alergi obat
DESCRIPTION
Alergi obatTRANSCRIPT
-
5/19/2018 Alergi obat
1/8
Alergi Obat Catherina Yanita Wibowo 406138036
Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta
Periode 7 Juli 2014 13 September 2014 1
Tinjauan Pustaka
Alergi Obat
Pendahuluan1,2
Alergi obat merupakan salah satu reaksi simpang obat yang diperantarai oleh
mekanisme imunologi. Mekanisme yang mendasari alergi obat dapat berupa reaksi
hipersensitivitas tipe 1, 2, 3, atau 4. Alergi obat memerlukan paparan sebelumnya
dengan obat yang sama atau terjadi akibat reaksi silang.1 Alergi obat seringkali sulit
dibedakan dengan reaksi jenis lain terhadap obat seperti toksisitas, efek samping,
intoleransi, dan idiosionkrasi.2
Pemberian label alergi obat pada anak sering menyebabkan penghindaran obat
tertentu sepanjang hidup. Diagnosis alergi obat pada anak sulit karena kesulitan
melakukan tes kulit pada anak. Hal ini sering menyebabkan overdiagnosis alergi obat
pada anak.1
Beberapa survei yang cukup besar menunjukkan prevalens alergi obat pada anak
berkisar antara 2,8% sampai 7,5%. Penelitian meta-analisis pada 17 studi prospektif
menunjukkan proporsi penderita rawat inap karena alergi obat sekitar 2,1%, 39,3%
merupakan reaksi yang mengancam jiwa. Insidens reaksi simpang obat pada anak yang
dirawat di rumah sakit sekitar 9,5% dan pada penderita rawat jala sekitar 1,5%.1
Epidemiologi3
Insiden alergi obat secara umum serta populasi pediatrik masih belum diketahui,
meskipun hal itu terjadi 6,7% dari total pasien rawat inap, dengan kejadian fatal
sebanyak 0,32%. Reaksi kulit adalah bentuk paling umum dari reaksi alergi obat,
dengan ampisilin, amoksisilin, penisilin, dan trimetoprim-sulfametoksazol menjadi obat
yang paling umum terkait.
Etiologi2
Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda menurut waktu, tempat
dan jenis penelitian yang dilaporkan. Tingginya angka kejadian alergi obat tampak
berhubungan erat dengan kekerapan pemakaian obat tersebut. Diduga risiko terjadinya
reaksi alergi sekitar 1-3% terhadap sebagian besar jenis obat.
Pada umumnya laporan tentang obat tersering penyebab alergi adalah golonganpenisilin, sulfa, salisilat, dan pirazolon. Obat lain yang sering pula dilaporkan adalah
-
5/19/2018 Alergi obat
2/8
Alergi Obat Catherina Yanita Wibowo 406138036
Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta
Periode 7 Juli 2014 13 September 2014 2
analgetik lain (asam mefenamat), sedatif (terutama luminal), trankuilizer (fenotiazin,
fenergan, klorpromazin, meprobamat) dan antikonvulsan (dilantin, mesantoin, tridion).
Tetapi alergi obat dengan gejala klinis berat paling sering dihubungkan dengan penisilin
dan sulfa.
Faktor Risiko1
Faktor risiko yang terpenting adalah riwayat alergi sebelumnya dengan obat
yang sama. Pemberian parenteral dan topikal lebih sering menyebabkan sensitisasi.
Dosis tunggal yang besar lebih jarang menimbulkan sensitisasi daripada pemberian
yang sering dan lama. Usia dewasa muda lebih mudah bereaksi daripada bayi atau usia
tua. Predisposisi atopi tidak meningkatkan kemungkinan terjadinya alergi obat, tetapi
dapat menyebabkan reaksi alergi yang lebih berat. Infeksi virus tertentu seperti HIV,
Herpes, EBV, dan CMV meningkatkan kemungkinan terjadinya alergi obat.
Patogenesis2
Substansi obat biasanya mempunyai berat molekul rendah sehingga tidak dapat
langsung merangsang sistem imun bila tidak bergabung dengan karier yang mempunyai
berat molekul besar. Antigen yang bersifat tidak lengkap seperti ini merupakan
kompleks obat dan protein yang disebut sebagai hapten. Hapten dapat membentuk
ikatan kovalen dengan protein jaringan yang bersifat stabil, dan ikatan ini akan tetap
4
-
5/19/2018 Alergi obat
3/8
Alergi Obat Catherina Yanita Wibowo 406138036
Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta
Periode 7 Juli 2014 13 September 2014 3
utuh selama diproses di makrofag dan dipresentasikan kepada sel limfosit hingga sifat
imunogeniknya stabil.
