penafsiran kisah-kisah al-qur’Ân; -...
TRANSCRIPT
1
PENAFSIRAN KISAH-KISAH AL-QUR’ÂN;Telaah Terhadap Pemikiran Muhammad Ahmad Khalafullâh
Dalam al Fann al-Qasasiy fi al-Qur’ân al-Karîm
SkripsiDiajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Untuk Memenuhi Persyaratan MemperolehGelar Sarjana Theologi Islam (S. Th. I.)
Oleh
Muhammad KhotibNIM : 101034021951
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H./2009 M.
2
PENAFSIRAN KISAH-KISAH AL-QUR’ÂN;Telaah Terhadap Pemikiran Muhammad Ahmad Khalafullâh
Dalam al Fann al-Qasasiy fi al-Qur’ân al-Karîm
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S. Th. I)
Oleh
Muhammad KhotibNIM : 101094021951
Di bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Ttd Ttd
Dr. Ahzami Samiun Jazuli, M.A. Eva Nugraha, MANIP. 150. 311. 252 NIP. 150. 289. 433
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430H./2009 M.
3
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi ini berjudul PENAFSIRAN KISAH-KISAH AL-QUR’ÂN; Telaah
Terhadap Pemikiran Muhammad Ahmad Khalafullâh Dalam al Fann al-
Qasasiy fi al-Qur’ân al-Karîm telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 09 Mei
2009. Skipsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana strata 1 (S-1) pada jurusan Tafsir Hadis
Jakarta, 09 Maret 2009
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota
ttd
Drs. Bustamin, M.B.ANIP. 150 289 320
Sekretaris Merangkap Anggota
ttd
Edwin Syarif, M.AgNIP. 150 283 228
Anggota
ttdDra. Lili Ummi Kultsum, MA
NIP. 150 290 935
ttd
Drs. H. Ahmad Rifqi Mukhtar, MANIP. 150 282 120
ttdDr. Ahzami Samiun Jazuli, MA
NIP. 150 311 252
ttdEva Nugraha, MANIP. 150 289 433
4
Surat Pernyataan
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Muhammad Khotib
NIM : 101034021951
Jurusan : Tafsir Hadis
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya asli yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata -1 (S-1)
di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Semua sumber yang saya gunakan penulisan skripsi ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ciputat, 10 Maret 2009
Muhammad Khotib
5
Abstrak
Skripsi ini berupaya menjawab permasalahan seputar bagaimanapandangan Khalafullâh tentang kisah dalam al-Qur’an yang terdapat dalam bukual Fann al-Qasasiy fi al-Qur’ân al-Karîm.
Khalafullâh memandang bahwa kisah dalam al-Qur’an bukanlah sepertisebuah kisah atau cerita pada umumnya. Karena kisah dalam al-Qur’an acap kalimengabaikan unsur kesejarahan. Kisah dalam al-Qur’an lebih dimaksudkansebagai sebuah media yang digunakan al-Qur’an untuk menyampaikan petunjukdan hidayah kepada umat manusia. Al-Qur’an bukanlah kitab sejarah, demikianpandangan Khalafullâh. Lebih lanjut Khalafullâh membedakan antara materi kisahdan tujuan atau pesan yang terkandung di dalam al-Qur’an. Lebih lanjut tentangbagaimana Khalafullah memahami kisah-kisah al-Qur’an? Inilah yang akandijawab dalam skripsi ini.
Sebagai kitab petunjuk, al-Qur’an menggunakan berbagai macam bentukatau redaksi ayat yang beragam dalam menyapa umat. Hal ini menjadi buktikemukjizatan al-Qur’an yang dapat beradaptasi dengan kemampuan nalarmasyarakat yang menjadi objeknya. Hal ini bertujuan agar dapat dipahami dandapat diambil fungsinya sebagai kitab petunjuk. Salah satu bentuk redaksi ayat al-Qur’an adalah berupa ayat-ayat tentang kisah.
Selanjutnya, sebagai sebuah karya ilmiah penulis menggunakan mentodepengumpulan data dan analaisis isi melalui penelitian kepustakaan. Penulismengumpulkan dan menelaah sejumlah buku, tulisan dan sumber bacaan lainyang ada kaitannya dengan pembahasan skripsi ini. Sedangkan karya Khalafullahmenjadi rujukan utama penulisan.
Kisah dalam al-Qur’an merupakan sebuah bentuk penyampaian wahyuyang sangat efektif untuk menyampaikan kehendak-Nya kepada manusia. Melaluikisah menusia digiring menuju tatanan kehidupan yang sesuai dengan tujuanutama al-Qur’an. Kisah dalam al-Qur’an juga sering kali tidak mementingkanunsur kesejarahan, berkaitan dengan hal itu Khalafullâh tidak memandang kisahdalam al-Qur’an sebagai rekaman atau arsip kesejarahan murni.
6
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji dan syukur senantiasa tercurahkan kepada Allah swt. yang
telah memberikan berbagai nikmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Andaikan
lautan di dunia ini dijadikan kertasnya dan ranting-ranting pepohonan dijadikan
penanya, maka tidak akan mungkin cukup untuk menghitung segala nikmat yang
telah Allah swt. berikan. Atas segala nikmat dan karunia-Nya itu juga penulis
berhasil merampungkan skripsi ini.
Salawat diiringi salam kita panjatkan kepada Nabi Muhammad saw.
sebagai seorang revolusioner Islam, pendobrak kebatilan dan penegak keadilan,
seorang insan yang paling utama dan semoga kita semua mendapat syafaatnya di
hari akhir nanti.
Selaku hamba yang diperintahkan untuk berinteraksi secara baik dengan
sesama, penulis merasa perlu menggelar parade terima kasih untuk pihak-pihak
yang telah membantu perampungan skripsi ini. Tentu, tak semuanya bakal
tersebut dalam paparan berikut. Karenanya, terima kasih pertama justru saya
sampaikan pada mereka yang nama-namanya tidak tertera.
Terima kasih selanjutnya tertuju pada kedua orang tua penulis Asmat dan
Zuhriyah, dengan penuh kesabaran dan keteguhan hati, telah mengasuh dan
mendidik penulis sejak kecil, berkat doa, cinta kasih dan dorongannya pula
7
penulis sampai dan mampu menyelesaikan pendidikan ini. Doa tulus penulis
untuk mereka, “Ya Allah sayangilah mereka berdua sebagaimana mereka
menyanyangiku sejak kecil”, serta untuk semua keluarga besar penulis tercinta.
Berikutnya, terima kasih tertuju kepada Bapak Prof. Dr. Komarudin
Hidayat, M.A. selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.
Berkat taufik dan hidayah dari Allah swt. beliau dapat melaksanakan amanat berat
untuk menjalankan jalannya perkuliahan di kampus tercinta ini. Terima kasih juga
tertuju pada jajaran dekanat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Bapak Dr. Amin
Nurdin, M.A. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat beserta para
Pembantu Dekan I, II, dan III.. serta Bapak Drs. Bustamin, M.B.A. selaku Ketua
Jurusan Tafsir Hadis dan Bapak Edwin Syarif, M.A. selaku Sekretaris Jurusan
Tafsir Hadis. Tak terkecuali segenap dosen dan karyawan yang tak kalah
semangat pengabdiaannya. Begitu pula ucapan terima kasih saya tujukan kepada
Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Perpustakaan Umum
Islam Iman Jama.
Selanjutnya terima kasih banyak saya haturkan kepada Dr. Ahzami
Samiun Jazuli, M.A dan Eva Nugraha, M.A. sebagai dosen pembimbing yang
telah meluangkan banyak waktunya untuk membimbing, mengkritisi dan
mengarahkan pembuatan dan penulisan skripsi ini serta Ibu Dra. Lili Ummi
Kultsum, MA danDrs. H. Ahmad Rifqi Mukhtar, MA selaku penguji I dan
Penguji II.
8
Selama belajar di jurusan Tafsir Hadis, penulis telah mendapat banyak
motivasi dari pergaulan intens dengan kawan-kawan senasib seperjuangan TH
angkatan 2000 dan 2001, terutama TH/E dan TH/A serta sahabat-sahabat penulis,
Asep Ali, Maya, Adhlan, Zainuddin, Jauhar Azizi, Miftahul Jannah, kemudian
ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis tujukan kepada Kang Jaya yang
membantu penulis dalam proses perampungan skripsi ini serta semua sahabat-
sahabat yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga kita
diperkenankan untuk bertemu dan bersua kembali dalam keridaan-Nya.
Tak kalah besarnya, terima kasih kepada seluruh teman seperjuangan yang
tergabung dalam HMI Cabang Ciputat. Dan kawan-kawan FKMA. Tuntutan
untuk senantiasa berkreativitas dan merekatkan jaringan menjadi pelajaran yang
tak terlupakan dari komunitas ini. Bersama mereka pula saya menjadi lebih
dewasa dan menjadi mahasiswa seutuhnya dalam kegiatan organisasi.
Nabila Fairuzza, nama yang tidak akan luput dari ingatan, terimakasih
untuk semangat dan ”ancamannya”. Semoga kebersamaan antara kita tidak
sekedar rutinitas kehidupan namun semakin meningkatkan produktifitas dan
kualitas diri.
Juga, yang tak boleh terlewatkan terima kasih kepada para Guru dan
kawan-kawan di Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah Attaqwa Bekasi, yang selama
enam tahun (1994-2000) telah menjadi tempat yang nyaman dalam bergaul dan
menimba ilmu-ilmu agama. Disinilah kali pertama penulis berinteraksi secara
penuh dengan pelajaran agama. Kesederhanaan dan keikhlasan para Guru dalam
9
mendidik para santri menjadi contoh terbaik dan bekal paling berharga bagi
penulis dalam perjalanan hidup di kemudian hari.
Berkaitan dengan dukungan mereka yang telah penulis sebutkan dan
pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu di sini, penulis hanya bisa
memohon kepada Yang Maha Kuasa untuk membalas segala kebaikan mereka.
Mudah-mudahan Allah swt memberikan balasan yang setimpal atas segala amal
baiknya.
Akhirnya hanya kepada Allah swt. penulis berserah diri dan bertawakkal
serta memohon pengampunan-Nya atas segala kesalahan dan kekhilafan.
Meskipun demikian, penulis berharap karya tulis kecil ini dapat bermanfaat
sebagai sumbangsih sederhana dalam khazanah keilmuan tafsir di fakultas
tercinta, terutama dalam menelaah kembali akan pemahaman tafsir al-Qur’an.
Jakarta, 10 Maret 2009
Penulis
Muhammad Khotib
10
PEDOMAN TRANSLITERASI
أ ط t
ب b ظ z
ت t ع ‘
ث ts غ gh
ج j ف f
ح h ق q
خ kh ك k
د d ل l
ذ dz م m
ر r ن n
ز z و w
س s ه h
ش sy ء ‘
ص s ي y
ض d
Vokal Tunggal Vokal Panjang
Fathah : a ا : â
Kasrah : i ا : î
Dammah : u ا : û
11
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………….. i
PEDOMAN TRANSLITERASI ………………………………………. v
DAFTAR ISI …………………………………………………………… vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................... 9
C. Langkah-langkah Penelitian ......................................... 9
D. Kajian Pustaka ............................................................10
E. Tujuan Penelitian ........................................................12
F. Sistematika Penulisan ..................................................12
BAB II KISAH–KISAH AL-QUR’ÂN DALAM KAJIAN‘ULUM AL-QUR’ÂNa. Definisi Kisah .............................................................14
b. Hikmah dan Tujuan Kisah al-Qur’ân............................18
c. Karakteristik Kisah al-Qur’ân ......................................20
d. Macam-macam Kisah al-Qur’ân...................................24
BAB III MUHAMMAD AHMAD KHALAFULLÂH DAN KARYA-KARYANYA
a. Biografi Intelektual dan Karya-karya Muhammad
Ahmad Khalafullâh .....................................................32
b. Seputar buku al-Fann al Qasasiy fi al-Qur’ân al-
Karîm ..........................................................................35
BAB IV KISAH-KISAH DALAM AL-QUR’ÂN MENURUTMUHAMMAD AHMAD KHALAFULLÂH
12
a. Penafsiran Kisah-kisah al-Qur’ân Menurut
Muhammad Ahmad Khalafullâh .................................40
b. Kontekstualitas Kisah al- Qur’ân: Antara Pesan
Moral dan Fakta Sejarah ............................................43
c. Analisa Terhadap Pemahaman Kisah Menurut
Muhammad Ahmad Khalafullâh .................................45
BAB V PENUTUP
a. Kesimpulan .................................................................54
b. Saran-saran ..................................................................55
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 57
13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai kitab suci, al-Qur’an tidak diturunkan secara sekaligus dalam
bentuk buku. Ia diturunkan secara berangsur-angsur dan bertahap kepada
Rasulullâh saw. selama dua puluh tiga tahun. Penurunan wahyu kepada Nabi
secara berangsur-angsur dan bertahap merupakan bukti bahwa al-Qur’an tidak
turun dalam ruang hampa. Artinya, al-Qur’an turun sebagai respon terhadap
kondisi sosial kemasyarakatan ketika ia diturunkan1.
Sebagai respon terhadap kondisi sosial kemasyarakatan, al-Qur’an
tentunya akan beradaptasi dengan kemampuan nalar masyarakat yang menjadi
objeknya. Hal ini bertujuan agar al-Qur’an dapat dipahami dan dapat diambil
fungsinya yaitu sebagai kitab petunjuk.
1Nasr Hamid Abu Zaid-cendekiawan Muslim kontemporer-banyak memberikan komentartentang hal ini, diantaranya sebagai berikut; bahwasannya alasan diturunkannya al-Qur’ansecara bertahap oleh karena Rasulullah saw, adalah seorang yang ummi, tidak dapat baca tulis,maka wahyu diturunkan secara bertahap kepadanya agar mudah baginya untuk menghafal. Iniberbeda dari nabi-nabi lainnya sebab mereka dapat menulis dan membaca sehingga dimungkinkanbagi mereka untuk menghafalkan semuanya apabila diturunkan sekaligus. Dan lebih dari itu sebabapabila wahyu muncul dalam setiap peristiwa , ini akan lebih memantapkan hati dan lebihmemberikan perhatian terhadap rasul. Dan ini tentunya mengharuskan malaikat sering turunkepadanya dan memperbarui pertemuan dengannya dengan membawa misi dari sisi Yang MahaMulia. Dari sini, muncullah kegembiraan yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. LihatNasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an; Kritik terhadap Ulumul Qur’an, terj.KhoironNahdiyin (Yogyakarta: LKiS,2005), cet ke IV, h. 117.
14
Allah swt. berfirman dalam sûrah al-Baqarah/2: 2 sebagai berikut:
كذل ابتالك لا بير يهف هدى نيقتلمل“Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertakwa.”2
Selain diturunkan secara bertahap, al-Qur’an juga menggunakan bentuk
atau redaksi ayat yang beragam. Salah satu bentuk ayat-ayat al-Qur’an yang dapat
menggugah hati dan kesadaran manusia adalah ayat-ayat tentang kisah. Allah
menuangkan kisah-kisah dalam al-Qur’an adalah sebagai pelajaran (‘ibrah) agar
dapat diambil hikmahnya. Allah berfirman dalam sûrah Yûsuf/12: 111 berikut:
لقد كان في همصقص عبرة لأولي الألباب“Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi
orang yang mempunyai akal.”
Kisah dalam al-Qur’an bukan hanya menggambarkan peristiwa-peristiwa
lokal yang terikat pada satu waktu tertentu, melainkan juga menggambarkan
peristiwa-peristiwa yang terpisah dari kesatuan gejala kehidupan yang lebih besar.
