80103460 bab i refrat forensik
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam era reformasi saat ini, hukum memegang peran penting dalam
berbagai segi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal bagi setiap orang, yang merupakan bagian integral dari
kesejahteraan, diperlukan dukungan hukum bagi penyelenggaraan berbagai
kegiatan di bidang kesehatan.
Perubahan konsep pemikiran penyelenggaraan pembangunan kesehatan
tidak dapat dielakkan. Pada awalnya pembangunan kesehatan bertumpu pada
upaya pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan, bergeser pada
penyelenggaraan upaya kesehatan yang menyeluruh dengan penekanan pada
upaya pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan. Paradigma ini dikenal
dalam kalangan kesehatan sebagai paradigma sehat.
Sebagai konsekuensi logis dari diterimanya paradigma sehat maka segala
kegiatan apapun harus berorientasi pada wawasan kesehatan, tetap dilakukannya
pemeliharaan dan peningkatan kualitas individu, keluarga dan masyarakat serta
lingkungan dan secara terus menerus memelihara dan meningkatkan pelayanan
kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau serta mendorong kemandirian
masyarakat untuk hidup sehat.
Secara ringkas untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi
setiap orang maka harus secara terus menerus dilakukan perhatian yang sungguh-
sungguh bagi penyelenggaraan pembangunan nasional yang berwawasan
kesehatan, adanya jaminan atas pemeliharaan kesehatan, ditingkatkannya
profesionalisme dan dilakukannya desentralisasi bidang kesehatan.
Kegiatan-kegiatan tersebut sudah barang tentu memerlukan perangkat hukum
kesehatan yang memadai. Perangkat hukum kesehatan yang memadai
dimaksudkan agar adanya kepastian hukum dan perlindungan yang menyeluruh
baik bagi penyelenggara upaya kesehatan maupun masyarakat penerima
pelayanan kesehatan.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah yang dimaksud dengan
hukum kesehatan, apa yang menjadi landasan hukum kesehatan, materi muatan
peraturan perundang-undangan bidang kesehatan, dan hukum kesehatan di masa
mendatang.
Diharapkan jawaban atas pertanyaan tersebut dapat memberikan
sumbangan pemikiran, baik secara teoritikal maupun praktikal terhadap
keberadaan hukum kesehatan. Untuk itu dilakukan kajian normatif, kajian yang
mengacu pada hukum sebagai norma dengan pembatasan pada masalah kesehatan
secara umum melalui tradisi keilmuan hukum.
Dalam hubungan ini hukum kesehatan yang dikaji dibagi dalam 3 (tiga)
kelompok sesuai dengan tiga lapisan ilmu hukum yaitu dogmatik hukum, teori
hukum, dan filsafat hukum. Selanjutnya untuk memecahkan isu hukum,
pertanyaan hukum yang timbul maka digunakan pendekatan konseptual, statuta,
historis, dogmatik, dan komparatif. Namun adanya keterbatasan waktu maka
kajian ini dibatasi hanya melihat peraturan perundang-undangan bidang
kesehatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hukum Kesehatan
Pada masa kini dapat disepakati luas ruang lingkup peraturan hukum untuk
kegiatan pelayanan kesehatan menurut ilmu kedokteran mencakup aspek-aspek di
bidang pidana, hukum perdata, hukum administrasi, bahkan sudah memasuki
aspek hukum tatanegara.
Persyaratan pendidikan keahlian, menjalankan pekerjaan profesi, tatacara
membuka praktek pengobatan, dan berbagai pembatasan serta pengawasan profesi
dokter masuk dalam bagian hukum administrasi. Hak dan kewajiban yang timbul
dari hubungan pelayanan kesehatan, persetujuan antara dokter dan pasien serta
keluarganya, akibat kelalaian perdata serta tuntutannya dalam pelayanan
kesehatan masuk bagian hukum perdata. Kesaksian, kebenaran isi surat
keterangan kesehatan, menyimpan rahasia, pengguguran kandungan, resep obat
keras atau narkotika, pertolongan orang sakit yang berakibat bahaya maut atau
luka-luka masuk bagian hukum pidana.
Dalam negara hukum yang sudah meningkat kearah negara kesejahteraan
menjadi kewajiban negara dengan alat perlengkapannya untuk mewujudkan
keadaan bagi kehidupan setiap orang, keluarga dan masyarakat memperoleh
kesejahteraan (well being) menurut penjelasan pasal 1-6 Undang-Undang no. 9/
1960 berarti melibatkan tenaga kesehatan atau dokter turut secara aktif dalam
semua usaha kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah. Usaha kesehatan
pemerintah yang melibatkan tenaga kesehatan selaku aparat negara yang
berwenang merupakan pengembangan aspek hukum tatanegara didalam hukum
kedokteran kesehatan.
Semua aspek hukum dalam peraturan hukum kedokteran kesehatan menjadi
perangkat hukum yang secara khusus menentukan perilaku keteraturan atau
perintah keharusan atau larangan perbuatan sesuatu itu berlaku bagi para pihak
yang berkaitan dengan usaha kesehatan sebagaimana ditentukan dalam peraturan
perundangan.
Disamping norma-norma hukum yang terdapat didalam hukum kedokteran
kesehatan, berlaku juga norma etik kesehatan / norma etik kedokteran sebagai
petunjuk tentang perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk dalam
kehidupan yang susila sehari-hari. Tugas pekerjaan yang dilaksanakan secara
profesional memerlukan dukungan yang ditaati berdasarkan kekuasaan moral dan
salah satu diantaranya tercantum dalam rumusan kode etik kedokteran maupun
kode etik tenaga kesehatan yang lainnya.
Sebagaimana norma etika sukarela ditaati berdasarkan keluhuran sikap /
tanggung jawab moral dari setiap orang yang menjalankan pekerjaan profesi, akan
tetapi sebagian yang lain harus dikuatkan menjadi tatanan sosial (bukan peraturan
hukum) yang dirumuskan secara tertulis, baik mengenai kewajiban moril / akhlak
dalam kode etik profesi maupun mengenai kewajiban lain yang berhubungan
dengan tugas pekerjaan profesi dalam hukum disipliner. Sanksi berupa celaan /
teguran dan atau tindakan tata tertib / administratif diserahkan kepada
kebijaksanaan badan organisasi profesi yang bertindak bukan sebagai badan
peradilan.
Prof. DR. H. Bambang Poernomo, SH, 2008, Hukum Kesehatan, Aditya Media :
Yogyakarta
A. Definisi dan Kedudukan Hukum Kesehatan
Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum
Kesehatan Indonesia (PERHUKI), adalah semua ketentuan hukum yang
berhubungan langsung dengan pemeliharaan / pelayanan kesehatan dan
penerapannya. Hal ini menyangkut hak dan kewajiban baik dari perorangan dan
segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari
pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspeknya, organisasi,
sarana, pedoman standar pelayanan medik, ilmu pengetahuan kesehatan dan
hukum serta sumber-sumber hukum lainnya. Hukum kedokteran merupakan
bagian dari hukum kesehatan, yaitu yang menyangkut asuhan / pelayanan
kedokteran (medical care / sevice).
Hukum kesehatan merupakan bidang hukum yang masih muda.
Perkembangannya dimulai pada waktu World Congress on Medical Law di Belgia
pada tahun 1967. Perkembangan selanjutnya melalui World Congress of The
Association for Medical Law yang diadakan secara periodik hingga saat ini.
Di Indonesia perkembangan hukum kesehatan dimulai dari terbentuknya
Kelompok studi untuk Hukum Kedokteran FK-UI / R.S. Ciptomangunkusumo di
Jakarta pada tahun 1982. Perhimpunan untuk Hukum Kedokteran Indonesia
(PERHUKI), terbentuk di Jakarta pada tahun 1983 dan berubah menjadi
Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI) pada kongres I
PERHUKI di Jakarta pada tahun 1987.
Hukum kesehatan mencakup komponen-komponen hukum bidang
kesehatan yang bersinggungan satu dengan yang lainnya, yaitu hukum
Kedokteran / Kedokteran Gigi, Hukum Keperawatan, Hukum Farmasi Klinik,
Hukum Rumah Sakit, Hukum Kesehatan Masyarakat, Hukum Kesehatan
Lingkungan dan sebagainya (Konas PERHUKI, 1993).
Sumber Rujukan:
Hanafiah, M.J, Amir, A., 1999, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, EGC :
Jakarta.
Perkembangan hukum di bidang kedokteran dan kesehatan dapat ditelaah
mengenai pengertiannya, kedudukan pengembangan ilmunya, dan proyeksinya.
Seringkali terdapat keraguan pemakaian istilah mana yang dapat dipakai untuk
memilih istilah hukum kedokteran ataukah hukum kesehatan ataukah hukum
kedokteran - kesehatan.
Bagi ahli hukum pidana sudah kenal dengan istilah ilmu kedoteran
kehakiman dan/atau ilmu kedokteran forensik yaitu ilmu yang menghasilkan
bahan penyelidikan melalui pengetahuan kedokteran untuk membantu
menyelesaikan dan pembuktian perkara pidana yang menyangkut korban manusia.
Oleh karena itu dalam hal memahami peraturan-peraturan hukum tentang kegiatan
pelayanan kesehatan menurut ilmu kedokteran, akan dirasakan lebih serasi dengan
menyebut istilah "hukum kedokteran kesehatan" disingkat HKK.
Penggunaan kata majemuk hukum kedoteran-kesehatan mempunyai latar
belakang dari rumusan kalimat "kesehatan berdasarkan ilmu kedokteran"
sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum eks Undang-Undang tentang
pokok-pokok kesehatan no. 9/1960. Sebab selama ini telah dikembangkan
pemikiran baru dibidang kesehatan mengenai keluarga/sosial dalam kaitannya
dengan kependudukan yang ruang lingkup tatanan peraturan hukumnya dihimpun
dalam hukum keluarga berencana dan kependudukan yang diselenggaran oleh
BKKBN.
Kedudukan hukum kedokteran kesehatan menjadi bagian dari pertumbuhan
ilmu hukum dan sebagai cabang/ranting pohon hukum yang dikemudian hari
diharapkan dapat berkembang lebih jauh menjadi sub bidang tersendiri hukum
kesehatan dan hukum kedokteran termasuk teknologi kedokteran. Kemajuan
pembidangan hukum yang demikian itu dapat terlihat pada hukum acara pidana
menjadi beberapa bagian antara lain hukum pembuktian dan hukum kepolisian
yang mengandung teknologi penegakan hukum.
Sumber Artikel :
Prof.DR.H. Bambang Poernomo, SH, 2008, Hukum Kesehatan, Aditya Media :
Yogyakarta
B. Landasan, Asas Hukum dan Materi perundang-undangan Dalam Bidang
Kesehatan.
