makalah agama kel 5
Post on 24-Jul-2015
198 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penerapan hukum Islam di Indonesia memang menjadi perbincangan cukup hangat
beberapa tahun terakhir. Gagasan itu muncul sebab sebagian besar masyarakat Indonesia
memeluk agama Islam. Indonesia merupakan negara penganut Islam terbesar di dunia.
Dengan demikian, muncul anggapan bahwa Indonesia dan Islam dapat berjalan selaras dan
seiring sehingga tepat jika Indonesia menerapkan hukum Islam.
Wacana penerapan hukum Islam di Indonesia tidak bisa serta merta direalisasikan
begitu saja. Banyak yang harus dipertimbangkan. Indonesia pada awalnya bukanlah negara
Islam. Indonesia mengenal agama Hindu terlebih dahulu. Itu sebabnya banyak percampuran
budaya dan ritual-ritual Hindu dalam pelaksanaan agama Islam oleh sebagian penduduk di
Indonesia. Negara Indonesia yang terdiri dari ragam etnis dan agama tidak mungkin semena-
mena menerapkan hukum Islam. Jika hukum Islam di Indonesia diterapkan begitu saja, akan
ada banyak penduduk Indonesia yang merasa dirampas haknya dalam kebebasan beragama
dan mereka akan terkena imbas dari penerapan hukum Islam di Indonesia. Oleh karena itu,
penulis hendak membahas mengenai implementasi hukum Islam di Indonesia dan kontribusi
umat Islam Indonesia.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, ada beberapa masalah yang akan penulis
bahas, yaitu:
Apa saja definisi, ruang lingkup, tujuan, dan sumber hukum Islam?
Bagaimana Kedudukan Al-Qur’an sebagai pedoman kegiatan umat Islam?
Apa arti, fungsi, dan peranan dari As-Sunnah?
Bagaimana kedudukan akal pikiran manusia dalam berijtihad?
Apa saja fungsi hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat?
Bagaimana implementasi hukum Islam di Indonesia?
1
Apa saja kontribusi hukum Islam dalam perundang-undangan di Indonesia?
1.3. Tujuan
Untuk mengetahui dan memahami macam-macam hukum Islam, implementasi hukum
Islam di Indonesia, dan kontribusi umat Islam dalam Perundang-undangan di Indonesia.
BAB II
2
PEMBAHASAN
2.1 Hukum Islam
2.1.1 Batasan definisi hukum Islam
Hukum merupakan seperangkat norma/peraturan yang mengatur tingkah laku manusia
guna menciptakan masyarakat yang aman, tenteram dan bertingkah laku sesuai dengan aturan
hukum. Hukum bisa dibuat melalui berbagai kesepakatan baik itu kesepakatan adat,
perundingan maupun ketetapan agama. Salah satu hukum yang berdasarkan pada ketetapan
agama adalah hukum Islam. Adapun pengertian hukum Islam adalah hukum yang bersumber
pada nilai-nilai keislaman dimana konsep, dasar, dan hukumnya berasal dari Allah,
ditetapkan berdasarkan wahyu-wahyu Allah, dan mengatur hubungan manusia dengan
manusia lain (masyarakat), manusia dengan diri sendiri, serta manusia dengan Allah.
Istilah hukum Islam berkaitan dengan syariat, hukum syara’, dan fiqh.
a. Syariat (addiin atau almillah): Segala sesuatu yang ditetapkan Allah, dibawa para Nabi
termasuk nabi Muhammad, yang berkaitan dengan teknik amal perbuatan (ilmu fiqh),
keimanan (ilmu kalam).
b. Hukum syara’: Firman Allah yang mengikat orang mukallaf, berupa:
- Hukum taklifi (hukum pembebanan)
Macam hukum taklifi:
1. Wajib/ijab : dilakukan +, ditinggalkan -
2. Sunnah/mandub : dilakukan +, ditinggalkan 0
3. Mubah/ibahah : dilakukan 0, ditinggalkan 0
4. Makruh/karahah : dilakukan 0, ditinggalkan +
5. Haram/tahrim : dilakukan -, ditinggalkan +
(ket: +=berpahala; -=berdosa; 0=tidak apa-apa/tidak berpahala maupun tidak berdosa)
- Hukum wadl’iy (hukum penetapan khusus)
Macam hukum wadl’iy:
1. As-sabab (sebab) : datangnya suatu faktor sebagai sebab datangnya hukum. Misal,
kegiatan musafir menjadi sebab gugurnya kewajiban puasa ramadhan hari itu
3
2. As-syarath (syarat) : suatu faktor sebagai syarat datangnya hukum. Misal, akad nikah
sebagai syarat adanya talak/perceraian
3. Al-mani’ (penghalang) : suatu faktor sebagai penghalang datangnya hukum. Misal,
membunuh sebagai penghalang seseorang memiliki hak waris dari orang yang
dibunuh
4. ‘Azimah (ketetapan reguler) : hukum tanpa ada relevansi khusus dengan hal apapun.
