tafsri bil al-ra‟yi. Metode yang mayoritas digunakan
dalam menyajikan hasil penafsirannya adalah metode tahlili. Sedangkan
contohnya adalah corak sufi atau tasawuf yang dominan digunakan dalam
tafsirnya. Dan corak tafsir yang lahir akibat dari timbulnya gerakan-gerakan sufi
sebagai reaksi dari kecenderungan dari berbagai pihak terhadap materi, telah
mempunyai ciri khusus dan karakter yang membedakanya dengan tafsir lain.6
Sebagian ulama membagi tasawuf menjadi dua bagian, yaitu tasawuf
nazari (teoritis) dan tasawuf amali (praktis). Tasawuf nazari adalah tasawuf yang
berdasarkan pada wacana analisis dan studi kajian. Sedangkan tasawuf amali
6 Lenni Lestari, “Epistimologi Tafsir Corak Sufi” Jurnal Syahadah Vol.2 no.1 (April
2014): h. 10
15
adalah tasawuf yang bersndar pada sikap meninggalkan kesenangan duniawi dan
zuhud serta mendedikasikan dirinya hanya kepada Allah Swt. Tafsir corak ini
dapat ditemukan untuk meligitimasi poin-poin ajaran sufi yang plural dan juga
dalam kitab-kitab metodologi tafsir yang menafsrikan al-Qur‟an dari abgian awal
hingga paling akhir supaya lingkaran pemikirannya dapat berjalan sistematis.
Porsi terbesar yang cukup mencolok dalam literatur awal corak ini yang dapat
diajukan produknya dari tafsir al-Qur‟an adalah tafir al-Qur‟an al-„Azhîm karya
Sahl al-Tustari (w. 276 H) yang masih tersimpan dalam bentuk tulisan tangan
(manuskrip). Selain itu juga kitab tafsir yang paling menonjol dalam disiplin tafsir
sufi terutama karakteristiknya yang tersebar luas dunia islam, yaitu kitab tafsir
sarjana sufi Andalusia Muhyiddin Ibn Arabi (w. 638 H). Kitab Tafsir al-Futûhât
beliau beberapa kali telah mengalami cetak ulang di timur tengah. Selain itu juga
ada kitab Haqâîq al-Tafsir karya al-Salami, kitab al-Raîs al-Bayân fi Haqâiq al-
Qur‟an karya Abî Muhammad as-Syairâzi. Dan kitab tafsir al-Ta‟wîlât al-
Nazmiyah karya an-Najm al-Din Dayah dan Ula al-Daulah al-Samani. Ada satu
karya laiinya yang dikenal sebagai tafsir sufi, yaitu tafsir Ruh al-Ma‟âni karya Al-
Alusi, Namun al-Dhahabi dikutip juga oleh Abdul Mustaqim mengatakan bahwa
tafsir ini termasuk kitab corak tafsir bil al-ra‟yi al-mahmûd dengan metode tahlili,
meskipun ada sebagian ulama yang menganggapnya sebagai kitab tafsir bercorak
sufi. Kemudian ada kitab Latâif al-Isyârat karya Abdul Karîm Ibn Hawazan Ibn
Abd Malik Ibn Talhah Ibn Muhammad al-Qusyairi. Kitab ini dinilai positif oleh
para ulama karena penafsirannya tidak menyimpang, selalu berusaha
mempertemukan antara syariat dan hakikat serta steril dari ideologi mazhab
tertentu.
16
Adapun kategorisasi corak tafsir sufi terbagi menjadi dua, yaitu tafsir sufi
nazari sebagai turunan tasawuf nazari (aliran yang berusaha menemukan wujud
Tuhan dalam makhluknya) dan tafsir sufi al-Isyari sebagai turunan dari tasawuf
amali (aliran yang berusaha lebih dekat dengan Allah Swt, bahkan ingin
menyatu.7
Pengertian tafsir sufi nazari adalah tafsir yang berpegang pada metode
simbolis yang tidak berhenti hanya pada aspek kebahasaan saja, tafsir ini sering
digunakan untuk memperkuat teori-teori mistis dari kalangan ahli sufi. Al-
Dhahabi memeberikan beberapa kriteria dalam penafsiran nazari, yaitu:
1. Menjadikan teori filsafat sebagai asas (dasar) dalam penafsiran ayat-ayat al-
Qur‟an.
2. Memberikan perumpamaan terhadap sesuatu yang ghaib (abstrak) kepada
sesuatu yang syâhid (jelas/tampak).
3. Terkadang tidak memperhatikan kaidah nahwu atau balaghah. Kaidah ini
akan digunakan jika senada dengan pemikirannya. Jika tidak, maka kaidah
ini diabaikan. Dengan kata lai, kaidah nahwu atau balaghah akan digunakan
bila membenarkan atau menguatkan teori tasawufnya.
Sedangkan tafsir sufi Isyari menurut al-Dhahabi adalah menakwilkan ayat-
ayat al-Qur‟an yang berbeda dengan maknanya yang dhahir berdasarkan isyarat
(petunjuk) khusus yang diterima oleh para ahli sufi. Tafsir model ini dinisbatkan
kepada para pelaku sufi amali dimana mereka ketika menafsirkan al-Qur‟an
berdasarkan isyarat-isyarat Ilahi yang diilhamkan Allah Swt kepada hambanya
berupa intuisi mistik dengan memberi pemahaman dan realisasi makna ayat-ayat
7 Muhammad Husain ad-Dzahabi, al-Tafsîr wal al-Mufassirûn (Kairo : Dar al-
Haditsah,2005), v.2 h.292
17
al-Qur‟an. Atau dengan kata lain, tafsir sufi isyari ini merupakan usaha mentakwil
ayat-ayat al-Qur‟an yang berbeda dari makna lahirnya menurut isyarat-isyarat
rahasia yang ditangkap oleh para pelaku suluk atau ahli ilmu, dan maknanya dapat
disesuaikan dengan kehendak makna lahir dari ayat al-Qur‟an.8
Khalid Abdurrahman membagi tafsir isyari berdasarkan isyaratnya dalam
dua bagian, yaitu pertama, isyarat khafiyah (indikasi yang tersembunyi) dimana
yang memperolehnya hanya ahli taqwa dan ulama di dalam membaca al-Qur‟an,
kemudian mendapat intuisi-intuisi mistik yang bermakna. Kedua, isyarat jaliyah
(indikasi jelas) yang dikandung ayat-ayat kauniyah didalam al-Qur‟an yang
mengisyaratkan dengan jelas adanya ilmu-ilmu seperti era modern. Al-Dzahabi
menetapkan beberapa syarat diterima tafsir isyari, yaitu:
1. Penafsirannya sesuai dengan makna lahir yang ditetapkan dalam bahasa
arab. Sekiranya sesuai maksud bahasanya, maka tidak berusaha melebih-
lebihkan makna lahir.
2. Harus ada bukti syar‟i yang bisa menguatkan.
3. Tidak menimbulkan kontradiksi, baik secara syar‟i maupun aqli.
4. Harus mengakui makna lahirnya ayat dan tidak menjadikan makna batin
sebagai satu-satunya makna yang berlaku sehingga menafikan makna lahir.
Perbedaan tafsir sufi nazari dengan tafsir sufi isyari, menurut al-Dzahabi
ada dua aspek perbedaan anntara tafsir sufi nazari dengan tafsir sufi isyari, yaitu:
1. Tafsir sufi nazari diawali dengan premis-premis yang ada di dalam diri seorang
sufi yang kemudian dituangkan ke dalam penafsiran al-Qur‟an. Sedangkan tafsir
sufi isyari tidak berlandaskan premis-premis ilmiah terlebih dahulu, akan tetapi
8 Lenni Lestari, “Epistimologi Tafsir Corak Sufi” Jurnal Syahadah Vol.2 no.1 (April
2014): h. 13
18
berdasarkan riyâdhah rûhiyah (olah jiwa) yang dilakukan oleh seorang sufi
terhadap dirinya hingga mencapai tingaktan terungkapnya tabir syariat isyarat
(petunjuk) kesucian.
2. Ahli sufi dalam tafsir sufi nazari berpendapat bahwa ayat-ayat al-Qur‟an
mempunyai makna tertentu dan penafsirannya sebagai pembawa makna.
Sedangkan tafsir sufi isyari seballiknya yaitu ada makna lain yang dikandung
ayat, artinya ayat al-Qur‟an memiliki makna dhahir dan juga makna bathin.9
Dan sumber pengetahuan tafsir sufistik adalah intuisi dan teori filsafat,
intuisi diperoleh dari kasyf (penyiingkapan) dan mujahadah yang telah mencapai
ahwal (pengalaman spiritual karena kesungguhan beribadah). Sedangkan sumber
pengetahuan sufistik laiinya adalah teori-teori filsafat. Teori ini diperoleh dari
metode ta‟wil nazari yang dipadukan dengan dasar keilmuan ahli sufi yang
mencari teori-teori mistik untuk mempromosikan kelompok atau mazhab tertentu
ini digunakan dalam tafsir sufu nazari.
Dilihat dari metode penafsiran, tafsir corak sufi termasuk dalam metode
tahlili yaitu menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur‟an dari seluruh aspeknya
dengan mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang tersusun di dalam mushaf.
B. Profil Tafsir al-Jîlânî
Penemuan Tafsir Jîlânî pada awal 2009, khazanah tafsir al-Qur‟an
semakin diperkaya dengan terbitnya Tafsir Jîlânî karya „Abdûl Qâdir al-Jîlânî.
Markaz al-Jîlânî li al-buhûts al-ilmiah, Instanbul, Turki. Mengklaim bahwa
penerbitan tafsir tersebut adalah yang pertama kalinya sepanjang sejarah
9 Lenni Lestari, “Epistimologi Tafsir Corak Sufi” Jurnal Syahadah Vol.2 no.1 (April
2014): h. 15
19
kebudayaan islam. Sebelum diterbitkan, tafsir ditemukan manuskripnya di
Vatikan, Italia, perpustakaan Qadiriah, Bagdhad dan India. Tafsir al-Jîlânî terdiri
dari enam volume (VI juz) dengan ketebalan sekitar 550 halaman untuk masing-
masing volume. Penyuting kitab tafsir tersebut adalah salah satu keturunan beliau
sendiri, yaitu Dr. Muhammad Fadhil al-Jîlânî al-Hasani at-Taylâni al-Jamazraqi.
Dr.Muhammad Fadhil al-Jîlânî berasal dari Jimzaraq, Turki Timur, yang
dilahirkan pada tahun 1954 dan kini menetap di kota eksotik Istanbul, Turki. 10
Tafsir al-Jîlânî yang judul lengkapnya adalah al-Fawâtih al-Ilâhiyyah wa
al-Mafâtih al-Ghaybiyah wa al-Hikam al-Furqâniyah, masih diperdebatkan oleh
beberapa kalangan terkait otentisitasnya. Dr. Muhammad Yusuf Thâha Zaydan,
penulis biografi Syekh „Abdûl Qâdir al-Jîlânî sekaligus pakar yang otoritatif
dalam bidang mansukrip tasawuf, menginformasikan bahwa perpustakaan Rasyid
di Tripoli dan India mengoleksi tafsir al-Qur‟an yang diklaim sebagai
karya„Abdûl Qâdir al-Jîlânî. Namun, menurutnya tafsir tersebut adalah “karya
pseudo” (muallaf manhul), karena para penulis manaqib-manaqib „Abdûl Qâdir
al-Jîlânî tidak pernah memberi isyarat bahwa „Abdûl Qâdir al-Jîlânî memiliki
karya dalam bidang tafsir. Masih menurutnya, „Abdûl Qâdir al-Jîlânî sendiri
dalam beberapa karyanya, tidak pernah menyatakan memiliki karya dalam bidang
tafsir. Kesimpulan Thâha Zaydan ini diperkuat Khairuddin al-Zirkili dalam al-
A‟lam yang dengan tegas menyatakan bahawa al-Fawâtih al-Ilâhiyyah wa al-
Mafâtih al-Ghaybiyah wa al-Hikam al-Furqâniyah adalah karya Ni‟matullah bin
Mahmûd al-Nakhjuwani (w.920 H). Atau lebih populer dengan panggilan Syekh
Ilwani. Nama al-Nakhjuwani dinisbatkan karena ia berasal dari Nakhicevan
10 Irwan Masduqi “Menyoal Otentisitas dan Epistemologi Tafsir al-Jilani” Jurnal Analisa
Vol.19 no.1 (Januari-Juni,2012): h.89.
20
(bahasa Azeri), sebuah kawasan Azerbaijan seluas 5.500 km yang berbatasan
dengan Armenia, Turki dan Iran. Pendapat al-Zirkili senada dengan catalog,
Biblioteca Alex Adrina yang mensibatkan tafsir tersebut pada al-Nakhjuwani.
Catalog Biblioteca Alexandria juga memberikan informasi penting bahwa tafsir
tersebut pernah dicetak pada 1325 M/1907 di Istanbul Turki, kitab tafsir ni terdiri
atas II volume, bukan IV volume seperti versi Markaz al-Jîlânî li al-Buhûts al-
Ilmiyah, Istanbul, Turki.
Program digital dan situs maktabah syamilah juga memuat tafsir tersebut
dengan penisbatan kepada al-Nakhjuwani sebagai pengarangnya. File maktabah
syamilah mrupakan copy paste dari terbitan Dar Rikabi, Cairo, Mesir yang
menerbitkan tafsir tersebut pada 1999 M. Perlu dicatat, naskah versi Dar al-Rikabi
adalah versi lengkap hingga surat an-Nâs. Asumsi penisbatan al-Fawâtih al-
Ilâhiyyah wa al-Mafâtih al-Ghaybiyah wa al-Hikam al-Furqâniyah sebagai karya
al-Nakhjuwani dikukuhkan pula oleh situs Multaqa‟ ahli hadits. Pendapat yang
seirama dikemukakan pula oleh sumber-sumber otoritatif seperti Mu‟jam
Mathbû‟ah karya Yusuf Alyan Sarkis, Mu‟jam Muallifîn karya Umar Ridha
Kahalah, Kasuf al-Durum karya Haji Khalifah dan Hidayah al-Arifin karya al-
Babani. Menurut sumber-sumber ini, al-Fawâtih al-Ilâhiyyah wa al-Mafâtih al-
Ghaybiyah wa al-Hikam al-Furqâniyah ditulis oleh al-Nakhjuwani pada tahun
902 M berdasarkan pancaran-pancaran cahaya sufistik dan tanpa merujuk pada
referensi tafsir apapun.11
Jika versi pertama dengan tegas menyimpulkan tafsir tersebut adalah karya
al-Nakhjuwani, maka tidak demikian halnya dengan versi kedua. Versi yang
11 Irwan Masduqi “Menyoal Otentisitas dan Epistemologi Tafsir al-Jilani” Jurnal Analisa
Vol.19 no.1 (Januari-Juni,2012): h.92.
21
kedua diwakili oleh Dr. Abdul al-Razzâq al-Kaylâni, menyatakan bahwa karya
„Abdûl Qâdir al-Jîlânî judulnya adalah Misk al-Khitâm. Tafsir ini terdapat di
perpustakaan Tripoli dan India dengan naskah tahun 622 H. Kemudian versi
ketiga adalah pendapat lembaga riset Markaz al-Jîlânî al-Buhûts al-Ilmiyah,
Istanbul, Turki, yang meyakini tafsir al- al-Jîlânî benar-benar karya otentik„Abdûl
Qâdir al-Jîlânî. Argumentasi lembaga ini riset ini dikemukakan oleh Muhammad
Fadhil, penyuting tafsir tersebut.awalnya ia mengunjungi 20 perpustakaan, antara
lain Vatikan, kemudian penyuting menemukan tiga manuskrip yang masing-
masing mendapatkan keterangan di pojok bawah “telah selesai juz I/II/III dari
tafsir al-Qur‟an milik sayiddina„Abdûl Qâdir al-Jîlânî. Redaksi ini rupanya
menyebabkan penyuting meragukan otentisitas tafsir tersebut, sebab redaksi
semacam itu (dengan penisbatan milik kepada„Abdûl Qâdir al-Jîlânî)
mengindikasikan bahwa tafsir tersebut ditulis oleh orang lain, bukan oleh „Abdûl
Qâdir al-Jîlânî sendiri. Tetapi keraguan penyuting segera tertepis karena terdapat
informasi dari Abdul Muthalib al-Kaylâni yang bersumber dari Haj Nuri
(pengelola maktabah Qadiriyah Bagdhad) keluarga „Abdûl Qâdir al-Jîlânî di
madrasah Waktiyah serta Syeikh Umar Rifâ‟i yang bersumber dari Syekh yusuf,
dan dari Musthafa al-Halbi (pemilik sebuah perpustakaan di Bagdhad). Sumber-
sumber ini menginformasikan bahwa pernah terdapat tafsir dengan tulisan tangan
„Abdûl Qâdir al-Jîlânî di perpustakaan Qadiriyah Bagdhad. Namun naskah tafsir
itu hilang dan ditemukan lagi di Syam kemudian hilang untu kedua kalinya.
Sayyid Nuri ikut menguatkan otentisitas Tafsir al-Jîlânî melalui pernyataanya
“Salah satu karya „Abdûl Qâdir al-Jîlânî yang ditulis dengan tangan beliau adalah
kitab tafsir berjudul al-Fawâtih al-Ilâhiyyah wa al-Mafâtih al-Ghaybiyah wa al-
22
Hikam al-Furqâniyah dengan demikian kata penyunting “informasi-informasi ini
menguatkan upaya kami untuk mempublikasikan tafsir tersebut atas nama Syaikh
„Abdûl Qâdir al-Jîlânî.
