abstrak perkotaan jalan raya 2
DESCRIPTION
PJRTRANSCRIPT
ABSTRAK
Artikel ini akan membahas secara spesifik mengenai perkembangan dari jalan raya yang ada di kota Surakarta pada awal abad XX. Jalan raya merupakan salah satu faktor yang vital dalam perkembangan suatu kota, baik dalam kegiatan ekonomi, transportasi, bahkan hingga kepentingan militer. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana jalan raya yang terbentuk dan kemudian membentuk suatu kawasan yang baru yang terletak di pinggir jalan raya yang ada di Surakarta.
Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian mengenai jalan raya yang ada di Surakarta pada awal abad XX adalah dimulai dengan tahap Heuristik atau pengumpulan data-data yang berupa arsip sezaman, surat kabar sezaman, artikel, foto, gambar, atau buku-buku referensi. Tahap selanjutnya adalah Kritik Sumber yaitu tahap menganalisis keaslian dan kevalidan dari sumber yang digunakan baik sumber tertulis maupun sumber lisan. Tahap interpretasi adalah tahap menganalisis data yang diperoleh sehingga memperoleh fakta-fakta yang terjadi dalam suatu peristiwa. Tahap yang terakhir adalah tahap historiografi yang menyajikan fakta-fakta yang telah diperoleh dari sumber-sumber yang valid menjadi suatu penulisan sejarah. Pendekatan dari cabang-cabang ilmu lain juga sangat diperlukan dalam penelitian ini, terutama dalam menganalisis dari segi tata kota dan kearsitekturan.
Hasil dari penelitian ini akan mengungkapkan seperti apa fungsi jalan raya yang ada di kota Surakarta beserta dengan dampak sosial ekonomis serta urban symbolisme yang terjadi dan untuk mengetahui bagaimana jalan raya yang terbentuk dan kemudian membentuk suatu kawasan yang baru yang terletak di pinggir jalan raya yang ada di Surakarta. Surakarta yang pada awal abad XX telah menjadi salah satu kawasan perkotaan yang ramai, hal ini karena Surakarta terdapat dua poros kerajaan besar yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran. Membahas mengenai jalan raya di Surakarta tidak terlepas dari Jalan Slamet Riyadi atau dulu sering disebut dengan poerwasariweg yang merupakan jalan utama kota Surakarta dan jalan raya lama atau jalan yang digunakan dalam rute paliyan nagari “boyong kedhaton” dari Kartasura ke Surakarta yang disebut sebagai salah satu jalan tertua yang ada di daerah Vorstenlanden. Kehidupan perekonomian di Surakarta juga sudah maju dengan adanya beberapa pabrik-pabrik besar, mulai dari pabrik gula Colomadu dan Tasikmadu, pabrik es Sari Petojo, pabrik air mineral, dan pabrik rokok Faroka yang sebagian besar berada di pinggir jalan raya. Keberadaan jalan raya kemudian juga melahirkan alat-alat transportasi modern yang muncul di Surakarta pada awal abad XX, mulai dengan adanya trem hingga mobil-mobil pribadi yang juga berbagi jalan dengan para pejalan kaki serta gerobak. Jalan raya yang dianggap penting sebagai pendorong perekonomian kota, salah satu yang dibutuhkan yaitu penerangan. Sebuah lampu minyak yang sengaja dipasang untuk menerangi jalan raya barulah beralih menjadi lampu kota bertenaga listrik setelah masuknya listrik di Surakarta pada tahun 1905. Alat transportasi dan listrik ini juga menimbulkan pembangunan hotel-hotel, tempat-tempat hiburan dan toko-toko kelontong yang mulai menjamur di Surakarta.
Kata kunci : jalan raya, transportasi, poerwasariweg, urban symbolism
Jalan Raya dan Politik Penguasa di Kota Solo Awal Abad XX
Disusun Guna Memenuhi Tugas Sejarah Perkotaan
Pengampu : Asti Kurniawati, S.S, M.Hum.
