referat spondilitis
Post on 23-Oct-2015
192 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Kelainan tulang belakang merupakan masalah kesehatan yang nyata, tingginya
kekerapan penyakit tulang belakang dan banyaknya kerugian yang disebabkan oleh kelainan
tersebut. Kelainan dan gangguan pada tulang belakang dapat terjadi karena berbagai hal,
salah satunya adalah infeksi. Spondilitis merupakan inflamasi pada tulang vertebrae yang bisa
disebabkan oleh beberapa hal, misalnya proses infeksi dan imunitas. Spondilitis sendiri
terbagi atas spondilitis yang penyebabnya tidak spesifik yaitu Ankylosing Spondylitis dan
yang penyebabnya tidak spesifik yaitu Spondilitis Tuberkulosa.
Ankylosing Spondylitis (AS) adalah suatu gangguan degeneratif yang dapat
menyebabkan hilangnya struktur dan fungsi normal tulang belakang, dihubungkan dengan
genetic umum ( antigen leukosit manusia / HLA). Proses vical, thoracal, dan atau lumbal dari
tulang belakang memngaruhi diskus intervertebralis dan facet join. Angka kejadian AS
mempengaruhi 0,1-1,0 % dari populasi dunia. Penyakit ini paling umum pada orang Eropa
utara dan paling lazim banyak ditemukan di Afrika. Ankylosing spondylitis juga merupakan
penyakit rematik sistemik yang dapat menyebabkan peradangan sendi dan organ-organ lain,
seperti jantung, paru-paru, dan ginjal. Ankylosing spondylitis paling umum pada pria usia
muda.
Spondilitis Tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan nama
Pott’s disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis menyebabkan terjadi
kurang lebih 3 juta kematian terjadi setiap tahunnya diseluruh dunia. Penyakit ini pertama
kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun 1779 yang menemukan adanya hubungan
antara kelemahan alat gerak bawah dengan kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut
tidak dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch
tahun 1882, sehingga etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas.
1
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Tulang Belakang
Tulang belakang atau vertebra (columna vertebralis) adalah tulang tak beraturan yang
membentuk punggung yang mudah digerakkan dan merupakan pilar utama tubuh, dan
berfungsi menyangga cranium, gelang bahu, ekstremitas superior dan dinding thoraks serta
melalui gelang pinggul meneruskan berat badan ke ekstremitas inferior. Di dalam rongganya
terletak medulla spinalis, radik nervi spinalis, dan lapisan penutup meningen yang dilindungi
oleh columna vertebralis. 1,4
Gambar 1. Anatomi columna vertebralis
Columna vertebralis terdiri dari 33 ruas tulang. Tiga bagian diatasnya terdiri dari 24
tulang yang dibagi menjadi 7 tulang cervical (vertebra servicalis), 12 tulang thorakal
(vertebra thorakalis) dan 5 tulang lumbal ( vertebra lumbalis), 5 diantranya begabung
membentuk bagian sacral (vertebra sacral), dan 4 tulang membentuk tulang ekor. 1,4
1. Vertebra servikal
2
Secara umum memiiliki bentuk tulang yang kecil dengan spina atau procesus spinosus
(bagian seperti sayap pada belakang tulang) yang pendek, kecuali tulang ke-2 dan & yang
procesus spinosusnya pendek.Diberi nomor sesuai urutannya dari C1-C7 (C dari cervikal),
namun beberapa memiliki sebutan khusus seperti C1 atau atlas, C2 atau aksis.Setiap mamalia
memiliki 7 tulang punggung leher, seberapapun panjang lehernya.
2. Vertebra thorakalis
Prosesus spinosusnya akan berhubungan dnegan tulang rusuk. Vertebra thorakal
memiliki ruang lingkup yang sedikit karena adanya tulang rusuk yang membentuk thorak,
beberpa gerakan memutar dapat terjadi.Bagian ini dikenal juga sebagai, “tulang punggung
dorsal” dalam konteks manusia.Bagian ini diberi nomor T1 hingga T12.
3. Vertebra Lumbalis
Bagian ini (L1-L5) merupakan bagian paling tetap konstruksinya danmenanggung
beban terberat dari yang lainnnya.Bagian ini memungkinkan gerakan fleksi dan ekstensi
tubuh, dan beberapa gerakan rotasi dengan derajat yang kecil.
4. Os Sakral
Terdapat 5 tulang di bagian ini (S1-S5). Tulang-tulang bergabung dan tidak memiliki
celah atau diskus intervertebralis satu sama lainnya.
5. Os Coccygeal
Terdapat 3 hingga 5 tulang (Co1-Co5) yang saling bergabung dan tanpa celah.
Beberapa hewan memiliki tulang coccyx atau tulang ekor yang banyak, maka dari itu disebut
tulang punggung (kaudal berarti ekor).
Kolumna vertebralis tidak berbentuk lurus lagi tapi melengkung di beberapa tempat,
yaitu :
a) Lordosis servikalis, melengkung dari anterior di daerah servikal
b) Kifosis torakalis, melengkung ke dorsal di daerah thorakal
c) Lordosis Lumbalis, melengkung ke anterior di daerah lumbal
d) Kifosis sakralis, melengkung ke daerah sacral 4
Setiap ruas tulang belakang terdiri dari dua bagian yaitu bagian anterior yang terdiri
dari badan tulang (corpus vertebra), diskus intervertebralis (sebagai artikulasi), dan ditopang
oleh ligamentum longitudinale anterior dan posterior. Sedangkan bagian posterior terdiri dari
arcus vertebra. Arcus vertebra merupakan struktur terbesar kaena fungsinya sebagai
penyangga berat tubuh. Arcus vertebra dibentuk oleh dua “kaki” atau pedikulus dan dua
3
lamina ( berfungsi sebagai pelindung foramen vertebra) serta didukung oleh penonjolan atau
procecus yaitu procesus articularis , procesus transversus (terletak pada kedua sisi korpus
vertebrae, tempat melekatnya otot-otot punggung ), dan procesus spinosus (bagian posterior
yang diraba terasa sebagai tonjolan yang berfungsi sebagai tempat melekatya otot-otot
punggung.
Prosesus tersebut membentuk sebuah lubang yang disebut formaen vertebrale, yang
apabila tulang punggung disusun, foramen ini yang akann memebentuk saluran tempat
terbentuknya sum-sum tulang belakang (medula spinalis). Diantara dua tulang punggung,
dapat ditemui celah yang disebut formaen intervertebrale yang berfungsi sebagai bantalan
bila vertebra bergerak. Terdiri dari annulus fibrosus yaitu massa fibroelastik yang
membungkus nucleus pulposus (caian gel koloid yang mengandung mukopolisakarida).4
Diskus invertebralis menyusun seperempat panjang columna vertebralis. Diskus ini
paling tebal di daerah cervical dan lumbal, tempat dimana banyak terjadi gerakan columna
vertebralis. Ciri fisiknya memungkinkan berfungsi sebagai peredam benturan bila beban pada
columna vertebralis mendadak bertambah, seperti bila seseorang melompat dari tempat yang
tinggi. Daya pegas ini berangsur-angsur menghilang dengan bertambahnya usia. Discus
intervertebralis tidak ditemukan di antara vertebra C1 dan 2 atau di dalam os sacrum atau os
coccygeus. Setiap discus terdiri atas bagian pinggir, anulus fibrosus, dan bagian tengah yaitu
nucleus pulposus.