Meskipun pendapat mayoritas menisbatkan tafsir al-Fawâtih al-Ilâhiyyah
wa al-Mafâtih al-Ghaybiyah wa al-Hikam al-Furqâniyah kepada al-Nakhjuwani ,
namun tidak menutup kemungkinan muculnya asumsi-asumsi bahwa tafsir
tersebut ditulis oleh Syeikh „Abdûl Qâdir al-Jîlânî sekitar tahun 521 hingga 501 di
Baghdad, kemudian disalin dan digandakan oleh beberapa pihak, antara lain al-
Nakhjuwani yang wafat pada tahun 920 H, kemudian naskah aslinya hilang di
Bagdhad, sebagaimana informasi yang diberikan oleh pihak perpustakaan
Bagdhad. Asumsi bahwa al-Nakhjuwani hanyalah penyalin atau pengganda juga
dapat disandarkan pada sebuah penemuan manuskrip india yang ditulis pada tahun
622 H atas nama„Abdûl Qâdir al-Jîlânî. Asumsi ini pun muncul karena al-
Nakhjuwani di akhir setiap juz menisbatkan tafsir tersebut kepada „Abdûl Qâdir
al-Jîlânî melalui pernyataan “Telah selesai juz I/II/III dari tafsir milik tuanku,
Syeikh„Abdûl Qâdir al-Jîlânî”. Lebih jauh lagi, al-Nakhjuwani adalah ulama sufi
dari Nakhicevan Azerbaijan. Oleh sebab itu, tafsir tersebut sangat populer di
kalangan Syaikh Iran dan Turki. Kemudian dapat diasumsikan tafsir tersebut
dinisbatkan kepada al-Nakhjuwani oleh penerbit pertama di Istanbul Turki, pada
tahun 1999. Asumsi ini layaka dipertimbangkan lebih lanjut mengingat dalam
Tabâqat Tafsir karya al-Adnawari terdapat keterangan bahwa kitab al-
Nakhjuwani judulnya adalah Fawâtih al-Maqîsat, bukan Fawâtih al-Ilâhiyah.
Perlu juga digarisbawahi bahwa tidak disebutkan tafsir tersebut oleh „Abdûl Qâdir
al-Jîlânî dalam beberapa karyanya, tidak menutup kemungkinan, dikarenakan
23
tafsir tersebut merupakan karya terakhir dalam periode kehidupannya.
Berdasarkan penelusuran panjang tersebut dapat disimpulkan bahwa Tafsir al-
Jîlânî masih diperdebatkan otentitisitasnya.
C. Metode dan Metode Tafsir al-Jîlânî
Seperti pembahasan di bagian awal yang membahas apa definisi Tafsir
sufi dan kriteria tafsir apa saja yang dikategorikan kedalam tafsir sufi, maka
penulis mencoba untuk menelusuri Tafsir al-Jîlânî sebagai kitab tafsir yang
bercorak sufistik, pada kitab Tafsir al-Jîlânî cetakan edisi kedua tahun 2014 yang
terdiri dari lima jilid, yang masing-masing jilidnya rata-rata berjumlah 480
halaman, dengan pentahkiknya Syeikh Ahmad Farîd al-Mazidi. Pada bagian
pendahuluan beliau menjelaskan biografi dan yang laiinya mengenai Syekh
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, dan pada setelahnya beliau melampirkan tiga lembar
manuskrip atau tulisan asli dari Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî sebagai bukti bahwa
karya ini adalah benar-benar karangan Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî.
Melihat metode dan penafsiran Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî dalam Tafsir
al-Jîlânî, ketika beliau menafsirkan kata rûh dalam Qs. al-Hijr(15) :29, bahwa rûh
itu berasal dari percikan wujudnya Allah Swt agar kelak nanti ruh itu dapat
mewakili nama-namaNya dan sifat-sifatNya.12
Dan penafsiran beliau dalam Qs.
al-Baqarah(2) : 179, ayat mengenai Qisâs beliau menafsirkan bahwa para
mukminin yang mentauhidkan Allah Swt, yang mukasyifin dengan rahasia-
rahasia syariat ilahiyah akan memahami di dalam hukum Qisas ada hakikat
rahasia yang agung,13
dan beberapa contoh penafsiran dalam ayat yang lain.
12 Syeikh Muyhiddîn „Abdul Qādir al-Jīlānī, Tafsir al-Jīlānī ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 2014), jilid. 1 h.441.
13 Syeikh Muyhiddîn „Abdul Qādir al-Jīlānī, Tafsir al-Jīlānī ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 2014), jilid. 1 h.183.
24
penulis menyimpulkan bahwa metode yang digunakan beliau dalam Tafsir al-
Jîlânî adalah metode tahlili, metode yang menguraikan ayat-ayat al-Qur‟an
dengan terperinci. Adapun corak Tafsir al-Jîlânî adalah corak sufi isyari, yaitu
penafsiran yang dihasilkan melalui perenungan yang mendalam pada ayat-ayat al-
Qur‟an dengan latihan spritual dan mujahadah. Akan tetapi corak penafsiran
seperti ini tidak semua diaplikasikan dalam Tafsir beliau.
25
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG RȖH DALAM AL-QUR’AN
A. Definisi Rûh di dalam al-Qur‟an
Kata rûh )روح) dengan harakah dommah bermakna al-nafs, Imam abû
bakar al-Anbâry berpendapat bahwa kata rûh dan nafs itu sama, tetapi kata rûh itu
mudzakkar sedangkan kata al-nafs mua‟nnâs menurut orang arab. di dalam kitab
ar-Raud oleh imam as-Suhaili mengatakan bahwa kata rûh itu mua‟nas karena rûh
itu bermakna nafs, kemudian rûh dinamakan al-Qur‟an menurut abu abbas karena
al-Qur‟an kehidupan dari kematian kekafiran maka kemudian al-Qur‟an
menghidupkan manusia seperti rûh yang menjadi penyebab hidupnya jasad.
Kemudian rûh bermakna jibril dan rûh bermakna Isa a.s. rûh juga diartikan
sebagai tiupan (الىفخ) karena rûh adalah angin yang keluar dari rûh itu sendiri,
kemudian rûh juga diartikan sebagai hukum-hukum Allah dan perintahNya.
Di dalam Kitab Lisân al-Arab, Ibnu Mandzûr menjelaskan kata )روح(
bermakna nafs, berbentuk muzakkar )مذكز( dan muannas )مؤوث(dengan jamaknya
dinisbatkan kepada malaikat dan jin dan )روحاوي( Sedangkan kata )ارواح(
jamaknya )الزوحاويون(.1
Kata rûh juga di jelaskan didalam Kitab Tâjul al-Arûs min Jauhari al-
Qamûs Imam adz-Zabadi menjelaskan asal kata rûh yang mempunyai banyak arti
secara bahasa, Seperti rûh dengan harakah fathah )روح( bermakna kesenangan
seperti dalam)رحمة( Juga terkadang bermakna rahmah .)والفزح( )والسزور( ,(الزاحة)
1 Abî Fadhli Jamaluddin Muhammad bin Makram Ibn Mandzûr, Lisân al-Arab (Beirut :
Dar Shâdir,1990) vol.2 h.455
26
ayat yusuf 87, juga terkadang diartikan sebagai kesejukan (بزد وسيم الزيح) angin
kesejukan. Juga terkadang diartikan sebagai keleluasaan (والسعة),
Kemudian ada kata )راح( dengan harakat fathah pada huruf ra dapat
diartikan dengan )اتساع بيه الزجليه( jarak antara dua paha atau kaki , dan jamaknya
dengan harakat dommah dan fathah dinisbatkan )روحاوي( Sedangkan kata .)رائح(
kepada )روح( rûh dan rawh )روح( yang dinisbatkan kepada malaikat dan jin.
Sedangkankan jamaknya )روحاويون(. selanjutnya kata )الزيح( bermakna angin atau
hawa yang berada dilangit dan dibumi dengan bentuk jamaknya )ارواح(. Ada yang
mengatakan )ارياح( Terkadang dimaknai dengan perkara yang baik )الشئ الطيب(
Selanjutnya kata )ريحان( yang bermakna pohon yang wangi, kata )الزاح(
yang bermakna khamr )الخمز( , juga terkadang bermakna bagian dalam telapak
tangan )بطه الكف( ,kata )اراح( yang bermakna air dan daging, dan bermakan juga
kematian)الموت( dan hidup )الحياة), kata )االرتياح( bermakna semangat )الىشا ط( dan
rahmat )الزحمة( , dan kata الزائحة()و bermakna angin yang sejuk, dan kata
.)المواريح( jamakny ,)وجذ( bermkana ditemukan)راح(2
Di dalam Kitab Mâ‟ariful al-Qur‟an, kata rûh di artikan sebagai sesuatu
yang menyebabkan manusia hidup, Allah Swt tidak memberitahukan kepada
siapapun dari makhluknya dan tidak memebri pengetahuan kepada hambanya.
Abu al-haisam mengatakan bahwa )الزوح) adalah nafs yang dengannya manusia
bernafas (hidup). Al-Juzaz di dalam tafsirnya mengatakan bahwa )الزوح) bermakna
wahyu, atau perkara kenabian,sedangkan al-Araby mengatakan )الزوح) adalah
kesenangan, al-Qur‟an, perkara agung, nafs.Sedangkan kata )روح) bermakna
2 Muhammad Murtadha Ibn Muhammad Husaini al-Zabîdi, Tâjul al-Arûs min Jauhari al-
Qâmus (Beirut : Dar al-Kitab al-Ilmiah,1999), vol.2 h.236
27
rahmat jamaknya )ارواح(. Dan yang dimaksud didalam pembahasan ini adalah kata
rûh yang bermakna nafs/jiwa yang berasal dari kata ارواح( –يزوح –راح ).3
Dan di dalam jurnal rûh menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, berasal dari huruf
yang sama yaitu ra,wq dan ha. Tetapi, penggunanan rûh lebih banyak merujuk
kepada nafs juga istilah bagi sesuatu yang menyebabkan hidup, bergerak,
memperoleh manfaat dan juga mengelak dari pada kemudharatan. Kata rûh
mempunyai pelbagai makna, rûh boleh diartikan dengan makna nyawa, malaikat
Jibril, satu malaikat yang besar yang apabila berdiri dengan satu shaf malaikat
yang lain, hembusaan angin. Nabi Isa al-Masih, kalam Allah Swt dan rahmat
Allah Swt.4
Kata rûh dan rawh dalam al-Qur‟an disebutkan sebanyak 22 kali, masing-
masing terdapat dalam 19 surat yang tersebar dalam 22 ayat. Amin Abdul Samad
mengatakan dalam karyanya yang berjudul memahami shalat khusyu,
bahwasannya kata rûh didalam tiga ayat mempunyai makna pertolongan atau
rahmat Allah Swt, dalam sebelas ayat bermakna Jibril dan dalam satu ayat
bermakna wahyu atau al-Qur‟an. Selain itu lima ayat lain, rûh mempunyai makna
yang berhubungan dengan aspek atau dimensi psikis dan ruh yang ada pada
manusia. Dalam buku rûh karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dijelaskan terdapat
lima arti kata rûh dalam al-Qur‟an. Diantaranya bermakna al-Wahyu yang
terdapat dalam QS. Ghâfir : 15, kemudian kata rûh juga dapat bermakna Jibril
seperti dalam QS. al-Shuarâ‟ : 101, QS. al-Baqarah : 91 dan QS. an-Nahl : 102.
3 Muhammad Farîd Wajdi, Ma‟ârif al-Qur‟ân (Beirut : al-Maktabah al-Ilmiyah,1995)
vol.2 cet.1 h.375 4 Rohaida Abdul Rahim, “Al-Ruh Menurut Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah” Jurnal
Ushuluddin, Bil 26 (2007): h. 150.
28
rûh juga dapat bermakna rûh yang ditanyakan oleh yahudi yaitu rûh yang telah
dikabarkan oleh Allah Swt akan dibangkitkan pada hari kiamat bersamaan dengan
para malaikat seperti dalam QS. an-Naba : 38 dan QS. al-Qadr : 4 dan rûh juga
bermakna al-Masih seperti QS. al-Nisa : 171, QS. al-Fajr : 37, QS al-Qiyâmah : 2,
QS. Yusuf : 53, QS. al-An‟âm : 93 dan QS. al-Shams : 8.5
Di dalam Kamus al-Munawwir kata rûh terkadang dimaknai dengan
wahyu )الوحي) dan juga terkadang diartikan sebagai Hukum Allah dan
perintahNya )حكم هللا وامزي( dan adakalanya diartikan Malaikat )المالك( dan juga kata
rûh dapat dimaknai sebagai Intisari, Hakikat )الخالصة( dan rûh al-Quds diartikan
sebagai Malaikat Jibril6. Sedangkan dalam Kamus Besar Indonesia (KBBI) rûh
diartikan sebagai sesuatu (unsur) yang ada dalam jasad yang diciptakan Tuhan
sebagai penyebab adanya hidup (kehidupan).7
Sedangkan kata Jiwa di dalam al-Qur‟an diwakili dengan kata nafs. Meskipun
makna nafs ini, secara umum bisa diartikan sebagai „diri‟. Penggunaan dengan
makna „Jiwa‟ ini difirmankan Allah Swt di dalam al-Qur‟an tidak kurang dari 31
kali. Sedangkan kata nafs (anfûs) yang bermakna „diri‟ difirmankan tidak kurang
dari 279 kali. Sementara itu, kata rûh di dalam al-Qur‟an di ulang-ulang oleh
Allah Swt sebanyak 20 kali. Jadi lebih sedikit dibandingkan dengan penggunaan
kata „jiwa‟ dan „diri‟. 8
Dalam al-Qur‟an kata rûh dinyatakan dalam beberapa term
5 Zaenatul Hakamah, “Ruh dalam perspektif al-Qur‟an dan Sains Modern” Universum
V.9 no.2 (Juli 2015): h.247. 6 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya : Pustaka
Progressif,1997), h.545. 7 Di akses dari https://kbbi.web.id./roh.html
8 Agus Mustofa, Menyelam Ke Samudera Jiwa dan Ruh (Surabaya : Padma Press,2015),
h. 7.
29
yakni dengan kata rūḥ )روح( , rûh al-Quds )روح القذس( dan rûh al-Amien روح(
.االميه(
Rûh menurut Syekh Muhammad Syaltût adalah kekuatan yang menghadirkan
kehidupan dalam alam yang hidup yang berupa tumbuh-tumbuhan, binatang dan
manusia.ia telah menguasai panca indera dan gerak pikiran dan akal, lalu ia di
sandarkan kepada binatang dan manusia.9Abû Hâmid al-Ghazâli mengemukakan
dua definisi tentang rûh. pertama, rûh suatu jisim yang halus yang berasal dari
rongga jantung yang menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh-pembuluh
nadi. Kedua, rûh adalah jisim halus yang dapat mengenal, yang disebutkan oleh
Allah Swt dalam firman-Nya “Mereka bertanya kepadamu tentang Rûh,
katakanlah, Rûh itu urusan Tuhanku.”(QS. al-Isra : 85). rûh menurut al-Ghazali
terbagi menjadi dua, pertama yaitu di sebut rûh hewani, yakni jauhar yang halus
yang terdapat pada rongga hati jasmani dan merupakan sumber kehidupan,
perasaan, gerak, dan penglihatan yang dihubungkan dengan anggota tubuh seperti
menghubungkan cahaya yang menerangi sebuah ruangan. Kedua, berarti nafs
natiqah, yakni memungkinkan manusia mengetahui segala hakekat yang ada. al-
Ghazâli berkesimpulan bahwa hubungan rûh dengan jasad merupakan hubungan
yang saling mempengaruhi. Di sini al-Ghazâli mengemukakan hubungan dari segi
maknawi karena wujud hubungan itu tidak begitu jelas. Lagi pula ajaran Islam
tidak membagi manusia dalam kenyataan hidupnya pada aspek jasad, akal atau
9 Muhammad Abdul Aziz al-Hillawi, Roh Itu Misterius (Jakarta : Cendikia Sentra
Muslim,2001), h.10.
