abstrak - jurnal online umjurnal-online.um.ac.id/data/artikel/artikelcd4e524dcd0e5310afd3687... ·...
TRANSCRIPT
PASAR-PASAR DI ERA STADSGEMEENTE MALANG (1914-1942)
Aris Hartono Junda1
ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1) Bagaimanakah
perubahan pasar di Malang setelah menjadi Pasar Gemeente (2) Bagaimanakah
peran pasar-pasar di Malang terhadap perekonomian Kota Malang. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian sejarah ditambah sumber-sumber
sejarah yang dipakai untuk menyusun fakta, mendeskripsikan, dan menarik
kesimpulan tentang masa lampau. Adapun kegiatan yang dilakukan dalam metode
sejarah yaitu pemilihan topik, heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Hasil
penelitian ini adalah (1) perubahan pasar-pasar di Malang dibagi menjadi dua,
secara fisik dan administratif. Perubahan fisik terjadi pada awalnya pasar-pasar
belum mempunyai bangunan yang memadai menjadi pasar yang memiliki
konstruksi yang kuat. Perubahan administratif pasar terlihat dari spesifikasi pasar
yaitu Pasar Pusat dan Pembantu Pasar golongan besar; Pembantu Pasar golongan
kecil; Pasar Kampung dan warungcentrale. Komoditi yang diperdagangkan antara
pasar tradisional dan pasar Gemeente hampir sama, perbedaan hanya terletak pada
jumlah kuantitas dan tingkat kebersihan komoditinya.(2) Peran pasar sangat
penting bagi Gemeente Malang, Eksisteni pasar berperan sebagai media sirkulasi
perdagangan di Kota Malang. Peningkatan volume perdagangan menyebabkan
meningkatnya pendapatan pajak retribusi Gemeente Malang.
Kata kunci: Pasar, Perubahan, Perekonomian, Malang.
Masalah ekonomi yang menyangkut persaingan dagang untuk
mendapatkan keuntungan yang besar, telah mendorong bangsa Barat menuju ke
belahan Asia. Salah satunya adalah Bangsa Belanda yang ingin mendapatkan
komoditi rempah-rempah yang lebih besar, dengan menerapkan sistem monopoli
perdagangan serta membentuk pemerintahan kolonial di Nusantara. Pembahasan
masalah ekonomi seringkali mengarah pada masalah yang berkaitan dengan uang,
saham, perdagangan dan keuntungan yang mempengaruhi keadaan desa, kota,
dan negara/ wilayah tersebut (Anshory, 2008 :ix).
Kapitalisme Barat yang relatif modern, muda dan agresif – terutama
dibangun di kota-kota besar – menghadapi tradisi-tradisi prakapitalis yang tua dan
arif berakar di desa-desa, dijumpai pada kekerabatan suku, adat setempat dan
agama. Aspek ekonomi dari pemilahan sosial serta perbenturan antara dua prinsip
hidup ini menciptakan perekonomian dualistis. Dualistis pada konsep ini berarti
dua sisi, bersifat heterogen. Dimana dualistis ini berkuasa, keselarasan sosial serta
kesatuan ekonomi tidak ada, tidak ada kedamaian internal sejati. Keseimbangan
ekonomi terguncang tanpa berhenti (Booke,1983:11-12).
Menurut pandangan para ahli, ekonomi hanya membahas pada pasang
surut industri perkotaan, pedesaan hanya menarik bagi ahli ekonomi sejauh
terlibat pada masalah-masalah perkotaan. Akhirnya pengelompokan minat pada
desa hanya dianggap sebagai objek yang harus menyediakan tenaga kasar, bahan-
bahan baku, dan bahan makanan yang dibutuhkan oleh warga kota. Industri
banyak dibangun di daerah perkotaan sedangkan di daerah pedesaan hanya
1 Alumni Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial, Jurusan Sejarah, Universitas Negeri Malang E-mail :
berfungsi sebagai pemasok bahan baku yang dibutuhkan industri di perkotaan.
Akibatnya perbedaan antara desa dan kota timbulah strata yang baru tetapi tingkat
beban masyarakat kota bertumpu pada struktur masyarakat tradisional pedesaan
(Boeke,1983:9-10).
Di dalam perekonomian mikro peran pasar tradisional penting sebagai
pusat perputaran uang, karena setiap hari banyak sekali transaksi di dalam pasar.
Pasar tradisional di setiap wilayah berbeda, ini diakibatkan oleh bentuk komoditi,
nilai transaksi, kondisi sosial, budaya dan potensi alam di wilayah sekitarnya.
Sebagai contoh pasar di wilayah Papua berbeda dengan pasar di wilayah Jawa.
Beberapa pasar di Papua sampai saat ini masih menggunakan barter dan lokasi
pasar masih terpencar-pencar, pasar di Jawa pada abad VIII sudah memiliki pola
Macapat, dan sudah mengenal mata uang sehingga peluang untuk menggunakan
barter kecil (Surti, 2003:15).
Pasar adalah suatu tempat pertemuan penjual dan pembeli dalam
melaksanakan interaksi tawar menawar terhadap jenis barang dan jasa tertentu
untuk menentukan harga kesepakatan, dan melaksanakan transaksi jual beli atas
dasar harga kesepakatan tersebut (Sutatmi dan Joko, 1993:33). Pasar menurut
Clifford Geerzt adalah suatu pranata ekonomi dan sekaligus cara hidup, suatu
gaya umum dari kegiatan ekonomi yang mencapai segala aspek dari masyarakat
dan suatu dunia sosial-budaya yang hampir lengkap dalam sendirinya
(Geerzt,1989:31).
Pasar bukan sesuatu yang merupakan kumpulan angka-angka equilibrium
dari banyak transaksi, tetapi merupakan proses interaksi sosial yang melibatkan
masyarakat, pengusaha dan pemerintah setempat. Pasar pada wilayah tertentu
merupakan produk dari masyakat, pengusaha, pemerintah dan sosial-budaya dari
wilayah sekitarnya. Hal ini dapat dijadikan perspektif bahwa perekonomian
daerah tertentu berkaitan erat dengan sosial-budaya masyarakat yang berada di
daerah tersebut (Geerzt,1989:xiii).
Dalam kategori jenis sejarah dikenal sejarah ekonomi dan sejarah lokal
sebagai kategori keilmuan yang berdiri sendiri di samping jenis sejarah yang
lainya, akan tetapi pada dasarnya sejarah ekonomi dapat dipadukan dengan
sempurna menjadi sebuah sejarah ekonomi lokal. Kata lokal di sini dapat merujuk
baik pada suatu komunitas atau unit administrasi tertentu seperti pedesaan atau
perkotaan. Menurut Kuntowijoyo ” Sejarah Ekonomi haruslah spesifik, sejarah
dari satuan kongkret dan khusus”. Berdasarkan kerangka berfikir itu, timbulah
beberapa kategori yang dapat dikembangkan, antara lain sejarah ekonomi
perkotaan, sejarah ekonomi buruh, sejarah ekonomi pasar (Purwanto, 2010:495)
Pasar sebagai kegiatan sosial ekonomi rakyat, merupakan sebuah media
tumpuan dari masyarakat. Pada intinya seseorang tidak bisa memenuhi
kebutuhannya sendiri maka dia memerlukan orang lain untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, sehingga terjadilah interaksi jual beli tersebut di dalam
pasar. Pasar juga sebagai pusat distribusi barang memiliki peran sebagai tempat
penghubung antara produsen dan konsumen.
Pasar di kota merupakan tempat penyerapan tenaga kerja. Penyerapan
tenaga kerja tersebut karena adanya bermacam-macam jenis pekerjaan di dalam
pasar seperti pedagang, pegawai pasar, buruh angkut, sopir, dan lain-lain. Kota-
kota besar seperti Jakarta mempunyai pasar-pasar besar seperti Tanah Abang
sebagai salah satu pasar yang mengembangkan perekonomian Jakarta, pasar
tersebut memberikan pajak dan retribusi yang masuk pada kas pemerintah daerah
setempat. Oleh karena itu pasar dapat juga dijadikan penggerak perekonomian
yang mengembangkan wilayah desa dan kota.
Perkembangan peningkatan jumlah penduduk pesat daerah perkotaan,
juga diikuti oleh sarana infrastruktur, pelayanan kesehatan, dan pengadaan air
bersih. Peningkatan infrastruktur pelayanan masyarakat seperti pasar seharusnya
juga ditingkatkan. Banyak kota-kota besar seperti Kota Malang sekarang yang
memiliki permasalahan dengan peningkatan infrastruktur pelayanan masyarakat
seperti pasar, baik dalam hal menejemen pasar, penempatan pedagang, areal
parkir, kemacetan, kebersihan pasar, gelandangan dan lain-lain belum dapat
dipecahkan. Salah satu kota di Jawa yang menghadapi problem tata ruang adalah
Malang. Tata ruang Kota Malang mulai zaman Kerajaan Singasari abad XIII,
tetapi tidak ada kesinambungan antara masyarakat kota pada zaman Singasari
dengan masyarakat Kota Malang pada abad XIX (Hudiyanto, 2011:5).
Pada 1 April 1914 Malang resmi menjadi Gemeente. Sebelum tahun 1914
afdeeling Malang merupakan bagian dari Karesidenan Pasuruan. Pengangkatan
Malang menjadi Gemeente pada awalnya disebabkan peningkatan hasil kopi pada
tahun 1827-1830 menghasilkan 57.000 pikul kopi (Hudiyanto, 2011:43).
Peningkatan hasil perkebunan kopi membuat para pengusaha swasta banyak
berdatangan ke Malang. Seiring pesatnya perkebunan di daerah Malang, maka
terjadi lonjakan migrasi dari daerah sekitar Malang menuju Kota Malang.
Perkembangan kebijakan dalam pengelolaan pasar-pasar di Malang,
mempengaruhi pemasukan pajak retribusi dari masing-masing pasar. Dengan
kenaikan jumlah pajak dan retribusi sebuah pasar, maka ini bisa dijadikan sebuah
indikator kenaikan jumlah pedagang dan tingkat perekonomian perdagangan saat
itu. Pada tahun 1940, berdasarkan catatan administrasi Gemeente Malang, wilayah
ini telah menjadi sentra perdagangan di daerah Jawa Timur yang ditandai dengan
berkembangnya pasar-pasar di Kota Malang (Jaaverslag Gemeenteraad Malang
1940:171). Keadaan yang berbeda jika dibandingkan dengan situasi Kota Malang
pada Abad XXI, banyak sekali Mall yang dapat dipandang sebagai pasar
partikelir, namun pasar yang berada di bawah dinas pasar pemerintah Kota
Malang yang kurang diperhatikan.
Perubahan Malang yang sebelumnya merupakan kampung ramai
kemudian berkembang sebagai afdeeling yang mempunyai banyak area
perkebunan, hingga menjadi Gemeente yang memiliki adminitrasi sendiri telah
merubah perekonomian masyarakat Kota Malang. Perubahan pemerintahan Kota
Malang juga menyebabkan tumbuhnya pasar-pasar utama seperti Pasar Pusat
Pecinan, Pasar Klojen dan Pasar Oro-oro Dowo. Penelitian ini berusaha untuk
mengulasnya lebih lanjut dan melihat seberapa besar pengaruh antara perubahan
pasar dengan status pemerintahan Kota Malang, kedua seberapa jauh pengaruh
pasar-pasar di kota Malang terhadap perekonomian kota Malang. Melihat
permasalahan di atas maka penelitian ini, membahas tentang“Pasar-Pasar di Era
Stadsgemeente Malang (1914-1942)”.
METODE PENELITIAN
Menurut Sartono Kartodirdjo, metode adalah cara “bagaimana orang
memperoleh pengetahuan” (how to know)” dan metodologi sebagai “mengetahui
bagaimana harus mengetahui” (to know how to know) (Kartodirdjo,
1992:ix).Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif, sedangkan jenis penelitian yang digunakan metode penelitian sejarah.
