abortus medisinalis

Upload: arynee-estiastuti

Post on 15-Jul-2015

624 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

ABORTUS MEDISINALIS

I.

Pendahuluan

Istilah abortus dipakai untuk menunjukkan pengeluaran hasil kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sampai saat ini janin yang terkecil, yang dilaporkan dapat hidup di luar kandungan, mempunyai berat badan 297 gram waktu lahir. Akan tetapi karena jarangnya janin yang dilahirkan dengan berat badan di bawah 500 gram dapat hidup tetap hidup, maka abortus dianggap sebagai pengakhiran kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 gram atau usia kehamilan kurang dari 20 minggu. Abortus dapat berlangsung spontan secara alamiah atau buatan. Abortus provokatus/buatan ialah pengakhiran kehamilan sebelum 20 minggu dengan obat-obatan atau dengan tindakan medik.1,2 Oleh karena tindakan abortus buatan ini merupakan tindakan mematikan insan yang hidup, maka indikasi untuk melakukan abortus buatan yang secara umum diterima ialah apabila berlangsung-terusnya atau dilanjutkannya kehamilan akan membahayakan kesehatan wanita yang bersangkutan. Perlu dikemukakan bahwa menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sekarang masih berlaku di Indonesia, melakukan abortus dianggap sebagai kejahatan dan dilarang. Akan tetapi, dalam praktek seorang dokter yang melakukan abortus atas indikasi yang ditinjau dari kesehatan ibu sungguhsungguh dapat dipertanggungjawabkan biasanya tindakan legal. Dalam hubungan ini, demi keamanan dirinya, keputusan untuk melakukan abortus hendaknya jangan diambil sendiri oleh seorang dokter sebaiknya penderita diserahkan kepada seorang ahli kebidanan dan kandungan yang masih perlu mengadakan konsultasi dengan dokter lain yang ahli dalam bidang yang menjadi indikasi untuk tindakan tersebut. Segala sesuatu indikasi/alasan perlu ditegaskan dalam suatu laporan yang teliti dan lengkap dan ditandatangani oleh dokter-dokter yang bersangkutan. Lebih baik lagi apabila keputusan untuk melakukan abortus diambil oleh suatu tim Abortus, yang dibentuk oleh suatu instansi yang berwenang (internis, obstetric dan psikiater).1 1

Abortus medisinalis adalah tindakan mengakhiri kehamilan atas indikasi medik yaitu kehamilan yang dapat membahayakan jiwa ibu, misalnya karena pasien menderita penyakit jantung yang berat atau peristiwa pengakhiran kehamilan karena penyakit atau kelainan yang serius pada ibu dan jika kehamilan dilanjutkan akan membahayakan jiwa sang ibu.3

II. Insiden Frekuensi abortus provokatus sukar ditentukan karena abortus

provokatus kebanyakan tidak dilaporkan, kecuali apabila terjadi komplikasi. Demikian juga pada kasus abortus spontan kadang-kadang hanya disertai gejala dan tanda ringan, sehingga pertolongan medik tidak diperlukan dan kejadian ini dianggap sebagai terlambat haid sehingga tidak dilaporkan. Di Indonesia, diperkirakan ada 5 juta kehamilan per-tahun. Dengan demikian setiap tahun 500.000-750.000 abortus. Sulitnya untuk mendapatkan data tentang abortus provokatus dengan atau tanpa indikasi medis di Indonesia. Paling sedikit ada dua sebabnya, yang pertama, abortus dilakukan secara sembunyi yang kedua, bila timbul komplikasi hanya dilaporkan komplikasinya saja, tidak abortusnya. Dengan menggunakan Randomized Response Technique, Saifuddin dan Bachtiar mengemukakan bahwa hampir sepertiga dari wanita yang datang ke Poliklinik Kebidanan di RS Cipto Mangunkusumo pernah melakukan abortus.2 Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan 4,2 juta abortus dilakukan setiap tahun di Asia Tenggara, dengan perindan: 1,3 juta dilakukan di Vietnam dan Singapura antara 750.000 sampai 1,5 juta di Indonesia antara 155.000 sampai 750.000 di Filipina antara 300.000 sampai 900.000 di Thailand Pada tahun 2000 di Indonesia diperkirakan bahwa sekitar dua juta aborsi terjadi. Angka ini dihasilkan dari penelitian yang dilakukan berdasarkan sampel yang diambil dari fasilitas-fasilitas kesehatan di 6 wilayah, dan juga termasuk jumlah aborsi spontan yang tidak diketahui jumlahnya walaupun dalam hal ini diperkirakan jumlahnya kecil. Walaupun demikian, estimasi aborsi dari