Anulus fibrosus terdiri atas jaringan fibrocartilago, di dalamnya serabut-serabut
kolagen tersusun dalam lamel-lamel yang kosentris. Berkas kolagen berjalan miring di antara
corpus vertebrae yang berdekatan, dan lamel-lamel yang lain berjalan dalam arah sebaliknya.
Serabut-serabut yang lebih perifer melekat dengan erat pada ligamentum longitudinale
anterius dan posterius columna vertebralis.
Nucleus fibrosus pada anak-anak dan remaja merupakan massa lonjong dari zat
gelatin yang banyak mengandung air, sedikit serabut kolagen, dan sedikit sel-sel tulang
rawan. Biasanya berada dalam tekanan dan terletak sedikit ebih dekat ke pinggir posterior
daripada pinggir anterior discus. Permukaan atas dan bawah corpus vertebrae yang
berdekatan yang menempel pada discus diliuti oleh cartiloago hyalin yang tipis. Sifat nucleus
pulposus yang setengah cair memungkinkannya berubah bentuk dan vertebrae dapat
mengjungkit kedepan dan kebelakang diatas yang lain, seperti pada flexi dan ekstensi
columna vertebralis.
4
Peningkatan beban kompresi yang mendadak pada columna vertebralis menyebabkan
nucleus pulposus yang semi cair menjadi gepeng. Dorongan keluar dari nucleus ini dapat
ditahan oleh daya pegas anulus fibrosus disekelilingnya kadang-kadang, dorongan keluar ini
terlalu kuat bagi anulus, sehingga anulus menjadi robek dan nucleus pulposus keluar dan
menonjol kedalam canalis vertebralis, tempat nucleus ini dapat menekan radix nervus
spinalis, nervus spinalis, atau bahkan medula spinalis.
Dengan bertambahnya umur, kandungan air di dalam nucleus pulposus berkurang dan
digantikan oleh fibrocartilago, akibatnya anulus tidak lagi berada dalam tekanan. Pada usia
lanjut, discus ini tidak dapat lagi dibedakan antara nucleus dan anulus.
Diskus intervertebralis, baik anulus fibrosus maupun nukleus pulposusnya adalah
bangunan yang tidak peka nyeri. Bagian yang merupakan bagian peka nyeri adalah
ligamentum disekelilingnya yaitu, Lig. Longitudinale anterior, Lig. Longitudinale posterior,
dan Lig. Supraspinosum serta Corpus vertebra dan periosteumnya juga Articulatio
zygoapophyseal.
5
2.2 Spondylitis
Spondilitis merupakan inflamasi pada tulang vertebrae yang bisa disebabkan oleh
beberapa hal, misalnya proses infeksi dan imunitas. Jika tulang terinfeksi, bagian dalam
tulang yang lunak (sumsum tulang) membengkak. Karena pembengkakan jaringan ini maka
akan menekan dinding sebelah luar tulang yang kaku, maka pembuluh darah di dalam
sumsum bisa tertekan, menyebabkan berkurangnya aliran darah ke tulang. Tanpa pasokan
darah yang memadai,bagian dari tulang bisa mati. Tulang yang biasanya terlindung dengan
baik dari infeksi, bisa mengalami infeksi melalui 3 cara:
Aliran darah
Penyebaran langsung
Infeksi darijaringan lunak di dekatnya
2.2.1 Ankylosing Spondylitis (Non-Spesifik)
Ankylosing spondylitis berasal dari bahasa Yunani, yaitu Ankylot (melengkung) dan
Spondylos (tulang belakang). Ankylosing Spondylitis (AS) adalah penyakit inflamasi kronis
yang terutama menyerang pada persendian kerangka aksial (spine, sacroiliac joints) dan juga
sendi perifer. Kondisi ini ditandai dengan kekakuan progresif dari sekelompok sendi
dan ligamen di tulang belakang, menyebabkan rasa sakit kronis dan gangguan mobilitas
tulang belakang. Jika parah, ankylosing spondylitis juga dapat menyebabkan fusi
(penggabungan) ligamen tulang belakang dengan cakram/diskus antar vertebra
6
2.2.1.1 Etiologi
Masih belum diketahui secara pasti, namun di duga karena dipenaruhi oleh faktor
genetik, yaitu adanya HLA-B27. Dan penelitian baru-baru ini juga ditemukan karena adanya
gen-gen ARTS1 dan IL23R yang menyebabkan Ankyrosing Spondylitis(AS) ini.
2.2.1.2 Epidemiologi
AS lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding pada perempuan dan dapat mengenai
semua kelompok umur, termasuk anak-anak, biasanya dimulai dari usia remaja sampai 40
tahun. AS banyak terjadi pada orang-orang yang mempunyai gen HLA-B27 dan dengan
riwayat penyakit AS dalam keluarga.
2.2.1.3 Patofisiologi
Patologi utama dari Ankylosing spondylitis adalah proses peradangan kronis,
termasuk CD4, CD8, limfosit T dan makrofag. Sitokin, terutama tumor necrosis factor-α
(TNF-α) dan Transforming Group Factor-β (TGF-β), juga penting dalam proses inflamasi
dengan menyebabkan fibrosis dan pengerasan di tempat terjadinya peradangan.
7
2.2.1.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada AS dibagi menjadi :
1) Manifetasi Skeletal
Low back pain
Nyeri dada
Nyeri tekan pada tempat tertentu
Nyeri sendi lutut dan bahu
2) Manifestasi Ekstra sekeletal
Mata
Uveitis anterior akut atau iridocyclitis merupakan manifistasi ekstra skeletal
yang sering dijumpai (20-30%). Permulaannya biasanya akut dan unitateral akan
tetapi yang terserang dapat bergantian. Mata tampak merah dan terasa sakit
disertai dengan adanya gangguan penglihatan, kadang-kadang ditemukan
fotopobia dan hiperlakrimasi.
Jantung
8
Secara klinis biasanya tidak menunjukkan gejala. Manifestasinya adalah:
ascending aortitis, gangguan katup aorta gangguan hantaran kardiomegali dan
perikarditis.
Paru-paru
Terserangnya paru-paru pada penderita ankylosing spondyttis jarang terjadi dan
merupakan manifestasi lanjut penyakit. Manifestasinya dapat berupa: fibrosis
baru lobus atas yang progresif dan rata-rata terjadi pada yang telah menderita
selarna 20 tahun. Lesi tersebut akhirnya menjadi kista yang merupakan tempat
yang baik bagi pertumbuhan aspergilus.
Keluhan yang dapat timbul pada keadaan ini antara lain: batuk sesak nafas dan
kadang-kadang hemoptisis.Ventilasi paru-paru biasanya masih terkompensasi
dengan baik karena meningkatnya peran diafragma sebagai kompensasi
terhadap kekakuan yang terjadi pada dinding dada. Kapasitas vital dan kapasitas
paru total mungkin menurun sampai tingkat sedang akibat terbatasnya
pergerakan dinding dada. Walaupun demikian residual volume dan function
residual capacity biasanya meningkat.