30
ruh, tetapi ia merupakan suatu kerangka yang saling membutuhkan dan mengikat;
itulah yanmg dinamakan manusia.10
Sedangkan Javad Nurbakhsy berpendapat bahwa rûh adalah lapisan hati yang
menikmati titik pandang cahaya Allah Swt, yang pada bagian itu Allah Swt
memperlihatkan wujudNya tanpa tabir penghalang, hati merupakan kulit kerang
dan rûh adalah mutiara.11
Sedangkan menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah bahwa
kekuatan-kekuatan yang terdapat di badan juga di sebut rûh, sehingga rûh lah
yang melihat, mendengar dan lain-lain, tetapi secara khusus merupakan kekuatan
berma‟rifatullah, kembali kepadaNya, mencintaiNya dan keinginan untuk mencari
dan bersamaNya.12
Menurut Imam al-Alûsi mengenai rûh, beliau mengatakan bahwa rûh adalah
wujud cahaya tinggi yang hidup yang bertentangan dengan benda dari tubuh yang
realistis dimana ia berjalan di dalamnya seperti berjalannya air pada bunga
mawar, ia tidak dapat rusak dan tidak dapat terpisah, ia menambah kehidupan
tubuh dan kesegarannya selama tubuh layak untuk menerima pemberiannya.13
Sedangkan „Abd Ibnu Humaid dan Abu Syaikh meriwatkan dari Ibnu Abbâs
yang berkata bahwa rûh adalah ciptaan dari ciptaan Allah Swt dan Dia
membentuknya sebagaimana gambar bani Adam, dan tiada malaikat pun yang
turun dari langit kecuali ia bersama rûh. Kemudian ia membaca firmanNya, “dan
10
Diakses_dari_http://ppssn.malang.pesantren.web.id/cgibin/content.cgi/artikel/eksistensi
_ruhsingleartikel keislaman 11
Sudirman Tebba, Ruh Misteri Mahadahsyat (Bandung : Pustaka Hidayah,2004), cet.1.
h.36. 12
Rahmi Damis, “Falsafah Manusia dalam al-Qur‟an” Sipakalebbi‟ Vol.1 no.2
(Desember 2014): h.208. 13
Al-Alusi, , Rūḥ al-Ma'âni fi Tafsir al-Qur'anul al-Azhim wa Sab'ūl al-Matsâni (Beirut
: Dar al-Ihya, 1990), Juz ke 2. h.203.
31
pada hari ketika Rûh dan para malaikat bangkit”.14
Abû Syaikh juga
meriwayatkan dari sayyidina „Ali r.a bahwa ia berkata rûh adalah seorang
Malaikat yang mempunyai 70 ribu wajah dimana setiap wajah darinya memiliki
70 ribu nulut, setiap mulut darinya memiliki 70 ribu bahasa yang semuanya
bertasbih kepada Allah Swt dengan berbagai bahasa itu. Dan Allah Swt
menciptakan dari setiap tasbih seorang malaikat yang terbang bersama malaikat
sampai hari kiamat.
Adapun menurut Ibnu Anbari meriwayatkan dalam kitab al-Adhdâd dari
Mujâhid yang berkata bahwa rûh adalah ciptaan dari malaikat namun para
malaikat tidak melihat mereka sebagaimana kalian tidak melihat
malaikat.15
Muhammad Abduh menafsirkan kata rûh sebagai jisim latif yaitu suatu
yang bergerak dan menggerakkan.16
Para filosof yunani mengungkapkan makna rûh, seperti Anaximenes (585-
528) yang mengatakan bahwa rûh adalah udara yang halus sekali. Udara yang
halus inilah yang memelihara keutuhan badan, sekalipu akhirnya badan akan
hancur secara perlahan.17
Penafsiran rûh menurut Prof.Dr.M.Quraish Syihab, beliau menjelaskan di
dalam tafsir beliau yang berjudul Tafsir Al-Misbah, beliau mengatakan “banyak
ulama yang memahami kata rûh dalam arti potensi pada diri makhluk yang
menjadikan dapat hidup. Ada juga yang ulama yang memahami kata rûh dalam
14
Muhammad Abdul Aziz al-Hillawi, Roh Itu Misterius (Jakarta : Cendikia Sentra
Muslim,2001), h.100. 15
Ibid, h.101. 16
Zaenatul Hakamah, “Ruh dalam perspektif al-Qur‟an dan Sains Modern” Universum
V.9 no.2 (Juli 2015): h.244. 17
Wawan Hernawan, “Posisi Ruh dalam Realitas menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah”
Syifa al-Qulub Vol.1 no.2 (Januari 2017): h.76.
32
arti Jibril, atau malaikat tertentu yang sangat agung. Salah satu pendapat yang
wajar mendapat tempat adalah yang memahami kata rûh pada ayat ini adalah al-
Qur‟an. Muhammad Izzât Darwazah, salah seorang ulama kontermporer yang
menggunakan pendapat tersebut.
Thabâthabâ‟i membahas makna rûh yaitu sumber hidup yang dengannya
hewan (manusia dan binatang) merasa dan memiliki gerak yang dikehendakinya.
Ia juga digunakan untuk menunjuk hal-hal yang berdampak baik lagi diinginkan,
seperti ilmu yang dinilai sebagai kehidupan jiwa, sejalan dengan firmanNya QS.
al-An‟âm(6) : 122. 18
Atas dasar pemahaman makna rûh dengan hal-hal yang berdampak baik
lagi diinginkan itulah sehingga firmanNya dalam QS. an-Nahl(16) : 2 yang
menggunakan kata rûh dipahami dalam arti wahyu dan firmany-Nya QS. as-
Syûrâ(42) : 52 yang juga menggunakan kata rûh dipahami dalam arti al-Qur‟an
yang merupakan wahyu ilahi. Penamaan itu demikian, karena dengan wahyu dan
dengan al-Qur‟an jiwa yang mati bisa hidup, sebagaimana rûh dalam arti sumber
hidup menghidupkan jasad makhluk yang tidak bernyawa.
Selanjutnya Thabâthabâ‟i menggarisbawahi bahwa kata rûh berulang-
ulang di sebut pada ayat-ayat yang turun sebelum dan sesudah hijrah, tetapi tidak
ditemukan pada ayat-ayat itu pengertian yang bermakna sumber hidup. Di sisi
lain, sekian banyak ayat yang menggunakan kata rûh dan secara jelas
dimaksudkan adalah wahyu, seperti firmanNya dalam QS. ash-Shu‟arâ(26) : 193,
atau QS. al-Ma‟ârij(70) : 4, juga ada yang bermakna sesuatu yang dihembuskan
18 Muhammad Husein At-Thabathabâi, Al-Mīzan fi Tafsir al-Qur‟ân (Beirut : Dar al-
Fikr, 2002), h.176
33
pada diri manusia secara umum QS. al-Hijr(15) : 29, ada juga yang dianugerahkan
secara khusus kepada orang-orang mukmin seperti dalam QS al-Mujâdalah(58) :
22 dan lain-lain. kemudian beliau mengatakan bahwa dari sini Thabâthabâ‟i
berkesimpulan mengenai rûh adalah sedikit dari banyak, rûh mempunyai wilayah
dalam wujud ini, mempunyai kekhususan dan ciri-ciri serta dampak di alam raya
ini yang sungguh indah dan menganggumkan, tetapi ada tirai yang menghalangi
kamu mengetahuinya.19
Dr. Wahbah Zuhaili di dalam kitab tafsirnya yang
berjudul Tafsir al-Munîr para musyrikin akan menanyakan perihal mengenai
hakikat rûh kepadamu (Muhammad), yang menyebabkan badan menjadi hidup,
maka katakanlah rûh itu adalah urusan Tuhanku, adanya karena kekuasaanNya
dan pengetahuan mengenai rûh itu disamarkan, hanya Allah Swt yang
mengetahuinya dan tidak akan mampu siapapun selainNya, maka tidaklah
diberikan pengetahuan kalian mengenai rûh kecuali hanya sedikit. Sumber
mengetahui rûh dengan meyadari adanya rûh di dalam tubuh dan hanya apa yang
dirasakan oleh anggota tubuh,. Adapum selain itu maka kalian tidak akan mampu
mengetahuinya dan tidak ada seorang pun yang mengetahui hakikat rûh itu.20
Dan beliau mengatakan mengenai hakikat rûh, terdapat dua pendapat,
pendapat pertama bahwa rûh adalah dzat yang luas dan halus, dan jism nurani
bertentangan dengan tabiat jism yang mempunyai rasa, pendapat ini yang
dikemukakan oleh Fakhruddin ar-Râzi. Pendapat kedua mengatakan bahwa rûh
tidaklah berjism juga tidak berjasmani, ia lah dzat yang menyatu dengan badan,
19
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an (Jakarta :
Lentera Hati,2002) cet.1 h. 20
Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Muîīr fi al-Aqīdah wa al-Syarî‟ah wa al-Manhaj (Beirut :
Dar al-Fikr,2014) jilid. 7 h. 162.
34
yang menggerakan dan mengatur badan itu sendiri, pendapat ini dikemukakan
oleh al-Ghazâli dan Abi Qâsim al-Ashfahâni.21
Sedangkan Imam Fakhruddin ar-Râzi di dalam kitab tafsirnya yang
berjudul Mafâtih al-Ghaib menjelaskan tentang QS. al-Isra‟(17) : 85, bahwa
ketika Allah Swt menutup ayat sebelumnya “kullu ya‟malu ala sâkilatih” dan
bermaksud dengan ayat ini, yakni masalah dan macam-macam bentuk mengenai
rûh, kemudian beliau mengatakan “maka seharusnya kita membahas mengenai
inti rûh dan hakikat rûh itu sendiri”, dan beliau menjelaskannya dalam beberapa
masalah tentang rûh, pertama beliau menjelaskan bahwa para ahli tafsir
mempunyai beberapa pandangan mengenai rūḥ tetapi yang di maksud dengan rûh
disini adalah sebab kehidupan, dan beliau menjelaskan tentang asbâb an-
nuzûl(sebab turun)nya ayat ini, beliau memgatakan bahwa ketika para yahudi
berkata kepada kaum quraish “tanyakanlah kepada Muhammad dari tiga perkara,
maka apabila ia hanya memberitahukan dua dan tidak menjawab perihal yang
ketiga maka sungguh dia seorang nabi, tanyakanlah kepadanya mengenai ashabul
kahfi, dan mengenai zul qarnain, dan mengenai rûh,” maka mereka pun
menanyakan kepada Rasulullah Saw mengenai ketiga hal tersebut maka Nabi pun
menjawab “esok hari akan aku beritahukan kepada kalian” dan Nabi tidak
mengatakan insyaallah, maka pada saat itu wahyu terputus selama 40 hari
lamanya, barulah setelah itu turun wahyu “Dan janganlah kalian mengatakan
terhadap sesuatu “sesungguhnya aku akan melakukan itu esok, kecuali Allah Swt
menghendakinya” dan setelah itu Nabi menjelaskan kepada mereka mengenai
21
Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munîr fi al-Aqîdah wa al-Syarî‟ah wa al-Manhaj (Beirut :
Dar al-Fikr,2014) jilid. 7 h. 168.
35
kisah ashabul kahfi dan kisah zul qarnain, tetapi Nabi tidak memberitahukan
perihal mengenai rûh maka Allah Swt menurunkan ayat ini.22
Jabbabaie berpendapat bahwa rûh itu jisim dan bukan hidup, karena hidup
itu adalah sifat sedangkan rûh tidak boleh dari sifat. Aristoteles berkata bahwa rûh
adalah kekuatan yang mengarah kepada suatu tujuan tertentu yakni kekuatan yang
bersifat potensil menuju ke arah aktuil, pokok fungsinya yaitu berfikir dan
berkehendak(dichotomi). pada tiap-tiap benda(morphe) ada rûh yang tidak dapat
disebut sebagai benda.
Menurut Hasan dan Qatādah yang dimaksud dengan rūḥ adalah Jibril
sebagaimana yang dijelaskan oleh Hasan al-Basri di dalam Tafsirnya23
. Dalam al-
Qur‟an Jibril disebut dengan ar- rûh al-Amin sebagaimana firmanNya QS asy-
Syu‟ara(26) : 193
“Dia dibawa turun oleh Ar-rūḥ Al-Amin (Jibril).”(Q.S Asy-
Syu‟ara(26) : 193)
Dan di dalam al-Qur‟an term rûh dan Jiwa disebutkan dalam tempat yang
berbeda di dalam al-Qur‟an. Dan yang dimaksud di dalam pembahasan skripsi ini
memfokuskan terhadap masalah rûh dan hal-hal yang berkaitan seputar rûh.
Term rûh di dalam al-Qur‟an mempunyai beberapa arti dengan kata lain
mengammbarkan beberapa hal yang berbeda, di antaranya adalah untuk
mengambarkan sesuatu yang menyebabkan munculnya kehidupan pada benda-
22 Fakhruddin ar-Rāzi, Mafātih al-Ghaib (Beirut : Dar al-Ihya, 2012), h. 157
23
Hasan al-Basri, Tafsir al-Hasan al-Basri (Beirut : Dar al-Hadits, 1990), vol.2 h. 77.
36
benda yang tadinya mati, sekaligus menularkan sifat-sifat ketuhanan kepadanya,
dan kata rûh juga digunakan untuk menggambarkan malaikat, dalam bentukan
kata rûh al-Quds dan rûh al-Amīn.
Kata rûh yang mengammbarkan sesuatu yang menyebabkan munculnya
kehidupan pada benda-benda yang tadinya mati, seperti dalam QS. as-Sajadah(32)
: 9 dan di dalam QS. al-Hijr(15) : 29
“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh
(ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.”(Q.S As-
Sajadah(32) : 9)
“Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah
meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu
kepadanya dengan bersujud.” (Q.S Al-Hijr(15) : 29)
Dengan rûh itulah manusia menjadi memiliki kehendak bergerak. Dengan
itu pula manusia bisa berilmu pengetahuan. Dengan rûh itu pula ia menjadi
bijaksana, memiliki perasaan cinta , dan kasih sayang serta berbagai sifat
ketuhanan, dalam skala manusia, ya rûh adalah Dzat yang menjadi media
penyampai sifat-sifat ketuhanan di dalam kehidupan manusia.
B. Perbedaan Rûh dengan Nafs
Informasi mengenai kata rûh dan nafs/jiwa tersebar di dalam al-Qur‟an dalam
kadar yang berbeda. Perbedaan itu terkait dengan jumlah ayat yang
menerangkannya maupun makna dalam penggunaanya.
37
Pendapat tentang persamaan rûh dan Jiwa di kemukakan oleh Ibnu
Qayyim al-Jauziyah, seorang tokoh pemikir Islam murid pemikir terkenal Ibnu
Taimīyah, di dalam bukunya yang berjudul ar- rûh lil Ibnil Qayyîm yang
diterjemahkan dalam judul rûh beliau mengatakan bahwa rûh adalah bentuk lain
dari jiwa atau sebaliknya, Jiwa bentuk lain dari rûh itu sendiri.24
al-Jawhâri dalam memberi makna pada salah satu syair di mana terdapat
kalimat an-Nafs yang di katakan bermaksud diri (ayn). Walau bagaimanapun Ibnu
Qayyim lebih cenderung kepada makna rûh. Oleh itu, maksudnya an-Nafs adalah
ar- rûh. Beliau membawa dalil dari pada ayat al-Qur‟an dari pada surah an-Nûr
ayat 61, surat an-nahl ayat 111, Surah al-Mudhatsir ayat 38, Surah al-Fajr ayat 27,
Surah al-An‟am ayat 93, dan Surah Yusuf ayat 53. Beliau menyatakan bahwa rûh
dicabut dari pada jasad dan menyebabkan kematian ialah an-Nafs. Sementara
kekuatan yang terdapat pada jasad di sebut sebagai rûh al-bashîrah (kekuatan
melihat), rûh as-Sâmi‟( kekuatan mendengar), rûh as-Sham(kekuatan berbicara)
dan sebagainya.
Berbeda dengan para filosof pada umumnya seperti Ikhwan al-Shafâ dan
Mc Dodald yang yang menyamakan antara rûh dan jasad. Sedangkan Abu Bakar
al-Anbari menekankan pada aspek kebahasaan yang mana kata rûh digunakan
untuk mudhakkar (bentuk laki-laki) dan nafs untuk muannas (bentuk perempuan).
Dengan demikian mengutip disertasi Abdul Mujib tentang rûh yang tinjau dari
segi psikologi, maka rûh adalah substansi tersendiri yang dapat berdiri sendiri dari
jasad. Sedangkan, jiwa adalah gabungan antara rûh dan jasad. Hal ini sesuai
24
Agus Mustofa, Menyelam Ke Samudera Jiwa dan Ruh (Surabaya : Padma Press,2015),
h. 5.
38
dengan QS. al-Imran : 185 , yang mana seseorang yang berjiwa atau mempunyai
nafs (yaitu gabungan antara jasad dan rûh), maka ia kan menemui kematian.25
Sedangkan Kata nafs yang berakar dari huruf na, fa dan sa yang berarti
keluarnya angin atau keluar dan masuknya angin lewat mulut dan hidung. Abdul
Karîm Khâtib mengatakan bahwa nafs adalah sesuatu yang merupakan hasil
perpaduan antara jasmani dan rohani manusia, perpaduan ini yang menjadikan
manusia mengenal perasaan, emosi, pengetahuan dan membedakan manusia
dengan yang lainnya. Dan bila di perhatikan kata nafs yang sebanyak 75 kali
dalam al-Qur‟an mempunyai makna yang bergama:
1. Diri Tuhan seperti QS. al-An‟am(6) : 12.
2. Hati seperti QS. al-Isra(17) : 25.
3. Jenis seperti QS. al-Taubah(9) : 128.
4. rûh seperti dalam QS al-Zumar(39) : 42.
5. Totalitas Manusia seperti QS. al-Maidah(5) : 32.
Berbeda dengan kata rûh, tidak ditemukan pengertian yang menunjukan
diri manusia. Dari sekian banyak ayat al-Qur‟an yang mempersonafikasikan
wujud seorang manusia di hadapan Allah Swt dan di dalam masyarakat dengan
menggunakan kata nafs seperti pembunuhan yang terjadi atas diri seseorang QS.
al-Maidah(5) : 32. Selain itu, ditemukan pula gambaran bahwa nafs itu ada tiga
macam yaitu nafs ammarah, nafs lawwamah dan nafs mutmainnah.