Disusun Oleh:
1. Apriliandi Damar Priyambodo C05100112. Sayid Basunindyo C0510039
JURUSAN ILMU SEJARAHFAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARETSURAKARTA
2014
Jalan Raya dan Politik Penguasa di Kota Solo Awal Abad XXOleh : Apriliandi Damar & Sayid Basunindyo
Masalah kondisi lingkungan kota-kota di Indonesia di awal abad XX yang salah
satunya menyangkut tentang jalan raya. Pada dasarnya tengah kota di seluruh Indonesia
mengalami permasalahan yang sama mengenai buruknya infrastruktur kota yang
disebabkan ketidakpedulian pemerintah kolonial. Pada masa itu pemerintah kolonial terlalu
mementingkan pembangunan dalam sektor-sektor yang berhubungan erat dengan
perekonomian, contohnya adalah pembangunan besar-besaran dalam sektor perkebunan
yang membuat pemerintah terlalu acuh dalam pembangunan infrastruktur perkotaan.
Kota Surakarta yang menjadi pusat kerajaan Mataram ditambah dengan kehadiran
residen pada tahun 1755 membawa perkembangan baru terhadap perkampungan di kota
Surakarta yang diidentifikasi oleh munculnya gedung-gedung bergaya Eropa, komplek
pertokoan, sekolah, dan Benteng Vastenburg sebagai pusat perkampungan Eropa yang
terletak di Loji Wetan.1 Pusat kota sering diidentikkan dengan pusat perekonomian dan juga
pusat pemerintahan. Sebagian besar pemukim di daerah pusat kota adalah para pejabat atau
juga para bangsawan dan juga orang-orang yang mempunyai uang yang banyak.
Pembangunan perkotaan ini mulai dilakukan saat awal abad 17 dengan gaya bangunan
Eropa yang mendominasi kawasan kota.2 Ketakutan orang Eropa terhadap penduduk asli
setempat dengan begitu memunculkan pemikiran untuk menciptakan pemukiman dengan
benteng-benteng pertahanan seperti Benteng Vastenburg.
Pengaturan tempat yang sedemikian rupa itu berkaitan dengan kepentingan
keamanan pemerintah kolonial di Surakarta. Sebelum menguasai sebuah kota, biasanya
pemerintah kolonial mendirikan benteng di sekitar sungai yang berfungsi sebagai tempat
menyimpan hasil bumi yang akan dijadikan sebagai barang ekspor. Setelah berhasil
1 M. Hari Mulyadi & Soedharmono, Runtuhnya Kekuasaan Keraton Alit, (Surakarta: LPTP,1999), hlm. 190.
2 Purnawan Basundoro, Pengantar Sejarah Kota, (Jogjakarta: Ombak, 2012), hlm. 88.
menguasai sebuah kota kemudian pemerintah kolonial membangun sebuah townhall atau
balaikota sebagai pusat pemerintahan yang nantinya akan menjadi pusat kota baru. jalan
yang berada di sekitar townhall nantinya akan menjadi jalan utama kota atau heerenstraat.3
Jalan utama di Surakarta yang menjadi heerenstraat adalah poerwasariweg atau Jalan
Slamet Riyadi, yang kemudian lambat laun tumbuh sebagai aspek pendukung aktivitas
ekonomi kota. Dengan demikian proses perkembangan Poerwasariweg sejak mulai
dibangun hingga menjadi sebuah jalan raya serta urban simbolisme yang meniimbulkan
persaingan simbol politik dan budaya antar penguasa menarik untuk dibahas.
Poerwasariweg: Jalan Raya Pertama Kota Solo
Jalan dinilai sebagai elemen penting dalam keberlangsungan suatu kota, bahkan
juga negara. Hal inilah yang mendorong Daendels ketika menjadi Gubernur Jenderal untuk
membuat akses jalan agar dapat mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Daendels
kemudian membangun jalan dari Anyer-Panarukan atau yang sering disebut juga sebagai
Grote Postweg guna mempermudah dalam mobilisasi militer di Jawa. Grote Postweg atau
jalan raya pos ini memiliki skema yang sama seperti “Roman Highroads”, dimana
pembangunannya untuk kepentingan militer. Pembangunan jalan ini membutuhkan biaya
dan pekerja dalam jumlah besar. Dampak positif dari Jalan raya pos ini adalah mampu
meningkatkan keuntungan penduduk lokal baik industri maupun perdagangan dan bagi
pemerintah kolonial dapat memudahkan mobilisasi militer.
