abses pedis dm ii

83
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik kronis dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan erat dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah yang menimbulkan berbagai macam komplikasi yaitu aterosklerosis, neuropati, gagal ginjal, retinopati, dan disfungsi ereksi. 1,3 Prevalensi Diabetes Mellitus (DM) di seluruh dunia telah menunjukkan peningkatan yang signifikan. Dalam periode tahun 1985 sampai tahun 2000 telah terjadi peningkatan sebesar 147 juta kasus secara global 1 . Prevalensi DM Tipe 2 (DMT2) mengalami peningkatan yang lebih tajam dibandingkan prevalensi DM Tipe 1 (DMT1) karena bertambahnya obesitas dan penurunan level aktivitas di berbagai negara yang mengalami industrialisasi. 1 Berdasarkan data dari International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2004, Indonesia menempati peringkat keempat dari sepuluh negara dengan 1

Upload: aulia-urrahmah

Post on 01-Dec-2015

451 views

Category:

Documents


20 download

DESCRIPTION

word

TRANSCRIPT

Page 1: Abses Pedis Dm II

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik kronis dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja

insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan erat

dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh,

terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah yang menimbulkan

berbagai macam komplikasi yaitu aterosklerosis, neuropati, gagal ginjal,

retinopati, dan disfungsi ereksi.1,3

Prevalensi Diabetes Mellitus (DM) di seluruh dunia telah menunjukkan

peningkatan yang signifikan. Dalam periode tahun 1985 sampai tahun 2000 telah

terjadi peningkatan sebesar 147 juta kasus secara global1. Prevalensi DM Tipe 2

(DMT2) mengalami peningkatan yang lebih tajam dibandingkan prevalensi DM

Tipe 1 (DMT1) karena bertambahnya obesitas dan penurunan level aktivitas di

berbagai negara yang mengalami industrialisasi.1 Berdasarkan data dari

International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2004, Indonesia menempati

peringkat keempat dari sepuluh negara dengan penderita DM terbanyak1. WHO

memprediksi kenaikan jumlah penderita DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun

2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.2

Menurut ADA 2005, DM diklasifikasikan berdasarkan etiologi yaitu DM

tipe 1 (defisiensi insulin absolut akibat destruksi sel Beta), DM tipe 2 (defisiensi

insulin relatif, resistensi insulin, gangguan sekresi insulin), diabetes kehamilan,

dan diabetes tipe lain (defek genetik fungsi sel beta dan kerja insulin, penyakit

eksokrin pankreas, endokrinopati, infeksi, imunologi, obat/zat kimia, dan

sindroma genetik lain.3,2

Komplikasi kronik pada pasien DM terjadi pada semua tingkat sel dan

anatomik. Manifestasi komplikasi kronik yang terjadi pada mikrovaskuler yaitu

retinopati, nefrologi, dan saraf. Sedangkan manifestasi komplikasi kronik yang

1

Page 2: Abses Pedis Dm II

terjadi pada makrovaskuler yaitu stroke, PJK, dan kaki diabetes. Komplikasi lain

DM dapat berupa kerentanan berlebih terhadap infeksi, dimana mudah terjadi

infeksi pada ISK, TB paru, dan infeksi kaki (selulitis) yang selanjutnya dapat

berkembang menjadi ulkus/gangren diabetes.3,4 Infeksi pada regio pedis

merupakan infeksi jaringan lunak yang paling sering terjadi pada pasien Diabetes

Mellitus Tipe 2. Infeksi pada pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 selain dapat

memperburuk pengendalian glukosa darah juga dapat meningkatkan morbiditas

karena berpotensi menyebabkan osteomielitis, amputasi dan kekerapan kunjungan

ke rumah sakit. Infeksi berat bahkan dapat menyebabkan septikemia yang

berujung pada kematian.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas penulis menyadari pentingnya

pemahaman dokter agar tidak hanya terfokus pada manajemen penyakit Diabetes

Mellitus Tipe 2 saja namun juga memperhatikan kelainan komorbid dan penyulit

yang sering menyertai Diabetes Mellitus Tipe 2.

1.2 Tujuan

1.2.1 Mengetahui prosedur anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

penunjang dan penegakkan diagnosis pasien Diabetes Melitus Tipe 2

dengan Abses Pedis.

1.2.2 Mengetahui ketepatan penatalaksanaan pasien Diabetes Melitus Tipe 2

dengan Abses Pedis.

2

Page 3: Abses Pedis Dm II

BAB II

LAPORAN KASUS

3.1 Anamnesis

3.1.1 Identitas

Nama : Tn. S

Umur : 57 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Jl. Bangun Rejo Rt. 01 Teluk dalam

Pekerjaan : Petani

Suku : Jawa

Agama : Islam

Pendidikan Terakhir : SD

Status Kawin : Kawin

Masuk Rumah Sakit : 29 Februari pukul 03.44 WITA

3.1.2 Keluhan Utama

Luka pada kaki sebelah kanan

3.1.3 Riwayat Penyakit Sekarang

Luka pada kaki kanan dirasakan pasien sejak 3 hari sebelum masuk rumah

sakit. Luka ini dikarenakan 3 hari sebelum masuk rumah sakit pasien menusuk

benjolan berwarna putih pada punggung kaki kanan yang muncul sejak 1 minggu

sebelum masuk rumah sakit yang tidak diketahui dengan jelas penyebabnya,

sehingga menyebabkan bengkak sampai pergelangan kaki pasien. Luka yang

terasa nyeri dan bengkak pada kaki dirasakan semakin memberat sehingga pasien

susah untuk berjalan. Pasien tidak mengalami demam sejak kaki pasien

3

Page 4: Abses Pedis Dm II

membengak. Saat masuk IGD pasien tidak memiliki keluhan lain selain bengkak

dan nyeri pada kaki kanannya.

Pasien pernah dirawat di RS 6 bulan yang lalu, dan saat dilakukan

pemeriksaan gula darah, 510 mg/dL. Saat itu pasien baru mengetahui jika

menderita penyakit kencing manis, dan setelah keluar dari rumah sakit pasien

tidak pernah kontrol dan minum obat lagi. Satu tahun sebelum pasien didiagnosa

DM, frekuensi buang air kecil pada malam hari bertambah (5-7 kali dalam

semalam), rasa cepat haus dan lapar serta penurunan berat badan yang drastis.

Pasien tidak mengalami gangguan BAB.

3.1.4 Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat DM sejak 6 bulan yang lalu.

Tidak ada riwayat hipertensi dan penyakit jantung.

3.1.5 Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien tidak mengetahui apakah orang tua pasien menderita DM atau tidak.

3.2.6 Riwayat Kebiasaan

Pasien memiliki riwayat merokok. Pasien jarang berolahraga.

3.2 Pemeriksaan Fisik (Tanggal 24 Maret 2012)

3.2.1 Keadaan Umum

Kesadaran : Compos Mentis

Keadaan Sakit : Sedang

Berat Badan : 52 kg

Tinggi Badan : 158 cm

IMT : 20,83

4

Page 5: Abses Pedis Dm II

3.2.2 Tanda-tanda Vital

Tekanan Darah : Baring 110/80

Duduk 110/80

Berdiri 100/70

Nadi : 82 x / menit

Pernafasan : 20 x / menit

Suhu tubuh : 37,1°C

3.2.3 Kepala dan Leher

Umum

Ekspresi : Sakit sedang Kulit muka : Normal

Mata

Alis : Normal

Palpebra : Edema (-/-)

Konjungtiva : Anemis (-/-)

Sclera : Ikterik (-/-)

Pupil : Isokor

(3mm/3mm)

Telinga

Bentuk : Normal

Lubang telinga : Normal

Sekret (-)

Proc. Mastoideus : Nyeri (-/-)

Pendengaran : Normal

Hidung

Penyumbatan : (-/-)

Perdarahan : (-/-)

Daya penciuman : Normal

Nafas cuping : (-)

Mulut

Bibir : Pucat (-), Sianosis (-)

Gusi : Berdarah (-)

Mukosa : Pigmentasi (-), Hiperemis (-), Pucat (-)

Faring : Hiperemis (-)

Leher

Umum : Simetris

Kelenjar limfe : Pembesaran (-)

Trachea : Di tengah

5

Page 6: Abses Pedis Dm II

Tiroid : Pembesaran (-)

3.2.4 Thoraks

Bentuk : Simetris

Axilla : Pembesaran KGB (-)

Sternum : Nyeri Tekan (-)

Paru

Inspeksi : Bentuk dada normal

Simetris

Pergerakan simetris

Retraksi (-/-)

Palpasi : Pergerakan simetris

ICS melebar (-/-)

Fremitus raba seimbang (D=S)

Nyeri (-/-)

Perkusi : Sonor |

Nyeri ketok (-/-)

Auskultasi : Suara nafas vesikuler

Wheezing (-/-)

Ronkhi (-/-)

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis (-) tampak

Pulsasi jantung (-) terlihat

Palpasi : Ictus cordis (+) teraba: garis midklavikula kiri pada ICS V

Thrill (-)

Perkusi : Batas jantung kanan: garis sternal kanan pada ICS III-V

Batas jantung kiri: garis midklavikula kiri pada ICS V

Auskultasi : S1 – S2 tunggal regular

Gallop S3 (-) S4 (-)

Murmur jantung (-)

6

Page 7: Abses Pedis Dm II

3.2.5 Abdomen

Inspeksi : Bentuk Datar

Kulit Lembab

Palpasi : Turgor kulit normal

Tonus normal

Nyeri tekan (-)

Hepar (-) teraba, ginjal (-) teraba, lien (-) teraba

Pembesaran KGB inguinal (-/-)

Perkusi : Timpani di keempat kuadran

Nyeri ketok hepar (-)

Nyeri ketok CVA (-/-)

Shifting dullness (-)

Auskultasi : Peristaltik usus bising usus normal

3.2.6 Ekstremitas

Superior : Edema (-/-)

Tremor (-/-)

Akral hangat (+/+)

Cyanosis ujung jari (-/-)

Pulsasi arteri brakhialis (+2/+2)

Pulsasi arteri radialis (+2/+2)

Inferior : Akral hangat (+/+) Anhidrosis (-)

Cyanosis ujung jari (-/-)

Pulsasi arteri poplitea: (+2/+2)

Pulsasi arteri dorsalis pedis: (sde/+2)

Pulsasi arteri tibialis posterior: (sde/+2)

Deformitas (-/-)

Sensasi Tajam: (↓/↓)

Sensasi Sentuhan Halus: (-/-)

7

Page 8: Abses Pedis Dm II

ABI : susah di evaluasi

3.2.7 Pemeriksaan Neurologis

Refleks Fisiologis: Biceps (+2/+2)

Trisep (+2/+2)

Brachioradialis (+2/+2)

Patella (+2/+2)

Achilles (sde/+2)

Superfisial Abdomen (+)

3.3 Pemeriksaan Penunjang

29 Februari 2012

Darah HDT

-GDS: 492 mg/dL

-Ureum: 37,1

-Kreatinin: 1,3

-WBC: 16.900

-RBC: 4.460.000

-PLT: 223.000

-HGB: 12,8 g/Dl

-HCT: 35,9 %

-MCV: 80,4 fl

-MCH: 28,7 pg

-MCHC: 35,7 g/dL

Elektrolit

-Na: -

-K: -

-Cl: -

3.4 Diagnosis

Abses pedis dekstra et causa infeksi ulkus neuropatik post debridement hari ke-

XX dengan Diabetes Mellitus tipe 2 uncontrolled.

