amniosentesis
DESCRIPTION
-TRANSCRIPT
AMNIOSENTESIS I
AMNIOSENTESIS IAgus AbadiAkhir-akhir ini sejalan dengan kemajuan tehnologi serta perbaikan dalam cara pemantauan kesejahteraan janin dalam rahim , telah pula dikembangkan suatu tehnik yang saat ini sudah sering dilakukan meskipun belum merupakan suatu prosedur yang rutin, yakni tehnik amniosentesis.
Amniosentesis ini telah dikembangkan sejak 1952 yakni saat Bevis melaporkan adanya hubangan antara bilirubin dalam cairan amnion dengan derajat dari anemi pada janin dari ibu-ibu dengan kelainan darah Rh- Hemolytic Desease . Sejak saat itu tehnik ini makin berkembang perannya dalam menegakkan diagnosa kelainan bawaan janin serta menentukan maturasi paru janin.
INDIKASI
Amniosentesis bisa dilaksanakan untuk keperluan diagnosis maupun terapi. Informasi yang menyangkut masalah yang berkaitan dengan diagnosis ini bisa dilakukan sejak usia kehamilan awal TR.II sampai dengan akhir TR.III, yakni untuk memprakirakan kesejahteraan janin didalam rahim serta menilai maturasi paru janin.
Sedangkan yang menyangkut masalah terapi dimulai dengan untuk tujuan terminasi kehamilan , untuk mengurangi ketegangan rahim pada kehamilan dengan hydramnion sampai dengan transfusi janin didalam rahim .A. Amniosentesis untuk tujuan diagnosis.
Diagnosis antenatal
Sejak 1946 saat Steel berhasil melakukan kultur dan pemeriksaan Karyotyping dari sel dari cairan amnion, maka kegunaaan amniosentesis untuk keperluan diagnosis prenatal dari kelainan bawaan janin makin berkembang. Sel didalam cairan amnion berasal baik dari selaput amnion maupun berasal janin. Sel dari janin sebagian adalah sel-sel squamous yang mengalami pengelupasan (desquamasi ) juga termasuk sel-sel dari alat pernapasan , alat pencernaan dan dari saluran kemih.
Selama sel yang mengalami pengelupasan itu tidak mempunyai kemampuan untuk hidup ( non viable ) maka pemeriksaan biokimiawi pada sel tersebut tidak akan bisa dilakukan secara langsung. Kultur sel meskipun sulit .tetapi mempunyai ketepatan yang cukup tinggi dalam karyotyping kromosom pada kehamilan 2,5-3 minggu , juga dalam pemeriksaan biokimiawi.
1. Pemeriksan biokimiawi secara langsung dari cairan amnion.
Pengukuran kadar Alfa Fetoprotein ( AFP ). AFP tersebut adalah komponen normal yang ada didalam serum janin, akan tetapi kadarnya didalam cairan amnion akan meningkat bila ada kelainan bawaan janin pada susunan sistim syaraf pusat misalnya spinabifida, anenchephalia, meningocele .
Pemeriksaan ini bila dikombinasikan dengan evaluasi dengan alat USG akan mempunyai arti diagnostik yang lebih tinggi.
2. Kultur sel amnion untuk analisa kromosom.2.1. Kelainan kromosom.
Misalnya adanya risiko mempunyai anak dengan Down Syndrome pada ibu-ibu dengan usia lebih dari 35 tahun ( dilakukan pada 50% kasus ) atau yang pernah melahirkan bayi dengan Down Syndrome atau kelainan kromosom yang lain pada kehamilan sebelumnya ( pada 20-25% kasus ).
2.2. Kelainan sex-linked .
Pada kasus-kasus dengan sex-linked desease seperti Hemofilia atau Ducheene s muscular dystrophy, penentuan jenis kelamin janin dalam rahim bertujuan untuk mengetahui secara dini kelainan tersebut hingga bisa dihindari kelahiran anak dengan kelainan kromosom diatas dalam arti bila diperlukan terminasi bila kemungkinan besar janin mendapatkan kelainan tersebut.