Sistem saraf
Komplikasi neurologis pada ankylosing spondylitis dapat terjadi akibat
fraktur,persendian vertebra yang tidak stabil, kompresi atau inflarnasi.
Subluksasi persendian atlanto-aksial dan atlanto-osipital dapat terjadi akibat
inflamasi pada persendian tersebutsehingga tidak stabil. Kompresi,termasuk
proses osifikasi pada ligamentum longitudinal posterior akan mengakibatkan
terjadinya mielopati kompresi lesi destruksi pada diskus intervertebra dan
stenosis spinal. Sindrom cauda equina merupakan komplikasi yang jarang terjadi
tetapi merupakan keadaan yang serius. Sindrom ini akan menyerang saraf
lumbosakral dengan gejala-gejala incontinentia urine et alvi yang berjalan
perlahan-lahan, impotensi, saddle anesthesia dan kadang-kadang refleks tendon
achiles menghilang. Gejala motorik biasanya jarang tirnbul atau sangat ringao.
Sindrom ini dapat ditegakkan dengan bantuan pemeriksaan CT scan atau MRI.
Apabila tidak ditemukan lesi kompresi, maka perlu dipikirkan kemungkinan
perlengketan pada selaput arachnoid.
Ginjal
9
Nefropati (lgA) telah banyak dilaporkan sebagai komplikasi ankylosing
spondylitis. Keadaan ini khas ditandai oleh kadar IgA yang tinggi pada 93%
kasus disertai dengan gagal ginjal 27%.
2.2.1.5 Penegakan Diagnosis
a) Anamnesis
Sangat penting untuk diketahui adanya Low back pain dan riwayat keluarga dengan
AS. Penilaian status neurologis yang sederhana dan mudah dapat menggunakan skala
Frankel, yaitu:
Frankel A : Defisit neurologi yang komplit.
Frankel B : Hanya terdapat fungsi sensorik pada distal cedera
Frankel C: Sebagian motorik nonfungsional pada distal cedera
Frankel D: Motorik fungsional pada distal cedera
Frankel E: Normal
b) Pemeriksaan Fisik
1. Sikap/postur tubuh
Selama perjalanan penyakitnya, sikap tubuh yang normal akan hilang. Lordosis
lumbal yang menghilang umumnya merupakan tanda awal. Apabila vertebra
cervical terserang, maka pergerakan leher akan terbatas serta menimbulkan rasa
nyeri. Leher penderita mengalami pergeseran ke depan dan hal ini dapat
dibuktikan dengan cara penderita diminta berdiri tegak, apabila terjadi
pergeseran maka occiput tidak dapat menempel pada dinding.
2. Mobilitas tulang belakang
Pertama kali yang diperiksa adalah apakah ada keterbatasan gerak. Biasanya
ditemukan adanya keterbatasan gerak pada tulang vertebra lumbal, yang dapat
dilihat dengan cara melakukan gerakan fleksi badan ke depan, ke samping dan
ekstensi. Tes Schober atau modifikasinya, berguna untuk mendeteksi keterbatasan
gerak fleksi badan ke depan. Caranya: penderita diminta untuk berdiri tegak pada
prosesus spinosus lumbal Vdiberi tanda (titik), kemudian l0 cm lurus di atasnya
diberi tanda kedua. Kemudian penderita diminta melakukan gerakan
membungkuk (lutut tidak boleh dibengkokkan). Pada orang normal jarak kedua
titik tersebut akan bertambah jauh, bila jarak kedua titik tersebut tidak mencapai
15 cm, hal ini menandakan bahwa mobilitas tulang vertebra lumbal telah
10
menurun (pergerakan vertebra lumbal mulai terbatas). Di samping itu fleksi lateral
juga akan menurun dan gerak putar pada tulang belakang akan menimbulkan
rasa sakit.
3. Ekspansi dada
Penurunan ekspansi dada dari yang ringan sampai sedang, sering dijumpai pada
kasus ankylosing spondylitis stadium dini danjangan dianggap sebagai stadium
lanjut. Pada pengukuran ini perlu dilihat bahwa nilai normalnya sangat bervariasi
dan tergantung pada umur dan jenis kelamin. Sebagai pedoman yang dipakai
adalah : ekspansi dada kurang dari 5 cm pada penderita muda disertai dengan
nyeri pinggang yang dimulai secara perlahan-lahan, harus dicurigai mengarah
adanya ankylosing spondylitis. Pengukuran ekspansi dada ini diukur dari inspirasi
maksimal sesudah melakukan ekspirasi maksimal.
4. Sacroilitis
Pada sacroilitis penekanan sendi ini akan memberikan rasa sakit, akan tetapi hal
ini tidak spesifik karena pada awal penyakit atau pada stadium lanjut sering kali
tanda-tanda ini tidak ditemukan. Pada stadium lanjut tidak ditemukan nyeri
tekan pada sendi sacroiliaca oleh karena telah terjadi fibrosis atau bony ankylosis.
11
c) Pemeriksaan Penunjang
l. Radiologi
Radiografi (x-rays) dapat memperlihatkan berkurangnya diskus vertebralis dan
osteofit. Sakroiliitis terjadi di awal perjalanan dari ankylosing spondylitis dan
dianggap sebagai ciri dari penyakit. Pada foto polos, tanda paling awal adalah
kesuraman dari sendi, melebar sebelum akhirnya menyempit. Erosi tulang
subchondral di sisi iliaka dari sendi terlihat, ini diikuti oleh sclerosis subchondral
dan proliferasi tulang, erosi tulang subchondral dari sendi sakroiliaka biasanya
terlihat dini di bagian bawah sendi (karena bagian ini dipagari oleh sinovium) dan
di sisi iliaka (karena tulang kartilago ini meliputi sisi sendi)5.
Sakroiliitis yang terlihat di Ankylosing Spondylosis biasanya bilateral, simetris,
dan secara bertahap progresif selama bertahun-tahun. Lesi menunjukkan
perubahan progresif yaitu “blurring” pada permukaan tulang subchondral menjadi
erosi ireguler pada tepi sendi sakroiliaka (pseudowidening) untuk sclerosis,
penyempitan, dan akhirnya fusi.
12
Pada CT scan dari sendi Sakroiliaka, dapat terlihat seperti erosi sendi, sclerosis
subchondral (lihat gambar bawah),dan ankilosis tulang yang divisualisasikan lebih
baik pada CT scan dari pada foto polos. MRI mungkin memiliki peran dalam
diagnosis awal sakroiliitis. MRI mampu memperlihatkan kelainan diskus,
ligament, dan nervus.
2. Tes Darah Rutin (Untuk melihat adanya infeksi)
3. Tes HLA-B27
13
Gambar.Antero posterior radiografi tulang belakang pasien dengan ankylosing
spondylitis. Pengerasan fibrosus anulus di berbagai tingkat dan squaring dari badan
vertebra dapat diamati
Bilateral sakroiliitis. Aksial CT scan menunjukkan erosi dan iliaka sclerosis sisisubchondral sendi-sendi sac
roiliac
Radiograf lateral menunjukkan erosi sudut anterior pada T12 dan L1 tubuh vertebralis.Tanda sudut khas mengkilap (atau lesi Romanus) hadir (panah).