3.5 Penatalaksanaan

1. RL 20 tpm

2. Fosfomisin (Fosfomisin) 2x1 g IV Amp.

8

Page 9: Abses Pedis Dm II

3. Metronidazole 3x500 mg IV

4. RI 3x8 IU

5. Ranitidin 2x1 ampul IV

6. Neurovit E 1x1 tablet P.O

7. PCT 3x500 mg P.O jika demam

8. Ondancentron 3x1 amp (k/p)

9. Rawat luka dengan NaCl

3.6 Prognosis

Vitam: Dubia et bonam

Functionam: Dubia et bonam

3.7 Follow-UpTgl 01 maret 2012 02 maret 2012 03 maret 2012 05 maret 2012S -Bengkak dan

nyeri pada kaki

kanan hingga 1/3

cruris

-Demam

(+),Mual (-)

Muntah(-), BAB

(-)

- Bengkak dan

nyeri pada kaki

kanan hingga 1/3

cruris

-Demam (-),Mual

(-) Muntah(-),

BAB (-)

- Bengkak dan

nyeri pada kaki

kanan hingga 1/3

cruris

-Demam (-),

lemas (+)

- Bengkak dan

nyeri pada kaki

kanan hingga 1/3

cruris

-Demam (-),

O -Kesadaran:

Composmentis

-TD: 100/70

-Frekuensi Nadi:

100x/menit

-Frekuensi Nafas:

22/menit

-Suhu (aksila):

38,1 °C

-Konjungtiva

anemis (-)

-Sklera ikterik (-)

-Kesadaran:

Composmentis

-TD: 100/80

-Frekuensi Nadi:

86/menit

-Frekuensi Nafas:

20/menit

-Suhu (aksila):

36,8 °C

-Konjungtiva

anemis (-)

-Sklera ikterik (-)

-Kesadaran:

Composmentis

-TD: 110/70

-Frekuensi Nadi:

82/menit

-Frekuensi Nafas:

20/menit

-Suhu (aksila):

36,7 °C

-Konjungtiva

anemis (-)

-Sklera ikterik (-)

-Kesadaran:

Composmentis

-TD: 100/60

-Frekuensi Nadi:

89x/menit

-Frekuensi Nafas:

20/menit

-Suhu (aksila): 36

°C

-Konjungtiva

anemis (-)

-Sklera ikterik (-)

9

Page 10: Abses Pedis Dm II

-Rhonki (-/-)

-Bising usus (+)

Normal

-Rhonki (-/-) -Rhonki (-/-) -Rhonki (-/-)

- Pus (+)

A -DM tipe II

+Abses Pedis

-DM tipe II

+Abses Pedis

-DM tipe II

+Abses Pedis

-DM tipe II

+Abses Pedis

P RL 20 tpm

Cefotaxim Inj.

IV 3x1 g

metronidazole

3x500 mg

Ranitidin Inj.

2x1 Amp.

RI 3x8 IU

Neurovit E 1x1

tab

PCT 3x500 mg

Consult Bedah

Cek KDL,

GDP, G2PP,

elektrolit

Kultur pus

Ro. Pedis

AP/Lat

RL 20 tpm

Cefotaxim Inj.

IV 3x1 g

Metronidazole

3x500 mg

Ranitidin Inj.

2x1 Amp.

RI 3x8 IU

Neurovit E

1x1 tab

PCT 3x500

mg

Rawat luka

dengan NaCl

RL 20 tpm

Cefotaxim Inj.

IV 3x1 g

Metronidazole

3x500 mg

Ranitidin Inj.

2x1 Amp.

RI 3x8 IU

Neurovit E

1x1 tab

PCT 3x500

mg

Rawat luka

dengan NaCl

RL 20 tpm

Cefotaxim Inj.

IV 3x1 g

Metronidazole

3x500 mg

Ranitidin Inj.

2x1 Amp.

RI 3x8 IU

Neurovit E

1x1 tab

PCT 3x500

mg

Rawat luka

dengan NaCl

Tgl 06 maret 2012 07 maret 2012 08 maret 2012 09 maret 2012S -Bengkak dan

nyeri pada kaki

kanan

-Demam

(+),Mual (-)

Muntah(-)

- Bengkak dan

nyeri pada kaki

kanan

- Bengkak dan

nyeri pada kaki

kanan

- Bengkak dan

nyeri pada kaki

kanan

- kadang mual

O -Kesadaran:

Composmentis

-TD: 110/70

-Frekuensi Nadi:

-Kesadaran:

Composmentis

-TD: 130/80

-Frekuensi Nadi:

-Kesadaran:

Composmentis

-TD: 130/80

-Frekuensi Nadi:

-Kesadaran:

Composmentis

-TD: 130/80

-Frekuensi Nadi:

10

Page 11: Abses Pedis Dm II

78x/menit

-Frekuensi Nafas:

20/menit

-Suhu (aksila):

37,1 °C

-Konjungtiva

anemis (-)

-Sklera ikterik (-)

-Rhonki (-/-)

-Pus (+)

80/menit

-Frekuensi Nafas:

20/menit

-Suhu (aksila):

36,8 °C

-Konjungtiva

anemis (-)

-Sklera ikterik (-)

-Rhonki (-/-)

-Pus (+)

78/menit

-Frekuensi Nafas:

20/menit

-Suhu (aksila):

36,7 °C

-Konjungtiva

anemis (-)

-Sklera ikterik (-)

-Rhonki (-/-)

-Pus (+)

89x/menit

-Frekuensi Nafas:

20/menit

-Suhu (aksila): 36

°C

-Konjungtiva

anemis (-)

-Sklera ikterik (-)

-Rhonki (-/-)

- Pus (+)

A -DM tipe II

+Abses Pedis

-DM tipe II

+Abses Pedis

post debridement

hari I

-DM tipe II

+Abses Pedis

post debridement

hari II

-DM tipe II

+Abses Pedis

post debridement

hari III

P RL 20 tpm

Cefotaxim Inj.

IV 3x1 g

metronidazole

3x500 mg

Ranitidin Inj.

2x1 Amp.

RI 3x8 IU

Neurovit E 1x1

tab

PCT 3x500 mg

Consult Bedah

Cek KDL,

GDP, G2PP,

elektrolit

RL 20 tpm

Ceftriaxone

Inj. IV 2x1 g

Metronidazole

3x500 mg

Ranitidin Inj.

2x1 Amp.

RI 3x10 IU

Neurovit E

1x1 tab

PCT 3x500

mg

Antrain 3x1

amp

Rawat luka

dengan NaCl

RL 20 tpm

Ceftriaxone

Inj. IV 2x1 g

Metronidazole

3x500 mg

Ranitidin Inj.

2x1 Amp.

RI 3x8 IU

Neurovit E

1x1 tab

PCT 3x500

mg

Antrain 3x1

amp

Rawat luka

dengan NaCl

RL 20 tpm

Ceftriaxone

Inj. IV 2x1 g

Metronidazole

3x500 mg

Ranitidin Inj.

2x1 Amp.

RI 3x8 IU

Neurovit E

1x1 tab

PCT 3x500

mg

Antrain 3x1

amp

Rawat luka

dengan NaCl

Tgl 10 maret 2012 12 maret 2012 13 maret 2012 14 maret 2012S -Bengkak dan

nyeri pada kaki

kanan

- Bengkak dan

nyeri pada kaki

kanan

- Bengkak dan

nyeri pada kaki

kanan mulai ↓

- Bengkak dan

nyeri pada kaki

kanan,BAB (+),

BAK (+), demam

11

Page 12: Abses Pedis Dm II

(-)

O -Kesadaran:

Composmentis

-TD: 130/70

-Frekuensi Nadi:

80x/menit

-Frekuensi Nafas:

22/menit

-Suhu (aksila):

37,1 °C

-Konjungtiva

anemis (-)

-Sklera ikterik (-)

-Rhonki (-/-)

-pus (+), darah

(+)

-Kesadaran:

Composmentis

-TD: 130/80

-Frekuensi Nadi:

86/menit

-Frekuensi Nafas:

20/menit

-Suhu (aksila):

36,8 °C

-Konjungtiva

anemis (-)

-Sklera ikterik (-)

-Rhonki (-/-)

- pus (+), darah

(+)

-Kesadaran:

Composmentis

-TD: 120/70

-Frekuensi Nadi:

82/menit

-Frekuensi Nafas:

20/menit

-Suhu (aksila):

36,7 °C

-Konjungtiva

anemis (-)

-Sklera ikterik (-)

-Rhonki (-/-)

-pus (+)

-Kesadaran:

Composmentis

-TD: 120/80

-Frekuensi Nadi:

83x/menit

-Frekuensi Nafas:

20/menit

-Suhu (aksila): 36

°C

-Konjungtiva

anemis (-)

-Sklera ikterik (-)

-Rhonki (-/-)

- Pus (+)

A -DM tipe II

+Abses Pedis

post debridement

hari IV

-DM tipe II

+Abses Pedis

post debridement

hari VI

-DM tipe II

+Abses Pedis

post debridement

hari VII

-DM tipe II

+Abses Pedis

post debridement

hari VIII

P RL 20 tpm

Ceftriaxone

Inj. IV 2x1 g

Metronidazole

3x500 mg

Ranitidin Inj.

2x1 Amp.

RI 3x8 IU

Neurovit E

1x1 tab

PCT 3x500

mg

Antrain 3x1

amp

Rawat luka

RL 20 tpm

Ceftriaxone

Inj. IV 2x1 g

Metronidazole

3x500 mg

Ranitidin Inj.

2x1 Amp.

RI 3x8 IU

Neurovit E

1x1 tab

PCT 3x500

mg

Antrain 3x1

amp

Rawat luka

dengan NaCl

RL 20 tpm

Ceftriaxone

Inj. IV 2x1 g

Metronidazole

3x500 mg

Ranitidin Inj.

2x1 Amp.

RI 3x8 IU

Neurovit E

1x1 tab

PCT 3x500

mg

Antrain 3x1

amp

Rawat luka

dengan NaCl

RL 20 tpm

Ceftriaxone

Inj. IV 2x1 g

Metronidazole

3x500 mg

Ranitidin Inj.

2x1 Amp.

RI 3x8 IU

Neurovit E

1x1 tab

PCT 3x500

mg

Antrain 3x1

amp

Rawat luka

dengan NaCl

12

Page 13: Abses Pedis Dm II

dengan NaCl

Tgl 15 maret 2012 16 maret 2012 17 maret 2012 19 maret 2012S nyeri pada kaki

kanan, BAK (+),

BAB (+)

nyeri pada kaki

kanan

nyeri pada kaki

kanan

nyeri pada kaki

kanan

O -Kesadaran:

Composmentis

-TD: 130/70

-Frekuensi Nadi:

80x/menit

-Frekuensi Nafas:

22/menit

-Suhu (aksila):

37,1 °C

-Konjungtiva

anemis (-)

-Sklera ikterik (-)

-Rhonki (-/-)

-Kesadaran:

Composmentis

-TD: 130/80

-Frekuensi Nadi:

86/menit

-Frekuensi Nafas:

20/menit

-Suhu (aksila):

36,8 °C

-Konjungtiva

anemis (-)

-Sklera ikterik (-)

-Rhonki (-/-)

-Kesadaran:

Composmentis

-TD: 130/70

-Frekuensi Nadi:

82/menit

-Frekuensi Nafas:

20/menit

-Suhu (aksila):

36,7 °C

-Konjungtiva

anemis (-)

-Sklera ikterik (-)

-Rhonki (-/-)

-Kesadaran:

Composmentis

-TD: 120/80

-Frekuensi Nadi:

83x/menit

-Frekuensi Nafas:

20/menit

-Suhu (aksila): 36

°C

-Konjungtiva

anemis (-)

-Sklera ikterik (-)

-Rhonki (-/-)

A -DM tipe II

+Abses Pedis

post debridement

hari IX

-DM tipe II

+Abses Pedis

post debridement

hari X

-DM tipe II

+Abses Pedis

post debridement

hari XI

-DM tipe II

+Abses Pedis

post debridement

hari XIII

P RL 20 tpm

Fosfomisin

Inj. IV 2x1 g

Metronidazole

3x500 mg

Ranitidin Inj.

2x1 Amp.

RI 3x8 IU

Neurovit E

1x1 tab

PCT 3x500

mg

RL 20 tpm

Fosfomisin

Inj. IV 2x1 g

Metronidazole

3x500 mg

Ranitidin Inj.

2x1 Amp.

RI 3x8 IU

Neurovit E

1x1 tab

PCT 3x500

mg

RL 20 tpm

Fosfomisin

Inj. IV 2x1 g

Metronidazole

3x500 mg

Ranitidin Inj.

2x1 Amp.