Selain itu, kisah juga merupakan bagian dari gelombang sejarah kehidupan umat
manusia.
Dalam kehidupan sehari-hari, kisah dalam al-Qur’an telah sangat
memasyarakat. Berbagai macam bentuk publikasi dan dokumentasi telah banyak
merekam kisah dalam al-Qur’an. Buku dan majalah yang khusus membahas
tentang kisah dalam al-Qur’an telah banyak disusun. Banyak penceramah atau
2 Seluruh terjemah al-Qur’an dalam penelitian ini mengacu kepada al-Qur’an TerjemahDepartemen Agama RI tahun 2002.
15
para pendakwah yang seringkali menyampaikan kisah dalam setiap isi pidato yang
disampaikannya kepada jamaah.
Saat ini, seiring dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat,
penyampaian kisah telah mengalami kemajuan. Banyak stasiun televisi
menayangkan kisah dalam al-Qur’an atau tayangan kisah yang terinspirasi dari
kisah-kisah yang ada dalam al-Qur’an, terutama kisah para nabi dan kisah teladan
lainnya. Menariknya, tayangan ini sangat diminati masyarakat, sehingga tayangan
sinetron atau sinema elektronik yang memuat kisah berada pada jam tayang yang
mahal (prime time) dan menempati rating tertinggi karena banyak peminatnya.
Selain kisah di atas, terdapat tradisi yang berlaku di sebagian masyarakat
Islam Indonesia bagi para Ibu yang sedang hamil dibacakan sûrah Yûsuf atau
sûrah Maryam. Ritual yang sudah menjadi tradisi ini biasa disebut “Tujuh
Bulanan”. Ritual Tujuh Bulanan ini sangat dianjurkan ketika usia kandungan ibu
mencapai tujuh bulan atau ada juga yang empat bulan, dengan harapan agar si
jabang bayi kelak menjadi anak yang soleh dan solehah seperti Nabi Yûsuf dan
Siti Maryam. Sebagaimana yang telah dikisahkan dalam surah Yûsuf dan
Maryam.
Berdasarkan fenomena sosial keagamaan di atas, pertanyaan yang muncul
kemudian adalah apakah umat sudah bisa atau sudah menangkap pesan yang
justru menjadi misi utama sebuah kisah dalam al-Qur’an? Apakah umat sudah
memetik ‘ibrah atau pelajaran yang secara eksplisit tertuang dalam kisah-kisah al-
Qur’an? Pada kenyataannya, apakah sudah terjadi perubahan dalam masyarakat ke
16
arah yang lebih baik seiring banyaknya penyampaian kisah yang secara masif
disebarluaskan oleh berbagai media dan kalangan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas bisa terjawab dengan melihat secara
langsung kondisi umat saat ini. Menurut hemat penulis terjadi ketidak-sinkronan
dalam diri umat antara banyaknya penyampaian kisah dengan perubahan ke arah
yang lebih baik yang justru menjadi pesan atau misi utama sebuah kisah. Siapa
dan apa penyebab ketidak-sinkronan tersebut bisa terjadi? Apakah materi
kisahnya yang harus diperbaiki atau pemahaman dan cara pandang umat terhadap
kisah yang harus diperbaiki?
Kisah sebagai bagian integral dari al-Qur’an tentunya tidak akan pernah
salah, karena kebenaran sebuah kisah sudah mendapat jaminan dari Allah swt.
Kebenaran sebuah kisah sebagai petunjuk sekaligus pelajaran terungkap dalam
al-Qur’an. Allah berfirman dalam surah Âli ‘Imrân/3: 62 dan surah Yûsuf/12: 111
berikut:
إن هذا وله صالقص قالح“Sungguh, ini adalah kisah yang benar.”
لقد كان في همصقص عبرة وليلأ الألباب“Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi
orang yang mempunyai akal.”
Berangkat dari dua ayat di atas, kebenaran kisah-kisah dalam al-Qur’an
merupakan sebuah jaminan dari Allah swt. Bila terjadi kesalahan dalam
pengungkapan kisah, hal itu merupakan kesalahan umat dalam memahami kisah
17
al-Qur’an. Salah pemahaman inilah yang menyebabkan terjadinya ketidak-
sinkronan antara banyaknya sajian kisah dengan hasil yang menjadi tujuan kisah.3
Menurut penulis, ada hal yang kurang atau kurang tepat dalam menyikapi
kisah dalam al-Qur’an. Diperlukan pendekatan baru yang lebih segar dalam
memahami kisah-kisah dalam al-Qur’an. Pendekatan baru itu tidak cukup hanya
dengan menceritakan sebuah kejadian yang terangkum dalam kisah al-Qur’an,
melainkan bagaimana sebuah kisah dapat dijadikan sebagai pelajaran untuk
menciptakan tatanan kehidupan yang sesuai dengan misi utama al-Qur’an. Karena
sesungguhnya al-Qur’an datang kepada manusia dengan membawa kebenaran.
Kajian yang serius dan mendalam terhadap kisah dalam al-Qur’an perlu
dilakukan dalam konteks sosial kekinian. Hal ini dilakukan dengan harapan dapat
mengambil hikmah atau pelajaran (‘ibrah) yang dapat memperbaiki kondisi
masyarakat Indonesia sekarang yang sedang mengalami krisis moral, seperti
tindakan korupsi, perusakan alam hingga tingginya tingkat kriminalitas
(kejahatan). Dengan pemahaman yang mendalam dan benar tentang kisah dalam
al-Qur’an diharapkan berbagai penyakit sosial dalam tubuh umat dapat diperbaiki.
Selain ketidaksinkronan seperti yang penulis uraikan di atas, setidaknya
ada tiga hal lain yang menjadikan kisah dalam al-Qur’an menarik untuk
diperbincangkan. Pertama, kisah diyakini sebagai metode untuk menarik
perhatian berbagai kalangan yang tak terbatas, tua-muda, kaya-miskin, penguasa-
rakyat dan lain sebagainya. Kedua, kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an
tersebar hampir di setiap juz. Ketiga, kisah-kisah tentang para rasul banyak
3 Muhammad Ahmad Khalafullâh, al- Fann al- Qasasî fî al-Qur’ân al-Karîm (Beirut:Sîna li al-Nasyr,1999), h. 6.
18
terdapat dalam juz ke-12.4 Tujuan diceritakannya kisah-kisah tersebut secara
eksplisit dinyatakan dalam juz ini.5 Inilah yang menjadikan penelitian terhadap
kisah-kisah al-Qur’an menjadi begitu penting untuk dibahas.
Menurut Ahmad Hanafi dalam bukunya, Segi Kesusasteraan pada Kisah-
kisah al-Qur’an, menyebutkan jumlah keseluruhan ayat al-Qur’an tentang kisah-
kisah para nabi dan rasul terdahulu sebanyak 1600 ayat. Jumlah ini dengan tidak
mengikutsertakan kisah-kisah tamstîliyyât (perumpamaan). Jika dibandingkan
dengan ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang hukum yang berjumlah 330
ayat, maka akan terlihat betapa besar perhatian al-Qur’an terhadap kisah-kisah
itu.6
Menurut Ahmad Bahjat, kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an bukan
hanya berupa aspek seni yang tersendiri dalam topik dan alur ceritanya, namun
terikat dalam tujuan agama yaitu menunjukkan dasar dakwah atau menyeru
kepada tujuan agama.7
4 A. Mudjab Mahalli, Spiritualitas al-Qur’ân dalam Membangun Kearifan Umat(Yogjakarta: LPPAI UII, 1999), h. 307.
5 لقد كان ىف همصقص عبرة لأوىل الألباب“Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai
akal.” (QS. Yusuf: 111)
كالو قصن كليع نم أنبآء الرسل تثبانم به كادفؤ“Dan semua kisah-kisah Rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad) agar dengan
kisah itu Kami teguhkan hatimu.” (QS. Hud: 120)
6 Ahmad Hanafi, Segi-segi Kesusasteraan pada Kisah-kisah al-Qur’ân (Jakarta: Pustakaal Husna, 1984), h. 22.
7 Ahmad Bahjat, Sejarah Nabi-nabi Allâh (Jakarta: Lentera, 2001), cet. Ke 1, h. 25.
19
Dalam redaksinya, kisah-kisah dalam al-Qur’an tidak disusun berdasarkan
kronologi peristiwa yang sebenarnya, melainkan disesuaikan dengan tujuan kisah
dan keadaan jiwa Nabi Muhammad saw. ketika beliau menerima wahyu.
Berkenaan dengan hal ini, Muhammad 'Abduh berpendapat bahwa al-Qur’an tidak
bermaksud menerangkan materi sejarah atau menuturkan peristiwa-peristiwa
secara kronologis.8
Seperti penulis ungkap sebelumnya bahwa harus ada cara baru dalam
memahami kisah-kisah al-Qur’an yang begitu banyak. Dalam konteks ini
pembahasan tentang Muhammad Ahmad Khalafullâh, seorang sarjana asal Mesir
yang membahas kisah dalam al-Qur’an secara lebih mendalam, menawarkan suatu
pendekatan baru dalam memahami kisah-kisah al-Qur’an menemukan relevansi
dan signifikansinya.
Menurut pandangan Khalafullâh, harus dibedakan antara materi kisah dan
pesan yang dikandung di dalamnya. Maksudnya materi cerita tidak harus
berdasarkan peristiwa-peristiwa aktual (waqî‘iy), tetapi boleh fiktif (khayâlî).
Aspek terpenting dalam suatu kisah adalah isi yang dikandung di dalamnya, yaitu
mengajak manusia kepada kebenaran (al-haqq) sehingga dapat dijadikan sebagai
pedoman dan pelajaran bagi kehidupan manusia.9
Konsep memahami kisah-kisah al-Qur’an yang dilontarkan oleh
Khalafullâh ternyata menuai kontroversi, terutama di kalangan ulama Mesir.
Selain menawarkan pendekatan pemahaman baru, Khalafullâh juga mengkritik
8 Muhammad Rasyîd Rida, Tafsîr al-Manâr (Kairo: Matba’ah Hijazi, 1959), jilid I, h.327.
9 Muhammad Ahmad Khalafullâh, h. 22.
20
para ulama sebelumnya yang menggunakan pendekatan sejarah dalam memahami
kisah-kisah al-Qur’an.
Menurut Khalafullâh, bila seseorang menggunakan pendekatan sejarah
dalam memahami kisah-kisah al-Qur’an, maka akan banyak menemukan
kebuntuan. Hal ini terjadi karena memang kisah al-Qur’an tidak secara detail
memuat unsur-unsur kesejarahan di dalamnya. Dalam kondisi ini serangan
orientalis yang mengatakan bahwa terjadi ketidaksesuaian antara fakta sejarah
dengan kisah al-Qur’an tidak dapat dihindarkan. Itulah beberapa hal yang
Khalafullâh jawab dengan pendekatan barunya dalam membaca kisah al-Qur’an.10
Konsep dalam memahami kisah-kisah al-Qur’an dan kritikan Khalafullâh
terhadap ulama sebelumnya ini juga menggugah penulis untuk mengkajinya
dalam suatu karya ilmiah (skripsi). Penulis akan mengeksplorasi pemikirannya
dengan membandingkan dengan pendapat para ulama tafsir lainnya. Maka skripsi
ini akan mengkaji pemikiran Khalafullâh terhadap kisah-kisah al-Qur’an, dengan
judul Penafsiran Kisah-kisah al-Qur’an; Telaah Terhadap Pemikiran
Muhammad Ahmad Khalafullâh dalam al- Fann al- Qasasî fî al-Qur’ân al-
Karîm.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar lebih spesifik dan terarahnya pembahasan ini, penulis hanya
membatasi pembahasannya seputar pemahaman Khalafullâh dalam kisah al-
Qur’an yang terdapat dalam karyanya al-Fann al Qisasî fî al-Qur’ân al-Karîm.
10 Muhammad Ahmad Khalafullâh, h. 16.
21
Terutama dalam proses pemahaman yang terdiri dari pengumpulan teks,
sistematisasi historis atas teks, interpretasi teks, pembagian dan penyusunan bab,
orisinalitas dan taklid. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi
ini adalah: Bagaimana Khalafullâh memahami kisah-kisah dalam al-Qur’an?
C. Langkah-langkah Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode pengumpulan
data melalui penelitian kepustakaan (library research). Penulis akan
mengumpulkan dan menelaah sejumlah buku, tulisan, dan sumber bacaan yang
ada kaitannya dengan pembahasan skripsi ini. Sedangkan karya Muhammad
Ahmad Khalafullâh yang berjudul al-Fann al Qasasî fî al-Qur’ân al-Karîm
menjadi rujukan utama penulisan skripsi.
Hal ini penting dilakukan untuk mendapatkan data, kerangka teori, dan
pendapat-pendapat dari para pakar yang kompeten di bidangnya tentang masalah
yang akan dibahas. Dalam menganalisis data-data, penulis menggunakan metode
deskriptif analitis. Secara deskriptif yaitu menuturkan dan menafsirkan data yang
berkenaan dengan fakta keadaan, variabel dan fenomena yang terjadi saat
penelitian berlangsung dan menyajikan apa adanya.11 Di sini, penulis akan
menggambarkan dan mengurai pemahaman Khalafullâh yang tertuang dalam al-
Fann al Qasasî fî al-Qur’ân al-Karîm terhadap ayat-ayat kisah dalam al-Qur’an.
11 M. Subana, dan Sudarajat, Dasar-dasar Penelitian Ilmiah (Bandung : Pustaka Setia,2001), h. 89.
22
Analitis sebagai upaya eksplorasi dan klarifikasi mengenai fenomena
pemahaman, pemaknaan, interpretasi al-Qur’an, dan mengukuhkan pengetahuan
tentang berbagai eksperimen tersebut. Analisis isi (content analysis) dilakukan
untuk menganalisis pemahaman Khalafullâh seputar ayat-ayat kisah dalam al-
Qur’an.
Sedangkan teknik penulisannya, penulis sepenuhnya merujuk pada buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi) yang diterbitkan oleh
CeQDA Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun
2007.
D. Kajian Pustaka
Bedasarkan kajian pustaka yang telah penulis lakukan ada beberapa karya
yang telah membahas tentang kisah-kisah yang terdapat di dalam al-Qur’an.