2

penelitian tersebut adalah estimasi yang paling komprehensif yang terdapat di Indonesia sampai saat ini. Estimasi aborsi berdasarkan penelitian ini adalah angka tahunan aborsi sebesar 37 aborsi untuk setiap 1,000 perempuan usia reproduksi (15-49 tahun). Perkiraan ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia. Dalam skala regional sekitar 29 aborsi terjadi untuk setiap 1,000 perempuan usia reproduksi. Sementara tingkat aborsi yang diinduksi tidak begitu jelas, namun terdapat bukti bahwa dari 4.5 juta kelahiran yang terjadi setiap tahunnya di Indonesia pada waktu penelitian tersebut dilakukan sekitar 760,000 (17%) dari jumlah kelahiran yang terjadi adalah kelahiran yang tidak diinginkan atau tidak direncanakan.4 Dalam sebuah penelitian terhadap perempuan yang telah melakukan aborsi di klinik, sekitar 38% melaporkan bahwa prosedur mereka dengan metode aspirasi vacum atau dilatasi dan kuretase, yang efektif tapi agak kurang aman. 25% lainnya telah menerima obat oral. 13% dengan obat injeksi, 13% menggunakan benda asing yang dimasukan ke vagina atau rahim, dan 4% dengan akupunktur. 4

III. Indikasi Dengan kemajuan dalam perawatan perinatal, hanya ada sedikit kontraindikasi medis untuk aborsi kehamilan. Perinatologi, dokter kandungan, dan konselor aborsi lebih memilih untuk menempatkan risiko dalam konteks statistik dibanding kemungkinan komplikasi yang timbul dan kemudian memberikan pasien membuat keputusan sendiri. Perempuan akan berusaha mengambil risiko lebih kecil antara kesehatannya atau mempertahankan usia kehamilan, untuk mengakhiri kehamilan dari pada untuk melanjutkan hingga saat melahirkan, kondisi medis yang membawa risiko signifikan pada kehamilan termasuk diabetes berat dengan komplikasi retinopati, jantung atau ginjal, penyakit jantung, gagal ginjal, penyakit anemia sel sabit, penyakit autoimun, dan penyakit kejiwaan. Dilaporkan angka kematian lebih tinggi pada wanita dengan kerusakan pembuluh darah (coartasio aorta), hipertensi pulmonal, sindrom Marfan dengan keterlibatan aorta, dan infark miokard pada saat kehamilan.2 3

Tindakan pengosongan rahim pada kehamilan kurang dan 20 minggu dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara yang tepat untuk menentukan cara pengakhiran kehamilan sangat bergantung pada keadaan penderita; umur kehamilan; fasilitas yang tersedia; dan keterampilan operator. Indikasi abortus provokatus medisinalis:1,2,5 1. Hamil di luar kandungan (kehamilan ektopik) Bila kehamilan tidak dikeluarkan, maka akan terjadi pendesakan robekan pada tempat dimana hasil pembuahan menempel diikuti perdarahan apabila berada dalam rongga perut yang dapat menyebabkan kematian. 2. Hamil anggur (mola hidatidosa). Pada hamil anggur janin biasanya tumbuh jaringan seperti segugus buah anggur. Jaringan ini harus dikeluarkan dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan ulang untuk mendeteksi kemungkinan timbulnya keganasan trofoblas. 3. Cacat bawaan pada janin. Cacat bawaan yang berat dapat dideteksi secara dini. Kondisi janin yang tidak kompatibel dengan kehidupan termasuk anencephaly, trisomi 13, trisomi 18, agenesis renal, displasia thanatophoric, alobar holoprosencephaly, dan beberapa kasus hydrocephalis. Anomali janin yang paling umum ditemui dalam konseling aborsi termasuk paling anomali jantung janin, trisomi 2l; terbuka dan tertutup cacat tabung sarat; anggota badan, wajah, atau kelainan celah; atresia esofagus atau duodenum; dada dan cacat dinding perut, ginjal kistik atau hidronefrosis; intrakranial sugestif penyakit virus kalsitikasi; atau cacat diafragma. 4. Penyakit Ibu yang berat/menahun. Penyakit-penyakit dari ibu yang sedang mengandung, misalnya : Penyakit Jantung bawaan Hipertensi. Hipertensi bisa didapati sebelum kehamilan (1-5 persen) dan menetap semasa kehamilan atau dapat terjadi dengan kehamilan. Bila wanita normotensi mengalami kehamilan, maka hipertensi dapat terjadi sebesar 5-7 persen. Karena sistemik vascular resisted yang menurun pada awal kehamilan, maka hipertensi ini sering tidak didapati hingga pertengahan kedua kehamilan. Keadaan ini disebut dengan pregnancy-

4

induced

atau

gestational

hypertension.