Surakarta sebagai kota yang strategis juga memiliki beberapa akses jalan yang
sangat mendukung. Jalan Slamet Riyadi atau Poerwasariweg merupakan jalur pindahan
dari jalan protokol kota yang sebelumnya berada melintasi Kartasura hingga Slompretan
atau kawasan Klewer. Peristiwa penting yang terjadi di jalan itu yakni prosesi boyong
kedhaton atau perpindahan Kraton Kartasura ke sebuah desa Sala yang kemudian menjadi
3 Rully Damayanti & Handinoto, Kawasan “Pusat Kota” Dalam Perkembangan Sejarah Perkotaan Di Jawa dalam jurnal Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 33, No. 1, Juli 2005: hlm.34 – 42.
pusat Kraton Surakarta Hadiningrat akibat dari peristiwa geger pecinan yang
membumihanguskan Kartasura sehingga diyakini telah hilang kesuciannya.
Jauh seusai peristiwa palihan nagari dari Kartasura ke Surakarta yang diikuti oleh
kehadiran pemerintahan kolonial, mulai memunculkan keinginan untuk menciptakan akses
baru menuju pusat pemerintahan kolonial. Pada tahun 1900 pembangungan terhadap
infrastruktur kota yang diprakarsai oleh pemerintah kerajaan dan pemerintah kolonial
menghasilkan infrastruktur yang mengacu pada konsep kota modern. Salah satunya yaitu
pembangunan jalan raya dari kawasan Purwosari hingga kawasan Benteng Vastenburg
yang kala itu menjadi pusat pemerintahan. Jalan yang sengaja dibangun sebagai akses
langsung mengarah ke wilayah mancanegara ini berguna untuk mempermudah proses
mobilitas antar wilayah kekuasaan pemerintah kolonial. Barulah semenjak itu jalan Slamet
Riyadi dikatakan sebagai hereenstraat atau jalan utama.
Penentuan jalan utama ini bisa dilihat dalam hal penamaan jalan, Poerwasariweg
yang menggunakan akhiran “weg” bukan “straat”. Kata straat mempunyai arti jalan lokal
atau juga jalan yang masih berbatu, sedangkan weg mempunyai arti menghubungkan dua
lokasi. Lokasi yang dimaksud adalah Pusat kota (Vastenburg) dan Purwosari, maka
dinamakanlah jalan ini Poerwasariweg. Jalan sepanjang sekitar 5 km ini merupakan tempat
favorit bagi orang Eropa dan orang kaya untuk membangun rumah yang mewah dan juga
kawasan pertokoan.
Semenjak Poerwasariweg menjadi jalan utama, banyak muncul komunitas asing
yang mulai tergerak untuk memanfaatkan keberadaan jalan untuk kepentingan
perekonomian dengan membuka komplek pertokoan, hotel atau penginapan, pabrik dan
pusat hiburan. Antara lain pertokoan yang telah ada di Surakarta yakni Toko Daging
Kemasan “Parmesan”, Toko Keju “Edam”, Toko Pakaian bagi militer maupun sipil, Toko
Lobato, Toko Ahli Membuat Jam “Fritchi”. Kemudian untuk pabrik-pabrik yang didirikan
antara lain Pabrik Rokok “Faroka”, Pabrik Es “Sari Petodjo”, Pabrik Air Mineral serta hotel
yang berdiri adalah Hotel Soerakarta.4 Kemunculan beberapa pertokoan maupun hotel yang
4 Susanto, Solo Kota Plesiran 1870 – 1942 (Sebuah Kajian Tourist System Pada Masa Kolonial) dalam Makalah dipresentasikan pada Konferensi Nasional Sejarah
berada di sekitar Poerwasarieweg menunjukkan terjadinya perubahan gaya hidup kota.
Letak Sriwedari yang berada di pinggir Poerwasarieweg juga menjadi suatu daya tarik
tersendiri, mulai dari bioscoop, kebun binatang, pertunjukan wayang orang, dan restauran
terdapat di kompleks Sriwedari.
Aktivitas yang ada di jalan raya ini tidak hanya berlangsung saat pagi hingga siang
hari saja sehingga untuk menunjang aktivitas di malam hari diberikan penerangan yang
berupa lampu ting atau lampu teplok yang memakai kaca berbentuk segi empat. Lampu ting
itu ditata secara tergantung di tengah jalan raya dengan jarak 1 meter setiap lampunya.
Hanya saja kelemahan dari lampu ting ini terletak pada kondisi cuaca, hujan maupun angin.
