acute flaccid paralysis

52
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acute Flaccid Paralyis (AFP) adalah suatu sindrom klinis yang memerlukan evaluasi segera dan hati-hati. Sindrom ini memberikan akibat berupa kelumpuhan akut pada otot, saraf, neuromuscular junction, medula spinalis dan kornu anterior. Sindrom ini dapat menyerang otot-otot pernapasan sehingga dapat mengakibatkan kematian. Setiap kasus AFP penting untuk menentukan terapi dan mengetahui prognosis penyakit pada pasien. Di akhir abad 20, Kongres Kesehatan Dunia (World Health Assembly) menetapkan bahwa memasuki abad 21, seluruh dunia harus bebeas dari permasalahan polio, salah satu penyebab AFP. Namun pada faktanya, di seluruh dunia minimal 30 negara merupakan daerah endemis polio. Sehingga eradikasi polio menjadi suatu tugas berat bagi semua pihak. Daftar penyebab AFP sangatlah luas dan didapatkan variasi yang dipengaruhi oleh umur, etnis, dan wilayah. Selain permasalahan polio, bentuk demielinasi akut Sindrom Guillane-Bare adalah sekitar 50%, dari kasus AFP, diikuti dengan infeksi virus non-polio seperti Mumps Virus, Epstein- Barr virus, HIV, dan West Nile virus. Host atau faktor lingkungan secara signifikan dapat mempengaruhi terjadinya AFP. Lingkungan yang tidak sehat dan higienitas hidup yang kurang baik dapat menimbulkan AFP, selain faktor ‘immune regulated’. Lingkungan yang tidak sehat 1

Upload: bella

Post on 09-Apr-2016

151 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Referat tentang Acute flaccid paralysis (kelumpuhan flaksid akut)

TRANSCRIPT

Page 1: Acute Flaccid Paralysis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Acute Flaccid Paralyis (AFP) adalah suatu sindrom klinis yang memerlukan

evaluasi segera dan hati-hati. Sindrom ini memberikan akibat berupa kelumpuhan akut

pada otot, saraf, neuromuscular junction, medula spinalis dan kornu anterior. Sindrom ini

dapat menyerang otot-otot pernapasan sehingga dapat mengakibatkan kematian. Setiap

kasus AFP penting untuk menentukan terapi dan mengetahui prognosis penyakit pada

pasien. Di akhir abad 20, Kongres Kesehatan Dunia (World Health Assembly)

menetapkan bahwa memasuki abad 21, seluruh dunia harus bebeas dari permasalahan

polio, salah satu penyebab AFP. Namun pada faktanya, di seluruh dunia minimal 30

negara merupakan daerah endemis polio. Sehingga eradikasi polio menjadi suatu tugas

berat bagi semua pihak.

Daftar penyebab AFP sangatlah luas dan didapatkan variasi yang dipengaruhi oleh

umur, etnis, dan wilayah. Selain permasalahan polio, bentuk demielinasi akut Sindrom

Guillane-Bare adalah sekitar 50%, dari kasus AFP, diikuti dengan infeksi virus non-polio

seperti Mumps Virus, Epstein-Barr virus, HIV, dan West Nile virus.

Host atau faktor lingkungan secara signifikan dapat mempengaruhi terjadinya

AFP. Lingkungan yang tidak sehat dan higienitas hidup yang kurang baik dapat

menimbulkan AFP, selain faktor ‘immune regulated’. Lingkungan yang tidak sehat dan

tidak higienis tersebut dapat menyebabkan virus dan bakteri penyebab dengan mudah

menyerang orang yang tinggal di lingkungan tersebut. Dengan masih tingginya angka

kemiskinan dan kesadaran lingkungan bersih yang masih kurang baik di berbagai negara

berkembang, termasuk Indonesia, dan ancaman fatal yang ditimbulkan dari AFP berupa

kelumpuhan dan kematian, maka pengetahuan yang baik mengenai berbagai macam

kelumpuhan akut, perjalanan penyakit, dan penanganan yang diperlukan untuk

mengatasinya menjadi dasar pembahasan referat kali ini.

1.2 Tujuan Penulisan

Memperoleh informasi lebih lanjut mengenai berbagai gangguan AFP.

1

Page 2: Acute Flaccid Paralysis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Acute Flaccid Paralyis (AFP) adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan

Flaccid Paralysis (lumpuh layuh). AFP ini ditandai dengan adanya kelumpuhan motorik

dengan cepat (<4 hari) disertai dengan tonus yang menghilang.

AFP merupakan suatu keadaan yang emergensi, karena keterlambatan dalam

penanganan akan menyebabkan kematian atau disabilitas, terutama pada anak-anak. AFP

dapat terjadi pada beberapa keadaan, dan tentu saja penannganannya berbeda.

Kelumpuhan yang terjadi pada AFP secara akut mengenai ‘final common path’,

‘motor end plate’ dan otot yaitu pada otot, saraf, neuromuscular junction, medulla

spinalis dan kornu anterior. Istilah flaccid menunjukkan kelumpuhan Lower Motor

Neuron (LMN). Mengindikasikan tidak adanya tanda gangguan spastisitas seperti pada

gangguan susuna saraf pusat traktus motorik lainnya misalnya hiperreflek, klonus atau

respon ekstensor pada plantar. Kelumpuhan ini ditandai dengan adanya karakteristik

gejala klinis kelemahan yang timbul dengan cepat termasuk kelemahan otot-otot

pernafasan dan otot menelan. Berkembang lebih cepat dalam beberapa hari sampai

beberapa minggu.

AFP adalah kelumpuhan atau paralisis secara fokal yang onsetnya akut tanpa

penyebab lain yang nyata seperti trauma. Yang ditandai dengan flaccid dan mengenai

anak kelompok < 15 tahun. AFP disebabkan oleh beberapa agen termasuk enterovirus,

echovirus, atau adenovirus.

2.2 Patofisiologi dan Etiologi

Berikut ini akan diuraikan mengenai keadaan AFP, dan bagaimana cara untuk

membedakannya:

1. Kelainan pada otot (acute myopathies)

a. Periodik paralisis

b. Inflamatory miophaty (polymyositis dermatomyositis)

c. Miopati karena steroid atau kelainan tiroid

d. Rabdomiolisis (karena obat, kecelakaan)

2

Page 3: Acute Flaccid Paralysis

2. Neuromuscular Junction

a. Miastenia Gravis

b. Botulism

c. Tick Paralysis

d. Lambert Eaton Myastenic Syndrome (LEMS)

3. Neuropati akut

a. Paraneoplastik dan paraproteinemia

b. Vaskulitis (lupus, poliartritis)

c. Neuropati motorik multifokal

4. Poliradikulopati akut

a. Guillain-Barre Syndrome

b. Lime disease

c. Sindroma Cauda Equina

5. Penyakit Motor Neuron

a. Poliomielitis

b. Amyotrophic Lateral Sklerosis (ALS)

6. Medula Spinalis

a. Inflamasi (mielitis transversus)

b. Mielopati (spondilosis, hematom, infark)

7. Otak

a. Lesi di Pons

b. Lesi multifokal

3

Page 4: Acute Flaccid Paralysis

Gambar 2.1 Patofisiologi dan Etiologi AFP

2.2.1 Poliomielitis

Poliomielitis memiliki sinonim acute anterior poliomeilytis, infantile paralysis,

penyakit Heine meidin. Poliomielitis (paralysis infantile, penyakit Heine Medin) pada

masa lampau, selama bertahun-tahun, merupakan salah satu penyakit infeksi yang sangat

ditakuti karena dapat mengakibatkan kelumpuhan menetap.

