file · web viewringkasan materi. sosiologi sebagai ilmu. menunjukkan manfaat mata...
TRANSCRIPT
A. RINGKASAN MATERI.
SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU
1. Menunjukkan manfaat mata pelajaran Sosiologi
Sosiologi sangat bermanfaat sebagai alat analisis, termasuk strategi untuk menyelesaikan
permasalahan sosial. Berikut beberapa manfaat ilmu (mata pelajaran) sosiologi dalam
kehidupan masyarakat, antara lain:
1) Menambah pengetahuan tentang keberagaman sosial dan budaya yang menyangkut
sistem nilai dan norma, adat istiadat, dan unsur-unsur budaya lainnya. Dengan
mempelajari sosiologi, kita akan memperoleh pengetahuan tentang karakteristik sosial
individu maupun kelompok sosial dalam masyarakat.
2) Sosiologi bermanfat untuk menumbuhkan kepekaan masyarakat terhadap permasalahan
sosial dalam kehidupan sehari-hari, sehingga akan terwujud masyarakat yang empati.
3) Dengan mempelajari sosiologi, menjadi bahan refleksi bagi diri kita, baik sebagai
individu maupun anggota masyarakat.
4) Sosiologi membantu setiap individu tentang karakteristik sosio kultural masyarakat yang
belum diketahui.
5) Sosiologi membantu masyarakat untuk mendapatkan pengetahuan tentang berbagai
bentuk interaksi sosial.
6) Sosiologi membantu masyarakat untuk mengontrol dan mengendalikan tindakan dalam
setiap interaksi yang dilakukan.
7) Sosiologi diharapkan mampu membuat masyarakat semakin memahami norma dan
nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat.
8) Sosiologi bermanfaat untuk merancang resolusi konflik sosial.
9) Sosiologi bermanfaat untuk menghindari dominasi sosial, misalnya: dominasi politik,
dominasi ekonomi, maupun dominasi kebudayaan.
10) Sosiologi bermanfaat untuk meningkatkan integritas nasional.
11) Sosiologi sebagai interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis,
dimana di dalamnya menyangkut hubungan antara individu, kelompok maupun individu
dengan kelompok.
12) Para sosiolog yang melakukan riset ilmiah untuk mencari data tentang kehidupan sosial.
Dari hasil penelitian tersebut, sosiolog harus menghasilkan data yang valid agar dampak
negatif permasalahan sosial dalam masyarakat bisa dihindari.
13) Sosiologi sebagai konsultan kebijakan, artinya sosiologi dapat membantu memperkirakan
pengaruh kebijakan-kebijakan sosial yang mungkin terjadi dalam masyarakat.
14) Sebagai generasi muda yang akan menjadi penerus bangsa, sosiologi akan membuat
genarasi muda lebih tanggap, kritis, dan rasional menghadapi gejala-gejala sosial dalam
masyarakat yang semakin kompleks, serta mampu mengambil sikap dan tindakan yang
tepat dan akurat terhadap situasi sosial yang dihadapi sehari-hari.
2. Memahami materi, struktur, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata
pelajaran Sosiologi
Sosiologi dibandingkan dengan ilmu lain dapat dikatakan sebagai ilmu baru. Anda
mungkin sudah pernah membaca bahwa orang yang pertama kali mengemukakan istilah
sosiologi adalah Auguste Comte pada tahun 1838. Menurut Comte, sudah saatnya
masyarakat dipelajari dengan ilmu tersendiri. Comte menyebutkan bahwa ilmu yang
mempelajari masyarakat adalah sosiologi. Sosiologi mempelajari social static dan social
dynamic dari masyarakat. Social static analog dengan struktur sosial, sedangkan social
dynamic analog dengan interaksi sosial. Karena jasanya ini, Comte disebut sebagai Bapak
Sosiologi.
Objek kajian sosiologi bukan hanya masyarakat, seperti dikemukakan oleh Comte dan
Durkheim, sosiologi juga mengkaji tindakan sosial di tingkat individu dan interaksi sosial.
Artinya, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari realitas sosial di tingkat mikro, makro,
dan hubungan antara mikro dan makro.
Nah, Anda sudah saya ajak untuk memahami definisi sosiologi dan karakteristik sosiologi
sebagai ilmu. Sekarang saya akan mengajak Anda untuk memahami apa yang menjadi
objek kajian sosiologi? Anda mungkin sudah pernah mengenal istilah masyarakat bukan?
Marilah kita memahami definisi masyarakat. Seperti telah dijelaskan di atas, menurut
Emile Durkheim, masyarakat merupakan suatu realitas yang sui generis, fakta sosial, dan
hubungan diantara fakta sosial (Scott, 2011: 263). Peter L. Berger, mendefinisikan
masyarakat sebagai keseluruhan kompleks hubungan manusia yang luas sifatnya.
Pengertian keseluruhan kompleks dalam definisi tersebut berarti bahwa keseluruhan itu
terdiri dari bagian-bagian yang membentuk suatu kesatuan. Bagian bagian itu adalah
hubungan-hubungan sosial, seperti hubungan antara anak dengan orangtua, hubungan
antara bawahan dengan atasan, atau hubungan antara guru dengan siswa. Keseluruhan dari
hubungan-hubungan itulah yang disebut dengan masyarakat.
Hubungan-hubungan tersebut tidak terjadi secara acak-acakan, namun ada semacam
keteraturan. Meskipun manusia memiliki kesadaran untuk menciptakan atau mengubah
konteks sosialnya, manusia memiliki kebutuhan untuk mencari keteraturan dengan tunduk
terhadap aturan-aturan pada konteks sosialnya (Riyanto, 2009: 76). Dengan kata lain,
hubungan-hubungan tersebut harus berjalan menurut suatu sistem. Oleh karena itu, Peter
L. Berger, juga mendefinisikan masyarakat sebagai suatu sistem interaksi. Konsep
interaksi dalam hal ini pahami sebagai tindakan yang terjadi paling kurang dua orang yang
saling mempengaruhi perilakunya.
Individu yang saya maksudkan dalam tulisan ini adalah konsep sosiologis, bukan konsep
menurut ilmu lain. Dalam kehidupan sehari-hari, konsep individu merujuk pada orang
pribadi tertentu. Konsep sosiologi tentang individu agar berbeda. Secara sosiologis,
individu dapat diartikan sebagai subjek yang melakukan sesuatu, subjek yang mempunyai
pikiran, subjek yang mempunyai kepentingan, subjek yang mempunyai tujuan, subjek
yang mampu menilai sesuatu atau menilai tindakannnya sendiri, subjek yang mempunyai
kemampuan untuk memaknai sesuatu, dan subjek yang mempunyai kemampuan untuk
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Nah, Anda tentu bertanya mengapa
disebut subjek, dan mengapa tidak disebut objek, dan apa pula perbedaannya? Subjek
menunjuk pada semua keadaan yang berhubungan dengan dunia internal manusia,
sedangkan objek merujuk pada dunia eksternal manusia. Dunia objek tidak mempunyai
pikiran, perasaan, tujuan, dan kepentingan.
3. Memahami langkah-langkah kerja sosiolog
Sekarang saya akan mengajak Anda untuk memahami ciri-ciri sosiologi sebagai ilmu yang
mandiri. Anda mungkin sudah mengetahuai, bahwa sosiologi sebagai ilmu yang mandiri
sosiologi memiliki empat ciri. Pertama, sosiologi bersifat empiris. Artinya, sosiologi itu
didasarkan pada pengamatan dan penalaran. Pengamatan berarti semua yang berhubungan
dengan pancaindera yang dialami dalam kehidupan sosial. Penalaran berarti semua yang
berhubungan dengan akal budi manusia atau yang bersifat rasional.
Sering sifat empiris dihubungkan dengan sifat ilmu yang dapat dikorelasikan dengan fakta.
Kedua, sosiologi itu bersifat teoritis. Artinya, sosiologi bertujuan untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan secara teoritis. Ketiga, sosiologi itu bersifat kumulatif. Artinya, teori
sosiologi yang ada sekarang dibentuk dengan dasar teori lama yang disempurnakan.
Keempat, sosiologi itu tidak menilai (nonetis). Artinya, sosiologi dalam menjelaskan
masyarakat atau individu tidak menekankan dari aspek yang seharusnya, melainkan dari
aspek yang senyatanya. Menurut Charler B. Horton dan Chester L. Hunt (1992), sosiologi
pada hakikatnya bukanlah semata-mata ilmu murni (pure science) yang hanya
mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak demi usaha peningkatan kualitas ilmu
itu sendiri, namun sosiologi bisa juga menjadi ilmu terapan (applied science) yang
menyajikan cara-cara untuk mempergunakan pengetahuan ilmiahnya guna memecahkan
masalah-masalah sosial yang perlu solusi.
SEJARAH, TOKOH DAN PERSPEKTIF SOSIOLOGI
1. Sejarah Kelahiran Sosiologi.
Sosiologi sendiri secara “resmi” memisahkan diri dari filsafat pada abad 19 yang ditandai
dengan terbitnya tulisan Auguste Comte. Tulisan yang berjudul Positive Philosophy
merupakan awal lahirnya sosiologi sebagai ilmu pengetahuan. Tulisan yang terbit pada
tahun 1842 ini mengukuhkan Comte sebagai bapak sosiologi. Lahirnya tulisan Comte pada
dasarnya adalah bentuk keprihatinan terhadap kondisi masyarakat Eropa pada saat itu
(Soekanto, 1982: 10-12). Pokok perhatian sosiologi di Eropa adalah pada kesejahteraan
masyarakat dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Perubahan-
perubahan yang terjadi di dalam masyarakat dipengaruhi oleh kekuatan sosial. Adapun
kekuatan sosial yang berperan dalam perkembangan ilmu sosiologi, antara lain:
a. Revolusi politik, Peristiwa politik yang terjadi di Eropa diawali dengan Revolusi
Perancis pada tahun 1789 yang memberikan semangat bagi para pemikir untuk
mempelajari perubahan yang terjadi pada masyarakat. Serangkaian konflik dan
peperangan menimbulkan kerugian yang luar biasa bagi masyarakat, terutama di
Perancis. Pada saat itulah, para pemikir mencoba merubah tatanan masyarakat yang
tercerai berai menjadi lebih kondusif. Para pemikir bahkan secara ekstrim ingin
mengembalikan kondisi seperti pada abad pertengahan (Calhoun, 2002: 25). Namun,
beberapa pemikir lainnya mencoba mencari celah untuk mencari “tatanan masyarakat
masa depan” yang lebih ideal. Perhatian utama para pemikir adalah pada isu “ketertiban
sosial” yang kemudian dikenal dengan sebutan sosiologi klasik, dengan pemikir utama
Comte dan Durkheim.
b. Revolusi industri dan kemunculan kapitalisme Selain revolusi politik yang melanda
Eropa, revolusi industri juga ikut ambil bagian memberikan warna pada lahirnya
sosiologi. Revolusi industri ditandai dengan berubahnya corak produksi negara-negara
Eropa yang semula bertumpu pada sektor pertanian berubah pada sektor industri.