RI 3x8 IU

Neurovit E

1x1 tab

PCT 3x500

mg

RL 20 tpm

Fosfomisin

Inj. IV 2x1 g

Metronidazole

3x500 mg

Ranitidin Inj.

2x1 Amp.

RI 3x8 IU

Neurovit E

1x1 tab

PCT 3x500

mg

13

Page 14: Abses Pedis Dm II

Antrain 3x1

amp

Rawat luka

dengan NaCl

Antrain 3x1

amp

Rawat luka

dengan NaCl

Antrain 3x1

amp

Rawat luka

dengan NaCl

Antrain 3x1

amp

Rawat luka

dengan NaCl

Tgl 20 maret 2012 21 maret 2012 22 maret 2012 24 maret 2012S nyeri pada kaki

kanan

nyeri pada kaki

kanan

nyeri pada kaki

kanan , mual

muntah (+)

nyeri pada kaki

kanan, mual

muntah (+)

O -Kesadaran:

Composmentis

-TD: 130/80

-Frekuensi Nadi:

80x/menit

-Frekuensi Nafas:

22/menit

-Suhu (aksila):

37,1 °C

-Konjungtiva

anemis (-)

-Sklera ikterik (-)

-Rhonki (-/-)

-Kesadaran:

Composmentis

-TD: 130/80

-Frekuensi Nadi:

86/menit

-Frekuensi Nafas:

20/menit

-Suhu (aksila):

36,8 °C

-Konjungtiva

anemis (-)

-Sklera ikterik (-)

-Rhonki (-/-)

-Kesadaran:

Composmentis

-TD: 130/70

-Frekuensi Nadi:

82/menit

-Frekuensi Nafas:

20/menit

-Suhu (aksila):

36,7 °C

-Konjungtiva

anemis (-)

-Sklera ikterik (-)

-Rhonki (-/-)

-Kesadaran:

Composmentis

-TD: 120/80

-Frekuensi Nadi:

83x/menit

-Frekuensi Nafas:

20/menit

-Suhu (aksila): 36

°C

-Konjungtiva

anemis (-)

-Sklera ikterik (-)

-Rhonki (-/-)

A -DM tipe II

+Abses Pedis

post debridement

hari XIV

-DM tipe II

+Abses Pedis

post debridement

hari XV

-DM tipe II

+Abses Pedis

post debridement

hari XVI

-DM tipe II

+Abses Pedis

post debridement

hari XVIII

14

Page 15: Abses Pedis Dm II

P RL 20 tpm

Fosfomisin

Inj. IV 2x1 g

Metronidazole

3x500 mg

Ranitidin Inj.

2x1 Amp.

RI 3x10 IU

Neurovit E

1x1 tab

PCT 3x500

mg

Ondancentron

2x1 amp (k/p)

Rawat luka

dengan NaCl

RL 20 tpm

Fosfomisin

Inj. IV 2x1 g

Metronidazole

3x500 mg

Ranitidin Inj.

2x1 Amp.

RI 3x10 IU

Neurovit E

1x1 tab

PCT 3x500

mg

Ondancentron

2x1 amp (k/p)

Rawat luka

dengan NaCl

RL 20 tpm

Fosfomisin

Inj. IV 2x1 g

Metronidazole

3x500 mg

Ranitidin Inj.

2x1 Amp.

RI 3x10 IU

Neurovit E

1x1 tab

PCT 3x500

mg

Ondancentron

2x1 amp (k/p)

Rawat luka

dengan NaCl

RL 20 tpm

Fosfomisin

Inj. IV 2x1 g

Metronidazole

3x500 mg

Ranitidin Inj.

2x1 Amp.

RI 3x10 IU

Neurovit E

1x1 tab

PCT 3x500

mg

Ondancentron

3x1 amp (k/p)

Rawat luka

dengan NaCl

Follow up 26 Maret 2012S : nyeri pada kaki kanan, mual

muntah (+)A : DM tipe II +Abses Pedis post

debridement hari XX

O :- Kesadaran: Composmentis-TD: 120/70-Frekuensi Nadi: 80x/menit-Frekuensi Nafas: 20/menit-Suhu (aksila): 36 °C-Konjungtiva anemis (-)-Sklera ikterik (-)-Rhonki (-/-)

P: RL 20 tpm Fosfomisin Inj. IV 2x1 g Metronidazole 3x500 mg Ranitidin Inj. 2x1 Amp. RI 3x10 IU Neurovit E 1x1 tab PCT 3x500 mg Ondancentron 3x1 amp (k/p) Rawat luka dengan NaCl

Hasil LaboratoriumTgl 29/02 01/03 05/03 08/03 12/03 15/03 19/03 24/03

GDS 429 - - - - - - -

GDP - 219 251 167 112 116 82 63

GD2PP - 261 275 193 120 213 112 90

HbA1c - 13,0 - - - - - -

Ur 37,1 43,2 35,9 - - - - -

15

Page 16: Abses Pedis Dm II

Cr 1,3 0,8 0,9 - - - - -

Eri 4.460.000 - - - - - - -

Leu 16.900 - - - - - - -

Tr 223.000 - - - - - - -

Hb 12,8 - - - - - - -

Hct 35,9 - - - - - - -

Prot

Total- 5,4 - - - - - -

Albumin - 2,8 - - - - - -

Globulin - 2,6 - - - - - -

Pemeriksaan Antimikroba dan Uji kepekaan antibiotika

1 Maret 2012

Jenis mikroba: Klebsiella Pneumonia

Pewarnaan gram: coccus gram negatif

Resisten: Amikasin, Amoxicilin, Ampicilin, cloramfenikol, Cloxacilin,

sulphamethoxazole, teimetoprim, Ceftazidime, cephalexim, cefadroxil, ,

cefotaxime, cefoperazone, Gentamicin, Ceforoxime, Clindamicin, Doxycyclin,

Norfloxacin, Ofloxacin, Tetracycline, Ticarcillin, Vancomycin, Ceftizoxime,

eritromycin, fosfomisin, ceftizoxime, cepirome.

Sensitif: ciprofloxacin, cefepime, levofloxacin, ceftriaxone, Meropenem,

Sulbactam Cefoperazone.

16

Page 17: Abses Pedis Dm II

6 Maret 2012

Jenis mikroba: Klebsiella Pneumonia

Pewarnaan gram: coccus gram negative

Resisten: Amoxicilin, Ampicilin, Cloxacilin, sulphamethoxazole, teimetoprim,

Ceftazidime, ciprofloxasin, cephalexim, cefadroxil, , cefoperazone, Gentamicin,

Ceforoxime, Clindamicin, Doxycyclin, levofloxacin, Norflixacin, Ofloxacin,

Meropenem, Tetracycline, Ticarcillin, Vancomycin, eritromycin,

Sensitif: cloramfenikol, ceftriaxone, cefotaxime, cepirome, ceftizoxime,

Sulbactam Cefoperazone.

12 Maret 2012

Jenis mikroba: Klebsiella Pneumonia

Pewarnaan gram: coccus gram negative

Resisten: Amoxicilin, Ampicilin, Cloxacilin, Chloramphenicol,

sulphamethoxazole, trimetoprim, ciprofloxasin, cephalexim, cefadroxil,

Gentamicin, Ceftriaxone, Cefotaxime, Ceforoxime, cepirome, Clindamicin,

Doxycyclin, levofloxacin, Norflixacin, Ofloxacin, Tetracycline, Ticarcillin,

Vancomycin, Ceftizoxime

Sensitif: Amikasin, Eritromisin, Cefepime, Fosfomisin,Meropenem, Sulbactam

Cefoperazone.

19 Maret 2012

Jenis mikroba: Citrobacter freundii

Pewarnaan gram: coccus gram negative

Resisten: Amoxicilin, Ampicilin, Cloxacilin, Chloramphenicol,

sulphamethoxazole, trimetoprim, , ciprofloxasin, cephalexim, cefadroxil,

Gentamicin, Ceftriaxone, Cefotaxime, Ceforoxime, cepirome, Clindamicin,

Doxycyclin, levofloxacin, Norflixacin, Ofloxacin, Tetracycline, Ticarcillin,

17

Page 18: Abses Pedis Dm II

Vancomycin, Ceftizoxime , ceftazidime, Cefoperazon, Eritromisin, levofloxacin

Sensitif: Amikasin, Cefepime, Fosfomisin, Meropenem, Sulbactam Cefoperazone

18

Page 19: Abses Pedis Dm II

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus Tipe 2

2.1.1 Definisi

Diabetes Mellitus (DM) didefinisikan sebagai kelompok penyakit metabolik

dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja

insulin, atau kedua-duanya.2 Diabetes Mellitus Tipe 1 ditandai dengan defisiensi

insulin absolut sedangkan Diabetes Mellitus Tipe 2 ditandai dengan kombinasi antara

defisiensi insulin relatif dan resistensi insulin.2

2.1.2 Etiologi dan Patogenesis

Etiologi Diabetes Mellitus Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum

sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup

besar dalam menyebabkan terjadinya Diabetes Mellitus Tipe 2, antara lain obesitas,

diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurangnya aktifitas jasmani.2

Pada DM Tipe 2, terutama pada tahap awal penyakit, umumnya dapat dideteksi

jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga

tinggi. Sel-sel target insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal.

Keadaan ini lazim disebut sebagai resistensi insulin. Resistensi insulin banyak terjadi

di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari

obesitas, kekurangan aktivitas jasmani (sedentary), dan penuaan.

Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul

gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun

demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β Langerhans secara autoimun

sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin

pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam

penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin.

Page 20: Abses Pedis Dm II

Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama

sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai

dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi

sekitar 20 menit sesudahnya.

Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan pada

sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi

insulin Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit

selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang

terjadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin,

sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Penelitian menunjukkan

bahwa pada penderita DM Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu

resistensi insulin dan defisiensi insulin.2

2.1.3 Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.

Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan

diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan

glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah

utuh (whole blood), vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan

memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh

WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan

dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler.2

Diagnosis DM dapat ditentukan melalui tiga cara (Tabel 2.1). Pada sarana

laboratorium yang telah terstandardisasi dengan baik, pemeriksaan HbA1c yang

menunjukkan hasil ≥ 6.5% termasuk ke dalam salah satu kriteria diagnosis DM.2,6

2.1.4 Penatalaksanaan2

2.1.4.1 Evaluasi Medis

Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama meliputi:

1. Riwayat Penyakit

Page 21: Abses Pedis Dm II

a. gejala yang timbul, hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu termasuk A1C,

hasil pemeriksaan khusus yang telah ada terkait DM

b. pola makan, status nutrisi, riwayat perubahan berat badan

c. riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda

d. pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk

terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan DM

secara mandiri, serta kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi kesehatan

e. pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan,

perencanaan makan dan program latihan jasmani

f. riwayat komplikasi akut (KAD, hiperosmolar hiperglikemia, hipoglikemia)

g. riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus urogenitalis

h. gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik (komplikasi pada ginjal,

mata, saluran pencernaan)

i. pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah

2. Pemeriksaan Fisik

a. pengukuran tinggi dan berat badan

b. pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi

berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik

Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis DM2

Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L)

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir. atau

Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg.dL (7.0 mmol/L)

Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam. Atau

Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥220 mg/dL (11.1 mmol/L)

TTGO dilakukan dengan standard WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan kedalam air.

Page 22: Abses Pedis Dm II

c. pemeriksaan funduskopi

d. pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid

e. pemeriksaan jantung

f. evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop

g. pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari

h. pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin)

dan pemeriksaan neurologis

i. tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe-lain

3. Evaluasi Laboratoris/penunjang lain

a. glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial

b. A1C

c. profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida)

d. kreatinin serum

e. albuminuria

f. keton, sedimen dan protein dalam urin

g. elektrokardiogramr

h. foto sinar-x dada

4. Tindakan Rujukan

a. ke bagian mata bila diperlukan pemeriksaan mata lebih lanjut

b. konsultasi keluarga berencana untuk wanita usia produktif

c. konsultasi terapi gizi medis sesuai indikasi

d. konsultasi dengan edukator diabetes

e. konsultasi dengan spesialis kaki (podiatrist), spesialis perilaku (psikolog)

atau spesialis lain sesuai indikasi

2.1.4.2 Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah

terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi

aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam

Page 23: Abses Pedis Dm II

menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku,

dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.

Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai

bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari

pengelolaan DM secara holistik. Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat

awal dan materi edukasi tingkat lanjutan.

1. Materi edukasi pada tingkat awal adalah:

a. Perjalanan penyakit DM

b. Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM

c. Penyulit DM dan risikonya

d. Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan

e. Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fsik, dan obat hipoglikemik oral atau

insulin serta obat-obatan lain

f. Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin

mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia)

g. Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau

hipoglikemia

h. Pentingnya latihan jasmani yang teratur

i. Masalah khusus yang dihadapi (contoh: hiperglikemia pada kehamilan)

j. Pentingnya perawatan kaki

k. Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.

2. Materi edukasi pada tingkat lanjut adalah :

a. Mengenal dan mencegah penyulit akut DM

b. Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM

c. Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain

d. Makan di luar rumah

e. Rencana untuk kegiatan khusus

f. Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir tentang DM

g. Pemeliharaan/Perawatan kaki

Page 24: Abses Pedis Dm II

2.1.4.3 Terapi Gizi Medis

1. Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara

total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari

anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu

sendiri).

2. Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan

kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.

3. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran

makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan

kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes

perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis

dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun

glukosa darah atau insulin.

2.1.4.4 Latihan Jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan olahraga secara teratur (3-4 kali seminggu

selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM

tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga,

berkebun harus tetap dilakukan.

Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous,

Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin mencapai

zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur), disesuaikan dengan

kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa contoh olah raga yang disarankan,

antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olahraga

aerobik ini paling tidak dilakukan selama total 30-40 menit per hari didahului dengan

pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-10 menit. Olah raga akan

memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan

juga meningkatkan penggunaan glukosa.

Page 25: Abses Pedis Dm II

2.1.4.5 Intervensi Farmakologi

Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum

tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani. Intervensi farmakologis

terutama terdiri dari golongan obat hipoglikemik oral dan insulin. Berdasarkan cara

kerjanya, obat hipoglikemik oral dibagi menjadi 4 golongan: pemicu sekresi insulin

(sulfonilurea, glinid), penambah sensitivitas terhadap insulin (metformin,

tiazolidindion), penghambat glukoneogenesis (metformin), dan penghambat absorpsi

glukosa (inhibitor alfa glukosidase).

Tabel 2.2 Penggolongan Obat Hipoglikemik Oral14

Golongan Contoh senyawa Mekanisme kerjaSulfonylurea Gliburida / Glinbenklamid

GlipizidaGlikazidaGlimepiridaglikuidon

Merangsang sekresi insulin di kelenjar pancreas, sehingga hanya efektif pada penderita diabetes yang sel-sel ß pankreasnya masih berfungsi dengan baik

Meglitinida Repaglinide Merangsang sekresi insulin di kelenjar pancreas

Turunan fenilalanin

Nateglinide Meningkatkan kecepatan sintesis insulin oleh pancreas

Biguanida Metformin Bekerja langsung pada hepar. Menurunkan produksi glukosa hati. Tidak merangsang sekresi insulin oleh kelenjar pancreas

Tiazolidindion RosiglitazoneTroglitazonPioglitazon

Meningkatkan kpekaan tubuh terhadap insulin. Berikatan dengan PPARγ (perixisome proliferator activated receptor-gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi insulin.

Page 26: Abses Pedis Dm II

Inhibitor α-glukosidase

AcarboseMiglitol

Menghambat kerja enzim-enzim pencernaanyang mencerna karbohidrat, sehinggamemperlambat absorpsi glukosa kedalamdarah

Obat golongan sulfolinurea mempunyai efek utama meningkatkan sekresi

insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan

berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan

berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai

keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta

penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.14

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan

penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari

2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat

fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan

diekskresi secara cepat melalui hati.14

Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Per-oxisome

Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti di sel otot

dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin

dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan

ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan

gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada

gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan

pemantauan faal hati secara berkala.14

Metformin merupakan lini utama terapi DMT2. Metformin mempunyai efek

mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga meningkatkan

sensitivitas insulin. Terutama dipakai pada pasien diabetes gemuk. Metformin

dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >

1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia

(misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat

Page 27: Abses Pedis Dm II

memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan

pada saat atau sesudah makan.

Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose) bekerja dengan mengurangi

absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar

glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping

hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan

flatulens.14

Walaupun sebagian besar penderita DM Tipe 2 tidak memerlukan terapi

insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi

hipoglikemik oral. Insulin diperlukan pada keadaan: penurunan berat badan yang

cepat, hiperglikemia berat yang disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia

hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia dengan asidosis laktat gagal dengan

kombinasi oho dosis hampir maksimal, stres berat (infeksi sistemik, operasi

besar, IMA, stroke), kehamilan dengan diabetes melitus gestasional yang tidak

terkendali dengan perencanaan makan, gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat,

atau kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO.2

2.2 Abses Pedis pada Diabetes Mellitus Tipe 2

Adanya infeksi pada pasien diabetes sangat berpengaruh terhadap

pengendalian glukosa darah. Infeksi dapat memperburuk kendali glukosa darah, dan

kadar glukosa darah yang tinggi meningkatkan kemudahan atau memperburuk

infeksi. Kulit pada daerah ekstremitas bawah merupakan tempat yang sering

mengalami infeksi. Kuman stafilokokus merupakan kuman penyebab utama. Ulkus

kaki terinfeksi biasanya melibatkan banyak mikro organisme, yang sering terlibat

adalah stafilokokus, streptokokus, batang gram negatif dan kuman anaerob. Infeksi

yang tidak tertangani dengan baik akan menyebabkan abses, gangren dan komplikasi

lain seperti osteomielitis.

Infeksi dapat berasal dari ulkus yang terkontaminasi mikroorganisme. Beberapa

faktor yang terlibat dalam terjadinya ulkus pada keadaan diabetes: neuropati,

abnormalitas biomekanik pada kaki, PAD, dan gangguan penyembuhan luka.

Page 28: Abses Pedis Dm II

Neuropati sensorik perifer menghambat mekanisme protektif normal sehingga

memudahkan pasien mengalami cedera berulang yang kadang tidak disadari oleh

pasien. Gangguan propiosepsi menyebabkan titik tumpu yang abnormal ketika

berjalan sehingga memudahkan terjadinya kalus dan ulserasi. Neuropati autonom

yang menyebabkan anhidrosis dan terganggunya aliran darah superfisial pada kaki

juga memiliki peran dalam terjadinya ulkus. PAD dan gangguan penyembuhan luka

menyebabkan trauma minor pada kulit menjadi terbuka dan mudah terinfeksi.

Penatalaksanaan infeksi terdiri dari antibiotik oral (sefalosporin, klindamisin,

amoksisilin/klavulanat, dan fluoroquinolon), debridemen jaringan nekrotik,

perawatan luka (diantaranya menghindari titik tumpu badan pada daerah ulkus), dan

pengawasan ketat terhadap terjadinya perburukan infeksi. Ulkus yang berat

membutuhkan antibiotik IV, tirah baring dan perawatan luka intensif. Tindakan bedah

dengan debridemen kadang harus segera dilakukan. Antibiotik intravena diberikan

broad-spectrum sehingga mencakup bakteri yang sering menginfeksi ulkus seperti

stafilokokus, streptokokus, batang gram negatif dan kuman anaerob. Regimen

antimikroba awal seperti ertapenem, piperacillin/tazobactam, cefotetan,

ampisillin/sulbactam, linezolid, atau kombinasi clindamycin dan fluoroquinolone.

Infeksi berat, atau infeksi tanpa perbaikan klinis dalam 48 jam terapi antibiotik,

memerlukan ekspansi terapi antimikroba terhadap methicillin-resistant S. aureus

(vankomisin) dan Pseudomonas aeruginosa.

2.3 Neuropati Diabetika

Neuropati diabetika berdasarkan konferensi neuropati perifer pada Februari

1988 di San Antonio merupakan adanya gangguan klinis neuropati yang terjadi pada

pasien DM tanpa penyebab neuropati perifer yang lain, termasuk manifestasi somatik

dan autonom dari sistem saraf perifer. Neuropati diabetika merupakan salah satu

komplikasi kronis paling sering ditemukan pada pasien DM. Risiko yang dihadapi

pasien DM adalah infeksi berulang, ulkus yang sukar sembuh, dan amputasi kaki.8

Manifestasi klinis neuropati diabetika bergantung dari jenis serabut saraf yang

mengalami lesi. Mengingat jenis serabut saraf yang terkena lesi bisa besar atau kecil,

Page 29: Abses Pedis Dm II

lokasi proksimal atau distal, fokal atau difus, motorik atau sensorik atau otonom,

maka manifestasi klinis neuropati diabetik menjadi bervariasi.9

Neuropati diabetika mulai terjadi setelah 10 tahun onset dari DM dan

prevalensinya sekitar 12-50%. Angka kejadian & derajat keparahan tergantung usia,

lama menderita, kendali glikemik, dan fluktuasi kadar glukosa darah sejak diketahui

DM. Suatu penelitian besar, neuropati simptomatis ditemukan pada 28,5% dari 6.500

pasien DM. Penelitian Rochester, neuropati simptomatis ditemukan pada 13% pasien,

dan > 50% ditemukan neuropati dengan pemerikaan klinis. Penelitian lain

melaporkan bahwa kelainan kecepatan hantar saraf didapati pada 15,2% pasien DM

baru, dan tanda klinis neuropati hanya dijumpai pada 2,3%. Manifestasi neuropati

diabetika bervariasi dari tanpa keluhan dan hanya dapat dideteksi dengan

pemeriksaan elektrofisiologis sampai keluhan nyeri yang hebat. Keluhan dalam

bentuk neuropati lokal / sistemik, tergantung lokasi dan jenis saraf yang terkena lesi.

a. Patofisiologi

Faktor primer terjadinya neuropati diabetika adalah hiperglikemia persisten

(faktor metabolik), dan faktor lain yaitu : kelainan vaskuler, dan peranan nerve

growth factor.8

1) Faktor metabolik

Proses terjadinya neuropati berawal dari hiperglikemia persisten yang

menyebabkan aktivitas jalur poliol meningkat, dimana terjadi aktivasi enzim aldose

reduktase yang merubah glukosa menjadi sorbitol, lalu dimetabolisme oleh sorbitol

dehidrogenase menjadi fruktosa. enzim aldose reduktase yang meningkat

berkompetisi dengan NO syntase sehingga produksi NO menurun dan terjadinya

defisit vasodilator andotel. Akumulasi sorbitol dalam sel saraf dapat menyebabkan

keadaan hipertonik intraseluler sehingga mengakibatkan edema saraf, dan sel saraf

dapat rusak. Selain itu, peningkatan sorbitol menghambat masuknya mioinositol ke

dalam sel saraf, sehingga menimbulkan stres osmotik yang dapat merusak

mitokondria, dan akan menstimulasi PKC. Aktivasi PKC ini akan menekan fungsi

Na-K-ATPase sehingga kadar Na intraseluler menjadi berlebihan, yang berakibat

terhambatnya mioinositol masuk ke sel saraf dan terjadilah gangguan transduksi

Page 30: Abses Pedis Dm II

sinyal pada saraf. Jalur poliol juga menyebabkan menurunnya persediaan NADPH

saraf yang merupakan kofaktor penting dalam metabolisme oksidatif sehingga

membatasi kemampuan saraf untuk mengurangi radikal bebas dan penurunan

produksi NO. Penurunan produksi NO akan menyebabkan vasodilatasi berkurang,

aliran darah ke saraf menurun, dan terjadilah ND. Hiperglikemi persisten juga

meningkatkan produksi AGE. AGE ini sangat toksik dan merusak semua protein

tubuh termasuk sel saraf. 8

Gambar 3.1 Patogenesa terjadinya neuropati diabetik.10

2) Kelainan vaskuler

Hiperglikemi persisten merangsang produksi radikal bebas (reactive oxygen

species = ROS) yang dapat merusak endotel dan menetralisasi NO, menyebabkan

trombosis arteriol intraneural, peningkatan agregasi trombosit dan demielinisasi

sel saraf akibat iskemia akut.8

3) Peranan nerve growth factor (NGF)

