84661877 referat malformation anorectal
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Kelainan bentuk anorektum merupakan salah satu dari berbagai kelainan
bawaan yang dapat ditemukan pada bayi. Kelainan bawaan ini terjadi akibat adanya
gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik di daerah anus, rektum
bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu ke empat sampai
ke enam usia kehamilan1.
Malformasi anorektal merupakan suatu spektrum dari anomali kongenital
yang terdiri dari anus imperforata dan kloaka persisten. Anus imperforata
merupakan kelainan kongenital tanpa anus atau dengan anus tidak sempurna,
sedangkan kloaka persisten diakibatkan karena pemisahan antara traktus urinarius,
traktus genitalia dan traktus digestivus tidak terjadi. Malformasi anorektal
merupakan kerusakan berspektrum luas pada perkembangan bagian terbawah dari
saluran intestinal dan urogenital. Banyak anak-anak dengan malformasi ini
memiliki anus imperforata karena mereka tidak memiliki lubang dimana seharusnya
anus ada. Walaupun istilah ini menjelaskan penampilan luar dari anak, istilah ini
lebih ditujukan pada kompleksitas sebenarnya dari malformasi. Ketika malformasi
terjadi, otot dan saraf yang berhubungan dengan anus juga sering mengalami
malformasi dalam derajat yang sama. Tulang belakang dan saluran urogenital juga
dapat terlibat. Malformasi ini lebih sering terjadi pada pria dan pria dua kali lebih
banyak mengalami malformasi anorektal letak tinggi atau intermediet. Empat puluh
sampai tujuh puluh persen dari penderita mengalami satu atau lebih defek tambahan
dari sistem organ lainnya. Defek urologi adalah anomali yang paling sering
berkaitan dengan malformasi anorektal, diikuti defek pada vertebra, ekstrimitas dan
sistem kardiovaskular. Manajemen dari malfomasi anorektal pada periode neonatal
sangatlah krusial karena akan menentukan masa depan dari sang anak. Keputusan
yang paling penting adalah apakah pasien memerlukan kolostomi dan diversi urin
untuk mencegah sepsis dan asidosis metabolik. Dengan pemahaman yang lebih baik
1
tentang anatominya, diagnosis yang lebih cepat dari malformasi anorektal dan defek
yang berkaitan dan bertambahnya pengalaman dalam memanajemen, akan
didapatkan dengan hasil yang lebih baik.
Atresia ani atau anus imperforata termasuk dalam malformasi anorektal,
adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau dengan anus tidak sempurna,
termasuk Agenesis ani, Agenesis rekti dan Atresia rekti. Insiden 1:5000 kelahiran
hidup yang dapat muncul sebagai penyakit tersering yang merupakan Syndrom
VACTERL ( Vertebra, Anal, Cardial, Trachea, Esofageal, Renal, Limb)1. Kelainan
ini merupakan kelainan bawaan yang harus segera ditangani dan sesungguhnya
dapat dicegah oleh ibu hamil dan dapat diobati dengan penanganan yang serius dan
sesuai prosedur agar jumlah penderita dapat ditekan yang kini telah mencapai 4000
kelahiran hidup yang sebagian besar bayi dengan kelainan bentuk anurectum lahir
dalam keadaan prematur2.
Kerusakan yang paling sering terjadi pada pria adalah anus imperforata
denga fistula rektouretra, diikuti fistula rektoperineum kemudian fistula rektovesika
atau bladder neck. Pada wanita, yang tersering adalah defek rektovestibuler,
kemudian fistula kutaneusperineal. Yang ketiga yang tersering adalah persisten
kloaka. Lesi ini adalah malformasi yang berspektrum luas dimana rektum, vagina,
dan traktus urinarius bertemu dan bersatu membentuk satu saluran. Pada
pemeriksaan fisik, dapat dilihat satu lubang saja pada perineum. Dan terletak
dimana uretra biasanya ada. Pada keadaan ini, genital eksternanya hipoplastik3.
Bayi yang dilahirkan dengan kelainan bentuk anorektum mengalami
kelainan bawaan yang rumit dan merupakan suatu tantangan bagi seorang ahli
bedah untuk menentukan diagnosis anatomik secara akurat dan untuk melakukan
pembedahan rekonstruktif. Selain tindakan penyelamatan penderita, keberhasilan
pembedahan juga ditentukan oleh hasil fungsional jangka panjang yang dapat
dicapai1.