Preklamsia

jelas

akan

meningkatkan resiko pada ibu (kira-kira 1-2 persen perubahan perdarahan SSP, konvulsi atau penyakit sistemik berat lainnya) dan retardasi perkembangan janin (10-15 persen). Morbiditas dan mortalitas ibu dan janin meningkat dengan berlanjutnya eklamsia. Penyakit ginjal kronik Tuberkulosis paru aktif Penyakit-penyakit metabolik, misalnya diabetes yang tidak terkontrol yang disertai komplikasi vaskuler, hipertiroid. Penyakit keganasan pada saluran jalan lahir, misalnya kanker serviks atau jika dengan adanya kehamilan akan menghalangi pengobatan untuk penyakit keganasan lainnya pada tubuh seperti kanker payudara. Hipertensi pulmonal baik itu primer atau sekunder yang berlangsung lama (Sindroma Eisenmenger). Jika hipertensi pulmonal diketahui pada awal kehamilan, penghentian kehamilan sangat dianjurkan. Sindroma penyakit vascular primer (primary vascular disease) atau emboli paru berulang akan menyebabkan mortalitas sekitar 30 - 70 persen. Bila ibu selamat angka kematian janin lehih dari 40%. Kematian ibu dapat terjadi setiap saat semasa kehamilan. Saat melahirkan dan dalam minggu pertama post partum merupakan masa yang sangat rawan. Sindroma Marfan Kemungkinan amat sulit untuk menegakkan sindroma Marfan, tetapi hal ini sangat penting dilakukan karena kehamilan sangat berbahaya pada wanita yang menderita sindroma Marfan. Pertama karena resiko kematian akibat ruptur aorta atau diseksi aorta sangat tinggi semasa kehamilan, terutama jika aorta sangat besar (lebih dari 40 mm pada ekokardiografi). Kedua angka harapan hidup wanita dengan sindroma Marfan berkurang kira-kira separuh dari normal, secara tidak langsung usia ibu akan terbatas. Ketiga setengah dari keturunannya akan dikenai sindroma ini. Alasan ini yang menyebabkan wanita dengan sindroma marfan 5

dianjurkan untuk tidak hamil. Resiko di atas juga menjadi rekomendasi untuk menghentikan kehamilan jika telah terjadi. 5. Hamil akibat perkosaan atau incest. 6. Penyakit kelainan jiwa yang berat disertai dengan kecenderungan untuk bunuh diri. Pada kasus seperti ini, sebelum melakukan tindakan abortus harus dikonsultasikan dengan psikiater. 7. Kegagalan kontrasepsi. Seperti diketahui sampai saat ini tidak ada satu pun kontrasepsi yang bebas dari kegagalan. Kehamilan akibat kegagalan kontrasepsi yang mengandung hormon estrogen dapat menyebabkan cacat bawaan.

IV. Penatataksanaan Abortus Provokatus Medisinalis Dalam garis besarnya dapat dibedakan antara kehamilan dalam triwulan ke I dan dalam triwulan ke 2. Perbedaannya ialah bahwa pada kehamilan sampai 12 minggu isi kandungan belum seberapa besar, sehingga tindakan untuk melahirkannya pada umumnya dapat dilakukan dalam salu tahap sesudah kanalis servikalis dilebarkan. Pada kehamilan yang lebih tua, karena besarnya janin, hal itu tidak mungkin dilakukan sehingga uterus perlu dirangsang untuk.1,6

A. Abortus buatan pada triwulan ke 1 (sampai 12 minggu) Dilatasi dan Kureatuse Setelah penderita ditidurkan dalam letak lithotomi dan dipersiapkan sebagaimana mestinya, dilakukan pemeriksaan bimanual untuk sekali lagi menentukan besar dan letaknya uterus serta ada atau tidaknya kelainan di samping uterus. Sesudah premedikasi diberikan, infus RL intravena dengan 10 IU oksitosin dipasang dan diteteskan perlahan-lahan untuk menimbulkan kontraksi dinding uterus dan mengecilkan bahaya perforasi. Kemudian dilakukan anestesia umum, Spekulum vagina dipasang 6

Tenakulum / cunam serviks menjepit dinding depan porsio uteri. Tenaculum / cunam dipegang dengan tangan kiri si penolong untuk mengadakan fiksasi pada serviks uteri. Sonde uterus dimasukkan dengan hati-hati untuk mengetahui letak dan panjangnya kavum uteri. Sesudah itu dilakukan dilatasi kanalis servikalis dengan busi Hegar dari nomor kecil hingga yang secukupnya, tetapi tidak lebih dari busi nomor 12 pada seorang multipara. Kerokan dilakukan secara sistematis menurut putaran jarum jam. Apabila kehamilan melebihi 6-7 minggu, digunakan kuret tumpul sebesar yang dapat dimasukkan. Setelah hasil konsepsi untuk sebagian besar lepas dari dinding uterus, maka hasil tersebut dapat dikeluarkan sebanyak mungkin dengan cunam abortus; kemudian dilakukan kerokan hati-hati dengan kuret tajam yang cukup besar. Apabila perlu, dimasukkan tampon ke dalam kavum uteri dan vagina, yang harus dikeluarkan esok harinya.1