Revolusi industri muncul sebagai akibat dari lahirnya penemuan baru di bidang
teknologi. Salah satu penemuan yang spektakuler adalah kemunculan mesin uap yang
ditemukan oleh James Watt. Kapitalisme lahir ditandai dengan penguasaan aset produksi
oleh sebagian kecil masyarakat, sedangkan sebagian besar masyarakat hanya dijadikan
alat produksi sebagai buruh dengan tingkat keuntungan yang kecil (Ritzer dan Goodman,
2007: 7-10). Kondisi ini memunculkan gerakan buruh yang menuntut kesejahteraan
bahkan secara radikal seringkali berubah menjadi “pemberontakan buruh”. Pergolakan
ini menjadi bahan kajian bagi para pemikir, antara lain Marx, Weber, Durkheim dan
Simmel.
c. Kemunculan sosialisme Sosialisme dianggap sebagai musuh bebuyutan kapitalisme
sehingga dapat dikatakan bahwa upaya penghancuran kapitalisme adalah melalui
sosialisme. Marx adalah salah satu pendukung gagasan sosialisme, walaupun Marx tidak
secara tegas akan mengambangkan sosialisme, namun dalam banyak tulisannya Marx
mengkritik habis-habisan kapitalisme. Walaupun menyadari masalah yang timbul seiring
dengan kapitalisme, mereka lebih mengkhawatirkan isu sosialisme yang dibawa oleh
Marx. Marx mencita-citakan tatanan masyarakat baru melalui revolusi sosial (gerakan
buruh).
d. Feminisme, Feminisme merupakan gerakan perempuan yang menuntut adanya
persamaan hak dan keluar dari subordinasi yang dihasilkan oleh sistem sosial masyarakat
Eropa. Gerakan buruh, persamaan hak perempuan, penghapusan perbudakan, dan
kedudukan perempuan dalam hukum menjadi perhatian utama para aktivis feminisme
pada waktu itu.
e. Urbanisasi, Revolusi industri membawa permasalahan sosial baru berupa urbanisasi.
Laju perpindahan penduduk dari desa ke kota menjadi sangat mengkhawatirkan
demikian pula perubahan desa menjadi kota seiring perubahan sistem produksi. Migrasi
desa kota membawa dampak pada penyesuaian pola perilaku masyarakat urban.
Serangkaian permasalahan juga timbul ketika desa terkena dampak industrialisasi. Topik
ini kemudian semakin berkembang ketika Amerika mulai terkena dampak revolusi
industri.
f. Perubahan keagamaan, Kapitalisme tidak dapat lepas dari perubahan-perubahan dalam
bidang keagamaan. Weber mencoba menelaahnya melalui tulisan yang berjudul “The
Protestan Ethic and The Spirit Capitalism”. Gerakan protestan yang berkembang pesat
menjadi salah satu kajian yang menarik bagi sosiolog.
g. Perkembangan ilmu pengetahuan , Lahirnya sosiologi diiringi dengan semakin
berkembangnya ilmu pengetahuan. Tidak mengherankan apabila pemikir mencoba
menggunakan pendekatan pendekatan ilmu pengetahuan alam. Namun demikian,
perdebatan terjadi ketika para ahli berargumentasi bahwa fenomena sosial tidak sama
dengan fenomena alam.
2. Tokoh-tokoh Sosiologi.
a. Auguste Comte (1798-1857), Comte merupakan orang yang pertama kali mengenalkan
istilah sosiologi. Pada awalnya, Comte tidak menggunakan istilah sosiologi, namun
fisika sosial. Penggunaan istilah ini menunjukkan bahwa Comte sangat dipengaruhi oleh
perkembangan ilmu pengetahuan alam yang sudah mapan pada masa itu. Comte mulai
tertarik pada masalah sosial ketika menghadapi masyarakat Eropa yang mengalami
berbagai “kerusakan” sebagai akibat peperangan. Perhatian utama Comte pada sosiologi
menghasilkan dua bidang kajian yaitu social static dan social dynamic. Social static
mencurahkan perhatian pada gejala sosial yang bersifat tetap seperti struktur sosial.
Sedangkan social dynamic lebih diarahkan pada proses-proses perubahan sosial yang
terjadi (Calhoun, 2002: 24-26). Bagi Comte, dinamika sosial jauh lebih penting karena
perubahan yang terjadi mampu merubah pola sosial yang semula statik. Comte tidak
menyetujui revolusi. Perubahan tatanan memang diperlukan oleh masyarakat Eropa pada
masa itu. Namun, langkah yang dirasa bijaksana adalah melalui reformasi. Comte
mempercayai akan adanya evolusi pada masyarakat sehingga dia melahirkan hukum tiga
tingkatan. Teori ini menerangkan bahwa terdapat tahapan intelektual yang harus dilalui
oleh dunia sepanjang sejarah. Pertama, teologis merupakan tahapan yang menjadi
karakteristik dunia pada tahun 1300-an. Pada tahap ini manusia berkeyakinan bahwa
kekuatan adi kodrati sebagai pengendali segala sesuatu di dunia. Tokoh agama menjadi
salah satu panutan utama bagi masyarakat. Kedua, metafisik terjadi pada tahun 1300-
1800. Pada tahap ini kekuatan abstrak dianggap sebagai penentu segala sesuatu, bukan
lagi hanya bertumpu pada kekuatan adi kodrati. Ketiga, positivistik ditandai dengan
munculnya keyakinan pada ilmu pengetahuan. Kekuatan Tuhan dan alam mampu digali
lebih lanjut melalui ilmu pengetahuan.
b. Emile Durkheim (1858-1917) Seperti halnya Comte, karya Durkheim diinspirasi oleh
kekacauan pada masyarakat sebagai akibat dari revolusi Perancis pada masa itu.
Sebagian besar karyanya berupaya mengupas masalah ketertiban sosial, sebuah keadaan
yang dicita citakan oleh masyarakat Eropa. Menurut Durkheim, kekacauan merupakan
hal yang wajar seiring perkembangan masyarakat yang semakin modern. Untuk
mengatasi hal itu, Durkheim menyarankan adanya reformasi sosial sehingga bisa
membentuk tatanan masyarakat yang lebih stabil. Jelas Durkheim berseberangan dengan
Marx yang lebih mengedepankan revolusi dengan kekuatan buruhnya.
c. Karl Marx (1818-1883), Kapitalisme telah menyebabkan eksploitasi tenaga kerja besar-
besaran. Upah yang diberikan oleh pemilik modal hanyalah upah semu saja, karena nilai
lebih yang dihasilkan oleh barang industri tidak seimbang dengan usaha yang dilakukan
oleh buruh. Kapitalisme juga telah membelenggu krativitas buruh. Terlebih dengan
adanya introduksi mesin-mesin industri menjadikan buruh semakin termarginalisasi,
selain juga dihadapkan oleh persaingan diantara buruh menjadi ketat. Akibatnya, buruh
menjadi tidak berdaya dalam menolak upah rendah, yang ada adalah keterpaksaan
bekerja dengan upah rendah daripada harus tidak menerima upah sama sekali. Marx
melihat pada moda produksi kapitalis bersifat labil dan pada akhirnya akan hilang. Hal
ini disebabkan pola hubungan antara kaum kapitalis modal dan kaum buruh bercirikan
pertentangan akibat eksploitasi besar-besaran oleh kaum kapitalis. Kaum buruh
merupakan kaum proletar yang kesemuanya telah menjadi “korban” eksploitasi kaum
borjuis. Marx meramalkan akan terjadi kondisi dimana terjadi kesadaran kelas di
kalangan kaum proletar. Kesadaran kelas ini membawa dampak berupa kemauan
melakukan perjuangan kelas untuk melepaskan diri dari praktik eksploitasi. Perjuangan
ini hanya bisa dilakukan melalui revolusi. Marx menyatakan bahwa negara terbelakang
akan memerlukan dua tahap revolusi, yaitu revolusi borjuis dan revolusi sosialis.
Revolusi borjuis dilakukan oleh kelas borjuis nasional untuk melawan penindasan oleh
negara maju dan kemudian baru berlanjut pada revolusi sosialis oleh kelas proletar
(Calhoun, 2002: 30-31). Asumsi ini runtuh karena kelas borjuis nasional ternyata tidak
mampu lagi melaksanakan tugasnya sebagai pembebas kelas proletar dari eksploitasi
kapitalisme, karena kelas borjuis nasional sendiri merupakan bentukan dan alat
kapitalisme negara maju. Teori Marx terhadap perubahan memusatkan perhatiannya pada
unsure teknologi yang merubah segalanya. Teknologi yang berkembang pesat
menyebabkan terjadinya berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat
industrialis kapitalis.
3. Perspektif Sosiologi.
Perspektif struktural fungsionalisme dikenal sebagai teori konsensus, karena teori
memfokuskan pada aspek fungsi, keteraturan, dan keseimbangan (Kanto, 2006: 54). Teoritisi
yang menjelaskan perubahan sosial dalam perspektif teori ini adalah Talcott Pansons, Robert
K. Merton, dan Jeffry Alexander. Menurut Vago, (2004: 66), secara umum pendekatan
fungsionalisme struktural mengembangkan asumsi-asumsi dasar sebagai berikut:
1) Masyarakat harus dianalisis secara holistik sebagai sistem terdiri dari bagian-bagian yang
saling berhubungan;
2) Hubungan sebab dan akibat bersifat multiple dan resiprokal;
3) Sistem sosial adalah dalam kondisi keseimbangan dinamis, seperti penyesuaian diri
terhadap kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi sistem dibuat dengan perubahan
minimum dalam sistem;
4) Integrasi sempurna tidak pernah dicapai, sehingga setiap sistem sosial mempunyai
ketegangan dan penyimpangan, tetapi kemudian cenderung menjadi stabil melalui
institusionalisasi;
5) Perubahan secara fundamental berjalan lambat, proses adaptif, daripada pergeseran
revolusioner;
6) Perubahan adalah konsekuensi dari penyesuaian diri terhadap perubahan dari luar sistem,
tumbuh melalui diferensiasi dan inovasi internal; dan
7) Adanya sistem terintegrasi melalui pembentukan nilai.
Tokoh perspektif struktural fungsional
(1) Talcott Parsons
Penggagas teori struktural fungsional adalah Talcott Parsons. Parsons memfokuskan pada
masalah-masalah sistem tindakan dan sistem sosial (Kanto, 2006: 60). Parsons mengajukan
pertanyaan-pertanyaan dalam upayanya untuk membangun keseimbangan, tertib, dan
keteraturan sosial. Parsons berargumentasi bahwa tertib sosial dan kohesi sosial disebabkan
oleh tiga hal penting. Pertama, adanya nilai-nilai budaya yang dibagi bersama. Kedua, nilai-
nilai yang dilembagakan menjadi norma-norma sosial. Ketiga, nilai nilai yang dibatinkan
oleh individu-individu menjadi motivasi-motivasi.
(2). Robert K. Marton
Robert K. Merton, salah seorang murid Parsons, mengembangkan teori struktural fungsionali
pada taraf menengah. Teori struktural fungsinal Merton berangkat dari kritik terhadap tiga
postulat yang dikembangkan oleh Parsons. Pertama, postulat tentang kesatuan fungsional
masyarakat; kedua, postulat tentang fungsionalisme universal; dan ketiga, postulat tentang
yang sangat diperlukan atau penting. Seperti halnya Parsons, Merton menekankan tindakan
yang berulang yang berhubungan dengan bertahannya sistem sosial, namun Merton tidak
menaruh perhatian pada orientasi subjektif individu yang terlibat dalam tindakan seperti itu,
melainkan pada konsekuensi-konsekuensi sosial objektifnya (Johson, 1990: 147).
Merton menyatakan pembedaan itu melalui pembedaan antara fungsi manifes dan fungsi
laten. Fungsi manifes adalah konsekuensi-konsekuensi objektif yang menyumbang pada
penyesuaian terhadap sistem itu yang dimaksukan (intended) dan diketahui (recognized) oleh
partisipan dalam sistem itu. Sementara itu, fungsi laten adalah fungsi yang tidak
dimaksudkan atau tidak diketahui (Johnson, 1990: 147 dan Poloma, 1992: 39). Namun,
Merton (Johnson 1990: 147 dan Kanto 2006: 63), mengungkapkan bahwa tidak semua pola
tindakan baku harus mempunyai konsekuensi yang menguntungkan sistem itu atau memenuhi
persyaratan fungsionalnya. Banyak tindakan dapat mempunyai konsekuensi yang bersifat
disfungsional atau memperkecil penyesuaian terhadap sistem
itu. Perpindahan penduduk dari desa pertanian ke daerah perkotaan, di satu sisi mempunyai
konsekuensi sosial bagi pelakunya yaitu mendatangkan pendapatan yang lebih tinggi dan
terpenuhinya kebutuhan tenaga kerja di kota, di lain sisi, kawasan pedesaan yang
ditinggalkan mengalami kekurangan tenaga kerja. Bagi sektor petanian di pedesaan,
perpindahan penduduk menjadi disfungsional.
