alergi sindrom steven johnson
Post on 14-Aug-2015
195 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Biduran atau kaligata merupakan nama lain dari penyakit kulit urtikaria, dimana tanda kelainan kulitnya adalah timbul bentol-bentol kemerahan, sangat gatal dan sering disertai rasa tertusuk dan panas, dan dasar penyebabnya adalah “Atopi”Atopi adalah suatu keadaan/kelainan alergi yang sifatnya diturunkan dari dalam suatu keluarga dengan manifestasi penyakit seperti: dermatitis atopik (radang kulit yang sifatnya berulang-ulang, kelainan kulit ruam yang timbul pada tempat-tempat tertentu dengan tanda-tanda khas sesuai umur bayi, anak atau dewasa), urtikaria (biduran), asma, sering pilek dan bersin sampai hidung mampet, biasanya terdapat pula tanda dan gejala yang ada pada penderita tersebut yaitu:buras di wajah, lingkaran mata yang gelap, kulit kering dan wajah agak pucat.Penyebab (pencentus) biduran adalah :
1. Bahan yang sering berkontak dengan tubuh misalnya sabun cair, sabun antiseptik, hand and body lotion yang tidak sesuai, bedal salicyl, dll
2. Makanan tertentu misal ikan laut (cumi, udang)3. Obat seperti golongan penisilin, penghilang rasa sakit, sulfa, tetra, dll
Biduran pada dasarnya dapat disembuhkan dan lamanya tiap orang berbeda, tergantung jenis obat yang diberikan oleh dokter dan ketaatan pasien minum obat, serta menghindari faktor penyebab timbulnya biduran. Cara menemukan faktor penyebab adalah dengan mencatat obat, makanan, atau bahan yang ketika digunakan atau dikonsumsi menyebabkan timbulnya biduran.Ada cara sederhana / tradisional untuk mengobatinya, berikut caranya;Balurkan tubuh dengan minyak telon, minyak kayu putih atau minyak tawon. Untuk ramuan minumnya, 1 (satu) jari temulawak dipotong-potong, beri sedikit gula merah, dan garam direbus dengan air 1 (satu) gelas air. Saring, dan bila sudah dingin diminum 3 kali sehari 3/4 gelas. IMUNOLOGI
Imunologi: ilmu tentang sistem kekebalan tubuh
Fungsi sitem imun (3):
1. Pertahanan (destruksi zat asing seperti virus atau bakteri, untuk mencegah infeksi dari patogen)
2. Homeostasis (membersihkan sel yang rusak, mencegah sisa sel berkembang jadi ancaman)
3. Surveilans (mengenali dan menghancurkan sel yang bermutasi misal Kanker)
Antigen atau imunogen: molekul atau sel yang mampu merangsang respon imune Antibodi (imunoglobulin): glikoprotein plasma yang dihasilkan limfosit B (sel
plasma) yang bereaksi melawan antigen Sistem limfoid → mempertahankan tubuh dari agen penginvasi, melalui imunitas
seluler dan humoral
Organ limfoid primer: sumsum tulang tempat perkembangan sel T, dan timus tempat perkembangan sel B
Organ limfoid skunder: kelenjar getah bening, tonsil, limpa, jaringan terkait mukosa di kulit, saluran nafas, cerna, urine
Respon imun seluler bersifat langsung dilaksanakan oleh limfosit T Respon imun humoral bersifat tidak langsung, dilaksanakan oleh imunoglobulin
spesifik (antibodi) yang dihasilkan sel plasma (sel B)
Peran sel T: pengendali dan pelaksana Pengendali dilaksanakan oleh sel T helper (CD4) → mengendalikan produksi
imunoglobulin Pelaksana dilaksanakan oleh Sel T sitotoksik (CD8) → memusnahkan virus, tumor,
jaringan transplantasi
Imunoglobulin: IgG, IgA, IgM, IgE dan IgD
1. IgG → paling banyak, dpt menembus plasenta2. IgM → paling besar, bertanggung jawab dalam respon imun primer3. IgA → ada di air mata, kolostrum, air liur4. IgE → paling sedikit, terlibat hipersensitif tipe 15. IgD → berfungsi sebagai reseptor imunogen
Komplemen: sekelompok protein (terdiri >9) yang dalam keadaan normal beredar dalam darah dalam bentuk inaktif, bentuk aktifnya berperan menimbulkan respon peradangan
Imunitas didapat alami: aktif → setelah sakit atau terpapar antigen. Pasif → didapat dari ibu lewat plasenta, kolostrom
Imunitas didapat artifisial: aktif → vaksinasi. Pasif → serum (antibodi)
Penyakit imunologik:
1. Penyakit imunodefisiensi: AIDS2. Penyakit hipersensitivitas: alergi3. Penyakit autoimune: Lupus eritematus sitemik
Penyakit hipersensitif (4)
1. Reaksi tipe 1: anafilaktik (IgE)2. Reaksi tipe 2: sitotoksik (Ig M dan IgG)3. Reaksi tipe 3: komplek imun (Ig M,IgG)4. Reaksi tipe 4: sel T
GANGGUAN IMUNOLOGI
Contoh hipersensitivitas tipe 1 (IgE), adalah: rinitis alergika, asma alergi (ekstrinsik), dermatitis atopik
Hipersensitivitas tipe 1 ditandai dengan produksi IgE yang meningkat akibat terpapar dengan antigen merupakan ciri khas atopi
Rinitis alergi merupakan kondisi atopik yang paling sering ditemukan
Obat antihistamin (CTM) yang paling sering digunakan. Pengobatan utama seharusnya adalah menghindari alergen
Asma adalah keadaan klinis yang ditandai dengan episode berulang penyempitan bronkus yang reversibel, diantara episode adalah nafas normal
Dermatitis atopik adalah suatu gangguan kulit kronik, yang sering ditemukan pada penderita rinitis alergika dan asma serta diantara anggota keluarga mereka
Dermatitis atopik seringkali timbul akibat garukan pada bayi usia 1 tahun (eksema infantilis) dengan kulit yang merah, gatal, meninggi dan mengelupas
Eksema infantilis → umumnya hilang setelah 5 tahun Peyebab ketidak nyamanan dermatitis atopik adalah gatal yang membandel disertai
retakan kulit yang nyeri
Pengobatan dermatitis bersifat simptomatis: antipruritus dephenhidramin, kortikosteroid, antiinflamasi non steroid
Biduran (urtikaria): lesi kulit yang mencerminkan adanya proses imunologis yang melibatkan IgE
Sebagaian besar urtikaria cepat sembuh dan swasirna, pada anak sering disebabkan oleh virus
Urtikaria sering disebabkan oleh udara dingin Pruritus pada urticaria tambah parah jika mandi air panas, stress, gerak, lingkungan
fisik yang tidak mendukung
Sebagaian besar respons antibodi memerlukan antigen yang pertama kali diproses untuk menghasilkan antibodi (imunoglobulin)
Gangguan autoimun yang bergantung antibodi manusia → terutama mempengaruhi elemen darah (trombosit dan eritrosit)
Semakin banyak bukti bahwa ITP (idiopatik trombositopenik purpura) → berhubungan dengan IgG dalam darah reaktif dengan trombosit penjamu (Host)
Transfusi hemolitik → reaksi yang merupakan suatu bentuk proses imunohemolitik (IH) yang khusus