Metode sejarah menurut Louis Gottschalk adalah suatu proses menguji dan
menganalisa secara kritis rekamam-rekaman peristiwa yang diabadikan dalam
bentuk dokumen, kaset, dan peninggalan-peninggalan masa lampau (Gottschalk,
1986:32). Adapun langkah-langkah penelitian yang ditempuh adalah sebagai
berikut : Pemilihan Topik, Pengumpulan Sumber (Heuristik), Kritik Sumber,
Interpretasi, Historiografi. HASIL DAN PEMBAHASAN
PERUBAHAN PASAR DI KOTA MALANG
Kota Malang mempunyai sejarah yang panjang, mulai dari masa kerajaan
hingga masa kolonial Belanda. Kota yang dahulunya digunakan sebagai benteng
para pejuang melawan VOC kemudian sekarang yang menjadi salah satu kota
peninggalan kolonial Belanda. Pembangunan Kota Malang dari sebuah daerah
pedalaman hingga menjadi sebuah kota memerlukan dana yang sangat besar, oleh
karena itu kegiatan perekonomian kota sangat diandalkan dalam menyokong
pembangunan ruang kota. Peraturan Decentralisatie Wet 1903 mengatur kota-kota
untuk mengelola pembangunan di wilayahnya sendiri. Dana pembangunan kota
diperoleh dari berbagai macam pajak, salah satunya pajak dari pasar-pasar di kota.
Kota Malang yang terletak pada ketinggian antara 440-667 meter diatas
permukaan air laut, merupakan salah satu kota tujuan wisata di Jawa Timur karena
potensi alam dan iklim yang dimiliki. Letaknya yang berada ditengah-tengah
wilayah Kabupaten Malang secara astronomis terletak 112,06°-112,07° Bujur
Timur dan 7,06° - 8,02° Lintang Selatan, serta dikelilingi gunung-gunung
antaralain: Gunung Arjuno di sebelah Utara, Gunung Semeru di sebelah Timur,
Gunung Kawi dan Panderman di sebelah Barat, Gunung Kelud di sebelah Selatan
Penduduk Malang menjadi 3 golongan besar yaitu Penduduk Bumiputra,
Timur Asing dan Eropa. Sejak tahun 1914 penduduk Malang golongan Eropa
mencapai angka ±2500 jiwa, golongan Timur Asing ± 4000 jiwa dan golongan
Bumiputra ±40.000 jiwa. Pertumbuhan penduduk yang cepat menuntut
tersediannya pemukiman yang layak bagi seluruh warga kota. Pemukiman
Bumiputra tersebar di kampung-kampung sebelah selatan alun-alun, yaitu di
daerah Kebalen, Temenggungan, Jodipan, Talun dan Klojen utara. Penduduk
Eropa bermukim di sekitar barat daya alun-alun, antara lain di daerah Kayutangan,
Oro-oro Dowo, Celaket, Klojen utara, dan rampal. Di sebelah timur laut alun-alun
merupakan pemukiman kampung Tionghoa (Sardjono, 2011:16).
Peningkatan secara cepat penduduk di Malang dalam abad ke XX
dipengaruhi beberapa faktor. Faktor pertama daerah Malang merupakan daerah
yang subur karena bentang alamnya yang dikelilingi oleh pegunungan, sehingga
tanah yang subur membuat lahan pertanian maupun perkebunan menghasilkan
panen yang berlimpah, hal ini mendorong migrasi penduduk ke daerah Malang.
Kedua keluarnya undang-undang Gula dan Agraria tahun 1870 membuka jalan
pengusaha swasta di seluruh Pulau Jawa (Ricklefs, 2008:270-271).
Pada awal pembentukan Gemeente Malang tahun 1914 hingga tahun 1934
jumlah penduduk Bumiputra, Timur Asing dan Eropa di Kota Malang
menunjukan peningkatan. Diantara tiga golongan yang ada di Kota Malang,
peningkatan jumlah penduduk paling cepat adalah golongan Eropa dengan rata-
rata kenaikan 2 kalilipat tiap sepuluh tahun. Namun pada tahun 1942 tentara
Jepang tiba di Malang dan memberikan Maklumat Malang Syutyokan. Melalui
surat kabar Pewarta Niaga tanggal 23 Januari 1943 diumumkan maklumat tersebut
berisi perintah yang ditujukan pada seluruh penduduk Belanda asli untuk tidak lari
keluar kota, bagi penduduk Belanda yang melanggar akan dibunuh. Penduduk
Belanda asli akan dibawa ke kamp internier, dalam kamp penduduk Belanda
banyak yang mati, sebagian bertahan dan kemudian dikembalikan ke Negeri
Belanda
Perumahan orang-orang Eropa, VOC berusaha menundukkan wilayah di
Jawa. Pada 1768 VOC juga menundukkan wilayah Malang. Setelah berperang
dengan Adipati Malojokoesoemo, VOC mendirikan benteng-benteng di sebelah
kiri sungai Brantas, dan di situlah terdapat “loge” atau lodji VOC, kemudian
masyarakat menyebut wilayah VOC dengan nama Ke-lodji-an atau Klojen
(Lakeman,1934:12). Menurut sumber-sumber sejarah belum diketahui secara jelas
siapa orang Eropa pertama di Malang, namun berita tentang orang Eropa yang
cukup dikenal Martines Hoffman yang pekerjaannya sebagai kepala pedagang.
Martines Hoffman adalah salah seorang yang mengajak orang-orang Belanda
tinggal di Malang. Kegiatan VOC di Malang hingga tahun 1821 berkisar di
daerah di sekitar tepi sungai Brantas, selain itu mereka mendirikan pemakaman
untuk bangsa mereka sendiri di bekalang Klojen, yang kemudian pemakaman
tersebut dibongkar untuk pendirian rumah sakit militer (sekarang rumah sakit
umum Celaket) (Sardjono,1954:13).
Pada tahun 1800an penduduk Eropa beasal sisa-sisa anggota VOC di
Malang hanya berjumlah 30 orang yang tersebar di daerah Celaket, Kayutangan,
Klojen-kidul dan Tumenggungan. Tempat tinggal penduduk Eropa seperti
Celaket, Kayutangan dan Klojen-kidul, yang pada tahun 1914 akan menjadi
kawasan yang dikuasai oleh orang-orang Eropa (Lakeman. 1934:13).
Peningkatan penduduk Eropa terjadi dengan datangnya beberapa
gelombang penduduk Eropa yang berprofesi militer. Gelombang pertama anggota
militer tiba di Malang pada tahun 1850, yang membentuk sebuah komunitas dan
mendiami tangsi-tangsi militer. Terdiri dari 20 serdadu dengan seorang letnan
yang menempati tangsi militer berada di daerah Celaket. Mereka bertugas untuk
menjaga ketertiban dan keamanan penduduk di Malang. Gelombang kedua tiba
pada tahun 1890, dengan beberapa bataliyon kavaleri dan infantri tentara kolonial
Belanda dari Surabaya yang ditempatkan di kampement Dusun Ngrampal. Namun
sebagian besar dari gelombang ini terdiri atas orang Ambon dan Menado
(Hudiyanto, 2011:40).
Kemudian pada tahun 1914 tercatat 40.000 orang Bumiputra, 2500 orang
Eropa, 4000 orang timur asing, yang tinggal dalam beberapa kelompok wilayah di
Kota Malang (Sardjono,1954:16-17). Dari data penduduk Eropa tinggal di Malang
yang mencapai 2500 jiwa, mengusulkan bahwa Malang merupakan daerah yang
sudah memenuhi syarat dijadikan Gemeente. Selain itu Kota Malang sudah
mempunyai sarana insfrastruktur pendukung seperti sejumlah tangsi militer, jalur
kereta api, gereja Katholik dan Protestan, rumah sakit, pasar partikelir dan lain-
lain (Liempt,1939:II).
Awalnya VOC dan penduduk Tionghoa merupakan patner dalam bidang
perdagangan, namun ini tidak berlangsung lama, akibat peristiwa kerusuhan anti
Tionghoa pada tahun 1740 munculnya penetapan peraturan pola pemukiman
disebut wijkenstesel, dan peraturan passenstelsel, yaitu mengharuskan adanya
surat izin bagi orang Tionghoa yang ingin berpergian keluar pemukiman mereka.
Wijkenstesel dan passenstelsel merupakan cara untuk mengurung dominasi
kehidupan sosial dan ekonomi orang Tionghoa di Jawa (Onghokham, 2008:13).
Di Afdeeling Malang penerapan sistem Wijkenstesel dan passenstelsel berakhir
pada tahun 1909, oleh sebab itu setelah tahun 1909 orang-orang Tionghoa di
Malang terus membangun toko dan usahanya dalam bidang perumahan secara
membabi-buta mengikuti kapitalis Barat (Liempt, 1939:IV).
Wijk Pecinan hanya terdapat di kota-kota, salah satunya di Malang sebagai
kota afdeeling serta ibu kota kabupaten. Berdasarkan prasasti pada bangunan
Klenteng Eng An Kiong yang dibangun pada 1825 dapat dianalisa bahwa
penduduk Tionghoa2 ada jauh sebelum tahun tersebut (Hudiyanto, 2001:38). Hal
ini dikarenakan perlu waktu untuk membangun rumah ibadah seperti Klenteng,
sehingga pembangunan sebuah Klenteng merupakan tanda bahwa penduduk
Tionghoa sudah banyak. Pembangunan Klenteng juga memerlukan waktu untuk
ijin atau membuat kesepakatan dengan penduduk Bumiputra dan alasan terakhir
adalah biaya yang besar sehingga memerlukan waktu cukup lama untuk
mengumpulkan dana untuk pembangunan Klenteng.
Selain Klenteng, peninggalan penduduk Tionghoa di Malang yang
bertahan sampai sekarang yaitu pemukiman khas etnis Tionghoa yang lebih
dikenal dengan nama Pecinan. Belum dapat diketahui bentuk awal pemukiman
masyarakt Tionghoa, namun umumnya hunian mereka memang berbentuk
berderet-deret memanjang, tanpa lantai bertingkat dengan rumah menghadap ke
kanal atau jalan, pola semacam ini disebut Stads wooningen atau rumah kota3.
Pola stads wooningen berkembang sebelum kawasan pecinan menjadi pola
rumah-toko seperti sekarang4. Bentuk pola pemukiman menggambarkan keadaan
masyarakat di daerah tersebut. Pola pemukiman stads wooningen menggambarkan
bahwa masyarakat Tionghoa saat itu membangun rumah mereka hanya untuk
hunian, karena sebagian besar pusat kegiatan berdagang mereka berada di Pasar
Partikelir Pecinan.
2 Menurut surat kabar De Indische Courant 23 September 1922 “Malang En Zijne Ontwikkeling”
Orang Tionghoa pertama datang di Malang sekitar tahun 1850, kemudian pada tahun 1862 di
Malang etnis Tionghoa bertambah menjadi 12 orang. Mereka mendapat sebuah kamp yang
bertahan sampai tahun 1922 menjadi perumahan Tionghoa. Pada tahun 1870an didirikannya model
pasar pecinan untuk orang-orang Tionghoa. Berita ini masih diragukan kebenarannya karena tahun
1825 sudah ada Klenteng di Malang. 3 Widiyati dalam Aryanti Dewi, et al “Pengaruh kegiatan berdagang terhadap pola ruang dalam
bangunan rumah toko di kawasan Pecinan Kota Malang” Jurnal Arsitektur Universitas Kristen
Petra Juli 2005 4 Pertokoan tiang ekonomi masyarakat Cina, tanda keunggulan ekonomi yaitu dengan
berkembangnya toko-toko yang dimiliki orang Cina di Sepanjang jalan-jalan utama di seluruh kota
kecil dan besar (Onghokham.2008:19)
Pada tahun 1914 tempat tinggal penduduk Tionghoa di Malang tersebar
sebelah timur laut Alun-alun (Sardjono,1954:16-17). Mereka menempati sebuah
daerah di tepi jalan arteri dan mengelola sebuah pasar partikerlir. Pasar partikelir
milik orang Tionghoa ini merupakan pasar yang sudah lama berdiri, sehingga
pasar tua ini sangat populer sebagai pusat perdagangan di Malang.