Sebagian kecil substansi obat mempunyai berat molekul besar (insulin, antisera,
ekstrak organ) dan bersifat imunogenik sehingga dapat langsung merangsang sistem
imun tubuh. Tetapi ada beberapa jenis obat dengan berat molekul relatif rendah yang
bersifat imunogenik tanpa bergabung dengan karier. Mekanismenya bekum jelas, tetapi
diduga obat ini membentuk polimer rantai panjang.
Setelah pajanan awal maka kompleks obat-karier akan merangsang
pembentukan antibodi dan aktivitas sel imun dalam masa laten yang dapat berlangsung
selama 10-20 hari. Pada pajanan berikutnya periode laten menjadi lebih singkat karena
antigen tersebut sudah dikenal oleh sistem imun tubuh melalui mekanisme
pembentukan sel memori (reaksi anamnestik).
Alergi obat merupakan reaksi hipersensitivitas yang dapat digolongkan menjadi
4 tipe menurut Gell dan Coombs (lihat bab tentang reaksi hipersensitivitas). Alergi obat
dapat terjadi melalui mekanisme ke-4 tipe tersebut (Tabel 2). Bila antibodi spesifik yang
terbentuk adalah IgE pada penderita atopi (IgE-mediated) maka yang terjadi adalah
reaksi tipe I (anafilaksis). Bila antibodi yang terbentuk adalah IgG dan IgM, kemudian
diikuti oleh aktivasi komplemen maka yang terjadi adalah reaksi hipersensitivitas tipe II
atau tipe III. Bila yang tersensitisasi adalah respons imun selular maka akan terjadireaksi tipe IV. Reaksi tipe II sampai IV merupakan reaksi imun yang tidak dapat
diprediksi dan tidak melalui pembentukan IgE (non IgE-mediated). Perlu diingat bahwa
dapat saja terjadi alergi obat melalui keempat mekanisme tersebut terhadap satu macam
obat secara bersamaan. Alkergi obat tersering biasanya melalui mekanisme tipe I dan
IV. Sedangkan alergi obat melalui mekanisme tipe II dan tipe III umumnya merupakan
bagian dari kelainan hematologik atau penyakit autoimun.
Tabel 2. Mekanisme reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs2
Reaksi imun Mekanisme Klinis Waktu reaksi
Tipe I (diperantarai
IgE)
Kompleks IgE-obat
berikatan dengan
sel mast
melepaskan
histamin dan
mediator lain
Urtikaria,
angioedema,
bronkospasme,
muntah, diare,
anafilaksis
Menit sampai jam
setelah paparan
-
5/19/2018 Alergi obat
4/8
Alergi Obat Catherina Yanita Wibowo 406138036
Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta
Periode 7 Juli 2014 13 September 2014 4
Tipe II (sitotoksik) Antibodi IgM atau
IgG spesifik
terhadap sel hapten-
obat
Anemia hemolitik,
neutropenia,
trombositopenia
Variasi
Tipe III (kompleks
imun)
Deposit jaringan
dari kompleksantibodi-obat
dengan aktivasi
komplemen
Serum sickness,
demam, ruam,atralgia,
limfadenopati,
vaskulitis, urtikaria
1-3 minggu setelah
paparan
Tipe IV (lambat,
diperantarai oleh
selular)
Presentasi molekul
obat oleh MHC
kepada sel T dengan
pelepasan sitokin
Dermatitis kontak
alergi
2-7 hari setelah
paparan
(Dikutip dari Riedl MA dan Casillas AM, 2003)
Reaksi non imun yang tidak dapat diprediksi diklasifikasikan dalam
pseudoalergi, idiosinkrasi atau intoleransi. Reaksi pseudoalergi merupakan hasil aktivasi
sel mast secara langsung, tidak melibatkan IgE spesifik dan degranulasi oleh agen
seperti opiat, koloid ekspander, polipeptida, antiinflamasi non-steroid dan media
radiokontras. Reaksi yang bersifat non imunologi ini dapat terjadi saat pertama kali
paparan. Reaksi idiosinkrasi hanya terjadi pada sebagian populasi, seperti hemolisis
yang diinduksi obat pada orang dengan defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase
(G6PD). Intoleransi obat merupakan ambang batas yang lebih rendah terhadap aksi
farmakologi obat, seperti terjadinya tinitus setelah pemberian aspirin
Mekanisme klinis2
Gejala klinis alergi obat sangat bervariasi dan tidak spesifik untuk obat tertentu.
Satu macam obat dapat menimbulkan berbagai gejala, dan pada seseorang dapat
berbeda dengan orang lain. Gejala klinis alergi obat dapat berupa gejala ringan sampai
berat, antara lain:
Erupsi kulit, dapat berupa pruritus, urtikaria, purpura, dermatitis kontak,
eritema multiform, eritema nodosum, erupsi obat fikstum, reaksi
fotosensitivitas, atau reksi yang lebih berat dermatitis ekskoliatif dan erupsi
vesikobulosa seperti pada sindrom Stevens-Johnson dan sindrom Lyell.