(3). Jeffry Alexander
Jeffry Alexander bersama dengan Paul Colomy pada tahun 1980-an menganggas
neofungsionalisme. Neofungsionalisme untuk menandai kelangsungan hidup fungsionalisme
struktural dan sekaligus menunjukan bahwa sedang dilakukan upaya memperluas
fungsionalisme struktural dan mengatasi kesulitannya. Menurut Alexander dan Colomy, teori
fungsionalisme terlampau sempit. Keduanya sepakat untuk menciptakan teori sintesis yang
dinamakan neofungsionalisme. Masalah fungsionalisme struktural yang perlu diatasi adalah
anti-individualisme, antagonistik terhadap perubahan, konservatisme, idialisme, dan bias
antiempiris (Ritzer dan Goodman, 2004: 148).
4. Perspektif konflik
Perspektif konflik berasumsi bahwa perilaku sosial dapat dipahami dalam istilah tekanan dan
konflik antara individu-individu dan kelompok-kelompok. Teori ini beranggapan bahwa
masyarakat adalah sebuah arena bagi perjuangan memperebutkan komoditas-komoditas.
Teoritisi konflik menganggap bahwa perubahan sebagai elemen penting kehidupan sosial
daripada keteraturan. Perubahan dipandang sebagai proses intrinsik dalam masyarakat, bukan
hanya dampak beberpa fungsi yang tidak tepat atau ketidakseimbangan bagian dari sistem
sosial. Perbedaan struktural dirasa menjadi
sumber konflik. Berikut ini secara berturut akan dipaparkan penjelasan Karl Marx, Lewis .
Coser, dan Ralf Dahrendorf tentang perubahan sosial.
(1) Karl Marx
Tulisan Karl Marx secara umum menganggap bahwa diantara yang penting dan dasar dalam
kajian teori konflik adalah dengan mempertimbangkan perubahan sosial. Menurutnya, ”tanpa
konflik, tidak ada kemajuan” (Vago, 2004: 20). Marx mengajukan postulat bahwa setiap
masyarakat, tahapan perkembangan sejarahnya, berdasarkan sebuah pondasi ekonomi. Marx
menyebutnya sebagai the mode of production of commodities. The mode of production
mempunyai dua elemen. Pertama, sarana-sarana produksi atau susunan fisik dan teknologi
dari aktivitas ekonomi. Kedua, hubungan hubungan sosial produksi atau manusia merupakan
alat pelengkap tambahan yang sangat diperlukan.
(2) Lewis A. Coser
Dalam bukunya The Functions of Social Conflict, Lewis A. Coser (dalam Vago, 2004: 35),
mengungkapkan bahwa konflik mempunyai efek positif dan negatif. Coser menjelaskan
bahwa konflik adalah bagian dari proses sosialisasi dan tidak ada satu kelompokpun yang
secara sempurna harmonis. Konflik adalah bagian dari kondisi manusia, tetapi konflik dapat
menjadi konstruktif ataupun destruktif. Coser percaya bahwa konflik menciptakan sebuah
peningkatan dalam adaptasi dan penyesuaian diri. Konflik akan menciptakan kohesi in group
sebab anggota kelompok memiliki musuh dan alasan bersama.
(3) Ralf Dahrendorf
Dahrendorf menolak pandangan Marx tentang kelas sosial yang ditentukan oleh hubungan-
hubungan terhadap sarana-sarana produksi. Menurut Dahrendorf, konflik disebabkan oleh
distribusi otoritas yang tidak merata. Masyarakat terbagi dalam kelompok yang memiliki
otoritas dan kelompok yang tidak memiliki otoritas. Konflik sosial mempunyai asal-usul
struktural dan dipahami konflik tentang legitimasi hubunganhubungan otoirtas. Dalam
banyak organisasi, peranan-peranan dan posisi-posisi dapat dikelompokan ke dalam dua
kelompok semu, yang anggota-anggota mempunyai kepentingan laten yang bertentangan.
Kelompok yang memiliki kekuasaan atau otoritas memiiliki kepentingan status quo,
sementara yang tidak memiliki kekuasaan atau otoritas memiliki kepentingan mengubahnya.
Dua kelompok semu ini memiliki potensi antagonistik, di mana anggotanya berbagi
pengalaman-pengalaman, peranan-peranan, dan kepentingan-kepentingan (Vago, 2004: 45).
NILAI DAN NORMA SOSIAL
1. Pengetian Nilai dan Norma Sosial
A. Nilai sosial
Baiklah saya mulai terlebih dahulu dengan definisi nilai. Nilai adalah gambaran mengenai
apa yang diinginkan, yang pantas, yang berharga, yang mempengaruhi perilaku sosial dari
orang yang memiliki nilai itu. Anda mungkin bertanya mengapa sosiologi mempelajari nilai?
Sosiologi tidak akan berbicara tentang nilai itu sendiri atau sosiologi tidak akan
membicarakan mengapa sesuatu itu bernilai dan mengapa yang lain tidak? Apa yang
dibicarakan dalam sosiologi hanyalah melihat sejauhmana suatu nilai tertentu mempengaruhi
perilaku seseorang dan hubungannya dengan orang lain.
Salah satu contoh menarik pengaruh nilai terhadap perilaku manusia adalah studi Max Weber
tentang pengaruh etika Protestan terhadap perilaku ekonomi kapitalis. Etika Protestan
menanamkan nilai-nilai agama yang tentunya sangat berguna bagi keselamatan manusia.
Ajaran agama kemudian menjadi sangat bernilai untuk diri seseorang, sehingga ajaran agama
ini mempengaruhi perilaku. Salah satu ajaran yang penting dalam agama Protestan sekte
Kalvinisme adalah predestinasi. Predestinasi berarti tujuan yang sudah ditentukan terlebih
dahulu. Yang dimaksudkan dengan tujuan di sini adalah kehidupan sesudah mati (Johson,
1994: 55-58). Anda pasti mengetahui bahwa menurut ajaran agama Kristen, sesudah mati
manusia akan hanya masuk salah satu kemungkinan: surga/nirwana atau neraka.
Dari contoh di atas Anda saya kira semakin paham bagaimana sosiologi menjelaskan nilai.
Sosiologi tertatik terhadap nilai dalam hubungannya dengan perilaku manusia. Nah, untuk
memperkaya pengetahuan Anda tentang pengaruh nilai terhadap perilaku menusia ini Anda
dapat mengeksplorasi sendiri dalam dunia kenyataan sehari-hari di masyarakat.
B. Norma sosial
Di dalam kenyataan sehari-hari, kehidupan sosial manusia tidaklah hanya berwujud suatu
jumlah perilaku atau hubungan-hubungan sosial, melainkan juga berwujud suatu sistem
determinan yang disebut dengan sistem norma. Dengan demikian, kehidupan sosial manusia
mempunyai kenyataan ganda. Norma sosial didefinisikan sebagai patokan perilaku dalam
suatu kelompok tertentu. Norma sosial memungkinkan seseorang untuk menentukan terlebih
dahulu bagaimana tindakannya akan dinilai oleh orang lain (Lawang, 1984: 34). Saya
menggunakan contoh di lingkungan kerja Anda. Di sekolah, ada norma sosial yang mengatur
hubungan antara pendidik dengan peserta didik. Pendidik dan peserta didik berada dalam satu
kelompok belajar mengajar (kelas). Peserta didik harus menghormati pendidiknya dan peserta
didik selalu mentaati apa yang diperintahkan oleh pendidiknya. Tentang norma sosial ini
tentu semua dari Anda sudah tahu, namun jarang sekali kita menyadarinya. Kita baru
menyadarinya bila salah satu pihak melakukan pelanggaran yang kemudian tidak
mengenakkan salah satu pihak. Anda mungkin masih belum paham tentang norma-norma
sosial ini. Baiklah saya akan mengajak Anda untuk mengingat kembali apa yang dikatakan
oleh Emile Durkheim sebagai fakta sosial. Norma-norma sosial tidak lain adalah fakta sosial
yaitu cara berpikir, berperasaan dan bertindak yang berada di luar individu, namun memiliki
kekuatan memaksa agar individu mentaatinya. Norma sosial memaksa orang untuk bertindak
sesuai dengan apa yang tercantum dalam norma sosial itu. Apabila terjadi pelanggaran
terhadap norma sosial itu, maka kepada si pelanggar terhadap norma sosial akan dikenakan
sanksi, yaitu hukuman yang diterima seseorang karena pelanggaran itu
Salah satu cara untuk membedakan jenis-jenis norma-norma sosial adalah berat atau
ringanya sanksi. Ada norma sosial yang tidak mengancamkan sanksi fisik, dan ada norma
sosial yang mengancamkan sanksi fisik. Norma-norma sosial dapat dibedakan menjadi apa
yang disebut folkways, mores, dan hukum.
1) Folkways
Apabila kita melihat arti katanya, folkways itu berarti tatacara (ways) yang lazim dikerjakan
atau diikuti oleh rakyat kebanyakan (folk). Dalam referensi sosiologi, folkways dimaksudkan
untuk menyebutkan seluruh norma-norma sosial yang terlahir dari adanya pola-pola perilaku
yang selalu diikuti oleh orang-orang kebanyakan karena dipandang sebagai sesuatu hal yang
lazim. Meskipun folkways semula memang merupakan suatu kebiasaan dan kelaziman
belaka, namun karena dikerjakan secara berulang-ulang, maka berangsur-angsur terasa
kekuatannya sebagai hal yang bersifat standar dan wajib dijalani.
2) Mores
Dibandingkan folkways, mores dianggap lebih esensial bagi terjaminnya kesejahteraan
masyarakat. Oleh karena itu, mores selalu dipertahanakan oleh ancaman ancaman sanksi
yang lebih keras. Pelanggaran terhadap mores selalu disesali dengan sangat dan orang selalu
berusaha dengan keras agar tidak melanggar mores. Persamaan antara mores dengan
folkways terletak pada ketidakjelasan asal-usulnya dan terjadi tidak terencana. Mores adalah
segala norma yang secara moral dipandang benar. Pelanggaran terhadap mores selalu dikutuk
sebagai sesuatu hal secara moral tudak dapat dibenarkan. Mores tidak memerlukan dasar
pembenaran, karena mores sendiri adalah sesuatu yang
sungguh-sungguh telah bernilai benar. Mores tidak bisa diganggu gugat untuk diteliti benar
tidaknya. Mores sering dirumuskan dalam bentuk sebuah larangan keras. Mores yang
dirumuskan dalam bentuk negatif berupa larangan disebut dengan tabu
3) Hukum
Dengan semakin bertambah besar dan kompleksnya masyarakat, pelanggaran terhadap
kaidah-kaidah sosial juga semakin besar dan kompleks, maka lembaga peradilan dipandang
kurang memadai. Masyarakat seperti itu memerlukan oragisasi politik yang menjalankan
fungsi kepolisian. Di samping itu, juga dibutuhkan oragisasi politik yang menjalankan fungsi
secara khusus membuat kaidah-kaidah baru. Dibandingkan dengan mores dan folkways,
hukum tertulis lebih terpikir dan lebih terlafalkan secara tegas. Hukum tertulis betul-betul
merupakan hasil dari sebuat perencanaan dan pikiran yang
sadar. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap norma-norma sosial berarti juga pelanggaran
terhadap nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat itu. Dengan demikian jelas bahwa antara
nilai dan norma saling berkaitan. Apabila nilai merupakan sesuatu yang mempengaruhi
perilaku manusia, maka norma bertujuan untuk mempertahankan dan melindungi nilai yang
dimiliki oleh suatu masyarakat (Horton dan Hunt, 1992: 53-56).