2.3. Gangguan metabolisme.
Kelainan metabolisme yang dibawa sejak lahir ini sekarang sudah bias ditentukan pranatal ( misalnya , kelainan metabolisme lemak, karbohidrat & protein ).
Kelainan tersebut biasanya autosom-resesive yang memberikan kelainan bawaan dalam bentuk kemunduran fisik maupun mental dalam berbagai tingkat. Akan tetapi oleh karena pemeriksaan ini mengukur aktifitas enzim tertentu yang memerlukan sejumlah sel yang cukup banyak maka memerlukan waktu yang lama untuk bisa mendapatkan hasil yang sempurna.
Studi tentang kesejahteraan janin dalam rahim.1. Warna.
Adanya mekoneum dalam air ketuban membuktikan adanya stres yang pernah
terjadi pada janin. Akan tetapi mekoneum didalam air ketuban tidak bisa menjadi petanda adanya risiko yang sedang berlangsung pada janin. Sebaliknya pada kenyataannya , tidak adanya mekoneum dalam air ketuban juga tidak menjamin
2. Glukosa & Insulin.
Spellacy dan kawan-kawan ( 1973 ), telah menunjukkan penggunaan pengukuran kadar glukosa & insulin yang mencerminkan hasil pengobatan DM Gestasi. Akan tetapi hal itu tidak merupakan dugaan yang spesifik tentang insulin oleh karena memerlukan pemeriksaan serial sehingga meningkatkan risiko akibat amniosentesis yang berulang. 3. Bilirubin .
Penentuan kadar bilirubin pada Rh-Isoimunisasi. Pada janin dengan kelainan
akibat faktor Rhesus, maka kadar bilirubin akan lebih tinggi dibanding normal.
Penentuan kadar bilirubin dengan amniosentesis ini mempunyai dampak positip
terhadap angka kematian perinatal pada Rh- Isoimunisasi yang cukup bermakna.
4. Estriol.
bahwa keadaan janin selalu baik.
i. Penentuan kadar estriol dalam cairan amnion bisa untuk menilai keadaan janin
ii. pada Rh Hemolytic Desease. Dalam keadaan diatas kadar estriol dalam cairan
iii. amnion menurun pada janin yang cacat berat oleh karena hepar janin tidak
iv. mampu mengkonjugasikan estriol menjadi estriol glikosiduronat.
III. Studi tentang maturasi janin.a. Sitologi.
Telah disebutkan diatas bahwa sel dalam cairan amnion berasal dari janin
dan selaput ketuban. Sel epithel pipih ( Squamous sel ) dari janin pada
kehamilan lanjut bisa menjadi petunjuk tentang maturasi janin.
Gordon dan Brasens ( 19. ) menyebutkan adanya sel yang mengandung
lemak dalam cairan amnion dengan melakukan pemeriksaan
Nile-Blue Sulfate.
Pada kehamilan < 34 minggu kadar sel ini < 1 %.
kehamilan 30-40 minggu 10-50%
kehamilan > 40 minggu >50 %. 2. Kreatinin.
Kadar kreatinin meningkat secara progresif selama kehamilan ,disebabkan
peningkatan masa dari otot janin dan meturasi ginjal janin. Dengan alasan ini
maka ukuran janin dan hubungannya dengan maturasi janin dapat dilihat dari
kadar kreatinin . Sejak usia kehamilan 37 minggu , 94% kasus ditemukan
kadar kreatinin 2 mg/dl.
3. Bilirubin .
Pada janin yang normal ( tanpa adanya faktor Rh ) kadar bilirubin dalam
cairan amnion mendekati nol. Kadar bilirubin dalam cairan amnion ini pada
kehamilan normal bila terjadi kenaikan ( diatas nol ), akan mencerminkan
maturasi hepar janin . Dibanding dengan pemeriksaan sitologi dan kreatinin
ketepatan pemeriksaan bilirubin ini untuk memperkirakan maturasi janin
ketepatannya masih kurang oleh karena masih seringnya positip palsu.