Ibnu Sina mendefinisikan rûh sama dengan jiwa (nafs). Menurutnya, jiwa
adalah kesempurnaan awal, karena dengannya spesies (jins) menjadi sempurna
25
Zaenatul Hakamah, “Ruh dalam perspektif al-Qur‟an dan Sains Modern” Universum
V.9 no.2 (Juli 2015): h.247.
39
sehingga menjadi manusia yang nyata. Jiwa (rûh) merupakan kesempurnaan awal,
dalam pengertian bahwa ia adalah prinsip pertama yang dengannya suatu
spesies (jins) menjadi manusia yang bereksistensi secara nyata. Artinya, jiwa
merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh. Sebab, tubuh sendiri merupakan
prasyarat bagi definisi jiwa, lantaran ia bisa dinamakan jiwa jika aktual di dalam
tubuh dengan satu perilaku dari berbagai perilaku8 dengan mediasi alat-alat
tertentu yang ada di dalamnya, yaitu berbagai anggota tubuh yang melaksanakan
berbagai fungsi psikologis. Ibnu Sina membagi daya jiwa (rûh) menjadi 3 bagian
yang masing-masing bagian saling mengikuti, yaitu:
1. Jiwa (rûh) tumbuh-tumbuhan, mencakup daya-daya yang ada pada manusia,
hewan dan tumbuh-tumbuhan. Jiwa ini merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh
yang bersifat alamiah dan mekanistik, baik dari aspek melahirkan, tumbuh dan
makan.
2. Jiwa (rûh) hewan, mencakup semua daya yang ada pada manusia dan hewan. Ia
mendefinisikan ruh ini sebagai sebuah kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah
yang bersifat mekanistik dari satu sisi, serta menangkap berbagai parsialitas dan
bergerak karena keinginan.
Jiwa (rûh) rasional, mencakup daya-daya khusus pada manusia. Jiwa ini
melaksanakan fungsi yang dinisbatkan pada akal. Ibnu Sina mendefinisikannya
sebagai kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik, dimana
ûpada satu sisi ia melakukan berbagai perilaku eksistensial berdasarkan ikhtiar
40
pikiran dan kesimpulan ide, namun pada sisi lain ia mempersepsikan semua
persoalan yang bersifat universal.26
Sedangkan menurut Abu Hâmid al-Ghazâli, kata nafs mengandung dua
arti:
1. Jiwa yang menyatukan antara daya dan amarah dengan daya nafsu, jiwa yang
selalu mendorong kepada kejahatan (an-nafs al-ammârah bi sū)
2. Jiwa dan esensi manusia yang di rujuk sebagai ammârah bi s, lawwâmah,
muthmainnah,27
Sedangkan menurut Robert Frager¸ nafs merupakan proses yang di
hasilkan oleh interaksi antara dan jasad, bukan struktur psikologis yang bersifat
statis. Sama sekali tidak ada yang salah dengan rûh dan jasad. Namun proses yang
dihasilkan kedua nya dapat saja menyimpang.
Ketika rûh memasuki jasad, ia terbuang dari asalnya yang bersifat
immateri, kemudian nafs pun mulai terbentuk. Dengan demikian, rûh menjadi
terpenjara di dalam materi dan menyerap aspek-aspeknya. Karena nafs berakar
dalam jasad dan rûh, maka ia mencakup kecenderungan material dan spritual.
Pada mulanya aspek material mendominasi nafs, sehingga nafs tertarik kepada
kesenangan dan keuntungan duniawi. Apa yang bersifat alamiah selalu cenderung
tertarik kepada dunia materi. Ketika nafs mengalami transformasi, ia menjadi
lebih tertarik kepada Tuhan dan kurang tertari kepada dunia. Jadi, nafs berubah
26
Diakses_dari_http://pssnhmalangpesantren.web.id/cgibin/content.cgi/artikel/eksistensi_
ruhsingleartikelkeislaman 27 Al-Ghazāli, Ihya al-Ulumuddin ( Beirut : Dar Ma'rifah, 1998), Juz ke 3. h.158
41
ubah dan dan berkembang dari satu tingkatan ke tingkatan lainnya. 28
Makna Jiwa
di dalam al-Qur‟an dijelaskan dalam QS az-Zumar(39) : 42.
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang)
jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa
(orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa
yang lain sampai waktu yang ditetapkan[1313]. Sesungguhnya pada yang
demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang
berfikir”.(Q.S Az-Zumar(39) : 42)
Ayat di atas memberikan pemahaman kepada kita tentang makna Jiwa.
Bahwa Jiwa adalah sesuatu yang bisa ada dan tidak ada, atau bisa keluar dan
masuk pada seorang manusia ketika dia masih hidup QS. asy-Syam(91) : 7-10
“(7)Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya)(8)Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya(9)Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu(10)Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”.(Q.S
Asy-Syam(91) : 7-10)
Dengan tegas Allah menjelaskan bahwa jiwa mengalami penyempurnaan.
Ia dihadirkan pertama kalinya dengan kondisi yang lemah, jauh dari sempurna.
setelah melewati proses kehidupan, pengalaman, pembelajaran, maka jiwa akan
menjadi sempurna padausia dewasanya.
28
Sudirman Tebba, Misteri Mahadahsyat (Bandung : Pustaka Hidayah,2004), cet.1. h.16-
17.
42
Dalam proses penyempurnaan itu jiwa bisa mengarah kepada kebaikan,
atau sebaliknya pada keburukan. Dalam istilah ayat di atas manusia bisa
membersihkan jiwanya, atau mengotorinya. Jika membersihkan jiwa, maka
beruntunglah kita. Karena jiwa yang bersih akan memberikan manfaat kepada
manusia itu saat hidup di dunia maupun di akhirat nanti. Sedangkan orang yang
mengotorinya bakal merugi, karena jiwa yang kotor itu akan memunculkan
masalah dan penderitaan sepanjang kehidupannya di dunia sampai akhirat.29
Jiwa
mempunyai beberapa tingkatan yang harus di lalui:
1. Pelatihan lahiriah melalui pelaksanaan hukum-hukum ilahi yang berupa shalat dan
puasa serta lain-lainya.
2. Pelatihan batiniah melalui usaha menghilangkan sifat-sifat tercela.
3. Menghiasi jiwa dengan berbagai gambar yang suci.
4. Kefanaannya dala Dzat Ilahi serta penyaksiaan kebesaran Tuhan semesta alam.30
Ada tiga hal yang menyebabkan rûh dan jiwa berbeda. Pertama, karena
substansinya. Yang kedua, karena fungsinya. Dan yang ketiga, karena sifatnya.
Perbedaan yang pertama, pada substansinya. Jiwa dan rûh berbeda dari
segi kualitas „dzatnya‟. Jiwa di gambarkan sebagai dzat yang bisa berubah-ubah
kualitas naik dan turun, jelek dan baik, kotor dan bersih, dan sseterusnya.
Sedangkan rûh digambarkan sebagai dzat yang selalu baik dan suci, berkualitas
tinggi. Bahkan digambarkan sebagai turunan dari Dzat Ketuhanan.
29
Agus Mustofa, Menyelam Ke Samudera Jiwa dan Ruh (Surabaya : Padma Press,2015),
h. 14-16 30
Muhammad Abdul Aziz al-Hillawi, Roh Itu Misterius (Jakarta : Cendikia Sentra
Muslim,2001), h.116-121
43
Perbedaan yang kedua, antara jiwa dan rûh adalah pada fungsinya. Jiwa
digambarkan sebagai sosok yang bertanggungjawab atas segala perbuatan
kemanusiaanya. Bukan rūḥ yang bertanggung jawab atas segala perbuatan
manusia, melainkan jiwa. Sedangkan rûh adalah dzat yang selalu baik dan
berkualitas tinggi. Sebaliknya hawa nafsu adalah dzat yang berkualitas rendah dan
selalu mengajak kepada, keburukan. Sedangkan Jiwa adalah dzat yang bisa
memilih kebaikan atau keburukan tersebut. Maka jiwa harus bertanggungjawab
terhadap pilihan itu.
Dan yang ketiga, perbedaan itu ada pada sifatnya. Jiwa bisa merasakan
kesedihan, kekecewaaan, kegembiraan, kebahagiaan, ketentraman, ketenangan,
dan kedamaian. Sedangkan rûh bersifat stabil dalam kebaikan tanpa mengenal
perbandingan. rûh adalah kutub positif dari sifat kemanusiaan. Sebagian lawan
dari sifat setan yang negatif.
C. Ayat-Ayat Tentang Rûh dalam al-Qur‟an
Penulis membuat table ayat-ayat mengenai rûh di dalam al-Qur‟an untuk
mempermudah para pembaca dalam membedakan makna kata rûh di dalam al-
Qur‟an, sebagai berikut :
44
NO
NAMA SURAT
AYAT
TERJEMAH
I
1
2
Kata Rûh yang di
artikan sebagai sesuatu
(unsur) yang ada dalam
jasad yang di ciptakan
Tuhan sebagai penyebab
adanya hidup
(kehidupan).
QS.an-Nisa(4) : 171
QS al-Hijr(15) : 29
“Wahai ahli Kitab,
janganlah kamu melampaui
batas dalam agamamu, dan
janganlah kamu mengatakan
terhadap Allah kecuali yang
benar. Sesungguhnya Al
Masih, Isa putera Maryam itu,
adalah utusan Allah dan (yang
diciptakan dengan) kalimat-
Nya yang disampaikan-Nya
kepada Maryam, dan (dengan
tiupan) roh dari-Nya. Maka
berimanlah kamu kepada Allah
dan rasul-rasul-Nya dan
janganlah kamu mengatakan:
"(Tuhan itu) tiga", berhentilah
(dari Ucapan itu). (Itu) lebih
baik bagimu. Sesungguhnya
Allah Tuhan yang Maha Esa,
Maha suci Allah dari
mempunyai anak, segala yang
di langit dan di bumi adalah
kepunyaan-Nya. cukuplah
Allah menjadi
Pemelihara.”(QS.an-Nisa :
171)
“Maka apabila aku
telah menyempurnakan
kejadiannya, dan telah meniup
kan kedalamnya ruh (ciptaan)-
Ku, Maka tunduklah kamu
kepadanya dengan
bersujud”.(QS al-Hijr(15) :
29)
45
3
4
5
6
7
QS al-Isra(17) : 85
QS. al-Anbiyâ(21) : 91
QS as-Sajadah(32) : 9
QS. Shâd(38) : 72
QS at-Tahrîm(66) : 12
“Dan mereka bertanya
kepadamu tentang roh.
Katakanlah: "Roh itu
Termasuk urusan Tuhan-ku,
dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan
sedikit".(Q.S Al-Isra(17) : 85
“Dan (ingatlah kisah)
Maryam yang telah
memelihara kehormatannya,
lalu Kami tiupkan ke dalam
(tubuh)nya ruh dari Kami dan
Kami jadikan Dia dan anaknya
tanda (kekuasaan Allah) yang
besar bagi semesta alam.”(QS.
al-Anbiya(21) : 91)
“Kemudian Dia
menyempurnakan dan
meniupkan ke dalamnya roh
(ciptaan)-Nya dan Dia
menjadikan bagi kamu
pendengaran, penglihatan dan
hati; (tetapi) kamu sedikit
sekali bersyukur.”(QS As-
Sajadah(32) : 9)
“Maka apabila telah
Kusempurnakan kejadiannya
dan Kutiupkan kepadanya roh
(ciptaan)Ku; Maka hendaklah
kamu tersungkur dengan
bersujud kepadaNya".(QS
Shad(38) : 72
“Dan (ingatlah) Maryam
binti Imran yang memelihara
kehormatannya, Maka Kami
tiupkan ke dalam rahimnya
sebagian dari ruh (ciptaan)
Kami, dan Dia membenarkan
kalimat Rabbnya dan Kitab-
KitabNya, dan Dia adalah
46
II.
1
2
Kata Rûh yang
menunjukan Malaikat
Jibril
QS. al-Baqarah(2) : 87
QS al-Baqarah(2) : 253
Termasuk orang-orang yang
taat”.( QS at-Tahrim(66) : 12)
“Dan Sesungguhnya Kami
telah mendatangkan Al kitab
(Taurat) kepada Musa, dan
Kami telah menyusulinya
(berturut-turut) sesudah itu
dengan rasul-rasul, dan telah
Kami berikan bukti-bukti
kebenaran (mukjizat) kepada
Isa putera Maryam dan Kami
memperkuatnya dengan Ruhul
Qudus[69]. Apakah Setiap
datang kepadamu seorang
Rasul membawa sesuatu
(pelajaran) yang tidak sesuai
dengan keinginanmu lalu kamu
menyombong; Maka beberapa
orang (diantara mereka) kamu
dustakan dan beberapa orang
(yang lain) kamu bunuh.”(QS
al-Baqarah(2) : 87)
“Rasul-rasul itu Kami
lebihkan sebagian (dari)
mereka atas sebagian yang
lain. di antara mereka ada
yang Allah berkata-kata
(langsung dengan dia) dan
sebagiannya Allah
meninggikannya[158]
beberapa derajat. dan Kami
berikan kepada Isa putera
Maryam beberapa mukjizat
serta Kami perkuat Dia dengan
Ruhul Qudus[159]. dan kalau
Allah menghendaki, niscaya
tidaklah berbunuh-bunuhan
orang-orang (yang datang)
sesudah Rasul-rasul itu,
sesudah datang kepada mereka
47
3
QS al-Maidah(10) : 110
beberapa macam keterangan,
akan tetapi mereka berselisih,
Maka ada di antara mereka
yang beriman dan ada (pula)
di antara mereka yang kafir.
seandainya Allah
menghendaki, tidaklah mereka
berbunuh-bunuhan. akan tetapi
Allah berbuat apa yang
dikehendaki-Nya.”(QS al-
Baqarah(1) : 253)
“(ingatlah), ketika Allah
mengatakan: "Hai Isa putra
Maryam, ingatlah nikmat-Ku
kepadamu dan kepada ibumu
di waktu aku menguatkan kamu
dengan Ruhul qudus. kamu
dapat berbicara dengan
manusia di waktu masih dalam
buaian dan sesudah dewasa;
dan (ingatlah) di waktu aku
mengajar kamu menulis,
hikmah, Taurat dan Injil, dan
(ingatlah pula) diwaktu kamu
membentuk dari tanah (suatu
bentuk) yang berupa burung
dengan ijin-Ku, kemudian
kamu meniup kepadanya, lalu
bentuk itu menjadi burung
(yang sebenarnya) dengan
seizin-Ku. dan (ingatlah) di
waktu kamu menyembuhkan
orang yang buta sejak dalam
kandungan ibu dan orang yang
berpenyakit sopak dengan
seizin-Ku, dan (ingatlah) di
waktu kamu mengeluarkan
orang mati dari kubur
(menjadi hidup) dengan seizin-
Ku, dan (ingatlah) di waktu
aku menghalangi Bani Israil
(dari keinginan mereka
membunuh kamu) di kala kamu
mengemukakan kepada mereka
keterangan-keterangan yang
nyata, lalu orang-orang kafir
diantara mereka berkata: "Ini
48
4
5
6
7
8
QS an-Nahl(16) : 102
QS Maryam(19) : 17
QS asy-Syu’âra(26) : 193
QS al-Ma’ârij(70) : 4
QS an-Naba(78) : 38
tidak lain melainkan sihir yang
nyata".”(Q.S Al-Maidah(5) :
110
“Katakanlah: "Ruhul
Qudus (Jibril) menurunkan Al
Quran itu dari Tuhanmu
dengan benar, untuk
meneguhkan (hati) orang-
orang yang telah beriman, dan
menjadi petunjuk serta kabar
gembira bagi orang-orang
yang berserah diri (kepada
Allah)".(Q.S An-Nahl(16) :
102)
“Maka ia Mengadakan
tabir (yang melindunginya)
dari mereka; lalu Kami
mengutus roh Kami[901]
kepadanya, Maka ia menjelma
di hadapannya (dalam bentuk)
manusia yang sempurna.”(QS
Maryam(19) : 17)
“Dia dibawa turun oleh Ar-
Ruh Al-Amin (Jibril).”(QS
asy-Syu’āra(26) : 193)
“Malaikat-malaikat dan
roh (Jibril) naik (menghadap)
kepada Tuhan dalam sehari
yang kadarnya limapuluh ribu
tahun”.(QS Al-Ma’āarij(70) :
4)
“Pada hari, ketika ruh
dan Para Malaikat berdiri
bershaf- shaf, mereka tidak
berkata-kata, kecuali siapa
yang telah diberi izin
49
9
III
1
2
Q.S Al-Qadr(97) : 4
Kata Rûh yang
menunjukan Wahyu/al-
Qur’an
Q.S an-Nahl(16) : 2
Q.S al-Ghâfir(40) : 15
kepadanya oleh Tuhan yang
Maha Pemurah; dan ia
mengucapkan kata yang
benar.”(Q.S An-Naba(78) : 38)
“Pada malam itu
turun malaikat-malaikat dan
roh Malaikat Jibril dengan izin
Tuhannya untuk mengatur
segala urusan.”(Q.S Al-
Qadr(78) : 4)
“Dia menurunkan
Para Malaikat dengan
(membawa) roh (wahyu)
dengan perintah-Nya kepada
siapa yang Dia kehendaki di
antara hamba-hamba-Nya,
Yaitu: "Peringatkanlah olehmu
sekalian, bahwasanya tidak
ada Tuhan (yang hak)
melainkan Aku, Maka
hendaklah kamu bertakwa
kepada-Ku".(Q.S An-Nahl(16)
: 2)
“(Dialah) yang Maha Tinggi
derajat-Nya, yang menurunkan
roh (wahyu) kepada siapa
yang dikehendaki-Nya di
antara hamba-hamba-Nya,
supaya Dia memperingatkan
(manusia) tentang hari
Pertemuan (hari kiamat)”.(Q.S
al-Ghāfir(40) : 15
50
3
IV
1
Q.S asy-Shûra(42) : 52
Kata Rûh yang
menunjukan arti
Pertolongan Allah Swt
QS al-Mujādalah(58) : 22
“Dan Demikianlah Kami
wahyukan kepadamu ruh (Al
Quran) dengan perintah kami.