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Embriologi
Gambar 1. Saluran pencernaan (Foregut, Midgut dan Hindgut)7
Secara embriologis, saluran pencernaan berasal dari Foregut, Midgut dan
Hindgut. Foregut akan membentuk faring, sistem pernapasan bagian bawah,
esofagus, lambung, duodenum pars descendens, hati, sistem bilier serta pankreas.
Midgut membentuk sebagian duodenum, usus halus, caecum, appendix
vermicularis, colon ascendens sampai 2/3 colon transversum. Hindgut meluas dari
midgut hingga ke membran kloaka, membran ini tersusun dari endoderm kloaka,
dan ektoderm dari analpit. .
Hindgut membentuk sepertiga distal dari colon tranversum, colon
descendens, sigmoid, rektum, bagian atas kanalis ani. Endoderm hindgut ini juga
membentuk lapisan dalam kandung kemih dan uretra.
Bagian akhir hindgut bermuara ke dalam kloaka, suatu rongga yang dilapisi
endoderm yang berhubungan langsung dengan ektoderm permukaan. Daerah
pertemuan antara endoderm dan ektoderm membentuk membrana kloaka.
Pada perkembangan selanjutnya, timbul suatu regio melintang, yaitu septum
urorektal, pada sudut antara allantois dan usus belakang. Sekat ini tumbuh ke arah
kaudal, karena itu membagi kloaka menjadi bagian depan, yaitu sinus urogenitalis
3
primitif, dan bagian posterior, yaitu kanalis anorektalis. Ketika mudigah berumur 7
minggu, septum urorektal mencapai membran kloaka, dan di daerah ini
terbentuklah korpus perinealis. Membran kloakalis kemudian terbagi menjadi
membrana analis di belakang, dan membran urogenitalis di depan.
Sementara itu, membrana analis dikelilingi oleh tonjolan-tonjolan
mesenkim, dan pada minggu ke-8 selaput ini terletak di dasar cekungan ektoderm,
yang dikenal sebagai celah anus atau proktoderm. Pada minggu ke-9 membran
analis koyak, dan terbukalah jalan antara rektum dengan dunia luar. Bagian atas
kanalis analis berasal dari endoderm dan diperdarahi oleh pembuluh nadi hindgut,
yaitu arteri mesenterika inferior. Akan, tetapi sepertiga bagian bawah kanalis analis
berasal dari ektoderm dan diperdarahi oleh aa. Rektales, yang merupakan cabang
dari arteri pudenda interna. Tempat persambungan antara bagian endoderm dan
ektoderm dibentuk oleh linea pektinata, yang terdapat tepat di bawah kolumna
analis. Pada garis ini, epitel berubah dari epitel torak menjadi epitel berlapis
gepeng.
Usus terbentuk mulai minggu keempat disebut sebagai primitif gut. Kegagalan
perkembangan yang lengkap dari septum urorektalis menghasilkan anomali letak
tinggi atau supra levator. Sedangkan anomali letak rendah atau infra levator berasal
dari defek perkembangan proktoderm dan lipatan genital. Pada anomali letak tinggi,
otot levator ani perkembangannya tidak normal. Sedangkan otot sfingter eksternus
dan internus dapat tidak ada atau rudimenter.
Tahap-tahap pertumbuhan terjadi pada formasi anatomi normal dari bagian
bawah yaitu anus, rektum dan saluran urogenital. Pada minggu ke-4 pertumbuhan
terdapat kloaka dan struktur yang disebut membran kloaka. Kloaka adalah struktur
normal pada burung dan ada pada manusia untuk waktu yang singkat pada tahap
pertumbuhan. Sebelum manusia lahir, kloaka adalah struktur dimana colon, saluran
urin, dan genital bermuara kemudian keluar dari tubuh melalui satu lubang.
Manusia melalui suatu tahap pertumbuhan dimana kloaka merupakan struktur yang
normal, kemudian tumbuh lubang yang terpisah untuk rektum dan traktus urin dan
pada wanita juga terbentuk vagina. Perkembangan normal ini juga terjadi pada
perkembangan struktur yang disebut membran kloaka. Jika membran ini tidak
4
berkembang normal, kloaka mungkin masih terdapat setelah kelahiran pada wanita
atau pada pria akan berkembang bentuk dari anus imperforata3.
2.2 Anatomi dan Fisiologi
Gambar 2. Anatomi Anorektal7
Kanalis analis berasal dari proktoderm yang merupakan invaginasi
ektoderm, sedangkan rektum berasal dari endoderm. Karena perbedaan asal anus
dan rektum ini maka perdarahan, persarafan, serta penyaliran vena dan limfanya
juga berbeda, demikian pula epitel yang menutupinya. Rektum dilapisi oleh mukosa
glanduler usus sedangkan kanalis analis oleh anoderm yang merupakan lanjutan
epitel berlapis gepeng kulit luar.