Hermien Hadiati Koeswadji menyatakan pada asasnya hukum kesehatan
bertumpu pada hak atas pemeliharaan kesehatan sebagai hak dasar social (the
right to health care) yang ditopang oleh 2 (dua) hak dasar individual yang terdiri
dari hak atas informasi (the right to information) dan hak untuk menentukan nasib
sendiri (the right of self determination).(6)
Sejalan dengan hal tersebut Roscam Abing mentautkan hukum kesehatan
dengan hak untuk sehat dengan menyatakan bahwa hak atas pemeliharaan
kesehatan mencakup berbagai aspek yang merefleksikan pemberian perlindungan
dan pemberian fasilitas dalam pelaksanaannya. Untuk merealisasikan hak atas
pemeliharaan bisa juga mengandung pelaksanaan hak untuk hidup, hak atas
privasi, dan hak untuk memperoleh informasi.(7) Demikian juga Leenen secara
khusus, menguraikan secara rinci tentang segala hak dasar manusia yang
merupakan dasar bagi hukum kesehatan.(8)
Asas Hukum adalah Norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan
yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum
(Bellefroid dalam Mertokusumo, 1986), sedangkan menurut Eikema Hommes,
asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma hukum yang konkret, akan tetapi
perlu dipandang sebagai dasar umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku.
Dalam hal ini maka asas hukum bukanlah peraturan hukum yang konkret,
melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya. sas hukum diterapkan
tidak langsung. Pada umumnya asas hukum akan berubah mengikuti
perkembangan masyarakat dan terpengaruh pada waktu dan tempat.
P Scholten menyatakan bahwa ada empat asas yang sifatnya sangat universal.
Asas tersebut yaitu :
1. Asas Kepribadian
Manusi menghendaki adanya kebebasan individu, sehingga berharap ada
pengakuan kepribadian manusia, dimana manusia dipandang sebagai subyek
hukum penyandang hak dan kewajiban.
2. Asas Persekutuan
Manusia menghendaki persatuan, kesatuan, cinta kasih dan keutuhan
masyarakat berdasarkan ketertiban.
3. Asas Kesamaan
Menghendaki adanya keadilan, dimana manusia dipandang sederajad didalam
hukum (equality before the law)
4. Asas Kewibawaan
Menunjukkan bahwa hukum berwenang memberi keputusan yang mengikat
para pihaknya.
Dalam ilmu kesehatan dikenal beberapa asas :
1. Sa science et sa conscience / ya ilmunya dan ya hati nuraninya
2. Agroti Salus Lex suprema / keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi
3. Deminimis noncurat lex / hukum tidak mencampuri hal-hal yang sepele
4. Res ipsa liquitar / faktanya telah berbicara
Sumber :
Dewi,A.I,2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book
Publisher :Yogyakarta
Segala sesuatu yang berkaitan dengan kesehatan seringkali dikatakan
sebagian masyarakat kesehatan dengan ucapan saratnya peraturan. Peraturan
dimaksud dapat berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku umum dan
berbagai ketentuan internal bagi profesi dan asosiasi kesehatan. Agar diperoleh
gambaran yang lebih menyeluruh maka digunakan susunan 3 (tiga) komponen
dalam suatu sistem hukum seperti yang dikemukakan Schuyt.(9) Ketiga
komponen dimaksud adalah keseluruhan peraturan, norma dan ketetapan yang
dilukiskan sebagai sistem pengertian, betekenissysteem, keseluruhan organisasi
dan lembaga yang mengemban fungsi dalam melakukan tugasnya, organisaties
instellingen dan keseluruhan ketetapan dan penanganan secara konkret telah
diambil dan dilakukan oleh subjek dalam komponen kedua, beslisingen en
handelingen.
Dalam komponen pertama yang dimaksudkan adalah seluruh peraturan,
norma dan prinsip yang ada dalam penyelenggaraan kegiatan di bidang kesehatan.
Bertolak dari hal tersebut dapat diklasifikasikan ada 2 (dua) bentuk, yaitu
ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh penguasa dan ketentuan yang dibuat oleh
organisasi profesi dan asosiasi kesehatan. Hubungan antara keduanya adalah
ketentuan yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi kesehatan serta sarana
kesehatan hanya mengikat ke dalam dan tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan yang dibuat oleh penguasa. Menurut inventarisasi yang dilakukan
terhadap ketentuan yang dikeluarkan penguasa dalam bentuk peraturan
perundang-undangan terdapat 2 (dua) kategori, yaitu yang bersifat menetapkan
dan yang bersifat mengatur.
Dari sudut pandang materi muatan yang ada dapat dikatakan mengandung 4
(empat) obyek, yaitu:
1. Pengaturan yang berkaitan dengan upaya kesehatan
2. Pengaturan yang berkaitan dengan tenaga kesehatan
3. Pengaturan yang berkaitan dengan sarana kesehatan
4. Pengaturan yang berkaitan dengan komoditi kesehatan
Apabila diperhatikan dari ketentuan tersebut terkandung prinsip
perikemanusiaan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha
bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan
dan kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan sendiri.(10)
Selanjutnya dari ketentuan yang ada dalam keputusan dan peraturan yang dibuat
oleh organisasi profesi dan asosiasi bidang kesehatan serta sarana kesehatan
adalah mencakup kode etik profesi, kode etik usaha dan berbagai standar yang
harus dilakukan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan.
Apabila diperhatikan prinsip-prinsip yang dikandung dalam ketentuan ini
mencakup 4 (empat) prinsip dasar, yaitu autonomy, beneficence, non maleficence
dan justice.(11)
Sebelum memasuki komponen kedua, perlu dibahas terlebih dahulu
komponen ketiga mengenai intervensi yang berupa penanganan yang dilakukan
berdasarkan ketentuan yang diatur. Komponen ini merupakan aktualisasi terhadap
komponen ideal yang ada dalam komponen pertama. Bila diperhatikan isi
ketentuan yang ada dimana diperlukan penanganan terdapat 4 (empat) sifat, yaitu:
1. Perintah (gebod) yang merupakan kewajiban umum untuk melakukan sesuatu
2. Larangan (verbod) yang merupakan kewajiban umum untuk tidak melakukan
sesuatu
3. Pembebasan (vrijstelling, dispensatie) berupa pembolehan khusus untuk tidak
melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan
4. Izin (toesteming, permissie) berupa pembolehan khusus untuk melakukan
sesuatu yang secara umum dilarang.(12)
Tindakan penanganan yang dilakukan apakah sudah benar atau tidak,
kiranya dapat diukur dengan tatanan hukum seperti yang dikemukakan oleh Nonet
dan Selznick, yaitu apakah masih bersifat represif, otonomous atau responsive.
(13)
Selanjutnya dengan komponen kedua tentang organisasi yang ada dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan dapat dibagi dalam 2 (dua) bagian besar yaitu
organisasi pemerintah dan organisasi / badan swasta.
Pada organisasi pemerintah mencakup aparatur pusat dan daerah serta departemen
dan lembaga pemerintah non departemen. Pada sektor swasta terdapat berbagai
organisasi profesi, asosiasi dan sarana kesehatan yang mempunyai tugas dan
fungsi di bidang kesehatan.
Dari susunan dalam 3 (tiga) komponen tersebut secara global menurut
Schuyt bahwa tujuan yang ingin dicapat adalah (14):
1. Penyelenggaraan ketertiban sosial
2. Pencegahan dari konflik yang tidak menyenangkan
3. Jaminan pertumbuhan dan kemandirian penduduk secara individual
4. Penyelenggaraan pembagian tugas dari berbagai peristiwa yang baik dalam
masyarakat
5. Kanalisasi perubahan sosial
2.2. Hubungan Terapeutik
A. Perjanjian Terapeutik
Perjanjian terapeutik atau transaksi terapeutik adalah perjanjian antara
dokter dengan pasien yang memberikan kewenangan kepada dokter untuk
melakukan kegiatan memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien berdasarkan
keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh dokter tersebut. dari hubungan
hukum dalam transaksi terapeutik tersebut, timbullah hak dan kewajiban masing-
masing pihak, pasien mempunyai hak dan kewajibannya, demikian juga
sebaliknya dengan dokter.
Karena transaksi terapeutik merupakan perjanjian, maka menurut
Komalawati (2002) terhadap transaksi terapeutik juga berlaku hukum perikatan
yang diatur dalam buku III KUH Perdata, sebagaimana disebutkan didalam pasal
1319 KUH Perdata yang berbunyi :
" Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak
terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum, yang termuat
dalam Bab ini dan Bab yang lalu"
Dengan demikian, untuk sahnya perjanjian tersebut, harus dipenuhi syarat-
syarat yang termuat dalam pasal 1320 KUH Perdata, dan akibat yang
ditimbulkannya diatur dalam pasal 1338 KUH Perdata, yang mengandung asas
pokok hukum perjanjian.
Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia yang dilampirkan dalam
Keputusan Menteri Kesehatan RI, No 434/Men.Kes/X/1983 tentang Berlakunya
Kode Etik Kedokteran Indonesia Bagi para Dokter di Indonesia, mencantumkan
tentang transaksi terapeutik sebagai berikut :
" Yang dimaksud dengan transaksi terapeutik adalah hubungan antara dokter
dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial), serta
senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani.
Menurut Subekti (1985), suatu perjanjian adalah suatu peristiwa bahwa
seseorang berjanji kepada orang lain atau antara dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal.
Untuk sahnya perjanjian terapeutik (Nasution : 2005), harus dipenuhi
syarat-syarat sesuai pasal 1320 KUH Perdata :
1. Adanya kesepakatan dari mereka yang saling mengikatkan dirinya.
2. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Mengenai suatu hal tertentu.
4. Untuk suatu sebab yang halal / diperbolehkan.
Syarat 1 dan 2 merupakan syarat subjektif yang harus dipenuhi yaitu para
pihak harus sepakat, dan kesepakatan itu dilakukan oleh pihak-pihak yang cakap
untuk membuat suatu perikatan.
Untuk keabsahan kesepakatan para pihak yang mengikatkan dirinya, maka
kesepakatan ini harus memenuhi kriteria pasal 1321 KUH Perdata yang berbunyi :
" Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau
diperolehnya dengan paksaan atau penipuan".
Agar kesepakatan ini sah menurut hukum, maka didalam kesepakatan ini
para pihak harus sadar (tidak ada kekhilafan), terhadap kesepakatan yang dibuat,
tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak, dan tidak boleh ada penipuan
didalamnya. Untuk itulah diperlukan adanya informed consent atau yang juga
dikenal dengan istilah Persetujuan Tindakan Medik.
Untuk syarat adanya kecakapan untuk membuat perjanjian, diatur dalam
pasal 1329 dan 1330 KUH Perdata sebagai berikut :
Pasal 1329 :
"Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh
undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap".