sebelumnya kamu tidaklah
mengetahui Apakah Al kitab
(Al Quran) dan tidak pula
mengetahui Apakah iman itu,
tetapi Kami menjadikan Al
Quran itu cahaya, yang Kami
tunjuki dengan Dia siapa yang
Kami kehendaki di antara
hamba-hamba kami. dan
Sesungguhnya kamu benar-
benar memberi petunjuk
kepada jalan yang lurus”.(QS
asy-Syuura(42) : 52)
“Kamu tak akan mendapati
kaum yang beriman pada Allah
dan hari akhirat, saling
berkasih-sayang dengan
orang-orang yang menentang
Allah dan Rasul-Nya,
Sekalipun orang-orang itu
bapak-bapak, atau anak-anak
atau saudara-saudara ataupun
keluarga mereka. meraka
Itulah orang-orang yang telah
menanamkan keimanan dalam
hati mereka dan menguatkan
mereka dengan ruh
pertolongan yang datang
daripada-Nya. dan dimasukan-
Nya mereka ke dalam surga
yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai, mereka kekal di
dalamnya. Allah ridha
terhadap mereka, dan
merekapun merasa puas
51
V
1
VI
1
Kata Rūḥ yang
menunjukan arti
Rahmat Allah Swt
QS. Yusuf(12) : 87
Kata Rûh yang
menunjukan arti
Ketenteraman
QS. al-Wâqi’ah(56) : 89
terhadap (limpahan rahmat)-
Nya. mereka Itulah golongan
Allah. ketahuilah, bahwa
Sesungguhnya hizbullah itu
adalah golongan yang
beruntung”.( QS al-
Mujādalah(58) : 22)
“Hai anak-anakku,
Pergilah kamu, Maka carilah
berita tentang Yusuf dan
saudaranya dan jangan kamu
berputus asa dari ruh (
rahmat) Allah. Sesungguhnya
tiada berputus asa dari rahmat
Allah, melainkan kaum yang
kafir".(QS. Yusuf(12) : 87)
“Maka Dia memperoleh(rawh)
ketenteraman dan rezki serta
jannah kenikmatan”.(QS. al-
Wāqi’ah(56) : 89)
52
BAB IV
PENAFSIRAN RȖḤ DALAM AL-QUR’AN MENURUT ‘ABDUL QÂDÎR
AL-JÎLÂNÎ DALAM TAFSIR AL-JÎLÂNÎ
A. Pengertian Kata Rûh dalam al-Qur‟an
Kata rûh di dalam al-Qur‟an diulang sebanyak 22 dengan kata ُ(حُ وُ )ر di ulang
sebanyak 20 kali dan dengan ُ(حُ وُ )ر sebanyak 2 kali.1 Dan kata rûh mempunyai
banyak makna yang tersebar dibeberapa ayat di dalam al-Qur‟an, dan dapat
diartikan sebagai sumber kehidupan/nyawa, Malaikat Jibril, wahyu atau al-
Qur‟an, rahmat Allah Swt, pertolongan Allah Swt dan ketentaraman jiwa.
Dan ayat-ayat dengan menggunakan kata rûh tersebar dalam QS. al-
Baqarah(2) : 87, QS. al-Baqarah(2) : 253, QS. an-Nisa(4) : 171, QS. al-Mâidah(5)
: 110, QS. Yusuf(12) : 87, QS. al-Hijr(15) : 29, QS. an-Nahl(16) : 2, QS. an-
Nahl(16) : 102, QS. al-Isra‟(17) : 85, QS. Maryam(19) : 17, QS. al-Anbiyâ(21) :
91, QS. as-Syua‟râ(26) : 193, QS. as-Sajadah(32) : 9, QS. Shâd(38) : 72, QS. al-
Ghâfir(40) : 15, QS. as-Shûra(42) : 52, QS. al-Wâqi‟ah(56) : 89, QS. al-
Mujâdalah(58) : 22, QS. at-Tahrim(66) : 12, QS. al-Maâ‟rij(70) : 4, QS. an-
Naba(78) : 38, QS. al-Qadr(97) : 4.
Dari beberapa ayat mengenai rûh di dalam al-Qur‟an , Syekh „Abdul Qâdir al-
Jîlânî seorang ulama kharismatik yang dikenal dengan gelar Sulthonul
auliya(rajanya para wali), menjelaskan di dalam kitab tafsirnya yang berjudul
Tafsir al-Jîlânî al-Ghâus al-Rabbâni wa al-Imâm as-Samadâni dalam QS. al-
Isra‟(17) : ayat 85.
1 Muhammad Fuâd Abdul al-Bâni, Al-Mu‟jam Al-Mufahras lil Alfâdzil al-Qur‟ânul al-
Karîm (Beirut : Dar al-Fikr,1981), h.326
53
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Rūḥ
itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit".(Q.S Al-Isra‟(17) : 8)
Beliau menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan Allah Swt kepada Nabi
Muhammad Saw untuk memberitahukan kepada Nabi Muhammad Saw bahwa
kaum Nasrani dan Yahudi dan kaum yang yang laiinya sebelum Nabi
Muhammad Saw terpecah belah akibat dari menanyakan perihal tentang rûh.
Beliau mengatakan rûh yang ditanyakan dalam ayat ini adalah dzat yang menyatu
dengan jasad dan yang menjadi sumber penghidup/penggerak jasad itu sendiri,
baik bergeraknya dengan diatur maupun dengan kehedak nya sendiri. Dan apabila
dzat(rûh) itu berpisah dengan jasad maka jasad akan mati dan tidak akan dapat
bergerak dan hilang semua apa yang dirasakan oleh jasad. Beliau menegaskan
kembali bahwa yang ditanyakan oleh orang-orang saat itu adalah dzat rûh itu dan
bagaimana menyatu dengan jasad dan juga bagaimana hubungan dengan jasad itu
sendiri dan bagaimana ketika rûh berpisah dengan jasad.2
Dan selanjutnya Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan mengenai dzat
rûh, juga bagaimana rûh menyatu dengan jasad dan bagaimana rûh berpisah
dengan jasad adalah rahasia Allah Swt. dan perihal rûh itu merupakan dalil atau
petunjuk ketika Allah Swt ingin menjadikan sesuatu dengan seketika, maka itu hal
yang mudah bagiNya, sehingga persoalan mengenai bagaimana adanya rûh dan
terpisah nya rûh dari jasad adalah sesuatu yang hanya diketahui Allah Swt dan
2 „Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet .2
jilid. 1 h. 40-44.
54
tidak seorang pun yang dapat mengetahuinya. sehingga di akhir ayat Allah Swt
menegaskan bahwa manusia tidaklah diberikan pengetahuan mengenai inti rûh
dan hal yang berkaitan dengan rûh, tetapi hanyalah sedikit yakni hanya penjelasan
mengenai rûh bukan zat rûh itu sendiri. Beliau juga mengatakan bahwa manusia
hanya dapat mempelajari sesuatu sesuai dengan kapasitas dan kemampuan yang
terbatas. Dan Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan juga di akhir ayat ini
dengan mengatakan bahwa para ahli mukasyifīn (para orang sholeh yang
tersingkap hijab nya) berkata “adanya sesuatu di dunia ini, kemudian hidup dan
berkembangnya itu adalah rahasia yang mustahil yang dapat dipelajari di
karenakan keterbatasan kemampuan manusia yang diberikan oleh Allah Swt.3
Dan dalam ayat lain yang berkaitan rûh sebagai sumber atau sebab
kehidupan yaitu di dalam QS. al-Hijr(15) : 29, ayat yang menceritakan tentang
penciptaan manusia pada awalnya, Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan ayat
ini dengan mengatakan bahwasanya Allah Swt telah menyempurnakan bentuk
jasad manusia dari tanah yang kering yaitu tanah yang hitam juga menyengat bau
nya lalu menciptakan jin dari sejenisnya yang diciptakan sebelum manusia dari
unsur yang kualitasnya di bawah unsur manusia, yang terbuat dari api yang sangat
panas. Kemudian Allah Swt berfirman kepada para malaikat-Nya bahwa Dia telah
menciptakan manusia dengan sedemikian itu, maka ketika telah sempurna bentuk
manusia yang Allah Swt ciptakan, kemudian Allah Swt memercikan percikan rûh
(cahaya wujud-Nya) ke dalam ciptaan itu, agar nanti kelak manusia itu hidup
karena adanya unsur maha hidupnya Allah Swt, dan sebagai media atau wakil
Allah Swt untuk memperlihatkan seluruh nama-nama-Nya dan sifat-sifatNya di
3 „Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet .2
jilid. 1 h. 40-44.
55
dunia. Dan saat itu pun para malaikat sujud atas perintah-Nya sebagai bentuk
penghormatan tanpa ada interupsi apapun kepada Allah Swt, kecuali iblis yang
enggan untuk melakukan sujud karena menganggap dirinya lebih baik dari pada
manusia, karena diciptakan dari unsur yang yang lebih baik oleh Allah Swt di
bandingkan dengan unsur pencpitaan manusia.4
Selanjutnya ayat mengenai rûh dalam arti sebab kehidupan terdapat di
dalam QS. as-Sajadah(32) : 9, ayat yang juga menjelaskan penciptaan manusia
dari unsur tanah sampai di tiupkan rûhNya, beliau Shultonul auliya Syekh „Abdul
Qâdir al-Jîlânî menjelaskan ayat ini bahwasannya Allah Swt adalah Tuhan yang
menyempurnakan segala sesuatu yang diciptakanNya melalui kekuasaaNya dan
kehendakNya. Kemudian menciptakan manusia dari unsur tanah terlebih dahulu,
sebab tanah adalah unsur pertama yang ada di alam materi (dunia). Lalu Allah
Swt menjadikan keturunan manusia dari air mani yang bersifat hina dan kotor,
dan ketika Allah Swt telah menjadikan bentuk manusia yang pertama (adam) dan
menciptakan keturunannya melalui air mani dari manusia yang pertama (adam),
kemudian Allah Swt memperkuat dan menyempurnakan bentuk manusia itu
dengan bentuk paling sempurna lalu Allah Swt meniupkan rûhNya yaitu
menggabungkan unsur DzatNya (sebagai bentuk keistimewaan dan petunjuk
bahwa manusia adalah ciptaan yang luar biasa dan untuk memberitahukan bahwa
manusia mempunyai unsur yang berhubungan dengan Hadrah Rubûbiah), yaitu
menghimpun seluruh sifat-sifat dan nama-namaNya untuk menyempurnakan
kedudukan untuk wakilnya (manusia) di dunia dan agar menjaga hak-hak-Nya
sehingga manusia berakhlak dengan akhlak-Nya. selanjutnya Allah Swt
4 „Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet .2
jilid. 1 h. 441-442.
56
menjadikan pendengaran untuk manusia untuk mendengar ayat-ayat tauhid dan
dalil-dalil keyakinan kepada Allah Swt, dan menjadikan penglihatan untuk
menyaksiakan segala ciptaan-ciptaanNya yang diciptakan dengan kekuasaanNya.
Dan juga menciptakan hati untuk merenungkan segala ciptaaan-ciptaaanNya
hingga sampai kepada tingkat mentauhidkanNya dan untuk merenungkan
berbagai ni‟mat yang telah Allah Swt berikan, tetapi Allah Swt berfirman dalam
akhir ayat “sedikit sekali dari kalian yang bersyukur”.5
Selanjutnya Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan makna rûh di dalam
QS. Shād(38) : 72, beliau menjelaskan Allah Swt berfirman di dalam al-Qur‟an
mengenai penciptaan manusia, lalu beliau menjelaskan ketika Allah Swt
berfirman kepada para malaikat
Nya mengenai penciptaan manusia, maka kemudian Allah Swt
memuliakan serta mengistimewakan manusia dengan menciptakan jasad manusia
dari tanah dan ketika telah sempurna bentuk jasadnya maka kemudian Allah Swt
meniupkan rûh dari rûhNya untuk menghimpun seluruh sifat-sifat dan nama-
namaNya dengan tujuan untuk menyempurnakan kedudukan para wakil (manusia)
nya di dunia. Maka pada saat itu pun malaikat sujud atas perintahnya sebagai
bentuk penghormatan kepada manusia.6
Sama seperti ayat-ayat yang di atas yang menjelaskan makna rûh sebagai
sumber kehidupan di dalam QS. an-Nisa(4) : 171, yakni ayat yang menceritakan
tentang ahli kitab yang menyembunyikan kebenaran Nabi Isa a.s sebagai seorang
5 „Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet .2
jilid. 1 h. 55-56. 6 „Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet .2
jilid. 1 h. 265-266.
57
Nabi yang diutus oleh Allah Swt, yang dilahirkan dari seorang perempuan yang
bernama Maryam dan Nabi Isa a.s sendiri tidak pernah mengatakan dirinya
sebagai Tuhan, dalam ayat ini Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan bahwa
para ahli kitab diperintahkan oleh Allah Swt untuk tidak mengatakan akan sesuatu
kecuali dengan mengatakan yang sebenarnya, dan juga Allah Swt memerintahkan
mereka untuk tidak mennyekutukan Allah Swt Tuhan yang maha Esa dan Tuhan
yang tidak mempunyai anak, dan mengatakan bahwa sesungguhnya Isa al-Masih
anak laki-laki dari Maryam adalah Rasul Allah sama seperti Rasul-Rasul
sebelumnya dan juga mengenai perkara yang agung mengenai Isa yakni, ketika
Allah Swt menyampaikan kalimat kepada Maryam lalu Dia meniupkan rûh Nya
(TajalliNya) kemudian memperlihatkan kekhususan-kekhususan kepadanya
sehingga sifat lahûthiah nya mengalahkan sifat nashûtiahnya, dan akhir
penjelasan ayat ini, beliau mengatakan “sehingga sebab semua itulah para Nabi
diberikan hal-hal yang luar biasa, yang tidak dapat dijangkau oleh akal nalar
manusia umumnya”7
Dan masih dalam penjelasan ayat mengenai rûh dalam arti sebab
kehidupan di dalam QS. al-Anbiya(21) : 91, ayat yang menjelaskan tentang Nabi
Isa a.s yang dilahirkan tanpa ayah, hanya melalui seorang ibu yakni Maryam,
„Abdul Qâdir al-Jîlânî menafsirkan ayat ini dengan mengatakan bahwa Nabi
Muhammad Saw diperintahkan untuk menyampaikan kepada umatnya tentang
Maryam, sebagai perempuan yang selalu menjaga kemaluannya dari yang halal
maupun yang haram, dan sebagai perempuan yang sabar di masa keperawanannya
dan tidak sedikitpun condong kepada hal-hal yang berkaitan dengan syahwat, itu
7 „Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet .2
jilid. 1 h. 418-419.
58
semua ia lakukan karena semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt
meskipun memikul kesulitan dan rintangan yang amat berat dalam rangka
mentahuidkan Allah Swt, dan untuk memberitahukan bahwa Maryam adalah
perempuan yang telah sampai pada tingkat keterjagaan atau kesucian yang paling
sempurna. maka oleh karena itu Allah Swt melalui Malaikat Jibril sang pembawa
rûhNya (Allah Swt) meniupkannya ke dalam hati Maryam. Dan setelah rûh itu
masuk ke dalam hatinya maka Maryam pun mengandung Nabi Isa a.s. Syekh
„Abdul Qâdir al-Jîlânî juga menjelaskan bahwa Allah Swt menjadikan Maryam
dan Nabi Isa a.s sebagai ayat atau tanda yang luar biasa bagi seluruh alam, yang
berasal dari kekuasaan Allah Swt yang telah menjadikan seorang perempuan
dapat hamil tanpa melalui seorang ayah dan tanpa pernah disentuh oleh seorang
laki-laki.8
Dalam hal yang sama mengenai ayat tentng rûh, dalam hal ini kasus
mengenai Nabi Isa a.s di dalam QS. at-Tahrîm(66) : 12, Syekh „Abdul Qâdir al-
Jîlânî juga menjelaskan bahwasannya Allah Swt menciptakan perumpamaan
untuk orang-orang yang beriman yakni kisah mengenai Maryam, anak perempuan
Imran, sebagai perempuan yang sempurna kemulyaannya dan kesuciannya, juga
perempuan yang senantiasa menjaga kemaluannya dari laki-laki sehingga Allah
Swt ridha kepadanya. dan Allah Swt memberikan kemulyaan-kemulyaan yang
hanya Allah Swt berikan hanya kepada sebagian perempuan di dunia. Dimana
Allah Swt meniupkan ke dalam hatinya rûhNya (Allah Swt) sama halnya seperti
yang Allah Swt tiupkan ke dalam hati Nabi Adam a.s, sehingga dengan tiupan
itulah Maryam mengandung Nabi Isa a.s dan karena itu juga lah Nabi Isa a.s
8 „Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet .2
jilid. 1 h. 201-102.