Poliomielitis atau polio, adalah penyakit paralisis atau lumpuh yang disebabkan

oleh virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV),

masuk ke tubuh melalui mulut, menginfeksi saluran usus. Virus ini dapat memasuki aliran

darah dan mengalir ke sistem saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan kadang

kelumpuhan (paralisis).

Virus polio sangat tahan terhadap alkohol dan lisol, namun peka terhadap

formaldehid dan larutan klor. Suhu yang tinggi cepat mematikan virus, tetapi pada

keadaan beku dapat bertahan bertahun-tahun. Ketahanan virus di tanah dan air sangat

bergantung pada kelembaban suhu dan mikroba lainnya. Virus ini dapat bertahan pada air

limbah dan air permukaan bahkan hingga berkilo-kilo meter dari sumber penularan.

Meskipun penularan terutama akibat tercemarnya lingkungan oleh virus polio dari

penderita infeksius. Penularan virus terjadi melalui beberapa cara :

4

Page 5: Acute Flaccid Paralysis

1. Secara langsung dari orang ke orang

2. Melalui percikan ludah penderita

3. Melalui tinja penderita

Virus masuk melalui mulut dan hidung, berkembang biak di dalam tenggorokan

saluran cerna, lalu diserap dan disebarkan melalui sistem pembuluh darah dan pembuluh

getah bening. Resiko terjadinya polio :

1. Belum mendapatkan imunisasi

2. Bepergian ke daerah yang masih sering ditemukan polio

3. Kehamilan

4. Usia sangat lanjut atau sangat muda

5. Luka di mulut/ hidung/tenggorokan

Virus biasanya memasuki tubuh melalui rongga orofaring dan berkembangbiak

dalam traktus digestivus, kelenjar getah bening regional dan sistem retikuloendotelial.

Dalam keadaan ini timbul perkembeangan virus, tubuh bereaksi dengan membentuk

antibodi spesifik. Bila pembentukan zat anti tubuh mencukupi dan cepat maka virus akan

dinetralisasikan, sehingga timbul gejala klinis yang ringan atau tidak terdapat sama sekali

dan timbul imunitas terhadap virus tersebut. Bila proliferasi virus tersebut lebih cepat dari

pembentukan zat anti maka akan timbul viremia dan gejala klinis, kemudian virus akan

terdapat dalam feses untuk beberapa minggu lamanya.

Berlainan dengan virus-virus lain yang menyerang susunan saraf, maka

neuropatologi poliomeilitis biasanya patognomik. Virus hanya menyerang sel-sel dan

daerah tertentu susunan saraf. Tidak semua neuron yang terkena mengalami kerusakan

yang sama dan bila ringan sekali dapat terjadi penyembuhan fungsi neuron dalam 3-4

minggu sesudah timbul gejala. Daerah yang biasanya terkena pada poliomeilitis :

1. Medulla spinalis terutama kornu anterior

2. Batang otak pada nukleus vestibularis dan inti-inti saraf kranial serta formasio

retikularis yang mengandung pusat vital

3. Serebelum terutama inti-inti pada vermis

4. Midbrain terutama pada masa kelabu, substansia nigra dan kadang-kadang nukleus

rubra.

5. Talamus dan hipotalamus

6. Korteks serebri, hanya daerah motorik

5

Page 6: Acute Flaccid Paralysis

Poliomielitis adalah penyakit infeksi virus yang akut yang melibatkan medulla

spinalis dan batang otak. Telah diisolasi 3 jenis virus yaitu tipe Brunhilde, Lansing dan

Leon yang menyebabkan penyakit ini, yang masing-masing tidak mengakibatkan imunitas

silang. Bila seorang mengalami infeksi dengan satu jenis virus ia akan mendapat

kekebalan yang menetap terhadap virus tersebut.

Manifestasi klinis penyakit polio dibagi atas beberapa jenis yaitu asimtomatik,

abortif, nonparalitik dan paralitik. Sebagian besar pasien infeksi polio adalah asimtomatik

atau terjadi dalam bentuk panyakit yang ringan dan sepintas.

Poliomielitis abortif, sakit demam singkat terjadi dengan satu atau lebih gejala-

gejala seperti malaise, anoreksia, mual, muntah, nyeri kepala, nyeri tenggorokan,

konstipasi, dan nyeri perut. Koryza, batuk, eksudat faring, diare, dan nyeri perut lokal

serta kekakuan jarang. Demam jarang melebihi 39,5 C dan faring biasanya menunjukkan

sedikit perubahan walaupun sering ada keluhan nyeri tenggorok.

Poliomielitis nonparalitik, gejala-gejalanya adalah seperti poliomielitis abortif

kecuali pada nyeri kepala, mual, dan muntah lebih parah dan ada nyeri dan kekakuan otot

leher posterior, badan dan tungkai. Paralisis kandung kencing yang cepat menghilang

sering dijumpai dan konstipasi sering ada. Sekitar dua pertiga anak mengalami jeda bebas

gejala antara fase pertama (sakit minor) dan fase kedua (sakit sistem saraf sentral atau

sakit mayor).

Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda-tanda kaku kuduk-spina dan perubahan

pada refleks superfisial dan dalam. Pada penderita yang kooperatif tanda-tanda kaku

kuduk-spina mulai dicari dengan tes aktif. Jika diagnosis masih tidak pasti, upaya yang

harus dilakukan untuk memperoleh kernig dan Brudzinki.

Poliomeilitis Paralitik, manifestasinya adalah manifestasi poliomeilitis

nonparalitik yang disebutkan satu per satu ditambah dengan satu atau lebih kelompok

otot, skelet atau cranial. Gejala-gejala ini dapat disertai dengan jeda tanpa gejala beberapa

hari dan kemudian pada puncak berulang dengan paralisis paralysis flaksid merupakan

ekspresi klinis cedera neuron yang paling jelas. Terjadinya atrofi muskuler disebabkan

oleh denervasi ditambah atrofi karena tidak digunakan. Nyeri, spastisitas, kaku kuduk dan

kekakuan spinal, serta hipertoni pada awal penyakit mungkin karena lesi batang otak,

ganglia spinalis, dan kolumna posterior.

6

Page 7: Acute Flaccid Paralysis

Pada pemeriksaan fisis distribusi paralysis khas kadang-kadang tidak. Untuk

mendeteksi kelemahan otot ringan, sering perlu memakai tahanan halus dalam melawan

kelompok otot yamh sedang diuji. Pada bentuk spinal ada kelemahan beberapa otot leher,

perut, batang tubuh, diafragma, thoraks, atau tungkai.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Untuk

memperkuat diagnosis, dilakukan pemeriksaan terhadap contoh tinja untuk mencari

poliovirus dan pemeriksaan terhadap darah untuk menentukan titer antibodi. Pembiakan

virus diambil dari lendir tenggorokan, tinja atau cairan serebrospinal. Pemeriksan rutin

terhadap cairan serebrospinal memberikan hasil yang normal atau tekanan, protein serta

sel darah putihnya agak meningkat.

Pengobatan belum ada pengobatan kausal pada penyakit polio, namun

poliomielitis dapat dicegah melalui vaksinasi. Vaksinasi polio dengan virus yang

dinonaktifkan (salk) mulai digunakan pada tahun 1955, dan vaksinasi dengan virus hidup

yang dijinakkan (sabin) mulai banyak dipakai sejak tahun 1962. vaksin oral trivalent

diperkenalkan pada tahun 1963 dan banyak digunakan sampai saat ini.