NGF berperan untuk mempercepat dan mempertahankan saraf, pada DM

kadarnya menurun. NGF juga berperan dalam regulasi gen substance P dan

calcitonin gen regulated peptide (CGRP), keduanya berefek terhadap

vasodilatasi, motilitas intestinal, dan nosiseptif.8

b. Diagnosa

Klasifikasi ND dari yang paling sering terjadi adalah polineuropati distal

simetris, neuropati autonom, dan neuropati fokal & multifokal. Yang dibahas di sini

hanya 2, yaitu :

1) Polineuropati Distal Simetris

Gejala dan tanda mulai dari distal dan meluas ke arah proksimal secara simetris,

yang terkena pada awalnya adalah fungsi sensorik secara progresif dan

Page 31: Abses Pedis Dm II

selanjutnya mengenai semua fungsi saraf. Gangguan neurologis biasanya mulai

dari jari-jari kaki, dan terus meluas pada ekstremitas atas dan bawah. Yang lazim

terkena adalah serabut saraf dengan diameter besar dan menimbulkan gejala

seperti gangguan keseimbangan, penurunan sensasi posisi, dan pengurangan

sensasi getaran. Tidak dijumpai nyeri subyektif, parestesi, dan rasa tebal. Bila

yang terkena serabut kecil, maka muncul keluhan berupa sensasi nyeri dan suhu,

seperti pasien merasa nyeri, kesemutan, dingin, tebal, dan mati rasa. Gejala ini

sering muncul pada malam hari sehingga dapat menyebabkan insomnia.11

2) Neuropati Otonom

Neuropati otonom dapat mengenai saraf simpatis dan parasimpatis.

Manifestasi neuropati otonom bervariasi sesuai dengan serabut saraf yang

terkena lesi. Neuropati otonom pada traktus gastrointestinal adalah gastroparesis

pada saluran GI atas, diare dan konstipasi pada GI bawah. Neuropati otonom

pada traktus genitourinarius adalah sistopati (karena paresis pada m. detrusor),

DED (Disfungsi Ereksi Diabetik), dan disfungsi seksual wanita.9

Diagnosa neuropati otonom ditegakkan dengan mengetahui adanya

neuropati otonom pada kardiovaskular dengan pemeriksaan hipotensi

postural/hipotensi ortostatik.12 Pemeriksaan dilakukan dengan membandingkan

tekanan darah ketika berbaring dan berdiri. Pengukuran tekanan darah pertama

pada posisi berbaring, kemudian istirahat pada posisi berbaring selama 20 menit,

selanjutnya posisi berdiri selama 3 menit dan diukur tekanan darah kedua. Pasien

dikatakan hipotensi ortostatik bila saat posisi berbaring tekanan sistolik ≥ 20

mmHg atau tekanan diastolic ≥ 10 mmHg, dan sebagai kompensasinya

peningkatan heart rate > 15 x/menit pada posisi berdiri. Neuropati otonom yang

bermanifestasi pada disfungsi system saraf simpatis berupa hiperhidrosis pada

extremitas superior dan anhidrosis pada extremitas inferior, sehingga kulit kaki

menjadi kering dan berisiko besar untuk terjadi ulkus diabetika.

Pada perubahan posisi tubuh dari tidur ke berdiri maka tekanan darah

bagian atas tubuh akan menurun karena pengaruh gravitasi. Pada orang dewasa

normal, tekanan darah arteri rata-rata pada kaki adalah 180-200 mmHg. Tekanan

Page 32: Abses Pedis Dm II

darah arteri setinggi kepala adalah 60-75 mmHg dan tekanan venanya 0. Pada

dasarnya, darah akan mengumpul pada vena ekstremitas inferior sebanyak 650-

750 ml darah dan akan terlokalisir pada satu tempat. Pengisian atrium kanan

jantung akan berkurang, curah jantung juga berkurang sehingga pada posisi

berdiri akan terjadi penurunan sementara tekanan darah sistolik sampai 25

mmHg, sedangkan tekanan diastolik tidak berubah/meningkat ringan sampai 10

mmHg. Penurunan curah jantung akibat akumulasi darah pada ekstremitas

inferior akan cenderung mengurangi suplai darah ke otak. Tekanan arteri kepala

akan turun mencapai 20-30 mmHg. Penurunan tekanan ini akan diikuti kenaikan

tekanan parsial CO2 (pCO2), penurunan tekanan parsial O2 (pCO2) , dan pH

jaringan otak. Hal ini akan merangsang baroreseptor yang terdapat di dalam

dinding hampir setiap arteri besar di daerah dada dan leher; namun dalam jumlah

banyak didapatkan dalam dinding arteri karotis interna, sedikit di atas bifurcatio

carotis, daerah yang dikenal sebagai sinus karotikus dan dinding arkus aorta.

Respon yang ditimbulkan baroreseptor berupa peningkatan tahanan pembuluh

darah perifer, peningkatan tekanan jaringan pada otot kaki dan abdomen,

peningkatan frekuensi respirasi, kenaikan frekuensi denyut jantung, dan sekresi

zat-zat vasoaktif. Sekresi zat vasoaktif berupa katekolamin, pengaktifan sistem

Renin Angiotensin Aldosteron, pelepasan ADH, dan neuro-hipofisis. Kegagalan

fungsi refleks autonom ini yang menjadi penyebab timbulnya hipotensi

postural.13

Deteksi penurunan sensibilitas pada neuropati DM dapat dilakukan dengan

metode:11

1) Tuning fork / garpu tala

Metode paling sederhana, mudah, dan non invasive, untuk mengetahui

sensibilitas kaki melalui vibrasi dengan garpu tala Rydel-Seiffer yang dapat

dimulai pada plantar hallux.

Page 33: Abses Pedis Dm II

Gambar 3.2 Garpu tala standar.

2) Semmes-Weinstein Monofilament

Bahan dasar adalah 10 gram plastic nilon, pemakaian berulang menyebabkan

monofilament tidak sensitive, sehingga maksimal untuk 10 pasien. Monofilament

disentuhkan selama 1 detik, dan ditekan sampai monofilament sedikit

melengkung.

Gambar 3.3 Semmes-Weinstein Monofilament.11

3) Biothesiometer/ vibration perception threshold (PVT) meter.

Ujung alat yang bergetar 100 Hz berbahan baku karet, yang digetarkan pada

permukaan jari kaki. Dapat menilai fungsi saraf secara kuantitatif. Skala dalam

mesin penggetar diberikan skala 0-100 volt, skala ini terus ditingkatkan sampai

pasien merasakan vibrasi, bila skala amplitudo > 25 volt dapat berisiko terjadinya

ulkus DM.

Page 34: Abses Pedis Dm II

Gambar 3.4 Biothesiometer. 11

c. Penatalaksanaan

Strategi penatalaksanaan pasien DM dengan keluhan ND adalah diagnosa ND

sedini mungkin, perawatan umum kaki, pengendalian glukosa darah, dan terapi

medikamentosa.8

1) Perawatan umum kaki

Menjaga kebersihan kulit kaki, menghindari trauma kaki seperti menggunakan

sepatu yang sempit, mencegah trauma berulang pada neuropati kompresi. 8

2) Pengendalian glukosa darah

Penelitian epidemiologi besar oleh diabetes control and complications trial

(DCCT), Kumamoto study, dan united kingdom prospective diabetes study

(UKPDS), membuktikan bahwa pengendalian glukosa darah dapat mengurangi

komplikasi kronik DM termasuk ND. Penelitian DCCT pada kelompok pasien

dengan terapi intensif dapat menurunkan HBA1C 9% menjadi 7%, dapat

menurunkan risiko timbulnya ND sebesar 60% dalam 5 tahun. Hal yang sama

pada penelitian kumamoto dan UKPDS, dengan terapi intensif dapat

memperbaiki kecepatan konduksi saraf dan ambang rangsang vibrasi. 8

3) Terapi medikamentosa

Obat-obatan yang digunakan untuk mencegah timbulnya dan berlanjutnya

komplikasi kronik DM termasuk ND, yaitu : 8

a) Golongan aldose reductase inhibitor untuk menghambat penimbunan sorbitol

& fruktosa.

b) ACE inhibitor

c) Neurotropin ( NGF dan brain derived neurotropic factor).

d) Alpha lipoic acid adalah antioksidan kuat untuk radikal hidroksil, superoksid,

dan peroksil

e) Protein kinase C inhibitor

f) Aminoguanidin, untuk menghambat pembentukan AGE.

Page 35: Abses Pedis Dm II

BAB IV

TINJAUAN FARMAKOLOGIS

1. Ringer Laktat (RL)

Ringer laktat (RL) merupakan cairan yang dapat diberikan pada kebutuhan

volume dalam jumlah besar. Keunggulan terpenting dari larutan RL adalah

komposisi elektrolit dan konsentrasinya yang sangat serupa dengan yang

dikandung cairan ekstraseluler. Natrium merupakan kation utama dari plasma

darah dan menentukan tekanan osmotik. Klorida merupakan anion utama di

plasma darah. Kalium merupakan kation terpenting di intraseluler dan berfungsi

untuk konduksi saraf dan otot. Elektrolit-elektrolit ini dibutuhkan untuk

menggantikan kehilangan cairan pada dehidrasi dan syok hipovolemik termasuk

syok perdarahan. Larutan RL tidak mengandung glukosa, sehingga bila akan

dipakai sebagai cairan rumatan, dapat ditambahkan glukosa yang berguna untuk

mencegah terjadinya ketosis.15

Komposisi dan sediaan: Kemasan larutan kristaloid RL yang beredar di pasaran

memiliki komposisi elektrolit Na+(130 mEq/L), Cl- (109 mEq/L), Ca+ (3 mEq/L),

K+ dan laktat (28 mEq/L). Osmolaritasnya sebesar 273 mOsm/L. Sediaan yang

tersedia adalah 500 ml dan 1.000 ml.15

Indikasi: mengembalikan keseimbangan elektrolit pada keadaan dehidrasi dan

syok hipovolemik.

Kontraindikasi: hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, asidosis

laktat.

Efek samping: edema jaringan pada penggunaan dengan volume yang besar,

biasanya pada paru-paru. RL juga dapat menyebabkan hiperkloremia dan asidosis

metabolik, karena akan menyebabkan penumpukan asam laktat yang tinggi

akibat metabolisme anaerob.

2. Insulin Reguler (RI)

Page 36: Abses Pedis Dm II

Insulin ini merupakan insulin dengan kerja short acting yang dapat

meningkatkan penyimpanan lemak dan glukosa dalam sel khusus dan

mempengaruhi pertumbuhan sel serta fungsi metabolisme berbagai macam

jaringan melalui ikatan dengan reseptor insulin di jaringan. Dapat diberikan pada

pasien Diabetes Mellitus tipe I dan tipe II. Satu unit insulin kira-kira sama

dengan insulin yang dibutuhkan untuk menurunkan glukosa puasa 45 mg/dL.

Insulin ini meningkatkan penyimpanan lemak dan glukosa dalam sel khusus dan

mempengaruhi pertumbuhan sel serta fungsi metabolisme berbagai macam

jaringan melalui ikatan dengan reseptor insulin di jaringan.

Dosis dan sediaan: Vial 40 IU/ml x 10 ml, 100 IU/mlx10 ml, vial cartridge 100

IU/ml x 3 ml. Dapat diberikan SC atau IV pada kondisi ketoasidosis. Dosis

tergantung kondisi pasien dan kadar gula darah. 16,17,18

Farmakokinetik:

Absorbsi: insulin tidak memiliki efek hipoglikemik jika diberikan secara

oral karena insulin mengalami inaktivasi di GIT. Insulin diabsorbsi secara

cepat melalui jaringan subkutan. Rata-rata absorbsinya di berbagai lokasi

anatomis tubuh tergantung pada aliran darah lokal (absorbsi di abdomen

lebih cepat dibandingkan di lengan dan absorbsi di lengan lebih cepat

dibandingkan di paha dan glutea). Absorbsi juga dapat meningkat dengan

olahraga. Absorbsi insulin pada pemberian secara IM lebih cepat

dibandingkan dengan pemberian SC. Pada pemberian SC, human-insulin

diabsorbsi sedikit lebih cepat daripada bovine atau porcine insulin.1

Distribusi : didistribusi secara luas ke seluruh tubuh.