Gambar 1. Memasukan busi hegar kedalam uterus

Dilatasi dalam dua tahap Pada seorang primigravida, atau pada seorang multipara yang memerlukan pembukaan kanalis servikalis yang lebih besar (misalnya untuk mengeluarkan mola hidatidosa) dapat dilakukan dilatasi dalam 2 tahap. Dimasukkan dahulu gagang laminaria dengan diameter 2-5 mm dalam kanalis servikalis dengan ujung atasnya masuk sedikit ke dalam kavum uteri 7

dan ujung bawahnya masih di vagina; kemudian dimasukkan tampon kasa ke dalam vagina. Gagang laminaria mempunyai daya untuk mengabsorpsi air, sehingga diameternya bertambah dan mengadakan pembukaan dengan perlahan-lahan pada kanalis servikalis. Sesudah 12 jam gagang dikeluarkan dan pembukaan dapat dibesarkan dengan busi Hegar. Bahaya pemakaian gagang laminaria ialah infeksi dan perdarahan mendadak. 1

Gambar 2. Pemasangan gagang Laminaria (A) salah ; (B) salah; (C) betul

Gambar 3. Letak 3 buah gagang laminaria dalam kanalis servikalis

8

Gambar 4. Prosedur dilatasi dan kuretase

Pengeluaran dengan cara penyedotan (suction curettage) Dalam tahun-tahun terakhir cara ini makin banyak digunakan oleh karena perdarahan tidak seberapa banyak dan bahaya perforasi lebih kecil. Setelah diadakan persiapan seperlunya dan letak serta besarnya uterus ditentukan dengan pemeriksaan bimanual, bibir depan serviks dipegang dengan cunam serviks, dan sonde uterus dimasukkan untuk mengetahui panjang dan jalannya kavum uteri. Anestesia umum dengan penthotal sodium, atau anestesia paracervical block dilakukan, dan 5 satuan oksitosin disuntikan pada korpus uteri di bawah kandung kencing dekat pada perbatasannya dengan serviks. Sesudah itu, jika perlu, diadakan dilatasi pada serviks untuk dapat memasukkan kuret penyedot yang besarnya didasarkan pada tuanya kehamilan (diameter antara 6 dan ll mm). Alat tersebut dimasukkan sampai setengah panjangnya kavum uteri dan kemudian ujung luar dipasang pada alat pengisap (aspirator).1

9

Gambar 5. Cara memasukkan kuret penyedot kedalam uterus

Gambar 6. Cairan amnion, plasenta, dan fetus disedot melalui kuret penyedot yang dihubungkan dengan aspirator.

Penyedotan dilakukan dengan tekanan negatif antara 40-80 cm dan kuret digerakkan naik-turun sambil memutar porosnya perlahan-lahan. Pada kehamilan kurang dari 10 minggu abortus dapat diselesaikan dalam 3-4 menit. Pada kehamilan yang lebih tua kantong amnion dibuka dahulu dengan kuret dan cairan serta isi lainnya diisap ke luar. Apabila masih ada yang tertinggal, sisa itu dikeluarkan dengan kuret biasa. 1,2,5,7

10

Gambar 7. Uterine aspirator

B. Abortus buatan pada triwulan kedua (kehamilan sesudah 16 minggu) Pemberian cairan NaCl hipertonik Abortus buatan pada kehamilan sesudah 16 minggu diusahakan dengan menimbulkan kontraksi-kontraksi uterus, supaya janin dan plasenta dapat dilahirkan secara spontan. Cara yang dilakukan ialah mengadakan amniosentesis melalui dinding perut dan memasukkan larutan NaCl hipertonik ke dalam kantong amnion; tindakan ini dibantu dengan pemberian infus intravena dengan oksitosin. Cara ini hendaknya jangan dilakukan pada kehamilan di bawali 16 minggu, oleh karena amniosentesis dalam hal ini sering gagal. Setelah dilakukan pemeriksaan untuk menentukan tinggi fundus uteri, kandung kencing dikosongkan. Infus intravena dengan cairan glukosa 5% dipasang; dan diselenggarakan desinfeksi dinding depan perut antara pusat dan simfisis. Tempat pada garis tengah antara fundus uteri dan simfisis diberi anestesia lokal dengan cairan Prokain atau Lidokain 1%, dan kemudian jarum spinal ditusukkan sampai menembus dinding uterus. Sebagai penuntun dipakai ultrasonograf untuk menghindari trauma pada plasenta berupa perdarahan retroplasenter dan sebagainya. Setelah stilet dikeluarkan dari jarum, maka cairan amnion mengalir ke luar sebagai bukti bahwa jarum telah memasuki kantong amnion. Dengan menjaga supaya posisi tidak berubah, ujung jarum dihubungkan dengan semprit untuk menyedot cairan amnion. Setelah itu 11