Pada tahun 1821 dengan jumlah penduduk Bumiputra ± 1000 jiwa yang
tersebar di sebelah kanan sungai Brantas yaitu daerah Jodipan Wetan sampai ke
Kota lama. Keadaan daerah Malang masih terlihat seperti desa dengan tanaman
kopi yang subur, padi, dan umbi-umbian. Penghasilan penduduk masih sangat
tergantung pada beras dan umbi-umbian untuk memenuhi sebagian besar
kebutuhan pangan. Oleh karena itu penduduk Malang sebagian besar berprofesi
sebagai petani (Lakeman, 1934:12-13).
Pada perkembangannya tahun 1914 pemukiman Bumiputra berada di
kampung-kampung sebelah selatan Alun-alun, daerah Kebalen, Tumenggungan,
Djodipan, Talun, Klojen-lor (Liempt, 1939:I). Kampung-kampung penduduk
Bumiputra di Kota Malang mempunyai perbedaan dengan desa-desa yang ada di
kabupaten. Desa merupakan tempat tinggal penduduk bumiputra yang dikelilingi
sawah, tanah yang tidak digarap dan kolam-kolam ikan, sedangkan kampung
dalam kota merupakan daerah di kota tanpa sawah dan tanah kosong
disekelilingnya. Ciri yang mendasar pada sebuah kampung Bumiputra antara lain,
populasi penduduk yang padat, bangunannya berlantai rendah, tidak memiliki
perencanaan dalam pembangunan kampung, kurangnya insfrastruktur dan tempat
pelayanan umum, bernuansa pedesaan, kelas sosial yang rendah bagi orang
Bumiputra maupun orang Eropa yang miskin dengan sosio-ekonomi yang
beragam, namun bukan daerah kumuh (Nas, 2007:70).
Kawasan kampung Bumiputra dan perumahan orang Eropa memang sudah
dibagi, hal ini sudah direncanakan mulai dari Bouwplan I sampai ke VI, namun
tidak mengurangi masalah konflik ruang yang ada di Kota Malang. Salah satu
contoh adalah bobolnya saluran air di daerah Kauman dan Talun, yang dilaporkan
oleh warga Eropa yang tinggal di pemukiman dekat saluran air yang bobol.
Mereka merasa terganggu oleh nyamuk dan bau busuk dari air yang menggenang.
Bau busuk dan air yang menggenang ternyata berasal dari bobolnya air di daerah
Kauman yang kebetulan berada di dalam wewenang desa, penyebab penyumbatan
tersebut karena tidak adanya perawatan sehingga sampah-sampah tidak dapat
terbuang. Pada perebutan dan konflik ruang dalam kota antara pemukiman orang
Bumiputra dan orang Eropa selalu terjadi (Hudiyanto, 2011:109 & 112). Konflik
tersebut berasal dari kesenjangan pemenuhan kebutuhan dan diskriminasi
kepentingan. Mulai dari diskriminasi sarana dan prasarana publik seperti
perbedaan jalan kampung, saluran air, penyediaan air minum hingga perbedaan
pembangunan kampung untuk orang Bumiputra dan perumahan untuk orang
Eropa. Penduduk Bumiputra tidak bisa berharap banyak pada Gemeente karena
secara struktur dan kekuasaan penduduk Bumiputra dalam posisi lemah
Sarana dan prasarana transportrasi di afdeeling Malang sebelum tahun
1829 belum terbangun dengan baik, jalan berubah menjadi semakin buruk ketika
musim hujan tiba. Pembangunan jalan yang sulit dilintasi oleh alat transportasi
gerobak dan pedati. Namun untuk jarak dekat serta jumlah yang diangkut sedikit
alat yang diandalkan adalah pikulan dan keranjang (Hudiyanto, 2011:47).
Pada tahun 1879, guna memperlancar arus transportasi dan komoditi
perkebunan, maka dimulainya jalur kereta api Malang-Surabaya. Seiring ramainya
jalur kereta api juga berdampak peningkatan jumlah penduduk Eropa di Malang
(Sardjono,1954:16). Pembangunan jalur kereta api dari Malang-Surabaya sudah
mencapai Kota Malang, namun jalan di kota masih banyak yang berlubang
keadaan ini bertahan sampai pengaspalan jalan tahun 1925 (Hudiyanto, 2011:47).
Daerah Malang sudah dikenal sejak masa Mataram Kuno, dibuktikan
dengan adanya beberapa prasasti yang menunjukan daerah-daerah sekitar Malang
seperti daerah Walandit, Turyyan, dan Kannuruhan. Perpindahan pusat kerajaan
Mataram Kuno dari lembah Sungai Bengawan Solo ke lembah Sungai Brantas
tidak disertai dengan penaklukan-penaklukan (Poesponegoro, 2010 : 190-195).
Pada masa kerajaan Mataram kuno di Malang sudah dikenal vasal kerajaan
Kanjuruhan. Peneliti mengambil awal waktu pada masa Mataram kuno karena
keterbatasan peneliti untuk dapat mengambil data-data pada masa kerajaan
Kanjuruhan
Perpindahan pusat kekuasaan kerajaan Mataram dari lembah Sungai
Bengawan Solo ke lembah Sungai Brantas, kemungkinan memandang lembah
Sungai Bratas karena mempunyai jalur perdagangan interinsuler. Selain itu letak
daerah lembah sungai Brantas lebih menguntungkan untuk perkembangan
ekonomi dan perdagangan. Aliran Sungai Brantas juga sangat memungkinkan
untuk meningkatkan jalur perdagangan ke seluruh wilayah daerah lembah Sungai
Brantas. Hal ini dibuktikan pada masa Pu Sindok terdapat dua pasar yang
berdekatan dengan sungai, yaitu Pasar Turyyan dan Pasar Muncan. Pasar Turyyan
yang sekarang ada di Desa Turen, Kabupaten Malang memang terletak tidak jauh
dari Sungai Lesti (Surti, 2003:26&62).
Malang merupakan kabupaten yang tua, karena ditemukan banyak sekali
peninggalan masa Kerajaan Hindu, seperti candi dan arca. Kekuasaan Mataram
Islam memandang Malang sebagai tempat bersembunyi keturunan Surapati yang
menciptakan kerajaan yang mandiri, sehingga mengirim beberapa ekspedisi untuk
menegakan kedaulatanya. Ekspedisi perang yang sedang berlangsung dari
Mataram berakhir ketika Kongsi dagang Belanda Veerenigde Oost-Indische
Compagnie (VOC) menemukan bahwa mereka berhak atas dataran subur Malang
dan menegaskan bahwa Malang merupakan bagian dari Pasuruan. VOC
menyadari bahwa wilayah Malang bukan berada di sisi mereka, namun VOC tetap
ingin menancapkan kekuasaannya di daerah Malang (Lakeman, 1934:10-12).
Sebelum VOC mendatangi daerah Malang, daerah ini sudah memiliki pemimpin
setingkat Bupati. Pemimpin itu merupakan keturunan dari Surapati, salah satunya
adalah Raden Adipati Wira Nagara (Domis, 1836:103).
Raden Adipati Wira Nagara menjadi Bupati Malang mulai tahun 1755.
Berselang 8 tahun kemudian Raden Adipati Wira Nagara meninggal kemudian
digantikan oleh adiknya Bupati Malaya Koesoema (Domis,1836:114). Pada
mulanya VOC membujuk Bupati Malaya Koesoema untuk diakui sebagai
bawahan dari VOC, namun dengan tegas Bupati Malaya Koesoema menolak
(Lakeman, 1934:11).
VOC menganggap penolakan Bupati Malaya Koesoema sebagai sebuah
pemberontakan sehingga segera mengirimkan Bupati Noto Negoro, Raden Bupati
dari Surabaya dan Komandan Troppan Negoro lengkap dengan pasukannya ke
Malang. Bupati Malang Malaya Koesoema berunding dengan Bupati Noto
Negoro, Raden Bupati dari Surabaya dan Komandan Troppan Negoro di daerah
Wondoroko. Perundingan tersebut berlangsung sampai 2 hari namun tetap tidak
menghasilkan kesepakatan, sehingga peperangan tidak dapat dihindari. Bupati
Malaya Koesoema dan Pangeran Prabu melarikan diri ke daerah Selatan, namum
Bupati beserta keluarga tertangkap dan dibunuh. Pada tahun 1767 daerah Malang
dan Ngantang menjadi wilayah resmi VOC (Domis, 1836:114-115).
Setelah Bupati Mayala Koesoema terbunuh, Residen Pasuruan menunjuk
Karto Negara sebagai Tumenggung di Malang tahun 1772. Oleh karena itu
sebagai tanda tunduknya daerah Malang Raden Tumenggung Karta Negara wajib
menyerahkan 87½ ringgit atau 10 kojan beras pada VOC (Sardjono,1954:13 &
Domis, 1836:128). Setelah 22 tahun memimpin daerah Malang kedudukan Karto
Negara sebagai Tumenggung di Malang diganti oleh Ingebij Soero Adie Widjoyo
pada tahun 1794. Ingebij Soero Adie Widjoyo membawahi dua wilayah sekaligus
yaitu daerah Bangil dan Malang (Domis, 1836:115&129).
Pemerintahan Inggris di Pulau Jawa yang dipimpin oleh Letnan Gubernur
Thomas Stanford Rafflesh membuat perubahan di bidang struktur pemerintahan
secara cepat. Pergantian kekuasaan ada ditingkat Karesidenan, dengan
mengangkat Letnan H. G. Jourdan menggantikan Adipati Niti Adie Ningrat
sebagai Residen (Domis, 1836:129). Pada tahun 1815 datang di Distrik Malang,
dalam rangka menyelidiki reruntuhan Candi Singhasari dan Kuta bedah / Supit-
urang, di daerah Malang Rafflesh mencatat berbagai temuan Arkeologi yang akan
dihimpun menjadi sebuah laporan pada Gubernur Jenderal di India (Rafflesh,
2008:387). Masa pemerintahan Inggris di Nusantara yang singkat yaitu mulai
tahun 1811 hingga 1816, sehingga tidak ada perngaruh yang signifikan di bidang
politik dan ekonomi di daerah-daerah pedalaman seperti Malang. Pada akhir
kekuasaan Inggris tahun 1816, Inggris menyerahkan Jawa pada Belanda. Sejak itu
Residen Inggris di Pasuruan diganti oleh Residen Belanda
(Sardjono,1954:13).Pada tahun 1816 Pemerintah Belanda segera mengangkat
Residen Pasuruan yang baru yaitu C. Vos, namun sampai tahun 1825 belum
diketahui secara jelas perubahan kepemimpinan di Malang. Keterangan baru dapat
diperoleh setelah tahun 1825 bahwa Resident Pasuruan mengangkat Raden
Tumenggung Noto Adie Ningrat untuk wilayah Malang dan Bangil (Domis,
1836:129). Residen Pasuruan hanya berkunjung ke Malang 3 kali dalam satu
tahun. Dalam catatan Residen Domis pada tahun 1827-1830 terjadi peningkatan
hasil panen kopi. Pada tahun 1830 panen hasil kopi mencapai 57.000 pikul kopi,
dengan penduduk Malang pada tahun tersebut 40.000 orang (Lakeman,1934:14 &
Sardjono,1954:16).
Malang merupakan bagian dari Karesidenan Pasuruan. Keresidenan
Pasuruan sama seperti karesidenan-karesidenan di Pulau Jawa. Semua keputusan
di wilayah karesidenan di tetapkan disana. Karesidenan Pasuruan menurut catatan
Residen Domis (1836:1&3) terdiri dari 3 Kabupaten Pasuruan, Bangil dan
Malang. Kabupaten Malang membawahi beberapa Distrik antara lain:
1. Kota Malang
2. Pakis
3. Gondanglegi
4. Penanggungan
5. Karanglo
6. Ngantang.
Pada tahun 1840 Malang di bawah kepemimpinan Noto Diningrat 11
menjadi sangat maju karena kerberhasilan investasi dibidang penanaman kopi,
keberhasilan ini merupakan kelanjutan keberhasilan penanaman kopi yang
dimulai pada masa sebelumnya. Tanaman kopi menyebar di seluruh Malang, oleh
karena itu tanaman kopi ada dimana-mana. Baru pada tahun 1870 untuk pertama
kalinya tanah-tanah disewakan untuk penanaman kopi, sehingga budidaya kopi
dari Eropa juga berkembang di Malang (De Indische Courant 23 September 1922
“Malang En Zijne Ontwikkeling”).