2. Fungsi Nilai dan Norma Sosial
a. Petunjuk arah dalam bersikap dan bertindak Nilai dan norma telah melekat pada diri
individu atau masyarakat sebagai petunjuk perilaku yang diyakini kebenarannya.
b. Pemandu dan pengontrol sikap maupun tindakan Melalui nilai dan norma, individu dapat
mengetahui yang benar dan salah sehingga sikap dan tindakan manusi dapat dikontrol,
apakah telah sesuai atau bahkan menyimpang dari nilai.
c. Pendorong sikap dan tindakan individu Nilai dan norma sosial mampu menuntun individu
untuk bersikap baik karena nilai sosial yang baik memunculkan harapan dalam diri
seseorang.
d. Benteng perlindungan bagi masyarakat Nilai dan norma merupakan pelindung terhadap
perilaku-perilaku yang menyimpang, terutama bagi pihak-pihak yang lemah. Tanpa adanya
nilai dan norma dalam masyarakat, terkadang kepentingan-kepentingan pihak yang lemah
akan dirampas secara paksa oleh pihak-pihak yang kuat.
e. Alat pemersatu anggota masyarakat Nilai dan norma menjadikan eratnya hubungan
diantara anggota-anggota masyarakat. Hal ini berarti bahwa semakin kuat pemahaman
terhadap nilai sosial,
maka akan semakin kuat pula ikatan dalam suatu kelompok.
3. Keteraturan dan tertib sosial
Keteraturan sosial adalah suatu keadaan dimana hubungan-hubungan sosial berlangsung
dengan selaras, serasi dan harmonis sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku. Artinya,
setiap individu maupun kelompok dapat memenuhi kebutuhan masing masing tanpa adanya
pihak yang dirugikan. Terciptanya keteraturan sosial membutuhkan tiga syarat, yaitu
kesadaran warga masyarakat akan pentingnya menciptakan keteraturan, adanya norma sosial
yang sesuai dengan kebutuhan serta peradaban manusia dan adanya aparat penegak hukum
yang konsisten dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya (Leight, 1989: 25).
Bentuk konkrit dari keteraturan sosial adalah keselarasan yang diwujudkan dalam kerjasama
antaranggota masyarakat. Apabila keteraturan sosial dapat tercipta, maka masyarakat akan
mampu menciptakan tertib sosial.
PROSES-PROSES SOSIAL
Proses sosial adalah setiap interaksi sosial yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu
sedemikian rupa sehingga menunjukkan pola-pola pengulangan hubungan perilaku dalam
kehidupan masyarakat. Apabila diperhatikan bahwa proses sosial tidak selalu
menggambarkan hubungan sosial yang bersifat positif (assosiatif), bisa juga bersifat negatif
(dissosiatif).
A. Proses Sosial Assosiatif.
Proses sosial asosiatif terjadi apabila proses sosial yang berlangsung mengarah pada
bentuk kerjasama dan menciptakan kesatuan. Menurut Soerjono Soekanto (1992: 32),
proses sosial yang bersifat asosiatif mempunyai empat bentuk, yaitu: kerjasama
(kooperasi), akomodasi, asimilasi dan amalgamasi.
1) Kerjasama (Koorporasi), Masyarakat yang komunalistik akan mendorong
masyarakatnya untuk lebih mementingkan kerjasama daripada persaingan atau konflik.
Karakteristik masyarakat Indonesia yang komunalistik sebenarnya dibangun atas nilai-
nilai kerjasama (kooperasi). Kerjasama adalah usaha bersama antara orang perorang
atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Kerjasama
dapat terjadi antara orang perorang atau antarkelompok. Kerjasama terjadi digerakkan
oleh adanya tujuan bersama yang ingin dicapai. Pelaksanaan kerjasama juga dibutuhkan
iklim yang menyenangkan. Kerjasama tersebut akan bertambah kuat bila ada bahaya
dari luar yang mengancam. Kerjasama dapat terjadi pada kelompok primer, seperti
keluarga, dan kelompok sekunder seperti organisasi dan perusahaan. Sedangkan
kerjasama yang terjadi pada kelompok sekunder lebih bersifat direncanakan secara
rasional dan sengaja daripada bersifat spontan atau berdasarkan emosi solidaritas. Ada
empat bentuk kerjasama yang selama ini terjadi di masyarakat, yaitu: Bargaining,
Cooptation, Coalition, Joint-ventura.
2) Akomodasi, Akomodasi adalah suatu proses ke arah tercapainya kesepakatan sementara
yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang sedang berbeda paham, berbeda pendapat,
bersengketa atau bertentangan. Akomodasi tidak pernah dapat menyelesaikan sengketa
secara tuntas untuk selamanya. Akomodasi tidak akan menghilangkan perbedaan
paham atau pendapat, namun pihak-pihak yang berbeda paham atau pendapat masih
terus berinteraksi satu dengan lainnya. Dalam proses akomodasi masing-masing pihak
berpegang tuguh pada pendiriannya. Akomodasi hanya dapat meredakan pertentangan
untuk sementara. Akomodasi sebagai upaya untuk meredakan pertentangan mempunyai
beberapa bentuk, antara lain: Coercion, Compromise, Mediation, Arbritase,
Adjudication.
3) Asimilasi. Istilah asimilasi dalam sosiologi dipakai untuk menggambarkan adanya
peleburan atau pembauran kehidupan sosial dan kebudayaan dari dua kelompok. Paul
Horton dan Chester L. Hunt (1991: 54-55), mendefinisikan asimilasi sebagai
pembauran kebudayaan dimana dua kelompok melebur kebudayaan mereka, sehingga
melahirkan satu kebudayaan. Biasanya terjadi terjadi pertukaran unsur-unsur
kebudayaan, namun pada umumnya hal semacam itu hanya terjadi jika suatu kelompok
menyerap kebudayaan kelompok lain.Amalgamasi. amalgamasi mengandung
pengertian pembauran biologis dua kelompok manusia yang masing-masing memiliki
ciri-ciri fisik yang berbeda, sehingga keduanya menjadi satu rumpun. Meskipun ciri-ciri
fisik yang berbeda itu jarang sekali hilang sepenuhnya, namun pembauran semacam itu
telah banyak terjadi, sehingga sulit menemukan adanya suatu kelompok individu yang
besar dan merupakan tipe kelompok ras yang asli.
B. Proses Sosial Disasostif
1) Kompetisi, Persaingan atau kompetisi adalah suatu proses sosial dimana individu atau
kelompok-kelompok manusia yang bersaing, mencari keuntungan dengan cara menarik
perhatian publik atau mempertajam prasangka, tanpa mempergunakan ancaman atau
kekerasan.
2) Konflik atau pertentangan adalah suatu proses sosial yang berlangsung dengan
melibatkan individu-individu atau kelompok-kelompok yang saling menantang dengan
ancaman kekerasan.
3) Kontraversi adalah suatu bentuk proses sosial yang berada diantara persaingan dengan
konflik. Dalam kontraversi yang terpenting adalah menggagalkan pencapaian tujuan
pihak lain, walaupun tanpa ada upaya untuk menghancurkan pihak lain.
SOSIALISASI DAN PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN
A. Proses Sosialisasi
Sosialisasi adalah suatu proses belajar yang seseorang menghayati (internalisasi) norma-
norma sosial dimana ia hidup sehingga menjadi individu yang baik. Sosialisasi adalah
suatu proses mempelajari kebiasaan dan tata kelakukan untuk menjadi bagian dari suatu
masyarakat. Sosialisasi yang sempurna dalam kenyataannya memang tidak selamanya
dapat diwujudkan. Pelanggaran-pelanggaran terhadap norma-norma sosial seringkali
terjadi. Setiap hari kita membaca surat kabar atau menyaksikan di layar televisi tentang
orang ditangkap polisi kemudian diadili di lembaga peradilan. Tindakan-tindakan seperti
itu merupakan upaya masyarakat untuk menjaga ketertiban masyarakat.
Sosialisasi dapat dibedakan menjadi sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder.
Sosialisasi primer dikaitkan dengan pembentukan dasar atau awal kepribadian. Dalam
diri anak, proses ini dimulai dengan mengakumulasi pengetahuan dan keterampilan yang
diperlukan untuk menjadi anggota dalam masyarakat tertentu. Proses ini melibatkan
berbagai aktivitas, seperti bermain, meniru, dan mengamati. Aktor penting atau orang
yang berpengaruh adalah orangtua, teman sebaya, dan saudara kandung. Sementara itu,
sosialisasi sekunder terdiri atas pengalaman-pengalaman yang komplek dan terjadi
sepanjang masa untuk menjadi anggota masyarakat atau kelompok budaya tertentu.
Proses ini menunjuk pada proses yang lebih luas mengenai keterampilan, pengetahuan
dan peran yang dipelajari secara lebih mendalam dalam kehidupan. Sosialisasi sekunder
merupakan proses memahami dan merasakan berbagai budaya yang ditunjukkan dalam
kehidupan secara keseluruhan (Scott, 2011: 259-260).
B. Sosialisasi dan Pembentukan Kepribadian.
Kepribadian individu manusia tidak dibawa sejak lahir, namun dibentuk oleh lingkungan
sosialnya, yaitu keluarga, sekolah, tetangga, kelompok sebaya, dan organisasi. Pengaruh
lingkungan sosial itulah yang membentuk kepribadian seseorang. Warisan biologis hanyalah
menyediakan bahan mentah kepribadian. Persamaan biologis membantu menjelaskan
beberapa persamaan dalam kepribadian. Manusia dilahirkan tidak sebagai organisme yang
tegas dan dengan susunan saraf yang telah sempurna, atau dengan kata lain manusia pada saat
dilahirkan tidak memiliki insting-insting kodrati yang diwarisi secara biologis. Dalam kondisi
demikian dibutuhkan lingkungan sosial yang membentuk atau mempengaruhi kepribadian
manusia. Demikian juga dalam pembentukan kepribadian, manusia sangat tergantung pada
orang lain atau kelompoknya. Kepribadian seseorang tidak bersifat kodrati, melainkan
dibentuk setelah ia dilahirkan ke dunia. Pembentukan kepribadiannya melalui dua proses,
yaitu: pertama, proses sosialisasi tanpa sengaja melalui interaksi sosial, dan kedua, proses
sosialisasi secara sengaja melalui proses pendidikan dan pengajaran.
PENYIMPANGAN SOSIAL DAN PENGENDALIAN SOSIAL
A. Penyimpangan dan Sikap Anti Sosial.
Penyimpangan sosial atau perilaku menyimpang adalah perilaku warga masyarakat yang
dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan, tata aturan, dan norma-norma sosial yang
berlaku. Seseorang berperilaku menyimpang apabila menurut anggapan sebagian besar
masyarakat, perilaku atau tindakannya di luar kebiasaan, adapt istiadat, aturan, nilai-nilai,
atau norma-norma sosial yang berlaku (Narwoko dan Suyanto, 2004: 78).
Apabila dilihat dari jumlah penyimpangan yang dilakukan oleh seseorang, penyimpangan
sosial dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penyimpangan tunggal dan penyimpangan
jamak. Perilaku dikatakan penyimpangan tunggal apabila seseorang hanya melakukan satu
jenis kejahatan, misalnya mabuk mabukan atau mengedarkan narkoba. Sedangkan
penyimpangan jamak terjadi apabila seseorang melanggar sejumlah norma-norma sosial
yang berlaku, misalnya, residivis, selain sebagai perampok juga suka mabuk-mabukan,
dan mengkonsumsi narkoba.
Secara umum dapat dikatakan bahwa yang digolongkan sebagai perilaku menyimpang ada
tiga ketegori (Narwoko dan Suyanto, 2004: 81):
1) Tindakan yang nonconform, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma
sosial yang ada. Misalnya, membolos sekolah, ke sekolah tidak memakai seragam,
merokok di wilayah dilarang merokok.
2) Tindakan yang antisosial atau asosial, yaitu tindakan yang melawan kebiasaan
masyarakat atau kepentingan umum. Misalnya, tidak mau berteman, minum minuman
keras, dan mengkonsumsi obat-obatan terlarang.
3) Tindakan-tindakan kriminal, yaitu tindakan yang melanggar aturan-aturan hukum
tertulis dan mengancam jiwa atau keselamatan orang. Misalnya, pencurian,
perampokan, penganiayaan, dan pembunuhan.