Biasanya terjadi bila seseorang resipien telah disensitisasi terhadap antigen eritrosit manusia “asing” melalui kehamilan atau riwayat transfusi yang menerima darah yang mengandung antigen ini
Reaksi hemolitik terhadap darah yang ditransfusikan menimbulkan fenomena IH yang sangat berbahaya dan dramatis yang dijumpai secara klinis
Dengan mempertimbangkan akibat yang mengerikan ini, maka harus dipertimbangkan setiap tindakan yang layak dilakukan untuk mencegah atau mengurangi timbulnya reaksi transfusi hemolitik
Uji Coombs → memberikan informasi dasar mengenai deskripsi gangguan IH Reaksi positif (menggumpal) → menunjukan terdapat sel-sel darah dengan jumlah
bermakna yang terikat molekul imunoreaktif
Sindrom Goodpasture: suatu gangguan yang menunjukan autoimun manusia yang diperantarai antibodi sehingga menyebabkan kerusakan organ dalam (paru dan ginjal)
Serum sickness → penyakit yang diinduksi oleh kompleks imun (antigen antibodi) prototipik dan memerlukan pemajanan bahan antigenik (serum, obat) yang akan tetap berada dalam sirkulasi hingga terjadi respons antibodi spesifik
Penimbunan kompleks yang terbentuk didalam jaringan memicu terjadinya inflamasi
Pada mulanya ditimbulkan setelah pemberian serum kuda untuk mencegah difteri dan tetanus
Hipersensitivitas tipe lambat (DTH): yang diperantarai oleh limfosit yang tersensitisasi secara spesifik, memberikan pertahanan major terhadap virus, fungi dan bakteri yang menyesuaikan terhadap pertumbuhan intrasel dan juga menghalangi pertumbuhan sel ganas
DTH → juga mengalami respon yang kurang pada setiap fungsi protektif yang berlangsung;
Contoh DTH yang paling lazim adalah dermatitis kontak eksema alergika (AECD)
indosiar.com - Alergi merupakan suatu reaksi menyimpang dari tubuh seseorang yang berkaitan dengan peningkatan kadar Imunoglobulin E (Ig E) yang merupakan suatu mekanisme sistem imun.
Penyebab Alergi
Zat yang menimbulkan reaksi alergi dinamakan alergen. Alergen dapat masuk ke dalam tubuh melalui saluran nafas (inhalan), saluran cerna (ingestan), suntikan (injektan) atau menempel pada kulit (kontaktan), contoh dari masing - masing alergen tersebut antara lain :
* Alergen inhalan : tungau debu rumah, serpihan kulit kucing, kecoak, spora.* Alergen ingestan : susu, telur, kacang, ikan laut dan obat oral.* Alergen kontaktan : kosmetik dan logam (perhiasan, jam tangan, dsb).
Masuknya alergen kedalam tubuh akan memicu respons imun : terbentuk antibodi : berikatan dengan alergen, hal ini merangsang timbulnya reaksi alergi.
Respons imun yang terjadi via antibodi (Ig E) mengakibatkan terjadinya asma, bersin dan pilek pada pagi hari, kaligata dan eksim.
Gejala - gejala Alergi
Gejala - gejalanya berupa gatal - gatal, bersin - bersin, sesak napas dan lain - lain. Jenis alergi banyak macamnya. Alergi yang terkait dengan pernapasan merupakan alergi yang paling umum dijumpai, seperti asma dan rinitis (bersin dan pilek berulang terutama dipagi hari).
Jenis alergi lain yang terkait dengan kulit, seperti urtikaria (biduran/didu, kaligata), dermatitis atopik (eksim). Selain itu, mata bengkak dan berair, telinga bagian dalam terasa gatal - gatal juga merupakan gejala alergi.
Jenis - Jenis Alergi
Jenis penyakit alergi ini banyak macamnya. Alergi yang terkait dengan pernapasan ialah yang umum dijumpai, contoh adalah asma dan rinitis (bersin dan pilek berulang terutama pada pagi hari).
Penderita alergi rinitis atau istilah lainnya pilek alergi biasanya mengalami bersin, hidung tersumbat, rasa gatal di hidung. Tidak jarang gejala rinitis alergi disertai gejala konjungtivitas, seperti keluarnya air mata, gatal dan kemerahan. Gejala gangguan pendengaran kadang juga dijumpai seperti rasa tersumbat dan kurang dapat mendengar. Penyakit rinitis alergi seringkali mengganggu aktivitas dan kualitas hidup. Bila penyakit ini dibiarkan, kemungkinan akan berkembang menjadi penyakit kronis seperti asma.
Jenis penyakit lainnya adalah terkait dengan kulit, seperti urtikaria (biduran/didu/kaligata), dermatitis atopik (eksim). Selain itu, mata bengkak dan berair, telingan bagian dalam terasa gatal - gatal adalah salah satu gejala alergi.
Urtikaria ada yang bersifat akut dan ada yang bersifat kronis. Dikatakan urtikaria akut bila gejala bentol berlangsung sepanjang hari. Penyebab urtikaria akut umumnya jelas, seperti makanan, obat, infeksi virus atau mikroba lain, sengatan serangga, lateks, dll. Pada urtikaria kronis, sebagian besar penyebabnya tidak diketahuim sehingga dipergunakan istilah urtikaria kronik idiopatik. Sebagian kecil penyebab yang diketahui antara lain penyakit autoimun, urtikaria fisis (udara dingin, akuatik, solar, tekanan, vibratori), infeksi kronik (infeksi gigi dan sinusitis).
Pengobatan Alergi
Pengobatan alergi dilakukan dengan farmakoterapi yang memperhitungkan keamanan, efektifitas dan kemudahan dalam pemberiannya ; imunoterapi serta edukasi pasien.
Salah satu farmakoterapi yang dianjurkan dalam pengobatan alergi adalah dengan obat anti histamin dari generasi terbaru seperti cetirizin. Berbeda dengan antihistamin klasik / generasi pertama (misalnya chlorpheniramine, cyproheptadine, dexclorpheniramine, dll), antihistamin generasi kedua / terbaru umumnya memiliki efek sedatif yang rendah (efek mengantuk rendah), efektif dan sebagian bersifat anti - inflamasi ringan.
Saat ini salah satu obat anti histamin, yaitu cetirizin telah masuk ke dalam kategori obat wajib apotek dari Badan POM sehingga dapat dibeli di apotek dalam jumlah tertentu dengan melalui resep dokter.(Bersambung/Ijs)
Alergi telur
Alergi telur termasuk ke dalam golongan alergi tipe 1 atau dikenal dengan nama alergi kontak. Protein yang terdapat dalam telur merangsang reaksi sistem immun secara berlebihan. Sistem immun ini lalu menghasilkan antibodi untuk melawan protein pada telur yang sebenarnya tidak berbahaya. Penyebab reaksi immun tubuh yang berlebihan ini masih belum jelas dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Bagian telur yang paling sering menyebabkan alergi adalah putih telur walaupun ada beberapa kasus alergi yang disebabkan oleh kuning telur. Orang yang menderita alergi telur mempunyai kemungkinan besar untuk mengalami alergi terhadap makanan yang berasal dari ayam.