Tahapan perkembangan Kota Malang pada abad XIX dimulai dari
perubahan nilai lahan, yang sebelumnya lahan liar menjadi lahan perkebunan.
Keberhasilan penanaman kopi di daerah afdeeling Malang menjadi awal
pengembangan perusahaan perkebunan kopi secara besar-besaran. Peningkatan
perkebunan juga berdampak pada meningkatnya arus urbanisasi dari daerah
sekitar afdeeling Malang. Posisi daerah Malang yang berada di tengah daerah
perkebunan membuat daerah Malang menjadi pusat penyimpanan dan distribusi
hasil perkebunan. Sebagai pusat aktifitas perkebunan Kota Malang menjadi alasan
munnculnya fasilitas-fasilitas yang menunjang kepentingan perkebunan, misalnya
gedung pertemuan, rumah sakit, sekolah dan lembaga riset hasil perkebunan
(Hudiyanto, 2011: 44-46).
Dibawah pengaruh kota-kota perkebunan, desa menjadi bagian dari sistem
pertukaran Barat kemudian tercipta hubungan ekonomi swasta yang mengikat
kota dengan desa. Sejak menjadi kota perkebunan arus barang dan jasa mengalir
ke desa, dan sebaliknya bahan komoditi perkebunan, bahan pangan, dan tenaga
kerja mengalir ke kota (Boeke, 1983:17).
Seperti ditulis dalam Surat Kabar De Indische Courant 23 September 1922
yang menceritakan perekonomian Malang dari tahun 1870 sampai tahun 1900an.
Salah satu pendorong perkembangan Malang dimulai dengan dibukanya jalur
kereta api pertama Surabaya-Pasuruan, kemudian Bangil-Malang, tahun 1879.
Jalur kereta api ini telah mempercepat mobilisasi penduduk dari Surabaya,
Pasuruan dan Bangil ke Malang maupun sebaliknya. Iklim yang sejuk membuat
secara bertahap penduduk Eropa tinggal dan berlibur di Malang kemudian
menjadikan Malang sebagai tempat liburan yang digemari penduduk Eropa. Salah
satu tempat liburan dan peristirahatan yang terkenal di Malang seperti Hotel
Wilhelmina, Hotel Palace. Untuk menciptakan keamanan penduduk Eropa di
Malang dari para bandit5 yaitu dengan cara menambahan jumlah pasukan
Belanda, namun di samping mendirikan benteng para tentara juga membuat bir.
5 Menurut Surat kabar Java-bode tanggal 18 Januari 1868”Kroniek voor Oost Java”, penduduk
Belanda masih ketakutan dengan adanya bandit-bandit yang ada di daerah Malang Selatan, hal ini
Pada abad XIX dengan ramainya perdagangan gula, adanya wabah
penyakit sereh pada perkebunan tebu di daerah-daerah di Pulau Jawa,
membutuhkan bibit tebu yang berkualitas. Kota Malang merupakan pemasok bibit
tebu yang baik sehingga membuat permintaan bibit tebu berkualitas dari Malang
meningkat. Perdagangan bibit tebu terletak di sekitar stasiun lama. Di Malang
terdapat Kantor Asisten Resident terletak di Lodji (Sekarang daerah Klojen) dan
rumah untuk Controleur dibangun di daerah Oro-oro Dowo karena semua daerah
di dekat Alun-alun sudah di jual. Pada tahun 1897 dibangun trem dalam kota, lalu
pada tahun 1907 & 1910 penerangan electric cahaya (ANIEM) dan trem mulai
beroperasi sehingga penduduk Kota Malang dapat menikmati sarana transportasi
yang baik.
Pada tahun 1880 pada persidangan Parlemen di Belanda, L.C.W
Keuchencius mengutarakan pandangannya tentang reformasi ketatanegaraan, yang
tidak lagi hanya berpusat pada gubernur jenderal berserta raad van indie-nya saja.
Pendapat tersebut diteruskan kembali pada persidangan 1881 oleh anggota
Parlemen yaitu W.K Baron van Dendem, yang menurutnya negeri Belanda sudah
tidak akan lagi mungkin memperlakukan tanah jajahan sebagai propinsi dari
negeri Belanda, yang hanya lewat praktik culturstesel dapat memperoleh batiq
slot dalam anggaran belanjanya. Tetapi perlu adanya financiele decentralisatie
agar anggaran daerah koloni tidak membebankan negeri induk (Wignjosoebroto,
2008:5-8).
Setelah bertahun-tahun perdebatan, kemudian lahirlah keputusan
Dencetralisatie Wet 1903, yang mengamandemen parsial terhadap peraturan
pemerintah 1854 dengan cara menambahkan 3 pasal baru yaitu 68a, 68b,68c. Inti
dari penambahan 3 pasal tersebut agar sejumlah dana dapat disisihkan untuk
dipakai sebagai dana suatu daerah sendiri, kemudian pengurusan dan pengawasan
dilakukan oleh raad di daerah tersebut (Wignjosoebroto, 2008:14-16). Walaupun
berasaskan Decentralisasi tetapi sistem ini sama sekali tidak dimaksudkan agar
penduduk Bumiputra bisa segera menyalurkan suaranya pada pemerintah. Hal ini
akan dibuktikan saat pelaksanaan peraturan ini di Gemeente yang baru terbentuk.
Sejak tahun 1905 hingga 1914 banyak Gemeente dan gewest yang sudah
dibentuk berdasarkan ordonasi-ordonasi yang dimaklumat dengan dasar
Decentralisatie Wet 1903 sebagai kekuatan yuridisnya, antaralain Batavia,
Meester-Cornelis (Jatinegara), Biutenzorg (Bogor), Bandung, Cirebon,
Pekalongan, Tegal, Semarang, Surabaya, Magelang, Kediri, Blitar, Padang,
Palembang, Makasar, Medan dan Malang. Pemberian status Gemeente dan
Gewesten pada daerah-daerah yang memang telah siap diserahi kewenangan
decentralisasi. Kesiapan tersebut terlihat dari banyaknya penduduk Eropa yang
dianggap mempunyai kematangan politik yang cukup dapat mengurusi
kepentingan daerahnya sendiri (Wignjosoebroto, 2008:28-29).
Tepatnya pada tanggal 1 April 1914, Gemeente Malang berdiri dengan
anggaran keuangan pertama sebesar f. 44.867,86 banyak kewajiban-kewajiban
yang harus diemban sebagai Gemeente. Kewajiban-kewajiban tersebut merupakan
membuktikan bahwa penduduk Belanda masih menganggap daerah Malang sebagai daerah yang
sangat berbahaya.
pembangunan insfrastruktur kota yang dibagi menjadi 2 yaitu secara fisik dan
administratif. Pembangunan secara fisik antara lain, mengurus jalan umum,
mengurus pemotongan hewan, pengangkutan sampah, penerangan jalan, pompa
kebakaran, pengaturan pemakaman bagi seluruh bangsa, penyediaan pasar-pasar
dan lain-lain. Keputusan penting masih diputuskan oleh Gewestelijk Pasuruan.
Pembangunan administratif ditujukan untuk memperlancar pekerjaan Gemeente
antara lain, pembentukan Gemeenteraad yang beranggotakan 9 orang Eropa, 2
orang Bumiputra dan 1 orang Timur Asing. Ketua Gemeenteraad saat itu
dipilihlah F. L Broekveldt, dengan anggota sebagai berikut:
1. S. L. Blok
2. Ch. Deeleman,
3. J. L. W. G. Koch
4. Mr. J. W. G. Kruseman
5. F. J. Noordhoek Hegt.
6. G. Ch. Renardel de Lavalette
7. Raden Adipati Ario Soerio Adiningrat
8. Raden Soemodiprodjo.
9. C. Suermondt.
10. The Boen Kik.
11. E. A Tissot van Patot.
Yang bersidang pertamanya hari Senin tanggal 6 April 1914 dibuka oleh ketua
Gemeenteraad yang pertama F. L Broekveldt. Sidang perdananya Gemeenteraad
membahas proyek besar yang diprioritaskan dalam pembangunan salah satunya
pengaturan saluran pembuangan limbah, pendirian air minum dan pembangunan
pasar (Lakeman, 1934:19-21).
Pada masa Mataram Kuno kata pkan itu sendiri berarti pasar atau
lapangan. Lapangan digunakan sebagai pasar pada hari-hari pasar sedangkan pada
hari lainnya digunakan sebagai tempat upacara (Surti, 2003:63). Pada masa
Mataram Kuno beberapa pasar dikaitkan dengan lokasi desa Sima dan sungai.
Gambaran lokasi pasar pada masa Mataram Kuno menurut Surti (2003:23):Salah
satu pasar pada masa Mataram Kuno yaitu Pasar Turen yang sekarang berada di
Kabupaten Malang, merupakan toponim dari Desa Turyyan yang disebut dalam
prasasti Turyyan tahun 851 Saka (929 Masehi). Dalam prasasti tersebut bahwa di
sebelah utara daerah yang dijadikan Sima, yang dibuktikan dengan prasasti yang
masih in situ adalah pasar, dan sebelah baratnya adalah sungai.Selain lokasi pasar
pada masa Mataram Kuno juga dikenal sistem rotasi pasar mengikuti konsep desa
pada masa Mataram Kuno. Konsep tersebut menempatkan satu desa induk
dikelilingi oleh empat desa yang terletak di arah empat penjuru mata angin yang
disebut konsep Macapat dan Macalima6. Dalam catatan memori Residen Pasuruan
G. H. H. Snell tahun 1928 hasil laporan penelitian 4 desa yang diteliti antaralain,
Desa Purwantoro, Desa Sisir, Desa Putat Lor dan Desa Wonorejo di Kabupaten
Malang tahun 1928, menyebutkan bahwa sistem kesatuan desa macapat masih
6 Wuryanto dalam Surti. (2003 : 54)Menjelaskan Konsep panasta / panatur desa dengan 4 atau 8
desa yang mengelilingi pada penjuru mata angin tetap diterapkan walaupun tidak selalu tepat pada
penjuru mata angin, karena mungin disebelah selatan atau penjuru yang lain terdapat sungai atau
jurang
tetap dipertahankan. Kesatuan desa ini digunakan untuk kepentingan keamanan,
tolong menolong bila terjadi perampokan, pencurian hewan ternak dan lain-lain.
Pada tahun 1928 di Kabupaten Malang, konsep kesatuan desa macapat ini hanya
terbatas pada penjagaan keamanan saja sedangkan untuk konsep rotasi pasar tidak
terjadi (ANRI, 1978:LXXVIII).
Konsep Macapat dan Macalima tersebut kemudian dikaitkan dengan
sistem hari-hari pasar atau yang disebut Pancawara7, sehingga tercipta rotasi desa
sesuai hari pasaran yang berjalan contohnya pada hari Kaliwuhan Pasar diadakan
di desa induk, pada hari Wagai pasar diadakan di desa sebelah utara, pada hari
Umanis pasar diadakan di desa sebelah timur, sedangkan pada hari Pon pasar
diadakan di desa sebelah barat. Diantara kelima pasar tersebut tentunya pasar
Kaliwuhan dianggap sebagai pusat dan memiliki pendapatan yang lebih besar dari
pasar lain. Seperti yang tergambar di masa sekarang pasar-pasar yang ada di
daerah Kabupaten Malang, yaitu Pasar Turen mengenal Paing dan Kliwon sebagai
hari pasarannya, Pasar Gondanglegi yang berada di sebelah barat Pasar Turen
mengenal Legi dan Pon sebagai hari Pasarannya. Namun ketiga pasar lain yaitu
Pasar Talang Suko di sebelah utara Pasar Turen, Pasar Talok di sebelah timur
Pasar Turen, Pasar Sedayu di sebelah selatan Pasar Turen, sekarang menjadi Pasar
Krempyeng tidak mengenal hari pasar (Surti, 2003:54-56).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa struktur pasar terletak di sebelah utara
tempat tinggal Bhatara Narapati dan di sebelah pasar merupakan pemukiman
padat, sehingga jika diurutkan dari utara, terdapat Keraton, Alun-alun kemudian
pasar. Perbedaan lokasi dan kondisi fisik antara pasar masa Mataram Kuno dan
masa sesudahnya, dapat dilihat pada prasasti Muncan dan Turryan adalah yang
menekankan pada pasar desa, sedangkan pasar pada naskah Negarakretagama
adalah Peken agon/ Pasar kerajaan (Surti, 2003:65-66).
