pengendalian vektor filariasis · pdf fileditingkatkan melalui penyuluhan-penyuluhan yang...

Post on 06-Feb-2018

280 Views

Category:

Documents

5 Downloads

Preview:

Click to see full reader

TRANSCRIPT

PENGENDALIAN VEKTOR

FILARIASIS

Oleh : Drs. Adrial, M.Kes

Bagian Prasitologi Fakultas Kedokteran

Universitas Andalas

PENGENDALIAN VEKTOR

FILARIASIS

Adrial

Bagian Parasitologi

Fakultas Kedokteran Univ. Andalas

Berdasarkan berbagai data yang ada, penyebaran filariasisdi Indonesia sangat luas, terutama yang disebabkan oleh B. malayi. Prevalensi terlihat lebih tinggi di daerah yang kurang berkembang dibandingkan dengan daerah yang sudah berkembang.

B. malayi yang terdapat di daerah yang sangat maju/berkembang telah mulai hilang.

Sebaliknya B. timori hanya terdapat di pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur saja dan tidak ditemukan di pulau-pulau di dekatnya, di Nusa Tenggara Barat.

Di NTB hanya ditemukan W. bancrofti saja, padahal infeksi ganda antara B. timori dan W. bancrofti sering dijumpai di daerah endemik B. timori' .

Pengendalian vektor adalah upaya yang paling utama. Di daerah dengan tingkat endemisitas tinggi, penting sekali mengetahui dengan tepat bionomik dari vektor nyamuk, prevalensi dan insidensi penyakit, dan faktor lingkungan yang berperan dalam penularan di setiap daerah.

Bahkan dengan upaya pengendalian vektoryang tidak lengkappun dengan menggunakan obat anti nyamuk masih dapat mengurangi insiden dan penyebaran penyakit. Hasil yang diperoleh sangat lambat karena masa inkubasi yang panjang.

Pengendalian vektor secara kimiawi

Dalam pengendalian vektor secara kimiawi

digunakan berbagai bahan kimia untuk

membunuh ataupun menghambat pertumbuhan

serangga.

Di Indonsia hingga sekarang yang banyak

dipakai dalam pengendalian vektor malaria

yang seringkali sekaligus dapat mengendalikan

vektor filariasis, adalah penggunaan

insektisida yang ditujukan untuk membunuh

nyamuk dewasa dengan cara enyemprotan

tempat menggigit dan tempat istirahat vektor.

Pengendalian vektor secara non kimiawi

Pengendalian vektor filariasis secara ini di Indonesia sebenarnya secara khusus belum dilakukan.

Yang sudah terjadi adalah efek samping dari pengelolaan lingkungan yang ditujukan untuk hal lain terutama untuk pertanian seperti perubahan rawa menjadi lahan pertanian sehingga mengurangi tempat perindukan nyamuk, atau membersihkan batang- batang air dari tumbuh-tumbuhan air seperti Echornia crassipes dan Pistia, kangkung dan rumput-rumput yang juga mengurangi tempat perindukan nyamuk.

Sebaliknya perubahan lingkungan dapat juga menambah tempat perindukan.

Cara mengurangi kontak antara vektor dan manusia di daerah pedesaan masih belum terlaksana, terutama karena masih kurang pengertian masyarakat dan keadaan ekonomi yang rendah.

Pemakaian kelambu masih belum dimengertikegunaannya, dan penduduk seringkali hanya memakai kelambu bila dingin.

Juga penggunaan repellent seperti minyak sereh belum membudaya di Indonesia. Untuk cara pengendalian ini masih diperlukan penyuluhan yang baik.

Pengendalian vektor filariasis secara biologik di Indonesia belum dilakukan.

Pengendalian vektor filariasis di Indonesia belum dilakukan secara baik.

Cara-cara yang dapat dikembangkan adalah :

1) Penggunaan insektisida, yang didahului dengan penelitianbionomik vektor, sehingga penyemprotan dapat mencapaisasarannya.

2) Pengendalian vektor secara non kimiawi dengan cara pengelolaan lingkungan, baik untuk mengurangi, menghilangkan tempat perindukan ataupun mencegah, ataumenghindari kontak dengan vektor.

3) Untuk hal ini perlu kerjasama lintas sektoral dan yang lebihpenting adalah peranserta masyarakat yang dapatditingkatkan melalui penyuluhan-penyuluhan yang adekuat.

Pengendalian vektor jangka pendek dapat dilakukan untuk sementara dengan penyemprotan insektisida setelah diketahui biting habits dan resting habits vektor di daerah masing-masing.

Pengendalian vektor jangka panjang dapat dilakukan dengan pengelolaan lingkungan secara lintas sektoral dan peranserta masyarakat, oleh karena itu penelitian vektordan bionomiknya perlu ditingkatkan, supaya dapat memberikan keterangan dan arahan kepada masyarakat dan instansi lain yang bersangkutan dengan pengelolaan lingkungan.