Tidak ada yang disebut mukosa anus. Daerah batas rektum dan kanalis analis
ditandai dengan perubahan jenis, epitel. Kanalis analis dan kulit luar di sekitarnya
kaya akan persarafan sensoris somatik dan peka terhadap rangsangan nyeri,
sedangkan mukosa rektum mempunyai persarafan autonom dan tidak peka terhadap
nyeri. Nyeri bukanlah gejala awal pengidap karsinoma rektum, sementara fisura
anus nyeri sekali.
Darah vena di atas garis anorektum mengalir melalui sistem porta,
sedangkan yang berasal dari anus dialirkan ke sistem kava melalui cabang v.iliaka.
5
Distri¬busi ini menjadi penting dalam upaya memahami cara penyebaran keganasan
dan infeksi serta terbentuknya hemoroid. Sistem limf dari rektum mengalirkan
isinya melalui pembuluh limf sepanjang pembuluh hemoroidalis superior ke arah
kelenjar limf paraaorta melalui kelenjar limf iliaka interna, sedangkan limf yang
berasal dari kanalis analis mengalir ke arah kelenjar inguinal.
Kanalis analis berukuran panjang kurang lebih 3 sentimeter. Sumbunya
mengarah ke ventrokranial yaitu ke arah umbilikus dan membentuk sudut yang
nyata ke dorsal dengan rektum dalam keadaan istirahat Pada saat defekasi sudut ini
menjadi lebih besar. Batas atas kanalis anus disebut garis anorektum, garis
mukokutan, linea pektinata, atau linea dentata. Di daerah ini ter¬dapat kripta anus
dan muara kelenjar anus antara kolumna rektum. Infeksi yang terjadi di sini dapat
menimbulkan abses, anorektum yang dapat membentuk fistel. Lekukan antar-
sfingter sirkuler dapat diraba di dalam kanalis analis sewaktu melakukan colok
dubur.
Usus besar terdiri atas colon, rektum dan anus. Di dalam colon tidak terjadi
pencernaan. Sisa makanan yang tidak dicerna di dorong ke bagian belakang dengan
gerakan peristaltik. Air dan garam mineral diabsorbsi kembali oleh dinding colon
yaitu colon ascendenss. Sisa makanan berada pada colon selama 1 sampai 4 hari.
Pada waktu pembusukan dibantu oleh bacteria E. Coli. Selanjutnya dengan gerakan
peristaltik, sisa makanan terdorong sedikit demi sedikit ke tempat penampungan
tinja yaitu di rektum. Apabila lambung dan usus halus telah terisi makanan kembali
akan merangsang colon untuk melakukan defekasi (reflek gastrokolik). Peregangan
rektum oleh feses akan mencetuskan kontraksi reflek otot-otot rektum dan
keinginan BAB pada saat tekanan rektum meningkat sampai sekitar 18 mmHg.
Apabila tekanan ini mencapai 15 mmHg, sfingter interior maupun eksterior
melemas dan isi rektum terdorong keluar. Sebelum tekanan yang melemaskan
sfingter eksterior tercapai, terjadilah kontraksi otot-otot abdomen (mengejan),
sehingga membantu refleks pengosongan rektum yang teregang.
Distensi dari rectum oleh feses menginisiasi kontraksi reflex dari otot-
ototnya dan membuat keinginan untuk BAB. Pada manusia, saraf simpatis
mensuplai sfingter anal interna sebagai eksitatori, dimana parasimpatisnya sebagai
6
inhibitor. Sfingter ini rileks ketika rectum distensi. Suplai saraf ke sfingter anal
eksterna, otot skeletal berasal dari saraf pudenda. Sfingter ini terjaga dalam keadaan
kontraksi tonik, dan adanya distensi yang bertambah pada rectum akan menambah
tekanan dari kontraksi otot. Keinginan untuk BAB pertama kali muncul pada saat
tekanan rectum sekitar 18 mmHg. Ketika tekanan mencapai 55 mmHg, sfingter
interna maupun eksterna rileks dan isi dari rectum dikeluarkan.
