repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 39587... · bab ii tinjauan pustaka...

12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stabilitas Produk Farmasi Stabilitas produk farmasi dapat didefinisikan sebagai kemampuan suatu produk untuk bertahan dalam batas yang ditetapkan sepanjang periode penyimpanan dan penggunaan, sifat dan karakteristiknya sama dengan yang dimilikinya pada saat dibuat (Vadas, 2000). Banyak faktor yang mempengaruhi stabilitas produk farmasi, seperti stabilitas dari bahan aktif, interaksi antara bahan aktif dan bahan tambahan, proses pembuatan, proses pengemasan, dan kondisi lingkungan selama pengangkutan, penyimpanan, dan penanganan, dan jangka waktu produk antara pembuatan hingga pemakaian (Vadas, 2000). Stabilitas produk obat dibagi menjadi stabilitas secara kimia dan stabilitas secara fisika. Faktor-faktor fisika seperti panas, cahaya, dan kelembapan, mungkin akan menyebabkan atau mempercepat reaksi kimia, maka setiap menentukan stabilitas kimia, stabilitas fisika juga harus ditentukan (Vadas, 2000). Stabilitas fisika adalah mengevaluasi perubahan sifat fisika dari suatu produk yang tergantung waktu (periode penyimpanan). Contoh dari perubahan fisika antara lain migrasi (perubahan) warna, perubahan rasa, perubahan bau, perubahan tekstur atau penampilan. Evaluasi dari uji stabilitas fisika meliputi: pemeriksaan organoleptis, homogenitas, pH, bobot jenis (Vadas, 2000). Stabilitas kimia suatu obat adalah lamanya waktu suatu obat untuk mempertahanakan integritas kimia dan potensinya seperti yang tercantum pada etiket dalam batas waktu yang ditentukan. Pengumpulan dan pengolahan data merupakan langkah menentukan baik buruknya sediaan yang dihasilkan, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya parameter lain yang harus diperhatikan. Data yang harus dikumpulkan untuk jenis sediaan yang berbeda Universitas Sumatera Utara

Upload: others

Post on 27-Feb-2020

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stabilitas Produk Farmasi

Stabilitas produk farmasi dapat didefinisikan sebagai kemampuan suatu produk untuk

bertahan dalam batas yang ditetapkan sepanjang periode penyimpanan dan penggunaan, sifat

dan karakteristiknya sama dengan yang dimilikinya pada saat dibuat (Vadas, 2000).

Banyak faktor yang mempengaruhi stabilitas produk farmasi, seperti stabilitas dari

bahan aktif, interaksi antara bahan aktif dan bahan tambahan, proses pembuatan, proses

pengemasan, dan kondisi lingkungan selama pengangkutan, penyimpanan, dan penanganan,

dan jangka waktu produk antara pembuatan hingga pemakaian (Vadas, 2000).

Stabilitas produk obat dibagi menjadi stabilitas secara kimia dan stabilitas secara fisika.

Faktor-faktor fisika seperti panas, cahaya, dan kelembapan, mungkin akan menyebabkan atau

mempercepat reaksi kimia, maka setiap menentukan stabilitas kimia, stabilitas fisika juga

harus ditentukan (Vadas, 2000).

Stabilitas fisika adalah mengevaluasi perubahan sifat fisika dari suatu produk yang

tergantung waktu (periode penyimpanan). Contoh dari perubahan fisika antara lain migrasi

(perubahan) warna, perubahan rasa, perubahan bau, perubahan tekstur atau penampilan.

Evaluasi dari uji stabilitas fisika meliputi: pemeriksaan organoleptis, homogenitas, pH, bobot

jenis (Vadas, 2000).

Stabilitas kimia suatu obat adalah lamanya waktu suatu obat untuk mempertahanakan

integritas kimia dan potensinya seperti yang tercantum pada etiket dalam batas waktu yang

ditentukan. Pengumpulan dan pengolahan data merupakan langkah menentukan baik

buruknya sediaan yang dihasilkan, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya parameter

lain yang harus diperhatikan. Data yang harus dikumpulkan untuk jenis sediaan yang berbeda

Universitas Sumatera Utara

tidak sama, begitu juga untuk jenis sediaan sama tetapi cara pemberiannya lain. Jadi sangat

bervariasi tergantung pada jenis sediaan, cara pemberian, stabilitas zat aktif dan lain-lain

(Attwood dan Florence, 1988).