Misal, hukum wajibnya rakaat shalat lima waktu tidak disebabkan, disyaratkan, atau
dihalangi oleh relevansi apapun
5. Rukhsoh (dispensasi) : suatu faktor sebagai hal yang memperingan suatu hukum.
Misal, perjalanan (shafar) menjadi faktor memperingan dalam bentuk jama’ qoshor
6. As-shihhah (valid/absah) : suatu kriteria syarat dan rukun sebagai faktor absahnya
hukum . Misal, syarat rukun shalat yang telah dipenuhi sebagai faktor sahnya shalat
7. Al-Buthlan (batal) : suatu faktor sebagai pembatal datangnya hukum . Misal, tidak
dibacanya Al Fatihah menjadi faktor batalnya shalat
c. Fiqh:
- Pengetahuan yang berkaitan dengan hukum syara’ yang praktis dan terperinci
- Dihasilkan dari proses rasional dan ijtihad manusia
- Bersifat instrumental dengan ruang lingkup terbatas pada perbuatan manusia
- Tidak berlaku abadi, tergantung tempat dan masa
Contoh Fiqh: empat madzab,
1. Syafii : oleh Muhammad idris As-syafi’i
2. Hanafi : oleh Abu Hanifah
3. Maliki : oleh Malik bin Anas
4. Hambali : oleh Ahmad bin Hanbal
4
Menurut Tahir Azhari, hukum Islam bersifat bidimensional (mengandung aspek
kemanusiaan dan ketuhanan sekaligus), adil (mengutamakan keadilan), dan transendental
(diikat oleh wahyu Allah).
2.1.2 Ruang lingkup hukum Islam
Menurut HM Rasyidi, hukum Islam meliputi berbagai aspek, yaitu:
1. Munakahah : hukum perkawinan
2. Wirasah : hukum waris
3. Jinayat : hukum tindak pidana
4. Al-ahkam as-sulthoniyah : hukum ketatanegaraan
5. Siyar : hukum peperangan
6. Mukhassamat : hukum tata peradilan
Sedangkan Menurut Fathi Osman, cakupan hukum islam adalah:
1. Al ahkam as-syakhsiyah : hukum perorangan
2. Al ahkam al-madaniyah : hukum kebendaan
3. Al ahkam al-jinaiyah : hukum pidana
4. Al ahkam al-murafaat : hukum perdata
5. Al ahkam al-dusturiyah : hukum tata negara
6. Al ahkam al-iqtishadiyah : hukum ekonomi dan keuangan
2.1.3 Tujuan hukum Islam
Menurut Abu Ishaq as-Shatibi hukum Islam bertujuan untuk:
1. Memelihara agama
2. Memelihara jiwa
3. Memelihara akal
4. Memelihara keturunan
5. Memelihara harta
2.1.4 Sumber Hukum Islam
Adapun sumber-sumber yang dapat dijadikan sebagai dalil-dalil hukum Islam adalah
sebagai berikut:
5
1. Al-Qur’an
a. Definisi Al-Qur’an dan akar dari kata “Al-Qur’an”
Secara etimologis, Al Qur’an berasal dari kata “qara’a”, yaqra’u, qiraa’atan atau
qur’aanan yang berarti mengumpulkan (al jam’u) dan menghimpun (al dlammu) huruf-
huruf serta kata-kata dari satu bagian ke bagian lain secara teratur. Dikatakan Al Qur’an
karena ia berisikan intisari dari semua kitab Allah dan intisari dari ilmu pengetahuan.
Allah berfirman : “ Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya
(dalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kamu telah selesai
membacakannya
maka ikutilah bacaannya”. (al Qiyamah [75]:17-18).
Qur’anan dalam hal ini berarti juga qira’atahu (bacaannya/cara membacanya).
Jadi kata itu adalah masdar menurut wazan (tasrif, konjugasi) “fu’lan” dengan vocal “u”
seperti “gufran” dan “syukran”. Kita dapat mengatakan qara’tuhu, qur’an, qira’atan wa
qur’anan, artinya sama saja yakni maqru’ (apa yang dibaca) atau nama Qur’an (bacaan).
Qur’an dikhususkan sebagai nama bagi kitab yang diturunkan kepada
Muhammad s.a.w., sehingga Qur’an menjadi nama khas kitab itu, sebagai nama diri. Dan
secara gabungan kata itu dipakai untuk nama qur’an secara keseluruhan, begitu juga
untuk penamaan ayat-ayatnya. Maka jika kita mendengar orang membaca ayat Qur’an,
kita boleh mengatakan bahwa ia sedang membaca Qur’an.