4. Fosfolipid.
Seperti yang telah dikemukakan diatas bahwa parameter dari maturasi janin
ditunjukkan oleh maturasi dari jaringan-jaringan seperti kulit,ginjal ,hepar.
Akan tetapi organ penting yang menentukan kehidupan janin diluar rahim
adalah paru janin.
Gluck (1971 ) menunjukkan dengan jelas bahwa cairan paru pada janin
yang lahir preterm ternyata kekurangan surfaktan , yakni suatu senyawa
fosfolipid yang bisa menurunkan tegangan permukaan alveoli.
Sehubungan dengan itu bisa dibuktikan pula hubungan antara kadar surfaktan
dengan rasio lesitin -sphingomielin (L/S ) pada kehamilan 35 minggu.
Bila rasio L/S lebih besar atau sama dengan 2 , disimpulkan tidak ada risiko
RDS. Lebih lanjut dikemukakan pula tentang kadar bahan-bahan yang
merupakan sumber dari surfaktan yakni fosfatidil gliserol, fosfatidil inositol
dan fosfatidil-etanolamin.
Pemeriksaan semikuantitatif untuk menentukan maturasi paru janin dari
cairan amnion adalah dengan Shake Test . Dengan tehnik ini bisa dinilai
kemampuan dari cairan amnion untuk mempertahankan tegangan permukaan
dalam bentuk buih yang terbentuk pada permukaan cairan amnion dalam
tabung bila ditambahkan etanol kedalamnya.
Dalam hal tersebut diatas juga bisa dinilai dalam berbagai pengenceran.
Korelasi antara Shake Test dengan kejadian Respiratory Distress
Syndrome pada bayi baru lahir relatif cukup baik meskipun masih ada
hasil-hasil negatip palsu yang cukup bermakna.
Akhir-akhir ini para peneliti menggunakan tehnik Felma yang
berdasarkan pada pemeriksaan fisikochemical dengan tehnik fluoresens
polarimetri. Keuntungan dari cara terakhir ini adalah lebih tepat dan lebih
cepat cara pemeriksaannya.
B. Amniosentesis untuk tujuan pengobatan ( Terapi).
1. Mengurangi jumlah cairan amnion pada kasus kehamilan dengan hidramnion dengan tujuam untuk mengurangi keluhan ibu-ibu yang mengeluh napas sesak napas karena desakan diafragma oleh rahim yang membesar. Dekompresi ini harus dilakukan secara hati-hati dan pelan-pelan ( bertahap ) sampai keluhan ibu hilang. Seringkali setelah pungsi pertama dilanjutkan dengan pemasangan kateter untuk melakukan suatu cara dekrompresi yang terus-menerus tapi terkontrol sehingga penyulit-penyulit seperti hipotensi pada ibu atau solusio plasenta tidak terjadi.
2. Transfusi intra - uterine .
Transfusi intra uterin yang pertamakali dilakukan oleh Liley ( 1963 ),
dilakukan pada kasus Rh. Hemolitic Desease .
Tehnik yang dilakukan saat itu adalah dengan melakukan transfusi
intraperitoneal janin. Meskipun tehnik tersebut mempunyai risiko yang cukup
tinggi akan tetapi masih mempunyai arti oleh karena tanpa intervensi ini janin
tidak akan mampu bertahan hidup.
3. Terminasi kehamilan untuk tujuan terapi.
Pada keadaan dimana diperlukan terminasi pada trimester II , maka dimasukkan
kedalam rongga amnion bahan-bahan hipertonik seperti glukosa, saline,dan yang
paling baru adalah dimasukkannya bahan Prostaglandin.
Mengingat risiko dari amniosentesis dan telah ditemukannya preparat PG yang
dimasukkan parenteral maupun vaginal maka tehnik ini makin ditinggalkan.