Data yang paling dibutuhkan adalah data sifat, kimia, kimia fisik, dan kerja

farmakologi zat aktif (data primer), didukung sifat zat pembantu (data sekunder). Secara

reaksi kimia zat aktif dapat terurai karena beberapa faktor diantaranya ialah oksigen

(oksidasi), air (hidrolisa), suhu (oksidasi), cahaya (fotolisis), karbondioksida (turunnya pH

larutan), sesepora ion logam sebagai katalisator reaksi oksidasi. Jadi jelasnya faktor luar juga

mempengaruhi ketidakstabilan kimia seperti, suhu, kelembaban udara dan cahaya (Attwood

dan Florence, 1988).

Stabilitas mikrobiologi suatu sediaan adalah keadaan tetap di mana sediaan bebas dari

mikroorganisme atau memenuhi syarat batas miroorganisme hingga batas waktu tertentu.

Terdapat berbagai macam zat aktif obat, zat tambahan serta berbagai bentuk sediaan dan cara

pemberian obat. Tiap zat, cara pemberian dan bentuk sediaan memiliki karakteristik fisika-

kimia tersendiri dan umumnya rentan terhadap kontaminasi mikroorganisme dan/atau

memang sudah mengandung mikroorganisme yang dapat mempengaruhi mutu sediaan karena

berpotensi menyebabkan penyakit, efek yang tidak diharapkan pada terapi atau penggunaan

obat dan kosmetik. Stabilitas mikrobiologi diperlukan oleh suatu sediaan farmasi untuk

menjaga atau mempertahankan jumlah dan menekan pertumbuhan mikroorgansme yang

terdapat dalam sediaan tersebut hingga jangka waktu tertentu yang diinginkan (WHO, 1977).

2.2 Sirup

Sirup adalah sediaan pekat dalam air dari gula atau pengganti gula dengan atau tanpa

bahan penambahan bahan pewangi, dan zat obat. Sirup merupakan sediaan yang

menyenangkan untuk pemberian suatu bentuk cairan dari suatu obat yang rasanya tidak enak,

sirup efektif dalam pemberian obat untuk anak-anak, karena rasanya yang enak biasanya

menghilangkan keengganan pada anak-anak untuk meminum obat (Ansel, 1989).

Universitas Sumatera Utara

Menurut Nairn, J.G. (2000), sirup merupakan larutan pekat dari gula seperti larupan

sukrosa dalam air ataupun dalam larutan pembawa lainnya. Ketika pembuatatan sirup hanya

menggunakan air maka dinamakan sirup sederharna. Selain penggunaan sukrosa sukrosa,

dapat ditambahkan poliol yang lainnya seperti: gliserin atau sorbitol yang dapat

meningkatkan stabilitas sirup. Sirup yang mengandung obat disebut juga dengan sirup obat.

Pembuatan sirup dapat menggunakan gliserin, metil paraben, asam benzoat, dan sodium

benzoat untuk mencegah pertumbuhan bakteri dan jamur (Nairn, J.G., 2000).

2.3 Alginat

Asam alginat diekstraksi dari ganggang coklat dan dinetralisasikan dengan natrium

bikarbonat untuk membentuk natrium alginat. Karakteristik natrium alginat adalah sebagai

berikut :

Pemerian : Serbuk tidak berbau dan berasa, putih sampai coklat kekuningan pucat.

Kelarutan : Larut dalam air, praktis tidak larut dalam etanol, eter, pelarut organik dan

asam.

Tak tercampurkan : Dengan turunan acridine, kristal violet, fenilmerkuri asetat dan nitrat,

garam kalsium, logam berat (Rowe, dkk., 2003)

Natrium alginat adalah kopolimer biner yang terdiri dari residu β-D-mannuronat (M)

dan α-L-guluronat (G) yang tersusun dalam blok-blok yang membentuk rantai linier.

Universitas Sumatera Utara

Kedua unit tersebut berikatan pada atom C1 dan atom C2 dengan susunan

homopolimer dari masing – masing residu (MM dan GG) ataupun dalam blok – blok

heteropolimer (MG) (Rees dan Welsh,1977). Natrium alginat telah digunakan secara luas dalam formulasi obat oral dan topikal

yaitu sebagai pengikat dan penghancur dalam formulasi tablet, sebagai pelincir dalam

formulasi kapsul, sebagai zat pensuspensi dalam formulasi krim, dan sebagai zat penstabil

dalam formulasi emulsi minyak dalam air (Rowe, et al., 2003).