Firman Allah dalam surat Al-A’raf:“dan apabila dibacakan Qur’an, maka
dengarkanlah dan perhatikanlah …(Al-A’raf [7]:204).
Sedangkan secara terminologi, Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang pembacaannya merupakan ibadah. (Al-Qathan,1998;18).
Definisi ini mengandung 3 pengertian, yaitu:
a. “Kalam” merupakan kelompok jenis yang meliputi segala kalam, dan dengan
menghubungkannya kepada Allah (Kalamullah) yang berarti tidak termasuk kalam
manusia, jin, dan malaikat.
b. Kata yang diturunkan maksudnya membatasi apa yang diturunkan itu hanya “kepada
Nabi Muhammad SAW”. Tidak termasuk yang diturunkan kepada Nabi-nabi
sebelumnya seperti Taurat, Zabur, dan Injil.
c. Sedangkan pembacaannya, merupakan suatu ibadah. Artinya, perintah untuk
membacanya di dalam sholat atau kegiatan lainnya adalah ibadah.
6
Al-Qur’an diriwayatkan dengan cara tawatur (mutawatir) yang artinya diriwayatkan
oleh orang sangat banyak semenjak dari generasi shahabat ke generasinya selanjutnya
secara berjamaah. Jadi apa yang diriwayatkan oleh orang per orang tidak dapat dikatakan
sebagai Al-Qur’an. Orang-orang yang memusuhi Al-Qur’an dan membenci Islam telah
berkali-kali mencoba menggugat nilai keasliannya. Akan tetapi realitas sejarah dan
pembuktian ilmiah telah menolak segala bentuk tuduhan yang mereka lontarkan. Al-
Qur’an adalah kalamullah, bukan ciptaan manusia, bukan karangan Muhammad saw
ataupun saduran dari kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur’an tetap menjadi mu’jizat sekaligus
sebagai bukti keabadian dan keabsahan risalah Islam sepanjang masa dan sebagai sumber
dari segala sumber hukum bagi setiap bentuk kehidupan manusia di dunia.
b. Kehujjahan Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan hujjah bagi manusia, serta hukum-hukum yang terkandung di
dalamnya merupakan dasar hukum yang wajib dipatuhi, karena Al-Qur’an merupakan
kalam Al-Khaliq, yang diturunkannya dengan jalan qath’i dan tidak dapat diragukan lagi
sedikit pun kepastiannya. Berbagai argumentasi telah menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu
datang dari Allah dan ia merupakan mukjizat yang mampu menundukkan manusia dan
tidak mungkin mampu ditiru. Salah satu yang yang menjadi kemusykilan manusia untuk
menandingi Al-Qur’an adalah bahasanya, yaitu bahasa Arab, yang tidak bisa ditandingi
oleh para ahli syi’ir orang Arab atau siapa pun.
Allah SWT berfirman:
“Katakanlah: Sesungguhnya apabila jin dan manusia apabila berkumpul untuk
membuat yang serupa dengan Al-Qur’an ini. Pasti mereka tidak akan dapat membuat
yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sekalian
yang lain.” (QS. Al-Isra: 88)
“(Dan) apabila kamu tetap dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang kami wahyukan
kepada hamba kami (Muhammad), maka buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-
Qur’an, dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang
benar.” (QS. Al-Baqarah: 23)
Pernyataan Walid bin Mughirah, salah seorang bangsa Quraisy di masa Rasulullah saw,
seorang ahli syair yang tak tertandingi, yang menjadi musuh nabi pada awalnya berkata:
7
“Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an itu terdapat sesuatu yang lezat, dan pula
keindahannya, apabila di bawah menyuburkan dan apabila di atas menghasilkan buah.
Dan manusia tidak akan mungkin mampu berucap seperti Al-Qur’an.”
Selain dari bahasanya, isi Al-Qur’an sekaligus menjadi hujjah atas kebenarannya.
Misalnya perihal akan menangnya kaum Muslimin memasuki Makkah dengan aman
(QS. Al-Fath), juga tentang akan menangnya pasukan Romawi atas Parsi (QS. Ar-Ruum)
dan sebagainya. Selain isi Al-Qur’an menunjukkan tentang kejadian sejarah terdahulu
yang sesuai dengan fakta, atau kisah tentang sebagian Iptek, misalnya penyerbukan oleh
lebah, terkawinkannya bunga-bunga oleh bantuan angin dan sebagainya. Yang pada
akhirnya terbukti kebenarannya.
c. Fungsi Al-Qur’an
Al-Qur’an berfungsi sebagai:
1. Petunjuk bagi Manusia. Allah swt menurunkan Al-Qur’an sebagai petujuk umat
manusia, seperti yang dijelaskan dalam surat (Q.S Al-Baqarah 2:185 (QS Al-Baqarah
2:2) dan (Q.S Al-Fusilat 41:44)
2. Sumber pokok ajaran islam. Fungsi Al-Qur’an sebagai sumber ajaran islam sudah
diyakini dan diakui kebenarannya oleh segenap hukum islam.Adapun ajarannya
meliputi persoalan kemanusiaan secara umum seperti hukum, ibadah, ekonomi,
politik, sosial, budaya, pendidikan, ilmu pengetahuan dan seni.