Pada periode ini, diibaratkan bahwa daerah di sekeliling keraton ialah
suatu unit konsumsi; disini pangeran tinggal dan mengonsumsi upeti yang
mengalir dari desa atau daerah sekelilingnya (Boeke, 1983:15). Pasar kerajaan
yang berada dilingkungan istana merupakan pemasok upeti/ pajak bagi kerajaan,
sehingga pasar kerajaan juga simbol kekuatan ekonomi seorang raja atau
pangeran.
Selain lokasi dan status yang berbeda, juga terdapat perbedaan bentuk fisik
dari pasar desa dan pasar kerajaan. Perbedaan tersebut terlihat dari tempat yang
dibuat berjualan. Pasar desa berupa lapangan terbuka, sedangkan pasar kerajaan/
pasar besar (peken agon) berupa bangunan semi permanen maupun bangunan
permanen (Surti, 2003:123). Perbedaan bangunan fisik pasar mempengaruhi
rapinya keadaan pasar dan perhatian kerajaan terhadap perdagangan pasar
tersebut. Pasar kerajaan yang berada dekat dengan keraton bangunannya
cenderung harus tertata rapi dan menjadi prioritas, hal ini penting dikarenakan
pasar kerajaan dijadikan simbol perekonomian kerajaan.
7 Surti (2003:55) membedakan 3 konsep minggu yaitu saptawara (1 minggu terdiri dari 7 hari),
sadwara (1 minggu terdiri dari 6 hari), pancawara (1 minggu terdiri dari 5 hari). Sepasar/ 1 pasaran
yang terdapat dalam pancawara yaitu Umanis/ manis, pahing, pon/pwan, wagai/wage dan
kaliwuhan/ kliwon.
Pada masa Majapahit, meskipun pasar kerajaan telah menjadi prioritas
sistem pasar desa masih dipertahankan. Salah satu contohnya di Kabupaten
Temanggung tepatnya di Pasar Parakan bahwa sampai tahun 1970-an mereka
masih berdagang mengikuti perputaran hari-hari Pasar (Surti. 2003:58). Hal ini
menunjukan bahwa pasar yang ada di desa-desa tidak hilang ataupun dihilangkan
oleh penguasa, ini terbukti dengan adanya pasar desa yang masih berjalan hingga
sekarang sehingga pasar desa memang dapat bertahan dengan sistem Pasarannya.
Namun ada juga pasar desa yang berubah. Perubahan terhadap penerapan
hari pasaran dapat dilihat di beberapa pasar di daerah Kabupaten Malang. Pasar
tersebut antara lain Pasar Talangsuko, Talok, Sedayu berubah menjadi Pasar
Krempyeng yang buka mulai pukul 6 sampai pukul 10.00 dan tidak mengenal hari
pasar (Surti, 2003:56). Pasar Krempyeng merupakan bentuk pasar yang tidak
mengenal hari pasaran, karena itu buka setiap hari. Pasar Krempyeng lebih
sederhana dalam pengaturannya.
Beberapa alasan munculnya Pasar Krempyeng dan hilangnya sistem hari
pasaran yaitu, pertama pasar di daerah itu memerlukan aktifitas perdagangan
setiap hari, sehingga pengaturan pasar sesuai dengan hari pasar tidak dapat
mengakomodir kebutuhan masyarakat akan tersedianya transaksi perdagangan.
Kedua masyarakat ingin mempersingkat jarak transportasi oleh karena itu lebih
memilih berdagang di daerah sendiri. Ketiga pudarnya konsep integrasi dan
kerukunan antar desa yang menyebabkan rotasi pasar terhenti, karena konsep hari
pasaran merupakan integrasi Konsep Panasta Desa dan Pancawara. Keempat
ditinjau dari segi tempat dalam menyelenggarakan hari pasaran, desa yang
mengadakan pasar Kaliwuhan atau Kliwon lebih untung karena berada di pusat
rotasi hari pasaran, sehingga terjadi ketidakseimbangan keuntungan desa yang
mengadakan pasar yang lain.
Setelah pemerintahan Daendels, Thomas Stamford Raffles dikirim
Gubernur Jenderal Minto di India untuk mengambil alih kekuasaan Belanda di
Jawa (Ricklefs. 2008:247). Dalam catatan Rafflesh (2008:124) sebagai Leutnan
Jenderal di Jawa tahun 1811-1816, disebutkan bahwa terdapat pasar yang tersebar
di seluruh propinsi di Jawa, yang diselenggarakan 2 kali seminggu atau lebih.
Beberapa jenis pajak kecil ditarik dari pasar ini. Penarikan pajak ini biasanya
dikumpulkan oleh Etnis Tionghoa. Tetapi karena jumlah yang diminta diatas
pajak resmi pemerintah serta adanya sistem monopoli yang dilakukan oleh Etnis
Tionghoa, maka sistem ini dihapuskan dan pemerintah kembali menguasai sistem
penarikan pajak.
Di beberapa pasar yang besar, pasar dikepalai oleh seorang pengawas
pasar dan kemudian dibangun banyak kios untuk disewakan kepada pedagang
yang ingin menempatinya. Sewa ini dikumpulkan bersamaan dengan berbagai
pajak produk-produk lokal pada permulaan hari pasar (Rafflesh, 2008:124). Pada
pemerintahan Rafflesh sistem hari pasaran masih diterapkan, namun ditambah
dengan adanya unsur kolonial yaitu kepala pasar sebagai pengawas sekaligus
penarik pajak produk dan sewa tempat.
Pada tanggal 1 April 1914 Gemeente Malang berdiri dengan anggaran
keuangan pertama sebesar f. 44.867.86, kemudian yang dialokasikan untuk pasar
sebesar f. 350 (Sardjono, 1954:18). Karena terbatasnya anggaran dana dan belum
ada pemasukan, maka dana anggaran sedikit demi sedikit dialokasikan pada
kebutuhan Gemeente yang lain. Anggaran yang termasuk keputusan penting saat
itu masih diserahkan pada Gewestelijk Pasuruan.
Keputusan Gewestelijk Pasuruan yang saat itu digagas adalah
pembangunan pasar yang baru, tempat yang dipilih adalah di Jalan Tumapel
(Maetsuyckerstraat) di sebelah kiri tepi sungai Brantas. Gewestelijk Pasuruan
sebelum berdirinya Gemeente Malang juga sudah menganggarkan f. 150.000,-
untuk pembangunan pasar baru karena pasar partikelir Pecinan tidak cukup luas
(Lakeman, 1934:68).
Pasar Pecinan terletak di Jalan Pecinan, terdiri dari Pasar Harian, Pasar
Malam, parkir mobil dan stasiun bus (Liempt, 1939:151). Pasar Pecinaan yang
pada mulanya merupakan pasar swasta kemudian diambil alih oleh Gemeente
Malang. Pada saat Pasar Pecinan masih dikelola oleh Etnis Tionghoa keadaan
pasar terlalu sempit, sehingga Gemeente Malang pada tahun 1917-1919
menyediakan uang lebih dari f. 25.000 untuk membeli los-los partikelir tambahan
dan membangun kembali Pasar Pecinaan, penambahan los dan pembangunan
pasar ini selesai pada tahun 1924 (Sardjono, 1954:49).
Pasar Malam awalnya merupakan pesta adat Jawa yang terkenal dan
berlangsung seminggu. Pasar Malam ini bertepatan upacara Grebeg dan dirayakan
di malam hari. Suasana penuh dengan keramaian, terutama anak-anak senang
sekali melihat hiburan pasar malam seperti lonceng, balon, kincir angin dan lain-
lain (Lith, 1917:278). Di Kota Malang Pasar Malam pada awalnya merupakan
pasar partikelir yang berlangsung lebih dari 2 malam, pasar ini sudah ada sebelum
tahun 1922. Pada tahun 1922 Pasar Malam dikenal dengan nama Pasar Derma
yang dipegang oleh lembaga etnis Tionghoa, inti acara pada Pasar Malam sangat
beragam mulai dari pertandingan kembang api, seni beladiri, opera, ketoprak,
komedian, sampai tari-tarian, dan didukung dengan tersedianya beberapa stan
makanan. Sebagian dari hasil keuntungan dari Pasar Malam dibagi pada sekolah
miskin, madrasah, sekolah Cina, lembaga kesehatan, dan lembaga sosial (Tjahaja
Timoer 6 September 1922 ”Pasar Malam Ang Hien Hoo”). Dengan konsep Pasar
Malem 2 in 1 yaitu menikmati hiburan sambil beramal, pasar ini selalu ramai tiap
tahunnya. Biasanya pada pembukaan Pasar Malam dihadiri juga oleh
Burgemeester, Regent dan pejabat militer setempat.\
Pada tahun 1930 sudah direncanakan dalam bouwplan VI tentang
pembangunan Pasar Malam dan Pasar Besar kedua8 (Liempt, 1934:XCV). Hal ini
diangkat kembali setahun setelah keluarnya keputusan tanggal 12 Mei 1930,
dalam pertemuan tahunan antara dewan dan pemerintah kota yang
mempertimbangkan peluang penciptaan Pasar Malam (notulen
raadsvergaderingen en Gemeentebladen 1931). Pada tahun 1932 Gemeente
memutuskan untuk mendirikan sebuah Pasar Malam di Pasar Pecinaan, tetapi
8 Menurut Surat Kabar De Indishe Courant 18 Maret 1930 “Nieuwe stadsuitbreiding”Belum ada
keterangan pasti nama pesar terbesar kedua, namun pasar ini direncanakan berlokasi di dekat
stasiun tram, dengan luas mencapai 7000 M2 dengan dilengkapi stasiun bus dan taxi.
yang kemudian penyelenggaraan Pasar Malam terpisah dari Pasar Pecinaan
(Locale techniek, 1941:40 & Liempt, 1934:CXXXII)
Penyelenggaraan Pasar Malam pada era kolonial menjadi kecenderungan
umum, selain di Gemeente Malang, Pasar Malam juga banyak diadakan dibanyak
kota-kota dan kabupaten di Jawa. Selain untuk mendapatkan pemasukan pada
Gemeente, Pasar Malam juga digunakan sebagai standar gaya hidup modern bagi
beberapa wilayah, seperti yang diadakan di Jember, Cirebon, Pasuruan dan
Probolinggo (Surat kabar De Indishe Courant 28 Oktober 1929 ”Passar-Malem”).
Dengan keputusan dewan tanggal 4 Agustus 1930 (Gemeenteblad 1930
No. 124) untuk menandatangani pinjaman sebesar f. 1.000.000,- yang ditujukan
untuk, Pasarbedrijf, perusaahan air, sekolah tehnik dan lain-lain. Pasarbedrijf
menerima f. 200.000,- yang kemudian dialokasikan untuk perluasan Pasar
Pecinan sebesar f. 50.000, dan pembangunan Pasar Pembantu sebesar f. 150.000
(Liempt, 1939:XC). Pasar Pembantu dianggap sebuah solusi akhir yang dianggap
memungkinkan untuk mewadahi perdagangan di Kota Malang (Locale techniek,
1941:40).
Perluasan Pasar Pecinaan tidak dapat menjamin tersedianya los dan bedak
untuk para penjual yang semakin lama semakin bertambah. Hal ini menyebabkan
berdirinya los dan bedak yang kumuh didekat Pasar Pecinan. Agar keadaan
kumuh itu dapat diberantas, maka Gemeente mengupayakan pendirian pasar-pasar
lain di wilayah Gemeente Malang. Pasar yang akan dibangun merupakan pasar-
pasar kecil dan sederhana (Locale techniek, 1941:46).