59
menjadi orang pilihan seperti Nabi Adam a.s, dan juga Allah Swt memberikan
mukjizat kepadanya, sama halnya seperti mukjizat yang Allah Swt berikan kepada
Nabi yang lain. lalu beliau menjelaskan perihal Maryam membenarkan kalimat
Allah Swt yang menciptakan Isa a.s dari tiupan itu juga membenarkan kitab-kitab-
nya dan juga mengatakan Maryam adalah termasuk orang-orang yang taat kepada
Allah Swt.9
Di samping ayat-ayat mengenai rûh yang bermakna sebab kehidupan di
dalam al-Qur‟an juga terdapat ayat-ayat mengenai rûh dengan makna yang lain,
salah satunya kata rûh yang diartikan sebagai Malaikat Jibril, dimana ayat-ayat
tersebut diulang sebanyak 8 kali di dalam al-Qur‟an, ayat yang pertama terdapat di
dalam QS. al-Baqarah(2) : 87, Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan ayat
tersebut dengan mengatakan bahwa Allah Swt memerintahkan kepada Nabi
Muhammad Saw untuk menceritakan kepada mukminin tentang buruknya
kelakuan umat sebelum umat Nabi Muhammad Saw yakni para ahli kitab, yang
dimana Allah Swt telah memberikan kitab Taurat kepada Nabi Isa a.s akan tetapi
kaumnya mendustakannya dan Allah Swt juga telah memberikan kitab kepada
para rasul sesudah Nabi Isa a.s yang berisi tentang ajakan-ajakan, ayat-ayat dan
mukjizat, sama halnya mereka pun didustakan oleh kaumnya sendiri lalu juga
Allah Swt juga telah memberikan Isa putra Maryam akan bukti-bukti (ayat-ayat)
yang jelas mengenai perihal kehidupan mereka, bahkan Allah Swt
mengkhususkannya dengan rûh al-Quds yakni rûh yang suci dari segala sifat yang
buruk, tetapi mereka pun mendustakannnya bahkan mencoba untuk
membunuhnya. dan apabila datang seorang Rasul kepada mereka dari sisi Allah
9 „Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet .2
jilid. 1 h. 233-235.
60
Swt dengan apa yang diri mereka tidak inginkan, mereka niscaya akan
menghinakannya dan mereka juga akan mendustakannya seperti yang di alami
Musa a.s dan Isa a.s dan di antara para Rasul yang dibunuh oleh kaum mereka
sendiri seperti yang di alami oleh Nabi Zakariya a.s dan Yahya a.s, kemudian
beliau mengatakan “bagaimana kaum seperti ini akan mendapatkan kebahagiaan,
sedangkan kebagaiaan akan didapatkan dengan ketentaraman.”10
Selanjutnya ayat mengenai rûh dalam arti Malaikat Jibril a.s juga terdapat
di dalam QS. al-Baqarah(2) : 253, dalam ayat ini Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî
menafsirkan bahwa Allah Swt telah mengkhusukan para Rasul yang telah
diberikan wahyu, yakni diantara mereka Allah Swt unggulkan sebagian dari yang
lain dengan berbagai macam keistimewaan, dan diantara mereka ada yang dapat
bermukalammah (berinteraksi) dengan Allah Swt yakni Nabi Isa a.s dan sebagian
ada yang Allah Swt tinggikan derajatnya. Beliau menjelaskan mereka adalah para
rasul yang Allah Swt sebutkan di dalam kitab-Nya pada beberapa ayat diantaranya
di dalam QS. Maryam(19) : 57. Kemudian beliau melanjutkannya dengan
mengatakan bahwa Allah Swt memberikan Isa putra Maryam bukti-bukti yang
nyata yang menunjukan akan kenabiannya, dan Allah Swt mengkuatkannya
dengan rûh al-Quds yang Allah Swt bersihkan dari segala sifat keburukan yang
menipu, yaitu dzat yang murni dan bersih dari seluruh perumpamaan. beliau
Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan bahwa banyak sekali Allah Swt di
dalam al-Qur‟an mennyebutkan keutamaan Nabi Isa a.s dan keutamaan Nabi
Muhammad Saw. Salah satu di antara nya Allah Swt berfirman dalam QS. al-
Baqarah(2) : 87 pada kalimat “Dan Kami kuatkan Isa dengan rûh al-Quds”, dan
10
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 127-128.
61
keutamaan Nabi Muhammad Saw di dalam maqam imtinān (pujian) terdapat
dalam QS. al-Insyirah(94) : 1-5.11
Kemudian kata rûh yang mengandung arti Malaikat Jibril terdapat juga di
dalam QS. al-Maidah(5) : 110, Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan ayat ini
dengan berkata ketika Allah Swt berfirman kepada Isa bin Maryam (sebagai
bentuk dari pemberian ni‟mat dariNya) “Ingatlah ni‟mat-Ku kepadamu dan
kepada ibumu ketika Aku (Allah Swt) menguatkanmu dengan rûh al-Quds yakni,
dzat yang suci, yang bersifat lahûthiyah yang bersih dari tercampurnya sifat
nasûthiah yang kuat, dan oleh sebab itu lah kamu dapat berbicara kepada manusia
ketika dalam buaian (bayi) dan ketika dewasa, dan juga ingatlah ketika Aku
(Allah Swt) mengajarkan kamu kitab (injil) yang bekaitan dengan syariat yang
dzahir dan hikmah yang berkaitan dengan bathin dan juga Taurat dan Injil yang
terdapat di dalam kedua itu tentang semua perkara yang bathin.12
Dalam ayat lain, dalam QS. an-Nahl(16) : 102, beliau menjelaskan bahwa
Allah Swt berfirman kepada Nabi Muhammad Saw “wahai Rasul yang paling
mulya, katakanlah “tidaklah aku berbohong dengan naskh (penyalinan) dan badal
(perubahan), dan mengenai rûh al-Quds yang menurunkan al-Qur‟an yakni Jibril
a.s kepadaku dan dia adalah dzat yang dibersihkan dari segala sifat kekurangan
dan keburukan, maka tidak lah ada kedustaan yang telah diwasiatkan kepadaku,
bahwa al-Qur‟an itu diturunkan dari Rabbmu (Muhammad) yang telah mendidik
kamu dengan segala bentuk pendidikan dan yang telah menguatkan kamu dengan
11
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 228-229. 12
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 228-229.
62
kalam mukjizat ini al-Qur‟an) dengan kebenaran yang sesuai dengan apa yang
terjadi, tanpa ada sedikit noda keraguan pun di dalamnya”. Dan beliau
menjelaskan kembali bahwa Allah Swt menurunkan al-Qur‟an untuk menguatkan
orang-orang yang beriman dan juga sebagai penguat di dalam tingkatan al-yaqîn
(keyakinan) dan sebagai petunjuk untuk orang yang makrifat (mengenal) Allah
Swt di dalam tingkatan al-yaqîn al-ilmi dan juga sebagai kabar gembira untuk
para ahli kasyaf (orang yang tersingkap hijabnya) di dalam tingkatan al-yaqîn al-
haq dan semua itu untuk para muslimin.13
Kemudian dalam ayat lain seperti di
dalam QS. Maryam(19) : 111, beliau menjelaksan ketika Allah Swt mengutus ke
Maryam rûhNya yakni Jibril a.s untuk memperlihatkan kekusaaanNya dan
kebijaksanaanNya kemudian Malaikat Jibril pun menyerupai manusia.14
Pengertian kata rûh yang bermakna malaikat Jibril a.s juga ditemukan di
dalam QS. asy-Syua‟āra(26) : 193, Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan
bahwa Allah Swt berfirman sesungguhnya al-Qur‟an itu adalah kitab yang di
turunkan dari sisiNya, seperti kitab-kitab yang lain yang Allah Swt turunkan
kepada Rasul-Rasul sebelum Nabi Muhammad Saw, kitab yang diturunkan oleh
rûh al-Amin yakni Malaikat Jibril a.s. Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan
alasan mengapa dinamakan rûh al-Amin, dengan jawaban karena amanat atas
wahyu ilahi (al-Qur‟an) itu harus sampai kepada orang yang diturunkan kepada
nya al-Qur‟an (Nabi Muhammad Saw) tanpa ada perubahan sedikitpun.15
13
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 493-495. 14
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 111.112. 15
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 385.
63
Kemudian di dalam QS. al-Ma‟ârij(70) : 4, Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî
menjelaskan ayat tersebut mengenai perihal orang-orang yang mendustakan akan
azab Allah Swt pada hari kiamat nanti yang pasti akan terjadi, beliau menjelaskan
juga bahwa azab Allah Swt akan diberikan kepada orang-orang yang kafir, yaitu
mereka yang terhijab (terhalang) dari kebenaran seperti orang yang terhijab
(terhalang) dari tirai yang kuat lagi kokoh, dan tidak akan ada seorang pun yang
dapat menolak azab dari Allah Swt, dimana azab yang diberikan oleh Allah Swt
itu merupakan ketetapan dariNya yang ditetapkan untuk para musuh-musuh Allah
Swt, dan sesungguhnya Allah Swt juga mempunyai derajat-derajat yang luhur dan
tempat-tempat yang terpuji untuk para kekasihNya. Dan juga para MalaikatNya
yang membawa jejak sifat-sifat dan nama-nama ilahiyah dan rûh (Malaikat Jibril
a.s), dia adalah dzat yang diturunkan dari sisiNya dalam bentuk yang luar biasa ke
alam dunia, dengan membawa jejak sifat-sifat keluhuran dari sifat dan nama Allah
Swt, kemudian naik menuju ke hadapanNya dalam waktu sehari di dunia, yang
sama halnya dengan lima puluh ribu tahun di sisiNya.16
Dan dalam ayat lain mengenai ayat yang mengandung kata rûh dalam arti
Malaikat Jibril a.s terdapat di dalam QS. an-Naba(78) : 38, Syekh „Abdul Qâdir
al-Jîlânî juga sama menjelasakan bahwasannya pada suatu hari di mana rûh yakni
Malaikat Jibril a.s (wujud yang disandarkan kepada bentuk yang luar biasa dari
cahaya wujud yang mutlak) dan para Malaikat yang berbaris dengan lurus serta
dalam keadaan hening dan tenang, karena pada hari itu terjadi sangat dahsyatnya
pengaruh (kekuasaan) Allah Swt, mereka tidak dapat menyangkal dengan ucapan
dan maupun dengan berbagai cara laiinya, kecuali orang yang telah Allah Swt
16
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 269-270.
64
izinkan dengan syafaat yang telah diberikan oleh Allah Swt kepadanya, maka ia
dapat berbicara dengan perkataan yang pasti benar dan di ridhai oleh Allah Swt.17
dan dalam ayat terakhir mengenai rûh dalam arti Malaikat Jibril yaitu terdapat di
dalam QS. al-Qadr(97) : 4, beliau menjelaskan bahwa Allah Swt telah
menjelaskan mengenai malam lailatul qadr, bahwa malam lailaltul qadr itu lebih
baik dari pada seribu bulan dari hari-hari di alam syahâdah , ketika para malaikat
turun dan rûh yakni al-Amîn (Jibril a.s) yang mengurus segala urusan rûh alam
nasuth (manusia) dan di malam itu juga mereka (para malaikat) turun dengan
perintah dari Allah Swt dengan membawa berbagai macam perkara di alam
syahâdah.18
Setelah beberapa ayat yang mengandung kata rûh yang bermakna sebab
kehidupan dan Malaikat Jibril a.s, juga terdapat ayat yang mengandung kata rûh
yang bermakna Wahyu/al-Qur‟an, yang di ulang sebanyak 3 kali di dalam al-
Qur‟an, di antaranya terdapat di dalam QS. an-Nahl(16) : 2, QS. al-Ghâfir(40) : 15
dan QS. as-Shûra(42) : 52.
Di dalam QS. an-Nahl(16) : 2, Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan
bahwa ketetapan Allah Swt pasti akan datang pada hari yang telah Allah Swt
janjikan, dan pada hari itu akan terbuka semua tirai dan rahasia sehingga
tersingkap semua hijab (penghalang), yang kemudian akan hancur semua tipu
daya dan kebohongan, maka jangalah kalian (orang-orang yang ragu di dalam
agama Allah Swt) meminta dipercepat datangnya hari itu, mahasuci Allah Swt
17
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 269-270. 18
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 453.
65
dari apa yang mereka sekutukan, Dia lah Allah yang maha Esa yang menurukan
malaikat yang berada di sisinya dengan membawa rūḥ (wahyu) dengan
perintahnya, sebagai penguat kepada orang-orang yang Allah Swt kehendaki,
mereka adalah para Nabi, para Rasul yang diperintahkan untuk mengingatkan para
hamba Allah Swt yang tersesat sehingga kembali ke jalanNya. Dan
peringatkanlah (Muhammad) “Bahwa tiada Tuhan yang di sembah secara hak
kecuali kepada Aku(Allah Swt) dan bertaqwalah kalian dari menyalahi
perintahKu dan hukumKu.”19
Dan ayat berikutnya mengenai ayat tentang rûh yang bermakna wahyu
atau al-Qur‟an dalam QS. al-Ghâfir(40) : 15, Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî
menjelaskan perihal orang-orang kafir yang tidak menyembah kepada Allah Swt
padahal telah jelas bahwa Allah Swt Sang Maha Peninggi derajat para hamba-
hambaNya ke sisiNya, yang memiliki arsy yang agung, yang menurunkan rûh
(wahyu) untuk disampaikan kepada manusia, yang diturunkan kepada hamba-
hambaNya yang di kehendakiNya, yaitu para hamba yang bernaung di bawah
nama-nama dan sifat-sifatNya serta Allah Swt mewajibkan mereka dengan
perintah dan larangan, baik dari sisi ubûdiyah (ibadah), ulûhiyah (ketuhanan) dan
rububiyahnya (pencipta). Dan rûh (wahyu) itu untuk mengingatkan para hamba-
hamba Allah Swt akan waktu kembali mereka, di saat amanat-amanat yang di
telah dititipkan mereka harus dipertanggungjawabkan.20
19
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 458-459. 20
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 310-311.
66
Dan juga di dalam QS. as-Shûra(42) : 52, beliau menjelaskan bahwa Allah
Swt mewahyukan wahyu kepada para Nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad
Saw, Allah Swt juga mewahyukan kepada sebaik-baiknya Rasul yakni Nabi
Muhammad Saw rûh (al-Qur‟an), sebagai bentuk keistimewaan dan kemulyaan
serta kekhususan kepada Nabi Muhammad Saw, untuk Nabi Saw menyampaikan
ajaran tauhid yang ada di dalamnya atas perintah Allah Swt. Beliau menjelaskan
mengapa al-Qur‟an dinamakan rûh, karena al-Qur‟an itu dapat menghidupkan
segala yang mati, kemudian melanjutkan dengan mengatakan bahwa Allah Swt
mengkhususkan Nabi Muhammad Saw dengan rûh (al-Qur‟an) padahal Nabi
tidak mengetahui sebelumnya kitab (al-Qur‟an) itu, yang berisi tentang hukum-
hukum yang dzahir maupun yang bathin, dan juga Nabi Saw tidak mengetahui
tentang iman (tauhid). Tetapi Kami (Allah Swt) menjadikan al-Qur‟an sebagai
sebuah cahaya, yang dengan cahaya itu Kami beri petunjuk kepada hamba-hamba
yang Aku(Allah Swt) kehendaki dan seungguhnya Muhammad Saw memberikan
petunjuk kepada seluruh umat manusia ke jalan yang tidak ada kesesatan dan
bengkok sedikit pun yaitu jalan yang lurus.21
Di samping ayat-ayat mengenai rûh yang bermakna sebab kehidupan,
Malaikat Jibril dan wahyu/al-Qur‟an, terdapat juga kata rûh yang memiliki makna
yang berbeda dari makna itu semua, seperti kata rûh yang bermakna pertolongan
Allah Swt yang terdapat di dalam QS. al-Mujâdalah(58) : 22, Syekh „Abdul Qâdir
al-Jîlânî menjelaskannya ketika Allah Swt berfirman dalam rangka mengingatkan
para mukmin, dengan mengatakan tidaklah engkau (Muhammad) menemukan
suatu kaum yang beriman kepada Allah Swt dan hari akhir, hari yang
21
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 388-389.