Kontinensia berhubungan dengan fungsi normal dari otot sfingter yang
mengelilingi anus dan rektum dan derajat dimana mereka ada dan mendapatkan
stimulasi saraf yang cukup. Perkembangan sakrum terjadi pada saat yang sama
dengan perkembangan anus, rektum, dan sfingter. Ini adalah hal yang penting
karena saraf yang terletak dekat sakrum yang mensuplai otot sfingter yang
mengontrol kontinensia. Jika sakrum tidak berkembang normal, saraf ini mungkin
tidak berkembang atau tidak berfungsi normal. Pada perkembangannya terdapat
reseptor sensori pada garis dasar dari anal kanal yang penting untuk kontinensia.
Bagian ini mungkin tidak ada pada anak dengan anus imperforata. Nomalnya
manusia memiliki 3 kelompok otot di sekitar anus dan rektum yang penting untuk
kontinensia. Sfingter eksterna, sfingter interna, dan kompleks levator. Anak yang
lahir dengan anus imperforata memiliki disfungsi atau tidak adanya komponen ini.
Sfingter interna dan eksterna mengontrol kemampuan untuk membuat anus
menutup. Beberapa bagian dari muskulus levator ani berbentuk seperti kerucut yang
mengelilingi anus dan rektum. Ketika otot ini mengkerut maka rektum akan tertarik
ke depan menambah sudut usus besar sebelum masuk anal kanal. Sudut rektoanal
yang tepat dapat membantu mempertahankan kontinensia dengan manghambat
feses yang terbentuk memasuki anal kanal. Otot levator juga disuplai oleh saraf
yang dekat dengan sakrum, hal ini penting jarena sebagai aturan umum, jika ada
bagian dari sakrum yang hilang maka saraf yang berhubungan dengan sakrum
tersebut mungkin juga tidak ada3.
Inervasi
Inervasi dari rectum melalui saraf simpatis dan parasimpatis, saraf simpatis
berasal dari segmen L1-3, membentuk plexus mesenterikus inferior, melewati
7
plexus hipogastrik superior, dan turun sebagai saraf hipogastrik untuk plexus
pelviks.
Saraf parasimpatis berasal dari sacral dua, tiga, dan empat dan bergabung
dengan saraf hipogastrik anterior dan lateral menuju ke rectum dan membentuk
plexus pelviks, dan dimana serat lewat untuk membentuk plexus periprostatik.
Setelah melewati plexus pelvis dan periprostatik Serat saraf simpatik dan
parasimpatik menuju rectum dan sfingter anal juga prostat, buli-buli, dan penis.
Cedera pada saraf ini dapat menyebabkan impotensi, disfungsi buli-buli, dan
kehilangan mekanisme normal dari defekasi.
Sfingter interna diinervasi oleh serat dari simpatik dan parasmpatik. Keduanya
merupakan inhibitor dan menahan sfingter dalam keadaan kontraksi yang konstans.
Sfingter eksterna adalah otot skeletal yang diinervasi oleh saraf pudendan dengan
serat yang berasal dar S2-4.
Segmen saraf yang berasal dari bagian sakrum mensuplai anus dan rektum,
uretra, buli-buli, dan vagina, termasuk berbagai komponen dari kompleks levator
ani (otot dan pelvis). Saraf ini juga berfungsi sebagai reseptor sensoris kulit pada
anus dan kulit sekitarnya. Batas dari anal kanal dan kulit di sekitar anus sangtlah
sensitif terhadap rasa sakit, sentuhan dingin, tekanan, regangan, dan gesekan. Bukti
menunjukkan bahwa reseptor sensori yang sejenis terdapat pada otot-otot pelvis
yang mengelilingi. Reseptor ini dapat membedakan isi rektum yang keras, cair, atau
gas. Anal kanal dan rektum di atas batas anal adalah yang paling tidak sensitif
terhadap nyeri tetapi sangat sensitif terhadap regangan. Kontinensia feses terhadi
pada saat batas anal, dinding rektum, dan otot yangmengelilinginya menerima
sensasi yang cukup dan diproses secara normal pada otak dan kemudian sinyal yang
cukup dikirim kembali ke berbagai otot yang mengontrol kontinensia. Pada keadaan
yang normal anal kanal tertutup kecuali ketika terjadi pergerakan usus. Ketika
defekasi terjadi, tekanan abdomen meningkat dan menyebabkan dinding pelvis
melemah dan otot-otot yang membuat kontinensia menjadi rileks3.
2.3 Definisi
8
Atresia Ani berasal dari dari bahasa Yunani, artinya tidak ada, atresia
artinya nutrisi atau makanan. Dalam istilah kedokteran atresia itu sendiri adalah
keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal atau organ tubuler
secara kongenital disebut juga clausura.