Pasal 1330 :
Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :
1. Orang-orang yang belum dewasa.
2. Mereka yang ditaruh di dalam pengampuan.
3. Orang-orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan
pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Pihak penerima pelayanan medik yang tidak cakap untuk bertindak (tidak
boleh membuat kesepakatan, atau kesepakatan yang dibuat bisa dianggap tidak
sah) antara lain :
1. Orang dewasa yang tidak cakap untuk bertindak (misalnya : orang gila,
pemabuk, atau tidak sadar), maka diperlukan persetujuan dari pengampunya
(yang boleh membuat perikatan dengan dokter adalah pengampunya).
2. Anak dibawah umur, diperlukan persetujuan dari walinya atau orang tuanya.
Yang dimaksud dengan dewasa menurut Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 585/Men.Kes/per/IX/1989, Pasal 8 ayat (2) adalah telah berumur 21 tahun
atau telah menikah. Jadi untuk seseorang yang berusia dibawah 21 tahun dan
belum menikah, maka transaksi terapeutik harus ditanda tangani oleh orang tua
atau walinya, yang merupakan pihak yang berhak memberikan persetujuan.
Sumber Rujukan :
Isfandyarie, A, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku I,
Prestasi Pustaka Publisher : Jakarta.
B. Akibat Transaksi Teurapetik
Jika transaksi terapeutik telah memenuhi syarat sahnya perjanjian, maka
semua kewajiban yang timbul mengikat bagi para pihak, baik pihak dokter
maupun pihak pasien.
Akibat hukum dari dilakukannya perjanjian tertuang di dalam pasal 1338
dan 1339 KUH Perdata sebagai berikut ;
Pasal 1388 :
" Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya"
Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua
belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan
cukup untuk itu.
Pasal 1339 :
" Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang".
Dari kedua pasal diatas dapat diambil pengertian sebagai berikut :
1. Perjanjian terapeutik (transaksi terapeutik) berlaku sebagai undang-undang
baik bagi pihak pasien maupun pihak dokter, dimana undang-undang
mewajibkan para pihak memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing
sesuai dengan hal yang diperjanjikan.
2. Perjanjian terapeutik tidak dapat ditarik kembali tanpa kesepakatan pihak
lain, misalnya ; karena dokter tidak berhasil menyembuhkan pasien atau
kondisi pasien memburuk setelah ditanganinya, dokter tidak boleh lepas
tanggung jawab dengan mengalihkan pasien kepada sejawat yang lain tanpa
indikasi medis yang jelas. Untuk mengalihkan pasien kepada sejawat yang
lain, dokter yang bersangkutan harus minta persetujuan pasien atau
keluarganya.
3. Kedua belah pihak, baik dokter dan pasien harus sama-sama beritikad baik
dalam melaksanakan perjanjian terapeutik. Wawancara dalam pengobatan
harus dilakukan berdasarkan itikad baik dan kecermatan yang patut oleh
dokter, dan pasien harus membantu menjawab dengan itikad baik pula agar
hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan dibuatnya transaksi terapeutik.
4. Perjanjian hendaknya dilaksanakan sesuai dengan tujuan dibuatnya perjanjian
yaitu kesembuhan pasien, dengan mengacu kepada kebiasaan dan kepatutan
yang berlaku baik kebiasaan yang berlaku dalam bidang pelayanan medis
maupun dari pihak kepatutan pasien. Dokter harus menjaga mutu pelayanan
dengan berpedoman kepada standar pelayanan medik yang telah disepakati
bersama dalam rumah sakit maupun orgnisasi profesi sebagai kebiasaan yang
berlaku, serta memikirkan kelayakan dan kepatutan yang ada di masyarakat.
Untuk memberikan gambaran lebih jelas tentang transaksi terapeutik, maka
akan dipaparka kekhususan transaksi terapeutik dengan perjanjian pada umumnya
sebagai berikut (Komalawati, 2002):
1. Subjek pada transaksi terapeutik terdiri dari dokter dan pasien. Dokter
bertindak sebagai pemberi pelayanan medik profesional yang pelayanannya
didasarkan pada prinsip pemberian pertolongan. Sedangkan paien sebagai
penerima pelayanan medik yang membutuhkan pertolongan. Pihak dokter
mempunyai kualifikasi dan kewenangan tertentu sebagai tenga profesional
dibidang medik yang berkompeten untuk memberikan pertolongan yang
dibutuhkan pasien, sedangkan pihak pasien karena tidak mempunyai
kualifikasi dan kewenangan sebagaimana yang dimiliki dokter berkewajiban
membayar honorarium kepada dokter atas pertolongan yang telah diberikan
dokter tersebut.
2. Objek perjanjian berupa upaya medik profesional yang mencirikan pemberian
pertolongan.
3. Tujuan perjanjian adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang
berorientasi kekeluargaan, mencakup kegiatan peningkatan kesehatan
(promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif),
dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif).
Sumber Rujukan :
Isfandyarie, A, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku I,
Prestasi Pustaka Publisher : Jakarta.
C. Hak dan Kewajiban Dokter-pasien
Hak-Hak Dokter Meliputi :
1. Melakukan praktik dokter setelah memperoleh surat ijin dokter dan surat ijin
praktik.
2. Memperoleh informasi yang benar dan lengkap dari pasien tentang
penyakitnya.
3. Bekerja sesuai standar profesi.
4. Menolak melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan etika, hukum,
agama, dan hati nuraninya.
5. Mengakhiri hubungan dengan pasiennya, jika menurut penilaiannya
kerjasama dengan pasiennya tidak ada gunanya lagi kecuali dalam keadaan
gawat darurat.
6. Hak atas privasi dokter.
7. Ketentraman bekerja.
8. Mengeluarkan surat-surat keterangan dokter.
9. Menerima imbalan jasa.
10. Menjadi anggota perhimpunan profesi.
11. Hak membela diri.
Kewajiban Dokter Meliputi :
1. Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan
sumpah kedokteran.
2. Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran
tertinggi.
3. Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi.
4. Setiap dokter wajib melindungi makhluk insani.
5. Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter harus mengutamakan
kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan
kesehatan yang menyeluruh, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi
masyarakat yang sebenarnya.
6. Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan menggunakan segala ilmu dan
keterampilannya untuk kepentingan penderita.
7. Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang penderita, bahkan setelah penderita meninggal.
8. Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
kemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya.
9. Setiap dokter tidak boleh mengambil alih penderita dari teman sejawatnya
tanpa persetujuannya.
Sumber Rujukan :
Dewi, A.I., 2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book
Publisher :Yogyakarta.
Hak Pasien Meliputi :
1. Mendapatkan pelayanan yang manusiawi
2. Memperoleh asuhan perawatan yang bermutu baik
3. Memilih dokternya
4. Meminta dokter yang merawat agar mengadakan konsultasi dengan dokter
lain
5. Dijaga privasinya (kerahasiaan penyakit yang diderita)
6. Mendapatkan informasi yang lengkap tentang :
a. Penyakit yang diderita
b. Tindakan medik apa yang hendak dilakukan dan kemungkinan akibatnya
c. Alternatif terapi yang lainnya
d. Prognosis
e. Perkiraan biaya pengobatan
7. Meminta tidak diinformasikan tentang penyakitnya (hak waiver)
8. Menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya
9. Mengajukan keluhan-keluhan dan memperoleh tanggapan
10. Didampingi keluarga dalam keadaan kritis
11. Mengakhiri pengobatan dan rawat inap atas tanggung jawab sendiri
12. Menjalankan agama dan kepercayaannya di rumah sakit (tidak mengganggu
pasien lain)
Kewajiban Pasien di Rumah Sakit:
1. Pasien dan keluarganya berkewajiban untuk mentaati segala peraturan dan
tata tertib rumah sakit.
2. Pasien wajib untuk menceritakan sejujur-jujurnya tentang segala sesuatu
mengenai penyakit yang dideritanya.
3. Pasien berkewajiban untuk mematuhi segala instruksi dokter dalam rangka
pengobatan.
4. Pasien dan/atau penanggungnya berkewajiban untuk melunasi semua imbalan
dan jasa pelayanan rumah sakit / dokter.
5. Pasien dan/atau penanggungnya berkewajiban untuk memenuhi segala
perjanjian yang ditandatanganinya.
Sumber Rujukan :
Hanfiah, J., Amir, A., 1999, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, EGc:
Jakarta.
UU No 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.
D. Pertanggungjawaban Dokter dalam Hukum
Dalam pengertian hukum, tanggung jawab berarti "keterikatan". Tiap
manusia, mulai saat ia dilahirkan sampai saat ia meninggal dunia mempunyai hak
dan kewajiban dan disebut sebagai subjek hukum. Demikian juga dokter, dalam
melakukan suatu tindakan, harus bertanggung jawab sebagai subjek hukum
pengemban hak dan kewajiban.
Tindakan atau perbuatan dokter sebagai subjek hukum dalam pergaulan
masyarakat, dapat dibedakan antara tindakannya sehari-hari yang tidak berkaitan
dengan pelaksanaan profesi dan tindakan yang berkaitan dengan pelaksanaan
profesi. Begitu pula dalam tanggung jawab hukum seorang dokter, dapat tidak
berkaitan dengan profesi, dan dapat pula merupakan tanggung jawab hukum
bekaitan dengan pelaksanaan profesinya.
Perbuatan dokter yang tidak berkaitan dengan pelaksanaan profesi yang
menimbulkan tanggung jawab hukum antara lain : dokter menikah, melakukan
perjanjian jual beli, dan sebagainya. Perbuatan dokter yang tidak berkaitan dengan
pelaksanaan profesinya ini, pada umumnya juga bisa dilakukan oleh setiap orang
yang bukan dokter.
Tanggung jawab hukum timbul berkaitan dengan pelaksanaan profesi
dokter, masih dapat dibedakan antara :
1. Tanggung jawab terhadap ketentuan profesionalnya yang termuat dalam
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 434/Men.Kes/SK/X/1983 tentang
Kodeki.
2. Tanggung jawab terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang tercantum dalam
undang-undang, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) beserta
hukum acaranya (KUHAP), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW/
Bugerlijk Wetboek) dan Undang-Undang perlindungan konsumen beserta
hukum acaranya (HIR), Undang-Undang No 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan, dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran.
Dalam pertanggung jawaban hukum seorang dokter sebagai pengemban
profesi, dokter harus selalu bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya.
Karena tanggung jawab dokter dalam hukum sedemikian luasnya, maka dokter
juga harus mengerti dan memahami ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku
dalam pelaksanaan profesinya. Termasuk didalamnya tentang pemahaman hak-
hak dan kewajiban dalam menjalan profesi sebagai dokter.
Penguasaan ilmu dan keterampilan saja tidaklah cukup. Mungkin saja
terjadi, seorang dokter yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang
tinggi dibidang keahliannya, benar-benar menggunakan ilmunya demi menolong
pasien tanpa dipengaruhi pertimbangan untuk mencari keuntungan pribadi.