Barulah pada tahun1902, teknologi listrik masuk di Surakarta dengan sebuah pembangkit
listrik yang kemudian berkembang menjadi sebuah perusahaan listrik “Solosche
Electriciteist Maatschappij” dengan dukungan para saudagar yang dirasa sangat
membutuhkan teknologi baru ini. Dan pada saat itu pula transformasi pada penerangan kota
dari lampu minyak menjadi lampu kota bertenaga listrik.5 Selain berkaitan dengan
penerangan juga berkaitan dengan peningkatan perekonomian di sepanjang jalan
Poerwasarieweg seperti halnya bertambahnya waktu produktif yang diterapkan di toko-
toko maupun hotel.
Semakin besar pertumbuhan ekonomi suatu perkotaan juga mempengaruhi
pertumbuhan penduduk dan semakin menunjukkan secara jelas corak kekotaan suatu
tempat. Kehidupan sosial yang berada di pinggir Poerwasarieweg juga mencerminkan
betapa majunya Surakarta sebagai suatu kota besar, hal ini ditunjukkan dengan orang-orang
di pinggir jalan Poerwasarieweg terdorong untuk melakukan kegiatan mencari nafkah di
bidang non-agraris seperti perdagangan, industri dan perkantoran. Poerwasarieweg menjadi
salah satu titik pertemuan orang-orang di Surakarta, mulai dari orang-orang Eropa,
bangsawan, dan pribumi baik yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan, pedagang,
maupun buruh.
Indonesia IX di Jakarta, 5 -8 Juli 2011. hlm. 35 R.M. Sayid, Babad Sala, (Rekso Pustoko: Surakarta, 2001), hlm. 68-69
Pengguna dari jalan Poerwasarieweg ini juga bermacam-macam dan terdapat
stratifikasi pengguna jalan, mulai dari pejalan kaki, gerobak, mobil, dan trem. Para pejalan
kaki yang kebanyakan merupakan pribumi, baik bangsawan maupun rakyat jelata
mendominasi jalan Poerwasarieweg pada awalnya. Pejalan kaki ini awalnya bersaing
dengan gerobak sapi dalam penggunaan jalan, namun seiring perkembangan teknologi
transportasi Poerwasarieweg mulai disesaki oleh kendaraan bermotor seperti mobil-mobil
para bangasawan dan trem. Keberadaan mobil dan trem tersebut semakin membuat para
pejalan kaki berdebar-debar karena semakin tergusur dengan pengguna mobil yang kerap
melaju kencang. Untuk meminimalisir kecelakaan yang terjadi antara pejalan kaki dan
pengguna mobil maka ditugaskan beberapa orang yang ditempatkan di persimpangan yang
ramai. Untuk mendukung suasana perkotaan yang rindang maka pinggiran jalan
Poerwasarieweg sengaja ditanami dengan pepohonan yang didominasi oleh pohon asem
jawa dan penduduk sekitar Poerwasarieweg menyediakan kendi yang berisi air untuk para
pejalan kaki. Hal tersebut menunjukkan interaksi sosial yang terjadi karena adanya jalan
Poerwasarieweg.
Perencanaan Poerwasarieweg juga mementingkan keselamatan penggunanya.
Datarnya permukaan jalan Poerwasarieweg ini menunjukkan bentuk minimalisir
kecelakaan yang terjadi selain disediakannya sejumlah petugas pengatur jalan di setiap
persimpangan besar dan titik keramaian. Ditempatkannya beberapa petugas ini juga
menunjukan bahwa ramainya lalu lintas di Poerwasarieweg saat itu, hal yang tidak bisa
dihindari dari ramainya jalan adalah kecelakaan. Oleh karena itu, di pinggir
Poerwasarieweg atau tepatnya berseberangan dengan Sriwedari terdapat Gouvt. Hospitaal
yang memudahkan untuk perawatan jika ada kecelakaan lalu lintas. Hampir sebagian jalan
di distrik Surakarta pada tahun 1894 sudah diaspal terutama di Poerwasarieweg,
pengaspalan sepanjang Poerwasarieweg ini dilakukan agar orang-orang Eropa yang
bermukim di sepanjang Poerwasarieweg tidak terganggu dengan debu yang berterbangan
saat kemarau dan beceknya jalan saat musim hujan. Pembuatan jalan Poerwasarieweg yang
lebar juga mempertimbangkan masa yang akan datang dimana jalan akan dipenuhi dengan
mobil-mobil.