Dengan kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya atau
buntutnya saluran atau rongga tubuh. Hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir
atau terjadi kemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu.
Jadi “Atresia Ani” adalah bentuk kelainan bawaan dimana tidak adanya lubang
dubur terutama pada bayi, rektum yang buntu terletak di atas levator sling yang juga
dikenal dengan istilah "Agenesis Rektum” ataupun “Imperforata Ani”2,4.
2.4 Patofisiologi
Gambar 3. Macam-macam Fistula pada Laki-laki & Perempuan8
Malformasi anorektal terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal
pada kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan
adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan,
muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju
rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperchloremia,
9
sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang.
Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ
sekitarnya. Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum
(rektovestibuler). Pada laki2 biasanya letak tinggi, umumnya fistula menuju ke
vesika urinaria atau ke prostate. (rektovesika). Pada letak rendah, fistula menuju ke
urethra (rektourethralis)3,6.
Atresia anorektal terjadi karena ketidaksempurnaan dalam proses
pemisahan. Secara embriologis hindgut dari apparatus genitourinarius yang terletak
di depannya atau mekanisme pemisahan struktur yang melakukan penetrasi sampai
perineum. Pada atresia letak tinggi atau supra levator, septum urorektal turun secara
tidak sempurna atau berhenti pada suatu tempat jalan penurunannya.
Urorektal dan rektovaginal bisa terjadi karena septum urorektal turun ke
bagian kaudal tidak cukup jauh, sehingga lubang paling akhir dari hindgut berbelok
ke anterior sehingga lubang akhir hindgut menuju ke uretra atau ke vagina. Atresia
rektoanal mungkin dapat meninggalkan jaringan fibrous atau hilangnya segmen dari
rektum dan anus, defek ini mungkin terjadi karena adanya cedera vaskular pada
regio ini sama dengan yang menyebabkan atresi pada bagian lain dari usus. Anus
imperforata terjadi ketika membran anal gagal untuk hancur3.
2.5 Klasifikasi
Melbourne membagi berdasarkan garis pubocoxigeus dan garis yang
melewati ischii kelainan disebut :
a. Letak tinggi (supralevator) yaitu rektum berakhir di atas m. levator ani
(m.puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu rectum dengan kulit
perineum > 1 cm.
b. Letak intermediate akhiran rectum terletak pada m.levator ani tapi tidak
menembusnya.
c. Letak rendah yaitu rectum berakhir di bawah m.levator ani sehingga jarak
antara kulit dan ujung rectum paling jauh 1 cm.
10
Ladd dan Gross pada tahun 1934 mengajukan klasifikasi terdiri atas 4 tipe
yang masih banyak digunakan oleh para ahli hingga saat ini :
I. Saluran anus atau rektum bagian bawah mengalami stenosis dalam berbagai
derajat.
II. Terdapat suatu membran tipis yang menutupi anus karena menetapnya
membran anus.
III Anus imperforata dan ujung rektum yang buntu terletak pada bermacam-
macam jarak dari peritoneum.
IV. Lubang anus yang terpisah dengan ujung rectum3,4
2.6 Diagnosis
Kelainan bentuk anorektum biasanya sedemikian jelas sehingga diagnosis
acapkali dapat ditegakkan segera setelah bayi lahir dengan melakukan inspeksi
secara cermat daerah perineum. Namun demikian, diagnosis kelainan bentuk
anorektum tipe I dan IV menurut klasifikasi Ladd dan Gross dapat terlewatkan
sampai diketahui bahwa bayi mengalami distensi perut dan tidak dapat atau
mengalami kesulitan mengeluarkan mekoneum. Bayi yang mengalami kelainan tipe
I, atau kelainan letak rendah, baik berupa stenosis atau anus ektopik lazim
mengalami kesulitan mengeluarkan mekoneum atau mengeluarkan tinja yang
menyerupai pita. Namun demikian, pada stenosis yang ringan, bayi sering tidak
menunjukkan keluhan apapun selama beberapa bulan setelah lahir. Megakolon
sekunder dapat terbentuk akibat adanya obstruksi kronik saluran cerna bagian
bawah di daerah stenosis, yang sering bertambah berat akibat mengerasnya tinja.
Pada pemeriksaan colok dubur dapat ditemukan daerah stenosis pada saluran anus
atau rektum bagian bawah..