2.4 Lambung

Menurut Bringman et al. (1995); Gartner dan Hiatt (2001), lambung adalah bagian

dari saluran yang dapat berdilatasi, berstruktur seperti kantung yang berfungsi mencairkan

makanan dilanjutkan dengan proses pencernaan yang dibantu oleh asam hidroklorida (HCl)

Gambar 2.1. Rumus bangun β-D-mannuronat dan α-L-guluronat (Rees dan Welsh,1977)

Universitas Sumatera Utara

dan enzim-enzim seperti pepsin, renin, lipase dan hormon parakrin. Bolus makanan melewati

saluran gastro-eksofagus menuju lambung kemudian dicampur dengan cairan lambung yang

terdiri atas mukus, air, HCl dan enzim-enzim pencernaan.

2.4.1 Anatomi Lambung

Morfologi organ tubuh tikus analog dengan morfologi organ manusia. Oleh karena itu,

sering digunakan sebagai hewan pengujian obat sebelum diberikan pada manusia. Salah satu

organ tikus yang analogis dengan organ manusia adalah lambung (Malole, et al., 1989).

Lambung tikus terletak di sebelah kiri ruang abdomen yang berkontak langsung dengan

hati. Menurut Miller (1996), tepi bagian tengah yang berbentuk cekung dari lambung disebut

kurvatora minor atau lekukan kecil. Tepi bagian lateral yang berbentuk cembung disebut

kurvatora mayor atau lekukan besar. Menurut Brown dan Hardisty (1990) serta Frappier

(1998), lambung tikus dibedakan menjadi dua bagian yaitu lambung depan (bagian tipis di

sebelah kiri) dan lambung kelenjar. Lambung depan umumnya dikenal dengan lambung

nonkelenjar.

Bringman et al. (1995); Miller (1996) menyatakan bahwa secara anatomis lambung

mamalia dibagi atas 4 regio, yaitu cardia, fundus, badan atau corpus dan pilorus. Cardia,

merupakan bagian dengan luas kecil dan zona pembatas dekat saluran gastro-eksofagus.

Fundus, pada mamalia merupakan regio yang berbentuk kubah terletak sebelah kiri dari

esofagus dan banyak terdapat sel kelenjar. Badan atau corpus, merupakan bagian terluas dari

lambung (kurang lebih 2/3 bagian lambung) yang membentang dari fundus inferior sampai ke

pilorus. Pilorus merupakan bagian yang paling akhir. Pilorus berbentuk corong dengan

perluasan kerucut, pada sambungan dengan badan disebut pyloric antrum dan batang

corongnya disebut pyloric canal. Bagian akhir pylorus terdapat sphinter yang berfungsi

mengatur pelepasan kimus ke dalam duodenum. Berikut merupakan gambaran bentuk

anatomis dari lambung dengan regio-regionya:

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2 Anatomi Eksternal dan Internal Lambung Mamalia. (Tortora dan Grabowski, 1996)

2.4.2 Histologi Lambung

Lambung merupakan organ yang mencerna makanan dan mensekresikan hormon.

Pemeriksaan secara kasar menunjukkan bahwa lambung tersusun atas empat lapisan, yaitu

kardia, fundus, badan, dan pilorus (Junqueira, et al. 1995).

Berdasarkan histologi, dinding saluran pencernaan terdiri dari empat lapisan yaitu

sebelah dalam sekali lapisan mukosa, lalu berturut-turut ke arah luar lapisan submukosa,

lapisan muskularis (otot) dan lapisan yang paling luar sekali adalah lapisan serosa atau

adventisia. Setiap lapisan terdiri atas beberapa komponen yang mempunyai struktur dan

fungsi yang berbeda-beda. (Beveleander, et al., 1988).

2.4.2.1 Mukosa

Membran mukosa lambung berbentuk irreguler seperti tiang, membentuk lipatan

longitudinal yang disebut rugae dan jumlahnya tergantung pada tinggi rendahnya rentangan

organnya. Membran mukosa terdiri dari tiga komponen yaitu epitelium, lamina propia dan

muskularis mukosa. Epitel permukaan mukosa ditandai oleh adanya lubang sumuran yang

Universitas Sumatera Utara

terletak rapat satu dengan yang lain dan dilapisi epitel sejenis. Bentuk dan kedalaman dari

sumuran ini serta sifat kelenjarnya berbeda pada tiap bagian lambung.