Anak-anak kecil yang terkena polio seringkali hanya mengalami gejala ringan dan

menjadi kebal terhadap polio. Karenanya, penduduk di daerah yang memiliki sanitasi baik

justru menjadi lebih rentan terhadap polio karena tidak menderita polio ketika masih

kecil. Vaksinasi pada saat balita akan sangat membantu pencegahan polio di masa depan

karena polio menjadi lebih berbahaya jika diderita oleh orang dewasa. Orang yang telah

menderita polio bukan tidak mungkin akan mengalami gejala tambahan di masa depan

seperti layuh otot; gejala ini disebut sindrom post-polio.

Komplikasi yang paling berat adalah kelumpuhan yang menetap. Kelumpuhan

terjadi sebanyak kurang dari 1 dari setiap 100 kasus, tetapi kelemahan satu atau beberapa

otot, sering ditemukan. Kadang bagian dari otak yang berfungsi mengatur pernafasan

terserang polio, sehingga terjadi kelemahan atau kelumpuhan pada otot dada. Beberapa

penderita mengalami komplikasi 20-30 tahun setelah terserang polio. Keadaan ini disebut

sindroma post-poliomielitis, yang terdiri dari kelemahan otot yang progresif, yang

seringkali menyebabkan kelumpuhan.

7

Page 8: Acute Flaccid Paralysis

2.2.2 Sindroma Guillain-Barre (SGB)

Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup

sering dijumpai pada usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderita dan

keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat

menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik.

Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic

polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious

Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre

Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.

Parry mengatakan bahwa, SGB adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending

dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut

Bosch, SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang

terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf

perifer, radiks, dan nervus kranialis.

Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling

dkk mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musism panas dan musim gugur dimana

terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa

penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun, sekalipun

demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir

musim panas dan musim gugur. Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6

sampai 1.9 kasus per

100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic

melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak

insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2

tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun.

Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83%

penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada

kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi

belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia

adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan

wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa

8

Page 9: Acute Flaccid Paralysis

perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi

pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.

Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti

penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang

mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain, infeksi,

vaksinasi, pembedahan, kehamilan atau dalam masa nifas, penyakit sistematik,

keganasan, systemic lupus erythematosus, tiroiditis, penyakit Addison.

SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus

SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4

minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau

infeksi gastrointestinal.

Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang

mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan

pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada

sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa

merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:

1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated

immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.

2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi

3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh

darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.

Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler

dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering

adalah infeksi virus.

Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting

disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone

marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan

limfoid danperedaran. Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen

harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan

(fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan

memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC).

9

Page 10: Acute Flaccid Paralysis

Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu

limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi

interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF. Kelarutan E selectin dan adesi

molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam

membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan

makrofag. Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin

disamping menghasilkan TNF dan komplemen.

Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf

tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama

berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul

pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa

limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan

pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan

secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi

telah hancur. Perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang

ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini segera

diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi

degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran

basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.

Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:

1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy

2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy

3. Acute motor axonal neuropathy

4. Acute motor sensory axonal neuropathy

5. Fisher’s syndrome

6. Acute pandysautonomia

Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan timbulnya

suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului

parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin

pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.

Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of

Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:

10

Page 11: Acute Flaccid Paralysis

I. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:

Terjadinya kelemahan yang progresif

Hiporefleksi

II. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:

a. Ciri-ciri klinis:

i. Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,maksimal dalam 4

minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90%

dalam 4 minggu.

ii. Relatif simetris.

iii. Gejala gangguan sensibilitas ringan.

iv. Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak lain

dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang <

5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain.

v. Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat memanjang

sampai beberapa bulan.

vi. Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dangejala

vasomotor.

vii. Tidak ada demam saat onset gejala neurologis.

b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:

i. Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada LP

serial. Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3

ii. Varian:

Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala

Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3

c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:

Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan

hantar kurang 60% dari normal.

Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendir. Pengobatan secara umum

bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu

dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup

tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah

11

Page 12: Acute Flaccid Paralysis

mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan\ melalui sistem imunitas

(imunoterapi).

Kortikosteroid

Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai

nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.

Plasmaparesis

Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi

yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa

perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan

lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml

plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal

onset gejala (minggu pertama).

Pengobatan imunosupresan:

1. Imunoglobulin IV

Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan

plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4

gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari

tiap 15 hari sampai sembuh.

2. Obat sitotoksik

Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:

i. 6 merkaptopurin (6-MP)

ii. Azathioprine

iii. cyclophosphamid

Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.

Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian

kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan

tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengankeadaan antara lain:

i. pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal

ii. mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset

iii. progresifitas penyakit lambat dan pendek

pada penderita berusia 30-60 tahun

12

Page 13: Acute Flaccid Paralysis

2.2.3 Miastenia Gravis

Miastenia gravis adalah salah satu penyakit gangguan autoimun yang mengganggu

sistem sambungan saraf (synaps). Pada penderita miastenia gravis, sel antibodi tubuh atau

kekebalan akan menyerang sambungan saraf yang mengandung acetylcholine (ACh),

yaitu neurotransmiter yang mengantarkan rangsangan dari saraf satu ke saraf lainnya. Jika

reseptor mengalami gangguan maka akan menyebabkan defisiensi, sehingga komunikasi

antara sel saraf dan otot terganggu dan menyebabkan kelemahan otot.

Penyebab pasti reaksi autoimun atau sel antibodi yang menyerang reseptor

acetylcholine belum diketahui. Tapi pada sebagian besar pasien, kerusakan kelenjar

thymus menjadi penyebabnya. Maka itu kebanyakan si penderita akan menjalani operasi

thymus. Tapi setelah thymus diangkat juga belum ada jaminan penyakit autoimun ini

akan sembuh.

Thymus adalah organ khusus dalam sistem kekebalan yang memproduksi

antibodi. Organ ini terus tumbuh pada saat kelahiran hingga pubertas, dan akan

menghilang seiring bertambahnya usia. Tapi pada orang-orang tertentu, kelenjar thymus

terus tumbuh dan membesar, bahkan bisa menjadi ganas dan menyebabkan tumor pada

kelenjar thymus (thymoma). Pada kelenjar thymus, sel tertentu pada sistem kekebalan

belajar membedakan antara tubuh dan zat asing. Kelenjar thymus juga berisi sel otot

(myocytes) dengan reseptor acetylcholine.

Anatomi dan Fisiologi Neuro Muscular Junction

Di bagian terminal dari saraf motorik terdapat sebuah pembesaran yang biasa

disebutbouton terminale atau terminal bulb. Terminal Bulb ini memiliki membran yang

disebut juga membran pre-synaptic, struktu ini bersama dengan membran post-synpatic

(pada sel otot) dan celah synaptic (celah antara 2 membran) membentuk Neuro Muscular

Junction. Membran Pre-Synaptic mengandung asetilkolin (ACh) yang disimpan dalam

bentuk vesikel-vesikel. Jika terjadi potensial aksi, maka Ca+ Voltage Gated Channel akan

teraktivasi. Terbukanya channel ini akan mengakibatkan terjadinya influx Calcium. Influx

ini akan mengaktifkan vesikel-vesikel tersebut untuk bergerak ke tepi membran. Vesikel

ini akan mengalami docking pada tepi membran. Karena proses docking ini, maka

asetilkolin yang terkandung di dalam vesikel tersebut akan dilepaskan ke dalam celah

synaptic.