Umumnya gejala alergi timbul beberapa menit sampai beberapa jam setelah penderita mengkonsumsi telur. Gejala dapat menetap sampai beberapa jam sampai dengan beberapa hari. Beberapa gejala yang sering timbul antara lain kemerahan dan gatal pada kulit, rasa mules pada perut, diare, mual, muntah, hidung meler, mata berair, sesak dan batuk.
Sampai saat ini salah satu metode untuk mengetahui bahwa seorang penderita mengidap alergi telur adalah dengan melakukan tes alergi. Tes alergi sebaiknya dilakukan oleh seorang spesialis alergi sehingga dapat diketahuii secara tepat jenis alergi yang diderita. Sebelum melaksanakan tes alergi, penderita diwajibkan tidak mengkonsumsi obat obatan anti alergi untuk mencegah hasil tes yang tidak valid. Ingatlah untuk selalu mendiskusikan pelaksanaan tes alergi dengan spesialis alergi sehingga didapatkan hasil seperti yang diharapkan.
Tes alergi dilaksanakan dengan cara memasukan ekstrak protein telur ke dalam kulit lalu di lihat efek yang terjadi pada kulit tersebut. Bila timbul bengkak kemerahan dan gatal maka dapat dipastikan bahwa penderita tersebut menderita alergi telur.
Tes alergi yang lain adalah ‘food challenge’. Penderita disuruh untuk menghindari segala bentuk makanan yang mengandung telur selama beberapa minggu. Memang agak sulit untuk benar benar menghilangkan protein telur dari makanan sebab ada beberapa makanan yang mengandung protein telur walaupun makanan tersebut tidak terbuat dari telur. Penderita dianjurkan untuk selalu membaca kandungan makanan yang terdapat pada label makanan yang dibeli sehingga saat menjalani tes ini penderita dapat semaksimal mungkin menghindari makanan yang mengandung protein telur.
Langkah selanjutnya adalah penderita disuruh hanya makan telur dalam pengawasan dokter. Jika setelah makan telur gejala alergi muncul maka penderita tersebut dapat dikatakan positif alergi telur. Pada penderita ini sangat tidak dianjurkan untuk mengkonsumsi segala bentuk makanan yang mengandung telur.
Beberapa vitamin yang kita kenal ternyata cukup membantu mengurangi kejadian alergi seperti Vitamin A, B, C, E. Selain vitamin ada beberapa zat yang kurang lebih mempunyai fungsi yang sama dengan vitamin seperti asam pantothenic, glukosamin, antioksidan dan quercitin.
DokterSehat.com – Alergi adalah suatu reaksi kepekaan tubuh yang tidak biasa, terhadap sesuatu atau objek tertentu. Alergi disebabkan oleh penyimpangan dalam sistem kekebalan tubuh. Orang dengan alergi akan memberikan reaksi berlebihan untuk sesuatu yang orang lain tidak menyebabkan masalah. Alergi dapat terjadi pada semua bagian tubuh.
Penyebab AlergiSalah satu penyebab alergi adalah genetik. Anak-anak dari salah satu orang tua yang menderita alergi, maka mereka berpotensi menderita alergi oleh 15 – 30%. Anak-anak dengan kedua orang tua menderita alergi, dan kemudian anak tersebut kemungkinan 50-75% terpengaruh oleh alergi. Tetapi alergi juga dapat terjadi bahkan jika kedua orang tua tidak menderita alergi. Gejala alergi pada anak dapat terjadi saat anak memiliki reaksi hipersensitif terhadap lingkungan, seperti perubahan suhu udara, udara yang buruk, udara lembab dan suhu udara panas atau dingin.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan alergi adalah: makanan (seperti susu, telur, udang, ikan, kacang-kacangan), obat, kelelahan, stres, debu rumah, spora jamur, serbuk sari, asap
kendaraan, asap rokok, udara lembab, udara panas, bau cat, perubahan cuaca, serangga (seperti semut, nyamuk, tawon, ulat).
Gejala Alergigejala alergi yang terjadi dalam tubuh dapat dibedakan dari bagian di mana alergi itu terjadi. Beberapa bagian tubuh sering dipengaruhi oleh alergi yang ada:
Sistem pernafasan. Gejala alergi pada sistem pernapasan adalah batuk, pilek, hidung tersumbat, bersin, sesak napas, mengi suara, mimisan, sakit telinga, kemerahan telinga, tenggorokan gatal, suara serak.
Sistem pencernaan. Gejala alergi terhadap sistem pencernaan: nyeri perut, diare, sulit buang air besar, kembung, dan sering kentut.
Kulit. Gejala alergi pada kulit bisa kulit gatal, kulit merah berbintik-bintik, kulit menebal, eksim, kulit menjadi kebiruan / hitam, bibir menjadi bengkak.
Mata. Gejala alergi pada mata adalah: mata gatal, mata merah, mata berair, mata belekan, warna kehitaman di bawah mata, bintitan.
Dokter Coba Atasi Alergi Telur dengan TelurRahma Lillahi Sativa - detikHealth
Kamis, 19/07/2012 17:30 WIB
Jakarta, Anak-anak memang terkenal rentan mengalami berbagai jenis alergi terhadap makanan. Setelah kacang, alergi yang sering terjadi pada anak-anak adalah alergi telur padahal keduanya sering dikonsumsi oleh anak-anak.
Untuk mengatasi alergi tersebut, sejumlah dokter di Amerika Serikat mencoba membalikkan kondisi alergi pada beberapa anak dan remaja dengan memberi telur dalam jumlah yang kecil setiap hari selama 1-2 tahun agar sistem kekebalan mereka 'belajar' untuk menerima salah satu bahan makanan yang paling banyak ditemui dan tersembunyi dalam berbagai makanan mulai dari pasta, burger, mayonaise hingga marshmallow tersebut.
Namun metode ini masih belum bisa dicoba sendiri di rumah. Metode ini membutuhkan pengawasan khusus selama beberapa tahun karena reaksinya masih bisa memunculkan risiko tersendiri, ungkap tim dokter yang terlibat dalam studi ini.
"Terapi eksperimental ini hanya dapat dilakukan secara aman oleh dokter yang terlatih," ujar Dr. Anthony Fauci, direktur National Institute of Allergy and Infectious Diseases yang mensponsori studi ini.
Metode ini juga tak bisa mengatasi kondisi alergi pada setiap orang, bahkan beberapa partisipan keluar dari studi ini karena tak tahan dengan reaksi alerginya.
"Namun hasilnya benar-benar menunjukkan adanya potensi pengobatan terhadap alergi telur di masa depan sehingga perlu diujicobakan pada anak-anak dalam cakupan yang lebih luas," terang ketua tim peneliti, Dr. A. Wesley Burks, kepala departemen pediatrics di University of North Carolina,
Chapel Hill.
Lebih dari 2 persen anak-anak di seluruh dunia mengalami alergi telur, ditandai dengan mengi atau bengek, sakit tenggorokan atau bahkan reaksi-reaksi yang membahayakan nyawa saat memakan berbagai jenis dan varian telur, kata Burks. Banyak anak yang mengalami kondisi ini pada usia 4-5 tahun ke atas hingga remaja.