Penulis menemukan 20 karya tulis yang rinciannya sebagai berikut: 16 buah
berupa skripsi12, 3 buah berupa Tesis13 dan 1 buah artikel dalam Jurnal Mimbar
12 Kisah dalam al-Qur’an: Studi kasus atas kisah nabi Yunus A.S dalam Q.S Al-anbiya:87-88 menurut at-tabari & Ar-Râzi (Wihdan Dana Mauludi) 2004, Kisah dalam al-Qur’an telaahanalisis Ashabul Khasm dalam tafsir al-Alusi (Abdul Majid Hefzi) 2004, Kisah Fir’aun dalam al-Qur’an: Kajian Tematik (Abdul Latief), Qisah Isa bin Maryam fi surah Ali Imrân min al-Qur’ânal-karîm wama fîha min al-anâsir al-adabiyyah (Marfu’ah) 2004, Kisah Nabi Ibrahim A.S mencariTuhan dalam al-Qur’an: Kajian Terhadap Tafsir al-Misbah surat al-An’âm 74-79 (Chaerunnisa)2004, Kisah perjalanan nabi Musa dengan Abdun Saleh dalam surat al-Kahfi ayat 66-78 (RasulKarim) 2007, Kisah Talut dalam al-Qur’an kajian atas tafsir at-tahrir wat tanwir (EndoyDiyaddin) 2005, Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam kisah Adam A.S (Habibillah) 2008,Kajian statistika atas penafsiran kisah Musa & Khidir A.S: studi kebahasaan terhadap pemaparankisah al-Qur’an (Achmad Hidayat) 2002, Menyingkap tabir kisah Isra’ & Mi’raj: telaahpenafsiran Q.S. Al-Isra 1 & Q.S. An-Najm 1-8 (Achmad Firmansyah) 2002, Hikmah pengulangankisah-kisah dalam al-Qur’an: studi analitis terhadap kisah nabi Adam A.S. (Ahmad Nuaim) 2005,Banjir dalam al-Qur’an studi atas kisah banji nabi Nuh A.S (Taofikurrahman) 2005, Pesan-pesanmoral yang terkandung dalam kisah penyembelihan putra Ibrahim: studi atas tafsir surat al-Saffatayat 102 (Nurlatifah) 2007, Konsep kepemimpinan dalam a-Qur’an: studi atas kepemimpinandalam kisah-kisah al-Quran. (Akmal Mundiri) 2008, Analisis framing kisah-kisah sufi karya
23
Agama dan Budaya yang ditulis oleh Dr. Yusuf Rahman14, MA. Diantara karya
tulis tersebut terdapat beberapa perbedaan dan juga persamaan. Berdasarkan
penelitian yang penulis lakukan, kesamaan tersebut terdapat pada beberapa hal
diantaranya adalah memaparkan tujuan kisah-kisah al-Qur’an. Pendekatan yang
digunakan hampir seragam yaitu pendekatan tematik. Namun demikian dari
sekian banyak jumlah karya tulis, tidak terdapat sebuah karya yang membahas
kisah-kisah dalam al-Qur’an yang ditinjau dari satu tokoh tertentu serta
bagaimana cara (metodologi) ulama atau tokoh tersebut dalam memahami kisah
al-Qur’an khususnya tokoh yang konsen dalam kajian ilmu-ilmu al-Qur’an.
Dalam penelitian yang penulis lakukan, penulis berusaha melihat secara
khusus kisah-kisah al-Qur’an dalam perspektif seorang tokoh, dalam hal ini
adalah Khalafullâh. Hal ini penulis lakukan dengan tujuan agar dapat melihat
kisah-kisah al-Qur’an secara lebih mendalam terutama dalam pandangan
Khalafullâh. Inilah letak perbedaan yang terdapat antara penelitian yang penulis
lakukan dibanding dengan beberapa karya yang telah ada. Meskipun penulis
sesekali mengutip informasi dari beberapa penelitian sebelumnya.
Jalaluddin Rumi. (Bunga Alkautsar) 2008, Nilai-nilai pendidikan akhlak bagi anak-anak pra-sekolah usia 3-5 tahun melali kisah Lukman A.S. dalam al-Qur’an (Mahfuz Suzadi) 2003.
13 Aspek pengulangan kisah Adam A.S dalam al-Qur’an al-Karim: kajian strukturalismesemiotik (Dwi Mawati) 2004, Kandungan moral al-Qur’an dalam kisah ‘Ad dan Tsamud sertarelevansinya dengan kehidupan kontemporer (Wisnawati Loeis) 2004, Repetisi kisah nabi Musadalam al-Qur’an; Kajian Strukturalisme Semiotika (Ahmad Hasan Hashona) 2008.
14 Yusuf Rahman, al-Tafsîr al-Adabî fî al-Qur’ân: A Study of Amîn al-Khûlli’s andMuhammad Ahmad Khalafullâh’s Literary Aproach to the Qur’ân (Jurnal Mimbar Agama danBudaya, Vol.xix, no. 2, 2002. (Desember 2002), h. 139
24
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara formal dilakukan dalam rangka memenuhi syarat
memperoleh gelar sarjana program strata satu (S-1) pada jurusan Tafsir Hadis
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun tujuan
non-formal penelitian ini adalah memahami penafsiran kisah-kisah al-Qur’an
menurut Khalafullâh agar dapat diambil atau dipetik pelajaran dari penyajian
kisah-kisah al-Qur’an.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, maka pembahasannya
telah dibagi beberapa bab dengan perincian sebagai berikut:
Bab pertama, pembahasan dimulai dengan pendahuluan yang berisi
penguraian tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah,
langkah-langkah penelitian, kajian pustaka dan tujuan penelitian serta sistematika
penulisan.
Bab kedua, menguraikan gambaran umum tentang kisah-kisah al-Qur’an
dalam kajian ‘Ulum al-Qur’an. Bab ini meliputi definisi kisah, hikmah dan tujuan
kisah, karakteristik serta macam-macam kisah dalam al-Qur’an.
Bab ketiga, menguraikan seputar biografi Khalafullâh, karya-karyanya
serta kasus yang berkaitan dengan karya besarnya yaitu al- Qur’an Bukan Kitab
Sejarah; Seni, Sastra dan Moralitas dalam Kisah-kisah al- Qur’an.
Bab keempat, berisi tentang kisah-kisah dalam al-Qur’an menurut
Khalafullâh. Bab ini meliputi penafsiran kisah-kisah dalam al-Qur’an menurut
25
Khalafullâh dan kontekstualitas kisah al-Qur’an: antara pesan moral dan fakta
sejarah selanjutnya bab ini diakhiri dengan analisa terhadap pemahaman kisah
menurut Khalafullâh.
Akhirnya penelitian ini ditutup dengan bab kelima, yang berisi
kesimpulan. Hal ini penting untuk menjelaskan sekaligus menjawab pertanyaan
yang tertuang dalam rumusan masalah.
26
BAB II
Kisah–kisah al-Qur’an
dalam Kajian ’Ulûm al-Qur’an
A. Definisi Kisah
Kisah atau qissah merupakan salah satu bentuk seni sastra yang memiliki
ikatan kuat dengan diri manusia. Ia sangat disukai karena menggambarkan
berbagai kejadian dan peristiwa dalam kehidupan nyata ataupun imajinatif. Kisah
sudah dikenal manusia sejak dahulu ketika manusia mulai berkisah tentang
peristiwa-peristiwa yang ia alami atau mitos-mitos yang ia imajinasikan. Ia adalah
seni tertua karena sangat berhubungan erat dengan tabiat manusia yang cenderung
suka kepada khayalan, rasa ingin tahu (curiosity) dan ingin mendengar berita dari
orang lain.
Secara etimologis, kata kisah berarti cerita tentang suatu kejadian
(riwayat) dalam kehidupan seseorang dan sebagainya.15 Dalam kamus
al-Munawwir kata al-qissah (القصة) adalah bentuk mufrad atau tunggal, jamaknya
(صصق) yang berarti cerita atau hikayat16. Sementara Ibn Manzûr menjelaskan
bahwa kata ini berasal dari kata القص atau صالقص bentuk masdar yang diambil
15 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:Balai Pustaka, 1988), h. 443-444
16 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h.1126.
27
dari akar kata قص- قصي- -قصا وقصصا yang berarti potongan, benda yang diikuti,
pelacak jejak, urusan dan perkara.17
Bila kata kerja قص dihubungkan dengan al-Hadîts atau al-Khabar akan
berarti menceritakan, tetapi bila dikaitkan dengan al-Atsar, ia akan berarti
menelusuri (tatâbu’u)18. Pemakaian dengan arti menceritakan dapat dilihat pada
sûrah Yûsuf/12: 3 berikut:
نحن قصن كليع نسأح القصص بمآ أوحينآ كإلي هذا القرءان وإن كنت من هلقب نلمنيلافالغ
“Kami menceritakan kepadamu (Muhammad) kisah yang palingbaik dengan mewahyukan al-Qur’an ini kepada mu, dan sesungguhnyaengkau sebelum (Kami mewahyukannya) termasuk orang yang belummengetahui”.
Sedangkan pemakaian kata قص dengan arti menelusuri dapat dilihat pada
surah al-Kahfi/18: 64 berikut:
قال كذل ماكنا نبغ فارتدا على ءاثارهما قصصا“Dia (Musa) berkata, “itulah (tempat) yang kita cari,” lalu
keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula”.
Secara terminologi kisah didefinisikan antara lain sebagai berikut:
Pertama, sarana untuk mengungkapkan seluruh atau sebagian perikehidupan
meliputi satu peristiwa (hadîtsah) atau lebih yang mempunyai hubungan runtun
dan dilengkapi dengan pendahuluan dan penutup.19 Kedua, dalam bahasa arab,
17 Ibn Manzûr, Lisân al-'Arab (Beirut: Dâr al Shadîr,1994), jilid VII, h. 74-75.
18 Louis Ma’luf, al-Munjîd fî al-Lughah (Jakarta: Mutiara, 1997), h. 631.
19 Muhammad Kamil Hasan, al-Qur’ân wa al-Qisasah al-Hadîtsah (Beirut: Dâr al-Buhûts al-‘Ilmiyah, 1970), h. 9.
28
kisah disebut dengan qissah, ia merupakan turunan dari kata qassa-yaqussu yang
berarti (1) memberitakan, seperti yang terdapat dalam surat Yusuf : 2
“kami beritakan kepada kamu kisah terbaik” (2) mengikuti jejak, seperti
firman Allah dalam surat al-Qasas : 10
“ketika ibu Musa berkata pada saudara perempuan Musa ikutilah jejaknya”
.20 Ketiga, Abd. al-Qudus Abû Sâlih juga mendefinisikan kisah sebagai “kisah
yang memaparkan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan yang faktual atau
imajiner dengan gaya seni teratur”.21 Keempat, sementara Faishal mendefinisikan
kisah sebagai: “ peristiwa-peristiwa yang menarik yang menggambarkan model
kehidupan tertentu, kejadian-kejadian tersebut dipaparkan dengan gaya yang
menarik dengan memadukan antara realitas dan imajinasi”.22 Kelima, dalam
bahasan yang lebih luas al-Sibâ’î al-Bajûmi seperti dikutip oleh Ahmad Hanafi23
mendefinisikan kisah sebagai berikut:
ادري ةصبالق ىف العصر احلاضر كل ةابتك ةبياد ةفني ردصت نع كاتب حدوا دبقص تصويرالةح ةنيعم ىف) التاريخ اواالخالق او االوضاع او (غيرها تصويرا عرتي هيف الكاتب نعرهوعش اخلاص رهيفكتو ئاشالن نع هذا الشعور هجالوو الذى جهتي اهلي أيره على حسب ما
20 Manna Khalil al-Qattan, Mabâhits fi Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: al-Asr al-Hadits, tt), h.305.
21 Abd. al-Qudus abû Sâlih, al-Balâghah Wa al-Naqd (Saudia: Imâm Sa’ûd University,1114 H), h.175.
22 Abd. al-Aziz Muhammad Faishal, al-Adab al-'Araby wa Tarikhuhu (Saudi :Departemen Pendidikan Tinggi, 1114 H), h. 28.
23 Hanafi, Segi-segi Kesusasteraan pada Kisah-kisah al-Qur’ân, h. 14.
29
رعش فكرو بحيث تتمثل تيصخشه ىف ذاه التصوير تمثال قفري هنيب نيبو رهغي نمم كتبوافيما بكت.
“Yang dimaksud dengan kisah dewasa ini ialah setiap tulisan yang bersifatkesusasteraan dan indah serta keluar dari seorang penulis dengan maksud untukmenggambarkan suatu keadaan tertentu (mengenai sejarah atau kesusasteraan atauakhlak atau susunan masyarakat dan lain sebagainya) dengan suatu cara dimanapenulis melepaskan diri dari perasaan pribadinya dan pikiran yang timbul dariperasaan tersebut dan dari arah yang dituju oleh pendapatnya itu yang sesuaidengan perasaan dan pikirannya, sehingga pribadinya tercermin dalampenggambaran itu yang dapat membedakannya dari orang lain yang mempunyaitulisan yang sama”.
Keenam, sementara itu Khalafullâh mendefinisikan kisah sebagaiberikut:24:
لالعم بياالد وه ىالذ يكون نتيجة تخيل القاص لحوادث تقعو نم بطل ال دوجو له او البطلله دوجو. نلكو االحداث التى تارد لهوح ىف ةصالق لم قعت. تقعواو للبطل كنهاول تظمن ىف
ةصالق لىع اساس فني يالغب مفقد بعضها راخو راخ. ذكرو بعضها ذفحو راخ فياضو اىلالواقع ضعب لم قعي. او بولغ ىف التصوير اىل دالح ىالذ جرخي شخصيةبال اىل ةيارخالت نع ان
تكون نم الحقائق ةيادالع فةاملألوو ويجعلها نم الاشخاص نياليالخ.
“Kisah ialah suatu karya kesusasteraan yang merupakan hasil khayalpembuat kisah terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi atas seorang pelaku yangsebenarnya tidak ada. Atau, dari seorang pelaku yang benar-benar ada, tetapiperistiwa-peristiwa yang berkisar pada dirinya dalam kisah itu tidak benar-benarterjadi. Ataupun, peristiwa-peristiwa itu terjadi atas diri pelaku, tetapi dalam kisahtersebut disusun atas dasar seni yang indah, dimana sebagian peristiwadidahulukan dan sebagian lagi dikemudiankan, sebagiannya disebutkan dansebagian yang lain ditiadakan. Atau, terhadap peristiwa yang benar-benar terjadiitu ditambahkan peristiwa baru yang tidak terjadi atau dilebih-lebihkanpenggambarannya, sehingga pelaku-pelaku sejarah keluar dari kebenaran yangbiasa dan sudah menjadi pelaku khayali”.
Definisi di atas tampaknya memberi perhatian yang sama terhadap teknis
pemaparan tertentu bahwa yang dinamakan kisah itu relatif panjang. Akan tetapi
masih terdapat perbedaan tentang materi kisah tersebut, yakni definisi pertama
24 Khalafulâh, al- Fann al-Qasasî fî al-Qur’ân al- Karîm, h. 152.
30
memasukkan peristiwa (al-hadîtsah) yang secara mudah dapat diartikan sebagai
fakta-fakta nyata kedalam materi kisah. Sedangkan definisi kedua sampai keenam
memasukkan cerita yang bersumber dari imajinasi kedalam materi kisah.
Dengan merujuk definisi kedua sampai keenam, akan terbuka
kemungkinan yang sama besar bahwa tanpa memperhatikan di mana ia berada,
yang disebut kisah itu terdiri atas cerita yang benar-benar terjadi atau hanya
merupakan rekaan imajinatif dan khayali semata. Dengan memperhatikan definisi
kisah seperti tersebut di atas, beberapa cerita atau khabar yang terdapat dalam
al-Qur’an khususnya gambaran yang diungkapkan secara runtun dan lengkap
tentulah dapat digolongkan sebagi kisah.
Demikianlah beberapa definisi kisah seperti diungkapkan di atas. Boleh
jadi masih banyak pengertian lain. Dari pemaparan definisi di atas dapat
dipastikan bahwa dari definisi saja kita tak dapat memperoleh pengertian yang
sebenarnya tentang kisah dan segala yang meliputinya. Namun penulis berharap
dari definisi yang diungkapkan di atas dapat diperoleh sedikit pemahaman tentang
objek kajian yang menjadi sasaran penulis.
B. Hikmah dan Tujuan Kisah al-Qur’an
Sebagai kitab petunjuk atau pedoman bagi seluruh aspek kehidupan
manusia, al-Qur’an menggunakan banyak teknik untuk mengajari manusia.