Pasar Pembantu yang dibangun Gemeente yaitu Pasar Klojen pada tahun
1919, kemudian pada tahun 1932 dan 1934 dimulai dari Pasar di Bunulrejo,
Kebalen, Oro Oro Dowo, Embong Brantas dan Lowokwaru, Pasar Bunga tahun
1937 (Sardjono, 1954:49). Kemudian dilanjutkan dengan keputusan tanggal 25
September 1934 No. Az. 286/4 dalam Gemeenteblad Van Malang, yang
memutuskan untuk mendirikan los untuk Pasar Pembantu di Jalan Kebalen, Oro
Oro Dowo, Embong Brantas dan Lowokwaru. Pembangunan los pada pasar-pasar
tersebut ditenderkan pada pihak swasta. Pemenang tender adalah NV Volcano
Surabaya, sepakat dengan biaya f. 23.860.
Warungcentrale muncul menyusul keputusan dewan 3 April 1934 yang
melarang adanya warung di jalan-jalan dalam kota, sehingga warung-warung
harus terpusat di tempat tertentu. Konsep ini sebenarnya terbentuk dengan cara
menghimpun pedagang-pedagang di daerah yang dilarang berjualan, serta di
jalan-jalan protokol kemudian ditempatkan disuatu tempat tertentu. Contoh
warungcentrale seperti didirikan di Mergosono, namun setelah tanggal 1 Juni
1938, warungcentrale ini ditutup (Liempt, 1939:CXXXII &151).
Selain warungcentrale yang berada di Mergosono, warungcentrale juga
terdapat di dalam Pasar Pecinan, tujuannya untuk mengurangi penjual yang
berkeliling dalam pasar. Bentuk Warungcentrale di dalam Pasar Pecinan terdiri
dari sejumlah meja makan persegi kayu dengan bangku-bangku di luar dan di
dalam meja penjaga warung digunakan untuk mencuci dan membilas perangkat,
kemudian di tengah-tengah warung ini khusus digunakan ruang penyimpanan
yang diciptakan untuk penjaga warung. Warungcentrale ini dilengkapi dengan
lubang-lubang drainase (Locale techniek, 1941:40 & 42)
Mulai tahun 1917, perluasan Pasarbedrijf 9terfokus pada Pasar Pecinan,
namun pada tahun 1937 berdasarkan Gemeenteblad No.24 tahun 1937 Gemeente
Malang juga membangun Pasar Bunga di Alun-alun Kota Malang, yang bertujuan
untuk menambah keindahan kota (Liempt, 1939:CXCI & 152). Kondisi Pasar
Bunga yang ramai menunjukkan bahwa Pasar Bunga memang sangat dibutuhkan
warga kota yang membutuhkan bunga. Pada masyarakat Bumiputra kembang
dipergunakan untuk berbagai upacara tradisional, juga upacara pemakaman
sedangkan penduduk Eropa lebih mengenal bunga sebagai hiasan rumah.
Kebutuhan akan bunga, kemudian didukung dengan lokasi yang strategis yaitu
berada di pusat kota, membuat Pasar Bunga ini bisa bertahan hingga pasca
kemerdekaan bahkan disaat beberapa pasar di Kota Malang hancur dan beberapa
pasar ditutup karena sepi (Liempt, 1939:153).
Pada bulan Januari 1934 Pasar Hewan mulai sudah dibuka dan
diperkenalkan di Gemeente Malang (Lakeman, 1934:70). Pasar Hewan Kota
hanya memperdagangkan hewan ternak yang berukuran kecil yaitu domba dan
kambing, hal ini mungkin disebabkan keadaan Pasar Hewan yang tidak cukup
luas. Pasar ini sebenarnya ingin ditempatkan di seluruh pasar namun belum ada
tanah yang untuk dibangun (Liempt.1939:151&153). Kebutuhan akan hewan
ternak di Kota Malang sangat tinggi, namun Pasar Hewan hanya dapat
memperjualbelikan hewan domba dan kambing. Setelah Gemeente Malang
mengalami perluasan wilayah, Pasar Hewan di Malang bertambah satu yaitu Pasar
Hewan di Blimbing. Sehingga tercatat ada dua Pasar hewan yang terletak di jalan
Sawahan dan di dekat Pasar Blimbing.
Pasar Hewan Blimbing terletak di selatan dan barat Pasar Blimbing, Pasar
Hewan berada di sebuah tanah lapang yang beraspal. Gemeente Malang akan
tetap mempertahankan dan memperbaiki Pasar Hewan Blimbing, namun karena
jarak Pasar Hewan dan Pasar Blimbing begitu dekat maka timbul masalah lalat
yang serius di Pasar Blimbing (Jaarverslag Gemeente Malang, 1940:169).
Berbagai Pasar dan warungcentrale dibangun secara bertahap, bersamaan
dengan hal itu Gemeente juga meningkatkan jumlah staf pasar guna melancarkan
administrasi. Khusus mengenai staf pasar secara detail telah diatur dalam
Jaarverslag Gemeente Malang 1940 wajib memenuhi beberapa kriteria
pendidikan yang harus dilalui. Berikut beberapa syarat dan tingkatan pendidikan
staf yang harus dilalui :
a. Staf Tinggi : pelatihan akademis dan persyaratan tugas khusus.
b. Staf Terkemuka Sekunder: Pendidikan menengah dari Westersch
Lager Onderwijs ditambah pelatihan kejuruan khusus, juga
bertanggung jawab atas departemen.
9 Sekarang identic dengan Unit Pelaksana Tehnis Dinas Pasar/ Dinas Pasar.
c. Staf Sekunder: Westersch Lager Onderwijs ditambah Meer Uitgebreid
Lager Onderwijs (MULO), Hogere Burger School (HBS) dan
kejuruan dengan wirausaha.
d. Staf sekunder Bawah : Westersch Lager Onderwijs dan Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) atau Hogere Burger School
(HBS) dan kejuruan tanpa wirausaha.
e. Staf Bawah : Pendidikan dasar Bumiputra.
Secara herarki hubungan antara kekuasaan dan pasar timbul oleh pelapisan
sosial dalam suatu masyarakat atas variabel mempengaruhi dan dipengaruhi,
sehingga pengaturan pasar selalu bergantung pada penguasa. Pasar dapat menjadi
simbol seorang penguasa karena adanya pasar yang ramai dapat dikatakan bahwa
penguasa berhasil memberikan perlindungan di wilayahnya untuk melakukan
kegiatan tukar-menukar atau transaksi dan kegiatan ekonomi secara tenang. Selain
itu pasar juga dapat dipakai sebagai mekanisme kontrol penguasa di wilayahnya,
misalnya dengan melihat jenis-jenis hasil bumi yang terdapat di pasar, penguasa
dapat mengetahui berhasil atau tidaknya suatu panen (Surti, 2003:53).
Pemerintahan Gemeente Malang yang mengadopsi sistem pembangunan
secara fisik dari negeri Belanda, beserta regulasinya sebagai yang saling
berdampingan. Gemeente Malang berharap akan terwujudnya sebuah sistem
perekonomian kota yang teratur dan mempunyai nilai estetika, yang berusaha
diwujudkan dalam sistem penataan Kota Malang yang lebih dikenal dengan nama
bouwplan. Pemerintah Belanda memang membuat klasifikasi pasar guna
mengakomodir perdagangan di kampung dan di pusat kota di wilayah Gemeente
Malang.
Peran pasar pada sebuah kota, terbentuk dari sebuah siklus ekonomi antara
desa dan kota. Seperti pendapat Max Weber menganggap suatu tempat adalah
sebuah kota apabila penghuni setempatnya dapat memenuhi sebagian besar
kebutuhan ekonominya di pasar lokal. Selanjutnya komoditi pasar yang dihasilkan
oleh penduduk pedalaman dan dijual-belikan di pasar itu. Inilah dasar sifat
kosmopolitan yang merupakan hakekat dari kota. Weber juga menekankan pasar
sebagai ciri kota (Nas, 1979:28-29). Namun pada kenyataannya kota sebagai
sebuah kekuatan yang menyerap sumberdaya daerah sekitarnya, sebagai pilar
perekonomian. Kebayakan pilar-pilar tersebut hanya dijadikan alat untuk menjadi
magnet keuntungan bagi sebuah kota, tanpa ada timbal balik pada tingkat
ekonomi dan sarana prasarana.
Pendekatan ekonomi menyatakan bahwa, suatu ciri dari kota ialah cara
hidup yang bukan agraris dan khususnya pasar dan pedagang sering dianggap
sebagai hakekat dari kota (Nas, 1979:34). Dalam unsur Kota Malang tahun 1914-
1942 pendapat ini memang belum sepenuhnya dapat diterima, karena Kota
Malang merupakan tipe kota pedalaman sehingga wilayah kota (bukan jantung
kota) masih banyak ditemui lahan pertanian atau masih bersifat agraris. Namun
peneliti sependapat dengan kenyataan bahwa peran pasar-pasar di Malang
merupakan urat nadi kota yang senantiasa memberi pemasukan yang besar pada
pemerintah kota.
Pembangunan pasar yang terintegrasi dengan bidang kota yang lain sesuai
dengan racangan tata kota selalu dilandasi dengan bouwplan, misalnya peraturan
Gemeenteblad No. 31 1930 yang mengatur lahan pasar malam, sekolah tehnik
kota, tempat olahraga, perumahan, taman kanak-kanak, kampung dan lain-lain,
sehingga sesuai dengan tata ruang kota yang telah dibangun sebelumnya (Liempt,
1939:XCV). Penyelarasan pembangunan yang diajukan oleh Gemeente dan
penasehat tata kota, misalnya penyelarasan dan pembangunan batas jalan dari
Kayutangan, alun-alun sampai pasar pusat (Gemeenteblad van Malang No. Az.
803/17/D:1). Secara garis besar pembangunan Tata Kota Malang, dipimpin oleh
penasihat tata ruang Gemeente Malang yaitu Ir. Karsten dari Belanda10
.
Pembangunan Pasar Pembantu merupakan inisiatif dari Gemeente untuk
memperlancar perdagangan di Kota Malang sehingga tidak tertumpu pada satu
pasar. Ramainya perdagangan di pasar-pasar di Malang tidak mampu untuk
menampung luberan pengunjung pasar, salah satunya terjadi di Pasar Pecinan.
Perdagangan di Pasar Pecinan yang memiliki masa depan cerah, pada 1915
keuntungan yang diterima f. 25, 890,- kemudian naik dua kali lipat setahun
sesudahnya (Liempt, 1939:XII).
Setelah tahun 1914 Raad menetapkan tiga buah peraturan kota mengenai
pajak personel, peraturan tarip perkuburan-perkuburan dan tarip pajak keramaian
guna memberi pemasukan pendapatan Gemeente Malang. Pada tahun 1915
dikeluarkan pula peraturan pasar dan peraturan pajak anjing (Sardjono, 1954:19).
Dalam peraturan De Gemeente van Malang 8 Januari 1915 penentuan tarif pajak
retribusi pasar dibebankan pada pedagang didalam stan dan diluar stan pasar.
Untuk pajak retribusi didalam stan pasar setiap meter per harinya 10 cent,
kemudian untuk tempat berjualan diluar stan pasar 1 cent setiap meter perharinya.
Jatuh tempo pembayaran retribusi secara explisit tidak disebutkan namun
diserahkan secara penuh pada dewan. Selain penetapan tarif tempat di dalam dan
luar stan pasar, gemeenteraad juga mengatur tentang tarif pajak di pasar ternak,
untuk perdagangan setiap domba dikenakan f. 0,03 sedangkan untuk ternak besar
dikenakan tarif f. 0,10.