Poerwasarieweg ini juga sudah memperhatikan dalam hal drainase, dimana
letaknya kini berada di atas jalur city walk. Saluran drainase ini sangatlah penting karena
Surakarta sering mengalami banjir saat musim hujan yang meluap sampai ke pusat kota.
Belanda memang menciptakan Surakarta dengan baik, ramah lingkungan, dan mendukung
aktivitas ekonomi yang bermanfaat bagi orang Belanda sendiri bukan untuk pribumi. Hal
ini didukung dengan pembangunan jalur trem dari Sangkrah-Purwosari untuk selanjutnya
menuju Jogjakarta dan dari Balapan menuju ke Semarang. Serta kebanyakan penumpang
dari trem adalah para orang Eropa dan juga pribumi yang mampu saja.
Pembatas Ruang Politik dan Budaya
Poerwasarieweg membelah kota menjadi dua kultur yang berbeda, antara
kampung lor dan kampung kidul yang mendapat pengaruh dari penguasa di kota Solo yakni
Kasunanan dan Mangkunegaran. Ideologi kerajaan yang berbeda ini mempengaruhi
pertumbuh struktur perkotaan di sekitarnya. Seperti pada aspek pendidikan, yang dimana
pada belahan utara jalan slamet riyadi berkembang pendidikan dengan system modern
seperti MULO karena Mangkunegaran banyak mendapat stimulan dari pihak kolonial yang
ikut berpartisipasi dalam pemerintahan Mangkunegaran. Sedangkan di belahan
Poerwasarieweg tumbuh pendidikan dengan sistem islam, seperti halnya banyak ditemui
pondok pesantren seperti Mamba’ul Ulum, Ta’mirul, dan Jamsaren. Hal ini dipengaruhi
oleh ideologi islam yang dianut oleh Kasunanan, karena memang masih mengadopsi kultur
dari dinasti Mataram Islam.
Selain itu keberadaan dua kerajaan yang memilik pandangan berbeda ini juga
mempengaruhi pada kebudayaan yang berkembang di masyarakat kerajaan maupun
masyarakat luas. Dalam hal ini terlihat pada bagaimana Mangkunegaran lebih terbuka dan
Kasunanan cenderung berlandaskan ideologi islam. Dengan demikian muncul anggapan
bahwa gerakan misionaris jauh lebih berkembang di belahan utara Poerwasarieweg
daripada di belahan selatan. Pengaruh itu juga berdampak pada kebudayaan yang
berkembang, budaya Eropa terlihat pada infrastruktur yang diprakarsai oleh pemerintah
mangkunegaran untuk kepentingan yang berkaitan dengan romantisme Mangkunegaran
dengan pihak colonial. Terlihat pada banyaknya societeit di sekitar kadipaten
Mangkunegaran. Berbanding terbalik dengan kondisi yang ada di sekitar Kasunanan,
kebudayaan tradisional sangat dipertahankan dengan berbagai macam upacara yang digelar
serta tradisi yang berkembang lebih kompleks.
Poerwasarieweg ini juga dapat menjadi sebuah penanda selain Gapura jika sudah
berada di pusat kota Surakarta. Indikasi tersebut didapat karena sepanjang Poerwasarieweg
ini banyak berjajar pemukiman-pemukiman mewah, pusat hiburan berupa komplek
Sriwedari dan gedung teater, pusat pemerintahan yaitu gedung Residen dan Asisten residen
berada di pinggir Poerwasarieweg bahkan Kapiten Cina juga mempunyai rumah di dekat
Sriwedari. Saat seseorang berada di Poerwasarieweg yang mereka pikirkan adalah sebuah
pusat kota. Orang-orang mancanegara memang menjadikan Surakarta sebagai kota
destinasi wisata seiring dengan kebutuhan akan munculnya ekonomi waktu luang atau
leisure economy.6
Perang Simbol Penguasa di Jalan Raya
Transportasi publik yang memadai bagi penduduk maupun pendatang sepanjang
Poerwasarieweg dimana pengadaan trem untuk angkutan terjadi pada sekitar tahun 1900
yang dimulai dari pusat kota, yaitu dari halte di depan Benteng Vastenburg. Trem ini ditarik
dengan kuda yang pada setiap pos akan berhenti karena menjadi tempat naik turunnya
penumpang. Rute yang dilalui dari Benteng Vastenburg ke arah selatan ke barat menuju
Purwosari, trem berhenti sekali di Kauman menuju Derpoyudan sebelah barat Nonongan,
ke barat sampai di halte Pasar Pon, dari situ kereta dapat bersimpangan dengan trem yang
datang dari barat. Perjalanan trem melintasi jalan besar di sebelah selatan ke barat berhenti
di Bendha depan Sriwedari menuju Pesanggrahan (Ngadisuryan) berbelok ke utara
memotong jalan besar sampai stasiun Purwosari dan berhenti di situ. Dari Purwosari kereta