Kelenjar lambung berbentuk simpel dan tipe tubular yang meluas hingga basal lubang

sumuran. Kelenjar lambung dibagi menjadi tiga daerah yaitu isthmus, leher dan basal. Pada

masing-masing daerah mengandung beberapa jenis sel yang berbeda. Tiap kelenjar lambung

terbentuk dari empat jenis sel yaitu: sel-sel lendir leher, sel-sel utama (Chief cell/peptic cells),

sel-sel parietal (sel oksintik) dan sel-sel enteroendokrin.

Sel-sel lendir leher berukuran lebih kecil dari sel permukaan, bersifat basofil,

jumlahnya relatif sedikit, mempunyai dasar yang lebar dan menyempit di bagian daerah

puncaknya. Sel lendir leher berfungsi mensekresikan mukus. Sel-sel utama (Chief cell/peptic

cells) melapisi bagian bawah kelenjar lambung dan mempunyai bentuk sel serosa yang khas.

Sel ini mengandung bahan basofil, sebagian besar mitokondria dan granula sekresi yang

mengandung pepsinogen, zat pemula pepsin. Eksositosi pepsinogen dipengaruhi rangsangan

saraf dan hormon. Sel-sel parietal memproduksi pendahulu dari asam hidroklorat (HCl) dan

faktor intrinsik lambung. Letaknya tersebar pada lumen dipisahkan oleh sel-sel utama (Chief

cell).

Sel-sel enteroendokrin berjumlah lebih sedikit dan letaknya tersebar di antara

membran dasar dan sel-sel utama (Chief cell). Sel-sel ini berfungsi mengatur komposisi

sekresi lambung (air, enzim dan kadar elektrolit), motilitas dinding usus, proses penyerapan

dan penggunaan makanan (Beveleander, et al. 1988; Bringman, et al. 1995; Gartner dan

Hiatt, 2001).

2.4.2.2 Submukosa Di bawah lapisan mukosa terdapat lapisan submukosa. Lapisan submukosa umumnya lebih

luas, bersifat fibroelastis dan terdiri dari kelenjar, pembuluh darah, pembuluh limfatika dan

saraf (Bringman, 1995). Pada lapisan ini terdapat kumpulan pembuluh darah kecil yang

Universitas Sumatera Utara

dikenal dengan pleksus Heller dan juga meliputi sebagian besar pembuluh limfatika dan

pleksus saraf (pleksus Meissner) (Beveleander, et al., 1988).

2.4.2.3 Tunika muskularis

Tunika muskularis terdiri dari tiga lapis otot. Lapisan dalam berupa lapisan oblique,

lapisan tengah berupa lapisan otot sirkuler dan lapisan luar berupa lapis otot longitudinal.

Antara lapis sirkuler dan lapisan longitudinal dipisahkan oleh pleksus saraf mesenterium dan

sel ganglion parasimpatis (pleksus Auerbach’s) yang menginervasi kedua lapis otot (Gartner

dan Hiatt, 2001).

2.4.2.4 Serosa

Lapisan paling luar yang melapisi saluran pencernaan adalah adventisia atau serosa.

Adventisia atau serosa tersusun dari jaringan longgar yang sering mengandung lemak,

pembuluh darah dan saraf (Beveleander, 1988).

2.4.3 Fisiologi Lambung

Lambung memiliki dua fungsi utama yaitu, fungsi pencernaan dan fungsi motorik.

Fungsi pencernaan dan sekresi lambung berkaitan dengan pencernaan protein, sintesis dan

sekresi enzim-enzim pencernaan. Selain mengandung sel-sel yang mensekresi mukus,

mukosa lambung juga mengandung dua tipe kelenjar tubular yang penting yaitu kelenjar

oksintik (gastrik) dan kelenjar pilorik. Kelenjar oksintik terletak pada bagian corpus dan

fundus lambung, meliputi 80% bagian proksimal lambung. Kelenjar pilorik terletak pada

bagian antral lambung. Kelenjar oksintik bertanggung jawab membentuk asam dengan

mensekresikan mukus, asam hidroklorida (HCl), faktor intrinsik dan pepsinogen. Kelenjar

pilorik berfungsi mensekresikan mukus untuk melindungi mukosa pilorus, juga beberapa

pepsinogen, renin, lipase lambung dan hormon gastrin (Guyton dan Hall, 1997).