Bayi dengan kelainan tipe II yang tidak disertai fistula, atau ukuran fistula
terlalu kecil untuk dilalui mekoneum, lazim akan mengalami obstruksi usus dalam
waktu 48 jam segera setelah lahir. Di daerah anus seharusnya terbentuk umumnya
11
terdapat suatu penonjolan membran tipis yang tampak lebih gelap dari kulit di
sekitarnya, karena mekoneum terletak di balik membran tersebut.
Jika disertai fistula anokutaneus, maka akan ditemukan fistula dari daerah
lekukan anus yang berjalan ke arah anterior di dalam jaringan subkutan sampai
jarak tertentu; mekoneum dapat keluan melalui fistula ini.
Pada bayi perempuan dapat ditemukan fistula anovestibular atau
rektovestibular; yang pertama jauh lebih sering dijumpai. Fistula ini acapkali sukar
terlihat dan untuk menemukannya maka labia perlu dipisahkan dengan spekulum
hidung berukuran kecil dan kemudian dilakukan pemeriksaan secara teliti pads
dinding belakang vestibulum vagina. Fistula anovestibular acapkali sukar dibedakan
dengan fistula rektovestibular.
Pada tipe III, atau kelainan letak tinggi atau juga dikenal sebagai agenesis
rektum, di tempat anus seharusnya terbentuk biasanya terdapat suatu lekukan yang
berbatas tegas dan memiliki pigmen yang lebih banyak dari kulit di sekitarnya.
Sebagian besar tipe ini disertai adanya fistula, sehingga pada pemeriksaan
fisik dapat ditemukan muana lubang fistula pada dinding posterior vagina atau
perineum, atau tanda-tanda adanya fistula rektourinaria. Lubang fistula rektovagina
dapat ditemukan pada vestibulum atau jauh lebih tinggi pada dinding posterior
vagina di dekat serviks. Fistula rektourinaria, baik berupa fistula rektouretra atau
rektovesika, ditandai oleh keluarnya mekoneum serta udara dari uretra. Fistula
rektouretra jauh lebih banyak ditemukan dibanding fistula rektovesika. Dari 41
kasus fistula rektourinaria yang ditemukan 37 kasus di antaranya berupa fistula
rektouretra dan hanya 1 kasus berupa fistula rektovesika, sementara 3 kasus lainnya
tidak diketahui secara pasti.
Uretra di tempat mana lubang fistula rektourinaria membentuk suatu
angulasi ke arah atas. Oleh karena itu, kateter yang dimasukkan ke dalam uretra
acapkali lebih mudah masuk ke dalam rektum dibanding ke dalam kandung kemih.
Jika ditemukan keadaan semacam ini, maka fistula rektourinana yang ada mungkin
berupa fistula rektouretra.
Diagnosis tipe IV dapat terlewatkan sampai beberapa hari karena bayi
tampak memiliki anus yang normal, namun saluran anus pendek dan berakhir
12
buntu. Manifestasi obstruksi usus terjadi segera setelah lahir karena bayi tidak dapat
mengeluarkan mekoneum. Diagnosis biasanya dapat dibuat dengan pemeriksaan
colok dubur1.
Sedangkan PENA menggunakan cara sebagai berikut:
1. Bayi LAKI-LAKI dilakukan pemeriksaan perineum dan urine bila :
a. Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran berarti
atresia letak rendah maka dapat dilakukan Minimal PSARP tanpa kolostomi.
b. Mekoneum (+), ini merupakan tanda daripada atresia letak tinggi, oleh
karena itu dilakukan kolostomi terlebih dahulu dan 8 minggu kemudian
dilakukan tindakandefinitive.
Apabila pemeriksaan diatas meragukan dilakukan invertrogram. Bila :
a. Akhiran rectum < 1 cm dari kulit maka disebut dengan atresia letak rendah.
b. Akhiran rektum > 1 cm disebut letak tinggi.
Pada laki-laki fistel dapat berupa rectovesikalis, rektourethralis dan rektoperinealis.
2. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel. Bila ditemukan :
a. Fistel perineal (+) minimal, dilakukan PSARP tanpa kolostomi.
b. Jika terdapat Fistel rektovaginal atau rektovestibuler maka dilakukan
kolostomi terlebih dahulu.
Apabila pemeriksaan diatas meragukan, dilakukan invertrogram. Bila :
a. Akhiran < 1 cm dari kulit dilakukan postero sagital anorektoplasti.
b. Akhiran > 1 cm dari kulit dilakukan kolostomi terlebih dahulu.
LEAPE (1987) menyatakan :
a) Bila mekonium didapatkan pada perineum, vestibulum atau fistel perianal maka
mungkin terdapat kelainan letak rendah .
b) Bila pada pemeriksaan tidak ditemukan adanya fistel, maka mungkin terdapat
kelainan letak tinggi atau rendah.