Namun perasaan tidak puas pasien atas upaya penyembuhan yang dilakukan
dokter tersebut, dapat mengakibatkan pasien lalu menuntut sang dokter ke
pengadilan. Walaupun pada akhirnya tuntutan pasien terhadap dokter tidak
terbukti, dokter ternyata tidak melakukan tindakan yang merugikan pasien, namun
nama dokter tersebut sudah terlanjur tercemar. Dalam hal demikian, suatu
tindakan yang bersifat preventif akan sangat berarti bagi ketenangan bekerja
dokter dalam melaksanakan profesinya. Pengertian tentang tanggung jawab
hukum akan sangat membantu dokter dalam mengantisipasi kemungkinan
tuntutan pasien yang dapat terjadi dalam upaya medis yang dilakukan dokter.
Kesadaran dokter terhadap kewajiban hukumnya baik terhadap diri sendiri
maupun terhadap orang lain dalam menjalankan profesinya harus benar-benar
dipahami oleh dokter sebagai pengemban hak dan kewajiban. Kewajiban hukum
pada intinya menyangkut apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan
seseorang dokter, atau apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak
seharusnya dilakukan dalam menjalankan profesi dokter.
Kewajiban hukum dokter mencakup kewajiban hukum yang timbul karena
profesinya dan kewajiban yang timbul dari kontrak terapeutik (penyembuhan)
yang dilakukan dalam hubungan dokter dengan pasien. Kewajiban tersebut
mengikat setipa dokter yang selanjutnya menimbulkan tanggung jawab hukum
bagi diri dokter yang bersangkutan. Dalam menjalankan kewajiban hukumnya,
diperlukan adanya ketaatan dan kesungguhan dari dokter tersebut dalam
melaksanakan kewajiban sebagai pengemban profesi. Kesadaran hukum yang
dimiliki dokter harus berperan dalam diri dokter tersebut untuk bisa
mengendalikan dirinya sehingga tidak melakukan kesalahan profesi, agar
terhindar dari sanksi yang diberikan oleh hukum.
Fuady (2005) membagi kewajiban hukum yang utama dari seorang dokter
menjadi 4 hal yang terdiri dari :
1. Kewajiban melakukan diagnosis penyakit.
2. Kewajiban mengobati penyakit.
3. Kewajiban memberikan informasi yang cukup kepada pasien dalam bahasa
yang dimengerti oleh pasien, baik diminta maupun tidak.
4. Kewajiban untuk mendapatkan persetujuan pasien (tanpa paksaan atau
penekanan) terhadap tindakan medik yang akan dilakukan oleh dokter setelah
dokter memberikan informasi yang cukup dan dimengerti oleh pasien.
"Keterikatan" dokter terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam
menjalankan profesinya merupakan tanggung jawab hukum yang harus dipenuhi
dokter yang pada dasarnya meliputi 3 bentuk pertanggung jawaban, yaitu :
1. Bidang hukum administrasi dimuat dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 Tentang praktik kedokteran.
2. Bidang hukum pidana, terdiri dari :
a. KUHP, antara lain pasal 48-51, 224, 267, 268, 322, 344-361, 531.
b. Ketentuan Pidana UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
c. Ketentuan Pidana UU No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
3. Bidang Hukum Perdata, terdiri dari :
a. BW, antara lain pasal 1239, 1365, 1366, 1367.
b. UU No 8 Tahun 1999 Tentang Konsumen Pasal 19.
Sehubungan dengan tanggung jawab hukum dokter dalam bidang hukum
perdata, maka ada 2 bentuk pertanggungjawaban pokok, yaitu :
a. Pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan karena wanprestasi.
b. Pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan karena perbuatan
melawan hukum.
Pada dasarnya, pertanggungjawaban perdata bertujuan untuk memperoleh
kompensasi atas kerugian yang diderita disamping untuk mencegah terjadinya hal-
hal yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, dasar untuk menuntut tanggung jawab
dokter yang dianggap telah merugikan pasiennya adalah mengenai perbuatan
melawan hukum atau wanprestasi yang memberikan hak kepada yang dirugikan
untuk menerima kompensasi dari pihak lain yang mempunyai kewajiban terhadap
pihak yang menderita kerugian tersebut.
Ada 3 prinsip pertanggungjawaban perdata, yaitu :
1. Setiap tindakan yang menimbulkan kerugian atas diri orang lain berarti orang
yang melakukannya harus membayar kompensasi sebagai
pertanggungjawaban kerugian (pasal 1365 BW).
2. Seseorang harus bertanggung jawab tidak hanya karena kerugian yang
dilakukannya dengan sengaja, tetapi juga karena kelalaian atau kurang hati-
hati (pasal 1366 BW).
3. Seseorang harus memberikan pertanggungjawaban tidak hanya atas kerugian
yang ditimbulkan dari tindakannya sendiri, tetapi juga atas kerugian yang
ditimbulkan dari tindakan orang lain yang berada dibawah pengawasannya
(pasal 1367 BW).
Safitri Hariyani, dalam sengketa medik, membagi pertanggungjawaban
dalam bidang hukum perdata sebagai berikut :
1. Melakukan wanprestasi (1239 BW)
2. Melakukan perbuatan melawan hukum (1365 BW)
3. Melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian (1366 BW)
4. Melalaikan pekerjaan sebagai penanggung jawab (1367 ayat 3 BW).
Sumber Rujukan :
Isfandyarie, A, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku I,
Prestasi Pustaka Publisher : Jakarta.
2.3. Malpraktek Medis
a. Pengertian
Akhir-akhir ini tuntutan hukum terhadap dokter dengan dakwaan
melakukan malpraktek makin meningkat dimana-mana. Ini menunjukkan
peningkatan kesadaran hukum masyarakat, dimana masyarakat lebih menyadari
akan haknya. Disisi lain para dokter dituntut untuk melakukan kewajiban dan
tugas profesinya dengan lebih hati-hati dan penuh tanggung jawab. Seorang
dokter hendaknya dapat menegakkan diagnosis dengan benar sesuai dengan
prosedur, memberikan terapi dan melakukan tindakan medik sesuai standar
pelayanan medik, dan tindakan itu memang wajar dan diperlukan. a
Malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan
tingkat ketrampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim diperrgunakan dalam
mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang
sama. Yang dimaksud dengan kelalaian disini ialah sikap kurang hati-hati, yaitu
tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan
wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak
akan melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan
melakukan tindakan kedokteran dibawah standar pelayanan medik.a
Walaupun UU No.6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan sudah dicabut
oleh UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan, namun perumusan
malpraktek/kelalaian medik yang tercantum dalam paal 11b masih dapat
dipergunakan yaitu :
1. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan di dalam KUHP dan peraturan
perundang-undangan lain, maka terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan
tindakan-tindakan administratif dalam hal sebagai berikut :
a. melalaikan kewajiban
b. melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh
seorang tenaga kesehatan , baik mengingat sumpah jabatannya, maupun
mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan.
Dari 2 butir tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pada butir (a)
melalaikan kewajiban, yang berarti tidak melakukan sesuatu yang seharusnya
dilakukan. Sedangkan pada butir (b) berarti melakukan suatu tindakan yang
seharusnya tidak dilakukan. a
Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hokum atau kejahatan, jika
kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan
orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hokum “De minimis
nonculat lex” , yang berarti hokum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap
sepele. Tetapi jika kelalaian itu menimbulkan kerugian materi, mencelakakan,
bahkan merenggut nyawa orang lain maka ini diklasifikasikan sebagai kelalaian
berat (culpa lata), serius dan kriminil.a
Tolak ukur culpa lata adalah :
1. Bertentangan dengan hukum
2. Akibatnya dapat dibayangkan
3. Akibatnya dapat dihindarkan
4. Perbuatannya dapat dipersalahkan
Jadi malpraktek medik merupakan kelalaian yang berat dan pelayanan
kedokteran dibawah standar.a
Malpraktek medik murni (criminal malprctice) sebenarnya tidak banyak
dijumpai. Misalnya melakukan pembedahan dengan niat membunuh pasiennya
atau adanya dokter yang sengaja melakukan pembedahan pada pasiennya tanpa
indikasi medik, yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, jadi semata-mata untuk
mengeruk keuntungan pribadi. Memang dalam masyarakat yang menjadi
materealistis, hedonistis, dan konsumtif, dimana kalangan dokter turut terimbas,
malpraktek seperti diatas dapat meluas.a
Dokter dikatakan melakukan malpraktek jika :
1. Dokter kurang memahami ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang
sudah berlaku umum dikalangan profesi kedokteran
2. Memberikan pelayanan kedokteran dibawah standar profesi (tidak lege artis)
3. Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak
hati-hati
4. Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum.a
Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik
kedokteran, maka ia hanya telah melakukan malpraktek etik. Untuk dapat
menuntut penggantian kerugian karena kelalaian, maka penggugat harus dapat
membuktikan adanya 4 unsur berikut :
1. Adanya suatu kewajiban antara dokter dengan pasien
2. Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipergunakan
3. Penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya
4. Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar.a
Kadang-kadang penggugat tidak perlu membuktkan adanya kelalaian yang
tergugat. Dalam hukum terdapat suatu kaedah yang berbunyi ”Res Ipsa
Loquitur”, yang berarti faktanya telah berbicara, misalnya terdapatnya kain kasa
yang tertinggal di rongga perut pasien, sehingga menimbulkan komplikasi pasca
bedah. Dalam hal ini maka dokterlah yang harus membuktikan bahwa tidak
adanya kelalaian pada dirinya.a
Kelalaian dalam arti perdata berebeda dengan arti pidana. Dalam arti
pidana (kriminal), kelalaian menunjukkan kepada adanya suatu sikap yang
sifatnya lebih serius, yaitu sikap yang sangat sembarangan atau sikap sangat tidak
hati-hati terhadap kemungkinan timbulnya resiko yang bisa menyebabkan orang
lain terluka atau mati, sehingga harus bertanggungjawab terhadap tuntutan
kriminal oleh negara.a
b. Contoh Kasus a
No Contoh Kasus Aspek hukum yang berkaitan
01 Seorang dokter memberikan cuti
sakit berulang kali kepada seorang
tahanan, padahal orang tersebut
mampu menghadiri sidang
pengadilan perkaranya.
Dokter terkena pelanggaran KODEKI Bab I pasal
7 dan KUHP pasal 267
KODEKI Bab I pasal 7
Seorang dokter hanya memberi keterangan atau
pendapat yang dapat dibuktikan kebenarannya.