Melalui dialog, pertanyaan-pertanyaan, penggambaran metaforis, kisah dan
sebagainya. Kisah dengan demikian merupakan salah satu teknik yang digunakan
al-Qur’an untuk menyampaikan gagasan dan pesannya, ia tidak diungkapkan
31
dengan tujuan berkisah semata. Ahmad Badwi mengajukan beberapa tujuan
pengungkapan kisah sebagai berikut:25
1. Agar manusia mau berpikir
كذل مثل القوم الذني كذبوا بئاياتنا فاقصص صالقص ملهلع يتفكرون
“Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir”(QS. al- A’raf: 176)
2. Agar dapat diambil pelajaran daripadanya
لقد كان ىف همصقص عبرة لأوىل الألباب
“Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagiorang yang mempunyai akal.” (QS. Yusuf: 111)
3. Untuk memantapkan dan menetapkan hati
الوك قصن كليع نم أنبآء الرسل تثبانم به كادفؤ“Dan semua kisah-kisah Rasul, Kami ceritakan kepadamu
(Muhammad) agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu.” (QS. Hud:120)
Sementara Khalafullâh menyimpulkan tujuan pengungkapan kisah dalam
al-Qur’an adalah sebagai berikut:26
1. Menerangkan bahwa semua agama yang dibawa para Nabi dan Rasul
adalah sama, dan semuanya berasal dari Allah.
25 Ahmad Badwi, Min Balaghah al-Qur’ân (Cairo: Dâr al-Nahdoh al-Misr, tt), h. 37
26 Khalafulâh, al-Fann al Qasasî fî al-Qur’ân al-Karîm, h. 229-246.
32
2. Menerangkan bahwa karena agama-agama yang dibawa para nabi adalah
sama, maka dasarnya pun sama yaitu mengajak manusia untuk
mengesakan Allah.
3. Menerangkan bahwa akhirnya kebenaran yang dibawa oleh para Rasul
beserta para pengikutnya akan dapat menghancurkan kebatilan.
4. Mengingatkan manusia tentang adanya permusuhan abadi antara manusia
dengan iblis, sehingga manusia senantiasa waspada terhadap tipu dayanya.
5. Menerangkan bahwa Allah memiliki kuasa untuk mewujudkan sesuatu
yang mungkin tidak diperhitungkan oleh akal manusia.
6. Membentuk pribadi mukmin yang kuat dan tangguh serta membangkitkan
motivasi untuk mengikuti kebenaran dan melawan kebatilan.
7. Meringankan tekanan yang dihadapi oleh Nabi dan para pengikutnya
sebagai akibat intimidasi dan provokasi kaum musyrik terhadap dakwah
yang disampaikan.
C. Karakteristik Kisah al-Qur’an
Dalam penyampaiannya, kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an
banyak memiliki keistimewaan dibandingkan dengan kisah lainnya.
Keistimewaan dimaksud semakin menegaskan bahwa kisah-kisah al-Qur’an
merupakan bagian penting dalam al-Qur’an sebagai kitab petunjuk bagi orang-
orang bertakwa.
33
Di antara keistimewaan kisah-kisah dalam al-Qur’an antara lain adalah
pertama, mengandung unsur edukatif (al-Tarbawî)27. al-Qur’an menyampaikan
sebuah kisah bukan tanpa maksud. Unsur edukatif atau pendidikan merupakan
unsur utama dalam penyampaian kisah al-Qur’an. Sebuah kisah dipaparkan dalam
al-Qur’an dimaksudkan sebagai sebuah pembelajaran bagi umat. Kedua, selain
sebagai sebuah pembelajaran bagi umat, kisah dalam al-Qur’an juga tidak terlalu
merinci peristiwa sebuah kejadian atau kisah. Hal ini dimaksudkan untuk
mempermudah tujuan utama penyampaian sebuah kisah. Kisah-kisah dalam al-
Qur’an tidak dimaksudkan sebagai sebuah penjabaran kronologi kejadian. Banyak
kisah dalam al-Qur’an yang tidak begitu memperhatikan unsur-unsur sebuah
kisah, seperti waktu dan tempat kejadian. Penegasian unsur ini juga merupakan
keistimewaan kisah-kisah al-Qur’an. Karena al-Qur’an adalah bukan kitab atau
buku sejarah tapi lebih sebagai sebuah kitab petunjuk bagi orang-orang yang
bertakwa. Ketiga, Waqi'i (realita), sekalipun manusia tidak mampu untuk
membuktikan peristiwa-peristiwa tersebut. Keempat, materi yang terdapat dalam
kisah-kisah al-Qur’an menyuguhkan pengalaman kehidupan atau bahkan
peradaban manusia. Kisah Fir’aun28 dalam al-Qur’an memuat bahwa sebuah
peradaban, sebesar apapun itu, jika tidak berdiri di atas nilai-nilai moral luhur
pasti akan mengalami kehancuran. Diktator, kejam dan sombong (takabur) adalah
beberapa sifat yang melekat jika membahas kisah Fir’aun. Kekejaman dan
kejahatan Fir’aun dan para pengikutnya merupakan contoh nyata bahwa materi
yang terdapat dalam kisah al-Qur’an adalah sebuah pelajaran (bersifat edukatif)
27 Manna Khâlil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 1996). Cet. Ke 3, h. 441.
28 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,(Jakarta: Lentera Hati, 2002), Volume 10, h. 341
34
dan dapat dijadikan “kompas” bagi kehidupan manusia pada masa berikutnya.
Kisah Fir’aun juga memberikan gambaran kepada kita bahwa kejahatan pasti akan
tumbang jika datang kebenaran. Allah swt. berfirman dalam sûrah al- Isrâ/17: 81
berikut :
وقل جآء قالح قهزو الباطل إن الباطل كان .زهوقا
"Dan katakanlah, “kebenaran telah datang dan yang bathil telah lenyap.”Sungguh yang bathil itu pasti lenyap."
Dalam konteks pemaparan kisah Fir’aun kata telah datang kebenaran
(al-haq) dapat diartikan dengan eksistensi dakwah yang diusung oleh Nabi Musa.
Dengan membawa risâlah nabawiyyah Nabi Musa as. dengan penuh keyakinan
kepada Allah berdakwah demi tegaknya kebenaran. Dalam proses dakwahnya,
Nabi Musa sering kali mengalami berbagai hambatan dan tantangan, pernah
Fir’aun mengumpulkan semua para ahli sihirnya dan Musa ditantang untuk
mengalahkan para ahli sihirnya yang sudah merubah tali temali yang dibawanya
menjadi ular-ular yang menakutkan. Atas perintah dari Allah, Nabi Musa
melemparkan tongkatnya seketika itu juga tongkat Nabi Musa berubah menjadi
ular yang melumat habis ular ciptaan para tukang sihir Fir’aun. Dengan izin Allah,
para tukang sihir Fir’aun mengaku kalah dan beriman kepada Tuhan Musa as.
Penggalan kisah ini setidaknya memberikan dua informasi. Pertama,
bahwa dakwah yang dijalankan oleh para nabi tidak selalu mulus tanpa tantangan.
Kedua, bahwa Musa sebagai pemuda memiliki semangat dakwah yang luar biasa.
Sebagai pemuda, Musa adalah contoh ideal pemuda masa kini, terutama dalam hal
ketegasan dan kegagahan yang diimbangi dengan budi pekerti yang luhur.
35
Semua nabi selalu mendapat ujian, ujian yang dihadapi para nabi sangat
dahsyat. Tak terbayangkan bagaimana Nabi Muhammad saw. dicaci-maki bahkan
dilempari kotoran dan batu oleh kaum kafir tatkala Nabi berdakwah di Ta’if.
Memang ancaman orang-orang kafir sering melampaui batas dan anarkis.
Agaknya ancaman inilah yang membuat hati nabi dan para pengikutnya waktu itu
menjadi gundah gulana. Maka Allah berfirman dalam sûrah Yûnus/10: 94 berikut:
فإن كنت في كش ممآأنزلنآ كإلي فسأل ينالذ يقرءون ابتالك من كلقب لقد آءكج قالح منكبر نكونفالت نم رينتمالم.
"Maka jika engkau (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apayang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yangmembaca kitab sebelum kamu. Sungguh telah datang kebenaran kepadamu dariTuhanmu, maka janganlah sekali-kali engkau termasuk orang-orang yang ragu".
Dalam hal dahsyatnya ujian yang dihadapi Nabi, Nabi bersabda:
دثحان حماد نب زيد عن عماص نب بهلده عن مصبع نب سعد عن هيبا تلق) :الق : اي رسلواهللا يا اسالن دشا ؟اءلب اءيبنألا) :الق مث لثمألا :لثمأالف ىلتبيف الرلج على حبس دنيه, نافانك ىف دنيه لصاب اشتد لباوه, ونا انك ىف دنيه ةقر ابيلت ىلع ردق دنيه, امف يبرح ءالبال
دبعالب حىت يتكره يىشم على ضراأل ام لعيه خطئية ) لقا وبا عيىس : اذه حدثيحنس صحيح )
"Hamad bin Zaid dari ‘Ashim bin Buhdalah dari Mus’ab bin Sa’ad daribapaknya bercerita kepada kami, dia berkata: (Ya Rasulullah, katakan kepadakusiapakah manusia yang paling dahsyat ujiannya? Nabi bersabda: (Para nabikemudian orang yang selanjutnya dan selanjutnya. Maka seseorang itu diuji sesuaidengan kadar keagamaannya. Jika ia orang yang taat beragama ujiannya akanberat dan jika tidak, maka ia diuji sesuai dengan kadar keagamaanya. Dan ujianitu tidak meninggalkan seorang hamba sampai ia berjalan di atas bumi tanpadosa). Abu ‘Isa berkata: hadits ini hasan sahih."29
29 Abi ‘Isa Muhammad Ibn ‘Isa Ibn Saurah, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Dar al-Fikr,1994), juz IV, kitab zuhud, h. 179 hadis no. 2406.
36
Demikian beberapa karakteristik atau keistimewaan yang terdapat dalam
kisah-kisah al-Qur’an. Penjabaran ini merupakan upaya sederhana dalam
menyelami rahasia yang terkandung dalam kisah-kisah indah al-Qur’an.
D. Macam-macam Kisah al-Qur’an
Secara umum kisah terbagi menjadi dua, yaitu kisah ekspositoris dan kisah
sugestif.30 Kisah ekspositoris menyampaikan informasi tentang terjadinya suatu
peristiwa, baik itu peristiwa yang terjadi berulang-ulang atau berlangsung hanya
sekali. Tujuan kisah ini adalah untuk memberikan informasi dan menggugah
pikiran pembaca untuk mengetahui peristiwa-peristiwa tersebut. Sedangkan kisah
sugestif, yaitu kisah yang merupakan rangkaian peristiwa sehingga merangsang
imajinasi para pembaca. Tujuannya adalah berusaha memberi makna peristiwa
tersebut sebagai sebuah pengalaman sehingga dapat mempengaruhi sikap
pembaca.
Kisah dalam al-Qur’an tidak dapat digolongkan sebagai kisah ekspositoris,
karena ia tidak menyentuh aspek rasio pembacanya dengan memberikan fakta-
fakta sejarah yang harus dipahami detail-detailnya. Kisah al-Qur’an lebih
merupakan kisah sugestif, karena ia menampilkan peristiwa-peristiwa untuk
diambil pelajaran darinya. Ini berarti kisah al-Qur’an berupaya untuk menyentuh
aspek emotif dari pembacanya, agar ia mau terpengaruh dengan apa yang
disampaikannya berupa tujuan-tujuan keagamaan.
30 Gorys Kerap, Argumentasi dan Narasi, (Jakarta: Gramedia, 1982), h. 135-139
37
Seperti telah diungkap sebelumnya, bahwa al-Qur’an melalui kisah-
kisahnya tidak bermaksud untuk menginformasikan fakta sejarah. Al-Qur’an
menggunakan kisah-kisah itu untuk menjelaskan sebuah prinsip, mengajak pada
sebuah ide, menyeru kepada kebaikan dan kebenaran serta melarang
kemungkaran.
Kisah al-Qur’an secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Kisah Sejarah
Adalah kisah yang berkisar sekitar tokoh-tokoh sejarah seperti nabi dan
rasul. Dapat dikatakan bahwa kisah-kisah sejarah dalam al-Qur’an adalah kisah-
kisah sastra historis, karena al-Qur’an mengambil bahan-bahan kisahnya dari
peristiwa-peristiwa sejarah dan kejadian-kejadiannya. Akan tetapi al-Qur’an
dalam mengemukakannya tidak melupakan segi kesusasteraan dan emotif agar
mempunyai kesan yang kuat pada jiwa dan mampu menggugah emosi.
Kisah sejarah dalam al-Qur’an adalah kisah sastra dimana deskripsi yang
ditampilkan al-Qur’an terhadap suatu kejadian disesuaikan dengan kejadian yang
dipercayai atau telah diketahui oleh audiens ketika itu.
Ada beberapa hal yang membuktikan bahwa deskripsi al-Qur’an terhadap
kisah-kisah sejarah adalah deskripsi sastra, yaitu:
a. Ditemukannya unsur-unsur sejarah tertentu dalam satu kisah, dimana
satu unsur dengan unsur lainnya terpaut oleh rentang waktu yang
cukup lama.
b. Al-Qur’an sering kali menyematkan satu perkataan atau ungkapan
kepada seorang tokoh kisah yang belum pernah diucapkan oleh tokoh
38
tersebut. Tujuannya adalah untuk menyesuaikan dengan kebutuhan
pendeskripsian agar lebih hidup.31
c. Al-Qur’an sering menyebutkan kejadian-kejadian khusus yang
dialami oleh tokoh-tokoh tertentu dalam satu kisah, kemudian dalam
kisah lain kejadian-kejadian tersebut dilukiskan kembali akan tetapi
dengan tokoh yang berbeda.
Dengan kata lain, logika sastralah yang harus digunakan dalam menelaah
kisah-kisah al-Qur’an, bukan logika rasional (kesejarahan) yang berorientasi pada
kronologis kejadian dari kisah-kisah tersebut.32 Bahkan dalam al-Qur’an terdapat
kisah-kisah sastra yang penggambaran peristiwa-peristiwanya didasarkan atas
keyakinan pembaca atau pendengarnya, bukan didasarkan atas keadaan yang
sebenarnya terjadi.
Kisah-kisah al-Qur’an umumnya adalah kisah sejarah dengan pendekatan
sastra, artinya materi kisahnya secara umum bersumber dari realitas sejarah,
namun realitas tersebut direkonstruksi dengan gaya al-Qur’an yang khas dan
disesuaikan dengan kultur masyarakat Arab ketika itu sehingga menimbulkan
kesan dan pemaknaan baru. Sebagai contoh kisah sejarah dengan pendekatan
sastra adalah kisah-kisah al-Qur’an secara umum seperti kisah Mûsa, Ibrâhim,
Yûsuf dan sebagainya.
2. Kisah Perumpamaan
Adalah peristiwa-peristiwa yang dikisahkan kembali dengan maksud
untuk menerangkan atau menjelaskan suatu konsep. Pada kisah ini peristiwa-
31 Khalafulâh, al- Fann al- Qasasî fî al-Qur’ân al-Karîm, h. 153-182
32 Ibid, h. 153-182
39
peristiwa yang disebutkan, pelaku atau dialognya tidak perlu benar-benar terjadi,
namun lebih bersumber pada imajinasi dan fantasi.33 Penggunaan imajinasi dan
fantasi lebih dikarenakan keduanya merupakan salah satu cara manusia untuk
mengungkapkan pikiran dan perasaan agar pengaruh dan kesannya lebih
mendalam dan kuat.