B. Penyebab Penyimpangan Sosial.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan individu atau kelompok melakukan
penyimpangan sosial. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1) Individu biasanya menghayati nilai-nilai dari beberapa orang yang cocok dengan
dirinya. Bilamana sebagian besar teman menyimpang, maka individu tersebut
kemungkinan besar akan menjadi menyimpang.
2) Adaya imitasi atau meniru perilaku orang lain. Peniruan perilaku ini banyak dilakukan
oleh individu yang masih berusia anak-anak.
3) Masyarakat yang memiliki banyak nilai dan norma, dimana diantara satu dengan
lainnya saling bertentangan. Tidak terdapat seperangkat nilai dan norma yang dipatuhi
secara teguh dan diterima secara luas. Kondisi ini terjadi pada masyarakat yang
sedang mengalami perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern.
4) Anggota masyarakat Indonesia yang mempunyai mental mengambil jalan pintas.
Anggota masyarakat yang ingin cepat memperoleh kedudukan atau kekayaan dengan
cara-cara yang melanggangar norma-norma sosial.
5) Adanya pemberian cap atau label oleh masyarakat terhadap individu atau kelompok.
Pemberian cap atau label ini yang menyebabkan individu atau kelompok melakukan
penyimpangan.
6) Penyimpangan sosial terjadi disebabkan karena keterikatan individu terhadap
kelompoknya lemah.
C. Sub Kebudayaan Menyimpang.
Subkebudayaan adalah sekumpulan norma, nilai, kepercayaan, kebiasaan, atau gaya
hidup yang berbeda dari budaya dominan. Asal mula terjadinya subkebudayaan
menyimpang karena ada interaksi diantara sekelompok orang yang mendapatkan cap
atau label menyimpang.
Melalui intensitas interaksi terbentuklah perasaan senasib dalam menghadapi dilema
yang sama. Para anggota subkebudayaan menyimpang biasanya juga mengajarkan
kepada anggota baru tentang berbagai keterampilan untuk melanggar hukum dan
menghindari kejaran aparatus kontrol sosial. Mereka juga mengindoktrinasi suatu
keyakinan yang berebeda dari keyakinan yang dianut mayoritas masyarakat.
D. Teori Penyimpangan Sosial.
1. Teori Anomie.
Salah satu teori yang menjelaskan perilaku menyimpang adalah teori anomie dari
Robert K. Merton (Narwoko dan Suyanto, 2004: 91). Teori ini berasumsi bahwa
penyimpangan sosial adalah akibat dari adanya berbagai ketegangan dalam struktur
sosial sehingga ada individu-individu yang mengalami tekanan dan akhirnya menjadi
menyimpang. Merton menggambarkan munculnya keadaan anomie sebagai berikut:
a. Masyarakat industri modern, lebih mementingkan pencapaian kesuksesan materi
yang diwujudkan dalam bentuk kemakmuran atau kekayaan dan pendidikan yang
tinggi.
b. Apabila hal tersebut dicapai, maka dianggap telah mencapai tujuan-tujuan status
atau budaya yang dicita-citakan oleh masyarakat. Untuk mencapai itu ternyata
harus melalui cara kelembagaan yang sah.
c. Namun akses kelembagaan yang sah jumlahnya tidak dapat dinikmati oleh seluruh
lapisan masyarakat, terutama lapisan bawah.
d. Akibat dari keterbatasan akses tersebut, maka muncul situasi anomie, yaitu suatu
situasi dimana tidak ada titik temu antara tujuan-tujuan status budaya dan cara
yang sah yang tersedia untuk mencapainya.
e. Anomie adalah suatu keadaan dimana kondisi sosial atau situasi kebudayaan
masyarakat lebih menekankan pentingnya tujuan-tujuan status, tetapi cara-cara
yang sah untuk mencapainya jumlahnya lebih sedikit.
2. Teori Labeling.
Teori ini dalam menganalisis pemberian cap memusatkan pada reaksi orang. Artinya,
ada orang-orang yang memberi definisi, julukan, atau pemberi label pada individu-
individu atau tindakan yang menurut penilaian orang itu adalah negatif (Narwoko dan
Suyanto, 2004: 94-95).
3. Teori Sosialisasi.
Teori sosialisasi berpandangan bahwa penyimpangan perilaku adalah hasil dari
proses belajar. Edwin H. Sutherland (dalam Narwoko dan Suyanto, 2004: 92-93)
mengatakan bahwa penyimpangan adalah konsekuensi dari kemahiran dan
penguasaan atas suatu sikap atau tindakan yang dipelajari dari norma-norma yang
menyimpang, terutama dari subkultur menyimpang. Di tingkat kelompok, perilaku
menyimpang adalah suatu konsekuensi dari terjadinya konflik normatif.
E. Pengendalian Sosial.
Pengendalian sosial adalah suatu proses baik yang direncanakan maupun yang tidak
direncanakan, yang bertujuan untuk mengajak, membimbing atau bahkan memaksa
warga masyarakat agar mematuhi norma-norma sosial (Soekanto, 1981: 57). Mengapa
pengendalian sosial perlu dilakukan? Kita ingat kembali materi sosialisasi. Proses
sosialisasi tidak hanya menguntungkan masyarakat karena terciptanya tertib sosial,
tetapi juga menguntungkan individu. Namun tidak selamanya semua anggota
masyarakat mematuhi norma-norma sosial, sebagian anggota masyarakat dalam
keadaan tertentu menganggap mematuhi norma-norma sosial justru tidak
menguntungkan.
1. Bentuk-bentuk Pengendalian Sosial.
Pada dasarnya ada dua bentuk pengendalian sosial, yaitu pengendalian sosial secara
persuasif dan pengendalian sosial secara koersif. Pengendalian sosial secara persuasif
ditekankan pada usaha mengajak atau membimbing anggota masyarakat untuk
mematuhi norma-norma sosial. Pengendalian sosial secara koersif menekankan pada
cara kekerasan atau ancaman dengan mempergunakan atau mengandalkan kekuatan
fisik. Ada bentuk-bentuk pengendalian sosial yang selama ini dilakukan oleh
masyarakat, seperti mempergunjingkan, mengolok-olok, mengucilkan, dan menyakiti.
Ada juga masyarakat yang melakukan pengendalian sosial melalui cara-cara
kekerasan.
Pada dasarnya pengendalian sosial dapat dilakukan, baik secara informal maupun
formal. Pengendalian sosial secara informal dilakukan dengan mendasarkan diri pada
aturan-aturan tidak tertulis dan tidak ada lembaga formal yang diberi tugas untuk
melakukannya, misalnya mempergunjingkan, mengolok-olok, dan mengucilkan.
Pengendalian sosial secara formal dilakukan oleh lembaga resmi, seperti polisi,
kejaksaan, dan pengadilan, dan mendasarkan diri pada aturan-aturan tertulis.
2. Sanksi sebagai sarana pengendalian sosial.
Untuk mencegah anggota masyarakat melakukan penyimpangan sosial dan tetap taat
pada norma-norma sosial, pengendalian sosial dijalankan dengan mengancamkan
sanksi (hukuman) dan pemberian insentif. Insentif dalam konteks ini adalah dorongan
positif yang akan membantu individu-individu untuk meninggalkan perilaku yang
salah. Sedangkan yang dimaksud dengan sanksi adalah suatu bentuk penderitaan
yang secara sengaja dibebankan kepada seseorang atau sekelompok orang yang
terbukti melanggar atau menyimpang dari norma-norma sosial. Dalam kehidupan
sehari-hari ada tiga jenis sanksi yang digunakan untuk melaksanakan pengendalian
sosial, yaitu:
1. Sanksi yang bersifat fisik;
2. Sanksi yang bersifat psikologik; dan
3. Sanksi yang bersifat ekonomik.
PENELITIAN SOSIAL
1. JENIS PENELITIAN.
Metode penelitian merupakan cara atau teknik yang digunakan dalam proses kegiatan
penelitian. Pada hakikatnya setiap kegiatan penelitian bertujuan untuk menemukan solusi
terhadap sebuah permasalahan sosial. Oleh karena itu, metode penelitian merupakan strategi
untuk memecahkan sebuah permasalahan sosial. Pada dasarnya metode penelitian mengikuti
prosedur tertentu dan dirumuskan dengan baik. Menurut tujuannya, metode penelitian dapat
berupa metode penelitian murni, metode penelitian terapan atau penelitian pengembangan.
Penelitian murni atau dasar terutama dilakukan untuk pengujian atau untuk sampai pada
suatu teori. Tujuan utamanya adalah untuk menetapkan prinsip-prinsip umum dan bukan
untuk menerapkan hasil-hasil temuannya.
a. Penelitian Eksploratif.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian yang paling sederhana. Penelitian jenis ini sering
pula disebut penelitian penjajagan atau penelitian formulatif atau penelitian dasar. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengenal dan memperoleh sebuah gambaran tentang suatu
fenomena sosial. Penelitian eksploratif dapat dilakukan dengan cara:Studi Pustaka, Survey,
Studi Kasus.
b. Penelitian Deskriptif.
Penelitian deskriptif di definisikan sebagai penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan
sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa
sebab-sebab dari suatu gejala tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran
secara komprehensif tentang suatu fenomena sosial. Penelitian ini tidak hanya sekedar
memberikan gambaran terhadap suatu fenomena sosial, namun juga menerangkan hubungan,
menguji hipotesis, membuat prediksi serta mendapatkan makna dan implikasi dari suatu
masalah yang dipecahkan. Setiap penelitian pasti memerlukan data atau informasi dalam
rangka untuk memecahkan sebuah masalah. Data atau informasi yang diperlukan dalam
penelitian
yang bersifat deskriptif ini dapat diperoleh beberapa cara, antara lain:Interview, Observasi
c. Penelitian Eksplanatif.
Penelitian jenis ini bertujuan untuk menguji hipotesis yang menyatakan hubungan sebab
akibat antara dua variabel atau lebih. Penelitian yang juga disebut penelitian penjelasan ini,
hubungan sebab akibat yang terjadi antar variabel harus tampak nyata. Penelitian eksplanatori
dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai rancangan, antara lain: Rancangan
praeksperimen, Rancangan eksperimen, Rancangan eksperimen kuasi.
2. METODE PENELITIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF.
a. Metode kualitatif.
Mencoba mencari dan menggali fenomena sosial yang kemudian menghasilkan data yang
berupa kata-kata atau kalimat-kalimat. Metode ini berusaha memahami apa yang dikatakan
atau dilakukan individu atau kelompok serta makna subjektif dari tindakan yang
dilakukannya tersebut. Peneliti kualitatif harus terjun sepenuhnya serta beradaptasi dengan
subjek penelitian agar pemahaman terhadap perilaku subjek dapat diperoleh secara
komprehensif. Dikatakan subjek karena individu yang sedang diteliti adalah orang yang
pandai atau ahli terhadap permasalahan yang sedag diteliti.
b. Metode kuantitatif.
Metode penelitian yang menggali fenomena sosial yang kemudian menghasilkan data yang
berupa angka. Metode ini dianggap lebih kredibel dan valid karena menggunakan instrumen
baku berupa kuesioner yang sudah terukur. Apabila informasi atau data yang diperoleh
ternyata dangkal, maka peneliti dapat melakukan kreativitas berupa wawancara di luar
kuesioner yang telah dirancang sebelumnya. Individu dianggap sebagai objek yang
memberikan respon terhadap perlakuan yang diberikan peneliti (responden).
3. RUMUSAN MASALAH DALAM PENELITIAN SOSIOLOGI.
Penelitian adalah suatu kegiatan yang dinamis yang ditandai dengan adanya permasalahan.