Reaksi anafilaksis, dapat berupa hipotensi, spasme bronkus, edema laring,
angioedema, atau urtikaria generalisata.
Demam (gejala tunggal alergi obat, atau bersama gejala klinis lain, yang
-
5/19/2018 Alergi obat
5/8
Alergi Obat Catherina Yanita Wibowo 406138036
Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta
Periode 7 Juli 2014 13 September 2014 5
timbul beberapa jam setelah pemberian obat, dan menghilang dalam waktu
48 jam setelah penghentian obat atau sampai beberapa hari kemudian).
Serum sickness; berupa demam, atralgia, mialgia, neuritis, efusi sendi,
urtikaria, erupsi makulopapular, dan edema yang biasanya timbul 1-3
minggu setelah terpajan.
Diagnosis
Anamnesis1
Anamnesis yang terperinci merupakan tahap awal terpenting untuk membuat
diagnosis alergi obat. Anamnesis meliputi formulasi obat, dosis, rute, dan waktu
pemberian (Tabel 3). Selain itu harus ditanyakan perjalanan, awitan, dan hilangnya
gejala. Catatan medik dan keperawatan harus diperiksa untuk mengkonfirmasi
hubungan antara obat dan gejala yang timbul. Riwayat alergi terhadap obat yang sama
atau satu golongan harus ditanyakan.
Tabel 3. Informasi penting yang dibutuhkan pada anak yang dicurigai mengalami alergi obat1
Gambaran terperinci gejala reaksi obat
Lama dan urutan gejala
Terapi yang telah diberikan
Outcome
Hubungan antara waktu pemberian obat dan gejala
Apakah penderita sudab pernah mendapatkan obat yang sama sebelum terapi sekarang?
Berapa lama penderita telah mendapatkan obat sebelum munculnya reaksi?
Kapan obat dihentikan?
Apa efeknya?
Keterangan keluarga atau dokter yang merawat
Apakah ada foto pasien saat mengalami reaksi?
Apakah ada penyakit lain yang menyertai?
Daftar obat yang diminum pada waktu yang samaRiwayat sebelumnya
Reaksi obat lainnya
Alergi lainnya
Penyakit lainnya
Dari anamnesis dapat dibedakan antara alergi obat dengan reaksi toksik dan
idiosinkrasi. Misalnya gejala gastrointestinal setelah menelan antibiotika, nyeri pada
tempat suntikan obat, atau sakit kepala setelah pengobatan nitrogliserin diperkirakan
bukan berdasarkan reaksi imunologik.
-
5/19/2018 Alergi obat
6/8
Alergi Obat Catherina Yanita Wibowo 406138036
Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta
Periode 7 Juli 2014 13 September 2014 6
Pemeriksaan fisis1
Pemeriksaan fisis yang teliti dapat menentukan mekanisme yang mendasari
reaksi obat. Reaksi obat dapat terjadi sistemik atau mengenai satu atau beberapa organ.
Kulit merupakan organ yang sering terkena.1
Pemeriksaan penunjang1
Tes kulit dapat memberikan bukti adanya sensitisasi obat, terutama yang didasari
oleh reaksi tipe I (IgE mediated).Namum demikian sebagian besar obat tidak diketahui
imunogen yang relevan sehingga nilai prediktif tes kulit tidak dapat ditentukan.
Penisilin merupakan obat yang sudah dapat ditentukan metabolit imunogennya. Tes
kulit dapat berupa skin prick test (SPT) atau tes intradermal. Tes intradermal lebih
sensitif tapi kurang spesifik dibandingkan SPT. Pemeriksaan penunjang lainnya antara
lain: IgE spesifik, serum tryptase, dan cellular allergen stimulation test (CAST).
Tes kulit
Tes kulit untuk preparat penisilin diperlukan metabolit imunogennya, major
antigenic determinant yaitu penicylloil. Preparat penicylloil untuk tes kulit dijual
dengan nama dagang Pre-Pen, sayangnya preparat ini belum ada di Indonesia sehingga
tes kulit terhadap penisilin tidak dapat dilakukan di Indonesia.
Tabel 4. Perbandingan Tes Kulit In Vivo dan In Vitro Serum Antibodi IgE pada Pasien Alergi5
-
5/19/2018 Alergi obat
7/8
Alergi Obat Catherina Yanita Wibowo 406138036
Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta
Periode 7 Juli 2014 13 September 2014 7
Graded Chall ange
Graded challange, tes provokasi dengan dosis yang ditingkatkan, dilakukan dengan
hati-hati pada pasien yang diragukan apakah alergi terhadap suatu obat atau tidak. Tes
provokasi ini biasanya dilakukan secara oral. Anak yang jelas dan nyata menunjukkan
reaksi yang berat setelah terpajan dengan obat, tidak dilakukan tes provokasi ini.