Kisah perumpamaan biasanya diungkapkan oleh al-Qur’an untuk
memperkuat sebuah gagasan atau pesan. Di sini, ia berperan sebagai media untuk
mempermudah pemahaman terhadap gagasan-gagasan yang abstrak sifatnya,
mengingat fungsi perumpamaan untuk mendekatkan makna dalam pikiran
pembaca. Perumpamaan sengaja dipakai al-Qur’an karena cara ini juga berlaku
dan sering digunakan oleh bangsa Arab. Menurut penulis, hal ini dapat menjadi
bukti konsistensi al-Qur’an terhadap prinsip bahwa ia tidak diturunkan kecuali
sejalan dengan cara berpikir, logika dan kultur masyarakat yang menjadi
audiensnya.
3. Mitos
Adalah kisah yang dilandasi oleh mitos yang biasa digunakan masyarakat
Arab sebagai alat untuk menguraikan persoalan yang sulit dipahami. Unsur-unsur
mitos dalam kisah ini bukan sebagai tujuan kisah, tetapi berfungsi sebagai salah
satu teknik untuk menarik perhatian pendengarnya.
Berkaitan dengan kisah mitos dalam al-Qur’an, Muhammad ‘Abduh
manyatakan bahwa al-Qur'an mengungkapkan kisah-kisah kadang-kadang
memakai ungkapan dan pola pikir pendengar/pembaca, atau orang-orang yang
33 Hanafi, Segi-segi Kesusasteraan pada Kisah-kisah al-Qur’ân, h. 15-16
40
sedang dikisahkan dalam kisah tersebut. Penggunaan mitos dalam al-Qur’an tidak
berarti adanya suatu kebohongan dalam al-Qur’an, karena pengungkapan mitos
tersebut hanyalah sebagai titik awal untuk merubah pola pikir masyarakat Arab
sebagai pembaca awal al-Qur’an ketika itu.
Bukti keberadaan kisah jenis mitos menurut al-Razi seperti dikutip
Khalafullah, ada dalam al-Qur’an itu sendiri.34 Dalam al-Qur’an sering ditemui
ayat yang menceritakan bantahan orang-orang musyrik terhadap kisah-kisah atau
pesan-pesan yang berasal dari Allah, misalnya dalam surat al-Furqân/25: 5-6
berikut:
وقالوا رياطأس نيلاألو اكتتبها فهي تملى هليع بكرة وأصيال ) ٥ قل) لهأنز الذي لمعي رالسفي اتاومالس واألرض هإن كان غفورا يمح(٦) ار
“Dan mereka berkata, “(itu hanya) dongeng-dongeng orangterdahulu yang diminta agar dituliskan, lalu dibacakanlah dongeng-dongeng itu kepadanya setiap pagi dan petang.” Katakan (Muhammad):(al-Qur’an) itu diturunkan oleh (Allah) yang mengetahui rahasia di langitdan di bumi, sungguh! Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”
Celaan orang-orang musyrik terhadap al-Qur’an timbul karena secara
lahiriah kisah-kisah yang dikandung al-Qur’an tersebut tidak berbeda dengan
kisah-kisah yang selama ini sudah mereka kenal sebelumnya. Kisah-kisah tersebut
telah diwarisi secara turun temurun dari generasi ke generasi. Dan beberapa dari
kisah tersebut, seiring dengan berlalunya waktu dibumbui dengan hal-hal yang
sifatnya luar biasa sehingga menjadi legenda atau mitos.
34 Khalafulâh, al- Fann al- Qasasî fî al-Qur’ân al-Karîm, h. 27-28
41
Kritik orang-orang musyrik terhadap kisah-kisah al-Qur’an tersebut
muncul karena mereka hanya berpegang pada materi luar kisah tersebut dan tidak
menyentuh esensinya. Menurut al-Razi materi atau jasad kisah itulah yang
menimbulkan keraguan pada diri orang-orang musyrik, karena mereka mengira
jasad/materi itulah yang ingin diinformasikan oleh al-Qur’an. Bertolak dari
asumsi itulah mereka pun jatuh pada kesimpulan bahwa al-Qur’an adalah kitab
mitos.35
Muhammad ‘Abduh dalam tafsir al-Manâr ketika membahas kisah Harut
dan Marut mengakui adanya kisah-kisah atau ayat-ayat yang bernuansa mitos.
Fungsinya untuk menggambarkan potret berbagai keyakinan-keyakinan yang
salah dan yang benar. Di lain pihak penggunaan mitos menurut ‘Abduh untuk
mendekatkan gagasan dan pesan-pesan al-Qur’an dengan pola pikir masyarakat
Arab ketika itu yang masih didominasi oleh mitos dan legenda.36 Misalnya ketika
al-Qur’an ingin menjelaskan buruknya pelaku riba, digambarkan dalam sûrah
al- Baqarah/2: 275 berikut:
ينالذ يأكلون الربا ال يقومون إال كما قومي الذي طهبختي الشيطان نم سالم
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkanseperti berdirinya orang-orang yang kerasukan setan karena gila.”
Kerasukan setan merupakan ungkapan yang tidak ada landasannya dalam
al-Qur’an. Namun Allah menggunakan ungkapan tersebut karena peristiwa
masuknya setan dalam diri manusia telah menjadi mitos yang diyakini orang-
35 Khalafulah, al- Fann al Qasasî fî al-Qur’ân al- Karîm, h. 200
36 Ibid,
42
orang Arab kala itu. Al-Qur’an memakai mitos tersebut untuk membuat sebuah
analogi yang menakutkan, agar orang-orang Arab tidak mau lagi melakukan
tindakan riba.
Di antara kisah-kisah al-Qur’an yang dianggap mitos menurut pendapat
‘Abduh dan al-Razi adalah kisah Ashâb al-Kahfi serta kisah Musa dan Khidir.
Keberadaan unsur mitos dalam al-Qur’an tidak membuatnya kehilangan otoritas
ketuhanannya, tetapi justru membuatnya dapat menyentuh kesadaran audiens
pertamanya ketika itu. Dalam pandangan Khalafullâh, Al-Qur’an tidak pernah
mengingkari akan adanya unsur-unsur mitos dalam dirinya, yang dibantah al-
Qur’an adalah bila keberadaan mitos dijadikan bukti akan kebenaran al-Qur’an
sebagai karya Nabi Muhammad dan tidak diturunkan dari langit.37
Disinilah letak kemukjizatan al-Qur’an yang mampu menaklukkan
kesadaran manusia melalui konsep-konsepnya yang tiada banding Konsep atau
gagasan tersebut tidak ditampilkan secara vulgar dan konfrontatif melainkan
dengan dibungkus oleh logika bahasa dan budaya mereka kala itu. Hasilnya, al-
Qur’an mampu menggusur keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai lama masyarakat
jahiliah untuk digantikan dengan keyakinan dan nilai baru, berupa keyakinan dan
nilai tauhid. Dengan demikian pendekatan kontekstual untuk memahami al-
Qur’an –khususnya ayat-ayat kisah- menjadi sangat dibutuhkan.
37 Khalafulah, al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah, h. 144
43
Tentang pembacaan kontekstual terhadap kisah-kisah al-Qur’an, Muh. Nur
Ikhwan mengutip teori hermeneutika Abû Zaid telah merumuskan beberapa
langkah praktis yang bisa diikuti, sebagai berikut: 38
1. Penggunaan interpretasi tematik meskipun tidak sepenuhnya. Caranya
dengan mempertimbangkan ayat-ayat lain yang setema tetapi dengan
tetap menghargai kekhasan masing-masing. Kekhasan tersebut bisa
disebabkan oleh perbedaan konteks historis atau perbedaan konteks
linguistik.
2. Analisis ayat-ayat itu untuk melihat level maknanya, apakah hanya
menunjuk kepada fakta historis yang tidak bisa diinterpretasikan secara
metaforis; atau makna yang menyaran pada fakta historis dan dapat
diinterpretasikan secara metaforis; ataukah makna itu dapat diperluas
berdasarkan atas signifikansi yang dapat diungkap dari konteks sosio
kultural di mana teks itu berada.
3. Memperhatikan arah teks yang dibaca. Untuk itu perlu pengetahuan
tentang konteks penurunan ayat, Makiyah dan Madaniyahnya ayat
tersebut. Hal itu diperlukan untuk mengenali fakta-fakta tekstual atau
gejala-gejala kebahasaan dari masing-masing ayat tersebut.
4. Mencari aspek-aspek yang tak terkatakan dalam teks tersebut. Hal ini
dapat diperoleh dengan pembacaan berulang-ulang dengan
mempertimbangkan arah teks.
38 Muhammad Nur Ikhwan, Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid; MeretasKesarjanaan Kritis al-Qur’ân (Jakarta: Teraju, 2003), h. 104
44
5. Melakukan kritik idiologis terhadap pembacaannya sendiri, sejauh
mana idiologi dan kecenderungan–kecenderungan pragmatisnya
berpengaruh dalam pembacaannya.
45
BAB III
Muhammad Ahmad Khalafullâh dan Karya-Karyanya
A. Biografi Intelektual dan Karya-Karya Muhammad Ahmad Khalafullâh
Khalafullâh adalah seorang sarjana asal Mesir, dia juga merupakan murid
pertama Amîn al-Khûlî39 yang menulis disertasi dengan menerapkan metode yang
digunakan al-Khûlî dalam mengkaji al-Qur’ân. Selain Khalafullâh para sarjana
yang terpengaruh dengan metode yang digunakan al-Khûlî adalah Bint al-Syati
(istri al-Khûlî), Syukri Muhammad ‘Ayyad dan terakhir Nashr Hamîd Abû
Zaid40.
Khalafullâh mendapat gelar Doctoral dari Universitas Cairo pada tahun
1954 dengan disertasi berjudul “al-Fann al-Qasasî fî al-Qur’ân al-Karîm”. Dia
juga menulis Tesis Magisternya di bawah pembimbing yang sama yaitu
39Amin al-Khuli lahir pada tahun 1895, ia menamatkan sekolah pada tahun 1920,kemudian ia diangkat menjadi Imam di berbagai kedutaan yakni, di London, Paris, Washingtondan Roma. Setelah karir Imam ditiadakan lagi, kemudian ia menjadi tenaga pengajar di UniversitasKairo, ditempat ini ia dipercayakan memangku berbagai jabatan, sebagai penangungjawab sastramesir, ketua jurusan Bahasa Arab sampai Wakil Dekan pada tahun 1946. ia juga mengajar diberbagai Universitas antara lain Universitas Mesir, Alexandria, Akademi Seni Peran Arab danPasca Sarjana. Dia juga ditunjuk sebagai anggota Majelis Fak Ushuluddin dan Majelis TinggiDarul Kutub. Pada jam tiga siang hari rabu, 9 mei 1966 beliau wafat. Keterangan lebih lanjut lihatGamal al-Banna, Evolusi Tafsir, terj. Novriantoni Kahar, (Jakarta: Qisthi Press12004), h. 196-198
40Nasr Hamid Abu Zaid dilahirkan di desa Qahafah, dekat kota Tanta Mesir, pada tanggal10 Juli 1943. dengan latar belakang keluarga yang sangat religius, Abu Zaid kecil telah “kenaldekat” dengan al-Qur’an sejak usia kanak-kanak. Terbukti dengan keberhasilannya menghafal al-Qur’an sampai khatam, pada usia 8 tahun. Sehingga karena itulah kawan-kawan sebayanyamenggelari ia “Syekh Nasr. Dunia pendidikan formal pun tetap diikutinya, selain tetap menekunipendidikan agama di kuttab, sejenis lembaga pendidikan tradisional yang ada di daerahnya.Pendidikan dasar dan menengahnya, ia selesaikan di Tanta. Ketika Abu Zaid berusia 14 tahun,ayahnya meninggal. Tapi ia tetap meneruskan sekolahnya, meskipun sambil bekerja. Ia punberhasil menuntaskan studinya di Sekolah Teknik yang ada di kota kelahirannya pada tahun 1960.setelah itu, ia bekerja di lembaga Komunikasi Nasional dan baru pada tahun 1968 ia memulaikembali kagiatan studinya dengan mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Arab di UniversitasKairo.
46
Prof. Dr. Amîn al-Khûlî. Tesis yang diselesaikannya pada pada tahun 1942
berjudul “Jadal al-Qur’ân”.41
Disertasi yang sempat mengundang kontroversi di kalangan ulama al-
Azhar telah mengalami empat kali naik cetak ulang. Pertama kali dipublikasikan
pada tahun 1951 oleh penerbit “Matba’at al-Nahda al-Mishriyya, Kairo. Cetak
ulang yang kedua oleh penerbit yang sama pada tahun 1957 dilengkapi dengan
tambahan dari al-Khûlî dengan tema “Bayna Yaday al-Târikh”. Kemudian pada
tahun 1965 penerbit “Maktabah al-Anglu al-Misriyya” berkesempatan
menerbitkannya untuk yang kali ketiga lengkap dengan “pendahuluan” dari al-
Khûlî. Cetakan terakhir dipublikasikan oleh penerbit “Sinâ lî al-Nasr dan al-
Intisâr al-'Arabî” (Kairo dan Beirut) pada tahun 1999. Cetakan terakhir ini
dilengkapi dengan komentar dari Khalîl Abdul Karîm42. Karena begitu besar
kontroversi seputar disertasi ini, Khalafullâh akhirnya mendapat gelar
doktoralnya (Ph.D) dengan disertasi yang berjudul “Sâhib al-Aghânî: Abû
al-Faraj al-Isfahâny al-Râwiya”. Disertasinya yang ini tidak sepopuler yang
pertama. Hal ini terbukti bahwa “Sâhib al-Aghâny” hanya satu kali naik cetak
yang diterbitkan oleh “Maktabat Nahdat Misr” pada tahun 1953.
Selain dua karya kesarjanaan di atas, Khalafullâh banyak menulis buku
dan artikel tentang al-Qur’ân dan Islam. Khalafullâh juga menjadi editor"al-
Yaqzah al-Arabiya"43 dan mengarang banyak buku yang meliputi al-Qur’ân dan
Problematika Kehidupan Modern, The Quran and The States, Mafâhim
Qur'âniyyah, dan lain-lain.44
41 Yusuf Rahman, al-Tafsîr al-Adabî fî al-Qur’ân: A Study of Amîn al-Khûlli’s andMuhammad Ahmad Khalafullâh’s Literary Aproach to the Qur’ân (Jurnal Mimbar Agama danBudaya, Vol.xix, no. 2, 2002. (Desember 2002), h. 139.
42 Ibid,
43 Nur Ikhwan, “Biograpi Tokoh Muslim”, artikel diakses pada tanggal 5 Januari 2005dari http://www.salam.co.uk/knowledge/biography
44 Ikhwan, “Biograpi Tokoh Muslim.”
47
Sampai di sini penulis tidak mendapatkan data lebih lanjut mengenai
biografi intelektual dan karya-karya yang dihasilkan oleh Khalafullâh meskipun
penulis telah melakukan penelusuran dengan menggunakan searching machine.
Namun demikian karya kesarjanaan (Tesis dan Disertasi) dan beberapa artikel dan
buku yang telah dihasilkannya dapat memberikan informasi lebih lanjut
mengenai warna dan gaya pemikiran Khalafullâh terutama dalam kajian al-
Qur’ân. Selain itu, informasi lebih lanjut tentang warna dan gaya pemikiran
Khalafullâh juga dapat ditelusuri melalui jalur intelektual guru Khalafullâh.