Metabolisme: dimetabolisme secara cepat terutama di liver, tetapi dapat

pula di ginjal dan jaringan otot. Direabsorbsi di tubulus proksimalis ginjal,

sebagian kembali ke sirkulasi darah vena dan sebagian lagi dimetabolisme

di ginjal tersebut.

Ekskresi: hanya sebagian kecil yang diekskresikan di urine dalam bentuk

utuh. Sekitar 60% insulin eksogen diekskresikan melalui ginjal dan sekitar

30-40% oleh liver.waktu paruh dari insulin adalah 3-5 menit. 16,17

Page 37: Abses Pedis Dm II

Indikasi

DM tipe I

DM tipe II (pada diabetisi kurus atau dengan penurunan BB yang cepat,

hiperglikemia berat yang disertai ketosis, KAD, HONK, asidosis laktat,

gagal dengan kombinasi OHO dosis maksimal, gangguan fungsi ginjal

atau hati, stres berat seperti infeksi sistemik, pembedahan, IMA, stroke,

dan pasien yang memiliki kontraindikasi atau alergi terhadap OHO)

semua tipe DM dalam kehamilan

terapi hiperkalemia

gangguan liver

hiperglikemia pada neonatus

Interaksi obat:

Menurunkan kebutuhan akan insulin: ACE-I, alkohol, aspirin, beta bloker,

disopyramide, fenfluramine, guanethidine, beberapa MAOI, mebendazole,

octreotide, tetrasiklin, antidepresan trisiklik.

Meningkatkan kebutuhan akan insulin chlordiazepoxide,

chlorpromazine, beberapa CCB seperti diltiazem dan nifedipin,

kortikosteroid, diazoxide, litium, diuretik tiazid, dan hormon tiroid.

Yang dapat meningkatkan maupun menurunkan kebutuhan akan hormon

insulin kontrasepsi oral, INH, siklofosfamid

ACE inhibitor meningkatkan sensitivitas insulin sehingga menurunkan

kebutuhan tubuh terhadap insulin

Alkohol menghambat glukoneogenesis

Aspirin menurunkan konsentrasi glukosa darah

Beta bloker bekerja memblok sistem saraf simpatis sehingga

menurunkan respon tubuh terhadap adanya hipoglikemia

CCB terutama nifedipin memiliki efek diabetogenik dan pada

pemberian diltiazem juga memperburuk keadaan diabetes

Interferon meningkatkan kebutuhan tubuh akan insulin.16,17

Page 38: Abses Pedis Dm II

Efek samping: Hipoglikemi, Jarang : lipodistrofi, resisten thd insulin, reaksi

alergi lokal atau umum. 16,17,18

Perhatian: Pemindahan dari insulin lain, sakit atau gangguan emosi, diberikan

bersama obat hiperglikemi. 16

3. Cefotaxime

Merupakan cephalosporin generasi III yang berikatan dengan membran sel

bakteri dan menginhibisi sintesis dinding sel yang sangat aktif terhadap berbagai

kuman Gram-positif maupun Gram-negatif aerobic. Aktivitasnya terhadap B.

fragilis sangat lemah bila dibandingdenganklindmisin dan metronidazol. 16,19

Farmakokinetik: A : diabsobsi cepat dari GIT, D: didistribusi luas, termasuk

CSF. Protein binding 30-50%, M:dimetabolisme di hati menjadi metabolit aktif,

E: melalui urine, T ½ 1 jam 17,18

Dosis: Dosis: IV/IM dewasa 1 gr 2x/hari, bila infeksi ringan-sedang1-2 gr tiap 8

jam, bila infeksi berat 2 gr 3-4x/hari. Anak berat badan >50kg 1-2 gr 3-4x/hari, 1

bulan-12 tahun, berat badan <50 kg 100-200 mg/kg/hari dibagi 3-4 dosis16

Indikasi: Bakterisid, infeksi bakteri gram positif dan gram negative.

Efek samping: Diare ringan, kram perut, jarang menimbulkan rash,pruritus,

urtikaria, kandidiasis oral atau vagina

Page 39: Abses Pedis Dm II

Interaksi obat: Aminoglikosida dan loop diuretik meningkatkan efek

nefrotoksik, kloramfenikol menginhibisi cefotaxime, oral antikoagulan

menyebabkan hipoprotrombinemia16,17

4. Ceftriaxone

Ceftriaxone merupakan cephalosporin spektrum luas semisintetik yang

diberikan secara IV atau IM. Kadar plasma rata-rata cetriaxone setelah pemberian

secara tunggal infus intravena 0,5;1 atau 2 gr dalam waktu 30 menit dan IM

sebesar 0,5 atau 1 g pada orang dewasa sehat. Ceftriaxone juga serupa dengan

seftizoksim dan sefotaksim, mempunyai waktu paruh yang sangat panjang

sehingga diberikan sekali / dua kali sehari.

Farmakokinetik : Ceftriaxone diabsorpsi lengkap setelah pemberian IM dengan

kadar plasma maksimum rata-rata antara 2-3 jam setelah pemberian. Dosis

multipel IV atau IM dengan interval waktu 12-24 jam, dengan dosis 0,5-2g

menghasilkan akumulasi sebesar 15-36 % diatas nilai dosis tunggal. Sebanyak 33-

67 % ceftriaxone yang diberikan, akan diekskresikan dalam uring dalam bentuk

yang tidak diubah dan sisanya diekskresikan dalam empedu dan sebagian kecil

dalam feses sebagai bentuk inaktif. Setelah pemberian dosis 1g IV, kadar rata-rata

ceftriaxone 1-3 jam setelah pemberian adalah : 501 mg/ml dalam kandung

empedu, 100 mg/ml dalam saluran empedu, 098 mg dalam duktus sistikus, 78,2

mg/ml dalam dinding kandung empedu dan 62,1 mg/ml dalam plasma. Setelah

pemberian dosis 0,15-3g, maka waktu paruh eliminasinya berkisar antara 5-8 jam,

volume distribusinya sebesar 5,70-13,5 L, klirens plasma 0,50-1,45 L/jam dan

klirens ginjal 0,32-0,73 L/jam. Ikatan protein ceftriaxone bersifat reversibel dan

besarnya adalah 85-95 %. Ceftriaxone menembus selaput otak yang mengalami

peradangan pada bayi dan anak-anak dan kadarnya dalam cairan otak setelah

pemberian dosis 50 mg/kg dan 75 mg/kg IV, berkisar antara 1,3-18,5 ug/ml dan

1,3-44 ug/ml. Dibanding pada orang dewasa sehat, farmakokinetik ceftriaxone

hanya sedikit sekali terganggu pada usia lanjut dan juga pada pasien dengan

gangguan fungsi ginjal/hati, karena itu tidak diperlukan penyesuaian dosis.

Page 40: Abses Pedis Dm II

Indikasi : Infeksi-infeksi yang disebabkan oleh patogen yang sensitif terhadap

Ceftriaxone, seperti: infeksi saluran nafas, infeksi THT, infeksi saluran kemih,

sepsis, meningitis, infeksi tulang, sendi dan jaringan lunak, infeksi intra

abdominal, infeksi genital (termasuk gonore), profilaksis perioperatif, dan infeksi

pada pasien dengan gangguan pertahanan tubuh.

Efek samping obat : Secara umum ceftriaxone dapat ditoleransi dengan baik.

Efek samping yang dapat ditemukan adalah :

Reaksi lokal : Sakit, indurasi atau nyeri tekan pada tempat suntikan dan

phlebitis setelah pemberian intravena.

Hipersensitivitas : Ruam kulit dan kadang-kadang pruritus, demam atau

menggigil

Hematologik : Eosinofilia, trombositosis, lekopenia dan kadang-kadang

anemia, anemia hemolitik, netropenia, limfopenia, trombositopenia dan

pemanjangan waktu protrombia.

Saluran cerna : Diare dan kadang-kadang mual, muntah, disgeusia.

Hati : Peningkatan SGOT atau SGPT dan kadang-kadang peningkatan

fosfatase alkali dan bilirubin.

Ginjal : Peningkatan BUN dan kadang-kadang peningkatan kreatinin serta

ditemukan silinder dalam urin.

Susunan saraf pusat : Kadang-kadang timbul sakit kepala atau pusing.

Saluran kemih dan genital : Kadang-kadang dilaporkan timbulnya

monitiasis atau vaginitis

Dosis dan sediaan : Dewasa dan anak > 12 tahun dan anak BB > 50 kg : 1 - 2 gram satu kali

sehari. Pada infeksi berat yang disebabkan organisme yang moderat

sensitif, dosis dapat dinaikkan sampai 4 gram satu kali sehari.

Bayi 14 hari : 20 - 50 mg/kg BB tidak boleh lebih dari 50 mg/kg BB, satu

kali sehari.

Page 41: Abses Pedis Dm II

Bayi 15 hari -12 tahun : 20 - 80 mg/kg BB, satu kali sehari. Dosis

intravena > 50 mg/kg BB harus diberikan melalui infus paling sedikit 30

menit.

Ceftriaxone 1 gram injeksi ( 1 box berisi 2 vial serbuk injeksi @ 10 mL)

Interaksi obat: Kombinasi dengan aminoglikosid dapat menghasilkan efek aditif

atau sinergis, khususnya pada infeksi berat yang disebabkan oleh P.aeruginosa &

Streptococcus faecalis.

Perhatian:

Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hati yang berat, kadar

plasma obat perlu dipantau. - Sebaiknya tidak digunakan pada wanita

hamil (khususnya trimester I).

Tidak boleh diberikan pada neonatus (terutama prematur) yang

mempunyai resiko pembentukan ensephalopati bilirubin.

Pada penggunaan jangka waktu lama, profil darah harus dicek secara

teratur.

5. Fosfomisin (Fosmidex)

Fosfomisin trometamin yang bekerja dengan menghambat tahap awal

sintesis dinding sel kuman. Fosfomisin aktif terhadap kuman Gram-positif

maupun Gram- negative.20

Farmakokinetik: bioavailabilitasnya pada pemberian oral hanya 37%. Pemberian

bersama makanan akan mengurangi penyerapan obat ini sebesar 30%. Obat ini

tidak terikat dengan protein plasma. T ½ 5,7 jam. Ekskresi renal obat ini ialah

38%. Fosfomin tidak mengalami metabolism dalam tubuh dan dikeluarkan dalam

urin dan tinja sebagai zat induknya. 20

Indikasi: infeksi saluran kemih tanpa komplikasi pada wanita yang disebabkan

oleh E. coli dan E. faecalis dan pencegahan infeksi pada bedah abdomen. 16,20

Efek samping : diare, mual, sakit kepala, vertigo dan vaginitis.

Page 42: Abses Pedis Dm II

Dosis: infuse dewasa 2-4 g. anak100-200 mg/kg. keduanya dengan drip infuse i.v

terbagi dalam 2 dosis. Pembedahan akut dan efektif dewasa dan anak> 12 tahun

dosis tunggal 8 g infuse i.v ½ - 1 jam sebelum pembedahan. 16

6. Metronidazole

Derivat nitroimidazole yang merusak DNA bakteri dan protozoa,

menghambat sintesis asam nukleat.