3. Peringatan dan pelajaran bagi manusia. Dalam Al-Qur’an banyak diterangkan tentang
kisah para nabi dan umat terdahulu, baik umat yang taat melaksanakan perintah Allah
maupun yang mereka yang menentang dan mengingkari ajaran-Nya. Bagi kita,umat
yang akan datang kemudian rentu harus pandai mengambil hikmah dan pelajaran dari
kisah-kisah yang diterangkan dalam Al-Qur’an.
4. Mukjizat Nabi Muhammad saw. Turunnya Al-Qur’an merupakan salah satu mukjizat
yang dimilki oleh nabi Muhammad saw.
8
Kesimpulan kedudukan Al-Qur’an bagi umat Islam
Semua uraian di atas menunjukkan bahwa Al-Qur’an memang bukan datang dari
manusia melainkan dari Allah SWT; Sang Pencipta dan Pengatur Alam Semesta. Karenanya
memang sudah menjadi kelayakan bahkan keharusan untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai
landasan kehidupan dan hukum manusia.
2. As-Sunnah
a. Definisi dan kedudukan Sunnah sebagai petunjuk bagi umat muslim
Sunnah adalah perkataan, perbuatan dan taqrir (ketetapan/persetujuan/diamnya)
Rasulullah saw terhadap sesuatu hal/perbuatan seorang shahabat yang diketahuinya.
Sunnah merupakan sumber syariat Islam yang nilai kebenarannya sama dengan Al-
Qur’an karena sebenarnya Sunnah juga berasal dari wahyu.
Firman Allah SWT: “(Dan) Tiadalah yang diucapkannya (oleh Muhammad) itu
menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)
Makna ayat di atas bahwa apa yang disampaikan Rasulullah saw (Al-Qur’an dan As-
Sunnah) hanyalah bersumber dari wahyu Allah SWT, bukan dari dirinya maupun
kemauan hawa nafsunya. Sebagaimana firman Allah SWT: “(Katakanlah
Muhammad) ...aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” (QS. Al-
An’am 50)
Ayat ini bermakna bahwa Rasulullah saw tidak melakukan suatu tindakan kecuali
berdasarkan wahyu dari Allah SWT dan agar manusia mengikuti apa yang
disampaikannya.
Al-Qur’an telah menegaskan bahwa selain dari Al-Qur’an, Rasulullah saw juga
menerima wahyu yang lain, yaitu Al Hikmah yang pengertiannya sama dengan As-
Sunnah, baik perkataan, perbuatan atau pun ketetapan (diamnya). Pengertian Al Hikmah
yang bermakna As-Sunnah dapat ditemukan dalam QS. Ali Imran: 164, QS. Al-Jumu’ah:
3, dan QS. Al-Ahzab: 34.
Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami dan diyakini bahwa kehujjahan As-Sunnah
sebagai sumber hukum/syariat Islam bersifat pasti ( qath’i ) kebenarannya ; sebagaimana
Al-Qur’an itu sendiri.
9
b. Fungsi Sunnah terhadap Al-Qur’an
Adapun mengenai fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Menguraikan Kemujmalan (keumuman) Al-Qur’an.
Mujmal adalah suatu lafadz yang belum jelas indikasinya (dalalah/penunjukannya)
yaitu dalil yang belum jelas maksud dan perinciannya. Misalnya perintah shalat,
membayar zakat dan menunaikan haji. Al-Qur’an hanya menjelaskannya secara global,
tidak dijelaskan tata cara pelaksanaannya. Kemudian Sunnah secara terperinci
menerangkan tata cara pelaksanaan shalat, jumlah raka’at, aturan waktunya, serta hal-hal
lain yang berkaitan dengan shalat; begitu pula dengan ibadah-ibadah yang lain.
Imam Ibnu Hazm, salah seorang ulama besar dari Andalusia pada masa Abbasiyah
menjelaskan: “Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an terdapat ungkapan yang seandainya
tidak ada penjelasan lain, maka kita tidak mungkin melaksanakannya. Dalam hal ini
rujukan kita hanya kepada Sunnah Nabi saw. Adapun ijma’ hanya terdapat dalam kasus-
kasus tertentu saja yang relatif sedikit. Oleh sebab itu secara pasti wajib kembali kepada
Sunnah.”