Menentukan diagnosis AS juga dapat dilakukan menurut Kriteria New York
Modifikasi kriteria New York (1984) yaitu, terdiri dari :
1. Nyeri pinggang paling sedikit berlangsung selama 3 bulan, membaik dengan
olah raga dan tidak menghilang dengan istirahat.
2. Keterbatasan gerak vertabra lumbal pada bidang frontal maupun sagital.
3. Penurunan relatif derajat ekspansi dinding dada terhadap umur dan jenis
kelamin.
4. Sacroiliitas bilateral grade 2-4.
5. Sacroiliitis unilateral grade 3-4.
Diagnosis AS definitif apabila terdapat sacroiliitis unilateral grade 3-4 atau sacroiliitis
bilateral grade 2-4 disertai dengan salah satu gejala klinis di atas. Menentukan gradenya
yaitu :
Grade 0= normal spine;
Grade 1 = indicates suspicious changes,
Grade 2 = indicates sclerosis with some erosion,
Grade 3 = indicates severe erosions, pseudodilatation of the joint space, and partialankilosis
Grade 4 = denotes complete ankylosis.
2.2.1.5 Tatalaksana
1. Terapi non-medikamentosa
a) Mobilitas yang baik dan teratur (olahraga dan latihan)
b) Penerangan/penyuluhan
c) Radioterapi Operatif
2. Terapi Medikamentosa
a) OAINS
Bisa menggunakan Indometacyn, naproxen ataupun ibuprofen. Dosis untuk
dewasa Indometacyn, yaitu 100-150 mg/hari dalam dua atau tiga dosis.
Sedangkan untuk anak-anak 1,5-3 mg/kg BB/hari dalam dua atau tiga dosis.
b) Sulfasaladzin
Dosis untuk dewasa 2-3 gram/hari dibagi dalam dua atau tiga dan dosis anak-
anak 40-60 mg/kg BB/hari dibagi dalam dua atau tiga dosis. Efek sampingnya
14
yaitu, mual, muntah, diare, dan timbul reaksi hipersensitivitas. Kontra indikasi
pada orang-orang yang mempunyai riwayat hipersensitivitas dan prophyria.
2.2.1.7 Prognosis
Pada umunya prognosis untuk Ankylosing Spondylitis berlangsung baik dengan
pemberian obat anti inflamasi nonsteroid secara berkala. Cacat fisik parah tidak umum di
antara pasien dengan AS, namun masalah mobilitas terjadi pada sekitar 47% pasien. Cacat ini
berkaitan dengan durasi penyakit, perifer arthritis, usia yang lebih muda saat onset gejala, dan
penyakit sistemik lainnya. Kematian dapat terjadi pada penyakit yang sudah lama dan telah
terjadi komplikasiyang parah pada manifestasi ekstra artikular.
15
2.2.2 Spondylitis Tuberkulosis (Spesifik)
Spondilitis tuberkulosis atau Pott’s disease of the spine adalah infeksi yang kronik
dan dekstruktif pada vertebra yang disebabkan oleh basil tuberkulosis yang menyebar secara
hematogen dari fokus jauh, dan hampir selalu berasal dari paru paru. Penyebaran basil ini
dapat terjadi pada waktu infeksi primer atau pasca primer. Lesi biasanya pada korpus vertebra
dan proses dapat bermula pada 3 tempat, yaitu:
- Di dekat diskus intervertebrata atas atau bawah ( tipe marginal)
- Di tengah korpus ( tipe sentral )
- Di bagian anterior ( tipe anterior )
Gambar 4 Lokasi permulaan infeksi tuberkulosis pada vertebra
2.2.2.1 Etiologi
Bakteri yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis,
walaupun spesies Mycobacterium yang lainpun dapat juga menyebabkannya. Mycobacterium
tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat acid-fastnon-motile dan tidak
dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang konvensional.
Gambar 2.1 M. Tuberculosis
Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tubuh
secara lambat dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu.
16
2.2.2.3 Epidemiologi
Penyakit ini lebih banyak mengenai pria, dengan perbandingan pria dan wanita 1,5-2 :1, dan
dapat menyerang semua umur baik orang dewasa bahkan anak-anak. Penyakit Spondylitis
tuberkulosis ini paling banyak ditemukan di Asia, Afrika, dan Amerika.
2.2.2.4 Patogenesis
Infeksi Mycobacterium tuberculosis pada tulang selalu merupakan infeksi sekunder.
Berkembangnya kuman dalam tubuh tergantung pada keganasan kuman dan ketahanan tubuh
penderita. Patogenesis penyakit ini sangat tergantung dari kemampuan bakteri menahan
cernaan enzim lisosomal dan kemampuan host untuk memobilisasi immunitas seluler. Jika
bakteri tidak dapat diinaktivasi, maka bakteri akan bermultiplikasi dalam sel dan membunuh
sel itu. Komponenlipid, protein serta polisakarida sel basil tuberkulosa bersifat immunogenik,
sehingga akan merangsang pembentukan granuloma dan mengaktivasi makrofag. Beberapa
antigen yang dihasilkannya juga dapat juga bersifat immunosupresif.
Virulensi basil tuberkulosa dan kemampuan mekanisme pertahanan host akan
menentukan perjalanan penyakit. Pasien dengan infeksi berat mempunyai progresi yang
cepat; demam, retensi urine dan paralisis arefleksi dapat terjadi dalam hitungan hari. Respon
seluler dan kandungan protein dalam cairan serebrospinal akan tampak meningkat, tetapi
basil tuberkulosa sendiri jarang dapat diisolasi. Pasien dengan infeksi bakteri yang kurang
virulen akan menunjukkan perjalanan penyakit yang lebih lambat progresifitasnya, jarang
menimbulkan meningitis serebral dan infeksinya bersifat terlokalisasi dan terorganisasi.
Kekuatan pertahanan pasien untuk menahan infeksi bakteri tuberkulosa tergantung dari :
1. Usia dan jenis kelamin
Terdapat sedikit perbedaan antara anak laki-laki dnn anak perempuan hingga masa
pubertas. Bayi dan anak muda dari kedua jenis kelamin mempunyai kekebalan yang lemah.
Hingga usia 2 tahun infeksi biasanya dapat terjadi dalam bentuk yang berat seperti
tuberkulosis milier dan meningitis tuberkulosa, yang berasal dari penyebaran secara
hematogen.
Sebelum pubertas, lesi primer diparu merupakan lesi yang berada di area lokal,
walaupun kavitas seperti pada orang dewasa. Setelah pubertas daya tahan tubuh mengalami
peningkatan dalam mencegah penyebaran secara hematogen,tetapi menjadi lemah dalam
mencegah penyebaran penyakit di paru-paru.
17
Angka kejadian pada pria terus meningkat pada seluruh tingkat usia tetapi padawanita
cenderung menunrun dengan cepat setelah usia anak-anak, insidensi ini kemudian meningkat
kembati pada wanita setelah melahirkan anak. Puncak usia terjadinya infeksi berkisar antara
usia 40-50 tahun untuk wanita, sementara pria bisa mencapai usia 60 tahun.