Farmakokinetik: A: diabsorbsi baik di GIT, diabsorbsi minimal pada pemakaian

topical, D: ikatan protein <20%, didistribusi luas melewati BBB, M: di hepar

menjadi metabolit aktif, E: terutama lewat urine, sebagain di feses, T ½ 8-10 jam 16,17

Dosis: Dosis: infeksi kulit, SSP, traktus respirasi bawah, tulang, sendi,

intraabdomen, ginekologi, endokarditis, septicemia peroral/IV dewasa, orangtua,

anak 30 mg/kg/hari dibagi 4 dosis, maksimal 4 gr. Trikomoniasis, per oral dewasa

250 mg tiap 8 jam atau 2 gr sebagai dosis tunggal, anak 15-30 mg/kg/hari dibagi 3

dosis, Amubiasis per oral dewasa 500-750 mg tiap 8 jam, Anak 35-50 mg/kg/hari

dibagi 3 dosis.16

Indikasi: Bakterisid, Antiprotozoa, Amubisidal, Trikomonasidal, antiinflamasi

dan imunosupresif bila diberikan topikal.

Efek samping: Anoreksia, mual, mulut kering, rasa logam, intra vaginal:

servicitis, vaginitis, kram perut, nyeri uterus

Interaksi obat: Meningkatkan level Carbamazepine, Meningkatkan level

fenitoin, disulfiram menyebabkan toksisitas SSP, IV fenitoin, luminal, diazepam,

cotrimoxazole menyebabkan reaksi seperti disulfiram 16,17

7. Ranitidin

Secara kompetitif menghambat ikatan histamin dengan H2 reseptor di

lambung sehingga cAMP intrasel menurun, maka sekresi asam lambung

menurun. Poten menghambat asam lambung basal, sekresi nokturnal asam

lambung karena sangat tergantung pada histamin (90%).16,17

Farmakokinetik :

Page 43: Abses Pedis Dm II

Absorbsi: cepat dan baik tidak dipengaruhi makanan, bioavailabilitas 50-

60%, konsentrasi puncak pada plasma 2-3 jam setelah pemberian per oral.

Diabsorbsi secara cepat dengan pemberian IM dengan konsentrasi puncak

plasma didapatkan setelah 15 menit.

Distribusi : terikat secara lemah pada protein plasma yaitu sekitar 15%,

melewati barier otak dan plasenta, serta didistribusikan ke dalam ASI.

Metabolisme: hepar

Ekskresi: ginjal. T ½ = 2-3 jam, meningkat pada gangguan ginjal. Sebagian

kecil melalui feses. 16,17

Indikasi : Ulkus duodenum, ulkus gaster, GERD17,18

Efek samping obat : Diare, jarang menimbulkan konstipasi, sakit kepala yang

biasanya berat. 16,17

Dosis dan sediaan : Tablet 150 mg (Acran), Tablet film coated 300 mg

(Indoran), 150 mg (Radin), Kaplet 300 mg (Acran), Ampul 25 mg/ml (Antid).

Dosis: per oral dewasa 150 mg 2x/hari atau 300 mg 1x/hari sebelum tidur,

pemeliharaan 150 mg 1x/hari sebelum tidur. Anak 2-4 mg/kg/hari dibagi 2 dosis.

Maksimal 300 mg/hari. Untuk iv/im dewasa 50 mg/dosis tiap 6-8 jam, anak 2-4

mg/kg/hari dibagi 3-4 dosis, maksimal 200 mg/hari. Neonatus peroral 2

mg/kg/hari dibagi 2 dosis, iv inisial 1,5 mg/kg/dosis lalu 1,5-2 mg/kg/hari dibagi

2 dosis. Dengan gangguan hepar bila klirens kreatinin < 50 ml/menit diberi per

oral 150 mg 1x/hari atau iv/im 50 mg tiap 18-24 jam. 16,17

Interaksi obat: Meningkatkan absorbsi obat Glipizide, Gliburide, Tolbutamide

sehingga potensial hipoglikemia, Meningkatkan konsentrasi Nifedipine,

Menurunkan absorbsi Ketoconazole, Cefuroxime karena absorbsinya tergantung

media asam. 16,17

Perhatian: Gangguan hepar dan ginjal 16,17

8. Ondansentron

Page 44: Abses Pedis Dm II

Antagonis selektif pada reseptor (5HT3) di area postrema dan nucleus

traktus.solitarius dan pada terminal aferen N.vagus serta memiliki aksi

antiemetik sentral dengan menghambat reflex muntah yang disebabkan stimulasi

vagus ketika 5-HT dilepaskan di usus saat merespon obat sitotoksik dan radiasi 16,17

Dosis dan sediaan: Tablet 8 mg (Cedantron), Tablet film coated 4 mg & 8 mg

(Vomceran), Kaplet film coated 4 mg & 8 mg (Frazon), Ampul: 4 mg/2 ml, &

8mg/4ml (Zofran). Dosis: per oral dewasa, tua & anak >11thn 24 mg dosis

tunggal 10-20 mg 3-4x/hari ac; Dosis 1-2 jam sebelum kemoterapi 8 mg (garam

HCl 2 aq), lalu tiap 12 jam 8 mg selama 5 hari. 16,17

Farmakokinetik. A: diabsorpsi segera di dalam lambung, D: ikatan protein 70-

76%, M:dimetabolisme di heparoleh sitokrom P450 diikuti glukoronidase atau

konjugasi sulfat. E: primer dieksresi melalui urin. T ½ :4 jam. 16,17

Indikasi: Mual dan muntah terkait kemoterapi, radioterapi, atau pasca operasi.

Perhatian: Ibu hamil, menyusui dan lanjut usia

Efek samping obat: Nyeri kepala, obstipasi, rasa panas di muka (flushes) dan

perut bagian atas, jarang sekali gangguan ekstra-piramidal dan reaksi

hipersensitivitas.

Interaksi obat: Beberapa obat lain yang menurunkan kelarens hepar dari

antagonis 5HT3, akan merubah T ½ obat tersebut.

9. Paracetamol

Parasetamol adalah derivat p-aminofenol yang mempunyai sifat

antipiretik/analgesik. Sifat antipiretik disebabkan oleh gugus aminobenzen dan

mekanismenya diduga berdasarkan efek sentral. Sifat analgesik Parasetamol

dapat menghilangkan rasa nyeri ringan sampai sedang. Sifat antiinflamasinya

sangat lemah sehingga tidak digunakan sebagai antirematik. Pada penggunaan

per oral Parasetamol diserap dengan cepat melalui saluran cerna. Kadar

maksimum dalam plasma dicapai dalam waktu 30 menit sampai 60 menit setelah

Page 45: Abses Pedis Dm II

pemberian. Parasetamol diekskresikan melalui ginjal, kurang dari 5% tanpa

mengalami perubahan dan sebagian besar dalam bentuk terkonyugasi.

Farmakokinetik : Parasetamol diabsorbsi cepat dan sempurna melalui saluran

cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa

paruh plasma antara 1 sampai 3 jam

Indikasi :Sebagai antipiretik/analgesik, termasuk bagi pasien yang tidak tahan

asetosal. Sebagai analgesik, misalnya untuk mengurangi rasa nyeri pada sakit

kepala, sakit gigi, sakit waktu haid dan sakit pada otot. Serta menurunkan

demam pada influenza dan setelah vaksinasi.

Efek samping obat :

Jarang terjadi, antara lain reaksi hipersensitifitas dan kelainan darah. Pada

penggunaan kronis dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan hati, pada dosis di

atas 6 g mengakibatkan nekrose hati yang reversible. Hepatotoksisitas ini

disebabkan oleh metabolit-metabolitnya, yang pada dosis normal dapat ditangkal

oleh glutation (suatu tripeptida dengan –SH). Pada dosis diatas 10 g, persediaan

peptida tersebut habis dan metabolit-metabolit mengikat pada protein dengan –

SH di sel-sel hati, dan terjadilah kerusakan irreversible. Parasetamol dengan

dosis diatas 20 g sudah berefek fatal. Over dosis bisa menimbulkan antara lain

mual, muntah, dan anorexia. Penanggulanganya dengan cuci lambung, juga perlu

diberikan zat-zat penawar (asam amino N-asetilsisten atau metionin) sedini

mungkin, sebaiknya dalam 8-10 jam setelah intoksikasi. Wanita hamil dapat

menggunakan parasetamol dengan aman, juga selama laktasi walaupun mencapai

air susu ibu.

Dosis dan sediaan :

Dibawah 1 tahun: ½ - 1 sendok teh atau 60 – 120 mg, tiap 4 - 6 jam. 1 - 5 tahun:

1 - 2 sendok teh atau 120 – 250 mg, tiap 4 - 6 jam. 6 - 12 tahun: 2 - 4 sendok teh

atau 250 – 500 mg, tiap 4 - 6 jam. Diatas 12 tahun: ½ - 1 g tiap 4 jam,

maksimum 4 g sehari.

Page 46: Abses Pedis Dm II

Interaksi obat: Pada dosis tinggi dapat memperkuat efek antikoagulansia, dan

pada dosis biasa tidak interaktif. Kombinasi dengan obat penyakit AIDS

zidovudin meningkatkan resiko neutropenia

Perhatian: Paracetamol sudah digunakan secara luas, dan pada dosis yang

dianjurkan, efek sampingnya ringan dan jarang terjadi. Laporan mengenai efek

yang tidak diinginkan, jarang. Kebanyakan laporan dari efek samping

parasetamol berhubungan dengan dosis yang berlebihan.

Paracetamol harus digunakan dengan hati-hati pada penderita payah hati dan

disfungsi ginjal.

10. Neurovit E

Terdiri dari Vitamin B1 100 mg, Vitamin B6 200 mg, Vitamin B12 200 mcg,

Vitamin E 50 mg.16

Farmakokinetik: vitamin B1, B6, B12 adalah vitamin neurotropik yang

terpenting dari vitamin B-kompleks. Terutama dalam konsentrasi yang tinggi.

Vitamin B1 diperlukan untuk mempertahankan konsumsizatasam dalam

jumlahyang cukup besar dalam otak, untukmencegah akumulasi asam laktat asam

piruvat. Vitamin B6 dibutuhkan untuk mengaturmetabolisme aam glutamatdan

asam aminobutirat untuk kelancaran fungsi otak. Kombinaiketiga vitamin

neurotropik bekerjasinergis, sehingga daya sembuhnya sebagai keseluruhan

melebihiefek-efek yang dimiliki masing-masing vitamin itu sendiri. Vitamin E

adalah antioksidan biologisuntuk menghemat penggunaan oksigen.

Indikasi : gangguan neurologic seperti neuritis, neuroparalisis, lumbago,

neuralgia, reumatik, paraestesis, neuropati asthenia, keadaan lesu, lemah, masa

penyembuhan setelah infeksi, anemia. 16

Dosis : 1 tablet sehari. 16

11. Antrain

Metamizole  Na  adalah  derivat  metansulfonat  dari  aminopirin  yang

mempunyai khasiat analgesik. Mekanisme kerjanya adalah menghambat transmisi

Page 47: Abses Pedis Dm II

rasa sakit ke susunan saraf pusat dan perifer. Metamizole  Na  bekerja  sebagai 

analgesic.

Dosis dan sediaan: tablet 500 mg, ampul 1gr/2ml. Dewasa: Tablet : 1 tablet jika

sakit timbul, berikutnya 1 tablet tiap 6-8 jam, maksimum 4 tablet sehari. Injeksi :

500 mg jika sakit timbul, berikutnya 500 mg tiap 6-8 jam maksimum 3 kali sehari,

diberikan secara injeksi I.M. atau I.V.

Indikasi: Untuk meringankan rasa sakit,terutama nyeri kolik, post operasi.

Perhatian: Ibu hamil, menyusui dan lanjut usia

Efek samping obat: Reaksi hipersensitivitas: reaksi pada kulitmisal kemerahan,

Agranulositosis

Interaksi obat: Bila Metamizole Na diberikan bersamaan dengan Chlorpromazine

dapat mengakibatkan hipotermia16,17

Page 48: Abses Pedis Dm II

BAB IV

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang pada pasien ini, maka pasien didiagnosa Abses pedis dekstra et causa

infeksi ulkus neuropatik post debridement hari ke- XX dengan Diabetes Mellitus

tipe 2 uncontrolled

Diagnosa

Teori Kasus

Dinyatakan Diabetes Mellitus tipe 2

bila:

1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L)Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir. atau

2. Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg.dL (7.0 mmol/L)Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam. Atau

3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥220 mg/dL (11.1 mmol/L)TTGO dilakukan dengan standard WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan kedalam air.