Hospes Reservoir

• Dari berbagai penelitian telah diketahui bahwa B. malayi di Indonesia mempunyai reservoir dan yang berperan penting adalah non-human primates. Brugia malayi sub periodik adalah merupakan zoonosis yang penting di Asia. Di Malaysia kera yang telah diketahui sebagai reservoir penyakit filaria adalah Presbytis cristata, P. melalopos, P. obscura dan Macaca fascicularis, tetapi Presbytis spp adalah yang utama.

• Di Indonesia B. malayi telah ditemukan di P. cristata dan M. fascicularis (Palmieri, 1979; Lim dkk. 1984; Poernomo, 1984). Bahkan di daerah endemik B. malayi periodik telah ditemukan juga cacing dewasa di dalam P. cristata. Selain kera, kucing juga merupakan reservoir dari B. malayi yang telah dibuktikan dibeibagai tempat di Indonesia.

• Perlu diambil darah kucing dan kera untuk mengetahui adanya zoonosis.

Daerah endemis filarisis

>>>> Daerah dataran rendah terutama :

> Daerah pedesaan

> Daerah pantai

> Daerah pedalaman

> Daerah persawahan

> Daerah rawa-rawa

> Daerah hutan

Biasanya daerah endemik B. malayi adalah

daerah dengan hutan rawa (swampy forest),

sepanjang sungai besar atau badan air yang

lain.

Sedangkan daerah endemik W. bancrofti

perkotaan adalah daerah perkotaan yang

kumuh, padat penduduknya dan banyak

genangan air kotor sebagai habitat dari vektor

parasit tersebut, yaitu Cx. Quinquefasciatus.

Lokasi : Perkebunan Kelapa Sawit Muara Putuih, Tjg. Mutiara, Kab.Agam

Enceng gondok( Eichornia crassipes)

• Daun: ujung membulat,

pangkal menggelembung

• Akar: tipe serabut, panjang,

dan bercabang banyak

Breeding place

Mansonia annulifera

Teratai

• Daun: bundar bertumpuk

seperti susunan bunga

mawar

• Akar pendek bercabang

Kiambang (Pistia stratioles)

Salvinia natans

• Daun: lonjong

seperti sirip, genap

• Akar: pendek

bercabang

Ipomea aquatica

• Daun: segitiga

dengan tangkai

batang panjang

• Akar: sedikit

22

i

23

Hospes reservoir B. malayi di laboratorium(Meriones unguiculatus)

No Nama Kabupaten Jml Penderita Elephantiasis (orang)

1 Pasaman Barat 46

2 Pesisir Selatan 35

3 Kepulauan Mentawai 24

4 Agam 24

5 Darmasraya 10

6 Padang Pariaman 6

7 Lima Puluh Kota 30 (2007)

8 Sawah Lunto Sijunjung 3

9 Solok 2

10 Tanah Datar 2

Jumlah

Penderita Filariasis di Sumatera Barat(Data tahun 2005)

PENDERITA FILARIASIS DAN HASIL PEMERIKSAAN SURVEI DARAH JARI FILARIASIS KAB. PESISIR SELATAN THN 2006

No Kecamatan/Puskesmas Desa Distribusi Penderita

filariasis/Desa (orang)

Jumlah seluruhnya

Elephantiasis

(orang)

Desa yang disurvai

darah jari malam hari

Slide positif Mf

(B. malayi)

1 Pancung Soal (Indrapura) Simalenggang

Kudo-Kudo

Koto Padan

Sungai Tuguh

Lubuak Ubai

Pasa Gadang

1

3

6

1

1

1

13

-

-

-

-

Lubuak Ubai

Pasa Gadang

-

-

-

-

10

12

22

2 Lengayang (Koto Baru) Koto Raya

Sirandah

Air Kalam

Koto Randah

Koto Pulai

1

1

1

1

3

7

-

-

-

-

Koto Pulai

-

-

-

-

10

10

3 Linggo Sari Baganti (Aie Haji) Lubuk Nyiur

Koto Panai

Durian Pandaan

Muaro Gadang

Koto Gadang

Lubuak Tanjak

1

1

1

1

1

1

6

Lagan Mudiak

Muaro Gadang

5

2

7

4 Batang Kapeh (IV Koto Mudiak) Taluk Kasai

Jakamu

Koto Gunung

4

1

1

6 Lb. Nyiur

Koto Gunung

9

7

16

5 IV Jurai Painai Timur 1 1 - -

6 Sutra Padang Tarok 1 1 - -

7 Balai Selasa Jambatan Luak 1 1 - -

Jumlah 35 55

Pasaman BaratPasaman

Lima Puluh KotaPayakumbuh

Tanah Datar

Padang Panjang

Sawahlunto/Sijunjung

Kota Sawahlunto

Dharmas Raya

Solok Selatan

Pesisir SelatanKep. Mentawai

Agam

Bukittinggi

Padang Pariaman

Pariaman

Padang

Kota Solok

Kab. Solok

Ada kasus, mf Rate 1, sudah MDA

Ada kasus, mf Rate < 1

Ada kasus, mf Rate ???

Tidak ada kasus

MAPPING FILARIASIS DI SUMBAR TAHUN 2008

Sumatera Barat

Spesies : Brugia malayi

top related