13

Page 14: Acute Flaccid Paralysis

ACh yang dilepaskan tadi, akan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChR)

yang terdapat pada membran post-synaptic. AChR ini terdapat pada lekukan-lekukan

pada membran post-synaptic. AChR terdiri dari 5 subunit protein, yaitu 2 alpha, dan

masing-masing satu beta, gamma, dan delta. Subunit-subunit ini tersusun membentuk

lingkaran yang siap untuk mengikat ACh.

Ikatan antara ACh dan AChR akan mengakibatkan terbukanya gerbang Natrium

pada sel otot, yang segera setelahnya akan mengakibatkan influx Na+. Influx Na+ ini

akan mengakibatkan terjadinya depolarisasi pada membran post-synaptic. Jika

depolarisasi ini mencapai nilai ambang tertentu (firing level), maka akan terjadi potensial

aksi pada sel otot tersebut. Potensial aksi ini akan dipropagasikan (dirambatkan) ke segala

arah sesuai dengan karakteristik sel eksitabel, dan akhirnya akan mengakibatkan

kontraksi.

ACh yang masih tertempel pada AChR kemudian akan dihidrolisis oleh enzim

Asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat dalam jumlah yang cukup banyak pada celah

synaptic. ACh akan dipecah menjadi Kolin dan Asam Laktat. Kolin kemudian akan

kembali masuk ke dalam membran pre-synaptic untuk membentuk ACh lagi. Proses

hidrolisis ini dilakukan untuk dapat mencegah terjadinya potensial aksi terus menerus

yang akan mengakibatkan kontraksi terus menerus.

Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline

Receptor(AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline(ACh) yang tetap dilepaskan

dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju membran post-

synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada jumlah normal akan

Mengakibatkan mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh

impuls tertentu. inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada pasien.

Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses auto-immun di

dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat memblok AChR dan

merusak membran post-synaptic. Menurut Shah pada tahun 2006, anti-AChR bodies

ditemukan pada 80%-90% pasien Myasthenia Gravis. Percobaan lainnya, yaitu

penyuntikan mencit dengan Immunoglobulin G (IgG) dari pasien penderita Myasthenia

Gravis dapat mengakibatkan gejala-gejala Myasthenic pada mencit tersebut, ini

menujukkan bahwa faktor immunologis memainkan peranan penting dalam etiology

14

Page 15: Acute Flaccid Paralysis

penyakit ini. Alasan mengapa pada penderita Myasthenia Gravis, tubuh menjadi

kehilangan toleransi terhadap AChR sampai saat ini masih belum diketahui.

Sampai saat ini, Myasthenia Gravis dianggap sebagai penyakit yang disebabkan

oleh sel B, karena sel B lah yang memproduksi anti-AChR bodies. Namun, penemuan

baru menunjukkan bahwa sel T yang diproduksi oleh Thymus, memiliki peranan penting

pada patofisiologis penyakit Myasthenia Gravis.Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya

penderita Myasthenic mengalami hiperplasiathymic dan thymoma.

Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam

penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada membran

presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena kerusakan itu

maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih

banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah motor endplate dapat dipecahkan oleh

kolinesterase. Selain itu jumlah asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan

membran postsinaps motor end plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut

maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama.

Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara radiologis

kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik kelenjar timus

pada kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan. Wanita muda cenderung

menderita hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan neoplasma timus.

Elektromiografi menunjukkan penurunan amplitudo potensial unit motorik apabila otot

dipergunakan terus-menerus Pembuktian etiologi oto-imunologiknya diberikan oleh

kenyataan bahwa kelenjar timus mempunyai hubungan erat. Pada 80% penderita

miastenia didapati kelenjar timus yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka

memperlihatkan struktur timoma dan pada penderita-penderita lainnya terdapat infiltrat

limfositer pada pusat germinativa kelenjar timus tanpa perubahan di jaringan limfoster

lainnya.

Myasthenia Gravis ditandai dengan kelemahan pada otot, yang memburuk ketika

digerakkan dan membaik ketika beristirahat. Karakteristik yang lain adalah sebagai

berikut : Kelemahan otot ekstra okular (Extra Ocular Muscle) atau biasa disebut Ptosis.

Kondisi ini terjadi pada lebih dari 50% pasien. Gejala ini seringkali menjadi gejala awal

dari Myasthenia Gravis, walaupun hal ini masih belum diketahui penyebabnya.

Kelemahan otot menjalar ke otot-otot okular, fascial dan otot-otot bulbar dalam rentang

15

Page 16: Acute Flaccid Paralysis

minggu sampai bulan. Pada kasus tertentu kelemahan EOM bisa tetap bertahan selama

bertahun-tahun Sebagian besar mengalami kelemahan. Perbaikan secara spontan sangat

jarang terjadi, sedangkan perbaikan total hampir tidak pernah ditemukan.

Gejala-gejala miastenia gravis pada pasein usia produktif antara lain :

-jari, tangan dan kaki (seperti gejala stroke tapi tidak disertai gejala stroke lainnya)

yang biasanya menyerang bayi yang baru lahir.

Gejala-gejala ringan biasanya akan membaik setelah beristirahat, tetapi bisa

muncul kembali bila otot kembali beraktifitas. Penyakit miastenia gravis ini bisa

disembuhkan tergantung kerusakan sistem saraf yang dialami. Bisa terjadi kesulitan

dalam berbicara dan menelan serta kelemahan pada lengan dan tungkai. Dalam menaiki

tangga, mengangkat benda dan bisa terjadi kelumpuhan. pernafasan (krisis miastenik).

Klasifikasi Myasthenia Gravis berdasarkan The Medical Scientific Advisory Board

(MSAB) of the Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) :

Class I Kelemahan otot okular dan Gangguan menutup mata, Otot lain masih normal

Class II Kelemahan ringan pada otot selain okular, Otot okular meningkat kelemahannya

Class IIa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit mempengaruhi otot-otot oropharyngeal

Class IIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, Juga mempengaruhi

ekstrimitas

Class III Kelemahan sedang pada otot selain okuler, Meningkatnya kelemahan pada otot

okuler

Class IIIa Mempengaruhi ektrimitas , Sedikit mempengaruhi otot-otot oropharyngeal

Class IIIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, Juga mempengaruhi

ekstrimitas

Class IV Kelemahan berat pada selain otot okuler, Kelemahan berat pada otot okuler

Class IVa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit pengaruh pada otot-otot oropharyngeal

Class IVb Terutama mempengaruhi otot-otot pernapasan dan oropharyngeal, juga

mempengruhi otot-otot ekstrimitas

Class V Pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus post-operative)

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejalanya, yaitu jika seseorang mengalami

kelemahan umum, terutama jika melibatkan otot mata atau wajah, atau kelemahan yang

meningkat jika otot yang terkena digunakan atau berkurang jika otot yang terkena

diistirahatkan.

16

Page 17: Acute Flaccid Paralysis

Obat yang dapat meningkatkan jumlah asetilkolin dipakai untuk melakukan

pengujian guna memperkuat diagnosis. Yang paling sering digunakan untuk pengujian

adalah edrofonium. Jika obat ini disuntikkan intravena, maka untuk sementara waktu akan

memperbaiki kekuatan otot pada penderita miastenia gravis.

Pemeriksaan diagnostik lainnya adalah penilaian fungsi otot dan saraf dengan

elektromiogram dan pemeriksaan darah untuk mengetahui adanya antibodi terhadap

asetilkolin.

Beberapa penderita memiliki tumor pada kelenjar timusnya (timoma), yang

mungkin merupakan penyebab dari kelainan fungsi sistem kekebalannya. CT scan dada

dilakukan untuk menemukan adanya timoma.