6 Susanto., op.cit.,hlm. 2.
menuju ke barat dan berakhir di Dusun Gembongan di mana ada pabrik gula. Trem berhenti
di situ sebagai pengangkut punggawa pabrik yang akan pergi ke Solo.7
Selain trem, jalanan Poerwasarieweg sudah dipenuhi dengan para pejalan kaki dan
gerobak-gerobak kuda atau sapi yang hilir mudik sepanjang jalan. Para pejalan kaki ini
umumnya berjalan tanpa alas kaki, mereka harus berbagi jalan dengan gerobak-gerobak
sapi yang kadang kala membuang kotoran di sepanjang jalan dan belum lagi debu-debu
yang dihasilkan saat mobil-mobil melintas menambah kesengsaraan para pejalan kaki ini.
Perkembangan dalam dunia otomotif ini semakin menggusur para pejalan kaki ini, hal ini
menyimbolkan bahwa adanya penindasan para pejalan kaki yang kebanyakan merupakan
pribumi oleh para pengemudi mobil-mobil yang kebanyakan merupakan orang Eropa
seperti yang diungkapkan oleh Mas Marco dalam Doenia Bergerak. Jalan awalnya memang
dibuat untuk memudahkan mobilisasi orang atau barang dari satu tempat ke tempat lain,
namun seiring dengan berkembangnya zaman jalan memiliki makna dan implikasi yang
semakin luas. Jalan tidak lagi sebagai infrastruktur kota tapi juga sebagai arena untuk
mempertontonkan kekuasaan, kekayaan, gaya hidup, dan bahkan dalam waktu yang
bersamaan dapat juga untuk meminggirkan kelompok-kelompok tertentu yang kalah dalam
persaingan.8
Pakubuwono X lalu menggunakan mobil sebagai simbol perlawanan terhadap
Belanda, sikap ini diperjelas dengan pembelian mobil Daimler tersebut oleh keluarga Sunan
Solo, disebabkan karena Sunan tidak mau kalah gengsi dengan Gubernur Jenderal.
Sebelumnya, ketika Gubernur masih menggunakan mobil merk Fiat atau sebuah kereta
yang ditarik dengan 40 ekor kuda, tidak seorang pun berani menyainginya. Tetapi tiba-tiba
saja Sunan Solo memesan mobil dari pabrik dan merk yang sama, Kanjeng Raden
Sosrodiningrat memesan mobil Daimlernya lewat Prottel & Co.9
7 Joko Prayitno, Masyarakat Dan Perubahan Sosial: Surakarta Awal Abad XX dalam http://phesolo.wordpress.com/2012/06/28/masyarakat-dan-perubahan-sosial-surakarta-awal-abad-xx/ diakses pada 21 Mei 20148 Purnawan Basundoro., op.cit., hlm. 167.9 Joko Prayitno, Mobil Masa Kolonial Belanda, Sebuah Pameran Kekuasaan dalam http://phesolo.wordpress.com/2011/12/21/mobil-masa-kolonial-belanda-sebuah-pameran-kekuasaan/ diakses pada 21 Mei 2014.
Terciptanya suatu pusat kota baru yaitu dalam bentuk jalan Poerwasariweg yang
semakin “merusak” sentralitas raja. Pembentukan pusat kota baru di Surakarta ini
nampaknya hanya menguntungkan bagi pihak Belanda, karena secara gamblang
pertumbuhan kota Surakarta terlepas dari rencana keraton. Belanda mulai membangun
komunitas-komunitas pemukiman Eropa di Loji Wetan dan Vastenburg dibangun dekat
dengan keraton agar mudah mengawasi raja. Pergeseran orientasi yang memperlemah
simbolisme tradisional ini terjadi juga pada tata letak bangunan Eropa di lingkungan istana.