TEHNIK AMNIOSENTESIS
Meskipun amniosentesis adalah suatu prosedur yang rutin, akan tetapi oleh karena risiko-risiko yang bisa terjadi maka harus selalu dilakukan dengan pertimbangan dan indikasi yang benar dan hati-hati.
Persetujuan ( informed consent ).
Sebelum dilakukan prosedur tersebut maka harus dijelaskan pada pasien dan suaminya tentang indikasi,risiko dan cara pelaksanaannya.
Juga yang penting lagi,bila dilakukan amniosentesis untuk keperluan analisa genetik, maka harus dijelaskan bahwa hasil analisa ini memerlukan waktu yang cukup lama ( 2-3 minggu ) dan perlu diketahui bahwa hasil kariotiping yang normal belum tentu menjamin bahwa janinnya normal pula.
Garis besar dari pelaksanaan amniosentesis harus diuraikan dalam informed consent.
Persiapan.
Pemeriksaan USG sebelum amniosentesis untuk menentukan letak plasenta dan identifikasi lokasi amniosentesis yang tepat untuk mengurangi komplikasi.
Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain , abortion, kebocoran cairan amnion, perdarahan dalam rongga amnion. Bila perlu dipakai transduser khusus untuk menuntun jarum yang bisa dimonitor dengan USG. Alat ini biasanya hanya dipakai untuk tindakan-tindakan yang sulit misalnya melakukan pungsi dari kista ginjal janin , atau mengambil contoh darah janin dari tali pusat ( fetal blood sampling dengan kordosentesis ). Bila letak plasenta pada dinding depan korpus uteri sampai denagn fundus maka perlu dipertimbangkan lagi apakah indikasinya memang mutlak diperlukan amniosentesis mengingat risiko yang bisa terjadi apabila menembus plasenta .
Penentuan lokasi amniosentesis.
Menentukan tempat yang terbaik untuk melakukan amniosentesis tergantung pada usia hamil dan pemeriksaan USG sebelumnya yang meliputi posisi anak, letak plasenta dan letak kantung ketuban yang terbanyak. Hal ini dilakukan untuk memperkecil kemungkinan risiko trauma pada janin dan lebih meningkatkan keberhasilan untuk mendapatkan sejumlah cairan amnion yang cukup dengan satu kali amniosentesis.
Hal tersebut diatas terutama bila dilakukan amniosentesis pada trimester I untuk analisa genetik. Meskipun demikian pada trimester III pun USG sebelumnya masih tetap harus dilakukan. Ada dua tempat yang paling sering dilakukan amniosentesis adalah daerah leher janin ( hati-hati trauma pada leher janin ) dan pada daerah bagian kecil janin ( hati-hati trauma pada tali-pusat dan plasenta ).
Ada juga yang menganjurkan transvaginal amniosentesis melaui forniks anterior , akan tetapi kini telah ditinggalkan karena bahaya kontaminasi kuman dari vagina. Prosedur pelaksanaan amniosentesis.Setelah tempat amniosentesis ditentukan maka dilakukan desinfeksi daerah tersebut dengan antiseptik ( Betadine Solution ), kemudian disuntikkan obat lokal anestesi ditempat yang akan dilakukan pungsi.
Jarum spinal dengan ukuran 20 - 22 dengan panjang 17 inci ( dengan stilet ) dipakai untuk amniosentesis pada kehamilan trimester I, sedangakan untuk kehamilan yang lebih tua ( Tr. II- III ) digunakan ukuran yang sedikit lebih besar sehubungan cairan amnion saat itu sudah mengandung lanugo/ vernix .