2. Nutrisi
3. Faktor toksik
Perokok tembakau dan peminum alkohol akan mengalami penurunan daya tahan
tubuh. Demikian pula dengan pengguna obat kortikosteroid atau immunosupresan lain.
4. Penyakit Lain
5. Lingkungan yang buruk (kemiskinan).
2.2.2.5 Patofisiologi
Spondilitis tuberculosis kebanyakan melibatkan vertebra thoracal. Ruang diskus
biasanya dapat bertahan lebih lama di bandingkan dengan infeksi pyogenik lainnya. Abses
Paraspinal merupakan hal yang sering muncul pada penyakit ini. Karakter infeksi
tuberkulosis ialah adanya destruksi tulang (osteolysis) vertebra yang progresifitasnya berjalan
lambat. Destruksi timbul dibagian anterior korpus vertebra disertai osteoporosis regional.
Proses perkijuan yang menyebar akan menghambat timbulnya pembentukan tulang baru dan
pada saat yang bersamaan akan menimbulkan segmen-segmen yang avaskular membentuk
sekuester , terutama pada vertebra daerah torakal. Secara bertahap jaringan granulasi akan
menembus korteks korpus vertebra yang sudah tipis sehingga menimbulkan abses
paravertebra yang meliputi beberapa korpus vertebra. Selain itu proses infeksi dapat
menyebar keatas dan kebawah melalui ligamentum longitudinale anterior dan ligamentum
longitudinale posterior. Diskus intervertebralis yang avaskular, awalnya relatif resisten
terhadap infeksi tuberkulosis. Tetapi kemudian karena dehidrasi, diskus akan menyempit dan
akhirnya akan timbul kerusakan akibat penjalaran jaringan granulasi. Destruksi progresif
pada bagian anterior menyebabkan korpus bagian anterior kolaps , mengakibatkan kifosis
yang progresif. Melalui mekanisme reaksi hipersensitif lambat, vertebra mengalami destruksi
dengan membentuk nekrosis perkijuan. Nekrosis perkijuan ini mencegah pembentukan tulang
baru dan menyebabkan tulang menjadi avaskular sehingga terbentuk sekuester tuberkulosa
yaitu serpihan tulang yang lepas dan nekrosis. Secara bertahap jaringan granulasi menembus
korteks vertebra membentuk abses paravertebra yang dapat melewati beberapa segman
18
vertebra, menyebar dibawah ligamentum longitudinale anterior dan posterior mencari tempat
paling rendah dengan tahanan yang paling lemah.
Lesi biasanya pada korpus vertebra dan proses dapat bermula di 3 tempat, yaitu :
a) Dekat diskus intervertebra atas atau bawah, disebut tipe marginal, yang sesuai dengan
tipe metafiseal pada tulang panjang
b) Ditengah korpus, disebut tipe sentral
c) Di bagian anterior korpus, disebut tipe anterior atau subperiosteal
Kumar membagi perjalanan penyakit ini ke dalam 5 stadium :
1. Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang,maka bila daya tahan tubuh penderita menurun,
bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu.
Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak anak umumnya
pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta
penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.
3. Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk massa
kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang terjadi 23 bulan
setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat berbentuk sekuestrum serta
kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di
sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra yang
menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.
4. Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi
terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan
10 % dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai
kanalis spinalis yang kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada
daerah ini. Bila terjadi gangguan neurologis maka perlu di catat derajat kerusakan
paraplegia yaitu :
Derajat I : Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktivitas
atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.
19
Derajat II : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih dapat
melakukan pekerjaannya
Derajat III : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak /
aktivitas penderita serta hipestesia / anestesia
Derajat IV : Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defekasi
dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau
lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.
Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan
ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang
belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak
aktif/sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau
oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa.
Tuberkulosa paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang
disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra. Derajat I-III disebut sebagai
paraparesis dan derajat IV disebut sebagai paraplegia.
5. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 35 tahun setelah timbulnya stadium implantasi.
Kifosis atau gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang masif di
sebelah depan
2.2.2.6 Penegakan Diagnosa
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada banyak
faktor. Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan berevolusi lambat,
bervariasi dari bulan hingga tahun; sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya dua
tahun setelah infeksi tuberkulosa.
A n a m n e s a d a n i n s p e k s i :
1. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat malam,
demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta
cachexia. Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat berkurangnya keinginan
bermain di luar rumah. Sering tidak tampak jelas pada pasien yang cukup gizi
20
sementara pada pasien dengan kondisi kurang gizi, maka demam (terkadang demam
tinggi), hilangnya berat badan dan berkurangnya nafsu makan akan terlihat
dengan jelas.
2. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah disertai
nyeri dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari nodus
limfatikus, tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa.
3. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang
menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di
daerah telingan atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan
menampakkan nyeri yang terasa di dada dan intercostal. Pada lesi di bagian torakal
bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri ini
hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri pasien akan
menahan punggungnya menjadi kaku.
4. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki
pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.
5. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan
kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam posisi
dagu disangga oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital.
Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya
gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher
atau bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak pembengkakan di kedua sisi leher.
Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong trakhea ke sternal notch
sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan adanya stridor respiratoar,
sementara kompresi medulla spinalis pada orang dewasa akan menyebabkan
tetraparesis. Dislokasi atlantoaksial karena tuberkulosa jarang terjadi dan merupakan
salah satu penyebab kompresi cervicomedullary di negara yang sedang
berkembang. Hal ini perlu diperhatikan karena gambaran klinisnya serupa dengan
tuberkulosa di regio servikal.
6. Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila
berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya.
Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara tetap
mempertahankan punggungnya tetap kaku (coin test). Jika terdapat abses, maka
abses dapat berjalan di bagian kiri atau kanan mengelilingi rongga dada dan tampak
sebagai pembengkakan lunak dinding dada. Jika menekan abses ini berjalan ke
21
bagian belakang maka dapat menekan korda spinalis dan menyebabkan paralisis.
7. Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang
terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui fistel
dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien
tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong
tulang belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas paha. Adanya kontraktur
otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul.
8. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang
belakang), skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan
dislokasi.
9. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis).
Terjadi pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis lebih
banyak di temukan pada infeksi di area torakal dan servikal. Jika timbul paraplegia
akan tampak spastisitas dari alat gerak bawah dengan refleks tendon dalam yang
hiperaktif, pola jalan yang spastik dengan kelemahan motorik yang
bervariasi. Dapat pula terjadi gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal.
10. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan nyeri akut
seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang ataupun
sendi mendukung bahwa hal tersebut disebabkan karena tuberkulosa.
P a l p as i :
1. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit
diatasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan
dengan abses piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat
paha, fossa iliaka, retropharynx, atau di sisi leher (di belakang otot
sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di
sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara ukuran lesi
destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess.
2. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena.
P e m e r ik s a a n P e nu n j a ng :
1. Laboratorium :
1.1 Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari
22
100mm/jam.