13
Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah lahir agar usus terisis udara,
dengan cara Wangenstein Reis (kedua kaki dipegang posisi badan vertical dengan
kepala dibawah) atau knee chest position (sujud), cara ini bertujuan agar udara
berkumpul didaerah paling distal. Bila terdapat fistula lakukan fistulografi2.
Secara sederhana diagnosis MAR adalah sebagai berikut :
a. Pada bayi laki-laki :
- Bila ditemukan 2 lubang, maka kemungkinannya :
1. Anus normal, hanya terletak lebih anterior.
2. Fistula pada bagian anterior perineum; fistula anokutaneus.
3. Lubang kecil pada letak yang normal : stenosis anal membran, stenosis
anal/anorectal.
- Bila ditemukan 1 lubang periksa urine apakah mengandung
mekoneum/tidak :
1. Mekoneum (-) foto knee chest position, kemungkinannya :
- Letak tinggi : agenesis anorectal tanpa fistula, agenesis anal tanpa fistula
- Letak rendah : imperforata anal membran.
2. Mekoneum (+), kemungkinannya :
- Letak tinggi : fistula recto-urethral, rectobulber, rectovesical.
b. Pada bayi perempuan :
1. Mekoneum (+) periksa perineum dan semua lubang :
- 1 lubang : fistula rectokloaka
14
- 2 lubang : fistula rectovaginal
- 3 lubang : fistula anovestibuler, rectovestibuler
2. Mekoneum (-) fistula (-), kemungkinannya :
- anorectal agenesis tanpa fistula
- anal agenesis tanpa fistula
- imperforate anal membran
2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani letak
tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu lalu
penanganan atresia ani menggunakan prosedur Abdomino Perineal Poli Through
(APPT), tapi metode ini banyak menimbulkan inkontinen feses dan prolaps mukosa
usus yang lebih tinggi. Pena dan Defries (1982) memperkenalkan metode operasi
yang baru, yaitu PSARP (Postero Sagital Ano Recto Plasty). Yaitu dengan cara
membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani untuk
memudahkan mobilisasi kantong rectum dan pemotongan fistel. Tekhnik dari
PSARP ini mempunyai akurasi yang sangat tinggi dibandingkan dengan APPT
yang mempunyai tingkat kegagalan yang tinggi.
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara
jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik serta
antisipasi trauma psikis. Sebagai Goalnya adalah defekasi secara teratur dan
konsistensinya baik.
Untuk menangani secara tepat, harus ditentukankan ketinggian akhiran
rectum yang dapat ditentukan dengan berbagai cara antara lain dengan pemeriksaan
fisik, radiologis dan USG. Komplikasi yang terjadi pasca operasi banyak
15
disebabkan oleh karena kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan operasi
yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, serta ketrampilan operator
yang kurang serta perawatan post operasi yang buruk. Dari berbagai klasifikasi
penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak ketinggian akhiran rectum dan
ada tidaknya fistula.
Leape (1987) menganjurkan pada :
a) Atresia letak tinggi & intermediet sebaiknya dilakukan sigmoid kolostomi atau
TCD dahulu, setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitive (PSARP).
b) Atresia letak rendah sebaiknya dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya
dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot sfingter
ani ekternus,
c) Bila terdapat fistula sebaiknya dilakukan cut back incicion.
d) Stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin , berbeda dengan Pena dimana
dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi.
Penatalaksanaan atresia ani ini bisa dilakukan juga secara preventif, yaitu
dengan cara antara lain :
a. Memberikan nasihat kepada ibu hamil hingga kandungan menginjak usia
tiga bulan untuk berhati-hati terhadap obat-obatan, makanan awetan dan
alkohol yang dapat menyebabkan atresia ani.
b. Memeriksa lubang dubur bayi saat baru lahir karena jiwanya terancam jika
sampai tiga hari tidak diketahui mengidap atresia ani karena hal ini dapat
berdampak feses atau tinja akan tertimbun hingga mendesak paru-parunya.
c. Pengaturan diet yang baik dan pemberian laktulosa untuk menghindari
konstipasi.
TEKNIK OPERASI
1. Dilakukan dengan general anestesi, dengan endotrakeal intubasi, dengan
posisi pasien tengkurap dan pelvis ditinggikan.
16
2. Stimulasi perineum dengan alat Pena Muscle Stimulator untuk identifikasi
anal dimple.