KUHP Pasal 267
Dokter yang dengan sengaja memberi surat
keterangan palsu tentang adanya atau tidak
adanya penyakit, kelemahan atau cacat, dikuhum
dengan hukuman penjara selama 4 tahun
02 Seorang penderita gawat darurat di
rawat di suatu rumah sakit dan
ternyata membutuhkan
pembedahan segera. Ternyata
pembedahan tertunda-tunda,
sehingga penderita meninggal
dunia
a. Jika tertundanya pembedahan tersebut
disebabkan kelalaian dokter maka sikap dokter
tersebut bertentangan dengan lafal sumpah
dokter, KODEKI Bab II Pasal 10 dan KUHP
pasal 304 dan 306
Lafal sumpah dokter :
Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan
penderita
KODEKI Bab II Pasal 10
Seorang dokter wajib melakukan pertolongan
darurat sebagai suatu tugas kemanusiaan
KUHP Pasal 304
Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau
membiarkan seorang dalam kesengsaraan,
sedangkan ia wajib memberi kehidupan,
perawatan, dan pemeliharaan berdasarkan hukum
yang berlaku baginya atau karena suatu
perjanjian, dihukum dengan hukum penjara
selama-lamanya 2 tahun 8 bulan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp.4.500,-
KUHP Pasal 306
(2) Jika salah satu perbuatan tersebut berakibat
kematian, maka bersalah dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya 9 tahun
b. Jika tertundanya pembedahan tersebut
disebabkan keluarga penderita belum membayar
uang panjar untuk rumah sakit, maka rumah
sakitlah yang terkena pasal-pasal KUHP 304 dan
306, sedangkan dokter terkena pelanggaran
KODEKI
03 Seorang dokter umum melakukan
pembedahan benjolan pada leher
seorang wanita yang kemudian
timbul komplikasi pendarahan.
Dokter menghentikan tindakannya
sedangkan benjolan tersebut belum
diangkat seluruhnya. Padahal di
kota tempat dokter itu bekerja ada
dokter spesialis bedah
Daalam kasus ini dokter umum tersebut
melanggar KODEKI Bab I Pasal 2 dan 11, KUHP
Pasal 360
KODEKI Bab I Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa melakukan
profesinya menurut ukuran tertinggi.
KODEKI Bab I Pasal 11
Dalam hal tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan maka ia wajib
merujuk penderita kepada dokter lain yang
mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
KUHP Pasal 350
Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan
orang lain mendapat luka berat atau luka
sedemikian, sehingga berakibat penyakit atau
halangan sementara untuk menjalankan jabatan
atau pekerjaannya, dihukum dengan hukuman
penjara selama-lamanya 5 tahun.
04 Seorang wanita usia 31 tahun di
rawat dengan benjolan pada leher,
lemah, dan tidak mempunyai nafsu
Dalam penyelidikan di pengadilan dibuktikan
bahwa prosedur punksi memang perlu dilakukan
untuk diagnosis dan terapi serta tekniknya telah
makan. Dugaan diagnosis adalah
suatu penyakit darah mungkin
limfoma atau leukemia.
Pemeriksaan darah menunjukkan
suatu leukemia akut. Namun pada
saat itu tidak dapat dipastikan tipe
leukemianya, karena itu
diperlukan punksi sumsum tulang,
untuk mengetahui tipe sel dan
menetapkan terapi yang tepat.
Punksi sumsum tulang telah
dicoba sebanyak 6 kali, pada
tulang dada dan tulang panggul.
Pada punksi tulang dada yang
terakhir kali, tiba-tiba penderita
menjadi sesak, resusitasi dilakukan
segera, namun penderita
meninggal dunia 45 menit
kemudian. Pada autopsi dijumpai
bahwa penderita meninggal karena
komplikasi hemopericardium
(perdarahan) yang disebabkan luka
punksi pada bilik kanan jantung
sewaktu melakukan punksi tulang
dada.
dilaksanakan dengan hati-hati serta sesuai
prosedur. Komplikasi yang timbul memang dapat
terjadi pada aspirasi sumsum tulang. Pertolongan
yang diberikan setelah terjadi komplikasi adalah
cepat dan tepat dan dinilai tidak ada kelalaian
dokter.
05 Seorang wanita usia 70 tahun
dirujukkan ke rumah sakit untuk
appendektomi, karena radang usus
buntu. Pada waktu pembedahan,
spesialis bedah mengangkat suatu
jaringan yang diduganya usus
buntu yang sedang meradang.
Dipengadilan dinyatakan bahwa dokter spesialis
bedah tersebut kurang teliti dan hati-hati dan
dinilai ketrampilannya dibawah standar.
Kalaupun spesialis patologi segera
memberitahukan hasil pemeriksaannya kepada
spesialis bedah tersebut dan ia sempat melakukan
operasi kedua, belum tentu penderita dapat
Namun pada pemeriksaan
patologi, ternyata jaringan tersebut
bukan merupakan usus buntu,
melainkan jaringan lemak.
Penderita meninggal 2 hari setelah
operasi. Pada autopsi dijumpai
usus buntu yang mengalmi
perforasimasih melekat pada
coecum. Kematian disebabkan
sepsis yang timbul akibat
appendicitis akut perforasi
diselamatkan.
Dari kasus- kasus diatas dapat diambil kesimpulan :
1. Dari seorang dokter dituntut penampilan sesuai dengan standar dalam
melaksanakan tugas profesinya, serta berusaha dengan sungguh-sungguh dan
hati-hati dalam mencegah komplikasi sewaktu menegakkan diagnosis.
2. Jika pemeriksaan penderita telah dilakukan dengan teliti, menegakkan
diagnosis berlandaskan data-data yang memadai, mempertimbangkan
diagnosis deferensial dengan tes-tes tambahan yang diperlukan , mengobati
penderitanya dengan cara-cara yang tepat, membuat catatan medik dengan
adekuat termasuk follow upnya, menyadari benar-benar apa yang
dilakukannya, dan memberikan pertolongan dengan cepat dan tepat jika
terjadi komplikasi, maka dokter tidak akan dituntut melakukan kelalaian
apabila terjadi juga hal-hal yang tidak diinginkan.
3. Jika suatu kasus yang diduga malpraktek diajukan ke depan pengadilan, maka
diperlukan bukti-bukti yang cukup untuk menegakkan kebenaran. Jika
penderita meninggal dunia, diperlukan autopsi klinik untuk menetapkan sebab
kematian yang pasti. Pada tahap sekarang ini, tindakan tersebut masih sulit
untuk dilakukan disebabkan pengaruh sosio-budaya.a
c. Penanganan Malpraktek
Walaupun dalam KODEKI telah tercantum tindakan-tindakan yang
selayaknya tidak dilakukan oleh seorang dokter dalam menjalankan profesinya,
akan tetapi sanksi bila terjadi pelanggaran etik tidak dapat diterapkan dengan
seksama. Dalam etik sebenarnya tidak ada batas-batas yang jelas antara boleh atau
tidak, oleh karena itu kadangkala sulit memberikan sanksi-sanksinya. a
Di negara maju terdapat suatu Dewan Medis (Medical Council) yang
bertugas melakukan pembinaan etik profesi dan menanggulangi pelanggaran-
pelanggaran yang dilakukan terhadap etik kedokteran. Di negara kita IDI telah
mempunyai Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), baik ditingkat pusat
maupun di tingkat cabang. Walaupun demikian MKEK ini belum lagi
dimamfaatkan dengan baik oleh para dokter ataupun masyarakat.a
Masih banyak kasus yang terlanjur diajukan ke pengadilan sebelum
ditangani oleh MKEK, oleh karena itu fungsi MKEK belum memeuaskan, maka
pada tahun 1982 Departemen Kesehatan membentuk Panitia Pertimbangan dan
Pembinaan Etik Kedokteran (P3EK) yang terdapat pula di pusat dan di tingkat
propinsi. Tugass P3EK adalah menangani kasus-kasus malpraktek etik yang tidak
dapat ditanggulangi oleh MKEK, dan memberi pertimbangan dan usul-usul
kepada pejabat yang berwenang. a
Jadi instansi pertama yang akan menangani kasus-kasus malpraktek etik
ialah MKEK Cabang atau Wilayah. Masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh
MKEK dirujuk ke P3EK Propinsi atau jika P3EK Propinsi tidak dapat
menanganinya maka kasus tersebut diterusskan ke P3EK Pusat. a
2.4. Penanganan Penderita Gawat Darurat
a. Pengertian
Gawat darurat medik adalah suatu kondisi yang dalam pandangan penderita,
keluarga, atau siapapun yang bertanggung jawab dalam membawa penderita ke
rumah sakit, memerlukan pelayanan medik segera. Kondisi ini berlanjut hingga
petugas kesehatan yang profesional menetapkan bahwa keselamatan penderita
atau kesehatannya tidak terancam. Namun keadaan gawat darurat yang
sebenarnya adalah suatu kondisi klinik yang memerlukan pelayanan medik.
Kondisi tersebut berkisar antara yang memerrlukan pelayanan ekstensif segera
dengan rawat inap di rumah sakit dan yang memerlukan pemeriksaan diagnostik
atau pengamatan yang setelahnya mungkin memerlukan atau mungkin juga tidak
memerlukan rawat inap (The American Hospital Association)
Gawat darurat medik dapat timbul pada siapa saja, kapan saja dan dimana
saja. Gawat darurat dapat menimpa sseseorang karena penyakit mendadak (akut)
atau kecelakaan atau dapat menimpa sekelompok orang seperti pada kecelakaan
massal, bencana alam, atau karena peperangan. Penderita gawat darurat ini
memerlukan pelayanan medik yang cepat, tepat, bermutu dan terjangkau. Dalam
pelayanan medik itulah para petugass kesehatan dituntut untuk benar-benar
menghayati dan mengamalkan etik profesinya, karena dalam kondisi gawat
darurat aspek psiko-emosional memegang peranan pentinng, baik bagi penerima
pelayanan medik, maupun bagi petugas kesehatan terkait.a
b. Landasan Etik Medik
Etik medik terutama berlandaskan pada pancasila dengan silanya peri
kemanusiaan yang adil dan beradab. Di samping itu perlu dipahami, dihayati, dan
diamalkan hak penderita dan kewajiban-kewajiban lainnya dari dokter. Hampir
semua butir lafal sumpah dokter berkaitan erat dengan pelayanan medik penderita
gawat darurat, yaitu bahwa setiap dokter akan membaktikan hidupnya guna
kepentingan perikemanusiaan, mengutamakan kesehatan penderita,
mengutamakan kepentingan masyarakat, menghormati hidup insani, dan dalam
menunaikan kewajibannya seorang dokter tidak akan terpengaruh oleh
pertimbangan keagamaan, kesukuan, perbedaan kelamin, politik kepartaian atau
kedudukan sosial.a
Dalam KODEKI terdapat butir-butir yang berkaitan dengan kasus-kasus
gawat darurat yang kalau ditempatkan menurut urutan yang relevan lebih dahulu,
susunannya menjadi sebagai berikut :
1. Seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
kemanusiaan, kecuali bila yakin ada orang lain yang bersedia dan mampu
memberikannya (Pasal 14)
2. Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran
tertinggi (Pasal 2)
3. Setiap dokter harus senantiasa mengingatakan kewajibannya melindungi
hidup insani (Pasal 10)
4. Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan ilmu
keterampilannya untuk kepentingan penderita. Dalam hal ia tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka ia wajib merujuk
penderita kepada dokter lain yang mempunyai keahlian terhadap penyakit
tersebut (Pasal 11)
5. Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadinya (Pasal 3)
6. Seorang dokter dalam bekerjasama dengan pejabat dibidang kesehatan dan
bidang lainnya serta masyarakat harus memelihar saling pengertian sebaik-
baiknya (Pasal 9)
7. Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada penderita agar senantiasa
ddapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribat dan
atau dalam masalah lainnya (Pasal 12)
8. Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia (Pasal 13)
9. Setiap dokter harus memelihara kesehatannya supaya dapat bekerja dengan
baik (Pasal 17)
Dari butir-butir KODEKI tersebut di atas jelas bagaimana seharusnya
seorang dokter berperilaku pada saat menghadapi kasus-kasus gawat darurat, yang
tidak jarang berakhir dengan kematian penderita. Upaya dokter dengan penuh
perhatian membantu penderita disertai dengan sikap manusiawi dan empati pada
saat penderita mengalami saat-saat kritis, alaupun akhirnya penderita meninggal
dunia, kiranya keluarga dapat menerima musibah itu dengan ikhlas, bahkan
berterima kasih kepada dokter yang telah berikhtiar dengan sungguh-sungguh
untuk menyelamatkan jiwa penderita.a
c. Contoh Kasus
Pelayanan medik penderita gawat darurat mempunyai aspek khusus, karena
ini menyangkut kelangsungan hidup seseorang. Disini penderrita secara tiba-tiba
tak terduga sebelumnya, menghadapi ancaman bahaya maut, sehingga
memerlukan tindakan segera untuk menyelamatkan jiwanya, mencegah
bertambahnya penderitaan atau bertambah parahnya penyakit ataupun mencegah
timbulnya cacat permanen anggota tubuhnya. Oleh karena itu ada hal-hal yang
pada penderita biasa tidak dapat dibenarkan, pada kasus-kasus gawat darurat
diperbolehkan pengecualian. a
Contoh-contoh kasus gawat darurat yang berkaitan dengan etik dan pidana :
No Contoh Kasus Keterangan
01 Seorang dokter spesialis yang tugas jaga, yang
tidak bersedia datang untuk memeriksa
penderita gawat darurat yang dikonsul
kepadanya dan kemudian penderita meninggal
dunia.