Memberi obat-obatan yang bisa menekan reaksi autoimun atau antibodi yang

menyerang acetylcholine tidak aktif lagi pengujian guna memperkuat diagnosis. Yang

paling sering digunakan untuk pengujian adalah edrofonium. Jika obat ini disuntikkan

intravena, maka untuk sementara waktu akan memperbaiki kekuatan otot pada penderita

miastenia gravis.

2.2.4 Botulisme

Botulisme merupakan intoksikasi, seperti halnya dengan tetanus. Toksin botulisme

diproduksi oleh Closytrodium botulinum. Botulisme adalah penyakit langka tapi sangat

serius. Merupakan penyakit paralisis gawat yang disebabkan oleh racun (toksin) yang

menyerang saraf yang diproduksi bakteri Clostridium Botulinum. Clostridium botulinum

berkembang biak melalui pembentukan spora dan produksi toksin. Toksin tersebut dapat

dihancurkan oleh suhu yang tinggi, karena itu botulisme sangat jarang sekali dijumpai di

lingkungan atau masyarakat yang mempunyai kebiasaan memasak atau merebus sampai

matang. Ada 3 jenis utama botulisme :

1. Foodborne Botulisme

Disebabkan karena makanan yang mengandung toksin botulisme.

2. Wound Botulisme

Disebabkan toksin dari luka yang terinfeksi oleh Clostridum Botulinum.

3. Infant Botulisme

Disebabkan karena spora dari bakteri botulinum, yang kemudian berkembang dalam

usus dan melepaskan toksin.

17

Page 18: Acute Flaccid Paralysis

Semua bentuk botulisme dapat fatal dan merupakan keadaan darurat. Foodborne

botulisme mungkin merupakan jenis botulisme yang paling berbahaya karena banyak

orang dapat tertular dengan mengkonsumsi makanan yang tercemar.

Di USA dilaporkan sekitar 110 kasus terjadi tiap tahunnya. Dan sekitar 25% nya

foodborne botulisme, 72% infant botulisme dan sisanya adalah wound botulisme.

Foodborne botulisme biasanya karena mengkonsumsi makanan kaleng. Wound botulisme

meningkat karena penggunaan heroin terutama di california.

Etiologi dari botulisme adalah Clostridium botulinum. Clostridium botulinum

merupakan kuman anaerob, gram positif, mempunyai spora yang tahan panas, dapat

membentuk gas, serta menimbulkan rasa dan bau pada makanan yang terkontaminasi.

Clostridium Botulinum berbiak melalui pembentukan spora dan produksi toksin.

Racun botulisme diserap di dalam lambung, duodenum dan bagian pertama jejunum.

Setelah diedarkan oleh aliran darah sistemik, maka racun tersebut melakukan blokade

terhadap penghantaran serabut saraf kolinergik tanpa mengganggu saraf adrenegik.

Karena blokade itu, pelepasan asetilkolin terhalang. Efek ini berbeda dengan efek kurare

yang menghalang-halangi efek asetil kolin terhadap serabut otot lurik. Maka dari itu efek

racun botulisme menyerupai khasiat atropin, sehingga manifetasi klinisnya terdiri dari

kelumpuhan flacid yang menyeluruh dengan pupil yang lebar (tidak bereaksi terhadapt

cahaya), lidah kering, takikardi dan perut yang mengembung. Kemudian otot penelan dan

okular ikut terkena juga, sehingga kesukaran untuk menelan dan diplopia menjadi keluhan

penderita. Akhirnya otot pernafasan dan penghantaran impuls jantung sangat terganggu,

hingga penderita meninggal karena apnoe dan cardiac arrest.

Kecurigaan akan botulisme sudah harus dipikirkan dari riwayat pasien dan

pemeriksaan klinik. Bagaimanapun, baik anamnesa dan pemeriksaan fisik tidak cukup

untuk menegakkan diagnosa karena penyakit lain yang merupakan diagnosa banding,

seperti Guillain-Barre Syndrome, stroke dan myastenia gravis memberikan gambaran

yang serupa. Dari anamnesa didapatkan gejala klasik dari

botulisme berupa diplopia, penglihatan kabur, mulut kering, kesulitan menelan. Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kelemahan otot. Jika sudah lama, keluhan

bertambah dengan paralise lengan, tungkai sampai kesulitan nafas karena kelemahan otot-

otot pernafasan. Pemeriksaan tambahan yang sangat menolong untuk menegakkan

18

Page 19: Acute Flaccid Paralysis

diagnosa botulisme adalah CT-Scan, pemeriksaan serebro spinalis, nerve conduction test

seperti electromyography atau EMG, dan tensilon test untuk myastenia gravis.

Diagnosa dapat ditegakkan dengan ditemukannya toksin botulisme di serum pasien juga

dalam urin. Bakteri juga dapat diisolasi dari feses penderita dengan foodborne atau infant

botulisme.

Botulisme dapat menyebabkan kematian karena kegagalan nafas. Dalam 50 tahun

terakhir, banyak pasien dengan botulisme yang meninggal menurun dari 50% menjadi

8%. Pasien dengan botulisme yang parah membutuhkan alat bantu pernafasan sebagai

bentuk pengobatan dan perawatan yang intensif selama beberapa bulan. Pasien yang

selamat dari racun botulisme dapat menjadi lemah dan nafas yang pendek selama

beberapa tahun dan terapi jangka panjang dibutuhkan untuk proses pemulihan.

2.3 Pendekatan Klinis Pasien AFP

Setiap pasien AFP adalah keadaan darurat klinis yang membutuhkan penanganan

segera. Dalam setiap kasus, penjelasan rinci tentang gejala klinis harus diperoleh. Gejala

tersebut termasuk kelumpuhan, gangguan gaya berjalan, kelemahan atau gangguan

koordinasi dari satu atau beberapa anggota gerak tubuh.

Berbagai macam lesi yang dapat timbul pada susunan lower motor neuron, berarti

lesi tersebut merusak motor neuron, akson, motor end plate dan otot skeletal sehingga

tidak terdapat gerakan atau rangsang motorik yang disampaikan ke motor neuron.

Kelumpuhan tersebut sesuai dengan gejala lower motor neuron yaitu:

a. Hilangnya gerakan voluntar dan reflektorik, sehingga reflek tendon hilang dan reflek

patologik tidak muncul.

b. Tonus otot hilang.

c. Musnahnya motor neuron beserta akson sehingga satuan motorik hilang dan terjadi

atrofi otot.

19

Page 20: Acute Flaccid Paralysis

Poliomyelitis (Tipe Paralitik, Spiral dan Bulbar) dengan atau

tanpa emsefalitis.

Laundry Gullain Barre Syndrome (GBS). Myasthenia Gravis. Periodik Paralysis. Myelitis Transversa.

Etiologi Virus Polio I, II, III, virus lain EV 71, virus West Nile.

Proses otonium, mycoplasma dan infeksi

virus (EBV, CMV), Campilobacter jejuni,

Hepatitis B.

Proses otonium, kelainan pada neuromuscular

junction (Acetycholin Receptors).

Hiperkolomia, hipokolomia, normokalemi.

Biasanya tidak diketahui. Virus : Herpes, EBV,

Varicella, Hepatitis A).

Riwayat Penyakit

Gejala didahului infeksi gastrointestinal kemudian terjadi

kelumpuhan motorik, dapat disertai paralysis bulbar (post

tonsilektomi). Riwayat imunisasi polio (-) atau tidak adekuat.

Gejala infeksi respiratory dan gastro intestinal tidak

spesifik, 5-14 hari sebelum kelumpuhan.

Kelemahan yang berfluktuasi, pagi bangun tidur lebih baik dibanding

siang-sore hari.