perlahan-lahan dimasukkan larutan NaC120% ke dalam kantong amnion, sambil mengawasi penderita dengan seksama; pasien diminta untuk segera melaporkan bila terasa sakit kepala, panas, nyeri perut yang keras, haus, atau semutan pada tangan dan muka. Apabila gejala-gejala ini timbul, pemberian larutan hipertonik dihentikan untuk beberapa menit atau untuk seterusnya. Dalam keadaan baik dimasukkan larutan NaCl dalam jumlah yang sama dengan cairan amnion yang dikeluarkan. Jika sesudah dimasukkan jarum spinal tidak keluar cairan amnion larutan NaCl hipertonik tidak boleh diberikan. Sesudah larutan NaCl masuk, disuntikkan 10 satuan oksitosin ke dalam infus intravena dengan larutan glukosa 5% sebanyak 500 ml yang sudah dipasang lebih dahulu; infus dijalankan dengan kecepatan 12-24 tetes dalam 1 menit. Apabila dalam 24 jam abortus belum mulai, pemberian infus dihentikan untuk 6 jam atau lebih untuk menghindarkan pengaruh antidiuretik. Selama infus diberikan pemasukan cairan secara oral dibatasi sampai 1500 ml. 1,2,5,7 Abortus rata-rata terjadi dalam 30 jam. Pada kurang lebih 10% 2 jam sesudah janin lahir, plasenta belum juga keluar. Dalam hal ini biasanya plasenta sudah terlepas dari dinding uterus dan dapat dikeluarkan dengan cunam abortus; apabila plasenta belum terlepas, perlu digunakan kuret tumpul besar. 1,2,5,7 Komplikasi yang dapat timbul dengan segera ialah apabila larutan garam masuk ke dalam rongga peritoneum atau ke dalam pembuluh darah, dan menimbulkan gejala-gejala konvulsi, penghentian kerja jantung (cardiac arrest), penghentian pernapasan, atau hipofibrinogenemia. Jika diadakan pengawasan yang seksama pada pemasukan larutan garam, komplikasikomplikasi yang berbahaya ini tidak perlu terjadi. Selanjutnya komplikasikomplikasi lain yang dapat timbul ialah perdarahan dan infeksi. 1,2,5,7 Pemberian Prostaglandin dan Prostaglandin sintetik Akhir-akhir ini dilakukan percobaan dengan pemberian prostaglandin untuk menghentikan kehamilan pada triwulan ke 2. Prostaglandin ialah suatu zat asam lemak yang terdapat pada jaringan-jaringan dan cairan-cairan

12

dalam tubuh, dan terdiri atas beberapa jenis. Jenis PGE dan PGF dapat merangsang otot uterus. Untuk memungkinkan terjadinya abortus PGF2 a 25 mg atau PGE2 sebanyak 5 mg dalam larutan 10 ml NaCl fisiologik disuntikan trans-abdominal ke dalam kantong amnion; dengan 1 atau 2 suntikan bisa terjadi abortus dalam 24 jam. Komplikasi yang dapat timbul ialah panas, enek, muntah, dan diarea; akan tetapi semua ini tidak mengkhawatirkan. Namun demikian pernah pula terjadi bronkospasmus. Pengobatan dengan prostaglandin telah banyak dilaksanakan akan tetapi masih diperlukan pengalaman lebih banyak, sebelum penggunaannya untuk menimbulkan abortus dapat dilakukan secara rutin. Sekarang sudah dapat dinyatakan, bahwa kelak ada kemungkinan besar Prostaglandin dapat mengganti penggunaan cairan NaCl hipertonik, karena lebih aman dan hasilnya cukup memuaskan. Prostaglandin sintetik adalah prostaglandin E1 (PGEI) analog, merupakan jenis obat yang memiliki efek sebagai obat anti inflamasi nonsteroid NSAID serta dalam penggunaan menginduksi kehamilan dimana menyebabkan terjadinya kontraksi rahim dan pematangan serviks yang dikenal dengan misoprostol. Alasan penggunaan prostaglandin sintentik ini dikarenakan oleh pertimbangan harga yang murah dan mudah didapatkan.