Kekhawatiran terbesarnya adalah jika anak-anak ini memakan makanan yang berbahan telur namun mereka tidak menyadarinya lalu memunculkan reaksi yang hebat. Oleh karena itu, studi ini berupaya untuk melatih sistem kekebalan tubuh anak-anak agar bisa mentolerir telur, dalam jumlah yang kecil sekalipun, untuk mencegah terjadinya alergi.
Studi ini melibatkan 55 anak berusia 5-18 tahun. 40 anak diberi bubuk putih telur, bagian yang biasanya menyebabkan alergi dalam dosis kecil dan berlangsung setiap hari. 15 anak lainnya diberi telur dari tepung kanji sebagai pembanding. Jumlahnya ditambah setiap dua minggu hingga anak-anak di kelompok pertama mampu memakan sekitar sepertiga telur setiap harinya.
Secara periodik, partisipan mendatangi para dokter untuk mencoba memakan telur. Partisipan dianggap gagal menjalani ujicoba jika dokter bisa melihat gejala-gejala seperti mengi atau bengek.
Setelah setahun, tak ada partisipan dari kelompok kedua yang berhasil melewati tantangan. "Di akhir tahun pertama, separuh dari anak-anak di kelompok pertama berhasil lolos. Namun di akhir tahun kedua, 75 persen partisipan dinyatakan lolos," terang Burks seperti dilansir dari huffingtonpost, Kamis (19/7/2012).
Kemudian, Burks mengambil langkah lebih jauh dengan meminta partisipan memakan telur secara langsung meski dalam porsi yang kecil juga. Hal ini untuk melihat apakah partisipan bisa mentolerir telur tanpa menggunakan bubuk putih telur.
Hasilnya, partisipan yang lolos ujicoba kedua terbukti mampu berhenti menggunakan bubuk putih telur lalu setelah menghindari makan telur secara menyeluruh selama 4-6 minggu, partisipan diminta mencoba makan telur lagi sesuka mereka. 11 dari 30 anak pun terbukti mampu melakukannya tanpa masalah.
Studi ini telah dipublikasikan dalam New England Journal of Medicine.
(ir/ir)
STEVEN JOHNSON SYNDROME
1.1 Latar Belakang
Picture. Patient of Sindrom Steven Johnson
Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, dr. Stevens dan dr.
Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat menentukan
penyebabnya (Adithan,2006).
Sindrom Stevens-Johnson Dijelaskan pertama kali pada tahun 1922, sindrom Stevens-Johnson
merupakan hipersensitivitas yang dimediasi kompleks imun yang merupakan ekspresi berat dari
eritema multiforme. Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) (ektodermosis erosiva pluriorifisialis, sindrom
mukokutaneaokular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema multiforme mayor, eritema bulosa
maligna) adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang
mengenai kulit, selaput lendir orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik
sampai buruk.(Hamzah,2002)
Sindrom Stevens-Jhonson merupakan kumpulan gejala (sindrom) berupa kelainan dengan ciri
eritema, vesikel, bula, purpura pada kulit pada muara rongga tubuh yang mempunyai selaput lendir
serta mukosa kelopak mata. Penyebab pasti dari Sindrom Stevens-Jhonson saat ini belum diketahui
namun ditemukan beberapa hal yang memicu timbulnya Sindrom Stevens-Jhonson seperti obat-
obatan atau infeksi virus. mekanisme terjadinya sindroma pada Sindrom Stevens-Jhonson adalah
reaksi hipersensitif terhadap zat yang memicunya.
Sindrom Stevens-Jhonson muncul biasanya tidak lama setelah obat disuntik atau diminum, dan
besarnya kerusakan yang ditimbulkan kadang tidak berhubungan lansung dengan dosis, namun
sangat ditentukan oleh reaksi tubuh pasien. Reaksi hipersensitif sangat sukar diramal, paling
diketahui jika ada riwayat penyakit sebelumnya dan itu kadang tidak disadari pasien, jika tipe alergi
tipe cepat yang seperti syok anafilaktik jika cepat ditangani pasien akan selamat dan tak bergejala
sisa, namun jika Sindrom Stevens-Jhonson akan membutuhkan waktu pemulihan yang lama dan
tidak segera menyebabkan kematian seperti syok anafilaktik.
Oleh beberapa kalangan disebut sebagai eritema multiforme mayor tetapi terjadi ketidak
setujuan dalam literatur. Sebagian besar penulis dan ahli berpendapat bahwa sindrom Stevens-
Johnson dan nekrolisis epidermal toksik (NET) merupakan penyakit yang sama dengan manifestasi
yang berbeda. Dengan alasan tersebut, banyak yang menyebutkan Sindrom
Stevens-Jhonson/Nekrolisis Epidermal Toksik. Sindrom Stevens-Jhonsons secara khas mengenai kulit
dan membran mukosa.
LATAR BELAKANG
Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SJS, adalah
reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini
mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada versi efek
samping ini yang lebih buruk, yang disebut sebagai nekrolisis epidermis
toksik (toxik epidermal necrolysis/TEN). Ada juga versi yang lebih ringan,
disebut sebagai eritema multiforme (EM).
Syndrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun, kebawah kemudian umurnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma, mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodiomal berupa demam tinggi, melaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.Angka kejadian syndrom steven johnson sebenarnya tidak tinggi hanya
sekitar 1-14 per 1 juta penduduk. Syndrom steven johnson dapat timbul
sebagai gatal-gatal hebat pada mulanya, diikuti dengan bengkakdan
kemerahan pada kulit. Setelah beberapa waktu, bila obat yang
menyebabkan tidak dihentikan, serta dapat timbul demam, sariawan
padamulut, mata, anus, dan kemaluan serta dapat terjadi luka-luka
seperti koreng pada kulit. Namun pada keadaan-keadaan kelainan simtem
imom seperti HIV dan AIDS serta lapus angka kejadiannya dapat
meningkat secara tajam.
Dari data diatas penulis tertarik mengangkat kasus syndrom steven
johnson karena syndrom steven johnson sangat berabahaya bahkan dapat
menyebabkan kematian. Syndrom tidak menyerang anak dibawah 3
tahun, dan penyebab syndrom steven johnson sendiri sangat bervariasi
ada yang dari obat-obatan dan dari alergi yang hebat, dan ciri-ciri
penyakit steven johnson sendiri gatal-gatal pada kulit dan badan
kemerah-merahan dan syndrom ini bervariasi ada yang berat dan ada
yang ringan.( Support, Edisi November 2008 )
PENDAHULUAN
Steven-Johnson Syndrome (SJS) merupakan reaksi hipersensitivitas yang
diperantarai kompleks imun yang merupakan bentuk yang berat dari eritema
multiformis. SJS dikenal pula sebagai eritema multiformis mayor. SJS umumnya
melibatkan kulit dan membran mukosa. Ketika bentuk minor terjadi, keterlibatan yang
signifikan dari mulut, hidung, mata, vagina, uretra, saluran pencernaan, dan membran
mukosa saluran pernafasan bawah dapat berkembang menjadi suatu penyakit.
Keterlibatan saluran pencernaan dan saluran pernafasan dapat berlanjut menjadi
nekrosis. SJS merupakan penyakit sistemik serius yang sangat potensial menjadi
penyakit yang sangat berat dan bahkan menjadi sebuah kematian.
Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sejak
dahulu dianggap sebagai bentuk eritema multiformis yang berat. Baru-baru ini diajukan
BAHWA ERITEMA MULTIFORMIS MAYOR BERBEDA DARI SJS DAN TEN PADA
DASAR PENENTUAN KRITERIA KLINIS. Konsep yang diajukan tersebut adalah untuk
memisahkan spectrum eritem multiformis dari spectrum SJS/TEN. Eritem multiformis,
ditandai oleh lesi target yang umum, terjadi pasca infeksi, sering rekuren namun
morbiditasnya rendah. Sedangkan SJS/TEN ditandai oleh blister yang luas dan
makulopapular, biasanya terjadi karena reaksi yang diinduksi oleh obat dengan angka
morbiditas yang tinggi dan prognosisnya buruk.
Sindrom Stevens-Johnson merupakan reaksi hipersensitivitas kompleks imun pada
mukokutan yang paling sering disebabkan oleh obat-obatan dan lebih sedikit oleh infeksi.
Sindrom Stevens-Johnson adalah kelainan yang ditandai dengan cepatnya perluasan ruam
makula, sering dengan lesi target atipikal (datar, irreguler), dan keterlibatan lebih dari satu
mukosa (rongga mulut, konjungtiva, dan genital) (Fitzpatrick, et al., 1999; Namayanja, et al.,
2005).
Penggunaan obat antibiotik, analgesik, antikonvulsan, antiinflamasi non- steroid,
allopurinol, dan kortikosteroid merupakan etiologi dari Sindrom Stevens-Johnson (Roujeau,
1995). Pada penelitian Ananworanich, et al, ( 2005), Nevirapine menyebabkan 2 pasien yang
terinfeksi Human Imunodeficiency Virus (HIV) menderita Sindrom Stevens-Johnson.
Kelainan mukokutan seperti Sindrom Stevens-Johnson BISA MUNCUL PERTAMA-
TAMA DI DALAM MULUT, dan tindakan dini dapat mencegah keterlibatan kulit lebih
lanjut (Lewis, 1998). Dokter dan dokter gigi seringkali berdiskusi untuk mengevaluasi dan
megobati ulserasi pada rongga mulut. Dokter gigi umum dapat mengambil peran utama
dalam mengidentifikasi pasien dengan ulser dalam rongga mulut yang disebabkan oleh obat
dan memfasilitasi pengobatan dan perawatan pasien (Cohen, et al., 1999).
PENGERTIAN
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll. Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, Dr. Stevens dan Dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya.Definisi Sindrom Stevens-Jhonson
Syndrom Steven Johnson adalah Syndrom yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat. Kelainan pada kulit berupa
eritema, vesikel / bula dapat disertai purpura. ( Djuanda, 1993 : 107 ).
Syndrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari eropsi kulit,
kelainan mukosa dan konjungtivitis ( Junadi, 1982 : 480 ).
Syndrom Steven Johnson adalah syndrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel / bula,
dapat disertai purpura yang dapat mengenai kulit, selaput lendir yang oritisium dan dengan keadaan
omom bervariasi dan baik sampai buruk. ( Mansjoer, A, 2000 : 136 ).
Sindrom Stevens-Johnsonadalah reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek
samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada versi efek samping ini
yang lebih buruk, yang disebut sebagai nekrolisis epidermis toksik (toxik epidermal necrolysis/TEN).
Ada juga versi yang lebih ringan, disebut sebagai eritema multiforme (EM) (Adithan,2006).
DEFINISI
Sindrom steven-jhonson (ekstodermosis erosive pluriorifisialis,
sindrom mukokutanea ocular, eritema multiformis tipe hebra, eritema
multiforme mayor, eritema bolusa maligna ) adalah sindrom kelainan kulit
berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit,
selaput lender orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari
baik sampai buruk.(Kapita Selekta Kedokteran edisi 3)
Steven-Johnson Syndrome (SJS) merupakan reaksi hipersensitivitas yang diperantarai kompleks imun yang merupakan bentuk yang berat dari eritema multiformis. SJS dikenal pula sebagai eritema multiformis mayor. SJS umumnya melibatkan kulit dan membran mukosa. Ketika bentuk minor terjadi, keterlibatan yang signifikan dari mulut, hidung, mata, vagina, uretra, saluran pencernaan, dan membran mukosa saluran pernafasan bawah dapat berkembang menjadi suatu penyakit. Keterlibatan saluran pencernaan dan saluran pernafasan dapat berlanjut menjadi nekrosis. SJS merupakan penyakit sistemik serius yang sangat potensial menjadi penyakit yang sangat berat dan bahkan menjadi sebuah kematian.
Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sejak dahulu dianggap sebagai bentuk eritema multiformis yang berat. Baru-baru ini diajukan bahwa eritema multiformis mayor berbeda dari SJS dan TEN pada dasar penentuan kriteria klinis. Konsep yang diajukan tersebut adalah untuk memisahkan spectrum eritem multiformis dari spectrum SJS/TEN. Eritem multiformis, ditandai oleh lesi target yang umum, terjadi pasca infeksi, sering rekuren namun morbiditasnya rendah. Sedangkan SJS/TEN ditandai oleh blister yang luas dan makulopapular, biasanya terjadi karena reaksi yang diinduksi oleh obat dengan angka morbiditas yang tinggi dan prognosisnya buruk.
PENYEBAB
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti karena dapat disebabkan oleh
berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering dikaitkan dengan respons imun
terhadap obat.
Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur,
bakteri, parasit),
obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis,
kontraseptif),
makanan (coklat),
fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X),
lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan).
Faktor penyebab timbulnya Sindrom Stevens-Johnson
Infeksivirusjamur
bakteri
parasit
Herpes simpleks, Mycoplasma pneumoniae, vaksiniakoksidioidomikosis, histoplasma
streptokokus, Staphylococcs haemolyticus, Mycobacterium tuberculosis, salmonela
malaria
Obat salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif, klorpromazin, karbamazepin, kinin, analgetik/antipiretik
Makanan CoklatFisik udara dingin, sinar matahari, sinar X
Lain-lain penyakit kolagen, keganasan, kehamilan(Dikutip dengan modifikasi dari SL Moschella dan HJ Hurley, 1985)
Keterlibatan kausal obat tersebut ditujukan terhadap obat yang diberikan
sebelum masa awitan setiap gejala klinis yang dicurigai (dapat sampai 21 hari).
Bila pemberian obat diteruskan dan geja]a klinis membaik maka hubungan
kausal dinyatakan negatif. Bila obat yang diberikan lebih dari satu macam maka
semua obat tersebut harus dicurigai mempunyai hubungan kausal.
Obat tersering yang dilaporkan sebagai penyebab adalah golongan salisilat,
sulfa, penisilin, antikonvulsan dan obat antiinflamasi non-steroid.
Sindrom ini dapat muncul dengan episode tunggal namun dapat terjadi berulang
dengan keadaan yang lebih buruk setelah paparan ulang terhadap obat-obatan
penyebab.