1.2 Tuberculin skin test/Mantoux test/Tuberculine Purified Protein Derivative
(PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi pemaparan dahulu
maupun yang baru terjadi oleh mycobacterium. Tuberculin skin test ini
dikatakan positif jika tampak area berindurasi, kemerahan dengan diameter ≥
10mm di sekitar tempat suntikan 48-72 jam setelah suntikan. Hasil yang
negatif tampak pada ± 20% kasus dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis
milier) dan pada pasien yang immunitas selulernya tertekan (seperti
baru saja terinfeksi, malnutrisi atau disertai penyakit lain)
1.3 Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal),
sputum dan bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paru- paru
yang aktif)
1.4 Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang
bersifat relatif.
1.5 Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin haemolysins,
typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang sulit dan pada
pusat kesehatan dengan peralatan yang cukup canggih) untuk menyingkirkan
diagnosa banding.
1.6 Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis
tuberkulosa). Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan
kemungkinan infeksi TBC.
2. Radiologis
a) Foto polos vertebra
Diagnosis biasanya dapat ditegakkan pada plain radiography dan gambaran yang
ditemukan meliputi penyempitan disk space, pelibatan diskus sentralis dan kolaps
corpus anterior. Diperlukan pengambilan gambar dua arah , antero-posterior (AP) dan
lateral (Lat). Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian anterior korpus
vertebra dan osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus intervertebralis,
menujukkan terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan lunak disekitar
vertebra menimbulkan bayangan fusiform.
23
Foto polos tulang vertebra orang dewasa dengan spondilitis tuberkulosis yang menunjukkan erosi end-plate vertebra setinggi L3 dan L4.
Foto Thoracolumbar AP : Paravertebral mass (tanda panah) yang merupakan gambaran klasik dari spondilitis TB.
Khas dari spondilitis TB adalah adanya destruksi 2 atau lebih vertebra, erosi,
kalsifikasi jaringan lunak dan adanya paravertebral mass. Infeksi biasanya terdapat
pada sudut superior atau inferior anterior pada korpus vertebra berdekatan dengan
discovertebral junction. Terjadinya abses merupakan hal yang sering terjadi dan
semakin berkembangnya penyakit ini mengarah pada kolapsnya satu atau lebih
vertebra.. Di bawah diafragma, abses yang terbentuk biasanya bermigrasi ke
sepanjang muskulus psoas dan keluar melalui sinus pada region groin dan buttock.
Klasifikasi pada abses memperkuat kecurigaan infeksi tuberkulosa. Pada fase lanjut
didapatkan penyempitan diskus intervertebralis akibat herniasi ke dalam corpus
vertebra yang telah rusak atau destruksi diskus intervertebralis akibat gangguan
nutrisi.
24
b) Computed Tomography – Scan (CT)
Ct Scan efektif mendeteksi kalsifikasi pada abses jaringan lunak. Dilain hal CT Scan
juga dapat digunakan untuk follow up pada pasien yang sedang menjalani kemoterapi
anti tuberkulosis. Fragmentasi dan paravertebral kalsifikasi dapat terlihat dengan alat
yang satu ini. CT Scan juga dapat menentukan derajat tulang yang terkena dan dapat
menjadi panduan dalam proses biopsi. Serta dapat memperlihatkan bagian-bagian
vertebra secara rinci dan melihat kalsifikasi jaringan lunak, membantu mencari fokus
yang lebih kecil, menentukan lokasi biopsi dan menentukan luas kerusakan.
c) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Memiliki kelebihan dalam menggambarkan jaringan lunak dan aman digunakan. MRI
juga sangat efektif dalam mendeteksi dini spondilitis TB untuk lesi multipel
dibandingkan CT dan pemeriksaan radiologik konvensional. Gambaran lesi pada T1
weighted image adalah hypointense sedangkan pada T2 weighted image adalah
hiperintens. Lesi juga dapat menjadi lebih jelas dengan injeksi Gadolinium DTPA
intravena. Pada spondilitis tuberkulosa akan didapat gambaran dengan lingkaran
inflamasi dibagian luar dan sekuester ditengah yang hipointens ; tetapi gambaran ini
mirip dengan infeksi piogenik dan neoplasma sehingga tidak spesifik untuk spondilitis
tuberkulosa.
d) Myelography dan Sidik Tulang
Melalui punksi lumbal dimasukkan zat kontras kedalam ruang subdural . Secara
konvensional dibuat foto AP/L atau dilakukan pemeriksaan dengan CT-Scan , disebut
CTmielografi. Pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran adanya penyempitan
pada kanal spinalis dan atau tekanan terhadap medula spinalis. 6
3. Patologi anatomi
Secara histopatologik, hasil biopsi memberi gambaran granuloma epiteloid yang khas
dan sel datia Langhans, suatu giant cell multinukleotid yang khas. Pada inflamasi kronis
berupa :
- infiltrasi sel sel mononuklear, makrofag,limfosit, sel plasma
- destruksi jaringan
- Penggantian jaringan rusak oleh jaringan ikat melalui angiogenesis dan fibrosis
25
2.2.2.7 Komplikasi
1) Cedera corda spinalis (spinal cord injury).
Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa,
sekuestra tulang, sekuester dari diskus intervertebralis (Pott’s paraplegia – prognosa baik)
atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi
tuberkulosa (menigomyelitis – prognosa buruk). MRI dan mielografi dapat membantu
membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis.
2) Ruptur abses paravertebra
Pada vertebra torakal maka nanah akan turun kedalam pleura sehingga
menyebabkan empiema tuberculosis. Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot
iliopsoas membentuk psoas abses yang merupakan cold absces
3) Pott’s paraplegia
Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus maupun
sequester atau invasi jaringan granulasi pada medulla spinalis. Paraplegia ini membutuhkan
tindakan operatif dengan cara dekompresi medulla spinalis dan saraf. Muncul pada stadium
lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari jaringan granulasi atau perlekatan tulang
(ankilosing) diatas kanalis spinalis
2.2.2.8 Diagnosis Banding
1. Infeksi pyogenik grade rendah (Brucellosis)
Membedakan dengan penyakit pott adalah pada penyakit ini tidak terdapat kalsifikasi
paravertebral mass dan gibbus . Karakter yang ada pada brucellosis adalah tidak
terdapat kifosis dan prediksi lokasi brucellosis terdapat pada lumbar bawah . Selain
itu progresifitas penyakit spondilitis tuberkulosa cenderung lambat dan kronis. Pada
penyakit infeksi pyogenik terjadi sklerosis aktif dan osteoporosis yang tampak tidak
senyata pada spondilitis tuberkulosis. Dilain hal dari segi pemeriksaan laboratorium,
peningkatan laju endap darah lebih tinggi pada spondilitis tuberkulosa dibanding
spondilitis brucellosis.
2. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid).
3. Tumor/penyakit keganasan (leukemia, Hodgkin’s disease, eosinophilic granuloma,
aneurysma bone cyst dan Ewing’s sarcoma).
Metastase dapat menyebabkan destruksi dan kolapsnya corpus vertebra tetapi
berbeda dengan spondilitis tuberkulosa karena ruang diskusnya tetap dipertahankan.
26
Secara radiologis kelainan karena infeksi mempunyai bentuk yang lebih difus
sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang berbatas jelas.