Dokter bukan saja dianggap telah
melakukan malpraktek etik, tetapi
juga malpraktek pidana, karena
kelalaiannya menyebabkan seorang
meninggal dunia
Instruksi dokter mengenai
pemeriksaan dan pengobatan per
telfon juga dianggap pelanggaran,
karena pelayanannya dibawah
standar pelayanan medik
02 Dokter yang langsung mentransfer seorang
penderita gawat darurat ke rumah sakit rujukan
tanpa memberi pertolongan pertama untuk
memperbaiki keadaan umum penderita,
sehingga penderita meninggal dunia di
perjalanan
Malpraktek etik dan malpraktek
pidana
03 Rumah sakit dan atau seorang dokter yang
menunda-nunda rawat inap penderita gawat
darurat atau menunda-nunda tindakan medik
terhadap penderitanya atas alasan belum
membayar uang muka
Melanggar etik dan hukum sehingga
dapat digugat di pengadilan
04 Untuk penderita gawat darurat yang dalam
keadaan tidak sadar misalnya petinju dengan
trauma capitis dan tidaak didampingi oleh
keluarga yang memerlukan tindakan
pembedahan segera (cyto) untuk
menyelamatkan jiwanya
Tidak diperlukan Persetujuan
Tindakan Medik (PTM) dari siapa
pun. Ini sesuai dengan KODEKI
dimana dokter mengutamakan
kesehatan penderita dan melindungi
hidup insani.
Permenkes No.585 Tahun 1989
Pasal 11 :
Dalam hal pasien tidak sadar/pingsan
atau tidak didampingi oleh keluarga
terdekat dan secara medik berada
dalam keadaan gawat dan atau darurat
yang memerlukan tindakan medik
segera untuk kepentingannya, tidak
diperlukan persetujuan dari siapa pun.
05 Seorang anak atau seorang penderita penyakit
jiwa yang mendapat kecelakaan lalu lintas dan
tiba di rumah sakit tanpa didampingi orang tua
atau walinya untuk menandatangani PTM,
sedangkan pembedahan tidak dapat ditunda-
tunda lagi demi mencegah bertambah parah
penyakitnya
Tindakan dokter melakukan
pembedahan itu dapat dibenarkan dan
sesuai dengan KODEKI.
2.5. Euthanasia
Ada dua masalah dalam bidang kedokteran/kesehatan yang berrkaitan
dengan aspek hukum yang selalu aktual dibicarakan dari waktu ke waktu,
sehingga dapat digolongkan ke dalam masalah klasik dalam bidang kedokteran
yaitu tentang abortus provokatus dan euthanasia. Dalam lafal sumpah dokter yang
disusun oleh Hipocrates (460-337 SM), Kedua masalah ini telah ditulis dan
diingatkan. Sampai kini tetap saja persoalan yang timbul berkaitan dengan
masalah ini tidak dapat diatasi atau diselesaikan dengan baik, atau didapatnya
kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak. Di satu pihak tindakan
euthanasia pada beberapa kasus dan keadaan memang diperlukan, sementara di
lain pihak tindakan ini tidak dapat diterima, bertentangan dengan hukum, moral
dan agama. Kedua masalah ini setiap waktu akan dihadapi oleh kalangan
kedokteran dan masyarakat setiap waktu. Malah dapat diperkirakan akan semakin
meningkat di masa mendatang.a
Mengenai masalah euthanasia bila ditarik ke belakang boleh dikatakan
masalahnya sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tak
tersembuhkan, sementara pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam
situasi demikian, tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan
ini dan tidak ingin diperpanjang hidupnya lagi atau dilain keadaan pada pasien
yang sudah tidak sabar, keluarga orang sakit juga tidak tega melihat pasien yang
penuh penderitaan menjelang ajalnya dan minta kepada dokter untuk tidak
meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang mempercepat
kematian. Dari sinilah istilah euthanasia muncul, yaitu melepas kehidupan
seseorang agar terbebas dari penderitaan, atau mati secara baik (mati enak).a
Masalah ini makin sering dibicarakan dan menarik banyak perhatian karena
semakin banyak kasus yang dihadapi kalangan kedokteran dan masyarakat
terutama setelah ditemukannya tindakan di dalam dunia pengobatan dengan
mempergunakan teknologi canggih dalam mengatasi keadaan-keadaan gawat dan
mengancam kelangsungan hidup. Banyak kasus-kasus di pusat pelayanan
kesehatanterutama di bagian gawat darurat dan di bagian unit perawatan intensif
yang pada masa lalu sudah merupakan kasus yang tidak dapat dibantu lagi.a
Dengan demikian, pada kasus-kasus tertentu tetap saja muncul persoalan
dasar kembali, yaitu dilema meneruskan atau tidak tindakan medis yang
memperpanjang kehidupan. Apa yang harus dilakukan dokter menghadapi korban
yang telah mati otak atau mati batang otak ini, karena belum ada kasus yang dapat
keluar dari keadaan ini, sebab kerusakan jaringan otak sudah irreversible. Atau
pada kasus kanker stadium terminal dengan penderitaan sakit yang hebat,
sementara obat untuk itu belum ada. Begitu juga pada pasien gagal ginjal kronis
yang memerlukan pencucian darah, sementara dana untuk tindakan ini ditanggung
passien/keluarga dan lain-lain.a
Sesuai dengan makin meningkatnya kesadaran akan hak untuk menentukan
nasib sendiri (self determination) dibanyak negara mulai timbul gerakan dan
penghargaan atas seseorang untuk mengakhiri hidup. Dibeberapa negara hak ini
diakui oleh pemerintah dan diatur oleh undang-undang.a
a. Pengertian
Euthanasia berasal dari kata Yunani Euthanathos. Eu berarti baik, tanpa
penderitaan, sedangkan tanathos berarti mati. Dengan demikian euthanasia dapat
diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan. Ada pula yang menterjemahkan
mati cepat tanpa derita.a
Belanda salah satu negara di Eropa yang maju dalam pengetahuan hukum
kesehatan mendefinisikan euthanasia sesuai dengan rumusan yang dibuat oleh
Euthanasia Study Group dari KNMG (Ikatan Dokter Belanda) : Euthanasia adalah
dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang
pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau
mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien
sendiri.” a
Aturan hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap negara dan
seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya maupun
ketersediaan perawatan atau tindakan medis. Di beberapa negara, eutanasia
dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap melanggar hukum.
Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur yang ketat selalu
diterapkan tanpa memandang status hukumnya.b
b. Konsep Tentang Kematian
Perkembangan euthanasia tidak terlepas dari konsep tentang kematian.
Usaha manusia untuk memperpanjang kehidupan dan menghindari kematian
dengan mempergunakan kemajuan iptek kedokteran telah membawa masalah baru
dalam euthanasia, terutama berkenaan dengan penentuan kapan seorang
dinyatakan telah mati a
Dikenal beberapa konsep tentang mati seperti :
1. Mati sebagai berhentinya darah mengalir
Konsep mati dari berhentinya darah mengalir seperti dianut selama inidan
yang juga diatur dalam PP. 18 Tahun 1991 menyatakan bahwa mati adalah
berhentinya fungsi jantung dan paru-paru, tidak bisa dipergunakan lagi karena
teknologi resusitasi telah memungkinkan jantung dan paru-paru yang semua
terhenti, kini dapat dipacu untuk berddenyut kembali dan paru-paru dapat
dipompa untuk berkembang kempis kebali.
2. Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh.a
Konsep mati dari terlepasnya nyawa dari tubuh sering menimbulkan keraguan
karena misalnya pada tindakan resusitasi yang berhasil, keadaan demikian
menimbulkan kesan seakan-akan nyawa dapat ditarik kembali.a
3. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen
Konsep mati mengenai hilangnya kemampuan tubuh secara permanen untuk
menjalankan fungsinya secra terpadu juga dipertanyakan karena organ-organ
berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali karena otak telah mati. Untuk
kepentingan transplantasi konsep ini menguntungkan tetapi secara moral
tidak dapat diterima karena kenyataannya organ-organ masih berfungsi
meskipun tidak terpadu lagi.a
4. Hilangnya manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan
interaksi sosial.