Fisik
Ruam dapat mulai sebagai makula yang berkembang menjadi papul, vesikel,
bula, plak urtikarial, atau eritema konfluen.
o Pusat ini mungkin lesi vesikuler, purpura, atau nekrotik.
o Lesi khas memiliki penampilan target. Target dianggap
pathognomonic. Namun, berbeda dengan lesi eritema multiforme khas,
lesi ini hanya memiliki dua zona warna. inti mungkin vesikuler, purpura,
atau nekrotik, yang zona dikelilingi oleh eritema makula. Beberapa orang
menyebut lesi targetoid.
o Lesi dapat menjadi pecah bulosa dan kemudian, meninggalkan kulit
gundul. Kulit menjadi rentan terhadap infeksi sekunder.
o Ekstensif peluruhan
o urtikarial lesi biasanya tidak gatal.
o Infeksi mungkin bertanggung jawab atas bekas luka yang
berhubungan dengan morbiditas.
o Meskipun lesi dapat terjadi di mana saja, telapak tangan, telapak,
punggung tangan, dan ekstensor permukaan yang paling sering
terkena.
o Desquamation pada kaki
o Ruam mungkin terbatas untuk setiap area salah satu tubuh,
paling sering bagasi.
o Keterlibatan mukosa mungkin termasuk eritema, edema,
peluruhan, blistering, ulserasi, dan nekrosis.
o Meskipun beberapa telah menyarankan kemungkinan sindrom Stevens-
Johnson (SJS) tanpa lesi kulit, yang paling percaya bahwa lesi mukosa
saja tidak cukup untuk menegakkan diagnosis.Sebagian mereka kini
meminta kasus tanpa lesi kulit "khas" atau "tidak lengkap." 7 Kelompok ini
penulis menyarankan bahwa kombinasi uretritis, konjungtivitis, dan
stomatitis membuat diagnosis SJS pada pasien dengan Mycoplasma
pneumoniae-diinduksi tanda dan gejala.
Tanda-tanda berikut mungkin dicatat pada pemeriksaan:
o Demam
o Orthostasis
o Tachycardia
o Hipotensi
o Mengubah tingkat kesadaran
o Epistaksis
o Konjungtivitis
o Ulserasi kornea
o Erosif vulvovaginitis atau balanitis
o Kejang, koma
Etiologi Sindrom Stevens-Jhonson
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap
sebagai penyebab, adalah :
a. Alergi obat secara sistemik ( misalnya penisilin, analgetik, anti- peuritik ).
Penggunaan obat paling sering pada anak yang berkaitan dengan timbulnya sindrom ini adalah
sebagai berikut:
Carbamazepine (Tegretol – pengobatan anti kejang)
Cotrimoxazole (Septra, Bactrim dan berbagai nama generik dari trimethoprim-
sulfazoxazole). Ini adalah golongan sulfa antibiotik yang digunakan untuk
mengatasi infeksi saluran kemih dan mencegah infeksi pada telinga
Sulfadoxine dan pyrimethamine, digunakan sebagai pengobatan malaria dan pada
anak dipakai pada pasien dengan penyakit immunodefisiensi
b. Alergi obat secara sistemik ( misalnya penisilin, analgetik, anti- peuritik ).
Penyakit infeksi yang telah dilaporkan dapat menyebabkan sindrom ini meliputi:
Viral: herpes simplex virus (HSV)1 dan 2, HIV, Morbili, Coxsackie, cat-scratch
fever, influenza, hepatitis B, mumps, lymphogranuloma venereum(LGV),
mononucleosis infeksiosa, Vaccinia rickettsia dan variola. Epstein-Barr virus and
enteroviruses diidentifikasi sebagai penyebab timbulnya sindrom ini pada anak.
Bakteri: termasuk kelompok A beta haemolytic streptococcus, cholera, Fracisella
tularensis, Yersinia, diphtheria, proteus, pneumokokus, Vincent agina, Legionaire,
Vibrio parahemolitikus brucellosis, mycobacteriae, mycoplasma pneumonia
tularemia and salmonella typhoid.
Jamur: termasuk coccidioidomycosis, dermatophytosis dan histoplasmosis.
rotozoa: malaria and trichomoniasis.
c. Neoplasma dan faktor endokrin
d. Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)
e. Makanan : coklat
ETIOLOGI
Etiologi SSJ yang pasti belum diketahui, Beberapa penyebab
timbulnya SSJ diantaranya :
infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit)
obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin,
antipiretik/analgetik (misalnya: derivate salisil/pirazolon, metamizon,
metampiron, dan paracetamol,klorpromazin, karbamazepin, kinin, aspirin,
jamu, digitalis, kontraseptif)
fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X)
PATOFISIOLOGIPathogenesis SSJ sampai saat ini sukar di ketahui dengan pasti karna
penyebabnya berbagai factor walaupun pada umumnya sering
dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks
imun) terhadap obat . sekitar 50% penyebab SSJ adalah obat,peringkat
tertinggi adalah obat-obat sulfonamide,laktat,imidarzol,dan
NSAID.sedangkan peringakat menengah adalah antikorfursal,aromatic
dan alufurinol.
Beberapa factor penyebab timbulnya SSJ di antanya :
Infeksi virus
Herves simpleks
mycoplasma pneumoniae
Makanan ( coklat )
Vaksinasi
Factor lingkungan seperti ;
Udara dingin
Sinar matahari
Sinarr X rupanya sangat berperan sebagai pencetus ( trigger)
Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang
diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat,
infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang
mampu menyebabkan sindroma ini. Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak
terdapat etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi.
Sekitar 50% penyebab SJS adalah obat. Peringkat tertinggi adalah obat-obat
Sulfonamid, , imidazol dan NSAID, sedangkan peringkat menengah adalah quinolon,
antikonvulsan aromatic dan alopurinol. Beberapa faktor penyebab timbulnya SJS
diantaranya : infeksi ( virus herpes simplex, dan Mycoplasma pneumonia, makan
(coklat), dan vaksinasi. Faktor fisik ( udara dingin, sinar mathari, sinar X) rupanya
berperan sebagai pencetus ( trigger ). Patogenesis SJS sampai saat ini belum jelas
walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III dan IV. Oleh
karena proses hipersensitivitas , maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi :
1. Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan
2. Stress hormonal diikuti peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan
glukosuria
3. Kegagalan termoregulasi
4. Kegagalan fungsi imun
5. Infeksi.
Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin
dihubungkan erat dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa menemukan
bahwa petanda gen hanya relevan untuk Asia Timur. Berdasarkan dari temuan di Asia,
dilakukan penelitian serupa di Eropa, 61% SJS/TEN yang diinduksi allopurinol
membawa HLA-B58 (alel B*5801 – frekuensi fenotif di Eropa umumnya 3%),
mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar suku/etnik, lokus HLA-B berhubungan
erat dengan gen yang berhubungan.
2.3.Patofisiologi Sindrom Stevens-Jhonson
Sindrom Stevens-Jhonson merupakan kelainan hipersensitivitas yang dimediasi kompleks
imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan keganasan. Patogenesisnya belum jelas,
disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV.
a. Reaksi hipersensitif tipe III
Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibody yang mikro presitipasi
sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian
melepaskan enzim dan menyebab kerusakan jaringan pada organ sasaran ( target- organ ). Hal ini
terjadi sewaktu komplek antigen antibody yang bersikulasi dalam darah mengendap didalam
pembuluh darah atau jaringan.
Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan
kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan
terbentuknya komplek antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe ini mengaktifkan komplemen
dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya reaksi
tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memtagositosis sel-sel yang rusak sehingga
terjadi pelepasan enzim-enzim sel, serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus
peradangan berlanjut.