2. Pengkhususan Keumuman Al-Qur’an.
Umum (‘Aam) ialah lafadz yang mencakup segala sesuatu makna yang pantas dengan
satu ucapan saja. Misalnya ‘Al Muslimun’ (orang-orang Islam), ‘Ar rijaalu’ (orang-orang
laki-laki) dan lain-lain. Di dalam Al-Qur’an itu terdapat banyak lafadz yang bermakna
umum kemudian Sunnah mengkhususkan keumumannya Al-Qur’an tersebut. Misalnya
firman Allah SWT: “Allah mewajibkan kamu tentang anak-anakmu, untuk seorang anak
laki-laki adalah dua bagian dari anak perempuan.” (QS. An-Nisaa’: 11)
Menurut ayat tersebut di atas, setiap anak secara umum berhak mendapatkan warisan
dari ayahnya. Jadi setiap anak adalah pewaris ayahnya. Kemudian datang Sunnah yang
mengkhususkannya. Sabda Rasulullah saw: “Kami seluruh Nabi tidak meninggalkan
warisan, apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.” (HR Imam Bukhari).
“Seorang pembunuh tidak mendapat warisan.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Menurut hadits di atas Nabi tidak meninggalkan warisan bagi anak-anaknya serta
melarang seorang anak yang membunuh ayahnya mendapat warisan dari ayahnya.
10
3. Taqyid (Pensyaratan) terhadap ayat Al-Qur’an yang Mutlak
Mutlak ialah lafadz yang menunjukkan sesuatu yang masih umum pada suatu jenis,
misalnya lafadz budak, mukmin, kafir, dan lain-lain. Di dalam Al-Qur’an banyak
dijumpai ayat-ayat yang bersifat mutlak (tanpa memberi persyaratan). Misalnya: “Laki-
laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri hendaklah kamu potong tangan
(keduanya).” (QS. Al-Maidah: 38)
Ayat ini berlaku mutlak pada setiap pencurian (baik besar maupun kecil). Kemudian
Sunnah memberikan persyaratan nilai barang curian itu sebanyak seperempat dinar emas
ke atas. Sabda Rasulullah saw: “Potonglah dalam pencurian seharga seperempat dinar
dan janganlah dipotong yang kurang dari itu.” (HR Ahmad).
Begitu pula halnya dengan batas pemotongan tangan bagi pencuri (sebagimana ayat 38
Surat Al Maidah), yaitu pada pergelangan tangan dan bukan dari tempat lainnya,
sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw.
4. Pelengkap Keterangan Sebagian dari Hukum-Hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an.
Peranan Sunnah yang lain adalah untuk memperkuat dan menetapkan apa yang
telah tercantum dalam Al-Qur’an disamping melengkapi sebagian cabang-cabang hukum
yang asalnya dari Al-Qur’an. Al-Qur’an menegaskan tentang pengharaman memperisteri
dua orang sekaligus. “(Dan diharamkan bagimu) menghimpun (dalam perkawinan) dua
perempuan bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.” (QS. An-Nisaa’:
23)
Di dalam Al-Qur’an tidak disebutkan tentang haramnya seseorang
mengumpulkan (memadu) seorang wanita saudara ibu, atau anak perempuan dari saudara
laki-laki istri (kemenakan). Sunnah menjelaskan mengenai hal ini melalui sabda Nabi:
“Tidak boleh seseorang memadu wanita dengan ‘ammah (saudara bapaknya), atau
dengan saudara ibu (khala) atau anak perempuan dari saudara perempuannya
(kemenakan) dan tidak boleh memadu dengan anak perempuan saudara laki-lakinya,
sebab kalau itu kalian lakukan, akan memutuskan tali persaudaraan.”(HR .An Nasa’i
dan Ibnu Majah).
5. Sunnah Menetapkan Hukum-hukum Baru, yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
Sunnah juga berfungsi menetapkan hukum-hukum yang baru yang tidak ditemukan
dalam Al-Qur’an dan bukan merupakan penjabaran dari nash yang sudah ada dalam Al-
11
Qur’an, akan tetapi merupakan aturan-aturan baru yang hanya terdapat dalam Sunnah.
Misalnya, diharamkannya ‘keledai jinak’ untuk dimakan, setiap binatang yang bertaring,
dan setiap burung yang bercakar. Begitu pula tentang keharaman memungut pajak (bea
cukai), penarikan hak milik atas tanah pertanian yang selama tiga tahun berturut-turut
tidak dikelola, maka diambil oleh negara, tidak bolehnya individu memiliki kepentingan
umum seperti air, rumput, api, minyak bumi, tambang emas, perak, besi, sungai, laut,
tempat penggembalaan ternak dan lain-lain.