Kelemahan umum yang terjadi setelah makan

banyak karbohidrat, obat-obat tertentu, kurang

tidur, menstruasi, diare.

Progresifitas dari onset paralysis menjadi paraplegia sangat cepat tanpa disertai

dengan riwyat infeksi bakteri

Gejala

Paralysis disertai febris, kekakuan otot leher dan batang tubuh. Paralysis asymetris atau segmentasi (cervical, thorakal atau lumbal). Dapat disertai

gejala bulbar sebelum kelumpuhan, ansietas, delirium.

Paralysis simetris ekstremitas inf, secara

asenden dengan cepat ke ekstremitas sup, batang

tubuh dan saraf otak. Dapat disertai parestesi, hipertensi.

Febris (-). Miller Fisher : ataksi, oftalmoplegia.

Tipe okuler : kelopak mata sulit untuk dibuka

Tipe general : tipe okuler disertai kelemahan

motorik, gejala bulbar (disfagia), ggn. Otot

pernafasan.

Kelemahan motorik simetris, dapat disertai

dengan parestesi.

Panas badan (+) pada 58% kasus. Nyeri pada punggung (30-50% kasus). Gangguan

sensorik dibawah lesi, gangguan vegetative.

Pem. Neurologi

Paralysis flaksid, asimetris, tergantung dari medulla spinalis

yang terkena.Setinggi Lumbal : ekstremitas inf, abdomen inf; Cervikal :

bahu, lengan, leher, diafragma; Bulbar : kesulitan menelan;Sensorik : tidak terganggu Refleks fisiologis turun.

Paralysis flaksid, simetris. Dapat disertai dengan

paralysis N IX, X, III, IV, VI dan ataksia.

Sensorik : glove & stocking. Refleks fisiologis turun.

Paralysis ekstremitas simetris, ptosis, paresis, N

IX, X, VII.Sensorik tidak terganggu.

Refleks fisiologis : N.

Paralysis ekstremitas, simetris. Sensorik dapat

terganggu, Refleks fisiologis N.

Paraplegia atau tetraplegia (tergantung MS yang

terkena). Refleks fisiologis turun atau arefleks, kemudian naik. Sensorik : dibawah lesi

hypestesia.

Pem. Penunjang

Kultur dari faeses, apus tenggorokan, LCS.

NCS dan EMG = gambaran polineuropati.

Prostigmin test EMG single fiber, Stimulasi

repetitive Serologi : Auto antibody AchR.

Lab : Hiperkolomia, hipokolomia, normokalemi.

LP : sel N atau sedikit naik, protein naik, glukosa N.

Gambar 2.2 Perbedaan Etiologi AFP

20

Page 21: Acute Flaccid Paralysis

21

Page 22: Acute Flaccid Paralysis

Tanda-tanda AFP harus dievaluasi klinis secara lengkap dengan pemeriksanan

neurologis lengkap. Beberapa hal yang perlu diperhatikan: usia, riwayat penyakit seperti

ada/tidaknya febris saat terjadinya paralisis, progresifitas, keterlibatan saraf otak, sensoris

dan motoris, refleks fisiologis, refleks patologis. Adanya tanda-tanda meningismus,

gangguan saraf pusat (ataxia) atau sistem saraf otonom (fungsi usus dan kandung kemih,

sfingter dan fungsi berkemih neurogenik).

Pemeriksaan Penunjang yang dilakukan adalah sebagai berikut.

a. Pemeriksaan lab darah: kalium, magnesium, fosfat, CK B12, TSH, ANA, ANCA,

protein elktroforesis.

b. Pemeriksaan kultur dari feses, apus tenggorok, LCS.

c. Tes prostigmin pada kasus miastenia gravis

Pemeriksaan elektrofisiologi diperlukan untuk kepentingan diagnosis dan

prognosis dari penyakit motorneuron. Pemeriksaan fungsi lumbal dan cairan serebrospinal

diindikasikan untuk menyingkirkan adanya infeksi bakteri pada sistem saraf, infeksi

bakteri ditunjukkan dengan adanya netrofil, tingkat glukosa yang rendah dan kandungan

protein yang tinggi. Pemeriksaan kultur bakteri akan mengidentifikasi adanya

mikroorganisme spesifik. Pencitraan tulang belakang seperti radiografi, CT-Scan atau

magnetic resonance imaging (MRI) diindikasikan untuk menyingkirkan adanya kompresi

tulang belakang, mielopati, atau neoplasma poliradikulopati spondilosis. Pemeriksaan

elektrocardiogram dapat mengidentifikasi adanya gangguan metabolisme elektrolit seperti

kelumpuhan periodik yang diakibatkan oleh keadaan hipovolemi.

2.4 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada pasien AFP tentu saja sesuai dengan diagnosis yang telah

dibuat, tetapi secara umum adalah ABCs.

a. Bebaskan jalan napas dan berikan O2 bila terjadi penurunan kesadaran atau disfagia.

b. Pemeriksaan tekanan darah dan nadi secara berkala terutama pada kasus bradikardia

atau takiaritmia atau adanya disfungsi otonom.

22

Page 23: Acute Flaccid Paralysis

Gambar 2.3 Pendekatan Klinis Anak dengan AFP

23

Onset baru Kesulitan Berjalan

Gejala SSP (+)

Kelemahan Motorik atau Gejala SSP (-)

Gejala SSP

Gangguan Miskuloskeletal

Kelemahan anggota gerak bawah

Pertanyaan Klinis :Sphincter?Gangguan sensoris?

Refleks

Lokasi Klinis

Diagnosa Banding

Investigasi

SARAF TEPI MEDULA SPINALISOTOT

Intak Tidak

Intak Sarung tangan & Stocking

Intak Dermatoma

l

TergangguDermatomal

Menurun/Normal Absen Absen, menurun atau normal

-Pasca myosistis viral-Paralisis Berkala-Myosistis Toksik

Unilateral :-Infeksi enteroviral-Trauma lokal

Bilateral :-Sindroma Guilan Barre-Neuropati toksik

-Myelitis tranversa akut-Tumor ekstraspinal/ medula spinalis-AVM-Stroke merdula spinalis-Absen ekstradural-Tuberkolosis spinal-Araknoiditis spinal

Wajib :-Pemeriksaan AFP-MRI medula spinal

Opsional (Setelah MRI) :-Pemeriksaan T3-LCS: sel, protein, glukosa, kultur, antigen-LED, C3, C4, faktor annuklear

Wajib :-Pemeriksaan AFP-Creatine kinase-Elektrolit seruni-Myoglobin urin

Wajib :-Pemeriksaan AFP-Pemeriksaan konduksi saraf

Opsional :-MRI pleksus lumbosakral

Wajib :-Penanganan AFP-LCS sel protein-Pemeriksaan konduksi saraf-Kapasitas vital

Page 24: Acute Flaccid Paralysis

2.4.1 Sindroma Guillain-Barre (SGB)

Pada sebagian besar penderita Sindroma Guillain-Barre (SGB) dapat sembuh

sendiri. Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit

ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka

kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan

terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan\

melalui sistem imunitas (imunoterapi).

Kortikosteroid. Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat

steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB. Plasmaparesis atau

plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar.

Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan

klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama

perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml

plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal

onset gejala (minggu pertama).

Pengobatan imunosupresan:

1. Imunoglobulin IV

Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan

plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg

BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15

hari sampai sembuh.

2. Obat sitotoksik

Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah 6 merkaptopurin (6-MP),

Azathioprine, cyclophosphamid. Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia,

muntah, mual dan sakit kepala.

Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian

kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan

tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara lain: pada pemeriksaan

NCV-EMG relatif normal, mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat

onset.

2.4.2 Miastenia Gravis

24

Page 25: Acute Flaccid Paralysis

Mastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati.

Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan

penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada

miastenia gravis yang ringan.Sedangkan pada pasien dengan miastenia gravis

generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin.Penatalaksanaan miastenia

gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan, timomektomiataupun dengan imunomodulasi

dan imunosupresif terapi yang dapat memberikan prognosis yang baik pada kesembuhan

miastenia gravis.

Terapipemberian antibiotikyang dikombainasikan dengan imunosupresif dan

imunomodulasi yang ditunjangdengan penunjang ventilasi, mampu menghambat

terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas. Pengobatan ini dapat digolongkan

menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan tepat yang

memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat

mencegah terjadinya kekambuhan.

Plasma Exchange (PE)

PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang

menguntungkan menjadi prioritas.Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-

asetilkolin secara efektif.Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. Dimana

pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama

serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE.

Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami

masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani timektomi atau

pasien yang kesulitan menjalani periode pasca operasi. Belum ada regimen standar untuk

terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap

kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang

disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek

PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu.

Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadi retensi kalsium, magnesium, dan

natrium yang dapat menimbulkan terjadinya hipotensi.Ini diakibatkan terjadinya

pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung.Trombositopenia dan perubahan pada

berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang.Tetapi hal itu

25

Page 26: Acute Flaccid Paralysis

bukan merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan,

dan pemberian freshfrozen plasma tidak diperlukan.

Intravena Immunoglobulin (IVIG)

Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan

mampu memodulasi respon imun.Reduksi dari titer antibodi tidak dapat dibuktikan secara

klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi.

Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating aggregates

yang relatif aman untuk diberikan secara intravena. Efek dari terapi dengan IVIG dapat

muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi.

Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon yang

sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak

menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis.Sehingga IVIG

diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini

memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu.

Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan

1gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa

penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak

dilakukan pemasangan infus.

Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah flulike symdrome

seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24

jam pertama.Nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga

tetesan infus menjadi lebih lambat.

Intravena Metilprednisolone(IVMp)

IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam.Bila tidak ada respon,

maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian.Jika respon masih juga tidak ada, maka

pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon

terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada

terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi.

Penggunaan IVMp pada keadaan krisisakan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal

atau tidak dapat digunakan.

Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk

26

Page 27: Acute Flaccid Paralysis

pengobatan miastenia gravis. Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap

sistem imun dan efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum

diketahui.Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata

selama 3 bulan.Dimana respon terhadap pengobatan kortikosteroid akanmulai tampak

dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi.

Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari

titer antibodinya.Karena kortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T

helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel t serta antigen-presenting cell yang

teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan

kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis.

Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat

menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase.Dosis maksimal

penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada

pemberiannya.Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, aka timbul

efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi.

Azathioprine

Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin

yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan

RNA.Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh

tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan

obat imunosupresif lainnya.Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia

gravis yang secara relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis

tinggi.

Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari.

Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimal tercapai. Respon

Azathioprine sangat lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan.

Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga

dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain.

Cyclosporine

Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine.Dosis awal

pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis.

Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel Thelper.

27

Page 28: Acute Flaccid Paralysis

Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi

antibodi.Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas dan

hipertensi.

Cyclophosphamide (CPM)

Secara teori CPM memiliki efek langsung terhadap produksi antibodi

dibandingkan obat lainnya.CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada

proliferasi sel B, dan secara tidak langsung dapat menekan sintesis imunoglobulin.

Timektomi (Surgical Care)

Telah banyak dilakukan penelitian tentang hubungan antara kelenjar timus dengan

kejadian miastenia gravis.Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab

yang mungkin bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis.Banyak ahli

sarafmemilikipengalaman meyakinkan bahwa timektomi memiliki peranan yang penting

untuk terapi miastenia gravis, walaupun kentungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskan

dan masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang seksama.

Timektomitelah digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia gravis sejak

tahun 1940 dan untuk pengobatan timoma denga atau tanpa miastenia gravis sejak awal

tahun 1900. Tujuan utama dari timektomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari

kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien,dimana beberapa

ahli percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40% tergantung

dari jenis timektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang tergantung

dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara 40-60%pada lima hingga

sepuluh tahun setelah pembedahanadalah kesembuhan yang permanen dari pasien.

Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu

tahun setelah timektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang permanen (tidak

ada lagi kelemahan serta obat-obatan).

2.4.3 Poliomyelitis

Terapi lama. Polio tidak dapat disembuhkan dan obat anti-virus tidak

mempengaruhi perjalanan penyakit ini. Terapi poliomyelitis tak ada yang spesifik, tetapi

tergantung penyulityang terjadi. Inhibisi metabolik untuk mencegah serangan virus ke

susunan saraf yang dilakukan in-vitro tidak dapatdikerjakan pada manusia.

Pemberianimmunoglobulin mungkin dapat mencegah penyebaran hematogen ke

28

Page 29: Acute Flaccid Paralysis

susunansaraf, tetapi bila fase paralitik telah terjadi, sudah terlambat. Selain fisioterapi

danortopedi perlu diperhatikan fungsi yang lain. Manajemen pengobatan suportif yang

baik (respirasi buatan pada anak) gangguan respirasi ataukardiovaskuler.Jika otot-otot

pernafasan menjadi lemah, bisa digunakan ventilator.

Tujuan utama pengobatan adalah mengontrol gejala sewaktu infeksi

berlangsung.Perlengkapan medis vital untuk menyelamatkan nyawa, teruatma

membantu pernafasan mungkin diperlukan pada kasus yang parah. Jika terjadi infeksi

salurankemih, diberikan antibiotik. Untuk mengurangi sakit kepala, nyeri dan kejangotot,

bisa diberikan obat pereda nyeri. Kejang dan nyeri otot juga bisa dikurangidengan

kompres hangat. Untuk memaksimalkan pemulihan kekuatan dan fungsiotot mungkin

perlu dilakukan terapi fisik, pemakaian sepatu korektif atau penyangga maupun

pembedahan ortopedik.

Fase Pre-paralitik 

Selama epidemik polio semua penderita dengan gejala sistemik yang tak

spesifik harus diperhatikan kemungkinan terjadi paralisis. Tirah baring

merupakan pengobatan yang penting untuk menjaga terjadinya footdrop, bila anak

tampak gelisah dapat diberikan sedative ringan seperti diazepam, pada otot yang

sakitdiberikan kompres buli-buli panas, dan dapat diberikan antipiretik bilademam.Selain

itu juga dianjurkan untuk diet tinggi kalori tinggi protein

Fase Paralitik. 

Selama fase akut dapat diberi analgetik non narkotik, misalnya aspirin

atauacetaminophen. Rasa nyeri pada otot dikurangi dengan mengurangimanipulasidan

untuk menghindari terjadinya regangan pada otot diberikan splint.

 Perlu dilakukan gerakan pasif pada otot secara halus. Dianjurkan

fisioterapidimulai pada masa konvalesens untuk mencegah kontraktur. Pemberian

cairansuplemen bila per-oral kurang dan pemberian enema bila obstipasi. Setelah faseakut

lewat, mulai dilakukan fisioterapi aktif. Konsultasi ortopedi dapat dilakukansegera terapi

operasi, biasanya dilakukan 1-2 tahun setelah awitan.  