Oksitosin Obat induksi lain yang juga diberikan dengan efek kontraksi uterus, adalah oksitosin, pemberian dilakukan dengan cara drips. Lima unit oksitosin dilarutkan dalam setengah liter cairan, biasanya diberikan glukosa 5% dalam air, atau lebih baik dipakai suatu larutan garam berimbang (RL). Meskipun oleh beberapa penulis dinyatakan bahwa larutan yang lebih encer juga efektif, tetapi larutan (10 U dalam 1 liter) adalah mudah dipersiapkan, aman, efektif, dan mungkin paling sedikit memberikan keraguan dalam mempersiapkan dan pemberiannya. 1,2.5,7,9.10

Pemberian Antiprogestin dan Antimetabolit Antiprogestin dikenal dengan nama pil RU 486. Pil ini menimbulkan 13

abortus dengan cara menempati reseptor untuk progesterone yang dihasilkan oleh corpus luteum yang berfungsi mempertahankan kehamilan muda. Biasanya digabung dengan prostaglandin. Methotrexate merupakan obat golongan antimetabolit. Methotrexate bekerja dengan cara menghambat enzim dihidrofolic acid reductase, sehingga mempengaruhi sintesis, perbaikan dan replikasi DNA sel. Obat ini efektif pada sel-sel dengan aktivitas proliferasi tinggi seperti pada keganasan, sumsum tulang, sel embrional, sel mukosa buccal dan intestinal serta sel kandung kemih, biasanya dikombinasikan dengan prostaglandin. 3

V. Komplikasi Komplikasi biasanya bergantung kepada tehnik yang digunakan dalam melakukan tindakan abortus, dimana semakin invasif tindakan maka komplikasi yang ditimbulkan akan semakin besar, berikut komplikasi yang dapat timbul:1,2,5,7 a. Perforasi Dalam melakukan dilatasi dan kerokan harus diingat bahwa selalu ada kemungkinan terjadinya perforasi dinding uterus, yang dapat menjurus ke rongga peritoneum, atau ke kandung kemih. Oleh sebab itu letak uterus harus ditetapkan lebih dahulu dengan seksama pada awal tindakan. Bahaya perforasi ialah perdarahan dan peritonitis. Apabila terjadi perforasi atau diduga terjadi peristiwa itu, penderita harus diawasi dengan seksama dengan mengamati-amati keadaan umum, nadi, tekanan darah, kenaikan suhu, turunnya hemoglobin, dan keadaan perut bawah. Jika keadaan meragukan atau ada tanda-tanda bahaya, sebaiknya dilakukan laparotomi dengan segera. b. Luka pada serviks uteri Apabila serviks masih kaku dan dilatasi dipaksakan, maka dapat timbul sobekan pada serviks uteri yang perlu dijahit Apabila terjadi luka pada ostium uteri internum, maka akibat yang segera timbul ialah perdarahan yang memerlukan pemasangan tampon pada serviks dan vagina. Akibat jangka

14

panjang ialah kemungkinan timbulnya inkompetensi serviks. c. Pelekatan dalam kavum uteri (Sindrom Asherman) Merupakan sindrom post aborsi dengan adanya perlengketan rongga endometrium (adhesi) yang ditandai dengan amenore post aborsi. Dalam melakukan kerokan secara sempurna memerlukan pengalaman. Sisa-sisa hasil konsepsi harus dikeluarkan, tetapi jaringan miometrium jangan sampai terkerok, karena hal itu dapat mengakibatkan terjadinya perlekatan dinding kavum uteri di beberapa tempat. Sebaiknya kerokan dihentikan pada suatu tempat apabila pada tempat tersebut dirasakan bahwa jaringan tidak begitu lembut lagi. d. Perdarahan Kerokan pada kehamilan agak tua atau pada mola hidatidosa ada bahaya perdarahan. Oleh sebab itu, jika perlu hendaknya diselenggarakan transfusi darah dan sesudah kerokan selesai dimasukkan tampon kasa ke dalam uterus dan vagina. e. Infeksi Apabila syarat-syarat asepsis dan antisepsis diindahkan, bahaya infeksi tidak besar dan bisa dicegah. Aborsi dilakukan diawal kehamilan memiliki risiko lebih rendah resiko morbiditas dan mortalitasnya jika dibanding umur kehamilan yang lebih lanjut ini karenakan faktor ukuran janin dalam kandungan. Di Amerika Serikat, 88% dari aborsi dilakukan pada usia kehamilan 13 minggu atau kurang, 97% dari aborsi dilakukan dengan menggunakan metode bedah aborsi medisinalis pada usia awal kehamilan, dan sekarang beberapa tempat melaporkan lebih dari 50% dari protokol aborsi medis adalah disaat usia trimester pertama.3 Hampir tidak ada kontra indikasi mutlak yang diketahui adapun jika ada kontra indikasi aborsi yang memberikan resiko medis untuk pasien, maka kelanjutan dari kehamilan akan memberikan resiko yang lebih besar maka tetap lebih dipilih untuk menyelamatkan sang ibu dibandingkan melanjutkan kehamilan. Namun beberapa keadaan menjadi kontra indikasi baik bagi aborsi medisinalis maupun tindakan invasif lainya misalnya pada pasien dengan