Demikian antara lain ketentuan tambahan (penyempurnaan) yang dilakukan Rasulullah
saw. Maka sikap seorang Muslim terhadap hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
“Ucapan orang-orang beriman, manakala mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya
supaya Dia memberikan ketentuan hukum diantara mereka, tidak lain hanya
mengatakan: Kami mendengar dan Kami mematuhinya. Mereka itulah orang-orang
yang berbahagia.” (QS. An-Nur: 51)
Penggunaan nash As-Sunnah untuk masalah aqidah haruslah nash yang bersifat qath’i,
karena tidak boleh adanya keraguan sedikitpun dalam masalah aqidah/i’tiqadiyah.
Sedangkan untuk masalah hukum/Syari’ah masih dapat digunakan nash As-Sunnah yang
mencapai derajat dzanni (prasangka kuat atas kebenarannya). Hal ini karena dalam
masalah Syari’ah tidak diharuskan suatu keyakinan yang pasti terhadap hasil ijtihad yang
akan dijadikan sumber amaliah tersebut (bukan sumber untuk masalah i’tiqadiyah).
3. Ijtihad
Ijtihad merupakan metode atau cara para mujtahid dalam merumuskan suatu hukum
secara rinci yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber utama dalam
memutuskan suatu hukum. Dengan berijtihad, berarti menggunakan seluruh kesanggupan
berpikir untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan mengeluarkan hukum dari Al-Qur’an
dan Sunnah. Akal manusia memegang peranan penting dalam melakukan ijtihad. Ijtihad
dipandang sebagai aktivitas penelitian ilmiah karena bersifat relatif. Relativitas ijtihad
menjadikannya sumber nilai yang bersifat dinamis. Ini berarti pintu ijtihad selalu terbuka
selama ilmu pengetahuan manusia terus berkembang khususnya di bidang ekonomi,
keuangan, dan kedokteran.
Mayoritas ulama sepakat bahwa ijtihad merupakan sumber hukum sesudah al-Qur’an
dan as-Sunnah. Ada beberapa metode yang digunakan ulama dalam memutuskan suatu
hukum, yaitu:
12
a. Ijma’
Ijma’ ulama adalah kesepakatan dari para ulama yang mengambil kesimpulan
berdasarkan dalil-dalil yang terdapat pada Alquran dan Hadis. Para ulama mengambil
langkah ini karena perkara atau kasus yang ada tidak dijelaskan secara terperinci baik di
dalam Alquran maupun Hadis. Yang menjadi penting adalah hasil Ijma’ yang dilakukan oleh
para ulama tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Alquran dan Hadis.
b. Qiyas
Qiyas adalah menjelaskan sesuatu yang tidak mempunyai dalil nashnya dalam Alquran
maupun as-Sunnah yang dilakukan dengan cara membandingkan sesuatu yang serupa/hampir
sama dengan sesuatu yang hendak diketahui hukumnya tersebut dan sudah jelas hukumnya di
Alquran maupun hadis. Misalnya, dalam Alquran dijelaskan bahwa segala sesuatu yang dapat
memabukkan adalah haram hukumnya. Di sini, Alquran tidak menyebutkan bahwa arak/bir
itu haram, karena arak dan bir dapat menyebabkan mabuk, maka hukum dari arak itu sendiri
menjadi haram.
c. Istishhab
Yaitu pemberian hukum berdasarkan keberadaannya pada masa lampau.
d. Maslahal al-mursalah
Adalah pencetusan hukum berdasarkan prinsip kemaslahatan secara bebas
e. ‘Urf
Yaitu penetapan hukum berdasarkan tradisi/kebiasaan umum/adat-istiadat
2.2 Fungsi Hukum Islam di dalam Kehidupan Bermasyarakat
Hukum Islam mencakup semua aspek kehidupan di dalam masyarakat. Hukum
Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur
hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dan dengan makhluk
lainnya.
13
Dalam kehidupan bermasyarakat, peranan utama fungsi hukum Islam adalah :
- Fungsi ibadah yaitu fungsi hukum Islam dalam beribadah kepada Allah (sebagai alat
untuk menegakkan ibadah) dan fungsi ini adalah fungsi yang utama.
- Fungsi Amar ma`ruf nahi munkar yaitu di dalam hukum Islam terdapat hukum yang
mengatur kehidupan manusia (perintah kebaikan dan mencegah kemunkaran).
- Fungsi Zawazir yaitu adanya sanksi yang diberikan kepada pelaku apabila melakukan
perbuatan pidana misalnya mencuri atau berzina yang telah ditetapkan sangsinya
(sebagai alat penjeraan).
- Fungsi tanzim wal islah al-Ummah yaitu fungsi untuk mengatur kehidupan di dalam
masyarakat (penataan organisasi dan rehabilitasi masyarakat) misalnya dalam masalah
muamalah (Ibrahim Hosen, 1996 : 90)
Fungsi hukum Islam selanjutnya adalah sebagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin
dan memperlancar proses interaksi sosial sehingga terwujudlah masyarakat yang
harmonis, aman dan sejahtera
2.3 Implementasi Hukum Islam di Indonesia
a. Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan Belanda
Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai
pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan Masehi.
Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah
yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim.
Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di
Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian
diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas.
Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.
Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara
kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan
Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau
Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan
Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.
14
Kesultanan-kesultanan tersebut –sebagaimana tercatat dalam sejarah- itu tentu saja
kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan
hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan
pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu.
Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para
ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17. Dan kondisi terus berlangsung hingga para
pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.
b. Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran
Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal
dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran
yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan
Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia
Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili
Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan
menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini
disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi
mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa
yang selama ini telah mereka jalankan.
Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan
oleh pihak VOC, yaitu:
2.4 Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa
hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
2.5 Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah
masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal
dengan Compendium Freijer.
2.6 Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon,
Gowa dan Bone. Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab
Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki
15
kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum
pidana Islam.
Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang
peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah
Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan
Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin
nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku
kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya
perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam
yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah
Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya
dengan menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan membatasi keberlakuan
hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.
Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh
Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut:
1. Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum
yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah
kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.
2. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda
menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan
pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak
bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini
kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.
3. Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia
Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang
pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia
belum diterima oleh hukum adat setempat).
4. Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling
(yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata
sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima
oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.
16
Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya
kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.
c. Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima
militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah
Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala
kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan
baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam
sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan Belanda.
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai
kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
1. Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama
mayoritas penduduk pulau Jawa.
2. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa
Indonesia sendiri.
3. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
4. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober
1943.
5. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi
berdirinya PETA.
6. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan
Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan
Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian
“dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga
Indonesia merdeka.
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama
masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan
Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para
17
pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso
menyatakan bahwa, Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam.
Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau
pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang
memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa
Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.
d. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)
Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para
pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya
langkah strategis Jepang memenangkan perang –yang kemudian membuat mereka
membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia-, Jepang mulai mengubah arah
kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh
nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok
nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika
beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI
(Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga
Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang
mewakili kelompok Islam. Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa
BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis,
meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota badan ini cukup
representatif mewakili berbagai golonga dalam masyarakat Indonesia”.
Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan
lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting
Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad
Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan
bukan pula negara Islam.
Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang
mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam
bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal
ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak
kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada
18
Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia Timur.
Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut
Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima –satu-
satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia
bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan
tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary –bersama dengan Maramis,
seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan
kompromi itu saat sidang BPUPKI.
Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary
mengatakan, Kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai
suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia. Suatu politik pengepungan
kepada cita-cita umat Islam.
e. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit
Presiden 5 Juli 1950
Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-
masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu,
Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran,
Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian
mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik
Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya
tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia
Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku
sebagai konstitusi Republik Indonesia –yang merupakan satu dari 16 bagian negara
Republik Indonesia Serikat-. Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk
dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah
Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana
rancangan UUD’45 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang
tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika dan
Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.
19
Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI,
negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam,
Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral
Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada
tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS
dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950.
Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa
dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam
Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang
rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang
Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan
agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara
dalam urusan-urusan keagamaan. “Kelebihan” lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah
terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan
undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950.
Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan
rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun
upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan
rancangan undang-undang Perkawinan Nasional. Dan setelah itu, semua tokoh politik
kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena
konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan
undang-undang yang bersifat tetap.
Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan
Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955.
Majlis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10
November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini
dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal
penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya
yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan
merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat
dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan –menurut Anwar Harjono-
lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”. Namun bagaiamana dalam tataran
20
aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini.
Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana jika tidak
didukung oleh daya tawar politik yang kuat dan meyakinkan.
Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang
diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan
DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya
telah memproklamirkan negara Islam-nya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari
sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia
melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Tetapi
ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda, terutama
setelah diproklamirkannya negara-boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun
memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu
konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban tewas itu, menurut
sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap
strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan
Belanda kembali, dan bukan atas dasar –apa yang mereka sebut dengan- “kesadaran
teologis-politis”nya.
f. Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru
Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum
nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk
dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat
Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno,
dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat).
Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno bersama
dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa
Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2
ketetapan; salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus
memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia.
Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di
Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan
hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian”
21
itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak
mendapatkan tempat yang semestinya.
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak
pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik
mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum
di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi
yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan
perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto
menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai
Masyumi. Lalu bagaimana dengan hukum Islam?
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak
begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap
terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri
agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang
Perkawinan Umat Islam dengan dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR.
Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum
formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini
kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui
Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah
Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya –menurut Hazairin- hukum Islam telah
berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.
Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun
1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha
intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini
membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima
hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama.
g. Hukum Islam di Era Reformasi
Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh
pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum
Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR
No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan
22
hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan
daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa
peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.
Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan
hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang
nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan
Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor
11 Tahun 2002.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum
Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan
langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan
berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum
positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.