Graded challange ini biasanya aman untuk dikerjakan, tetapi tetap dengan persiapan
untuk mengatasi bila terjadi reaksi anafilaksis. Biasanya dosis dimulai dengan 1/10
sampai 1/100 dari dosis penuh dan dinaikkan 2 sampai 5 kali lipat setiap setengah jam,
sampai mencapai dosis penuh. Bila pada waktu peningkatan dosis terjadi reaksi alergi,
maka tes dihentikan dan pasien ditata laksana seperti prosedur pengatasan reaksi alergi.
Tes provokasi dilakukan bila pemeriksaan lain negatif dan diagnosis alergi obat masih
meragukan. Tujuan tes ini adalah untuk menyingkirkan sensitifitas terhadap obat dan
menegakkan diagnosis alergi obat. Namun prosedur ini terbatas karena mengandung
risiko yang berbahaya yaitu terjadinya reaksi anafilaksis sehingga hanya dianjurkan
untuk dilakukan di tempat yang memiliki fasilitas serta tenaga yang cukup.
Tatalaksana1
Menghentikan obat yang dicurigai
Mengobati reaksi yang terjadi sesuai manifestasi klinis
Mengidentifikasi dan menghindari potential cross-reacting drugs
Mencatat secara tepat reaksi yang terjadi dan pengobatannya
Jika memungkinkan, identifikasi pilihan pengobatan lain yang aman
Jika dibutuhkan pertimbangkan desensitisasi. Desentisisasi dilakukan dengan
memberikan alergen obat secara bertahap untuk membuat sel efektor menjadi
kurang reaktif. Prosedur ini hanya dikerjakan pada pasien yang terbukti
memiliki antibodi IgE terhadap obat tertentu dan tidak tersedia obat alternatif
yang sesuai untuk pasien tersebut. Protokol spesifik telah dikembangkan untuk
masing-masing obat. Prosedur ini harus dikerjakan di rumah sakit dengan
peralatan resusitasi yang tersedia lengkap dan berdasarkan konsultasi dengan
dokter konsultan alergi.
-
5/19/2018 Alergi obat
8/8
Alergi Obat Catherina Yanita Wibowo 406138036
Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta
Periode 7 Juli 2014 13 September 2014 8
Pencegahan2
Anamnesis riwayat kemungkinan alergi obat sebelumnya
Hindari obat yang dikenal sering memberikan sensitisasi pada kondisi tertentu
(misalnya aspirin pada asma bronkial)
Cara pembuatan obat harus diperbaiki dengan mengurangi dan menghilangkanbahan yang potensial dapat menjadi penyebab alergi
Jika diketahui atau diduga seseorang alergi terhadap obat tertentu, pada
pemberian obat alternatif hendaknya bukan obat yang telah dikenal mempunyai
reaksi silang dengan obat yang dicurigai
Prognosis2
Pada umumnya reaksi alergi obat tanpa komplikasi dapat sembuh dengan baik. Total
waktu untuk pembersihan adalah 1-2 minggu, atau lebih lama. Angka kematian
dilaporkan 1 dari 10.000 kejadian, tetapi pada sindrom Stevens-Johnson angka kematian
dapat meningkat sampai 5-15%.
Daftar Pustaka
1. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Haemoniati
ED. Alergi Obat. Dalam: Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia Jilid 1. Edisi ke-1. Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2010: 1-3
2. Akib AA, Munasir Z dan Kurniati N. Alergi Obat. Dalam: Buku Ajar Alergi-
Imunologi Anak. Edisi ke-dua. Jakarta: IDAI, 2008: 294-306
3. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Adverse Reactions to
Drugs. Dalam:Nelson Textbook of Pediatrics, edisi ke-18. USA : Saunders,
2007.
4.
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2014/04/pustaka_unpad_Tatalaksana-Alergi-Obat.pdf
5. Kliegman, RM dan Marcdante, KJ. Allergy. Dalam : Nelson Essentials of
Pediatrics. Edisi ke-7. Philadelphia : Elsevier, 2011 : 273
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2014/04/pustaka_unpad_Tatalaksana-Alergi-Obat.pdfhttp://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2014/04/pustaka_unpad_Tatalaksana-Alergi-Obat.pdfhttp://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2014/04/pustaka_unpad_Tatalaksana-Alergi-Obat.pdfhttp://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2014/04/pustaka_unpad_Tatalaksana-Alergi-Obat.pdfhttp://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2014/04/pustaka_unpad_Tatalaksana-Alergi-Obat.pdfhttp://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2014/04/pustaka_unpad_Tatalaksana-Alergi-Obat.pdf