15

gangguan pembekuan darah, penyakit hati yang berat, penyakit ginjal, penyakit jantung, dan penggunaan steroid kronis. Pada pasien yang tidak memiliki akses kelayanan darurat dan tidak ada keluarga/kerabat yang bertanggung jawab atas pasien. Pada pasien dengan ketidakstabilan hemodinamik, anemia berat, atau trombositopenia berat tidak dianjurkan melakukan aborsi dengan metode pembedahan. Adanya riwayat operasi sesar juga menjadi pertimbangan namun beberapa literatur mengatakan aman untuk tetap melakukan abortus. Tindakan abortus buatan tidak terlepas dari kemungkinan timbulnya komplikasi, antara lain: dapat terjadi refleks vagal yang menimbulkan muntah-muntah, bradikardia (penurunan detak jantung), dan cardiac arrest (henti jantung), Rahim robek. Serviks (leher rahim) robek yang biasanya disebabkan oleh alat (instrumen) perdarahan yang biasanya disebabkan sisa jaringan hasil pembuahan, lnfeksi dapat terjadi sebagai salah satu komplikasi dan adanya kelainan pembekuan darah.3 VI. Penatalaksanaan Paska Abortus Observasi Post-abortus di rumah sakit Pasca abortus pasien jarang pernah membutuhkan perawatan inap. Paska abortus pasien di observasi selama 30 menit perhatikan tanda vital, perdarahan dan jika ada nyeri perut yang tidak biasa maka lakukan pemeriksaan. Jika pasien memiliki kondisi medis yang memerlukan rawat inap. maka indikasi untuk rawat inap untuk kondisi yang harus dilakukan. Pasien dengan komplikasi medis dari abortus kehamilan seperti perforasi dirawat sesuai dengan perawatan yang diperlukan. Evaluasi awal dengan tes serial hemoglobin, pemeriksaan terhadap tanda-tanda vital seperti tekanan darah, nadi, dan ultrasonografi dapat diulangi membantu menentukan diagnosis. Seorang pasien dengan suhu tubuh meningkat baik setelah insersi laminaria atau langsung pada periode pasca operasi harus dievaluasi untuk dehidrasi, reaksi obat, infeksi, dan sepsis. Evaluasi intra uterin juga dapat membantu menentukan kelengkapan prosedur perawatan post abortus. Profilaksis dengan pemberian antibiotik spektrum luas diberikan selama minimal 24 jam. Pasien dengan hasil tes kehamilan positif 3-4 16

minggu postabortus harus dievaluasi untuk neoplama trofoblas gestasional. Perawatan dari segi psikis sangat diperlukan terutama karena pasien dengan abortus biasanya mengalami depresi, dimana dengan konseling dan perawatan psikologi diharapkan pasien dapat menerima konsekwensi dari keputusan dan meningkatkan kepercayaan diri dan memperbaiki stabilitas emosional. Dianjurkan untuk segera melakukan kontrasepsi yang disesuaikan dengan keadaan pasien, mengingat resiko untuk kehamilan selanjutnya.3

VII. Kesimpulan Abortus medisinalis adalah tindakan mengakhiri kehamilan atas indikasi medik yaitu kehamilan yang dapat membahayakan jiwa ibu, misalnya karena pasien menderita penyakit jantung yang berat atau peristiwa pengakhiran kehamilan karena penyakit atau kelainan yang serius pada ibu dan jika kehamilan dilanjutkan akan membahayakan jiwa ibu. Frekuensi abortus secara umum sukar ditentukan karena abortus buatan banyak tidak dilaporkan, kecuali apabila terjadi komplikasi. Belum ada data yang valid tentang abortus medisinalis Abortus spontan kadang-kadang hanya disertai gejala dan tanda ringan, sehingga pertolongan medik tidak diperlukan dan kejadian ini dianggap sebagai terlambat haid. Sulit untuk mendapatkan data tentang abortus provokatus dengan atau tampa indikasi medis (selanjutnya akan ditulis : abortus) di Indonesia. Paling sedikit ada dua sebabnya. Yang pertama, abortus dilakukan secara sembunyi. Yang kedua, bila timbul komplikasi hanya dilaporkan komplikasinya saja. Tidak abortusnya. Indikasi abortus medisinalis 1. Hamil di luar kandungan (kehamilan ektopik) 2. Hamil anggur (mola hidatidosa) 3. Cacat bawaan pada janin 4. Penyakit-penyakit dari ibu yang sedang mengandung, misalnya : Penyakit jantung organik dengan kegagalan jantung Hipertensi Penyakit ginjal kronik 17

Tuberkulosis paru aktif Penyakit-penyakit metabolik, misalnya diabetes yang tidak terkontrol yang disertai komplikasi vaskuler, hipertiroid

Penyakit keganasan pada saluran jalan lahir, misalnya kanker serviks atau jika dengan adanya kehamilan akan menghalangi pengobatan untuk penyakit keganasan lainnya pada tubuh seperti kanker payudara.