Seorang peneliti tidak selalu dapat merumuskan masalah penelitian dengan baik, sederhana,
jelas dan lengkap. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, peneliti banyak yang mengalami
kebingungan untuk menentukan masalah penelitian, bahkan gagasan yang dimiliki peneliti
masih bersifat umum bahkan membingungkan. Permasalahan muncul karena adanya
kesenjangan (disparitas) antara das sein (kenyataan) dan das solen (harapan). Masalah yang
dikategorikan sebagai masalah sosial adalah masalah yang research question atau research
problem (theoretical problem), yaitu masalah yang dapat dipecahkan atau dikaitkan melalui
landasan teori atau kajian pustaka. Hal ini mengandung pengertian bahwa masalah sosial
adalah masalah yang berimplikasi teori dan harus dipecahkan melalui penelitian secara
empiris. Ciri-ciri masalah yang baik, antara lain:
- Mempunyai nilai ilmiah penelitias
- Fisibilitas, artinya bahwa masalah tersebut harus dapat dipecahkan
- Sesuai dengan kualifikasi peneliti
Latar belakang masalah disusun dengan tujuan untuk meyakinkan pembaca bahwa
penelitian yang kita lakukan penting dan menarik. Adapun langkah-langkah untuk
menyusun latar belakang masalah:
a. Adanya rasionalisasi empirik terhadap masalah yang diteliti (fenomena empirik sesuai
dengan permasalahan yang sedang diteliti).
b. Adanya rasionalisasi teoritik (mengapa masalah tersebut menarik untuk diteliti).
c. Data-data statistik d. Riview terhadap karya-karya penelitian sebelumnya sehingga
dapat menunjukkan posisi peneliti (state of the art).
4. MERUMUSKAN MASALAH PENELITIAN SOSIAL KUANTITATIF.
Adapun jenis-jenis rumusan masalah penelitian sosial kuantitatif:
a. Rumusan Masalah Deskriptif (Penelitian Deskriptif).
1) Berkenaan dengan pertanyaan terhadap keberadaan variabel mandiri (satu variable atau
lebih)
2) Peneliti tidak membuat perbandingan variabel itu pada sampel lain dan tidak mencari
hubungan variabel tertentu dengan variabel yang lain.
b. Rumusan Masalah Komparatif.
Membandingkan keberadaan satu variabel atau lebih pada dua atau lebih sampel yang
berbeda atau waktu yang berbeda.
c. Rumusan Masalah Assosiatif (Hubungan Simetris)
1) Hubungan antara dua variabel atau lebih yang munculnya bersamaan
2) Variabel yang satu tidak disebabkan atau dipengaruhi variabel lain
d. Rumusan Masalah Assosiatif (Hubungan Kausal)
Hubungan yang bersifat sebab akibat (variabel independen & dependen)
e. Rumusan Masalah Assosiatif (Hubungan Interaktif/Timbal Balik)
Hubungan yang saling mempengaruhi, namun tidak diketahui mana variabel
independen dan dependen
5. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN SOSIAL.
Tujuan dan manfaat penelitian juga harus dicantumkan dalam setiap penulisan usulan
penelitian maupun laporan penelitian. Tujuan penelitian merupakan jawaban dari rumusan
masalah atau fokus penelitian.
Sedangkan manfaat penelitian berisi tentang kontribusi penelitian tersebut
terhadap pengembangn ilmu.
6. KEDUDUKAN TEORI DALAM PENELITIAN SOSIAL.
Menurut Kerlinger (1979: 35), teori merupapakn seperangkat konstruk (variabel variabel),
definisi-definisi, dan proposisi-proposisi yang saling berhubungan yang mencerminkan
pandangan sistematik atau suatu fenomena dengan cara memerinci hubungan antarvariabel
yang ditujukan untuk menjelaskan fenomena alamiah. Sugiyono (2010: 42)
menyimpulkan bahwa teori adalah suatu konseptualisasi yang umum. Konseptualisasi
atau sistem pengertian ini diperoleh melalui jalan yang sistematis. Suatu teori harus dapat
diuji kebenarannya.
Menurut Hoy dan Miskel (dalam Sugiyono, 2010: 43), teori mempunyai fungsi untuk
mengungkapkan, menjelaskan dan memprediksi perilaku yang memiliki keteraturan, juga
sebagai stimulan dan panduang untuk mengembangkan pengetahuan. Cooper dan
Schindler (dalam Sugiyono, 2010: 44) mengidentifikasi beberapa fungsi teori dalam
penelitian:
a. Sebuah teori mempersempit rentang fakta yang perlu kita pelajari
b. Teori menyarankan pendekatan penelitian mana yang cenderung menghasilkan makna
terbesar
c. Teori menyarankan sebuah sistem untuk penelitian memaksakan data untuk
mengklasifikasikannya di dalamnya.
d. Teori meringkas apa yang diketahui tentang objek studi dan menyatakan
keseragamannya yang berada di luar pengamatan langsung
e. Teori dapat digunakan untuk memprediksi fakta lebih lanjut yang harus ditemukan
7. HIPOTESIS PENELITIAN SOSIAL.
a. Definisi Hipotesis.
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian yang
kebenarannya harus diuji secara empiris. Hipotesis juga diartikan sebagai pernyataan yang
diterima secara sementara sebagai suatu kebenaran sebagaimana adanya, pada saat
fenomena tersebut diketahui dan merupakan dasar kerja serta penduan dalam verifikasi.
Hipotesis selalu mengambil bentuk kalimat pernyataan dan menghubungkan variabel yang
satu dengan variabel yang lain. Ada dua kriteria tentang hipotesis dan pernyataan hipotesis
yang baik. Pertama, hipotesis haruslah merupakan pernyataan hubungan antar variabel.
Variabel yang ada harus dapat diukur atau berkemungkinan untuk dapat diukur. Kedua,
hipotesis mengandung implikasi-implikasi yang jelas untuk pengujian hubungan-
hubungan yang dinyatakan tersebut.
Peranan hipotesis dalam suatu penelitian dapat diperinci sebagai berikut:
a. Memberikan batasan serta memperkecil jangkauan penelitian dan kerja penelitian.
b. Menyiagakan peneliti kepada kondisi fenomena dan hubungan antar fenomena yang
terkadang hilang begitu saja dari perhatian peneliti.
c. Sebagai alat yang sederhana dalam menfokuskan fenomena yang bercerai-berai tanpa
koordinasi ke dalam suatu kesatuan penting dan menyeluruh.
d. Sebagai panduan dalam pengujian serta penyesuai dengan fenomena dan antar
fenomena.
Hipotesis dapat diperoleh dari tiga sumber yang mempunyai hubungan dengan jenis atau
sifat penelitia:
1) Observasi , Hipotesis dari observasi bersifat sementara dan merupakan hipotesis yang
paling lemah. Hipotesis ini biasa digunakan dalam penelitian jenis deskriptif yang
bertujuan memperoleh hipotesis-hipotesis yang lebih tegas.
2) Penelitian sebelumnya, Hipotesis dari penelitian sebelumnya mempunyai sifat lebih
kuat dan bertujuan menguji kebenaran hipotesis yang sudah diuji peneliti lain.
Apabila terbukti benar, maka hasilnya akan memperkuat kebenaran hipotesis itu dan
dapat membantu menuju ke rumusan suatu teori baru.
3) Teori-teori yang sudah ada, Hipotesis dari teori yang sudah ada merupakan hipotesis
yang terkuat, artinya sudah meninggalkan penelitian yang bersifat eksploratif dan
deskriptif dan menuju ke penelitian yang bersifat menerangkan. Hipotesis ini
berdasarkan teori yang sudah ada, sudah terbatas pada variabel-variabel yang dapat
digunakan dan terbatas pula hubungan yang dapat diuji
b. Bentuk-bentuk hipotesis.
Hipotesis yang biasa digunakan dalam penelitian, antara lain:
1) Hipotesis Nol (Ho)
Hipotesis ini mempunyai bentuk dasar yang menyatakan tidak ada hubungan antara
variabel X dan variabel Y yang akan diteliti atau variabel X (variabel independen) dan
variabel Y (variabel dependen). Hipotesis nol dibuat dengan kemungkinan yang besar
untuk ditolak. Hal ini berarti apabila terbukti bahwa hipotesis nol tidak benar dalam
artian ditolak, maka disimpulkan “bahwa ada hubungan antara variabel X dan variabel
Y”.
2) Hipotesis Alternatif (Ha)
Hipotesis alternatif dapat langsung dirumuskan apabila ternyata pada suatu penelitian,
hipotesis nol ditolak. Hipotesis ini menyatakan hubungan antara variabel X (variabel
independen) dan variabel Y (variabel dependen). Karena sifatnya yang berlawanan
dengan hipotesis nol, maka ada kecenderungan menerima kebenaran.
3) Hipotesis Kerja (Hk)
Hipotesis kerja adalah hipotesis spesifik yang dibangun berdasarkan
permasalahanpermasalahan khusus yang akan diuji. Hipotesis ini digunakan untuk
mempertegas hipotesis Ho atau Ha dalam pernyataan yang lebih spesifik pada indikator
tertentu dari variabel yang dihipotesiskan.
Hipotesis Ho dan Ha sama dengan hipotesis mayor, sedangkan hipotesis Hk sama
dengan hipotesis minor. Hipotesis mayor adalah hipotesis induk yang menjadi sumber
dari hipotesis-hipotesis yang lebih spesifik (hipotesis minor). Pada penelitian ilmu
sosial, perumusan hipotesis mayor adalah pekerjaan yang sulit dalam tahap
perencanaan, namun apabila hipotesis mayor dapat terjawab, maka penelitian dianggap
berhasil.
c. Pengujian hipotesis
Pengujian hipotesis pada penelitian kualitatif lebih banyak menggunakan pengujian
logika subjektif karena kesukaran memperoleh alat ukur. Sebaliknya, pada penelitian
kuantitatif, pengujian hipotesis menggunakan alat ukur karena pada metode penelitian
ini cenderung menggunakan pengukuran statistik. Peneliti kualitatif akan menguji
hipotesis didasarkan pada kualitas data yang dikumpulkan dari lapangan. Karena
pengujiannya bersifat subjektif, maka peneliti sulit mendapatkan suatu kejelasan
sampai sejauh mana hipotesis tersebut diterima atau ditolak. Oleh karena itu, eksistensi
hipotesis pada penelitian kualitatif merupakan suatu hipotesis “relatif”, yaitu hipotesis
yang hanya bermanfaat dalam hal pengumpulan data saja, bukan sebagai hipotesis yang
diuji dalam penelitian.
8. VARIABEL PENELITIAN SOSIAL.
Variabel adalah konsep yang memiliki variasi nilai. Variabel berasal dari bahasa Inggris,
yakni variable yang berarti faktor yang tidak tetap atau berubah-ubah atau lebih tepatnya
bervariasi. Variabel berarti fenomena yang bervariasi, baik dari bentuk, kualitas, kuantitas
dan mutu standar. Karena fenomena atau realitas sosial merupakan variabel, maka dalam
penelitian sosial juga memperhitungkan kualitas variabelnya. Dari kualitas variabel akan
diketahui apakah fenomena tersebut tingkat variasinya tinggi ataukah rendah. Variabel
mempunyai hubungan yang erat dengan teori.
Adapaun jenis-jenis variabel adalah: Variabel kontinu, Variabel descrete, Variabel
dependen (terikat) dan variabel independen (bebas), Variabel moderator dan variabel
random, Variabel aktif, Variabel atribut
9. TEKNIK PENGUMPULAN DATA DALAM PENELITIAN SOSIAL.
a. Observasi.
Istilah observasi berasal dari bahasa Latin yang berarti “melihat” dan “memperhatikan”.
Istilah observasi (Rahayu dan Ardani: 2004: 1-2) diarahkan kepada kegiatan
memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul dan
mempertimbangkan hubungan antaraspek dalam fenomena tersebut. Observasi berarti
pengamatan yang bertujuan untuk mendapatkan data tentang suatu masalah sehingga
diperoleh pemahaman atau sebagai alat pembuktian (re-checking) terhadap informasi
yang diperoleh sebelumnya.
b. Wawancara.
Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang
dikerjakan secara sistematis dan berlandaskan kepada tujuan penelitian (Hadi, 1993:
30). Yang dimaksud dengan sepihak adalah menerangkan perbedaan tingkat
kepentingan antara kedua belah pihak. Dalam hal ini antara peneliti dengan subjek
penelitian. Wawancara adalah perbincangan yang menjadi sarana untuk mendapatkan
informasi tentang orang lain dengan tujuan penjelasan atau pemahaman tentang orang
tersebut dalam hal tertentu. Hasil wawancara merupakan suatu laporan subjektif tentang
sikap subjek terhadap lingkungannya dan terhadap dirinya.
10. TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL DALAM PENELITIAN SOSIAL.
Penelitian survei dilatarbelakangi oleh pemikiran Wallace bahwa penelitian
merupakan usaha sistematis yang bertujuan untuk mengungkap suatu fenomena atau
realitas sosial dengan mentransformasikan lima komponen informasi ilmiah, antara
lain: teori, hipotesis, observasi, generalisasi empiris dan penerimaan atau penolakan
hipotesis. Selain itu juga didukung oleh enam kontrol metodologis, yaitu: deduksi
logika; interpretasi, penyusunan instrumen, penyusunan skala dan penentuan sampel;
pengukuran penyederhanaan data dan pekiraan parameter; pengujian hipotesis,
inferensi logika; formulasi konsep, proposisi dan penataan proposisi.
11. POPULASI DAN SAMPEL.
Nawawi (1985:141) menyebutkan populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin,
baik hasil menghitung ataupun pengukuran kuantitatif maupun kualitatif daripada
karakteristik tertentu mengenai sekumpulan objek yang lengkap. Riduwan dan Tita
Lestari (1997:3) mengungkapakan bahwa populasi adalah keseluruhan dari
karakteristik atau unit hasil pengukuran yang menjadi objek penelitian. Suharsimi
Arikunto (1998: 117) mendefinisikan sampel sebagai bagian dari populasi (sebagian
atau wakil populasi yang diteliti). Sugiyono (1997: 57) memberikan pengertian sampel
sebagai sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Berbagai
definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa sampel adalah bagian dari populasi yang
mempunyai ciri-ciri atau keadaan tertentu yang akan diteliti.
12. TEKNIK ANALISIS DATA DALAM PENELITIAN SOSIAL.
Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah
untuk dibaca dan diinterpretasikan. Proses analisis data seringkali menggunakan
statistik seperti yang dilakukan peneliti kuantitatif. Analisis data kuantitatif dengan
menggunakan tabel frekuensi dan tabel frekuensi silang.
MASYARAKAT MULTIKULTURAL DAN STRATIFIKASI SOSIAL
1. ISTILAH MASYARAKAT MULTIKULTURAL.
Istilah masyarakat majemuk pertama kali dikemukakan oleh J.S. Furnivall untuk
menggambarkan masyakarat Indonesia pada masa Hindia-Belanda. Menurut Furnivall,
masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen
yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan
politik. Indonesia sebagai masyarakat majemuk, Furnivall sebut sebagai suatu tipe
masyarakat daerah tropis dimana mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai
memiliki perbedaan ras. Orang-orang Belanda yang minoritas adalah penguasa bagi
sebagian besar orang Indonesia pribumi yang menjadi warga negara kelas tiga di negeri
sendiri. Orang-orang dari golongan Timur Asing (Tionghoa, India, dan Arab) menduduki
golongan menengah (Nasikun, 1987:12).
“Multikulturalisme” pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat
diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan
terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan
masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang
kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik (Azra, 2007: 30).
2. INTEGRASI SOSIAL.
Integrasi berasal dari bahasa Inggris "integration", yang berarti kesempurnaan atau
keseluruhan. Integrasi sosial dimaknai sebagai proses penyesuaian diantara unsur-unsur
yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan
masyarakat yang memilki keserasian fungsi. Definisi lain mengenai integrasi adalah suatu
keadaan dimana kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap komformitas
terhadap kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih tetap mempertahankan
kebudayaan mereka masing-masing. Integrasi memiliki dua pengertian, pertama,
bermakna pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem
sosial tertentu. Kedua, disebut integrasi sosial adalah jika yang dikendalikan, disatukan,
atau dikaitkan satu sama lain itu adalah unsur-unsur sosial atau kemasyarakatan.
3. STRATIFIKASI SOSIAL.
a. Struktur Sosial.
Secara umum struktur sosial dapat didefinisikan sebagai cara suatu masyarakat
terorganisasi ke dalam hubungan-hubungan yang dapat diprediksi melalui pola
perilaku yang berulang antar-individu dan antar-kelompok dalam masyarakat tersebut.
Struktur sosial juga dapat didefinisikan sebagai susuan status dan peran yang terdapat
dalam satuan sosial ditambah nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur interaksi
antar-status dan peran tersebut.
b. Definisi Stratifikasi Sosial.
Stratifikasi sosial adalah pengelompokkan masyarakat ke dalam strata-strata atau
lapisan-lapisan secara hirarkhis dalam satu sistem sosial berdasarkan dimensi
kekuasaan, prestis, dan previles. Terdapat beberapa konsep dalam definisi di atas yang
masih membutuhkan penjelasan. Anggota masyarakat berdasarkan status atau
kedudukan yang tidak sederajat dalam masyarakat dikelompokkan ke dalam strata-
strata atau lapisan-lapisan secara hirarkhis.
c. Determinan Stratifikasi Sosial.
Secara umum dapat dikatakan bahwa yang menjadi determinan stratifikasi sosial
bukanlah tunggal, malainkan beragam. Menurut Lawang (1984: 50), sekurang-
kurangnya ada lima faktor yang menjadi penyebab masyarakat terstratifikasi ke dalam
lapisanlapisan atau strata-strata, yaitu faktor ekonomi, pendidikan, suku bangsa, seks,
dan usia. Lima faktor tersebut dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Namun, yang
harus disadari bahwa lima faktor itu, signifikansi atau kadar pengaruhnya dalam
pembentukan stratifikasi sosial, baik sebagai proses maupun hasil tidak sama kuat dan
berbeda-beda sangat tergantung pada tahap perkembangan masyarakat dan konteks
sosialnya.
4. PERSFEKTIF TEORI STRATIFIKASI SOSIAL.
a. Perspektif fungsionalisme.
Kaum fungsionalis beranggapan bahwa bagian-bagian dari masyarakat merupakan
bentuk yang secara keseluruhan terintegrasi dan mereka menjelaskan sistem stratifikasi
sosial diintegrasikan dengan bagian-bagian lain masyarakat. Menurut perspektif ini,
mempertahankan derajat keteraturan dan stabilitas tertentu merupakan hal yang
esensial bagi bekerjanya sistem sosial. Perspektif ini menjelaskan bagaimana sistem
stratifikasi membantu mempertahankan keteraturan dan stabilitas dalam masyarakat.
b. Perspektif teori Davis dan Moore.
Menurut Davis dan Moore, kesenjangan sosial merupakan keadaan yang tumbuh tanpa
disadari, yang diamanfaatkan oleh masyarakat untuk lebih memberikan jaminan bagi
terisinya jabatan-jabatan penting oleh orang-orang yang paling cakap. Oleh karena itu,
setiap masyarakat harus membedakan orang dari segi prestise dan penghargaan.
c. Perspektif Weberian.
Max Weber percaya bahwa stratifikasi sosial merupakan hasil dari memperebutkan
sumber-sumber langka di masyarakat. Walaupun ia melihat bahwa perjuangan ini
berkaitan dengan sumber-sumber ekonomi, dapat juga meliputi perjuangan untuk
kekuasaan politik dan prestise. Weber, seperti Karl Marx, juga melihat kelas dalam
terminologi ekonomi. Weber berpendapat bahwa kelas berkembang dalam ekonomi
pasar di mana individu-individu bersaing untuk memperoleh ekonomi. Weber
mendefinisikan kelas sebagai sebuah kelompok individu yang memiliki posisi yang
sama dalam sebuah ekonomi pasar, dan berdasarkan atas fakta itu menerima reward
yang sama.
d. Perspektif Konflik.
Dalam perkembangan masyarakat selanjutnya, kita akan mengenal kelas-kelas yang
saling bertentangan. Hal ini disebabkan karena kepentingan mereka selalu tidak dapat
diketemukan. Dalam terminologi marxis kelas dibedakan menjadi dua macam bentuk
dan sifatnya yaitu kelas-kelas fundamental dan kelas-kelas nonfundamental. Kelas-
kelas fundamental adalah kelas-kelas yang keberadaannya ditentukan oleh corak
produksi (mode of production) yang mendominasi dalam formasi sosial ekonomi
tertentu. Setiap formasi sosial ekonomi yang antagonistis memilki dua kelas
fundamental. Kelas-kelas ini bisa berupa pemilik budak dan budak, tuan feudal dan
hambanya, ataupaun borjuasi dan proletar. Kontradiksi-kontradiksi antagonistis
diantara kelas-kelas tersebut berubah oleh penggantian sistem yang berlaku dengan
sebuah sistem baru yang progresif.
5. KELOMPOK-KELOMPOK SOSIAL.
Sosiolog Jerman bernama Ferdinand Tonnies membedakan kelompok sosial menjadi
gemeinschaft (paguyuban) dan gesselschaft (patembayan). Paguyuban adalah bentuk
kehidupan bersama yang anggotanya diikat oleh suatu hungan batin yang murni dan
alamiah serta bersifat kekal. Kehidupan bersama dalam paguyuban memiliki ciri-ciri,
hubungan sosial bersifat menyeluruh dan harmonis, bersifat pribadi, serta berlangsung
untuk kalangan sendiri, bukan untuk orang dari luar (eksklusif). Sedangkan
pembedaan kelompok sosial ke dalam membership group dan reference group
dilakukan oleh Robert K. Merton. Membership group merupakan kelompok dimana
setiap orang secara fisik menjadi anggota kelompok. Reference group adalah
kelompok sosial yang menjadi acuan bagi seseorang (bukan anggota kelompok) untuk
membentuk pribadi dan perilakunya. Seseorang yang bukan anggota kelompok sosial
itu
mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok tersebut.
6. KONFLIK SOSIAL.
Secara sosiologis, yang dimaksud dengan konflik sosial adalan proses sosial yang
berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok yang saling menantang
dengan ancaman kekerasan. Bahkan yang ekstrem, tidak hanya sekedar
mempertahankan hidup atau eksistensi, namun juga bertujuan untuk membinasakan
eksistensi individu atau kelompok yang dianggap menjadi lawan. Ada beberapa faktor
yang menyebabkan konflik sosial, antara lain perbedaan kepentingan, perbedaan
kebudayaan, perbedaan pendapat, perberdaan aliran atau ideologi, dan perubahan nilai
yang berlangsung cepat. Menurut Samuel P. Huntington, konflik di masa depan tidak
lagi disebabkan oleh faktor ekonomi, ideologi, dan politik, melainkan disebabkan oleh
faktor SARA. Konflik SARA menjadi gejala yang semakin kuat seiring dengan
runtuhnya polarisasi ideologi dunia ke dalam komunisme dan liberalisme.
PERUBAHAN SOSIAL
I. TEORI-TEORI PERUBAHAN SOSIAL.
a. Teori-teori Sosiohistoris.
Teori ini dimulai dari pertanyaan kemanakah arah perkembangan manusia? Cara yang lebih
umum dalam menerangkan arah perubahan manusia dalah dengan membayangkan sebagai
siklus. Salah satu teoritisi yang menjelaskan perubahan manusia secara siklus adalah Ibnu
Khaldun. Menurut Khaldun, sejarah adalah sebuah lingkaran tanpa ujung dari pertumbuhan
dan kehancuran. Khaldun melukiskan sejarah alamiah kekaisaran yang dibangun menurut
tiga generasi. Generasi pertama, termasuk orang yang mengembara untuk menaklukkan.
Sekali menetap di kota, mereka mempertahankan kekuatan dan solidaritas kehidupan padang
pasir mereka. Generasi kedua, telah terpengaruh kehidupan menetap. Generasi ini ditandai
oleh kemewahan dan kemegahan yang menggantikan solidaritas dan kehidupan keras.