67
dipersiapkan untuk hisab (penghitungan amal) dan pembalasan. dan kamu juga
tidak akan menemukan mereka saling berkasih sayang satu sama lain. mereka
itulah orang-orang yang memusuhi Allah dan RasulNya sekalipun orang-orang itu
adalah bapaknya maksudnya bapak para orang mukmin atau anak mereka atau
saudara mereka atau pun sanak keluarga mereka, para kerabat dan orang yang
memiliki ikatan darah dengan mereka, dan orang-orang yang menerima dan
menahan dengan cinta dan kasih sayang kepada musuh-musuh Allah Swt dan
RasulNya karena mencari keridhaan Allah Swt dan RasulNya sehingga Allah Swt
pun mengukuhkan keimanan di dalam hati mereka. Dan karena sebab itu Allah
Swt menguatkan mereka dengan rûh (pertolongan) dari-Nya yang selalu hidup
selamanya, karena orang yang hidup dengan keimanan sungguh dia telah hidup
selamanya dan tidak akan pernah mati. Dan Allah Swt akan memasukan mereka
ke dalam surga-surgaNya yang mengalir dibawahnya air-air makrifat dan hakikat
yang terserap dari lautan kehidupan yang azali yakni wujud mutlak Allah Swt,
mereka kekal di dalamnya dan Allah Swt senantiasa ridha kepada mereka dan
mereka pun tunduk dan pasrah pula kepadaNya. Mereka itu lah orang-orang yang
meninggalkan jejak sifat-sifat dan nama-nama Allah Swt dan ingatlah bahwa
kelompok seperti itulah yang akan berbahagia.22
Dan perlu diketahui bahwa di dalam al-Qur‟an mengenai ayat-ayat tentang
rûh tidak hanya menggunakan bentuk kata rûh yaitu dengan huruf râ berharakat
dhammah tetapi juga ada kata ُحوُ ر dengan huruf râ dengan harakat fathah, yang
memiliki arti Rahmat Allah Swt, seperti halnya di dalam QS. Yusuf(7) : 87, Syekh
„Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan ayat ini dengan penjelasan bahwa ketika Nabi
22
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 453.
68
Ya‟qub a.s mengatakan kepada anak-anaknya “wahai anak-anakku pergilah kalian
ke mesir sekali lagi, carilah berita mengenai Yusuf dan saudara nya (benyamin)
dan janganlah kalian berputus asa wahai anakku dari rawh (pertolongan) Allah
Swt. karena kita adalah golongan dari para nabi yang tidak layak bagi kita untuk
berputus asa dari kasih kedermawananNya dalam keadaan apapun. Karena
sesungguhnya tidaklah berputus asa dari rawh (pertolongan) Allah Swt melainkan
itulah orang-orang kafir.23
Ada juga di dalam al-Qur‟an kata rawh yang memiliki arti ketenteraman,
seperti yang terdapat di dalam QS. al-Wâqiah(56) : 89, belau menjelaskan ayat ini
menceritakan perihal keadaaan orang-orang yang mati kemudian dinaikkan ke
sisiNya, maka ketika dia mengalami kematian dia akan memperoleh kematian
dengan rawh (tenteram) dan dengan rahmatNya, dan akan ditempatkan di alam
lahût dan di tempat sekumpulan orang-orang yang berada di sisiNya meskipun dia
masih menggunakan pakaian alam nasûth, dan akan mendapatkan rezeki dari
Allah Swt serta ni‟mat syurga yang penuh dengan berbagai keni‟matan yang dapat
nikmati selamanya.24
Berbeda dengan para mufassir laiinya yang menafsirkan ayat-ayat
mengenai rûh yang bercorak sufi yang hanya mengartikan kata rûh sesuai dengan
konteks ayatnya dan tidak menafsirkan pada sisi lain dari makna kata rûh hal itu
sendiri dalam hal hakikatnya, Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî mencoba dengan
penjelasan yang lebih luas dalam menafsirkan kata-kata rûh dan menjelaskan
23
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 372. 24
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 132.
69
secara konteks ayatnya dengan pengalaman spiritual beliau yang tinggi tanpa
melupakan bahwa hakikat rûh itu hanya Allah Swt yang tahu.
B. Relevansi Penafsiran Ayat Tentang Rûh dengan Penjelasan Rûh dalam Kitab Sirrûr al-
Asrâr wa Mazharul al-Anwâr
Ketika Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan makna kata rûh di dalam al-
Qur‟an, beliau lebih banyak menafsirkan kata rûh yang bermakna sebab
kehidupan atau sesuatu yang menghidupkan benda mati, dengan dzat yang tersirat
dari Dzat yang Maha Hidup yakni Allah Swt dan sebagai wujud yang mewakili
nama-nama dan sifat-sifatNya di alam dunia dan ketika menafsirkan kata rûh
yang bermakna Malaikat Jibril a.s dengan wujud yang bersih dari segala sifat
nasûth (kemanusiaan) yang bertugas untuk menyampaikan wahyu kepada Nabi
Muhammad Saw dan kepada para Nabi dan Rasul yang laiinya juga membawa
rûh ke dalam hati Maryam binti Imran dan ketika menafsirkan kata rûh yang
bemakna wahyu atau al-Qur‟an beliau menjelaskan dengan alasan mengapa
dinamakan dengan kata rûh, dan penafsiran yang lain-lain nya mengenai kata rûh
dalam al-Qur‟an.
Penjelasan mengenai rûh di dalam al-Qur‟an disampaikan oleh beliau secara
tahlili atau terperinci tetapi terpisah satu sama lain sehingga tidak ada uraian yang
menjelaskan bagaimana rûh itu ketika awal penciptaan dan juga bagaimana
tahapan-tahapan rûh dan hal-hal yang berkaitan dengan rûh. Dan penulis
menggunakan salah satu karangan buku yang beliau tulis dengan judul Sirrûr al-
Asrâr wa Mazharul al-Anwâr yang bukunya tidak terlalu tebal tetapi merangkum
berbagai penjelasan mengenai rûh secara komprehensif.
70
Di dalam buku Sirrûr al-Asrâr wa Mazharul al-Anwâr setidaknya ada
beberapa fashal atau bagian dari seluruh bagian dari buku tersebut, yang berkaitan
dengan masalah rûh, yang pertama terdapat di dalam mukadimah mengenai
permulaan penciptaan makhluk, kemudian yang kedua penjelasan mengenai
kembalinya manusia ke tempat asalnya dan yang ketiga penjelasan mengenai
diturunkannya manusia ke posisi yang paling terendah derajatnya.25
Adapun dalam penjelasan mengenai permulaan penciptaan manusia, beliau
menjelaskan, ketika Allah Swt menciptakan rûh Muhammad Saw dari cahaya
DzatNya, sebagaimana yang diucapkan oleh Nabi Saw “Sesuatu yang pertama
kali Allah Swt ciptakan adalah rûhku dan sesuatu yang pertama diciptakan Allah
Swt adalah cahayaku dan sesuatu yang pertama diciptakan Allah Swt adalah
kalam dan sesuatu yang pertama Allah Swt adalah akal” dan beliau pun
menjelaskan bahwa maksud dari perkataan Nabi Saw ini dengan maksud dan
tujuannya sama yaitu Hakikat Muhammadiyah, kemudian beliau menjelan alasan
mengapa dinamakan cahaya, beliau mengatakan karena Nabi Saw yang
menerangi dari segala kegelapan (kesesatan) yang jelas, dan alasan mengapa
dinamakan akal, jawabanya karena akal yang dapat mencapai semua yang ada di
dunia, dan alasan mengapa dinamakan kalam karena kalam adalah perantara untuk
sampai kepada pengetahuan.26
Selanjutnya beliau mengatakan bahwa rûh muhammadiyah adalah intisari dan
sumber dari segala yang ada, sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi Saw “Aku
berasal dari Allah Swt dan para Mukmin berasal dariku” , kemudian beliau
25
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Sirrûr al-Asrâr wa Mazharul al-Anwâr, h. 6. 26
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Sirrûr al-Asrâr wa Mazharul al-Anwâr, h. 6.
71
menjelaskan Allah Swt menciptakan semua rûh di suatu tempat yang bernama
alam lahût, dan ciptakan dalam bentuk yang paling sempurna secara hakikat, dan
alam lahût itu adalah tempat asal semua rûh. dan 4000 tahun kemudian Allah Swt
menciptakan arsy dari cahayanya Nabi Muhammad Saw dan menciptakan
sebagian ciptaaan yang laiinya dari cahaya Nabi Saw, lalu setelah itu rûh - rûh
tersebut diturunkan ke posisi yang paling rendah ke dunia maksudnya jasad
sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. at-Tîn (95) : 4 “kemudian Kami
kembalikan dia ke tempat serendah-rendahnya” maksudnya dari alam lahût ke
alam jabarût , setelah itu Allah Swt memakaikan kepada rûh di alam jabarut
dengan pakaian yang terbuat di antara haramain namnya rûh al-shulthâni,
selanjutnya Allah Swt menurunkan rûh - rûh itu dengan pakaian tersebut ke alam
malakût dan juga Allah Swt memakaikan mereka pakaian di alam malakut
namanya rûh ar-ruhâni kemudian Allah Swt menurunkan mereka ke alam mulk
dan memakaiakan mereka pakaian di alam mulk, namanya rûh al-jasmâni, setelah
semua rûh - rûh menjalani tahapan tersebut, kemudian Allah Swt menciptakan
jasad-jasad untuk rūḥ- rūḥ itu. Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS.
Thahâ(20) : 55, “Darinya (tanah) itulah Kami menciptakan kamu dan
kepadanyalah Kami akan mengembalikan kamu dan dari sanalah Kami akan
mengeluarkan kamu pada waktu yang lain”. setelah itu beliau menjelaskan ketika
rûh - rûh itu masuk ke dalam jasad Allah Swt memerintahkan para rûh dengan
mengatakan “apabila kalian masuk ke dalam jasad maka masuklah dengan
perintahKu” sebagaimana firmanNya dalam QS. al-Hijr(15) : 29.
Dan ketika rûh - rûh itu telah masuk ke dalam jasad dan mereka merasa
tenang di dalamnya dan apabila mereka melupakan janji yang pernah mereka
72
ucapkan, ketika mereka berada di tempat asal mereka yakni di alam lahut
sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. al-A‟raf(7) : 172, “Dan ingatlah ketika
Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah
Swt mengambil kesaksian terhadap rūḥ mereka, “Bukankah Aku ini Tuhanmu”
mereka menjawab “Betul Engkau Tuhan kami, kami bersaksi” Kami lakukan
yang demikian itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan “sesunggguhnya
ketika itu kami lengah terhadap ini” , maka beliau menjelaskan rûh - rûh itu tidak
akan dapat kembali ke tempat asal mereka apabila tidak menunaikan janji mereka
dan melupakan janji yang telah mereka ucapkan di alam lahût dengan Allah Swt.
Maka agar rûh - rûh itu dapat kembali ke tempat asal mereka dengan mudah,
maka Allah Swt menolong mereka dengan menurunkan kitab-kitabNya kepada
para Nabi dan RasulNya untuk mengingatkan mereka tentang awal tempat mereka
dan perjanjian yang mereka ucapkan, sebagaimana Allah Swt berfirman dalam
QS. Ibrāhim(14) : 5, “Dan sungguh, Kami telah mengutus Musa dengan
membawa tanda tanda (kekuasaan) Kami, (dan Kami perintahkan kepadanya),
“Kelurkanlah kaumu dari kegelapan kepada cahaya terang benderang dan
ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah” sungguh pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabara dan banyak
bersyukur” beliau menafsirkan kata hari-hari Allah dengan hari-hari datangnya
mereka (rûh) , kemudian beliau mengatakan bahwa para Nabi diutus ke alam
dunia dan pergi ke alam akhirat untuk mengingatkan mereka dengan peringatan
ini, beliau menjelaskan “katakanlah barang siapa yang ingat dengan hari-hari itu
maka di akan kembali ke tempat asalnya” , maka Allah Swt mengutus Nabi
Muhammad Saw untuk seluruh manusia agar dengan Nabi Saw dapat membuka
73
mata hati mereka dari kegelapan (kesesatan) dan mengajak mereka untuk dapat
bertemu dengan Allah Swt nanti.27
Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan alam lahût sebagai tempat awal di
mana diciptakannya rûh al-Quds dalam bentuk yang sempurna yang dimaksud
adalah rûh al-Quds al-Insâni al-Haqiqi yang dititipkan di dalam bagian hati yang
paling dalam di wujudnya yang tidak terpisahkan dengan kalimat lâillâhaillah.
Dan beliau juga menjelaskan tentang bagaimana caranya manusia dapat ke
tempat asalnya dengan mudah, dengan mengatakan manusia itu terdiri dari dua
unsur yakni jasmani dan ruhani, jasmani adalah insân „âm dan ruhani adalah insân
khâs, kembalinya insân „âm (jasmani) ke tempat asalnya memiliki tahapan dengan
mengamalkan ilmu syariat, tharîqat dan makrifat , beliau menjelaksan ada tiga
tingkatan derajat yang pertama, surga di alam mulk yakni surga ma‟wâ, yang
kedua surga di alam malakût yakni surga na‟îm, dan yang ketiga surga di alam
jabarût yakni surga firdaus, maka ketiga inilah keni‟matan yang dirasakan oleh
jasmani. Sedangkan kembali nya insân khâs (ruhani) kembali ke sisiNya dengan
cara mengetahui hakikat (tauhid) di alam qurbah (lahût).
Pada bagian yang berkaitan mengenai rûh berikutnya tentang penurunan
manusia ke posisi yang paling rendah, beliau menjelaskan ketika Allah Swt
menciptakan rûh al-Quds dalam bentuk yang paling sempurna di alam lahut,
maka Allah Swt berkehendak untuk menempatkan rûh al-Quds ke posisi yang
paling rendah ke alam dunia dengan tujuan agar bertambah sifat kemanusiaannya
dan kedekatakan dengan Allah Swt di tempat shiddîq (kebenaran) di sisi Allah
27
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Sirrûr al-Asrâr wa Mazharul al-Anwâr, h. 7-8.
74
Swt Sang maha raja yang berkuasa, yaitu di tempat para waliNya, NabiNya. maka
oleh karena itu Allah Swt menurunkan rûh al-Quds terlebih dahulu ke alam
jabarut dengan menyertakan benih tauhid yang disematkan ke dalam rûh al-Quds
yang berasal dari cahaya alam jabarût dengan memakaikan pakaian di antara dua
haram. begitupun ketika Allah Swt menurunkan rûh al-Quds ke alam mulk maka
Allah Swt memakaikan pakaian bersifat unsur agar tidak hancur ketika berada di
alam mulk yakni jasad yang kuat dan tebal , maka pakaian yang dipakai oleh rûh
al-Quds dinamakan dengan rûh sulthoni bila berada di alam jabarût, dan rûh
sirraniyah wa rawâniyah ketika berada di alam malakût, dan rûh al-jasmani
ketika berada di alam mulk, maka ketika maksud Allah Swt menurunkan rûh al-
Quds ke tempat yang paling rendah untuk ia mencari kedekatan dan derajat yang
lebih di sisiNya melalui perantara hati,
Dan Allah Swt memerintahkan kepada rûh - rûh itu semua memasuki jasad,
dan Allah Swt membagi setiap dari mereka tempat di dalamnya, tempat rûh al-
jasmani di dalam dua bagian jasad yakni di dalam daging dan darah, dan tempat
rûh al-Quds di dalam sirr (rahasia).
Dengan penjelasan mengenai rûh di dalam kitab Sirrûr al-Asrâr wa Mazharul
al-Anwâr yang beliau jelaskan dengan begitu komprehennsif, maka penulis
menemukan korelasi atau hubungan antara penafsiran beliau mengenai rûh di
dalam Tafsirnya dengan penjelasan mengenai rûh di dalam kitab Sirrûr al-Asrâr
wa Mazharul al-Anwâr, yaitu ketika beliau menafisrkan rûh di dalam al-Qur‟an
sebagai Dzat yang diciptakan dan bersumber dari rembasan Dzat nya Allah Swt,
yang Maha Hidup agar senantiasa rûh ketika berada di alam dunia dapat mewakili
nama-nama dan sifat-sifatNya sebagai dijelaskan di alam QS. al-Hijr(15) : 29, QS.
75
as-Sajadah(32) : 9, dan QS. Shâd(38) 72. Dan hal ini berdasarkan yang beliau
katakan di dalam kitab bahwasannya Allah Swt menciptakan rûh Nabi
Muhammad Saw yang pertama kalinya dari cahaya keelokan DzatNya, kemudian
beliau mengutip sabda Nabi Saw, bahwa Nabi Saw bersabda “aku berasal dari
Allah Swt dan para mukminin berasal dariku”, jadi rûh yang dimaksud di dalam
al-Qur‟an yang merupakan sesuatu yang pertama yang diciptakan olehNya adalah
rûh Nabi Muhammad Saw, atau disebut dengan Hakikat Muhammadiyyah, yaitu
segala sesuatu yang ada bersumber kepada rûh Nabi Muhammad Saw. Dan
sesungguhnya Nabi Muhammad Saw adalah makhluk yang paling sempurna baik
khalq (bentuk fisiknya) maupun khulûq (budi pekertinya), dan beliaulah satu-
satunya manusia yang dapat mengaktualisasikan segala kemampuan yang di
miliki oleh seorang manusia sehingga menjadi manusia paripurna atau insân al-
kâmil sehingga dapat mewakili nama-nama dan sifat-sifat Allah Swt di alam
dunia.
C. Relevansi Penafsiran Rûh „Abdul Qâdir al-Jîlânî dalam Kehidupan Sehari-hari.
Ketika seseorang merenungi segala ciptaan Allah Swt di alam dunia ini, maka
akan timbul sebuah kekaguman atas segala sesuatu yang ada yang diciptakan
dengan sangat teratur dan indah, seperti matahari yang setiap hari bahkan detiknya
selalu berada di dalam poros nya tidak pernah berubah bahkan keluar sedikitpun.
Dan begitupun ciptaan Allah Swt yang lainnya, ketika manusia merenungi dan
memikirkannya maka tidak ada sesuatu yang diciptakan melainkan keindahan dan
kemanfaatan bagi dirinya yang diciptakan oleh Sang Maha Pencipta.