Hipertensi pulmonal baik itu primer atau sekunder yang berlangsung lama (Sindroma Eisenmenger). Sindroma penyakit vascular primer (primary vascular disease) atau emboli paru berulang akan menyebabkan mortalitas sekitar 30 - 70 persen.

Sindroma Marfan

5. Hamil akibat perkosaan atau incest 6. Penyakit kelainan jiwa yang berat disertai dengan kecenderungan untuk bunuh diri 7. Kegagalan kontrasepsi. Abortus buatan biasanya dilakukan dengan berbagai cara tergantung dari umur kehamialn itu sendiri. Pada triwulan pertama biasa dilakukan kuretase dan dilatasi, dilatasi dua tahap dan pengeluaran dengan cara penyedotan. Sedangkan pada triwulan kedua digunakan pemberian NaCl hipertonik, pemberian prostaglandin, prostaglandin sintetik (inisoprostol), oksitosin, pemberian antiprogestin dan antimetabolit. Perawatan pasca abortus sangat penting untuk mengevaluasi apakah ada komplikasi akibat tindakan abortus medisinalis. Konseling menganjurkan kepada pasien untuk segera melakukan kontrasepsi yang disesuaikan dengan keadaan pasien, mengingat resiko untuk kehamilan selanjutnya. Perawatan dari segi psikis sangat diperlukan terutama karena pasien dengan abortus biasanya mengalami depresi, dimana dengan konseling dan perawatan psikologi diharapkan pasien dapat menerima konsekwensi dari keputusan dan meningkatkan kepercayaan diri dan memperbaiki stabilitas emosional.

18

DAFTAR PUSTAKA 1. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 2002. p 795-807. 2. Lane, Maiden. Aborsi Di Indonesia. Dalam Kesimpulan. Guttmacher Institute.New York. 2008. p 1- 6. 3. Trupin,Suzanne R,MD. Elective Abortion. Women And Healt Practice. Clinical Professor Of Obsterti and Gynecology. Universiti of Illionis.2010. p 1-7 4. Azhari, Dr. Sp.OG. Masalah Abortus Dan Kesehatan Reproduksi Perempuan. Bagian Obstetri & Ginekologi. FK UNSRI/ RSMH. Palembang p 1-19. 5. Studdeford, William Emery,MD. The Common Medical Indication For Therapeutic Abortion. Bellevue Hospita1.1950. p 1-18. 6. Jeefcoat, T.N.A, MD. Therapeutic Abortion and Sterilization. Dep. Obtetri and Gynecology. University of Liverpool. 1960. p 1-7. 7. Bazmi, Shabnam,MD. Comparative Study of Therapeutic Abortion. Department of Forensic Medicine.Tehran University of Medical Sciences. Iran. P 1-8. 8. Anwar, Bahri. Wanita Kehamilan Dan Penyakit Jantung. Bagian Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler Fakultas Kedokteran. Universitas Sumatera Utara. P 1-33. 9. Goldberg,AB. Misoprostol and pregnancy. N. Engl. J. Med.Cite in 111-112010. http://en.wikipedia.org/,iki/Misoprostol. 10. Azrianti, Eka. Oksitosin. Cite in, l 1-11-2010. At. http//trimanjuarso.\vp.com/hamil/2008/02

19

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA REFERAT MEI 2011 ABORTUS MEDISINALIS

Oleh: Arini Estiastuti 110 206 014

Pembimbing : dr. Heryzal

Supervisor : dr. Nuraini Abidin, Sp.OG

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA BAGIAN OBSTETRIC DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR 2011

20

DAFTAR ISI

I. Pendahuluan ...................................................................................... II. Insiden ............................................................................................... III. Indikasi .............................................................................................. IV. Penatataksanaan Abortus Provokatus Medisinalis .............................. a. Abortus buatan pada triwulan ke 1 (sampai 12 minggu) ................ b. Abortus buatan pada triwulan kedua (kehamilan sesudah 16 minggu) ................................................... V. Komplikasi ........................................................................................ a. Perforasi ....................................................................................... b. Luka pada serviks uteri................................................................. c. Pelekatan dalam kavum uteri (Sindrom Asherman) ...................... d. Perdarahan ................................................................................... e. Infeksi .......................................................................................... f. Penatalaksanaan Paska Abortus ................................................... g. Kesimpulan .................................................................................. Daftar Pustaka

1 2 3 6 6 11 14 14 14 15 15 15 16 17

21