4. Scheuermann’s disease
Mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh karena tidak adanya penipisan
korpus vertebrae kecuali di bagian sudut superior dan inferior bagian anterior dan
tidak terbentuk abses paraspinal.
2.2.2.9 Tatalaksana
Tujuan terapi pada kasus spondilitis tuberkulosa adalah :
1. Mengeradikasi infeksi atau setidaknya menahan progresifitas penyakit
2. Mencegah atau mengkoreksi deformitas atau defisit neurologis
A. TERAPI KONSERVATIF
1. Pemberian nutrisi yang bergizi
2. Pemberian kemoterapi atau terapi anti tuberkulosa. OAT primer, antara lain:
a) I s on i a z id (I NH )
Bersifat bakterisidal baik di intra ataupun ekstraseluler, bekerja untuk basil
tuberkulosa yang berkembang cepat. Efek sampingnya hepatitis, peripheral
neuropathy karena defisiensi piridoksin, namunelatif aman untuk kehamilan.Dosis
INH adalah 5 mg/kg/hari – 300 mg/hari
b) R i f a mp i n ( RM P )
Bersifat bakterisidal, efektif pada fase multiplikasi cepat ataupun lambat dari
basil, baik di intra ataupun ekstraseluler. Keuntungannya melawan basil dengan
aktivitas metabolik yang paling rendah (seperti pada nekrosis perkijuan). Efek
samping yang paling sering terjadi perdarahan pada traktus gastrointestinal,
cholestatic jaundice, trombositopenia dan dose dependent peripheral neuritis.
Hepatotoksisitas meningkat bila dikombinasi dengan INH. Dosisnya : 10 mg/kg/hari
– 600 mg/hari.
c) P y r az in a m ide ( P Z A )
Bekerja secara aktif melawan basil tuberkulosa dalam lingkungan yang bersifat
asam dan paling efektif di intraseluler (dalam makrofag) atau dalam lesi
perkijuan. Efek sampingnya Hepatotoksisitas, asam urat dan arthralgia. Dosis : 15-
30mg/kg/hari.
27
d) E th a m butol (E MB )
Mempunya efek samping toksisitas okular (optic neuritis) dengan timbulnya
kondisi buta warna, berkurangnya ketajaman penglihatan dan adanya central
scotoma. Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal. Dosis :
15-25 mg/kg/hari.
e) St r e p t om y c i n ( S T M )
Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat basa sehingga dipergunakan
untuk melengkapi pemberian PZA. Efek sampingn y a ototoksisitas (kerusakan
syaraf VIII), nausea dan vertigo (terutama sering mengenai pasien lanjut usia).
Dosis : 15 mg/kg/hari – 1 g/kg/hari
Pada pasien-pasien yang diberikan kemoterapi harus selalu dilakukan pemerik
saan klinis, radiologis dan pemeriksaan laboratorium secara periodik.
3. Istirahat tirah baring (resting)
Berupa local rest pada turning frame / plaster bed atau continous bed rest disertai
dengan pemberian kemoterapi, bila tidak dapat dilakukan operasi dan terdapat masalah
teknik yang berbahaya, dengan memakai gips untuk melindungi tulang belakangnya
dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase aktif.
Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung 3-4 minggu, sehingga dicapai keadaan yang
tenang dengan melihat tanda-tanda klinis, radiologis dan laboratorium. Secara klinis
ditemukan berkurangnya rasa nyeri, hilangnya spasme otot paravertebral, nafsu
makan dan berat badan meningkat, suhu badan normal. Secara laboratoris
menunjukkan penurunan laju endap darah, Mantoux test umumnya < 10 mm. Pada
pemeriksaan radiologis tidak dijumpai bertambahnya destruksi tulang, kavitasi ataupun
sekuester. Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal dapat
diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah vertebra torakal, torakolumbal dan
lumbal atas diimobilisasi dengan body cast jacket; sedangkan pada daerah lumbal
bawah, lumbosakral dan sakral dilakukan immobilisasi dengan body jacket atau korset
dari gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul. Lama immobilisasi
berlangsung kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak penderita diperbolehkan berobat jalan.
Terapi untuk Pott’s paraplegia pada dasarnya juga sama yaitu immobilisasi di plaster
shell dan pemberian kemoterapi. Pada kondisi ini perawatan selama tirah baring
untuk mencegah timbulnya kontraktur pada kaki yang mengalami paralisa sangatlah
28
penting. Alat gerak bawah harus dalam posisi lutut sedikit fleksi dan kaki dalam
posisi netral.
B. TERAPI OPERATIF
Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien yang mempunyai lesi
kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya kelainan neurologis.
Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di tempat tidur selama 3-6
minggu. Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu pemberian terapi obat
antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif) dilakukan tetapi tidak memberikan
respon yang baik sehingga lesi spinal paling efektif diterapi dengan operasi secara langsung
dan tumpul untuk mengevakuasi “pus” tuberkulosa, mengambil sekuester tuberkulosa serta
tulang yang terinfeksi dan memfusikan segmen tulang belakang yang terlibat.
Selain indikasi diatas, operasi debridement dengan fusi dan dekompresi juga
diindikasikan bila:
1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi
2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan
3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase
4. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan mengancam
atau kifosis berat saat ini
5. Penyakit yang rekuren
Pott’s paraplegia sendiri selalu merupakan indikasi perlunya suatu tindakan operasi
(Hodgson) akan tetapi Griffiths dan Seddon mengklasifikasikan indikasi operasi menjadi:
A. Indikasi absolut
1. Paraplegia dengan onset selama terapi konservatif; operasi tidak dilakukan bila
timbul tanda dari keterlibatan traktur piramidalis, tetapi ditunda hingga terjadi
kelemahan motorik.
2. Paraplegia yang menjadi memburuk atau tetapi statis walaupun diberikan terapi
konservatif.
3. Hilangnya kekuatan motorik secara lengkap selama 1 bulan walaupun telah
diberi terapi konservatif.
4. Paraplegia disertai dengan spastisitas yang tidak terkontrol sehingga tirah baring dan
immobilisasi menjadi sesuatu yang tidak memungkinkan atau terdapat resiko adanya
29
nekrosis karena tekanan pada kulit.
5. Paraplegia berat dengan onset yang cepat, mengindikasikan tekanan yang besar
yang tidak biasa terjadi dari abses atau kecelakaan mekanis; dapat juga
disebabkan karena trombosis vaskuler yang tidak dapat terdiagnos.
6. Paraplegia berat; paraplegia flasid, paraplegia dalam posisi fleksi, hilangnya
sensibilitas secara lengkap, atau hilangnya kekuatan motorik selama lebih dari 6
bulan (indikasi operasi segera tanpa percobaan pemberikan terapi konservatif).