Fungsi motorik lambung terdiri atas (1) penyimpanan sejumlah besar makanan sampai

makanan dapat diproses dalam duodenum, (2) pencampuran makanan dengan sekresi

Universitas Sumatera Utara

lambung hingga membentuk suatu campuran setengah cair yang disebut kimus (chyme) dan

(3) pengosongan makanan dari lambung ke dalam usus dengan lambat pada kecepatan yang

sesuai untuk pencernaan dan absorbsi dalam usus halus (Wilson dan Lester, 1994; Guyton

dan Hall, 1997).

2.4.4 Pertahanan Mukosa Lambung

Menurut Malik (1992), mukosa lambung merupakan sawar antara tubuh dengan

berbagai bahan, termasuk makanan, produk-produk pencernaan, toksin, obat-obatan dan

mikroorganisme yang masuk lewat saluran pencernaan. Bahan-bahan yang berasal dari luar

tubuh maupun produk-produk pencernaan berupa asam dan enzim proteolitik yang dapat

merusak jaringan mukosa lambung. Oleh karena itu, lambung memiliki sistem protektif yang

berlapis-lapis dan sangat efektif untuk mempertahankan keutuhan mukosa lambung. Proteksi

(faktor pertahanan) tersebut dilakukan oleh adanya beberapa faktor:

1. Faktor pre-epitelial

Faktor pre-epitel merupakan faktor proteksi paling depan saluran pencernaan yang

letaknya meliputi secara merata lapisan permukaan sel epitel mukosa saluran pencernaan.

Cairan mukus dan bikarbonat yang disekresikan oleh kelenjar-kelenjar dalam mukosa

lambung berfungsi sebagai faktor preepitelial untuk proteksi lapisan epitel terhadap

enzim-enzim proteolitik dan asam lambung. Bikarbonat berfungsi menetralisir keasaman

di sekitar lapisan sel epitel. Suasana netral dibutuhkan agar enzim-enzim dan transpor aktif

di sekeliling dan dalam lapisan sel epitel mukosa dapat bekerja dengan baik (Guyton dan

Hall, 1997).

Menurut Guyton dan Hall (1997), mukus adalah sekresi kental yang terutama terdiri

dari air, elektrolit dan campuran beberapa glikoprotein, yang terdiri dari sejumlah besar

polisakarida yang berikatan dengan protein dalam jumlah yang lebih sedikit. Menurut teori

dua komponen sawar mukus dari Hollander, lapisan mukus lambung yang tebal dan liat

Universitas Sumatera Utara

merupakan garis depan pertahanan terhadap autodigesti. Lapisan ini memberikan

perlindungan terhadap trauma mekanis dan kimia (Wilson dan Lester 1994). Mukus

menutupi lumen saluran pencernaan yang berfungsi sebagai proteksi mukosa. Fungsi

mukus sebagai proteksi mukosa: (a) pelicin yang menghambat kerusakan mekanis (cairan

dan benda keras), (b) sawar terhadap asam, (c) sawar terhadap enzim proteolitik (pepsin)

dan (d) pertahanan terhadap organisme patogen (Julius 1992).

2. Faktor epitelial

Integritas dan regenerasi lapisan sel epitel berperan penting dalam fungsi sekresi dan

absorbsi dalam saluran pencernaan. Kerusakan sedikit pada mukosa (gastritis/duodenitis)

dapat diperbaiki dengan mempercepat penggantian sel-sel yang rusak. Sel-sel epitel

saluran pencernaan terus menerus mengalami pergantian dan regenerasi setiap 1-3 hari

dipengaruhi oleh banyak faktor (Malik, 1992).

3. Faktor sub-epitelial

Integritas mukosa lambung terjadi akibat penyediaan glukosa dan oksigen secara terus

menerus. Aliran darah mukosa mempertahankan mukosa lambung melalui oksigenasi

jaringan yang memadai dan sebagai sumber energi. Selain itu, fungsi aliran darah mukosa

adalah untuk membuang atau sebagai buffer difusi balik ion H+.