Abses pedis dekstra et causa infeksi ulkus neuropatik post debridement hari ke- XVIII dengan Diabetes Mellitus tipe 2 uncontrolled:1. Sebelum di diagnose DM, pasien

sudah 1 tahun mengalami buang

air yang sering pada malam hari

(5-7 kali dalam semalam), rasa

cepat haus dan lapar serta

penurunan berat badan.

2. dirawat di RS 6 bulan yang lalu

dengan darah gula darah pasien

510 mg/dL

3. Riwayat DM sejak 6 bulan yang

lalu, tidak rutin control

4. GDS saat MRS 492 mg/dL

5. Pemeriksaan kadar gula tanggal

01/03 GDP : 219 mg/dL, dan

G2PP : 261 mg/dL

Page 49: Abses Pedis Dm II

Penatalaksaan pasien ini meliputi:

1. Edukasi

Edukasi yang terpenting adalah perubahan gaya hidup (life style) yang

meliputi perubahan pola makan dan aktivitas fisik atau olahraga.

2. Diet

Pengaturan makan hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat

umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori

dan zat gizi masing-masing individu, sesuai dengan kebutuhannya guna

mencapai sasaran terapi.

3. Exercise

Kegiatan jasmani sehari-hari dan olahraga secara teratur (3-4 kali

seminggu selama kurang lebih 30 menit). Olahraga yang disarankan

adalah yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval,

Progressive, Endurance Training).

4. Terapi Farmakologis

Untuk menetapkan rasional tidaknya terapi yang diberikan, harus

memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Obat yang diberikan harus tepat indikasi sesuai dengan standar

medis/panduan klinis atau sesuai dengan penyakit yang dihadapinya. Contoh

penggunaan obat tidak rasional: penggunaan antibiotik untuk diare yang non

spesifik, penggunaan antibiotik untuk infeksi virus saluran nafas akut.

2. Tepat obat, obat berdasarkan efektifitasnya, keamanannya dan dosis

3. Tepat pasien, tidak ada kontra indikasi dan kemungkinan efek yang tidak

diinginkan, misal pasien yang mempunyai gangguan iritasi lambung tidak

diberikan analgesik yang mempunyai efek samping mengiritasi lambung

4. Tepat penggunaan obat artinya pasien mendapat informasi yang relevan,

penting dan jelas mengenai kondisinya dan obat yang diberikan (Aturan

minum, sesudah atau sebelum makan, dll)

5. Tepat monitoring, artinya efek obat yang diketahui dan tidak diketahui

dipantau dengan baik.

Page 50: Abses Pedis Dm II

Dengan demikian, kerasionalan dalam pemberian terapi dapat dirangkum

secara keseluruhan menjadi 4T 1W + EARMU, yaitu Tepat Indikasi, Tepat Dosis,

Tepat Pemakaian, Tepat Pasien dan Waspada efek samping + Efektif Aman

Rasional Murah dan Mudah didapat.

1. Ringer Laktat

Pada pasien ini, terapi cairan yang diberikan yaitu ringer laktat.

Biasanya cairan ini diberikan sebagai cairan pengganti sesuai dengan

sifatnya yang isotonis, dimana partikel yang terlarut sama dengan CIS,

dapat melewati membran semi permeabel. Tonositas 275-295 mOsm/kg.

Dengan tekanan onkotiknya yang rendah, cairan ini dapat dengan cepat

terdistribusi ke seluruh cairan ekstraseluler. Pada pasien ini diberikan 20

tetes/ menit (1 tetes=0,05 ml). Berarti cairan infus akan habis dalam waktu

+8 jam. Penentuan kecepatan pemberian ini dilihat dari keadaan pasien.

Karena keadaan pasien tidak menunjukkan tanda-tanda terjadi gangguan

keseimbangan cairan maka cukup diberikan cairan infus RL dengan

kecepatan 12 tetes/menit untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam

batas-batas fisiologis.

No Teori kasus rasional

Ya tidak1 Indikasi: mengembalikan

keseimbangan elektrolit pada keadaan dehidrasi dan syok hipovolemik

sebagai terapi rumatan

2 Kontraindikasi: hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, asidosis laktat.

tidak ada kontraindikasi pada pasien

3 Dosis : sesuai dengan kondisi penderita

diberikan 20 tpm yang akan habis dalam waktu 8 jam

4 Efek samping: edema jaringan pada penggunaan dengan volume yang besar, biasanya pada paru-paru hiperkloremia dan asidosis metabolic

-

Page 51: Abses Pedis Dm II

2. Insulin Reguler (RI)

Insulin ini merupakan insulin dengan kerja short acting yang dapat

meningkatkan penyimpanan lemak dan glukosa dalam sel khusus dan

mempengaruhi pertumbuhan sel serta fungsi metabolisme berbagai macam

jaringan melalui ikatan dengan reseptor insulin di jaringan. Dapat diberikan pada

pasien Diabetes Mellitus tipe I dan tipe II. Diberikan pada pasien dengan tujuan

untuk memenuhi kebutuhan insulin secara cepat sesuai dengan mula kerja insulin

jenis ini (½ jam). Karena lama kerjanya yang singkat, insulin jenis ini dapat

diberikan 3x/hari.

no Teori kasus rasional

Ya tidak1 Indikasi :

DM tipe I DM tipe II (diabetisi kurus /

dengan penurunan BB yang cepat, hiperglikemia berat yang disertai ketosis, KAD, HONK, asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO dosis maksimal, gangguan fungsi ginjal atau hati, stres berat seperti infeksi sistemik, pembedahan, IMA, stroke, dan pasien yang memiliki kontraindikasi atau alergi terhadap OHO)

semua tipe DM dalam kehamilan

terapi hiperkalemia gangguan liver hiperglikemia pada neonatus

DM tipe 2 √

2 Dosis : : Dosis tergantung kondisi pasien dan kadar gula darah. (GDS : > 450 diberikan 20 IU)

GDS: 492 mg/dL, diberikan 3x8 IU

3 Efek samping: Hipoglikemi,

Page 52: Abses Pedis Dm II

Jarang : lipodistrofi, resisten thd insulin, reaksi alergi lokal atau umum.

-

4 Interaksi obat: Menurunkan kebutuhan akan insulin: ACE-I, alkohol, aspirin, beta bloker, disopyramide, fenfluramine, guanethidine, beberapa MAOI, mebendazole, octreotide, tetrasiklin, antidepresan trisiklik. Meningkatkan kebutuhan akan insulin chlordiazepoxide, chlorpromazine, beberapa CCB seperti diltiazem dan nifedipin, kortikosteroid, diazoxide, litium, diuretik tiazid, dan hormon tiroid. ACE inhibitor meningkatkan sensitivitas insulin sehingga menurunkan kebutuhan tubuh terhadap insulin.

Tidak didapatkan obat yang dapat menimbulkan interaksi

5 Cara Pemakaian: dapat digunakan secara parenteral

Pada pasien ini diberikan secara parenteral

3. Cefotaxime

Pada pasien ini diberikan cefotaxime sejak tanggal 29 februari – 06 maret

2011 yang merupakan golongan cefalosforin generasi III. Kerja cefotaxime

berikatan dengan membran sel bakteri dan menginhibisi sintesis dinding sel yang

sangat aktif terhadap berbagai kuman Gram-positif maupun Gram-negatif

aerobic . Pasien ini mengalami abses pedis, dan pada hasil pemeriksaan uji

sensitivitas tanggal 01 maret 2012 didapatkan bahwa cefotaxime merupakan salah

satu anti mikroba yang resisten.

No Teori Kasus rasional

Ya tidak1 Indikasi: Bakterisid,

infeksi bakteri gram positif dan gram negative.

Sebagai terapi Abses Pedis

√(hasil uji kepekaan

Page 53: Abses Pedis Dm II

resisten)2 Dosis : Dosis: IV/IM

dewasa 1 gr 2x/hari, bila infeksi ringan-sedang1-2 gr tiap 8 jam, bila infeksi berat 2 gr 3-4x/hari. Anak berat badan >50kg 1-2 gr 3-4x/hari, 1 bulan-12 tahun, berat badan <50 kg 100-200 mg/kg/hari dibagi 3-4 dosis

Diberikan Cefotaxim Inj. IV 3x1 g

3 Efek samping: Diare ringan, kram perut, jarang menimbulkan rash,pruritus, urtikaria, kandidiasis oral atau vagina.

4 Cara Pemakaian: dapat digunakan secara parenteral

Pada pasien ini diberikan secara parenteral

4. Ceftriaxon

Pasien diberikan ceftriaxone sejak tanggal 07 maret – 14 maret 2011.

Ceftriaxone merupakan cephalosporin spektrum luas semisintetik yang diberikan

secara IV atau IM. Pada hasil pemeriksaan uji sensitivitas tanggal 06 maret 2012

didapatkan bahwa ceftriaxone masih termasuk antimikroba yang sensitive.

No Teori Kasus Rasional

Ya Tidak1 Indikasi : Infeksi-infeksi yang

disebabkan oleh patogen yang sensitif terhadap Ceftriaxone, seperti: infeksi saluran nafas, infeksi THT, infeksi saluran kemih, sepsis, meningitis, infeksi tulang, sendi dan jaringan lunak, infeksi intra abdominal, infeksi genital (termasuk gonore), profilaksis perioperatif, dan infeksi pada pasien dengan gangguan pertahanan tubuh.

Abses Pedis √

Page 54: Abses Pedis Dm II

2 Dosis : Dewasa dan anak > 12 tahun

dan anak BB > 50 kg : 1 - 2 gram satu kali sehari. Pada infeksi berat yang disebabkan organisme yang moderat sensitif, dosis dapat dinaikkan sampai 4 gram satu kali sehari.

Bayi 14 hari : 20 - 50 mg/kg BB tidak boleh lebih dari 50 mg/kg BB, satu kali sehari.

Bayi 15 hari -12 tahun : 20 - 80 mg/kg BB, satu kali sehari. Dosis intravena > 50 mg/kg BB harus diberikan melalui infus paling sedikit 30 menit.

Ceftriaxone 1 gram injeksi ( 1 box berisi 2 vial serbuk injeksi @ 10 mL).

Diberikan Ceftriaxone Inj. IV 2x1 g

3 Interaksi obat: Kombinasi dengan aminoglikosid dapat menghasilkan efek aditif atau sinergis, khususnya pada infeksi berat yang disebabkan oleh P.aeruginosa & Streptococcus faecalis.

Tidak didapatkan obat yang dapat menimbulkan interaksi

4 Efek samping obat : reaksi local, hipersensitivitas, gangguan hematologic, diare, mual muntah, penigkatan SGOT dan SGPT, nyeri kepala, vaginitis.

- √

5 Cara Pemakaian: dapat digunakan secara parenteral

Pada pasien ini diberikan secara parenteral

5. Fosmidex

Pada pasien ini diberikan Fosfomisin sejak 15maret 2011. Fosfomisin

bekerja dengan menghambat tahap awal sintesis dinding sel kuman. Fosfomisin

aktif terhadap kuman Gram-positif maupun Gram- negative. Pada hasil

Page 55: Abses Pedis Dm II

pemeriksaan uji sensitivitas tanggal 12 maret 2012 dan 19 maret 2012 didapatkan

bahwa Fosfomisin masih termasuk antimikroba yang sensitive.

No Teori Kasus rasional

Ya tidak1 Indikasi: infeksi saluran kemih

tanpa komplikasi pada wanita yang disebabkan oleh E. coli dan E. faecalis dan pencegahan infeksi pada bedah abdomen.

Abses Pedis √

2 Dosis dan sediaan: infuse dewasa 2-4 g. anak100-200 mg/kg. keduanya dengan drip infuse i.v terbagi dalam 2 dosis. Pembedahan akut dan efektif dewasa dan anak> 12 tahun dosis tunggal 8 g infuse i.v ½ - 1 jam sebelum pembedahan.

Diberikan fosmidex Inj. IV 2x1 g

4 Efek samping obat: diare, mual, sakit kepala, vertigo dan vaginitis.

- √

5 Cara Pemakaian: dapat digunakan secara parenteral

Pada pasien ini diberikan secara parenteral