Bila dibandingkan dengan manusia sebagai makhluk sosial yaitu individu
yang mempunyai kepribadian, menyadari kehidupannya, kekhususannya,
kemampuannya mengingat, menentukan sikap, dan mengambil keputusan,
mengajukan alasan yang masuk akal, mampu berbuat, menikmati, mengalami
kecemasan dan sebagainya, maka penggerak dari otak baik secara fisik
maupun sosial makin banyak dipergunakan.a
Pusat pengendali terletak di batang otak, oleh karena itu jika batang otak
telah mati maka dapat diyakini bahwa manusia ini secara fisik dan sosial telah
mati. Dalam keadaan demikian kalangan medis sering menempuh pilihan tidak
meneruskan resusitasi. Penentuan saat mati ini juga dibahas dan ditetapkan dalam
World Medical Asembly tahun 1968 yang dikenal dengan Deklarasi Sydney.
Disini dinyatakan penentuan saat kematian di kebanyakan negara merupakan
tanggung jawab sah dokter. Dokter dapat menentukan seseorang sudah mati
dengan menggunakan kriteria yang lazim tanpa bantuan alat khusus yang telah
diketahui oleh semua dokter.a
Yang penting dalam penentuan saat mati disini adalah proses kematian
tersebut sudah tidak dapat dibangkitkan lagi (irreversible), meski menggunakan
teknik penghidupan kembali apapun. Walaupun sampai sekarang tidak ada alat
yang sungguh-sungguh memuaskan dapat digunakan untuk menentukan saat mati
ini, alat elektroensefalograf dapat diandalkan untuk maksud tersebut.a
c. Jenis Euthanasia
1. Berdasarkan cara dilaksanakan, euthanasia dapat dibedakan dalam :
Euthanasia Pasif
Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala
tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup
manusia.
Euthanasia Aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara medik melalui
intervensi aktif oleh seorang dokter dengan tujuan untuk mengakhiri
manusia. Euthanasia aktif dibagi menjadi euthanasia aktif langsung dan
tidak langsung. Euthanasia aktif langsung adalah dilakukannya tindakan
medik secara terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien,
atau memperpendek hidup pasien. Jenis euthanasia ini dikenal juga
sebagai mercy killing. Euthanasia aktif tidak langsung adalah dimana
dokter atau tenaga kesehatan melakukan tindakan medik untuk
meringankan penderitaan pasien, namun mengetahui adanya resiko
tersebut dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.a
2. Berdasarkan dari permintaan , euthanasia dibedakan atas :
Euthanasia voluntir atau euthanasia sukarela
Euthanasia voluntir adalah euthanasia yang dilakukan atas permintaan
pasien secara sadar dan diminta berulang-ulang.
Euthanasia involuntir
Euthanasia involuntir adalah euthanasia yang dilakukan pada pasien yang
sudah tidak sadar , dan biasanya keluarga pasien yang meminta.a
Gambar. Mesin eutanasia b
d. Euthanasia Menurut Hukum Berbagai Negara
Sejauh ini eutanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia serta
ditoleransi di negara bagian Oregon di Amerika, Kolombia dan Swiss dan
dibeberapa negara dinyatakan sebagai kejahatan seperti di Spanyol, Jerman dan
Denmark.b
Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang
mengizinkan eutanasia. Undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak
tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia
yang melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit
menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya.b
Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara
formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai
perbuatan kriminal. Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch
Euthanasia" dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67,
November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di
Belanda dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan
asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut
adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang
spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.b
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para
dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi
kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002,
sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang
belanda, dimana seorang dokter yang melakukan eutanasia pada suatu kasus
tertentu tidak akan dihukum.
Australia
Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di
dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski
reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima
UU yang disebut "Right of the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien
terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret
1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali.b
Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September
2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia
setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia di
negara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan
eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan
"birokrasi kematian".b
Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia (setelah
Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika). Senator Philippe Mahoux, dari
partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang
tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan
psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan
kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.b
Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak negara bagian di Amerika.
Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit
mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan)
mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997
melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan
UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi
undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia.
Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18
tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan
akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga
kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di
antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi
tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus
mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa
pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan
mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk
mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang
dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga
simpanan hari tuanya.b
Swiss
Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara
Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara
umum, pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis
pada tahun 1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada intinya
menyatakan bahwa "membantu suatu pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan
suatu perbuatan melawan hukum apabila motivasinya semata untuk kepentingan
diri sendiri.". Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk
melakukan pengelompokan terhadap obat-obatan yang dapat digunakan untuk
mengakhiri kehidupan seseorang.b
Inggris
Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania
Raya (Britain's Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan
sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics)
agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang
lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk
melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan semata guna memohon
dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor "kemungkinan hidup si bayi"
sebagai suatu legitimasi praktek kedokteran. Namun hingga saat ini eutanasia
masih merupakan suatu tindakan melawan hukum di kerajaan Inggris demikian
juga di Eropa (selain daripada Belanda). Demikian pula kebijakan resmi dari
Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-BMA) yang secara
tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga.b
Jepang
Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang eutanasia
demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah
mengatur mengenai eutanasia tersebut.
Ada 2 kasus eutanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada
tahun 1962 yang dapat dikategorikan sebagai "eutanasia pasif". Kasus yang
satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai university pada tahun 1995
yang dikategorikan sebagai "eutanasia aktif ". Keputusan hakim dalam kedua
kasus tersebut telah membentuk suatu kerangka hukum dan suatu alasan
pembenar dimana eutanasia secara aktif dan pasif boleh dilakukan secara legal.
Meskipun demikian eutanasia yang dilakukan selain pada kedua kasus tersebut
adalah tetap dinyatakan melawan hukum, dimana dokter yang melakukannya akan
dianggap bersalah oleh karena merampas kehidupan pasiennya. Oleh karena
keputusan pengadilan ini masih diajukan banding ke tingkat federal maka
keputusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum sebagai sebuah
yurisprudensi, namun meskipun demikian saat ini Jepang memiliki suatu kerangka
hukum sementara guna melaksanakan eutanasia.b
Republik Ceko
Di Republik Ceko eutanisia dinyatakan sebagai suatu tindakan pembunuhan
berdasarkan peraturan setelah pasal mengenai eutanasia dikeluarkan dari
rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sebelumnya pada rancangan
tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospíšil bermaksud untuk memasukkan eutanasia
dalam rancangan KUHP tersebut sebagai suatu kejahatan dengan ancaman pidana
selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite
hukum negara tersebut merekomendasikan agar pasal kontroversial tersebut
dihapus dari rancangan tersebut.b
India
Di India eutanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan
mengenai larangan eutanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab
pertama pasal 300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India (Indian penal
code-IPC) tahun 1860. Namun berdasarkan aturan tersebut dokter yang
melakukan euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas kelalaian yang
mengakibatkan kematian dan bukannya pembunuhan yang hukumannya
didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC, namun ini hanyalah diberlakukan
terhadap kasus eutanasia sukarela dimana sipasien sendirilah yang menginginkan
kematian dimana si dokter hanyalah membantu pelaksanaan eutanasia tersebut
(bantuan eutanasia). Pada kasus eutanasia secara tidak sukarela (atas keinginan
orang lain) ataupun eutanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman
berdasarkan pasal 92 IPC.b
China
Di China, eutanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutansia
diketahui terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama
"Wang Mingcheng" meminta seorang dokter untuk melakukan eutanasia terhadap
ibunya yang sakit. Akhirnya polisi menangkapnya juga si dokter yang
melaksanakan permintaannya, namun 6 tahun kemudian Pengadilan tertinggi
rakyat (Supreme People's Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun
2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak ada
kemungkinan untuk disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya
eutanasia atas dirinya namun ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya.
Akhirnya ia meninggal dunia dalam kesakitan.b
Afrika Selatan
Di Afrika Selatan belum ada suatu aturan hukum yang secara tegas
mengatur tentang eutanasia sehingga sangat memungkinkan bagi para pelaku
eutanasia untuk berkelit dari jerat hukum yang ada.b
Korea
Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang eutanasia
di Korea, namun telah ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi)yang di Korea
dikenal dengan "Kasus rumah sakit Boramae" dimana dua orang dokter yang
didakwa mengizinkan dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang
menderita sirosis hati (liver cirrhosis) atas desakan keluarganya. Polisi kemudian
menyerahkan berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan diberi catatan
bahwa dokter tersebut seharusnya dinayatakan tidak bersalah. Namun kasus ini
tidak menunjukkan relevansi yang nyata dengan mercy killing dalam arti kata
eutanasia aktif.b
Pada akhirnya pengadilan memutuskan bahwa " pada kasus tertentu dari
penghentian penanganan medis (hospital treatment) termasuk tindakan eutanasia
pasif, dapat diperkenankan apabila pasien terminal meminta penghentian dari
perawatan medis terhadap dirinya.b
e. Euthanasia dan Hukum Indonesia
Kitab undang-undang Hukum Pidana mengatur seseorang dapat dipidana
atau dihukum jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun
karena kurang hati-hati.
Pasal 344 KUHP
Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri,
yang disebutnya dengan nyata atau sungguh-sungguh dihukum penjara
selama-lamanya 12 tahun.