Masuknya jarum menembus lapisan dinding perut ibu dan dinding uterus bisa dirasakan adanya tahanan dan saat masuk kedalam rongga amnion dirasakan tahanan tersebut menghilang , saat ini stilet segera dibuka dan ditunggu secara pasif cairan amnion akan mengalir keluar dengan sendirinya. Kadang- kadang aliran tersebut tersendat , hal ini bisa terjadi bila kantung ketuban sempit atau ujung jarum menempel pada membran atau bagian dari janin. Hal tersebut bisa diatasi dengan sedikit memutar ujung jarum agar ujung jarum terbebas, atau memasukkan stilet untuk memastikan bahwa jarum tidak tersumbat.
Beberapa keadaan apabila set6elah stilet dilepas ternyata yang keluar adalah darah maka ada dua kemungkinan yakni ujung jarum masih didalam otot rahim sehingga perlu dimasukkan lebih dalam atau ujung jarum menembus plasenta didaman dalam hal terakhir ini maka bisa diatasi dengan dua jalan yakni :
a. memasukkan jarum lebih dalam sesuai dengan tebal lapisan yang telah diukur
sebelumnya dengan risiko terjadi kontaminasi darah kedalam cairan amnion
yang berasal dari perdarahan pada plasenta tersebut.
2. jarum dikeluarkan lagi kemudian dilakukan relokasi tempat amniosentesis.
Apabila sudah dilakukan prosedur tersebut masih juga berdarah maka sebaiknya dipertimbangkan lagi agar tidak mengalami risiko yang lebih serius.
Pada kehamilan trimester I ( untuk keperluan analisa genetik ), apabila gagal mendapatkan contoh air ketuban pada percobaan pertama , maka masih boleh dilakukan sekali lagi pada saat itu . Akan tetapi bila tetap gagal untuk yang keduakalinya maka hanya boleh diulang setelah 10 hari.
Pada kehamilan trimester II-III , setelah amniosentesis perlu dilakukan monitoring beberapa saat untuk menentukan tidak ada trauma yang serius yang menyebabkan gangguan pada kesejahteraan janin dalam rahim.
Pada kasus kehamilan post date kegagalan mendapatkan sejumlah cairan amnion yang cukup bisa disebabkan oleh karena suatu oligohidramnion ( jumlah air ketuban yang secara menyeluruh sangat berkurang ), dalam hal ini lebih baik tidak berusaha mencoba lebih dari sekali oleh karena bahaya trauma pada janin.
Volume air ketuban yang dibutuhkan rata-rata antara 25-40 cc tergantung usia kehamilan dan tujuan pemeriksaan. Untuk tujuan pemeriksaan genetik , 5 cc air ketuban yang pertama didapat sebaiknya dibuang untuk mencegah kontaminasi sel ibu.
Contoh air ketuban yang didapat harus dijaga sterilitasnya ,dan yang paling baik disimpan dalam tabung plastik untuk mencegah pecah. Untuk keperluan pemeriksaan bilirubin , dipakai tabung yang terlindung dari sinar untuk mencegah fotokonversi dari bilirubin ( yang paling baik dalam tabung yang berwarna coklat.
Contoh air ketuban yang bercampur darah harus segera dilakukan pemisahan dengan jalan dilakukan sentrifuge sebelum mengalami hemolisis.
Untuk test maturitas harus dikerjakan segera, atau kalau tidak bisa diperiksa langsung harus disimpan dalam keadaan beku ( dalam suhu - 80 derajat C ).
Observasi setelah amniosentesis paling tidak 20-30 menit dengan monitoring denjut jantung janin paling sedikit 2 kali.
Yang penting diobservasi adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan penurunan kesadaran, kontraksi uterus, nyeri, perdarahan / hematoma pada bekas tusukan jarum.
PENYULIT YANG BISA TIMBUL
Penyulit yang bisa terjadi pada amniosentesis bervariasi tergantung pada usia hamil nsaat dilakukan amniosentesis dan penyulit ini bisa mengenai ibu maupun janin didalah rahim.
Penyulit pada ibu. 1. Infeksi.