Di Solo, pada awal abad XX masyarakat kota sudah bisa menyaksikan perpaduan
kekuasaan yang mengganggu keseimbangan istana. Kantor Residen Belanda berdiri
melawan Gedung Kepatihan, Benteng Vastenburg melawan Panggung Sanggabuwana,
Gereja Khatolik Purbayan melawan Masjid Agung, Bondolumekso melawan Javasche
Bank dan Volkscredit Bank, serta Taman Sriwedari dan Balekambang yang melawan
Schouwburg dan Gedung Societeit.10
Kesimpulan
Fungsi Poerwasariweg sebagai sebuah jalan raya di Surakarta memiliki fungsi
sebagai sebuah akses menuju wilayah sentral yang mana berkaitan dengan wilayah
pemerintahan baik pmerintah kolonial pada benteng maupun pemerintah tradisional pada
istana atau kraton. Selain itu Poerwasariweg juga berfungsi menjadi sebuah jalur
perdagangan Solo-Jogja maupun dari Purwosari ke arah pusat-pusat perekonomian seperti
Pasar Gedhe dan Pasar Slompretan atau Klewer. Dari situ pula lah di pinggir jalan raya
didapati komplek pertokoan yang dimiliki oleh komunitas asing.
Munculnya komunitas-komunitas asing di sekitar Poerwasariweg ini
menunjukkan adanya dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan oleh keberadaan jalan raya.
Poerwasariweg menjadi lokasi favorit bagi orang kaya dari kalangan Eropa, Tionghoa,
maupun pribumi untuk membangun rumah besar yang mewah, dikelilingi halaman luas, di
lingkungan cukup representatif. Mereka menganggap bahwa Poerwasariweg memiliki nilai
10 Hari Mulyadi & Soedharmono., op.cit., hlm. 321
ekonomis, sehingga mereka mulai bermunculan komplek pertokoan yang berupa ruko-ruko
di pinggir jalan.
Disamping itu keberadaan Poerwasariweg memberikan dampak bagi para
penguasa, terlebih dengan adanya jalan raya ini memberikan sebuah batasan budaya antara
sisi selatan didominasi budaya islam tradisional oleh pengaruh Kasunanan dan sisi utara
didominasi budaya modern oleh pengaruh Mangkunegaran. Dengan demikian muncullah
perang simbol antar penguasa yang ditunjukkan melalui sebuah persaingan budaya antara
penguasa lokal dengan penguasa kolonial. Yang terkadang dari persaingan ini berdampak
pada bergesernya “pakem” atau tatanan kraton dalam penataan kota.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin Kusno. 2012. Zaman Baru dan Generasi Modernis: Sebuah Catatan Arsitektur, Jogjakarta: Ombak.
Colombijn, Freek (ed) dkk. 2005. Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-Kota di Indonesia, Jogjakarta: Ombak.
Hari Mulyadi, M., & Soedharmono. 1999. Runtuhnya Kekuasaan “Kraton Alit”. LPTP: Surakarta.
Mrazek, Rudolf. 2006. Engineers of Happy Land: Perkembangan Tekologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni, Jakarta: Yayasan Obor.
Nas, Peter J.M. 1979. Kota di Dunia Ketiga: Pengantar Sosiologi Kota - Buku 1: Kota dalam Berbagai Kawasan, Kebudayaan dan Masa. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
_____________. 2009. Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
_____________. 1993. Urban Symbolism, Koln: Brill.
Purnawan Basundoro.2012. Pengantar Sejarah Kota, Jogjakarta: Ombak.
R.M. Sayid. 2001. Babad Sala (edisi terjemahan oleh Darweni). Surakarta: Perpustakaan Rekso Pustoko.
Rully Damayanti & Handinoto, Kawasan “Pusat Kota” Dalam Perkembangan Sejarah Perkotaan Di Jawa dalam jurnal Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 33, No. 1, Juli 2005.
Sri Margana & M. Nursam. 2010. Kota-Kota Di Jawa: Identitas, Gaya Hidup, & Permasalahan Sosial. Jogjakarta: Ombak.
Susanto, Solo Kota Plesiran 1870 – 1942 (Sebuah Kajian Tourist System Pada Masa Kolonial) dalam Makalah dipresentasikan pada Konferensi Nasional Sejarah Indonesia IX di Jakarta, 5 -8 Juli 2011.