Generasi ketiga, kualitas kehidupan padang pasir telah dilupakan. Di masa ini kehidupan
menetap telah mengambil korbannya, yaitu keuzuran kekaisaran mulai kelihatan, dan
generasi keempat mulai menghadapi kehancuran.
Seperti Khaldun, Arnold Toynbee (1889-1975) menjelaskan perubahan sosial seperti proses
kelahiran, pertumbuhan, kemandekan, dan kehancuran. Toynbee lebih menekankan pada
masyarakat atau peradaban sebagai unit analisisnya daripada bangsa atau periode waktu.
Menurut Toynbee, ada 21 perdaban di dunia, misalnya, Mesir Kuno, India, Sumeria,
Babilonia, dan peradaban Barat atau Kristen. Menurut Toynbee, perubahan sosial adalah
suatu lingkaran perubahan berkepanjangan dari peradaban: lahir, tumbuh, pecah, dan hancur.
Teoritisi lain yang menjelaskan perubahan sosial adalah Auguste Comte (1798-1857),
pendiri sosiologi, orang yang pertama kali menciptakan nama sosiologi. Menurut Comte,
salah satu kajian sosiologi adalah aspek dinamis dari masyarakat, yaitu studi tentang urutan
perkembangan manusia, dan setiap tahap dalam urutan itu adalah akibat penting dari tahap
sebelumnya. Comte menemukan tiga tingkat perkembangan masyarakat, yang sejalan dengan
tingkat perkembangan pemikiran manusia. Comte menyebut tiga tingkat perkembangan
masyarakat sebagai hukum fundamental perkembangan pemikiran manusia, yang dilewati
secara berurutan. Tiga tahap
perkembangan masyarakat itu adalah tahap teologis atau khayalan, tahap metafisik atau
abstrak, dan tahap ilmiah atau positif.
b. Teori fungsionalisme struktural.
Teori Fungsionalisme Struktural dikenal sebagai teori konsensus, karena teori memfokuskan
pada aspek fungsi, keteraturan, dan keseimbangan (Kanto, 2006: 54). Teoritisi yang
menjelaskan perubahan sosial dalam perspektif teori ini adalah Talcott Pansons, Robert K.
Merton, dan Jeffry Alexander. Menurut Vago, (2004: 66), secara umum pendekatan
fungsionalisme struktural mengembangkan asumsi-asumsi dasar sebagai berikut:
1. Masyarakat harus dianalisis secara holistik sebagai sistem terdiri dari bagian-bagian yang
saling berhubungan;
2. Hubungan sebab dan akibat bersifat multiple dan resiprokal;
3. Sistem sosial adalah dalam kondisi keseimbangan dinamis (homeostatis) seperti
penyesuaian diri terhadap kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi sistem dibuat dengan
perubahan minimum dalam sistem;
4. Integrasi sempurna tidak pernah dicapai, sehingga setiap sistem sosial mempunyai
ketegangan dan penyimpangan, tetapi kemudian cenderung menjadi stabil melalui
institusionalisasi;
5. Perubahan secara fundamental berjalan lambat, proses adaptif, daripada pergeseran
revolusioner;
6. Perubahan adalah konsekuensi dari penyesuaian diri terhadap perubahan dari luar sistem,
tumbuh melalui diferensiasi dan inovasi internal; dan
7. Sistem terintegrasi melalui pembentukan nilai.
c. Teori Psikologi Sosial.
Dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, tema Weber adalah bahwa
perkembangan kapitalisme modern disebabkan pernyataan psikologis khusus yang terjadi
setelah abad ke-16 di Eropa Barat, didorong oleh penyebaran etika Protestan. Weber menaruh
perhatian terhadap spirit kapitalisme, dengan menyatakan bahwa perkembangan spirit
kapitalisme dipahami sebagai bagian dari perkembangan rasionalisme sebagai keseluruhan,
dan dapat diturunkan dari posisi fundamental rasionalisme pada problem dasar kehidupan.
Spirit kapitalisme merupakan karakteristik situasi di mana orang diasyikkan oleh gagasan
mencari uang, dan pengambilalihan barang-barang menjadi tujuan penting dalam kehidupan.
Kemalasan, boros, dan menikmatik kehidupan terus menerus tidak diperbolehkan.
Hagen menyatakan bahwa perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern tidak
akan terjadi tanpa perubahan dalam kepribadian. Hagen mengembangkan gagasannya dalam
sebuah kerangka tentang pertentangan antara masyarakat tradisional dan masyarakat modern,
memposisikan setiap masyarakat adalah produk dari tipe perbedaan kepribadian. Dalam
pandangan Hagen, masyarakat tradisional dicirikan oleh tingkat status tertentu dan
kepribadian dalam kelompok sosial adalah otoritarian, tidak kreatif, dan tidak inovatif.
Anggota masyarakat tradisional adalah tidak kreatif sebab melihat dunia sebagai tempat yang
sederajat daripada sebagai orang yang menganalisis dan mengendalikan. Proses-proses
ketidaksadaran orang adalah tidak memiliki akses dan tidak kreatif.
2. BENTUK PERUBAHAN SOSIAL.
Soerjono Soekanto (1994: 85-87), mengidentifikasi bentuk-bentuk perubahan sosial dan
kebudayaan. Bentuk-bentuk perubahan sosial dan kebudayaan tersebut adalah:
a. Perubahan Lambat dan Perubahan Cepat.
Perubahan lambat juga disebut dengan evolusi, yaitu perubahan yang terjadi dengan
sendirinya tanpa rencana, memerlukan waktu lama dan biasanya diikuti dengan rentetan
perubahan-perubahan kecil. Masyarakat mengalami perubahan melalui tahapan-tahapan
mulai dari kondisi masyarakat yang sederhana (primitif) menuju masyarakat yang lebih
kompleks (modern).
Perubahan cepat biasanya disebut sebagai revolusi, yaitu perubahan yang menyentuh dasar-
dasar atau sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat, berlangsung dalam waktu yang cepat,
dan dapat direncanakan terlebih dahulu atau tidak direncanakan. Ukuran kecepatan
perubahan bersifat relatif, karena revolusi dapat memakan waktu lama. Revolusi industri di
Inggris, misalnya, terjadi sekitar satu abad. Dikatakan sebagai revolusi karena perubahan satu
abad tersebut mampu mengubah sendi-sendi kehidupan masyarakat Inggris dari masyarakat
agraris menjadi masyarakat industri, dari masyarakat feodalistik menjadi masyarakat modern
yang demokratis..
b. Perubahan kecil dan perubahan besar.
Antara perubahan kecil dan perubahan besar bersifat relatif. Karena itu, sulit untuk
menentukan batas-batas pembeda antara keduanya. Namun, sebagai pegangan dapat
dikemukakan bahwa suatu perubahan dikatakan kecil apabila perubahan-perubahan yang
terjadi menyangkut unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau
berarti bagi masyarakat. Misalnya, perubahan mode rambut, mode pakaian, pola makan, hobi,
dan sebagainya. Sebaliknya, suatu perubahan dikatakan besar apabila perubahan yang terjadi
membawa pengaruh besar bagi masyarakat. Misalnya, masyarakat agraris yang sedang
mengalami industrialisasi akan membawa dampak pada pola penguasaan tanah, hubungan
kerja, dan stratifikasi sosial.
c. Perubahan yang direncanakan dan perubahan yang tidak direncanakan.
Suatu perubahan dikatakan direncanakan apabila perubahan yang terjadi telah direncanakan
atau diperkirakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak (agent of change) yang akan mengadakan
perubahan di masyarakat. Agent of change adalah seseorang atau sekelompok orang yang
mendapatkan kepercayaan masyarakat sebagai pemeimpin satu atau lebih lembaga-lembaga
kemasyarakatan. Sementara itu, perubahan sosial yang tidak direncanakan adalah perubahan-
perubahan yang terjadi di luar jangkauan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya
akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan masyarakat. Masyarakat sulit untuk
memperkirakan terjadinya perubahan yang tidak direncanakan.
3. CIRI-CIRI PERUBAHAN SOSIAL DENGAN POLA INDUSTRIALISASI.
Perubahan sosial dapat diketahui bahwa telah terjadi dalam masyarakat dengan
membandingkan keadaan pada dua atau lebih rentang waktu yang berbeda. Yang harus
dipahami adalah bahwa suatu hal baru yang sekarang ini bersifat radikal, mungkin saja
beberapa tahun mendatang akan menjadi konvensional, dan beberapa tahun lagi akan menjadi
tradisional.
4. FAKTOR PENDORONG DAN PENGHAMBAT PERUBAHAN SOSIAL.
Soerjono Soekanto (1994: 83) mengidentifikasi faktor-faktor yang melatarbelakangi
terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor
yang berasal dari dalam dan faktor dari luar masyarakat. Faktor-faktor yang berasal dari
dalam masyarakat itu sendiri antara lain:
a. Laju Pertumbuhan Penduduk.
b. Penemuan Baru
c. Konflik/Pertentangan
d. Terjadinya pemberontakan atau revolusi
Perubahan sosial dan kebudayaan dapat juga bersumber pada faktor-faktor dari luar
masyarakat, antara lain:
a. Bencana Alam
b. Peperangan
c. Kebudayaan Masyarakat Lain
5. GLOBALISASI.
Globalisasi adalah proses dimana dunia dianggap menjadi satu ruang; globalisasi dapat
dilihatsebagai kompresi ruang. McLuhan pada tahun 1960 memperkenalkan ungkapan desa
global (global village) untuk menggambarkan bagaimana dunia menyusut sebagai hasil dari
teknologi baru di bidang komunikasi. Anthony Giddens menjelaskan globalisasi sebagai
tercerabutnya waktu dari ruang. Dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi,
orang dapat berkomunikasi seolah-olah face to face meskipun dibatasi jarak samudera dan
benua.
Globalisasi memiliki tiga dimensi: ekonomi, kebudayaan, dan politik. Globalisasi ekonomi
ditandai dengan perluasan dan transformasi kapitalisme ke dalam ekonomi global. Perubahan
yang paling penting adalah eskpansi pasar keuangan dunia. Contoh: pasar modal, MNC
(Multy National Corporation), perdagangan internasional, dan investasi asing. Globalisasi
kebudayaan disebut-sebut sebagai hasil dari pariwisata massal, peningkatan migrasi,
komersialisasi produk-produk budaya dan penyebaran ideologi konsumerisme secara global
yang banyak menggeser budaya lokal. Kegiatan pemasaran MNC dan perkembangan media
komunikasi massa (dimiliki oleh MNC) ikut andil dalam
globalisassi budaya. Contoh: McDonaldization.
6. POLA-POLA PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA.
a) Evolusi
Evolusi adalah masyarakat bergerak dari satu tahap atau fase ke tahap atau fase lain yang
biasanya dalam bentuk yang lebih baik dan lebih sempurna. Aliran ini berkembang
pertengahan kedua abad ke-19. Tokoh yang paling berpengaruh dalam aliran ini adalah
evolusionist Charles Darwin. Teori tentang seleksi alam memberikan dasar yang kuat bagi
penjelasan evolusi biologis.
b) Akulturasi
Akulturasi adalah proses menerima unsur-unsur budaya lain, baik yang bersifat material
maupun nonmaterial, sebagai akibat kontak face to face dan berlangsung sangat lama.
Akulturasi merupakan hasil dari perang, penjelajahan, agresi militer, atau kolonisasi, serta
melalui misionaris atau pertukaran budaya.
c) Difusi
Difusi adalah proses dimana inovasi menyebar dari satu budaya ke budaya lain atau dari
sebuah subbudaya ke subbudaya yang lain. Menurut Elliot Smith, sekitar tahun 3000 SM,
Mesir mengalami perkembangan budaya yang sangat besar. Smith membuktikan terdapat
persamaan budaya antara orang Mesir pada masa-masa awal dengan suku Inca di Peru,
orang India, dan orang Mesiko. Teori Smith ini menyediakan alternatif bagi teori evolusi
yang memposisikan bahwa perubahan sosial adalah hasil kontak dan difusi di antara
masyarakat.