76
Dan seluruh yang diciptakan di dunia ini bersumber dari satu cahaya, yakni
insân kâmil atau manusia paripurna, manusia yang mewakili nama-nama dan
sifat-sifat Allah Swt di dunia, manusia yang mampu mengaktualisasikan seluruh
potensi yang dia miliki, yakni Nabi Muhammad Saw penutup para Nabi dan
Rasul. Sebagaimana sabda beliau “awal sesuatu yang Allah Swt adalah rūḥku”.
Dan manusia sebagai elemen terpenting di alam dunia ini, sebagai pelaku dari
setiap kejadian yang terjadi di alam dunia, maka sudah barang tentu baik dan
buruk keadaaan alam ini berdasarkan bagaiamana manusia menjaga dan
memelihara alam ini, manusia sendiri mempunyai dua unsur dan dua sisi
kehidupan, yang unsur rûh yang mewakili sisi kebaikan dan yang kedua, unsur
jasad atau jasmani yang mewakili sifat keburukan.
Selanjutnya, manusia adalah makhluk yang mempunyai kebebasan dalam
memilih, ketika ia dihadapkan dengan jalan yang menuju kebaikan lalu
memilihnya maka ia akan selamat, sebaliknya ketika di hadapkan dengan jalan
yang menuju keburukan lalu ia memilihnya maka ia akan celaka. Sama halnya
ketika manusia diberikan potensi yang sempurna berupa akal, maka ia diberikan
pilihan mau tidak nya ia memaksimalkan potensi akal yang telah diberikan oleh
Allah Swt.
Fenomena yang terjadi di alam dunia ini, manusia yang diciptakan dari dua
unsur di dalam tubuhnya, ketika ia cenderung hanya kepada unsur jasad
mengabaikan unsur rûh maka akan berdampak buruk baginya dan lingkungannya,
dikarenakan akan keserakahan dan segala keburukan yang diperintahkan oleh
nafsu yang cenderung memerintahkan akan keburukan, dan ketika manusia hanya
77
cenderung dengan unsur rûh dan mengabaikan unsurr jasad, maka akan
berdampak tidak baik juga, karena unsur rûh tidak didukung dengan kesehatan
jasmani maka tidak akan mampu menjalankan segala apa yang telah diperintahkan
oleh Allah Swt dan RasulNya. Dan banyak terjadi saat ini banyak manusia yang
lupa akan salah satu unsur pencipataannya, yakni unsur rûh. mereka rela
menghabiskan waktunya untuk mencari sebanyak-banyaknya harta, setinggi-
tingginya tahta dan jabatan baik dengan cara yang benar maupun dengan cara
yang tidak benar dan mengabaikan ibadah kepada Allah Swt, melupakan
hubungan yang harus di jalin dengan Allah Swt, melupakan hak-hak yang harus
ditunaikan dengan sesamanya yang lain, maka dampak negatif yang akan di
alaminya kegundahan, kegelisahan, ketidaknyamanan, walaupun sudah
mempunyai banyak harta, jabatan yang tinggi dan yang laiinya, dikarenakan unsur
rûh di dalam tubuhnya diabaikan sehingga ada ketimpangan dalam kehidupan
sehari-hari yang ia jalani, tidak ada rasa bersyukur dan rasa kebahagiaan yang
dirasakan.
Maka beliau menjelaskan makna rûh di beberapa ayat di dalam ayat al-Qur‟an
yang menunjukan arti kehdiupan, yakni bahwa rûh itu diciptakan dari rembusan
cahaya DzatNya yang menjadikan manusia di alam dunia mewakili Nama-
NamaNya dan Sifat-SifatNya, yang menjadi Khalifah di muka bumi ini, yang
senantiasa menjalankan segala perintah dan larangannya, dan menurunkan rûh
dengan berbagai tahapannya dan sampai ke dalam jasad di alam dunia ini utntuk
menjadikan manusia lebih dekat di sisiNya nanti, dan tentunya hanya manusia
yang melaksanakan segala perintahNya dan menjahui segala larangaNya, yang
senantiasa menjaga dan melestarikan segala ciptaanNya di alam dunia ini dan
78
menjaga hak-hak sesamanya sehingga dapat mewakili nama dan sifatNya dan
mendapatkan kedudukan di sisiNya yang terbaik di akhirat nanti.
Maka dengan didasarkan dengan fenomena saat ini, penulis mengajak kepada
para pembaca skripsi ini agar senantiasa selalu mengingat Allah Swt, senantiasa
mengingat dari apa kita diciptakan dan untuk apa kita diciptakan di alam dunia
ini, dan mari senantiasa kita manfaatkan segala potensi yang telah diberikan Allah
Swt kepada kita, jadikanlah semuanya sebagai bentuk penghambaan kita
kepadaNya sebagai makhluk yang paling sempurna penciptaanya.
79
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam pembahasan kata rûh di dalam al-Qur’an akan ditemukan arti yang berbeda,
dimana konteks yang berbeda dapat menghasilkan makna yang berbeda pada suatu
kata. Dengan menggunakan corak sufi dalam menafsirkan ayat-ayat mengenai rûh di
dalam al-Qur’an, tentu para mufassir yang menggunakan pendekatan seperti itu akan
mengungkap makna sisi lain dari literatur makan kata rûh itu sendiri, di dalam Tafsir
al-Jîlânî penulis menemukan penafsiran yang berbeda dengan penafsiran yang bercorak
sufistik pada umumnya, ada beberapa kata rûh itu diartikan dalam arti yang lebih luas
dan menjadikan suatu makna tertentu.
Yang pertama, penulis menemukan arti rûh yang umumnya diartikan sebagai
penyebab kehidupan, diartikan dengan suatu dzat yang menyatu dengan jasad dan
menjadi sumber kehidupan, di dalam QS. al-Isra’(17) : 85, kemudian diartikan dalam
ayat lain, bahwa rûh itu adalah dzat yang berasal dari cahaya wujudnya Allah Swt,
yang mempresentasikan seluruh nama-namaNya dan sifat-sifatNya di alam dunia, ini di
dalam QS. al-Hijr(15) : 29 lalu dalam QS. as-Sajadah(32 ) : 9 , rûh adalah unsur yang
berasal dari Dzat Allah Swt atau yang mempunyai ikatan dengan dengan Dzat Allah
Swt, yang menghimpun segala sifat dan nama Allah Swt, agar senantiasa manusia
berakhlak dengan akhlakNya dan senantiasa menjaga hak-hakNya Allah Swt. Itu
beberapa arti dari kata rûh yang bermakna sebab kehidupan pada umumnya, di
samping ada kata rūḥ yang dirujukan kepada nabi Isa a.s, seperti di dalam QS. an-
Nisa(4) : 171, bahwa rûh (Isa a.s) itu adalah bentuk dari tajalliNya Allah Swt, yang
mengandung sifat lahûtiyah (ketuhanan) yang mengalahkan sifat nashûtiyahnya
80
(kemanusiaan) ,yang menjadikan nabi Isa a.s mendapatkan berbagai mukjizat yang luar
biasa.
Yang kedua, makna kata rûh yang biasa diartikan sebagai malaikat Jibril a.s pada
tafsir umumnya, penulis menemukan arti yang lebih luas dalam menafsrikan kata rûh
yang bermakna malaikat Jibril a.s, seperti di dalam QS. al-Baqarah(2) : 87, rûh al-
Quds diartikan sebagai malaikat Jibril a.s sebagai dzat yang suci dari segala sifat yang
buruk, lagi menipu. Juga di dalam QS. Maryam(19) : 17,diartikan sebagai dzat yang
murni dan bersih dari dari segala perumpamaan, dalam QS. al-Maidah(5) : 110, Jibril
a.s diartikan sebagai dzat yang suci, bersifat lahûtiyah yang bersih, tidak tercampur
dengan sifat nashûtiyah yang kuat. Dan di dalam QS. an-Nahl(16) : 102,diartikan
sebagai dzat yang dibersihkan dari segala sifat kekurangan dan keburukan. Kata rûh al-
Amin dalam QS. as-Syua’arâ(26) : 193 , yang bermakna Jibril a.s, dinamakan seperti itu
dikarenakan besarnya amanat atas wahyu ilahi yang harus disampaikan kepada orang
yang diturunkannya wahyu itu tanpa ada perubahan sedikit pun. Dan dalam ayat lain
dalam QS. an-Naba(78) : 38, rûh di artikan Jibril a.s sebagai wujud yang disandarkan
kepada bentuk yang luar biasa dari cahaya wujud yang hakiki (mutlak).
Yang ketiga, arti kata rûh dan rawh yang terdapat di dalam al-Qur’an yang
bermakna wahyu dan pertolongan serta ketentraman di dalam Tafsir al-Jîlânî sama
dengan kitab tafsir yang lain pada umumnya tanpa ada penjelasan yang lebih luas.
Maka kesimpulan yang penulis dapatkan dari pembahasan mengenai kata rûh di
dalam Tafsir al-Jîlânî, bahwa yang dimaksud dengan kata rūḥ di dalam al-Qur’an
seperti dalam QS. al-Isra’(17) : 85, QS. al-Hijr(15) : 29, QS. as-Sajadah(32) : 9, dan
yang laiinya, adalah Nabi Muhammad Saw atau hakikat Muhammadiyah, karena
beliaulah manusia paripurna atau disebut insan kamil, manusia yang dapat
81
mengaktualisasikan sifat lahûtiyah (ketuhanan) dengan sebaik-baiknya, sehingga dapat
mempresentasikan seluruh sifat-sifat dan nama-nama Allah Swt di muka bumi ini, dan
beliau segala sumber apa yang diciptakan oleh Allah Swt di seluruh alam.
B. Saran
Pembahasan mengenai persoalan tentang rûh memang sudah banyak sekali yang
melakukan kajian terhadapnya, baik dari kalangan muslim itu sendiri maupun non
muslim, hal yang sangat misterius sampai saat ini, akan tetapi seiringnya zaman yang
semakin berkembang dengan teknologi dan segala kemajuanya, harus dilakukan sebuh
kajian yang tidak melupakan akan hakikat sebenarnya kehidupan di alam dunia ini. dan
di dalam kajian tentang rûh ini masih banyak yang harus dikembangkan, dan masih
banyak akan kekurangan baik dari sistem penulisan, pembahasan maupun berbagai
referensi yang penulis gunakan. Maka kritik dan saran yang penulis harapkan dari
berbagai pihak, agar kajian seperti dapat diteruskan dan dikembangkan pada masa yang
akan datang.
82
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Al-Alusi, Abû Sana' Syihabuddin al-Sayyid Mahmûd Afandi. Rûh al-Ma'âni fi Tafsir al-
Qur'anul al-Azhim wa Sab'ûl al-Matsâni. Beirut : Dar al-Ihya, (1990).
Aziz, Muhammad Abdul al-Hillawi. Roh Itu Misterius. Jakarta: Cendikia Sentra Muslim,
2001.
Al-Bāni, Muhammad Fuâd Abdul. Al-Mu'jam Al-Mufahras lil Alfâdzil al-Qur'ân al-Karîm.
Beirut : Dar al-Fikr. 1981.
Al-Ghazâli, Abû Hâmîd Muhammad bin Muhammad. Ihya al-Ulumuddin. Beirut: Dar al-
Ma'rifah, 1998.
Bertens. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta : Kanisius, 1999.
Dzulfikar, Achmad. Keramat Al-Allamah Syekh Abdul Qadir al-Jilani. Depok : Keira
Publishing, 2015.
Halimuddin. Kehidupan di Alam Barzakh. Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Hasan, Muhammad Iqbal. Pokok-pokok Materi Metedologi Penelitian dan Aplikasinya.
Jakarta : Ghalia, 2002.
Al-Jîlânî,Syekh Abdul Qâdir Abî Shâlih. Tafsir al-Jîlânî al-Ghaus ar-Rabbâni wa al-Imam
as-Shamadâni. Beirut : Dar al-Kotob, 2014.
Al-Jîlânî, Syekh Abdul Qâdir Abî Shâlih. Al-Ghunyah li Thâriqil al-Haq Azza wa Jalla.
Beirut : Dar al-Kotob al-Ilmiah, 1971.
Al-Jîlânî, Syekh Abdul Qâdir Abî Shâlih. Sirrur al-Asrâr wa Mazharul al-Anwâr.Tangerang
: Ciliongok Press, 2012.
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyīm. Ar-Ruh li Ibnil Qayyîm al-Jauziyyah. Beirut : Dar al-Qolam al-
Ilmiah, 1403 H.
Kafie, Jamaluddin Masalah Ruh. Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1979.
83
Katsir, Abū al-Fadâ Ismail Ibn Katsir . Tafsir al-Qur'ân al-â'zhim. Beirut: Dar Tayyibah,
1999.
Manaqib Syekh Abdul Qâdir Al-Jîlânî Perjalanan Spiritual Sulthonul Auliya. Bandung:
Pustaka Setia, 2008.
Mandzûr, Abî Fadli Jamaluddin Muhammd bin Makram Ibnu. Lisân al-Arab. Beirut: Dar
Shâdir. 1990.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997.
Musthofa, Agus Muhammad. Menyelam ke Samudera Jiwa dan Ruh. Surabaya : Padma
Press, 2015.
Nasiruddin. Pendidikan Tasawuf. Semarang: Rasail, 2010.
Qutub, Sayyid. Fi Zilâlil al-Qur'an . Beirut : Dar al-Ihya, 1967.
As-Suyuthi, Al Imām Jalaluddin Abd Rahman Ibn Abi Bakr. Al-Itqân fi Ulûmil al-Qur'an.
Beirut : Dar al-Kotob al-Ilmiah, 2012.
As-Sakaky, Abu Hamas. Meraih Cinta Ilahi. Jakarta : Khatulistiwa Press, 2009.
As-Shalabi, Ali Muhammad. Biografi Imam al-Ghazali dan Syekh Abdul Qadir al-Jilani.
Jakarta: Beirut Publishing, 2015.
Ar-Râzi, Abû Abdillah Muhammad bin Umar bin Hasan At-Taimi. Mafâtih al-Ghaib. Beirut
: Dar al-Ihya, 1420 H.
At-Thabathabâi, Al-Allâmah as-Sayyid Muhammad al-Husein al-Mîzan fi Tafsir al-Qur'ân.
Beirut : Dar al-Fikr, 2002.
Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Kesrasian al-Qur'an.
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Surachman, Winarto Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode Dasar Teknik. Jakarta:
Tarsita, 1990.
Sya'rawi, Mutawalli Esensi Hidup dan Mati . Jakarta: Gema Insani, 2008.
84
Tebba, Sudirman. Ruh Misteri Maha Dahsyat. Bandung: Pustaka Hidayah, 2004.
Wajdi, Muhammad Farîd. Ma'ârif al-Qur'ân. Beirut: al-Maktabah al-Ilmiyah. 1995.
al-Zabîdi, Muhammad Murtadhâ al-Husaini. Tâjul al-Arûs min Jauhari al-Qur'ân. Beirut:
Dar al-Kitab al-Ilmiyah. 1999.
Zuhaili, Wahbah. Tafsir al-Munîr fi al-Aqidah wa al-Syari'ah wa al-Manhâj. Beirut: Dar al-
Fikr, 2014.
Skripsi :
El-Rasyad, Ahmad Dhani. "Ruh Manusia dalam al-Qur'an dan Sains (Studi Korelatif
Fenomena Ruh Manusia Menurut Penafsiran M.Quraish Shihab dan Tantawi Jauhari
dengan Sains." Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Universitas Islan Negeri Sunan
Ampel, 2016.
Islami, Muhammad Iqbal ." Konsep Ruh dalam Perspektif Hadits (Pemahaman Hadits
tentang ruh dalam Kitab ar-Ruh Karya Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah." Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2010.
Nurliati, Atti. "Ruh dalam al-Qur'an Analisis Penafsiran Prof.Dr.M.Quraish Shihab Atas
Surat al-Isra ayat 85." Skripi S1 Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011.
Rahman, Abdul. "Ruh dalam Perspektif Imam Fakhruddin ar-Razi." Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, (2002)
Jurnal :
Damis, Rahmi. “Falsafah Manusia dalam al-Qur'an.” Sipakalabbi V.1, no.2 (2017).
Lestari, Lenna. “Epistemologi Corak Tafsir Sufi.” Jurnal Syahadah V.2 no.1 (April,2014).
Hakamah, Zaenatul. “Ruh dalam Perspektif al-Qur'an dan Sains Modern.” Universum V.9,
no.2 (Juli 2015).
Hermawan, Wawan. “Posisi Ruh dalam Realitas Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.” Syifa
al-Qulub V.1, no.2 (Januari 2017).
Masduqi, Irwan. “Menyoal Otentisitas dan Epitemologi Tafsir al-Jilani.” Jurnal Analisa V.19
no.1 (Januari-Juli,2012).
85
Rahim, Rohada Abdul. “al-Ruh Menurut Ibnu Qayyim al-Jawziyyah.” Jurnal Ushuluddin, Bil
26 (2007).
Website:
http ://KBBI.WEB.ID./ROH.HTML. Di akes pada tanggal 20 Juli 2018
http//PPSN.MALANG.PESANTREN.WEB.ID/CGIBIN/CONTENT.CGL/ARTIKEL/EKSIS
TENSI_RUSHINGARTIKELKEISLAMAN. Di akses pada tanggal 28 Juli 2018
top related