Dalam hal ini Prof. Dr. Amîn al-Khûlî adalah sosok yang paling tepat. Seperti
diungkap dalam Islam Garda Depan bahwa pengaruh metodologi al-Khûlî bisa
dirasakan dalam tren penafsiran kontemporer yang antara lain terwakili oleh Bint
al-Syâtî, Khalafullâh, Nasr Hamid Abû Zaid di Universitas Kairo, Prof. Ibrâhîm
Khalîfah di Universitas al-Azhar, sampai ke Quraish Shihab di Indonesia.45
B. Seputar buku “al-Fann al-Qasasî fî al-Qur’ân al-Karîm”
Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Charles Kurzman46 dalam buku
“Liberal Islam: a Source Book”, pertentangan antara kelompok muslim
fundamentalis dan muslim liberal sudah merupakan hal yang biasa terjadi di
kebanyakan masyarakat muslim. Di Mesir sendiri banyak pemikir muslim liberal
yang menjadi “korban” pentakfiran kelompok fundamentalis-revivalis, sehingga
karya-karya mereka dilarang terbit. Sebut saja misalnya kasus Taha Husain
(w. 1973) dan Muhammad Ahmad Khalafullâh (w. 1998). Yang pertama menulis
Fî al-Syi‘r al-Jâhilî (Tentang Puisi Masa Pra-Islam) pada tahun 1926 namun
dicabut dari peredaran karena memuat pandangan yang “dianggap” bertentangan
dengan ajaran Islam. Buku tersebut baru bisa diterbitkan kembali pada tahun
1927 dengan menggunakan judul baru Fî al-Adab al-Jâhilî (Tentang Sastra
Pra-Islam) dan beberapa pandangan kontroversialnya dihapus. Demikian pula
45 Muhammad Aunul Abied Shah dalam Islam Garda Depan; Mozaik Pemikiran IslamTimur Tengah, (Jakarta: Mizan, 2001), h. 149
46 Charles Kurzman, ed., Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporer tentnagIsu-isu Global (Jakarta: Paramadina, 2001), h. xiii
48
nasib disertasi al-Fann al-Qisasî fi al-Qur’ân (Seni Narasi di dalam al-Qur’an)
yang ditulis oleh Khalafullâh pada tahun 1947 namun tidak jadi dipertahankan
karena beberapa anggota tim penguji sudah mencapnya tidak layak untuk diuji
karena ditengarai bertentangan dengan Islam.
Munculnya polemik yang menimpa Khalafullâh berawal ketika dia
mengajukan disertasinya yang berkaitan dengan pendapatnya tentang pembacaan
kisah-kisah yang ada di al-Qur'ân. Disertasi yang berjudul al-Fann al-Qasasî fî
al-Qur'ân al-Karîm diajukan kepada Fakultas Sastra Fuad I Universitas Kairo
pada tahun 1947. Namun sebelum diajukan dan diseminarkan, forum sidang sudah
memutuskan bahwa disertasi tersebut dianggap tidak layak untuk diajukan47
Meskipun begitu, menurut Khalafullâh komite48 tersebut belum pernah bertemu
dan bersidang. Sejak saat itu banyak studi yang mengulas tentang kasus
Khalafullâh.
Salah satu yang mengkritisi disertasi tersebut adalah kelompok ulama
"Azharite" yang disebut "Zabhat Ulama al-Azhar". Dalam surat terbukanya
kepada Mufti Mesir, mereka menyatakan bahwa disertasi Khalafullâh adalah
fitnah dan mencemari al-Qur'an dengan mengatakan bahwa kisah-kisah dalam
al-Qur'an adalah tidak benar, bertentangan satu sama lainnya serta berasal dari
perjanjian lama dan perjanjian baru, Israiliyat, Persia dan Sastra Yunani. Lebih
jauh lagi mereka mengatakan bahwa penulis disertasi tersebut berpendapat bahwa
al-Qur'an adalah sebuah karya sastra yang telah dipengaruhi oleh emosi dan
imajinasi. Dengan kata lain mereka menegaskan bahwa Khalafullâh berpendapat
47 Khalafullâh, al-Fann al-Qasasî fî al-Qur'ân al-Karîm, h. 19
48 Anggota komite tersebut adalah: Prof. Ahmad Amîn, Prof. Ahmad al-Syayib dan Prof.Amîn al- Khûlî.
49
al-Qur'an bukanlah wahyu ilahi tapi lebih kepada perkataan Muhammad sang
pendongeng.
Sebagai konsekuensinya mereka menyerahkan disertasi Khalafullâh
kepada Mufti Mesir, sebuah lembaga yang paling kompeten terhadap isu-isu
keagamaan. Mereka menuntut pemberhentian sementara (skorsing) al-Khûlî dan
Khalafullâh dari jabatan mereka di Universitas Mesir sampai kasus mereka
diputuskan serta mereka diusir dari sekolah atau universitas manapun. Lebih dari
itu mereka diklaim sebagai orang kafir.
Jika permintaan tersebut tidak dilaksanakan mereka mengancam akan ada
pengadilan Islam terhadap orang-orang kafir) يندترمال معروف على (مكحالف
Pada akhirnya Khalafullâh dianugerahi gelar Ph.D. dengan disertasi lain
yang berjudul "Sâhib al-Aghânî: Abû al-Faraj al-Isfahanî al-Rawiya" yang
diajukannya pada tahun 1952.
Terlepas dari kritikan dari kalangan yang tidak menyetujui pikiran
Khalafullâh seperti tersebut di atas, yang jelas, seperti diakui al- Khûlî,
Khalafullâh telah berhasil membawa angin segar dalam kajian al-Qur'ân dari
perspektif sastra. Penelitian yang telah dilakukan Khalafullâh merupakan salah
satu langkah berani untuk menyatakan aspek-aspek lain dari kisah yang lebih
penting ketimbang sekedar pengakuan akan fakta sejarah49.
49 Yusuf Rahman, al-Tafsîr al-Adabî fî al-Qur’ân: A Study of Amîn al-Khûlli’s andMuhammad Ahmad Khalafullâh’s Literary Aproach to the Qur’ân (Jurnal Mimbar Agama danBudaya, Vol.xix, no. 2, 2002. (Desember 2002), h. 139
50
BAB IV
Kisah-kisah al-Qur’an
Menurut Muhammad Ahmad Khalafullâh
Dalam kaitannya dengan ide-ide atau penafsiran kisah al-Qur’an menurut
Khalafullâh, perlu dijelaskan dahulu bagaimana kedudukan kisah-kisah al-Qur’an
dan bagaimana pula tradisi pemahaman umat Islam menyangkut kisah-kisah al-
Qur’an selama ini.
Sebagai kitab suci, al-Qur’an berisi petunjuk bagi umat manusia dalam
perjuangannya mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, lahir dan batin. Dalam
memberi petunjuk bagi keselamatan dan kebahagiaan manusia, al-Qur’an
memakai berbagai cara, ada yang umum dan ada yang rinci. Yang disebut pertama
lebih banyak ketimbang yang kemudian. Ada kalanya al-Qur’an menggunakan
cara langsung dan juga tidak langsung yang antara lain dengan kisah-kisah al-
Qur’an. Hal ini disebabkan karena pengaruh kisah-kisah di masyarakat Arab
dalam rentan waktu turunnya al-Qur’an sangat besar sekali, bahkan para
penentang Islam berusaha mengimbangi dakwah nabi dengan menandingi al-
Qur’an dalam aspek kisah-kisah. Kisah-kisah itu bisa merangsang dan menembus
hati orang-orang terpelajar dan orang-orang biasa. Seorang Jurjy Zaidân50, tokoh
50 Syahrin Harahap, al-Qur’ân dan Sekulerisasi; Kajian Kritis terhadap Pemikiran TahaHusein ( Jogjakarta: Tiara Wacana, 1994), h. 155
51
kesusasteraan Arab modern memandang kisah sebagai cara yang sebaik-baiknya
bagi orang banyak untuk menelaah sejarah dan mempelajarinya.
Bagaimana umat Islam memandang kisah-kisah itu? Berikut beberapa
definisi seputar kisah-kisah dalam al-Qur'ân. Mannâ Khalîl al-Qattân
mendefinisikan kisah sebagai pemberitaan al-Qur’an tentang hal ihwal bangsa-
bangsa yang telah lalu, kenabian-kenabian terdahulu, dan peristiwa-peristiwa yang
benar-benar terjadi.51
Sementara itu Muhammad Kâmil Hasan memberi definisi yang lebih
menekankan pada bentuknya. Menurutnya, kisah adalah sarana untuk
mengungkapkan pengalaman hidup seseorang atau sebagiannya, meliputi suatu
peristiwa atau sejumlah peristiwa yang mempunyai hubungan runtun dan harus
mempunyai pendahuluan dan penutup.52
Kebanyakan ahli tafsir al-Qur'ân berkeyakinan bahwa kisah-kisah dalam
al-Qur’an adalah peristiwa yang benar-benar terjadi, terlepas dari fiksi dan
khayal.53 Walaupun al-Qur’an tidak pernah secara eksplisit mengatakan bahwa
kisah-kisah itu betul-betul terjadi dalam sejarah, dengan bertitik tolak dari
keyakinan akan kebenaran mutlak dan kesucian al-Qur’an, serta kesucian
kandungannya, ditambah lagi dengan adanya keyakinan mayoritas ulama, maka
dikalangan sebagian besar umat Islam mengkristal sebuah keyakinan bahwa
51 Mannâ Khalîl al-Qattân, Mabâhits fi ‘Ulûm al-Qur’ân (Beirut: Mu’assasat al-Risâlah,1976), h. 305
52 Muhammad Kamil Hasan, “al-Qur’ân wa al-Qissat al-Haditsah” (Beirut: Dâral-Buhûts al-Islâmiyyah, 1970), h. 9.
53 Muhammad Bayuni Mahran, “Dirâsat al-Târikhiyyat min al-Qur’ân al-Karîm”(Makkah: Jami’at al Imâm ibn Su’ûd al-Islâmiyyah, t’t), h. 38.
52
kisah-kisah dalam al-Qur’an itu adalah benar-benar terjadi dalam pelataran
sejarah.
Dalam kondisi seperti inilah metode pembacaan kisah versi Khalafullâh
menemukan jati dirinya. Menurutnya, kisah-kisah dalam al-Qur’an bukan
menjelaskan sejarah, tapi substansi dari kisah-kisah tersebut, yaitu berisi pesan-
pesan moral. Lebih lanjut mengenai penafsiran kisah al-Qur’an menurut
Khalafullâh akan penulis bahas pada bab ini.
A. Penafsiran Kisah-kisah al-Qur’an Menurut Muhammad Ahmad
Khalafullâh
Untuk mengurai penafsiran yang dipakai Khalafullâh dalam bacaannya
terhadap kisah al-Qur’an terlebih dahulu harus diketahui metode atau pendekatan
apa yang dia gunakan. Khalafullâh memandang bahwa kisah-kisah dalam
al-Qur’an adalah sebagai sebuah karya sastra. Dengan demikian dalam memahami
kisah-kisah al-Qur’an dia menggunakan pendekatan sastrawi.“…ada satu hal
baru dan penting untuk diperhatikan, bahwa sebenarnya kisah-kisah dalam
al-Qur’an itu memiliki tujuan metodologis yang perlu dan layak dipelajari
sebagai salah satu kajian sastra…” tegasnya.54
Beberapa langkah yang ditempuh Khalafullâh adalah sebagai berikut:
Pertama, pengumpulan teks (عمج syarat mutlak sebuah studi teks adalah ,(النصوص
54 Khalafullâh, al-Fann al-Qasasî fî al-Qur'ân al-Karîm, h.37
53
adanya teks itu sendiri. Oleh karena itu, langkah awal yang harus ditempuh adalah
menentukan dan mengumpulkan teks-teks yang akan dijadikan objek kajian.
Untuk langkah pertama ini Khalafullâh tidak menemukan kesulitan yang berarti.
Karena kisah dalam al-Qur’an sudah ada dan sudah terkumpul dan tersusun rapi
dan sistemik.55
Kedua, sistematisasi historis atas teks (بيترالت ىارخالت .(للنصوص
Sebagaimana para pengkaji, dalam hal ini Khalafullâh menjelaskan setiap
perkembangan sejarah seni dan sastra yang dikaji baik secara internal maupun
eksternal. Secara internal, sistematisasi ini akan memperlihatkan perkembangan
naluri dan pemikiran penulis atau perkembangan pengalaman seni dan aktivitas
jiwa seninya. Sementara dari sisi eksternal, akan terkuak posisi teks tersebut
dalam perkembangan umum sejarah sastra dan seni dilihat dari segi hubungannya
dengan karya sastra sebelum dan sesudahnya, serta peranan yang dimainkannya
dalam dinamika sastra secara global. Dalam langkah keduanya -sebagaimana
dalam langkah pertama-, Khalafullâh tidak mengalami kesulitan berarti. Dia
merujuk pada sistematisasi yang telah tersusun dalam al-Qur’an Maliki
(صالمفح ىكلالم). Khalafullâh menyadari bahwa susunan atau mushaf tersebut
tidak sempurna, namun perlu diakui bahwa susunan atau mushaf Maliki tersebut
sangat berguna untuk mengkaji kisah-kisah dalam al-Qur’an dan hubungannya
dengan sosio-kultural Nabi dan perkembangan dakwah Islam kala itu. Dengan
menggunakan susunan atau mushaf ini dapat diketahui perkembangan internal
55 Ibid, h. 44
54
kisah, sedangkan mengenai perkembangan eksternal kisah, harus diketahui dahulu
dan mempertemukan kisah-kisah al-Qur’an dengan kisah-kisah sebelumnya dari
kisah Arab kuno (jahiliah).56
Ketiga, interpretasi teks (مفه صوصالن), Khalafullâh menjelaskan dua
langkah yang harus diketahui sebelum melakukan pemahaman terhadap teks.
1. Pemahaman tekstual (مفه -yaitu pemahaman terhadap arti kata ,(الحرفى
kata, susunan dan bentuk kalimat serta pemahaman terhadap hubungan antar kata
dan tanda-tanda sejarah teks.
2. Pemahaman sastra ( لفهما yaitu kemampuan mengapresiasikan ,(األدبي
sisi logika, psikologis dan seni yang dimiliki teks. Seorang penafsir juga dituntut
untuk menentukan satu konstruksi teks-teks dan interpretasi tertentu atas teks
yang ia yakini kebenarannya. Setelah itu penafsir juga perlu mengetahui apa di
balik konstruksi teks dengan interpretasi tersebut. Karena pemilik teks (sumber
teks) tidak mengutarakannya secara langsung, baik karena dia merasa sudah
paham untuk dirinya sendiri atau karena lawan bicaranya paham terhadap dirinya.
Dengan keyakinannya yang tinggi dia mengungkapkan bahwa ide pemahaman
sastra ini adalah gagasan baru dalam bidang ini yang perlu dikembangkan karena
56 Ibid, h. 44
55
kisah-kisah al-Qur’an tentunya memiliki dimensi logis, psikologis, dan
menyimpan fenomena seni dan sastra yang belum banyak dikaji.57
Keempat, pembagian dan penyusunan bab ( مقسيالت بويبالتو). Ketika
sampai pada langkah ini dalam pemahaman sastra, teks-teks yang terkumpul
kemudian diklasifikasikan kedalam unit-unit yang disatukan oleh kesamaan frasa,
tema, dan tujuan.58 Dalam pandangan Khalafullâh, metode ini telah diterapkan
dalam kajian usul fiqh dan ia mengaku berhutang kepada para ulama usul fiqh.