Peraturan pajak retribusi diberlakukan mulai 1 Februari 1915 kemudian
dalam setahun keuntungan yang didapat gemeente sebesar f. 25.890 (Sardjono,
1954:49). Peraturan ini membuat pemasukan yang cukup besar untuk gemeente,
dan ini merupakan keberhasilan pemerintah Belanda dalam mendoktrinasi
masyarakat Bumiputra dengan aturan-aturan dari gemeenteraad. Produk
Gemeenteraad ini merupakan langkah awal pada penetapan pengaturan pajak
retribusi pasar, yang akan berlanjut pada beberapa dekade berikutnya.
10
Herman Thomas Karsten kelahiran Amsterdam Belanda, 22 April 1884 meninggal di Cimahi
tahun 1945. Karsten adalah arsitek dan perencana wilayah pemukiman dari Hindia Belanda. Gelar
arsitek diperolehnya dari Sekolah Tinggi Teknik (Technische Hoogeschool) di Delft, Belanda, dan
lulus tahun 1908. Dalam kariernya inilah ia menjadi perencana dan penasihat beberapa proyek
bangunan publik di beberapa kota antara lain Semarang (Pasar Johar), Surakarta (Pasar Gede
Harjonagoro dan stasiun Solo Balapan) dan penasehat tata ruang kota di Gemeente Malang.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Herman_Thomas_Karsten diakses tanggal 17 Desember 2012 Pkl
20.00 WIB)
Daftar sewa tempat di pasar tiap tahun dirubah, karena ada penyesuaian
khusus dari gemeenteraad. Sampai tahun 1918 daftar terbagi menjadi 67 macam
harga sewa, yang merujuk pada macam barang yang dijual. Pada aturan yang baru
hanya 22 perbedaan dalam arti beberapa dilandaskan atas perbedaan barang,
namun ditambah dengan lokasi yang dijadikan tempat berjualan. Misalnya harga
sewa los yang dipandang lebih strategis yaitu diujung pasar lebih mahal dari pada
harga sewa los yang ada di dalam pasar, aturan ini menjadi aturan pokok
penetapan harga sewa di pasar. Akan tetapi untuk Pasar Pembantu dan pasar
kampung aturan tersebut sulit dijalankan, karena barang yang dijual disana
bermacam-macam, pengecualian diferensiasi item yang dijual juga ditetapkan
pada pasar malam yang meniadakan diferensiasi dalam penerapan tarif (Locale
tehnieck,1941:46 & Liempt,1939:CXCII).
Walaupun masalah tarif sudah direvisi namun pada kenyataannya,
beberapa tarif (anyaman rotan, mesin jahit, tembakau dan peralatan mandi), yang
dalam prakteknya terbukti terlalu tinggi, pada tahun 1938 dikurangi dan
disesuaikan dengan kapasitas penjual. Penurunan ini disahkan oleh dewan pada 27
Juni 1938 No. Az. 130/25 dibawah keputusan ini dewan memberi masa percobaan
selama 6 bulan dengan tarif yang berbeda, namun hingga tahun 1940 peraturan ini
dapat bertahan (Liempt,1939:153). Peninjauan tarif perlu dilakukan hal ini
dikarenakan penyewa stan merupakan langganan yang selalu membayar pajak
retribusi. Jika terjadi kenaikan maka beberapa penyewa stan pasar akan keluar dan
memindahkan barang dagangannya ke pasar lain atau bahkan gulung tikar,
sehingga menyebabkan penurunan pemasukan pendapatan
Pasarbedrijf.Perubahan penetapan tarif retribusi pasar bagi para penjual terakhir
pada tahun 1940, sebelum pasar dan pemerintahan diambil alih oleh pemerintah
Jepang. Berdasarkan keputusan dewan tanggal 25 April 1940 No. 828/4
(Jaarverslag Gemeente Malang, 1940:170) pendapatan pasar di masa lalu dibuka
hampir 10 tahun adalah hampir sama rata untuk tiap tahunnya, satu pengecualian
adalah tahun 1931 dan 1940 pendapatan lebih tinggi. Hal ini disebabkan pada
tahun 1931 masih terkena dampak inflasi dari krisis ekonomi global tahun 1929,
sedangkan pada tahun 1940 adanya penambahan jumlah pasar yang dahulunya
merupakan pasar milik Regentshap yaitu Pasar Dinoyo, Pasar Harian Blimbing
dan Pasar Hewan Blimbing.
Pasar Malam tahun 1935 diselenggarakan oleh Tiong Hoa Hwee Koan
dengan ketua komite Pasar Malam Tiong Hoa Hwee Koan (T.H.H.K) W.G.L
Soema Tjoe Sing dibuka secara resmi mengajak seluruh pihak masyarakat Malang
untuk hadir di pasar yang telah diselenggarakan. Selain itu mengajak masyarakat
Malang untuk bersedekah karena sebagian hasil keuntungan Pasar Malam
diberikan pada badan sosial11
. Seperti dilansir dalam urat kabar Sinar Malang 1
Juli 1935:1-5 ”pasar malem editi”, Pasar malem yang dibuka tanggal 1 juli 1935,
juga dihadiri oleh voorzitter Njoo Thiam Tioe, Burgemeester Lakeman, anggota
Gemeenteraad Kho Shin Tjo, Regent Sam, sejumlah petinggi militer dan pers.
11
Menurut berita dalam Surat Kabar Tjahaja Timoer 19 November 1920”pasar derma”,
Sebelumnya pada tahun 19 November 1920, organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (T.H.H.K) juga
mengadakan pasar amal yang diberi nama “pasar derma” dengan keuntungan saat itu f. 10.901,67
½, kemudian diberikan ke Madrasah S.I di Malang f. 1.091,61.
Dalam acara pembukaaan disampaikan bahwa sebagian keuntungan akan
dibagikan pada 12 lembaga sosial diantaranya, Ling kew School, T.B.C,
Kindervacantie Kol, Ch. Hsich, Pol. M.D, Comitte tot steun werklozen dan Pol.
T.H.I.S., Burgemeester juga menekankan bahwa yang menjadi prioritas adalah
sekolah yang baru dibangun baru kemudian bantuan diberikan pada bidang sosial.
Keindahan dan keamanan pasar juga merupakan sebuah jaminan yang
digunakan sebagai tolak ukur sebuah kenyamanan serta kepercayaan pemilik
modal yang menaruh propertinya di pasar. Seperti diberitakan pada surat kabar
Het Niuews Van Den Dag 8 November 1935, tentang kebakaran gedung yayasan
dari sebuah pasar di Malang. Kebakaran ini disadari oleh seorang penjaga malam
yang langsung menyalakan sirine, guna memberi tahu petugas pemadam
kebakaran kota agar menuju lokasi pasar. Setelah kebakaran berhasil diatasi
ditemukan barang bukti berupa sebuah pembakar yang digunakan untuk menyulut
api kebakaran. Oleh karena itu penyebab kebakaran ini kemungkinan besar
ditengarai oleh dendam. Masalah kebakaran bukan hanya terjadi di Malang saja,
dibeberapa daerah juga terjadi kebakaran pasar, seperti diberitakan oleh surat
kabar Het Niuws Van Den Dag 8 November 1935”Brandstichter Veroordeeldtot
Twee Jaar Gevangenisstraf” kebakaran terjadi di sebuah pertokoan di pasar merah
(kramat-Batavia), kebakaran juga dipicu oleh dendam dan konspirasi antar
pedagang, oleh karena itu hakim Koesoema Atmadja, menjatuhkan hukuman 2
tahun penjara bagi si pembakar.
Pasar sebagai pusat keramaian, sering menimbulkan masalah sosial selain
anak-anak gelandangan, pembakaran juga yang kerap kali terjadi adalah tindak
kriminal maupun pecehan sosial. Dilaporkan terjadi pembunuhan di Malang
dalam surat kabar De Indische Courant 11 April 1932, bahwa terjadi pembunuhan
di belakang pasar, korban etnis cina bernama Song Boen Koei yang dibunuh oleh
4 teman se-etnisnya. Pembunuhan yang bermotif saling ejek yang kemudian
berujung pada dendam pada Song Boen Koei telah merenggut nyawanya, korban
dibunuh oleh 4 pelaku dengan pisau yang langsung menikam korban. Ke empat
pelaku akan dijatuhi hukuman yang sama.
Menurut surat kabar De Indishe Courant 20 November 1934” Wat men
langs den weg vond”, banyak faktor yang mempengaruhi tingginya angka
kriminalitas dan pembunuhan di area pasar salah satunya disebabkan oleh adanya
perjudian atau taruhan dan prostitusi merupakan masalah biasanya muncul
disetiap kota, dimana ada keramaian, hiburan dan peredaran uang disana bisa kita
temui masalah tersebut. Salah satu lokasi pertaruhan, perjudian dan prostitusi
yang kerap terjadi di sebuah pasar.
Semetara itu salah satu laporan pelecehan terjadi dalam pasar, hal ini
diberitakan dalam surat kabar Tjahaja Timoer tanggal 21 Maret 1928”Hal tentang
kuli-kuli pasar disini”. Laporan pelecehan datang dari para nyonya-nyonya yang
melaporkan kerapkali ada tindakan kuli pasar yang tidak sopan12
. Kuli-kuli13
12
Menurut Surat Kabar Het Niuws Van Den Dag 24 November 1934 ”pasar banditisme”,
Hukuman untuk Kuli atau Manolan yang bertindak tidak sopan dalam membawakan barang
nyonya-nyonya Eropa di pasar dijatuhi hukuman 2 bulan penjara. 13
Dalam surat kabar De Indische Courant 14 September 1937“Razzia op de Passer” perkerjaan
sebagai kuli pasar tidak mudah karena selain harus mengangkat beban berat, Kuli-kuli sering
dicurigai sebagai gangster, yang berkelahi di pasar. Oleh karena itu Razzia kepada kuli-kuli pasar
berkerja dalam pasar dengan membantu para konsumen yang berbelanja di pasar
dengan cara membawakan tas dan barang bawaan konsumen, kemudian diberi
upah. Kejadian tindakan kuli pasar ahirnya sampai pada komisi pasar, yang
membuat aturan baru bahwa yang mewajibkan kuli-kuli untuk mengambil nomor
urut yang kemudian dipasang dilengannya, sehingga jika ada kuli yang tidak
sopan, dapat mengadukan tindakan kuli pada administrator pasar bisa langsung
ditegur dan diancam, atau jika ada kuli pasar yang membawa lari barang
konsumen polisi bisa mudah melacak ciri-ciri kuli tersebut. Disini peran
administrator dan kepala pasar menjadi sangat penting karena segala pengawasan
ditingkat lapangan tergantung pada mereka.
Dengan tertibnya administrator pasar dan kepala pasar, bukan hanya
pengawasan dilapangan yang dapat berjalan lancar, namun lebih dari itu
administrasi perdagangan yang baik, bisa dimanfaatkan menjadi informasi yang
sangat penting. Peran infomasi pasar dapat dimanfaatkan oleh konsumen melalui
berbagai media salah satunya melalui surat kabar. Setelah pencatatan secara detail
oleh administrator pasar yang membuat daftar rata-rata harga bahan kebutuhan
pokok, kemudian infomasi tersebut diolah oleh beberapa penerbit surat kabar
untuk diterbitkan, sehingga kita dapat mengetahui harga rata-rata bahan
kebutuhan pokok melalui media surat kabar sebelum membeli bahan kebutuhan
pokok di pasar, dan selanjutnya kita dapat memperhitungkan anggaran sebelum ke
pasar.