3. Incisi bagian tengah sacrum kearah bawah melewati pusat spingter dan
berhenti 2 cm didepannya.
4. Dibelah jaringan subkutis , lemak, parasagital fiber dan muscle complek. Os
Coxigeus dibelah sampai tampak muskulus levator , dan muskulus levator
dibelah tampak dinding belakang rectum.
5. Rektum dibebaskan dari jaringan sekitarnya.
6. Rektum ditarik melewati levator, muscle complek dan parasagital fiber.
7. Dilakukan anoplasti dan dijaga jangan sampai tension2,3.
Perawatan pasca operasi PSARP :
a. Antibiotik intra vena diberikan selama 3 hari,salep antibiotik diberikan selama
8-10 hari.
b. 2 minggu pasca operasi dilakukan anal dilatasi dengan hegar dilatation, 2x
sehari dan tiap minggu dilakukan anal dilatasi dengan anal dilator yang
dinaikan sampai mencapai ukuran yang sesuai dengan umurnya. Businasi
dihentikan bila busi nomor 13-14 mudah masuk2,3.
UMUR UKURAN
1 - 4 Bulan # 12
4 - 12 bulan # 13
8 - 12 bulan # 14
1-3 tahun # 15
3 - 12 tahun # 16
> 12 tahun # 17
FREKUENSI DILATASI
Tiap 1 hari 1x dalam 1 bulan
Tiap 3 hari 1x dalam 1 bulan
Tiap 1 minggu 2 x dalam 1 bulan
17
Tiap 1 minggu 1x dalam 1 bulan
Tiap 1 bulan 1x dalam 3 bulan
Kalibrasi anus tercapai dan orang tua mengatakan mudah mengejakan serta tidak
ada rasa nyeri dilakukan 2x selama 3-4 minggu merupakan indikasi tutup
kolostomi, secara bertahap frekuensi diturunkan2,3.
2.8 Prognosis
Kelainan anorektal letak rendah biasanya dapat diperbaiki dengan
pembedahan melalui perineum dan prognosis baik untuk kontinensia fekal.
Sedangkan kelainan anorektal letak tinggi diperbaiki dengan pembedahan
sakroperineal atau abdominoperineal, pada kelainan ini sfingter ani eksternus tidak
memadai dan tidak ada sfingter ani internus, maka kontinensia fekal tergantung
fungsi otot puborektalis.
Beasley (1990) mendapatkan perjalanan klinis jangka panjang dari kelainan
anorektal letak rendah yang dilakukan operasi perineal lebih dari 90% penderita
mencapai kontrol anorektal yang secara sosial dapat diterima. Insidensi “soiling”
pada penderita umur lebih 10 tahun lebih rendah dari penderita yang lebih muda.
Insidensi “Smearing” atau Stainning” tidak mengurang dengan bertambahnya usia.
Pada kelainan anorektal letak tinggi hasilnya hanya 1/3 yang benar-benar bagus, 1/3
lagi dapat mengontrol kontinensia bfekal. Pada wanita hasilnya lebih baik daripada
laki-laki karena pada wanita lesi seringkali intermediet.
Kebanyakan lesi supralevator dengan tindakan PSARP dapat dikerjakan
melalui perineum tanpa membuka abdomen. Beberapa penderita dengan kelainan
anorektal letak tinggi mempunyai masalah-masalah kontinensia bila dilakukan
pembedahan dibanding letak rendah2,3.
18
BAB IV
KESIMPULAN
Kelainan bentuk anorektum merupakan kelainan bawaan yang perlu
ditangani secara seksama sejak diagnosis ditegakkan sampai masa pasca operasi.
Keberhasilan pengobatan tidak hanya dinilai berdasarkan dapat tidaknya penderita
diselamatkan, akan tetapi juga ditentukan oleh hasil fungsional dalam proses
defekasi yang diperoleh.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/19KelainanAnorektum100.pdf/19Kelain
anAnorektum100.html
2. http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/ilmu-
kesehatan/atresia-ani
3. http://bedahumum-fkunram.blogspot.com/
4. http://fkuii.org/tiki-index.php?page=Atresia+ani5
5. http://bedahugm.net/Bedah-Anak/Atresia-Ani-dengan-Fistula-Rektovestibula
6. Sjamjuhidajat, R dan De Jong Wim. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2.
Jakarta: EGC. Hal : 671, 901-908.
19
7. Hayle T. Debas. 2003. Gastrointestinal Surgery. New York : Springer. Pg 248,
260.
8. http://surgery.med.umich.edu
20