Kelima, orisinalitas dan taklid. (الةوالاص ديقلالت). Persoalan ini sangat
penting bagi para pemerhati wacana ilmu pengetahuan atau seni, serta bagi
mereka yang hendak dengan jeli dan matang memahami persoalan-persoalan
sastra dan ilmu pengetahuan. Tujuan pendekatan ini untuk mengetahui dari mana
teks itu terbentuk dan juga akan dapat diketahui bagian teks mana yang asli dari
penulisnya dan yang diadopsi dari karya sastra lain.59
B. Kontekstualitas Kisah al-Qur’an: Antara Pesan Moral dan Fakta
Sejarah.
Al-Qur’an sebagai kitab yang mengklaim dirinya petunjuk bagi orang-
orang yang bertakwa al-Qur’an kerap menggunakan berbagai bentuk ungkapan
57 Ibid, h. 45
58 Ibid, h. 46
59 Ibid,
56
untuk menuntun umat manusia. Hal ini menunjukan bahwa al-Qur’an sangat
aplikatif dan mempunyai daya adaptasi terhadap kemampuan umat dalam
menangkap pesan yang dibawa. Diantara bentuk pengungkapan dimaksud adalah
menggunakan bentuk berupa penyajian kisah. Sebagai kitab petunjuk sudah
barang tentu banyak sekali hikmah yang terkadung di dalamnya. Dalam hal ini,
penyajian kisah dalam al-Qur’an mempunyai karakteristik tersendiri dan lebih
mengutamakan tujuan penyampaian pesan moral yang terkandung dibalik kisah
ketimbang pengungkapan fakta-fakta kesejarahan. Dengan demikian
kontekstualisasi al-Qur’an atau tepatnya kisah al-Qur’an menjadi niscaya
sekaligus absah.
Beberapa alasan keabsahan kontekstualisasi al-Qur’an adalah pertama,
masyarakat yang dihadapi oleh Nabi Muhammad saw. bukan lingkungan yang
sama sekali kosong dari pranata-pranata kultural. Kedua, Nabi Muhammad saw.
sendiri dalam beberapa kasus telah memberikan hukum secara berlawanan satu
sama lain atas dasar adanya konteks yang berbeda-beda, misalnya ziarah kubur,
yang semula dilarang kemudian diperintahkan. Ketiga, Implementasi pemahaman
terhadap teks-teks Islam secara tekstual seringkali tidak sejalan dengan
kemaslahatan yang justru menjadi kehadiran Islam itu sendiri. Keempat,
Pemahaman yang hanya melihat nash secara tekstual saja -tanpa
mempertimbangkan konteks yang melingkupi didalamnya- berarti mengingkari
adanya hukum perubahan dan keanekaragaman yang justru telah diisyaratkan oleh
nash itu sendiri. Kelima, Pemahaman secara kontekstual berguna untuk mengatasi
keterbatasan teks ketika berhadapan dengan kontinuitas perubahan atau
57
problematika umat. Keenam, Keyakinan bahwa teks-teks Islam adalah petunjuk
terakhir dari langit yang berlaku sepanjang masa, mengandung makna bahwa di
dalam teksnya yang terbatas itu memiliki dinamika internal yang sangat kaya,
yang harus terus menerus dilakukan eksternalisasi melalui interpretasi yang tepat.
Jika interpretasi dilakukan secara tekstual, maka dinamika internalnya tidak dapat
teraktualisasikan secara optimal. Aktualiasi secara optimal hanya dimungkinkan
melalui interpretasi kontekstual terus menerus60.
Dengan alasan-alasan demikian, upaya-upaya yang mencoba
mengkontekstualisasikan kisah-kisah al-Qur’an menjadi sebuah keniscayaan dan
absah dikarenakan kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an terkait erat dengan
konteks masyarakat atau budaya setempat yang menjadi setting historis kisah
tersebut.
Signifikansi kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam adalah jelas yaitu
agar interpretasi tersebut tetap eksis, tetap sesuai dengan perkembangan dan
perubahan sosial, sehingga tetap memiliki semangat dan ruh dalam menjawab
persoalan-persoalan aktual yang muncul dalam era kekinian dan kedisinian.
Kontekstualisasi kisah al-Qur’an menjadi penting mengingat tujuan utama
dari kisah adalah memetik hikmah yang terdapat dibalik kisah. Maka, menyikapi
pertanyaan apakah kisah-kisah dalam al-Qur’an itu faktual atau fiktif, tidak lagi
menjadi penting. Yang lebih penting adalah bagaimana kisah-kisah itu mampu
60 Keterangan lebih lanjut tentang argumentasi terhadap kontekstualitas al-Qur’an dapatdilihat pada berbagai judul buku diantaranya; Syahrin Harahap, al-Qur’an dan Sekularisasi;KajianKritis Terhadap Pemikiran Thaha Husain, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), Nasr Hamid AbuZaid, Tekstualitas al-Qur’an:Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, terj Khoirun Nahdliyin,(Yogyakarta, LKis, 2002) dan Kusmana (editor), Pengantar Kajian al-Qur’an: Tema Pokok,Sejarah dan Wacana Kajian, (Jakarta, UIN Press, 2004).
58
memberikan inspirasi untuk melakukan kemaslahatan. Namun demikian
pengungkapan fakta sejarah dalam kisah-kisah al-Qur’an juga menjadi bukti
kebenaran bahwa al-Qur’an memang bukan buatan nabi Muhammad seperti yang
dituduhkan penentang Islam. Seiring dengan perkembangan penemuan arkeologi
bahwa banyak fakta sejarah sejalan dengan pengungkapan kisah al-Qur’an.
C. Analisa Terhadap Pemahaman Kisah Menurut Muhammad Ahmad
Khalafullâh
Bagi umat Islam, otentisitas al-Qur’an sebagai kitab suci tentu saja tidak
menyisakan ruang untuk diperdebatkan. Karena sebagai “teks samawi”, al-Qur’an
mustahil disisipi kesalahan yang akan menjatuhkan dan mencederai statusnya.
Sebagaimana telah ditegaskan dalam sûrah al-Baqarah/2: 2 berikut:
كذل ابتالك ال بير فيهدىه نيقتلمل
“Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk (al-huda)bagi mereka yang bertakwa.”
Tapi sayangnya, keyakinan tersebut secara kurang tepat sering kali
mendorong absennya tradisi kritis umat Islam, dan kadang terjebak dalam
penerimaan tanpa reserve atas warisan pemikiran Islam masa lalu. Padahal, semua
produk pemikiran yang berserakan dalam gugusan khazanah Islam yang amat
kaya itu pada hakikatnya tidak lebih dari produk sejarah yang hampir bisa
dikatakan mustahil bisa mengelak sepenuhnya dari tuntutan ruang dan waktu saat
pertama kali dimunculkan. Tak pernah ada jaminan bahwa “teks-teks turunan”
59
(khazanah intelektual) yang mengalir deras dan lahir dari sumber utama al-Qur’an
itu identik dan menyuarakan secara utuh apa yang seharusnya. Apalagi, semua
wacana yang terekam dalam teks-teks warisan masa lalu itu pun tidak mungkin
mewadahi dan memperbincangkan problematika yang saat ini tengah dihadapi
umat Islam.
Maka eksperimen-eksperimen baru dari para cendekiawan muslim yang
muncul belakangan dan mencoba menghadirkan wacana lain yang belum digarap
sebelumnya sebenarnya selalu memberikan kontribusi berharga bagi
keberlangsungan tradisi pemikiran Islam. Setidaknya menunjukkan betapa
keragaman pemikiran dan pendapat bukan saja merupakan sesuatu yang absah,
tetapi bahkan menyatu dalam tradisi intelektual Islam. Dan melimpah-ruahnya
kekayaan intelektual masa lalu Islam itu sebenarnya sebuah referensi gamblang
bahwa sejak sejarahnya yang paling dini tradisi intelektual Islam memang
menampik penunggalan dan penyeragaman pemikiran.61
Apa yang dilakukan cendekiawan Hassan Hanafi62 dengan proyek al-
Turâts wa al-Tajdîd-nya, Muhammad Arkoun63 lewat Naqd al-‘Aql al-Islâmy-nya,
61 M. Nur Kholis dalam al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar menyatakan bahwa pemikiran“liberal” dalam Islam bukanlah “anak tiri”, melainkan “anak kandung” dari sejarah Islam itusendiri yang harus tetap dikampanyekan. Lihat M. Nur Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab SastraTerbesar, (Yogyakarta: el-Saq Press, 2005), h. 49
62 Dilahirkan di Kairo, Mesir, pada 14 Februari 1934, Hanafi kecil, layaknya orang Mesirlainnya, mendapatkan pendidikan agama yang cukup. Pendidikan dasar dan tingginya ia tempuh dikota kelahirannya. Sedangkan gelar doktor dia raih pada 1966 di Universitas Sorbonne, Paris,Prancis dengan disertasi berjudul Essai Sur la Methode d'exegese (Essai tentang MetodePenafsiran) Sebagai pemikir modernis, gagasan Hanafi terfokus pada perlunya pembaruanrekonstruksi Islam yang ia kemas dalam konsep besar Turats wa Tajdid (Turats dan Pembaruan),dan Al Yasar Al Islami (Islam Kiri) yang ia cetuskan pada 1981. Konsep itu merupakankepanjangan dari gagasan Al Urwatul Wutsqo-nya Jamaluddin Al Afghani dan MuhammadAbduh. Menurutnya, penggunaan nama 'kiri' sangat penting karena dalam citra akademik, katatersebut berkonotasi perlawanan dan kritisisme. Menurutnya, kiri Islam adalah hasil nyata dari
60
Nasr Hamid Abu Zaid64 dengan “konsep teks” (Mafhûm al-Nas)-nya, -sekedar
menyebutkan beberapa upaya intelektual para pemikir muslim kontemporer yang
kini banyak diperdebatkan- merupakan ragam ijtihad yang dinapasi oleh semangat
tersebut. Begitu juga karya Khalafullâh berjudul al-Fann al-Qasâsî fî al-Qur’an
al-Karîm yang menawarkan “cara baru” dalam membaca kisah-kisah yang
dikandung al-Qur’an. Sebuah upaya yang sebenarnya telah hadir dan menjadi
wacana publik akademis dunia Islam jauh mendahului karya-karya yang
disebutkan sebelumnya.
Karya yang semula ditujukan sebagai disertasi ini memang keluar dari arus
utama metodologi tafsir yang telah diwariskan dan kemudian secara sistematis
dilestarikan dalam studi-studi tafsir. Tawaran pendekatan sastra untuk memahami
kisah-kisah dalam al-Qur’an ini tak pelak memantik kontroversi berkepanjangan.
Revolusi Islam Iran yang merupakan salah satu respon Islam terhadap Barat.(http://www.fatimah.org/indexkisah.htm, artikel di akses tanggal 1 Mei 2009)
63 Mohammed Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, kabilia, Aljazair.Kabilia merupakan daerah pegunungan berpenduduk Berber, terletak di sebelah timur Aljir. Berberadalah penduduk yang tersebar di Afrika bagian utara. Bahasa yang dipakai adalah bahasa non-Arab. Setelah tamat sekolah dasar, Arkoun melanjutkan ke sekolah menengah di kota pelabuhanOran, kota utama Aljazair bagian barat. Sejak 1950 sampai 1954 ia belajar bahasa dan sastra Arabdi universitas Aljir, sambil mengajar di sebuah sekolah menengah atas di al-Harrach, di daerahpinggiran ibu kota Aljazair. Tahun 1954 sampai 1962 ia menjadi mahasiswa di Paris. Tahun 1961Arkoun diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbonne Paris.Ia menggondol gelar doktor Sastrapada 1969. Sejak 1970 sampai 1972 Arkoun mengajar di Universitas Lyon. Kemudian ia kembalisebagai guru besar dalam bidang sejarah pemikiran Islam. (Suadi Putro, Muhammad ArkounTentang Islam dan Modernitas, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 11-13))
64 Di antara karyanya antara lain . Khusus untuk bidang studi al-Qur’an, Abu Zaid telahmenulis buku al-Ittijah al-Aqli fi al-Tafsir;Qadiyat al-Majaz ‘Inda al-Mu’tazilah, Falsafahal-Ta’wil;Nazariyyat Ta’wil Qur’ân ‘Inda Ibn ‘Arabi dan Mafhum al-Nas;al-Dirasah fi ‘Ulûmal-Qur’ân. Sedangkan aspek metodologis yang berisikan pilar-pilar pemikirannya, Abu Zaidmenyuguhkannya dalam Naqd al-Khitab al-Dinî, al-Imâm al-Syâfi’Î wa al-Ta’sis Aidulujiyyahal-Wasatiyyah, Isykailliyah al-Qira’ah wa A’liyat al-Ta’wil, al-Kitâb wa al- Ta’wil, al-al-Tafkir fiZamân al-Takfir; Did al-Jahl wa al-Zaif wa al-Khurafah dan al-Nas al-Sultah wa al-Haqiqah; al-Fikr al-Dinî Bain Irâdah al-Ma’rifah wa Irâdah al-Haimiyyah. Beberapa karya tulias lainya yangmengupas berbagai permasalahan sosio-politik tersebar dalam bentuk buku maupun makalahlepas.
61
Karena, sebagai konsekuensi dari metodologi yang ia tawarkannya itu, teks-teks
kisah dalam al-Qur'an dipandangannya sebagai bukan sekedar teks sejarah;
melainkan teks-teks sastra yang dipilih al-Qur’an sebagai mediator demi
kemudahan penyampaian pesan-pesan dasarnya. Kelompok yang tidak setuju
dengan gagasan Khalafullâh melontarkan kritik bahkan hujatan yang keras
terhadapnya karena dianggap menafikan faktualitas historis kisah al-Qur’an,
sehingga pada gilirannya semakin memperkuat kecurigaan orientalis akan
ketidaksempurnaan al-Qur’an. Dengan pertimbangan ini, kelompok sarjana al-
Azhar mengeluarkan resolusi fatwa untuk mendesak pihak kampus agar melarang
publikasi disertasi Khalafullâh dan meminta agar supervisornya, yakni al-Khûlli
dibebastugaskan dari jabatannya serta tidak diizinkan membimbing studi-studi al-
Qur’an.65
Maka jika ada mufassir memergoki jalan buntu dalam menelisik kebenaran
fakta-fakta sejarah yang diuraikan al-Qur’an, itu tentu saja bukan tanpa penyebab
yang mendasarinya. Tetapi, menurut Khalafullâh, buntunya upaya tersebut
sebenarnya sama sekali tidak berkait-kelindan dengan persoalan orisinalitas atau
otentik-tidaknya al-Qur’an, seperti biasanya dituding para orientalis, sebagai kitab
suci yang diyakini kebenarannya oleh umat Islam. Orisinalitas al-Qur’an tidak
dengan sendirinya tercederai dengan kegagalan para penafsir dalam menunjukkan
validitas kisah-kisahnya. Sebab, baginya, al-Qur’an bukanlah kitab sejarah yang
merekam segala peristiwa dan hal ihwal yang benar-benar pernah terjadi.
65 M. Nur Kholis Setiawan, h. 36
62
Kegagalan dalam membuktikan kesahihan sejarah tersebut karenanya harus
dianggap sebagai sesuatu yang logis belaka.
Dalam pandangan penulis, aspek pembuktian sejarah dari kisah-kisah
al-Qur'an tidak menempati posisi yang lebih penting -bukan berarti tidak penting-
ketimbang maksud dan tujuan utama dari al-Qur’an secara umum, yaitu sebagai
petunjuk dan pembawa pesan moral bagi manusia. Akan tetapi harus diakui walau
bagaimana penelitian yang dilakukan manusia memiliki keterbatasan. al-Qur’an
sebagai sebuah mukjizat terbesar yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad
saw., tentunya menyimpan banyak misteri yang harus terus digali dan diupayakan
pemahamannya agar misi petunjuk (al-huda) dapat dirasakan dan membumi.