B. Indikasi relatif
1. Paraplegia yang rekuren bahwa dengan paralisis ringan sebelumnya
2. Paraplegia pada usia lanjut, indikasi untuk operasi diperkuat karena kemungkinan
pengaruh buruk dari immobilisasi
3. Paraplegia yang disertai nyeri, nyeri dapat disebabkan karena spasme atau
kompresi syaraf
4. Komplikasi seperti infeksi traktur urinarius atau batu
C. Indikasi yang jarang
1. Posterior spinal disease
2. Spinal tumor syndrome
3. Paralisis berat sekunder terhadap penyakit servikal
4. Paralisis berat karena sindrom kauda ekuina
Pilihan pendekatan operasi dilakukan berdasarkan lokasi lesi, bisa melalui
pendekatan dari arah anterior atau posterior. Secara umum jika lesi utama di
anterior maka operasi dilakukan melalui pendekatan arah anterior dan anterolateral
sedangkan jika lesi di posterior maka dilakukan operasi dengan pendekatan dari posterior.
Saat ini terapi operasi dengan menggunakan pendekatan dari arah anterior merupakan
suatu prosedur yang dilakukan hampir di setiap pusat kesehatan.
Pemberian kemoterapi tambahan 10 hari sebelum operasi telah direkomendasikan.
Pendapat lain menyatakan bahwa kemoterapi diberikan 4-6 minggu sebelum fokus
tuberkulosa dieradikasi secara langsung dengan pendekatan anterior. Area nekrotik
dengan perkijuan yang mengandung tulang mati dan jaringan granulasi dievakuasi
yang kemudian rongga yang ditinggalkannya diisi oleh autogenous bone graft dari tulang
30
iga. Pendekatan langsung secara radikal ini mendorong penyembuhan yang cepat dan
tercapainya stabilisasi dini tulang belakang dengan memfusikan vertebra yang terkena. Fusi
spinal posterior dilakukan hanya bila terdapat destruksi dua atau lebih korpus vertebra,
adanya intabilitas karena destruksi elemen posterior atau konsolidasi tulang terlambat
serta tidak dapat dilakukan pendekatan dari anterior.
Pada kasus dengan kifosis berat atau defisit neurologis, kemoterapi
tambahan dan bracing merupakan terapi yang tetap dipilih, terutama pada pusat kesehatan
yang tidak mempunyai perlengkapan untuk operasi spinal anterior. Terapi operatif juga
biasanya selain tetap disertai pemberian kemoterapi, dikombinasikan dengan 6-12 bulan
tirah baring dan 18-24 bulan selanjutnya menggunakan spinal bracing. Pada pasien dengan
lesi-lesi yang melibatkan lebih dari dua vertebra, suatu periode tirah baring diikuti dengan
sokongan eksternal dalam TLSO direkomendasikan hingga fusi menjadi berkonsolidasi.
Hodgson dan kawan-kawan menghindari tindakan laminektomi sebagai prosedur
utama terapi Pott’s paraplegia dengan alasan bahwa eksisi lamina dan elemen neural
posterior akan mengangkat satu-satunya struktur penunjang yang tersisa dari penyakit yang
berjalan di anterior. Laminektomi hanya diindikasikan pada pasien dengan paraplegia
karena penyakit di laminar atau keterlibatan corda spinalis atau bila paraplegia tetap ada
setelah dekompresi anterior dan fusi, serta mielografi menunjukkan adanya sumbatan.
2.2.2.10 Prognosis
Prognosis pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia dan
kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta terapi
yang diberikan. Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan
seiring dengan ditemukannya kemoterapi ( < 5 % ) .
Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetis secara
signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologis atau kegagalan
pernafasan dan jantung karena keterbatasan fungsi paru. Defisit neurologis pada pasien
spondilitis tuberkulosa dapat membaik secara spontan tanpa operasi atau kemoterapi.
Tetapi secara umum, prognosis membaik dengan dilakukannya operasi dini.
31
BAB III
KESIMPULAN
Walaupun insidensi spondilitis secara umum di dunia telah berkurang pada
beberapa dekade belakangan ini dengan adanya perbaikan distribusi pelayanan
kesehatan dan perkembangan regimen kemoterapi yang efektif, penyakit ini akan terus
menjadi suatu masalah kesehatan di negara-negara yang belum dan sedang berkembang
dimana diagnosis dan terapi mungkin dapat tertunda.
Pada spondilitis tuberkulosa kemoterapi yang tepat dengan obat anti tuberkulosa
biasanya bersifat kuratif, akan tetapi morbiditas yang berhubungan dengan deformitas
spinal, nyeri dan gejala sisa neurologis dapat dikurangi secara agresif dengan intervensi
operasi, program rehabilitasi serta kerja sama yang baik antara pasien, keluarga dan tim
kesehatan. Sedangkan pada Ankylosing Spondylitis prognosisnya berlangsung baik dengan
pemberian obat anti inflamasi nonsteroid secara berkala. Cacat fisik parah tidak umum di
antara pasien dengan AS, namun masalah mobilitas terjadi pada sekitar 47% pasien,
berkaitan dengan durasi penyakit, perifer arthritis, usia yang lebih muda saat onset gejala, dan
penyakit sistemik lainnya. Kematian dapat terjadi pada penyakit yang sudah lama dan telah
terjadi komplikasiyang parah pada manifestasi ekstra artikular.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC.
2. Martini F.H., Welch K. The Lymphatic System and Immunity. In : Fundamentals of
Anantomy and Physiology. 5th ed. New Jersey : Upper Saddle River, 2001: 132,151
3. S Craig Humphreys, MD. Ankylosing Spondylitis in Orthopedic Surgery (serial
online) (diakses 24 Des 2013). Diunduh dari URL :
http://emedicine.medscape.com/article/1263287-overview
4. Lawrence H Brent, MD. Ankylosing Spondylitis and Undifferentiated
Spondyloarthropathy (serial online) (diakses 24 Des 2013). Diunduh dari URL :
http://emedicine.medscape.com/article/332945-overview
5. Rasjad, Chairuddin. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi, Infeksi Tuberkulosa.
Jakarta: Yarsif Watampone. Hal 144-149
6. Jhonson, Victor. Spondilitis TB (serial online) (diakses 25 Des 2013). Diunduh dari
URL : http://www.scribd.com/mobile/doc/39333427
7. Ant_bee. Spondilitis Tuberkulosa (serial online) (diakses 25 Des 2013). Diunduh dari
URL : http://www.scribd.com/mobile/doc/43259295
8. Lindsay, KW, Bone I, Callander R. Spinal Cord and Root Compresion. In :
Neurology and Neurosurgery Illustrated. 2nded. Edinburgh : Churchill Livingstone,
1991 : 388.
9. Graham JM, Kozak J. Spinal Tuberculosis. In : Hochschuler SH, Cotler HB,
Guyer RD., editor. Rehabilitation Of The Spine : Science and Practice. St.
Louis : Mosby-Year Book, Inc., 1993 : 387-90.
10. Natarajan M, Maxilvahanan. Tuberculosis of the spine. In : h t tp: / w ww. bo n e t umour
o r g . / book/ A P T E X T / i nt e x . htm l . Book of orthopaedics and traumatoloty.
11. Salter R.B.Tuberculous Osteomyelitis. In : Textbook of Disorders and Injuries of
The Musculoskeletal System. 3rd ed. Baltimore : Williams & Wilkins, 1999 : 228-
31
12. Bohndorf K., Imhof H. Bone and Soft Tissue Inflammation. In : Musculoskeletal
Imaging : A Concise Multimodality Approach. New York : Thieme, 2001 : 150,
334-3
33
top related