Sistem pencernaan juga diproteksi oleh sistem imun baik lokal maupun sistemik serta

sistem limfe terhadap berbagai toksin, obat dan bahan lainnya. Sistem imun lokal terdapat

dalam saluran pencernaan, sedangkan sistem imun sistemik terdapat dalam sistem peredaran

darah. Komponen dari sistem imun dalam saluran cerna adalah sel-sel radang lokal saluran

cerna (sel plasma, limfosit, monosit) dan jaringan limpoid yang bersifat sistemik (Malik,

1992).

Selain beberapa faktor pertahanan di atas, pada selaput lendir saluran pencernaan juga

terdapat komponen protektif mukosa yaitu prostaglandin (PG) (Julius 1992). Prostaglandin

Universitas Sumatera Utara

merupakan kelompok senyawa turunan asam lemak arakhidonat yang dihasilkan melaui jalur

siklooksigenase (COX). Prostaglandin meningkatkan resistensi selaput lendir terhadap iritasi

mekanis, osmotik, termis atau kimiawi dengan cara regulasi sekresi asam lambung, sekresi

mukus, bikarbonat dan aliran darah mukosa. Dalam suatu telah telah ditunjukkan, bahwa

pengurangan prostaglandin pada selaput lendir lambung memicu terjadinya ulkus. Hal ini

membuktikan salah satu peranan penting prostaglandin untuk memelihara fungsi sawar

selaput lendir (Kartasasmita, 2002).

2.4.5 Patologi Lambung

Menurut Guyton dan Hall (1997), beberapa gangguan lambung yang sering terjadi

antara lain ulkus lambung dan gastritis. Menurut Julius (1992), adanya gangguan-gangguan

pada lambung seperti gastritis, erosi dan ulkus turut dipengaruhi oleh faktor perimbangan

antara faktor agresif (asam dan pepsin) dan faktor pertahanan (defensif) dari mukosa. Faktor

pertahanan ini antara lain adalah pembentukan dan sekresi mukus, sekresi bikarbonat, aliran

darah mukosa dan regenerasi epitel. Kejadian ulkus lambung lebih dipengaruhi oleh

gangguan faktor pertahanan mukosa (defensif) saluran cerna dibandingkan faktor agresif

(asam dan pepsin). Apabila pertahanan mukosa terganggu maka baru timbul ulkus peptik.

Di samping faktor agresif dan faktor pertahanan, ada faktor lain yang termasuk faktor

predisposisi (kontribusi) untuk terjadinya ulkus peptik antara lain daerah geografis, jenis

kelamin, faktor stress, herediter, merokok, obat-obatan dan infeksi bakteria (Julius, 1992).

Gangguan lambung yang juga sering terjadi adalah gastritis. Gastritis adalah

inflammasi (peradangan) dari mukosa lambung termasuk gastritis erosif yang disebabkan

oleh iritasi, refluks cairan kandung empedu dan pankreas, hemorrhagic gastritis, infectious

gastritis dan atrofi mukosa lambung (Guyton dan Hall 1997). Mekanisme kerusakan mukosa

pada gastritis diakibatkan oleh ketidakseimbangan antara faktor-faktor pencernaan, seperti

Universitas Sumatera Utara

asam lambung dan pepsin dengan produksi mukus, bikarbonat dan aliran darah (Julius,

1992).

Gastritis dapat hanya superfisial atau dapat menembus lebih dalam ke mukosa

lambung. Beberapa bahan yang dimakan seperti alkohol dan aspirin dapat sangat merusak

sawar pertahanan lambung. Bahan-bahan tersebut dapat merusak mukosa kelenjar dan

sambungan epitel yang rapat (tight epithelial junctions) di antara sel pelapis lambung hingga

sering menyebabkan gastritis akut atau kronis berat (Guyton dan Hall, 1997).

2.5 Efek Samping HCl pada Lambung

Meningkatnya asam lambung akan mengakibatkan perubahan pepsinogen menjadi

pepsin yang akan menurunkan fungsi sawar lambung. Sawar lambung yang kehilangan

fungsinya tersebut akan mengakibatkan penghancuran kapiler dan vena darah sehingga akan

terjadi pendarahan. Asam yang tinggi tersebut juga mencetuskan terlepasnya histamin

sehingga terjadi vasodilatasi yang meningkatkan pendarahan (Price and Wilson, 1995).

Universitas Sumatera Utara