Dalam pandangan Khalafullâh, apa yang menyebabkan kebuntuan dan
pada gilirannya juga tidak memadainya seluruh tafsir yang menjelaskan kisah-
kisah al-Qur’an sejatinya bertolak dari kekeliruan metodologi yang ditempuh
dalam praksis penafsiran. Artinya, karena mengandaikan sejarah yang dikisahkan
teks-teks kitab suci samawi dan sebangun dengan apa yang direkam teks-teks
sejarah pada umumnya, para penafsir akhirnya secara salah telah menggunakan
metodologi sejarah dalam menafsirkannya.
Dalam sejarah literatur tafsir, telah hadir beragam usaha yang
dimunculkan para penafsir ketika kesulitan-kesulitan dalam penafsiran datang
menghadang. Satu dari beragam alternatif jalan yang ditempuh dalam
penafsirannya adalah dengan meletakkan teks-teks kisah tersebut sebagai ayat-
ayat mutasyâbihat. Sehingga, sebagai konsekuensi yang mengikutinya, muncullah
63
beragam tafsir yang berbaku debat seputar validitas sejarah dalam al-Qur’an dan
ironisnya selalu tak memuaskan.
Padahal -tutur Khalafullâh- kalau saja para penafsir menyadari bahwa
sejarah yang dinarasikan kitab suci tak bisa disamakan dengan "teks sejarah
konvensional", tetapi diposisikan layaknya teks sastra dan didekati dengan
pendekatan sastra juga, hiruk-pikuk yang berlangsung cukup panjang itu tak akan
terjadi. Demikianlah beberapa penggal argumen dan tawaran yang coba
disodorkan Khalafullâh dalam menafsirkan kisah-kisah al-Qur’an.
Dengan titik pijak yang menyangkal dari arus utama tafsir itu, ia pun
kemudian menawarkan metodologi barunya dalam menghampiri teks-teks kisah
yang dirangkum al-Qur’an. Sebuah tawaran yang menyeretnya dalam pusaran
konflik dan mengundang banyak perdebatan di kalangan ulama tafsir.
Layaknya para pembaru yang tetap gigih mempertahankan "kebenaran"
yang diyakininya, Khalafullâh tampak tak bergeming. Metodologi sastra baginya
niscaya segera mengambil alih metodologi sejarah dengan topangan argumen,
bahwa jika metodologi sejarah yang ditempuh, maka akan muncul beberapa
kebuntuan sebagai konsekuensi negatifnya.
Pertama, penafsiran yang dilakukan akan gagal menyibak tabir kisah
karena unsur-unsur sejarah yang ada dalam kisah-kisah tersebut adalah materi
sastra dan konstruksi kisah-kisahnya pun pada umumnya bersifat samar.
Kedua, metodologi sejarah juga akan kesulitan mengurai rahasia
pengulangan-pengulangan kisah dalam al-Qur’an. Penafsiran dengan
menggunakan metodologi sejarah akhirnya akan gagal menunjukkan rahasia
64
mengapa sebuah kisah diulang-ulang dalam versi berlainan tentang pelaku
(dan peristiwa) sejarah yang sama.
Di samping dua hal di atas, pendekatan sejarah menurut Khalafullâh, akan
kesulitan menjelaskan kebenaran sejarah yang dikisahkan kitab suci saat
dicocokkan dengan sejarah yang secara umum telah diketahui.
Dari sinilah cendekiawan asal Mesir ini berhenti dalam sebuah simpul
argumen, bahwa makna-makna sejarah yang direkam al-Qur’an tak lebih sebagai
pelajaran dan contoh bagi umat Islam. Ia, karenanya, harus dikeluarkan dari
domain kajian sejarah., sebab -menurutnya- aspek kesejarahan kisah-kisah
al-Qur'ân sejatinya bukanlah tujuan utama dari kisah-kisah al-Qur’an.
Dengan menyadari setidaknya tiga kelemahan yang menghinggapi
metodologi sejarah tersebut, dan memilih metodologi sastra sebagai alternatifnya,
maka penafsiran diharapkan akan terbebaskan dari bias israiliyyat, mampu
membeberkan tujuan-tujuan kisah yang sarat pesan-pesan moral, dan bebas dari
keharusan setia pada suatu tafsir tentang kebenaran kisah-kisah al-Qur’an. Dengan
mengunakan metodologi sastra ini proses penafsiran kisah-kisah al-Qur’an tak
lagi harus dibebani tugas untuk mungurai validitas kesejarahannya.
Dalam metodologi sastra, kisah-kisah yang dirangkai al-Qur’an tidak akan
diandaikan sebagai teks yang mengurai data-data sejarah yang bisa ditelisik
otentisitasnya dengan menggunakan metodologi sejarah. Karena bangunan kisah-
kisah tersebut diyakini sekadar berangkat dari keyakinan umum para audiens yang
disapanya seperti biasa dilakukan para sastrawan saat hendak meramu suatu kisah.
65
Walhasil, dengan memposisikan kisah-kisah tersebut tak lebih sebagai
kisah-kisah sastra yang tidak selamanya harus sama dan identik dengan peristiwa-
peristiwa yang dicatat buku-buku sejarah; tuduhan-tuduhan para orientalis seputar
"keganjilan-keganjilan" sejarah yang dihadirkan al-Qur’an dan kebuntuan para
penafsir untuk menjelaskannya secara memadai akan berakhir dengan hadirnya
tafsir kisah-kisah yang justru lebih berhasil mengundang para pembaca untuk
mendulang hikmah dan kearifan sebagai teladan yang harus diikuti, bukan
mempersoalkan dan menyangsikan "kebenaran sejarah"-nya yang memang tidak
dimaksudkan sebagai tujuan dari kisah-kisah al-Qur’an tersebut.
Terlepas dari kritikan dan hujatan kalangan yang tidak meyetujui pikiran
Khalafullâh, Khalafullâh telah berhasil membawa angin segar dalam kajian al-
Qur’an dari perspektif sastra. Apa yang dilakukan Khalafullâh merupakan salah
satu langkah berani untuk menyatakan aspek-aspek lain dari kisah yang lebih
penting ketimbang sekedar pengakuan akan faktualitas sejarah.
Lebih lanjut penulis berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh
Khalafullah -terlepas dari perdebatan yang muncul- perlu mendapat perhatian
lebih berupa upaya perbaikan dan evaluasi yang dikawal dengan semangat saling
menasehati dalam kebajikan dan kesabaran. Semangat yang tertuang dalam al-
Qur’an. Dalam memberikan penilaian terhadap hasil suatu ijtihad intelektual
seorang muslim sudah sepantasnya bersikap terbuka dan tidak cepat memberikan
vonis benar atau salah.
66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kisah dalam al-Qur’an merupakan sebuah bentuk (uslub) penyampaian
wahyu yang sangat efektif untuk menyampaikan kehendak-Nya kepada manusia.
Sebagai sebuah bentuk atau alat, kisah dalam al-Qur’an harus dilihat dengan
menggunakan perspektif pesan ketuhanan (risalah ilahiyyah). Al-Qur’an sebagai
kumpulan firman Allah (al-Kitab), tentunya memuat kehendak Allah yang sangat
luas. Sebagai bagian dari kasih sayang-Nya, Allah memberikan cara termudah
yang dapat ditempuh oleh umat-Nya dalam upaya menggapai atau setidaknya
mendekati apa yang dikehendaki-Nya. Mengingat kisah dalam al-Qur’an
seringkali tidak mementingkan unsur kesejarahan, maka Khalafullâh tidak
memandangnya sebagai kitab sejarah. Khalafullâh memandang bahwa yang utama
dari pemaparan Allah tentang kisah-kisah yang termuat dalam al-Qur’an adalah
bukan materi dari kisah, tetapi lebih kepada bagaimana sebuah kisah dapat
diambil hikmahnya dan bisa dijadikan sebagai sebuah pelajaran bagi kehidupan
67
manusia. Khalafullah juga membedakan antara materi kisah dan pesan yang
dikandung di dalamnya.
Sebagai makhluk yang diberikan kemampuan berpikir, manusia harus
mampu membaca peristiwa apa saja yang telah dialami atau ditimpakan kepada
umat-umat terdahulu. Ini artinya, Allah menyampaikan kisah-kisah umat
terdahulu dalam lembaran-lembaran suci al-Qur’an hanya sebagai petunjuk dan
cerminan kepada manusia agar dapat mengambil ibrah atau hikmah darinya.
B. Saran-saran
Setelah melakukan penelitian berkaitan bagaimana pandangan Khalafullâh
dan para ulama tentang beda pendapat yang terjadi seputar kisah-kisah dalam al-
Qur’an, penulis menyarankan beberapa hal sebagai berikut:
Penulis menyarankan sejumlah hal kepada beberapa pihak. Pertama, kepada
Jurusan Tafsir Hadis -khususnya Mahasiswa sebagai Insan Akademis- untuk
terlibat aktif mengikuti serta mengkritisi wacana studi tafsir kontemporer dan
klasik, mengingat adanya dinamika yang luar biasa dalam studi tafsir kontemporer
juga kecemerlangan ide dalam wacana studi tafsir klasik. Hal ini mengingat
banyaknya persoalan-persoalan umat yang butuh perhatian dari tangan-tangan
terampil mahasiswa. Khususnya Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis. Kedua., kepada
para peneliti, bahwa kajian ini belumlah sampai menyentuh persoalan-persoalan
yang lebih menukik dan luas, semisal bagaimana aplikasi pemahaman kisah al-
Quran menurut Khalafullâh serta bagimana implikasi pemahaman kisah menurut
Khalafullâh terhadap pemahaman umat Islam khususnya umat Islam Indonesia.
68
Kajian ini juga sangat terbatas yang belum sempat menyentuh persoalan-persoalan
lain yang sedang dihadapi umat Islam secara luas khususnya di Indonesia. Dengan
demikian, meski telah menunjukkan adanya upaya-upaya dari para pengkaji tafsir,
kajian ini masih melewatkan banyak pertanyaan yang tak kalah penting, dan
masih perlu muncul usaha-usaha lain untuk mengisi kekosongan tersebut. Ketiga,
kepada pembaca secara umum, supaya terlibat aktif dalam perbincangan
mengenai diskursus studi tafsir kontemporer, mengingat problematika umat
seiring dengan perkembangan zaman akan terus berkembang. Keempat, kepada
masyarakat Islam secara luas, mari kita menyikapi segala bentuk perbedaan
pemahaman -baik pemahaman tekstual maupun kontekstual- dengan sikap saling
menghormati. Serta jadikan perbedaan tersebut sebagai sebuah rahmat yang dapat
bermanfaat bagi masyarakat, karena bagaimanapun setiap pemahaman adalah
hasil dari pola fikir manusia, yang tidak luput dari berbagai macam kesalahan
selain kelebihan yang dimilikinya.
Demikianlah beberapa kesimpulan dan saran yang dapat penulis
sampaikan. Penelitian yang penulis lakukan ini masih belum sempurna, oleh
karenanya kritik dan saran dalam upaya menyempurnakan penelitian ini akan
penulis terima dengan lapang dada.
Wa Allahu a‘lamu bi murâdihi wa ila Allâhi turja‘u al umûru.
69
DAFTAR PUSTAKA
al-Qur’ân Terjemah Departemen Agama RI tahun 2002.
al-Banna, Gamal, Evolusi Tafsir, terj. Novriantoni Kahar, Jakarta: QisthiPress2004
al-Qattân, Mannâ Khalîl. Mabâhits fi ‘Ulum al-Qur’ân. Beirut: Mu’assasatal-Risâlah, 1976.
Abû Sâlih, Abd. al-Qudus. al-Balâghah Wa al-Naqd. Saudia: Imâm Sa’ûdUniversity, 1114.
Abied Shah, Muhammad Aunul, Islam Garda Depan; Mozaik PemikiranIslam Timur Tengah, Jakarta: Mizan, 2001
Abu Zaid, Nasr Hamid,Tekstualitas al-Qur’an; Kritik terhadap Ulumul Qur’an,terj.Khoiron Nahdiyin. Yogyakarta: LKiS,2005, cet ke IV
Anis, Ibrahim. al-Mu’jam al-Wasît. Kairo: Majma al-Lughah al-‘Arabiyyah,1973.
Badwi, Ahmad. Min Balaghah al-Qur’an. Cairo: Dâr al- Nahdoh al-Misr, tt.
Bahjat, Ahmad. Sejarah Nabi-nabi Allâh. Jakarta: Lentera, 2001.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Faisal, Abd. al-Aziz Muhammad. al-Adab al-Araby wa Tarikhuhu. Saudi :Departemen Pendidikan Tinggi, 1114 H.
Hanafi, Ahmad. Segi-segi Kesusasteraan pada Kisah-kisah al-Qur’an. Jakarta:Pustaka al Husna, 1984.
70
Hasan, Muhammad Kamil. al-Qur’ân wa al-Qisasah al-Hadîtsah. Beirut: Dâral-Buhûts al-‘Ilmiyah, 1970.
Ikhwan, Muhammad Nur. Teori Hermeneutika Nasr Hamîd Abû Zaid; MeretasKesarjanaan Kritis al-Qur’ân. Jakarta: Teraju, 2003.
Ikhwan, Nur. Biograpi Tokoh Muslim. Artikel diakses pada tanggal 5 Januari2005 dari http://www.salam.co.uk/knowledge/biography
Khalafullâh, Muhammad Ahmad. al-Fann al-Qisasî fî al-Qur’ân al-Karîm.Beirut: Sîna li al-Nasyr, 1999.
Kurzman, Charles, ed. Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporertentang Isu-isu Global. Jakarta: Paramadina, 2001.
Mahalli, A. Mudjab. Spiritualitas al-Qur’an dalam Membangun Kearifan Umat.Jogjakarta: LPPAI UII, 1999
Mahran, Muhammad Bayuni. Dirâsat al-Târikhiyyat min al-Qur’ân al-Karîm.Makkah: Jami’at al Imâm Ibn Su’ûd al-Islâmiyyah, tt.
Manzhûr, Ibn. Lisân al 'Arab. Beirut: Dâr al Shadîr, 1994.
Ma’luf, Louis. al-Munjîd fî al-Lughah. Jakarta: Mutiara, 1997.
Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Mustaqim, Abdul dan Sahiron Syamsuddin ed. Studi al-Qur’anKontemporer;Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir,Yogyakarta:Tiara Wacana,2002
Rahman, Yusuf. al-Tafsîr al-Adabî fî al-Qur’ân: A Study of Amîn al Khûlli’s andMuhammad Ahmad Khalafullâh’s Literary Aproach to the Qur’ân. JurnalMimbar Agama dan Budaya, Vol. xix, no. 2, 2002. Desember 2002
Putro, Suadi Muhammad Arkoun Tentang Islam dan Modernitas, Jakarta:Paramadina, 1996.
Ridâ, Muhammad Rasyîd. Tafsîr al-Manâr. Kairo: Matba’ah Hijazi, 1959.
Setiawan, M. Nur Kholis, al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, Yogyakarta: el-SaqPress, 2005
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,Jakarta: Lentera Hati, 2002
71
Subana, Muhammad dan Sudarajat. Dasar-dasar Penelitian Ilmiah. Bandung:Pustaka Setia, 2001.
Sunan al- Tirmidzî, Juz IV, Kitab Zuhud. Cairo: Dâr al- Fikr: 1994.
Syahrin Harahap. al-Qur’ân dan Sekulerisasi; Kajian Kritis terhadap PemikiranTaha Husein. Jogjakarta: Tiara Wacana, 1994