Bournett & Anderson 1968 melakukan review pada 8300 amniosentesis yang dilakukan
selama 33 tahun ( 1933-1966 ). Dalam kurun waktu tersebut ditemukan 1 kasus kematian ibu oleh karena infeksi . Akan tetapi ditekankan bahwa hal tersebut bisa dicegah dengan memperhatikan benar-benar masalah sterilitas.
2. Perdarahan.1972 dilaporkan adanya perdarahan intraperitoneal oleh karena trauma pada vasa uterina selama dikerjakan amniosentesis. Sebenarnya hal tersebut sangat jarang terjadi . Bisa terjadi bila amniosentesis dilakukanj ditempat yang terlalu lateral. Sedangkan hematoma pada dinding perut sering terjadi akan tetapi tidak menyebabkan akibat yang serius.
3. Kontraksi uterus dan persalinan preterm yang membakat.
Seringkali dirasakan kontraksi ringan yang terjadi segera setelah dilakukan amniosentesis, akan tetapi segera menghilang setelah beberapa menit. Bila kontraksi tersebut berlanjut akan terjadi gejala-gejala persalinan preterm yang membakat.
Sebenarnya hal ini sangat jarang terjadi , hanya apabila terjadi trauma yang serius terutama pada plasenta atau saat memasukkan kontrast yang hipertonik kedalam rongga amnion. Yang paling sering terjadinya persalinan yang membakat yakni bila dilakukan amniosentesis untuk mengurangi volume cairan amnion pada hidramnion.
4. Kebocoran cairan amnion.
Hal ini bisa terjadi pada 4 dari 600 kasus amniosentesis dengan tujuan analisa genetik.
Mekanisme terjadinya kebocoran adalah keluarnya air ketuban melewati rongga rahim diluar selaput amnion sampai keluar kesaluran servik dan vagina. Akan tetapi hal ini bisa terhenti dengan sendirinya dan kehamilan tetap berlanjut dengan selamat.
5. Syncope.
Hal ini terjadi oleh karena penderita tidak siap dengan rasa nyeri akibat amniosentesis. Yang penting pemantauan tentang terjadinya hipotensi.
6. Perdarahan feto-maternal dan kemungkinan terjadinya isoimunisasi. Queenan dan Adam mengemukakan 50% amniosentesis terjadi pencampuran darah maternal dalam air ketuban. Kejadian ini memungkinkan terjadinya isoimunisasi pada kasus Rh-sentisized . Pada kasus ini dianjurkan untuk memberikan 50-150 (g Rh-imunoglobulin untuk menghindarkan sensitisasi pada ibu dengan Rh-negatip sebelum dilakukan amniosentesis. Tercampunya darah kedalam cairan ketuban ini bisa diperkecil dengan melakukan pemeriksaan awal dengan USG untuk menentukan letak plasenta .
Penyulit pada janin.
1. Infeksi. Hal ini bisa dihindarkan bila prosedur amniosentesis dilakukan secara steril dan menghindari trauma serius pada janin serta pemberian antibiotika pasca amniosentesis.
2. Abortion.
Hal ini dikaitkan dengan amniosentesis dini untuk diagnosa antenatal ( 3-14% ).
Keadaan ini disebabkan oleh karena infeksi, trauma pada plasenta, perdarahan pada janin atau trauma langsung pada janin. Saat ini angka kejadian konplikasi ini hanya berkisar 1% saja.
3. Perdarahan pada janin.
Ini bisa terjadi bila terjadi trauma mengenai pembuluh darah fetal pada plasenta.
4. Trauma pada janin.
Tusukan langsung pada janin bisa disengaja misalnya pada kasus yang akan dilakukan transfusi intra uterine atau prosedur intervesi intra uterine yang lain
( pungsi intra uterine pada hidrosefalus , kista dari ginjal , obstruksi distal saluran kemih yang kongenital ).Beberapa trauma pada janin bisa disebabkan oleh karena jumlah air ketuban yang berkurang pada kasus oligohidramnion.