Reaksi hipersensitif tipe IV
Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali
dengan antigen yang sama kemudian limtokin dilepaskan sebagai reaksi radang.
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T. Penghasil limfokin atau
sitotoksik atau suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang
diperantarai oleh sel ini bersifat lambat ( delayed ) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk
terbentuknya.Gambar bagan patofisiologi Sindrom Stevens-Jhonson
(Hipersensifif tipe III)
(Hipersensifif tipe IV)
Alergi Obat
Limfosit T tersintesisasi
Pengaktifan sel T Antigen antibodi aktivitas s.komplemen
Akumulasi Netrofil
Penghancuran sel-sel
Melepaskan Enzim
Kerusakan Enzim & menyebabkan kerusakan jaringan
PATOFISIOLOGI
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun
pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor
penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat antibiotik
(salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan
(coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan,
kehamilan), obat antikejang (mis. fenitoin) dan obat antinyeri, termasuk yang dijual tanpa
resep (mis. ibuprofen).
Terkait HIV, penyebab SSJ yang paling umum adalah nevirapine (hingga 1,5% penggunanya) dan kotrimoksazol (jarang). Reaksi ini dialami segera setelah mulai obat, biasanya dalam 2-3 minggu. PATOGENESIS SSJ SAMPAI SAAT INI BELUM JELAS WALAUPUN SERING DIHUBUNGKAN DENGAN REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE III (REAKSI KOMPLEKS IMUN) YANG DISEBABKAN OLEH KOMPLEKS SOLUBLE DARI ANTIGEN ATAU METABOLITNYA DENGAN ANTIBODI IGM DAN IGG DAN REAKSI HIPERSENSITIVITAS LAMBAT (DELAYED-TYPE HYPERSENSITIVITY REACTIONS, TIPE IV) ADALAH REAKSI YANG DIMEDIASI OLEH LIMFOSIT T YANG SPESIFIK.
Erythema multiforme sendiri adalah Suatu kondisi kulit yang tidak diketahui etiologi, mungkin dimediasi oleh pengendapan kompleks imun (kebanyakan IgM) di microvasculature superfisial kulit dan selaput lendir mulut yang biasanya mengikuti suatu infeksi atau obat yg di atas eksposur.
Erythema multiforme
"Eritema multiforme mayor" (Stevens-Johnson syndrome); yang menyerupai "erythema multiforme"
Untungnya Secara Epidemiologi SJS merupakan kondisi langka, dengan melaporkan insiden sekitar 2,6 per juta orang per tahun
Perbedaan Eritema multiformis, Stevens-Johnson Syndrome, Toxic Epidermal Necrolysis
PROGNOSIS
Steven-Johnsons Syndrome (dengan < 10% permukaan tubuh terlibat) memiliki
angka kematian sekitar 5%. Resiko kematian bisa diperkirakan dengan menggunakan
skala SCORTEN, dengan menggunakan sejumlah faktor prognostic yang dijumlahkan.
Outcome lainnya termasuk kerusakan organ dan kematian.
Perbedaan Eritema Multiformis, Steven-Johnsons Syndrome, dan Toxic Epidermal
Necrolysis
Severity-of-Illness Score for Toxic Epidermal Necrolysis (SCORTEN)
Risk Factor* Score
0 1
Age < 40 yr ≥ 40 yr
Associated cancer No Yes
Heart rate (beats/min) < 120 ≥ 120
Serum BUN (mg/dL) ≤ 28 > 28
Detached or compromised body surface < 10% ≥ 10%
Serum bicarbonate (mEq/L) > 20 ≤ 20
Serum glucose (mg/dL) ≤ 250 > 250
More risk factors indicate a higher score and a higher mortality rate (%) as follows:
· 0–1 = 3.2% (CI: 0.1 to 16.7)
· 2 = 12.1% (CI: 5.4 to 22.5)
· 3 = 35.3% (CI: 19.8 to 53.5)
· 4 = 58.3% (CI: 36.6 to 77.9)
· ≥ 5 = > 90% (CI: 55.5 to 99.8)
CI = confidence interval.
Data from Bastuji-Garin S, Fouchard N, Bertocchi M, et al: SCORTEN: A severity-of-
illness score for toxic epidermal necrolysis. Journal of Investigative
Dermatology 115:149–153, 2000.
Manifestasi Klinis
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya
bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita
dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal
berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:
a. Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit
menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat
berat dan kombinasi gejala tersebut.
b. Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh.
c. Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula
terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran mukosa,
membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis
ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama.
d. Mata : konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema
dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat
menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang
menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari
mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai
terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31
tahun.
MANIFESTASI KLINISGejala prodormal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, lesu, batuk, pilek, nyeri
menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam
derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.
Setelah itu timbul lesi di:
· Kulit : berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hamper seluruh
tubuh. Lesi yang spesifik berupa lesi target, bila bula kurang dari 10% disebut Steven
Johnson Syndrome, 10-30% disebut Steven Johnson Syndrome-Toxic Epidermolysis
Necroticans ( SJS-TEN), lebih dari 30% Toxic Epidermolysis Necroticans ( TEN ).
Sekitar 80% penyebab TEN adalah obat.
· Mukosa ( mulut, tenggorokan dan genital): berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi,
perdarahan dan krusta berwarna merah.
· Mata : berupa konjungtivitis kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak
mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea.
GEJALA KLINIK/Symptom
Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.
Setelah itu akan timbul lesi di :
Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh.
Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama.
Mata : konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.
Konjungtivis SSJ
MANIFESTASI KLINIS
Gejala prodnormal berkisar antara 1-14 hari berupa
demam,lesu,batuk,filek,nyeri dada,sakit menelann,pegal sendi dan otot
dan atralgia yang sangat bervariasi dalam keadaan berat kombinasi
gejala tersebut.
Setelah itu akn timbul lesi pada :
Kelainan kulit
Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan mata
a) Kelainan Kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, papul, vesikel, dan bula. Vesikel
dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Dapat juga
disertai purpura.
b) Kelainan Selaput lender di orifisium
Kelainan di selaput lendir yang sering ialah pada mukosa mulut,
kemudian genital, sedangkan dilubang hidung dan anus jarang
ditemukan. Kelainan berupa vesikal dan bula yang cepat memecah hingga
menjadi erosi dan ekskoriasi serta krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk
pescudo membran. Di bibir yang sering tampak adalah krusta berwarna
hitam yang tebal. Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring,
traktus respiratorius bagian atas dan esophagus. Stomatitis ini dapat
menyeababkan penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya pseudo
membran di faring dapat menimbulkan keluhan sukar bernafas.
c) Kelainan Mata
Kelainan pada mata pada pasien SSJ antara lain : konjungtivitas
kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan
sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang
dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor
pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid,
merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan
kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular
cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31
tahun.
Kelainan mata yang sering ialah konjungtivitis, perdarahan,
simblefarop, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.
diagnosis
Diagnosis Steven Johson Syndrome 90% berdasarkan klinis. Jika disebabkan oleh obat,
ada korelasi antara pemberian obat dengan timbulnya gejala. Diagnosis ditujukan
terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta
hubungannya dengan factor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target,
iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan
laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologis, biakan
kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, dan pemeriksaan histopatologik
biopsy kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit
biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan
IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi
adanya circulating immune complex. Biopsy kulit direncanakan bila lesi klasik tidak ada.
Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dapat mendukung ditegakkannya
diagnosi.
DIAGNOSIS BANDING
Ada 2 penyakit yang sangat mirip dengan Steven Johnson Syndrome :
1. Toxic Epidermolysis Necroticans. Steven Johnson Syndrome sangat dekat dengan TEN.
SJS dengan bula lebih dari 30% disebut TEN.
2. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome ( Ritter disease ). Pada penyakit ini lesi kulit
ditandai dengan krusta yang mengelupas pada seluruh kulit. Biasanya mukosa tidak
terkena.
Pemeriksaan Penunjang
Tidak didapatkan pemeriksaan laboratorium yang dapat membeku dalam menegakkan
diagnosis.
a. CBC ( complek blood count ) bisa didapatkan sel darah putih yang normal atau
leukositosis non spesifik, peningkatan jumlah leukosit kemungkinan disebabkan karena
infusi bakteri.
b. Kultur darah, urin dan luka merupakan indikasi bila dicurigai, penyebab infeksi.
c. Tes lainya :
Biopsi kulit memperlihatkan luka superiderma
Adanya mikrosis sel epidermis
Infiltrasi limposit pada daerah ferifaskulator
PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Laboratorium :
Tidak ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu dokter
dalam menegakkan diagnosa.
Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah
putih yang normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar
sel darah putih dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bakterial
berat.
Pemeriksaan elektrolit
Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi
Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan
kolonoskopi dapat dilakukan
B. Imaging Studies
Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis
C. Pemeriksaan histopatologi dan imonohistokimia dapat mendukung
ditegakkannya diagnosa
Komplikasi
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneumia yang didapati sejumlah 80 % diantara
seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan
keseimbangan cairan elektrolit dan syok pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan
laksimasi.
KOMPLIKASI
Steven Johnson syndroom sering menimbulkan komplikasi pada mata
beruupa simblefaron dan ulkus kornea .komplikasi lain adalah timbulnya
sembab,demam atau malahan hippotermia.
Berikut komplikasi yang sering pada steven Johnson syndrome :
Bronkopneumonia (80%)
Sepsis
Kehilangan cairan/darah
Gangguan keseimbangan elektrolit
Syok
Kebutaan gangguan lakrimasi
Penatalaksanaan
a. Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan preanisone
30 – 40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya burukdan lesi menyeluruh harus diobati
secara tepat dan cepat.Kartikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan
deksamate dan intravena dengan dosis permulaan 4 – 6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasienstevens-johnson berat harus
segera dirawat dan berikan deksametason 6x5 mg intravena setelah masa kritisteratasi, kedaan
umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat,
tiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti
dengan table kortikosteroid, misalnya prenidesone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20
mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama
pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakuakn pemeriksaan elektrolit ( K, Na dan CI )
bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg / hari
dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari
kortikosteroid diberikan diet tinggi protein / anabolik seperti nandroklok dekanoat dan nanadrolon
fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa ( dosis untuk anak tergantung berat badan ).
b. Antibiotik.
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumia yang dapat menyebabkan
kematian, dapat diberi antibiotik yang jarang menyebabkan alergi, berspektrom luas dan bersifat
sakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
c. Infus dan Transfusi darah
Pengaturan keseimbangan cairan / elektron dan nutrisi penting karena pasien
sukaratau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat
menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan darrow. Bila
terapi tidak memberi perbaikan dalam 2 – 3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah
banyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang
luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau
1000 mg intravena sehari dan hemostatik.
d. Tropikal
Terapi tropikal untuk lesi dimulut dapat berupa kanalog in orabase. Untuk lesi di kulit
yang erosif dapat diberikan sutratulle atau krim sulfa diarine perak.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan utama adalah menghentikan obat yang diduga sebagai penyebab
SJS, sementara itu kemungkinan infeksi herpes simplex dan Mycoplasma pneumonia
harus disingkirkan. Selanjutnya perawatan lebih bersifat simtomatik.
1. Antihistamin dianjurkan untuk mengatasi gejala pruritus/ gatal biasa dipakai feniramin
hydrogen maleat ( Avil) dapat dibeikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis,
untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari, diphenhidramin hidrokloride
( Benadril ) 1mg/kg BB tiap kali sampai 3 kali per hari. Sedangkan untuk setirizin dapat
diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun: 2,5 mg/dosis, 1 kali/hari; ≥ 6 tahun: 5-10
mg/dosis, 1 kali/hari.
2. Blister kulit bias dikompres basah dengan larutan burowi
3. Papula dan macula pada kulit baik intak diberikan steroid topical, kecuali kulit yang
terbuka
4. Pengobatan infeksi kulit dengan antibiotic. Antibiotic yang paling beresiko tinggi
adalah β-lactam dan sulfa jangan digunakan untuk terapi awal dapat diberikan
antibiotic spectrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman
dari sediaan lesi kulit dan darah. Terapi infeksi sekunder menggunakan antibiotic yang
jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat
nefrotoksik, misalnya klindamisin 8-16 mg/kg/hari secara intravena, diberikan 2
kali/hari.
5. Kortikosteroid : deksametason dosis awal 1mg/kg BB nolus intarvena, kemudian
dilanjutkan 0,2-0,5 mg/kg BB intravena tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih
kontroversi. Beberapa peneliti menyetujui pemberian kortikosteroid sistemik beralasan
bahwa kortikosteroid akan menurunkan beratnya penyakit, mempercepat kovalesensi,
mencegah komplikasi berat, menghentikan progresifitas penyakit dan mencegah
kekambuhan. Beberapa literature menyatakan pemberian kortikosteroid sistemik dapat
mengurangi inflamasi dengan cara memperbaiki integritas kapiler, memacu sintesa
lipokotrin, menekan ekspresi molekul adesi. Selain itu kortikosteroid dapat meregulasi
respons imun melalui down regulation ekspresi gen sitokin. Mereka yang tidak setuju
pemberian kortikosteroid beragumentasi bahwa kortikosteroid akan menghambat
penyembuhan luka, meningkatkan resiko infeksi, menutupi tanda awal sepsis,
perdarahan gastrointestinal dan meningkatkan mortalitas. Faktor lain yang harus
dipertimbangkan yaitu harus tapering off 1-3 minggu. Bila tidak ada perbaikan dalam 3-
5 hari, maka sebaiknya pemberian kortikosteroid dihentikan. Lesi mulut diberi kenalog
in orabase.
6. Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0.5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3, 4,
dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam
proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS.
Perawatan konservatif ditujukan untuk :
1. Perawatan lesi kulit yang terbuka, seperti perawatan luka bakar. Koordinasi dengan
unit luka bakar sangat diperlukan
2. Terapi cairan dan elektrolit. Lesi kulit yang terbuka seringkali disertai pengeluaran
cairan disertai elektrolit
3. Alimentasi kalori dan protein secara parenteral. Lesi pada saluran cerna menyebabkan
kesulitan asupan makanan dan minuman.
4. Pengendalian nyeri . penggunaan NSAID beresiko paling tinggi sebaiknya tidak
digunakan untuk mengatasi nyeri.
top related