2.4 Kontribusi Hukum Islam dalam Perundang-undangan Indonesia
Indonesia merupakan negara kepulauan yang penduduknya sangat beragam dari
segi etnik, budaya dan agama. Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Hukum
agama datang ke Indonesia bersamaan dengan hadirnya agama. Oleh karena itu sebagai
mayoritas beragama Islam, maka hukum Islam merupakan salah satu sistem yang berlaku
di tengah-tengah masyarakat Indonesia. (A.Qodri Azizy. 2004 : 138).
Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum pada akhir-akhir ini
semakin nampak jelas dengan diundangkannya beberapa peraturan perundang-undangan
baik berupa undang-undang peraturan pemerintah, keputusan presiden yang didalamnya
berisi tentang hukum Islam, diantaranya adalah :
1. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Banyak pasal dalam
undang-undang ini berasal dari hukum Islam.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan dan tanah milik.
3. Instruksi presiden No 13 tahun 1980 tentang perjanjian bagi hasil.
4. Undang-undang No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama merupakan salah satu
perundang-undangan pelaksanaan dari undang-undang No 14 tahun 1970 tentang pokok-
pokok kekuasaan hakim.
23
5. Instruksi Presiden No 1 tahun 1991 tentang Komplikasi Hukum Islam (KHI). KHI
berisi tentang himpunan hukum Islam yang berkenaan dengan perkawinan, waris dan
wakaf.
6. Undang-undang No 7 tahun 1992 dan peraturan pemerintah No 70 dan 72 tentang
bagi hasil pada bank.
7. Undang-undang No 38 tahun 1999 tentang penyelenggaran ibadah haji.
24
BAB III
PENUTUP
Al-Qur’an merupakan pedoman dan dasar dari Hukum Islam yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril. Tetapi apabila manusia
belum mendapatkan petunjuk atau jawaban secara khusus dan terperinci terhadap
masalah yang dihadapinya, hendaklah manusia mencari jawaban dari Sunnah Rasul
SAW. Tetapi apabila manusia masih belum mendapat pemecahan masalahnya dalam
Sunnah Rasul SAW, hendaklah manusia berusaha sendiri dan menggunakan akal
pikiranya seperti yag tertuang pada hadits Sunan Abu Daud. Dari hadist tersebut, dapat
kita simpulkan bahwa sumber hukum Islam ada tiga yaitu Al-Qur’an, as-Sunnah, dan
Ijtihad.
Fungsi as-Sunnah adalah sebagai penguat hukum yang telah ditetapkan oleh Al-
Qur’an, memberikan rincian terhadap pernyataan Al-Qur’an yang bersifat global,
membatasi kemutlakan yang dinyatakan didalam Al-Qur’an, memberikan penyesuaian
terhadap pernyataan Al-Qur’an yang bersifat umum dan menetapkan hukum baru yang
tidak ditetapkan oleh Al-Qur’an.
Ijtihad dipandang sebagai aktivitas ilmiah karena bersifat relativ. Relativitas
ijtihad menjadikannya sumber yang bersifat dinamis. Ini berarti pintu ijtihad selalu
terbuka selama ilmu pengetahuan manusia terus berkembang khususnya di bidang
ekonomi, keuangan, dan kedokteran.
Hukum Islam juga berfungsi sebagai bentuk ibadah, fungsi amar ma’ruf nahi
munkar, fungsi zawazir, dan fungsi tanzim wa Islah al Ummah. Sebagian besar
penduduk Indonesia memeluk agama Islam. Oleh karena itu, hukum Islam merupakan
salah satu sistem yang berlaku di Indonesia dan memberikan kontribusi yang besar dalam
penentuan hukum nasional.
25
Daftar Pustaka
Al-quran-sebagai-sumber-hukum-islam. Diakses tanggal 15 Desember 2011. http://hbis.wordpress.com/2009/11/11/makalah-al-quran-sebagai-sumber-hukum-islam/
Haditssunnah-sebagai-sumber-hukum kedua. Diakses tanggal 15 Desember 2011 . http://iaibcommunity.wordpress.com/2008/05/10/haditssunnah-sebagai-sumber-hukum-kedua/
http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/195604201983011-SOFYAN_SAURI/BUKU_PAI_REVISI/BAB_XV.pdf
Hurhasan, dkk. 2011. Buku Ajar Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Agama Islam – Pendidikan Agama Islam. Unit Pelaksana Teknis Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) Universitas sriwijaya.
Sejarah Al-Quran . Diakses tanggal 15 Desember 2011. http://joerzack.tripod.com/SEJARAH_AL_QURAN.htm
Sumber-sumber hukum islam. Diakses tanggal 15 Desember 2011. http://mardiunj.blogspot.com/2010/06/sumber-sumber-hukum-islam.html
26
top related