Terapi baru: Periacetabular OsteotomiTeknik pembedahan. Teknik Bernese

periacetabular osteotomy pertama kali dijelaskan pada 1987 dan mulai berevolusi dengan

sedikit perubahan. Dokter menggunakan pendekatan Smith-Petersen dimodifikasi ke

pinggul, yang memungkinkan perlindungan kulitsaraf femoralis lateralis. Osteotomy dari

29

Page 30: Acute Flaccid Paralysis

spina iliaka anterior superior dengantendon dan ligamen inguinal sartorius terpasang

dilakukan untuk mengurangiketegangan pada saraf kutaneus lateralis femoralis. Untuk

dua pasien yangdioperasi sebelum tahun 1993, asal-usul fasciae latae tensor dan gluteus

mediusdan otot paling bungsu dibebaskan dari panggul, namun, setelah 1993,

osteotomyyang dilakukan melalui pendekatan yang tetap teknik saat ini disukai. Kedua

ototrektus femoris terlepas dari asal-usul dan tercermin medial. Serat dari otot m.iliakus,

yang melekat pada kapsul anterior pinggul, yang dibedah sampai pectineal bursa

divisualisasikan dan tendon m. psoas itu terkena. Para osteotomiesdilakukan di Eropa

oleh salah satu dari kami (RG) dilakukan tanpa bimbinganfluoroscopic, tetapi anatomi

dan tanda didefinisikan dengan baik. Kolom posterior panggul itu tetap utuh, dan fragmen

acetabular lateral, anterior, danmedial yang diperlukan untuk diputar mencapai optimal

penahanan kepalafemoral. sebuah intraoperatif radiografi panggul dibuat untuk

memverifikasi posisi yang memadaifragmen acetabular.

Perbaikan dalam penahanan radiografi dikaitkan dengan penurunan

dalamkeparahan nyeri pada semua pasien. Semua pasien mengalami penurunan

dalam beratnya nyeri, dengan peningkatan kurang dalam fungsi. osteotomy yang

tidak andal meningkatkan fungsi otot, seperti yang hanya dua dari delapan otot

pasienyang sebelum operasi Kekuatan dikenal perbaikan telah di otot kekuatan di

saatterakhir tindak lanjut. keseluruhan baik hasil klinis yang diperoleh keseluruhan baik,

dengan peningkatan yang signifikandari skor rata-rata dari pinggul Harris preoperasi 53

(kisaran, 43-70) sampai 80 pasca operasi (kisaran, 72-93, p <0,001).Kurangnya

peningkatan fungsi pada beberapa pasien adalah dikaitkan dengankombinasi dari

kelemahan otot yang persisten tentang pinggul dan kecacatan yang berhubungan dengan

sendi lainnya. dalam kebanyakan kasus, berjalan kaki danmenggunakan alat bantu cara

berjalan sangat tergantung pada kehadiran atau tidak adanya kecacatan yang terkait

dengan sendi lainnya.

2.5 Prognosis

Prognosis AFP berdasarkan masing-masing penyebab dan penanganan.

Penanganan yang baik akan memberikan prognosis yang baik.

30

Page 31: Acute Flaccid Paralysis

2.6 Program Depkes

Poliomyelitis merupakan etiologi AFP yang penting, karena penyakit ini dapat

menyebabkan disabilitas permanen yang sebenarnya dapat dicegah dengan imunisasi.

Eradikasi poliomyelitis masih menjadi program utama WHO, karena kejadian

poliomyelitis masih dilaporkan terjadi di beberapa negara berkembang. Meskipun di

Indonesia telah dinyatakan bebas polio sejak tahun 1995, namun sejumlah bayi dan anak

balita di Sukabumi positif terjangkit virus polio liar. Kepastian diagnosis di dapat dari

pemeriksaan laboratorium dengan isolasi virus dari sampel feses, sekresi orofaring dan

LCS. Diagnosis presumtif dibuat dengan adanya peningkatan titer antibodi empat kali

atau lebih. Respons antibodi setelah pemberian imunisasi sama dengan respons antibodi

sebagai akibat infeksi virus polio liar, karena itu interpretasi respons antibodi ini menjadi

sulit.

Sampai saat ini pelaporan kasus masih menjadi masalah di negeri kita, karena itu

wajib dilaporkan setiap ditemukan adanya kasus kelumpuhan akut (AFP) pada anak

berusia kurang dari 15 tahun. Hasil kultur virus dari tinja, informasi demografis, riwayat

imunisasi, hasil pemeriksaan klinik serta pemeriksaan gejala sisa kelumpuhan setelah 60

hari harus disertakan dalam laporan tambahan. Demikian pula kasus nonparalitik juga

harus dilaporkan kepada instansi kesehatan setempat.

31

Page 32: Acute Flaccid Paralysis

BAB III

KESIMPULAN

Acute Flaccid Paralyis adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan Flaccid

Paralysis (lumpuh layuh) dan onsetnya akut. Istilah flaccid menunjukkan kelumpuhan

Lower Motor Neuron (LMN). AFP ini ditandai dengan adanya kelumpuhan motorik

dengan cepat (<4 hari). Tonus menghilang dan mengenai anak kelompok < 15 tahun.

AFP merupakan kejadian akut yang merupakan keadaan emergency. Beberapa

keadaan memberikan penampilan yang sama, namun karena etiologi dan penatalaksanaan

yang berbeda, dokter harus dapat mengetahui dan membuat diagnosis yang tepat sehingga

penatalaksanaannya pun tidak terlambat. Beberapa petunjuk dalam melakukan anamnesis,

pemeriksaan klinik dan pemeriksaan neurologis serta pemeriksaan penunjang diharapkan

dapat membantu ketepatan diagnosis sehingga penatalaksanaan terhadap pasien menjadi

lebih baik.

Penatalaksanaan pada pasien AFP tentu saja sesuai dengan diagnosis yang telah

dibuat (sesuai penyebab kelumpuhan), tetapi secara umum adalah ABCs. Prognosis AFP

berdasarkan masing-masing penyebab dan penanganan. Penanganan yang baik akan

memberikan prognosis yang baik. Setiap ditemukan adanya kasus kelumpuhan akut

(AFP) pada anak berusia kurang dari 15 tahun wajib dilaporkan kepada instansi kesehatan

setempat.

32

Page 33: Acute Flaccid Paralysis

DAFTAR PUSTAKA

1. Andi Basuki (Ed). Kegawatdaruratan Neurologi Edisi 2. Bandung: UPF Ilmu

Penyakit Saraf UNDIP/RS Hasan Sadikin; 2012. p. 143-147.

2. Alberta Health and Wellness. Acute Flaccid Paralysis (AFP). Public Health

Notifiable Disease Management Guidelines; 2011.

3. Marx A, Glass JD, dkk. Differential Diagnosis of Acute Flaccid Paralysis and Its

Role in Poliomyelitis Sueveillance. The Johns Hopkins University School of Hygiene

and Public Health, 22 (2), 2000; p.298-316.

4. DSS Harsono.2007. Kapita selekta neurologi. Jakarta : Gajah Mada University Press;

2007. p. 119-26; 137-43.

5. Behrman RE, Kliegman RM, Jensen HB, Nelson Text book of paediatrics, 17th

edition. Philadelphia: WB Sauders company. 2004, page 833-40.

6. Draft Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Agustus

2007. Hal: 299-302.

7. Anonim. Chapter 34: Acute Flaccid Paralysis. GBL: 2003, p. 226-228.

8. Soetomenggolo Taslim S. Ismael Sofyan. Buku Ajar Neurologi Anak. Cetakan ke-2.

Jakarta, 1999: 190-241.

33