PENUTUP
Kesimpulan
Perubahan yang terjadi pada pasar-pasar di Malang di bagi menjadi dua
yaitu perubahan secara fisik dan administrasi. Perubahan secara fisik terlihat dari
perbedaan bentuk bangunan, lokasi dan pola pasar serta komoditi. Sementara
perubahan administrasi terlihat dari pengelolaan pajak retribusi pasar.Perubahan
bentuk bangunan dari pasar tradisional contohnya pasar desa Turyyan (Turen)
yang belum mempunyai wujud bangunan karena masih berada di pinggir jalan dan
di lapangan . Setelah pasca kedatangan bangsa Barat bangunan pasar sudah dalam
bentuk permanen yang dikuasai oleh masing-masing etnis yaitu masih dalam
bentuk pasar partikelir salah satunya Pasar Partikelir Pecinan, namun bangunan
pasar masih sempit. Kemudian pada masa pemerintahan Gemeente, pasar-pasar di
Malang dibangun dengan bentuk bangunan modern dengan konstruksi dari kayu,
besi dan beton, bahkan di pasar-pasar tergolong besar dilengkapi dengan pintu
gerbang masuk pasar yang di isi oleh staf pasar, tempat parkir dokar, taksi dan
sepeda
Lokasi dan pola pasar tradisional berada di lapangan, dengan pola
penyelenggaraan pasar sesuai dengan rotasi hari pasaran, setelah kedatangan
bangsa Barat pasar secara umum diadakan di seluruh propinsi di Jawa, yang
diselenggarakan 2 seminggu atau lebih, kemudian pada masa pemerintahan
Gemeente pasar-pasar di Kota Malang, lokasi terletak pada pinggir jalan utama,
sering diadakan, jika terbukti berkelahi maka kuli-kuli tersebut akan dibuang di penampungan
pengemis atau dipulangkan di daerah asalnya.
dekat pusat kota dengan pola menyebar mengikuti perkembangan perumahan
penduduk dan aktifitas perdagangan di Kota Malang.
Komoditi yang diperdagangkan secara umum dari pada masa pasar
tradisional, hingga pasar masa pemerintahan Gemeente hampir sama yaitu mulai
bahan pangan, pakaian dan hiburan. Perbedaan hanya terletak pada jumlah
kuantitas dengan pertimbangan kebersihan komoditinya.
Perubahan secara administratif dari pasar masa tradisional seperti
penetapan pajak di pegang secara penuh oleh kerajaan, pasca kedatangan bangsa
Barat pajak ditentukan pemerintah kolonial namun banyak penyimpangan yang
dilakukan oleh penarik pajak Tionghoa, pada masa pemerintahan Gemeente,
pengaturan pasar berada dibawah Pasarbedrijf. Besar dan kecilnya pajak
ditentukan oleh Burgemeester dan fraksi-fraksi dalam Dewan Kota. Secara garis
besar tarif pajak dibedakan menjadi tiga yaitu untuk Pasar Pembantu besar, kecil
dan Pasar Kampung.
Peran pasar sangat penting dalam pemerintahan Gemeente Malang.
Eksistensi pasar berperan sebagai media sirkulasi arus perdagangan di Kota
Malang, sehingga perdagangan di Kota Malang menjadi lancar. Lancarnya arus
perdagangan di Kota Malang menyebabkan peningkatan Pendapatan Gemeente.
Setiap laporan tahunan Perusahaan Pasar merupakan sumber pendapatan
Gemeente terbesar kedua setelah Perusahaan Air Kota. Selain sebagai media yang
memperlancar arus perdagangan dan sumber pendapatan, pasar-pasar di Kota
Malang selalu tidak lepas dari masalah-masalah sosial seperti gelandangan,
pembunuhan, pelecehan seksual, perkelahian dan lain-lain.
DAFTAR RUJUKAN
A. Arsip:
De Gemeenteraad Van Malang 1914-1926
Decentralisatie 1914-1915
Notulen raadsvergaderingen en gemeentebladen 1931 Staadgemeente van
Malang
Gemeenteblad van Malang 1934 No.Az.51/37/A
Gemeenteblad van Malang 1934 No.Az. 288/4
Gemeenteblad van Malang 1934 No.Az. 317/4
Gemeenteblad van Malang 1934 No.Az. 803/17/D.
Gemeenteblad van Malang 1928 No.2173/27
Jaarverslag Gemeente Malang 1940
B. Surat Kabar:
De Indische Courant 23 September 1922 “Malang En Zijne Ontwikkeling”
De Indishe Courant tanggal 3 Maret 1928 “Gelimiteerde liefdadigheid”
De Indishe Courant 28 Oktober 1929”Passar-Malem”
De Indishe Courant 18 Maret 1930 “Nieuwe stadsuitbreiding”
De Indische Courant 11 April 1932” Openbare water drink gelegen het en.”
De Indische Courant 11 April 1932 “De moord op Blakang-pasar”
De Indische Courant 11 April 1932” Adviseur Volkscredietwezen”
De Indishe Courant tanggal 6 September 1934”Ter inleiding”
De Indishe Courant tanggal 6 September 1934”Malang verzonken in bergweelde
en natuurschoon”
De Indishe Courant Tanggal 20 November 1934” Wat men langs den weg vond.”
De Indische Courant 2 Juli 1935”De opening door mevrouw Bertsch”
De Indische Courant 14 September 1937“Razzia op de Passer”
Het Niuws Van Den Dag 24 November 1934”pasar banditisme”,
Het Niuws Van Den Dag 8 November 1935”Passar-Malem Ten bate A.S.I.B”
Het Niuews Van Den Dag, 13 November 1935”Opbrengest Pasar Malem Ten
Bate Van A. S. I. B
Het Niuews Van Den Dag tanggal 1 Juli 1935, “Een Proefneming te Semarang”
Het Niuws Van Den Dag 8 November 1935”Brandstichter Veroordeeldtot Twee
Jaar Gevangenisstraf”
Java-bode tanggal 18 Januari 1868”Kroniek voor Oost Java”,
Ostoekbode tanggal 5 Juli 1922 “Een Particuliere Pasar”
Pembangoenan tanggal 12 maret 1943 “Penjamoean Orang Internier Belanda”
Pewarta perniagaan tanggal 12 januari 1943” Maklomat Syutyokan”
Pewarta perniagaan 30 Oktober 1942”Maklomat No 1. Pendaftaran barang-barang
dagangan”)
Sinar Malang 2 September 1935”Passar-Malem Armenzorg Probolinggo”
Sinar Malang 1 juli 1935 hal 1-5”pasar malem editie”
Sinar Malang tanggal 2 Sept 1935 hal 5”harga pasar Malang”.
Soerabaijasch handelsblad 30 Agustus 1935 “Vergadering A. S. I. B
Swara Malang 6 November 1937” Vegadering Gemeenteraad ing Malang”
Tjahaja Timoer 19 November 1920”pasar derma”
Tjahaja Timoer 6 September 1922”Pasar Malam Ang Hien Hoo”
Tjahaja Timoer tanggal 21 maret 1928”Hal tentang Kuli-Kuli pasar disini”
Tjahaja Timoer tanggal 15 juli 1929”tida boleh ada warong”.
Tjahaja Timoer tanggal 18 Juni 1930”pasar partikuler”)
Tjahaja Timoer tanggal 9 oktober 1922”pasar malem”
Tjahaja Timoer tanggal 24 desember 1920”Malang terpandang siang dan malam”
C. Majalah
Locale Technieck 1941
D. Buku-buku
Anshory, HM Nasrudin. 2008. Bangsa Inlander Potret Kolonialisme di Bumi
Nusantara. Yogyakarta : LKIS
ANRI.1978. Memori Serah Terima Jabatan 1921-1930 (Jawa Timur Dan Tanah
Kerajaan). Jakarta : ANRI
Aryanti dewi, et al. 2005.Pengaruh kegiatan berdagang terhadap pola ruang
dalam bangunan rumah toko di kawasan Pecinan Kota Malang. Surabaya:
Jurnal Arsitektur Universitas Kristen Petra (1-10)
Basundoro, Purnawan. 2009. Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang Sejak
Kolonial sampai Kemerdekaan. Yogyakarta: Ombak
Boeke, J. H. 1983. Prakapitalisme di Asia (Terjemahan). Jakarta : Sinar Harapan.
Budiningsih, C. A.2004. Pembelajaran Moral. Jakarta: Rineka Cipta.
Colombijn, Freek. (Eds). 2005. Kota Lama Kota Baru ; Sejarah Kota-kota di
Indonesia. Yogyakarta : Ombak
Domis, H. I. 1836. Residentie Pasoroeang. H. S. J de Groot: Gravenhage
Geertz, Clifford. 1989. Penjaja dan Raja (Perubahan Social Dan Modernisasi
Ekonomi di Dua Kota Indonesia). Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Gottschalk, Louis.1986. Mengerti Sejarah, (terjemahan oleh Nugroho Noto
Susanto).Jakarta : Yayasan Penerbit Universitas Indonesia
Hariyono. 1995. Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Malang : Pustaka Jaya.
Hudiyanto, Reza. 2011. Menciptakan Masyarakat Kota : Malang di bawah Tiga
Penguasa 1914-1950. Yogyakarta : Lilin
Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Kotapraja Malang 50 tahun 1964
Lakeman P.K.W,.1934. Stadsgemeente Malang 14 April 1914-1934. Malang: G.
Kolff & Co
Lith, van PA,.1917. Encyclopaedie van Nedelandsch Indie, („s Gravenhage:
Martinus Nijhoff,
Purwanto, Bambang. 2010. Dimensi Ekonomi Lokal dalam Sejarah Indonesia
Dalam Sri Margarana dan Widya Fitrianingsih (Eds,). Sejarah Indonesia:
Prespektif Lokal dan GlobalPersembahan untuk 70 Tahun Prof. Dr. Djoko
Suryo (Hlm 495-504). Yogyakarta: Ombak.
Pigeud, Th. G. Th. 1960. Java in the Fourteenth Century: A Study in Cultural
History. The Nagara-kretagama by Rakawi Prapanca Majapahit, 1365 A.
D Jilid I. The Hague: Martinus Nijhoff.
Nas, P. J. M.1979. Kota di Dunia Ketiga. Jakarta : Bhatara Karya Aksara
Nas, P.J.M. 2007. Kota-Kota Indonesia: Bunga Rampai. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Onghokham.2008. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina Sejarah Etnis
Cina di Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu.
Poesponegoro, Marwati Djoened. 2010. Sejarah Nasional Indonesia II; zaman
kuno. Jakarta : Balai Pustaka
Rafflesh, Thomas Stanford. 2008. History of Java. Narasi : Yogyakarta
Ricklefs, M. C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2009. Jakarta : Serambi
Ilmu Semesta
Sardjono, M.1954. 40 Tahun Kota Malang. Malang : Pemerintah Kota Praja
Malang
Sayono, Joko. 2006. Buku Petunjuk Teknis Praktik Pengalaman Lapangan Bidang
Studi Pendidikan Sejarah. Malang: UPT Program Pengalaman Lapangan
Universitas Negeri Malang
Sutatmi dan Djoko Kusumajanto. 1993. Pengantar Ilmu Ekonomi. Malang :
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Institut Keguruan Dan Ilmu
Pendidikan Malang Proyek Operasi Dan Perawatan Fasilitas.
Sjamsuddin, Helius.1996.Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Penerbit Ombak
Surti, Titi Nastiti.2003. Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna. Jakarta : Pustaka
jaya.
Liempt, F.J.M. 1939. Kroniek der Stadsgemeente Malang over de Jaren
1914-1939. Malang : Stadsgemeente Malang
Van Scaik, Arthur. 1996. Malang Beeld Van Een Stad. Purmered: Asia Minor
Wignjosoebrotoo, Soetandyo. 2004. Desentralisasi Dalam Tata Pemerintahan
Kolonial Hindia-Belanda; Kebijakan dan Upaya Sepanjang Babak Akhir
Kekuasaan Kolonial di Indonesia (1900-1940). Malang: Bayu Media
Widodo,ID. 2006. Malang Tempo Dulu jilid II. Malang : Bayu Media
(www.malangkota.go.id diakses, pada tanggal 10 November 2012, Pkl 20.00
WIB).
(http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Malang diakses, pada tanggal 11 November
2012 Pkl 20.00 WIB)
(http://id.wikipedia.org/wiki/Herman_Thomas_Karsten diakses tanggal 17
Desember 2012 Pkl 20.00 WIB)
(http:/ http://keraton-keraton.blogspot.com/ diakses tanggal 10 November 2012
Pkl 19.00 WIB).
(http://kranten.kb.nl diakses tanggal 10 Agustus 2012 Pkl 20.00 WIB)
(www.niod.nl diakses tanggal 20 Agustus 2012 Pkl 15.00 WIB)