Pasal 388 KUHP
Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena
makar mati dengan penjara selama-lamanya 15 tahun
Pasal 340 KUHP
Barang siapa dengan sengaja atau direncanakan lebih dahulumenghilangkan
jiwa orang lain, dihukum karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan
hukuman mati atau penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara
selama-lamanya dua puluh tahun
Pasal 359 KUHP
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara
selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Pasal 345 KUHP
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh
diri dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.a
f. Contoh Kasus
Kasus Hasan Kusuma - Indonesia
Sebuah permohonan untuk melakukan eutanasia pada tanggal 22
Oktober 2004 telah diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma
karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli,
33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan di samping itu
ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan
suatu alasan pula. Permohonan untuk melakukan eutanasia ini diajukan ke
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh
bentuk eutanasia yang di luar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya
ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani
perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah
mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.b
Kasus seorang wanita New Jersey - Amerika Serikat
Seorang perempuan berusia 21 tahun dari New Jersey, Amerika
Serikat, pada tanggal 21 April 1975 dirawat di rumah sakit dengan
menggunakan alat bantu pernapasan karena kehilangan kesadaran akibat
pemakaian alkohol dan zat psikotropika secara berlebihan.Oleh karena
tidak tega melihat penderitaan sang anak, maka orangtuanya meminta agar
dokter menghentikan pemakaian alat bantu pernapasan tersebut. Kasus
permohonan ini kemudian dibawa ke pengadilan, dan pada pengadilan
tingkat pertama permohonan orangtua pasien ditolak, namun pada
pengadilan banding permohonan dikabulkan sehingga alat bantu pun
dilepaskan pada tanggal 31 Maret 1976. Pasca penghentian penggunaan
alat bantu tersebut, pasien dapat bernapas spontan walaupun masih dalam
keadaan koma. Dan baru sembilan tahun kemudian, tepatnya tanggal 12
Juni 1985, pasien tersebut meninggal akibat infeksi paru-paru
(pneumonia).b
Kasus Terri Schiavo
Terri Schiavo (usia 41 tahun) meninggal dunia di negara bagian
Florida, 13 hari setelah Mahkamah Agung Amerika memberi izin
mencabut pipa makanan (feeding tube) yang selama ini memungkinkan
pasien dalam koma ini masih dapat hidup. Komanya mulai pada tahun
1990 saat Terri jatuh di rumahnya dan ditemukan oleh suaminya, Michael
Schiavo, dalam keadaan gagal jantung. Setelah ambulans tim medis
langsung dipanggil, Terri dapat diresusitasi lagi, tetapi karena cukup lama
ia tidak bernapas, ia mengalami kerusakan otak yang berat, akibat
kekurangan oksigen. Menurut kalangan medis, gagal jantung itu
disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur potasium dalam tubuhnya. Oleh
karena itu, dokternya kemudian dituduh malapraktek dan harus membayar
ganti rugi cukup besar karena dinilai lalai dalam tidak menemukan kondisi
yang membahayakan ini pada pasiennya.b
Setelah Terri Schiavo selama 8 tahun berada dalam keadaan koma,
maka pada bulan Mei 1998 suaminya yang bernama Michael Schiavo
mengajukan permohonan ke pengadilan agar pipa alat bantu makanan pada
istrinya bisa dicabut agar istrinya dapat meninggal dengan tenang, namun
orang tua Terri Schiavo yaitu Robert dan Mary Schindler menyatakan
keberatan dan menempuh langkah hukum guna menentang niat menantu
mereka tersebut. Dua kali pipa makanan Terri dilepaskan dengan izin
pengadilan, tetapi sesudah beberapa hari harus dipasang kembali atas
perintah hakim yang lebih tinggi. Ketika akhirnya hakim memutuskan
bahwa pipa makanan boleh dilepaskan, maka para pendukung keluarga
Schindler melakukan upaya-upaya guna menggerakkan Senat Amerika
Serikat agar membuat undang-undang yang memerintahkan pengadilan
federal untuk meninjau kembali keputusan hakim tersebut. Undang-
undang ini langsung didukung oleh Dewan Perwakilan Amerika Serikat
dan ditandatangani oleh Presiden George Walker Bush. Tetapi,
berdasarkan hukum di Amerika kekuasaan kehakiman adalah independen,
yang pada akhirnya ternyata hakim federal membenarkan keputusan hakim
terdahulu.b
Kasus "Doctor Death"
Dr. Jack Kevorkian dijuluki "Doctor Death", seperti dilaporkan
Lori A. Roscoe. Pada awal April 1998, di Pusat Medis Adven Glendale ,
California diduga puluhan pasien telah "ditolong" oleh Kevorkian untuk
mengakhiri hidup. Kevorkian berargumen apa yang dilakukannya semata
demi "menolong" pasien-pasiennya. Namun, para penentangnya menyebut
apa yang dilakukannya adalah pembunuhan.b
Kasus rumah sakit Boramae - Korea
Pada tahun 2002, ada seorang pasien wanita berusia 68 tahun yang
terdiagnosa menderita penyakit sirosis hati. Tiga bulan setelah dirawat,
seorang dokter bermarga Park umur 30 tahun, telah mencabut alat bantu
pernapasan (respirator) atas permintaan anak perempuan si pasien. Pada
Desember 2002, anak lelaki almarhum tersebut meminta polisi untuk
memeriksa kakak perempuannya beserta dua orang dokter atas tuduhan
melakukan pembunuhan. Seorang dokter yang bernama dr. Park
mengatakan bahwa si pasien sebelumnya telah meminta untuk tidak
dipasangi alat bantu pernapasan tersebut. Satu minggu sebelum
meninggalnya, si pasien amat menderita oleh penyakit sirosis hati yang
telah mencapai stadium akhir, dan dokter mengatakan bahwa walaupun
respirator tidak dicabutpun, kemungkinan hanya dapat bertahan hidup
selama 24 jam saja.b
g. Euthanasia dan HIV/AIDS
Sebagai bagian dari isu keedokteran yang penting, dalam produk fatwa
lembaga fatwa MUI dan Bahtsul Masail fatwa tentang hukum euthanasia
merupakan bagian dari fatwa tentang AIDS/HIV. Namun dalam penerapannya
dapat terpisah. Bahtsul Masail dan MUI sepakat mengharamkan euthanasia bagi
penderita HIV/AIDS. Logika yang dimaksud oleh kedua lembaga tersebut, jika
untuk penderita HIV/AIDS yang jelas saat kematian dan kepedihan penderitaan
yang dialaminya saja haram apalagi karena alasan lain. Dewan Hisbah termasuk
yang mengharamkannya secara mutlak. Dewan Hisbah, MUI, dan Bahtsul Masail
sepakat bahwa jenazah penderita HIV/AIDS harus tetap diurus sebagaimana
mestinya, dilaksanakan oleh orang yang ahli. Bahtsul Masail secara khusus
mengulas tentang hukum pernikahan bagi penderita HIV/AIDS, menurut mereka
pernikahan bagi penderita HIV/AIDS adalah sah namun makruh.4
2.5. Abortus
Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum berusia 22 minggu.
Abortus dapat terjadi secara spontan atau secara buatan. Abortus spontan
(keguguran, miscarriage) dapat merupakan suatu mekanisme alamiah untuk
mengeluarkan hasil konsepsi yang abnormal.
Abortus buatan (pengguguran, aborsi, abortus provocatus) adalah abortus
yang terjadi akibat intervensi tertentu yang bertujuan mengakhiri proses
kehamilan. Abortus buatan dapat bersifat legal (abortus provocatus
medianalis/therapeuticus) yang dilakukan berdasarkan indikasi medik. Abortus
buatan ilegal (abortus provocatus criminalis) adalah abortus yang dilakukan
berdasarkan indikasi nonmedik. Abortus ini dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
kompeten atau tenaga yang tidak kompeten. Aborsi yang dilakukan oleh tenaga
yang tidak kompeten biasanya dengan cara-cara seperti memijit-mijit perut bagian
bawah, memasukkan benda acing atau jenis tumbuh-tumbuhan/rumput-rumputan
ke dalam leher rahim, dan pemakaian bahan-bahan kimia yang dimasukkan ke
dalam jalan lahir sehingga sering terjadi perdarahan dan infeksi yang berat,
bahkan dapat berakibat fatal. Berlandaskan Lafal Sumpah Hippokrates, Lafal
Sumpah Dokter Indonesia dan International Code of Medical Ethics maupun
KODEKI, setiap dokter wajib menghormati dan melindungi makhluk hidup
insani. Karena itu, aborsi berdasarkan indikasi nonmedik adalah tidak etis.
Abortus buatan legal dilakukan dengan cara tindakan operatif (paling
sering dengan cara kuretase, aspirasi vakum) atau dengan cara medikal. Dalam
Deklarasi Oslo (1970) dan UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, mengenai
abortus buatan legal terdapat ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Abortus buatan legal hanya dilakukan sebagai suatu tindakan terapeutik
yang keputusannya disetujui secara tertulis oleh 2 orang dokter yang
dipilih berkat kompetensi profesional mereka dan prosedur operasionalnya
dilakukan oleh seorang dokter yang kompeten diinstalasi yang diakui
suatu otoritas yang sah, dengan syarat tindakan tersebut disetujui oleh ibu
hamil bersangkutan, suami, atau keluarga.
Jika dokter yang melaksanakan tindakan tersebut tnerasa bahwa hati
nuraninya tidak membenarkan ia melakukan pengguguran itu, ia berhak
mengundurkan diri dan menyerahkan pelaksanaan tindakan medik itu
kepada teman sejawat lain yang kompeten.
Yang dimaksud dengan indikasi medis dalam abortus buatan legal adalah
suatu kondisi yang benar-benar menghaniskan diambil tindakan tersebut
sebab tanpa tindakan tersebut dapat membahayakan jiwa ibu atau adanya
ancaman gangguan fisik, mental dan psikososial jika kehamilan
dilanjutkan, atau risiko yang sangat jelas bahwa anak yang akan dilahirkan
menderita cacat mental, atau cacat fisik yang berat.
Hak utama untuk memberikan persetujuan tindakan medik adalah pada ibu
hamil yang bersangkutan, namun pada keadaan tidak sadar atau tidak
dapat memberikan persetujuannya dapat diminta pada suaminya/wali yang
sah.
Pernyataan Oslo didukung oleh General Assembly dari WMA, namun
tidak mengikat para anggotanya. Ada negara yang melegalkan abortus sebagai
salah satu cara keluarga berencana.
Suatu masalah yang sulit dihadapi adalah kehamilan tidak diinginkan
(KTD) seperti pada kasus kegagalan kontrasepsi, kehamilan di luar nikah,
kehamilan karena perkosaan, tidak adanya akses untuk pelayanan KB, tekanan
pasangan, dan faktor ekonomi. Setiap wanita memiliki hak reproduksi, yaitu hak
menentukan jumlah, penjarakan, dan waktu kelahiran anak. Oleh karena aborsi
atas alasan nonmedik dianggap tindakan melanggar hukum (tindakan kriminal)
dan aborsi bukan salah satu cara KB di Indonesia, banyak wanita dengan KTD
mencari pelayanan aborsi pada tenaga tidak terlatih dan memakan sendiri
bermacam-macam obat untuk menggugurkan kandungannya. Akibatnya, angka
kesakitan dan kematian ibu di Indonesia akibat aborsi tidak aman menjadi tinggi.
Aborsi tidak aman merupakan ancaman bagi kesehatan dan hidup wanita.
Tindakan konkrit pemecahan masalah aborsi tidak aman merupakan bagian upaya
peningkatan kualitas kesehatan reproduksi di Indonesia dan pemenuhan hak
reproduksi wanita. Penelitian pada banyak negara menunjukkan bahwa di
negaranegara yang mengizinkan aborsi dengan indikasi yang lebih bias, insiders
aborsi tidak aman lebih rendah dan angka kematian akibat aborsi tidak aman jauh
lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara yang melarang aborsi secara
ketat.
Di Indonesia, diperkirakan sekitar 1,5-2 juta aborsi tidak aman setiap
tahunnya dan kontribusi Angka Kematian Ibu (AKI) sebab aborsi tidak aman
adalah 11,1%.
Oleh karena itu, dalam beberapa tahun terakhir ini diperkenalkan program
aborsi berbasis konseling dengan tujuan menyelenggarakan aborsi yang aman
sesuai standar setelah pasien mendapat konseling dengan baik. Bukan mustahil
bahwa ibu dengan KTD mengurungkan niatnya untuk aborsi setelah mendapat
konseling tersebut. Selanjutnya, konseling pasca-aborsi, pendidikan, dan
pelayanan KB hams diberikan secara bermutu sehingga dapat mencegah aborsi
berulang.
Secara rinci KUHP mengancam pelaku-pelaku abortus buatan ilegal
sebagai berikut:
1. Wanita yang sengaja menggugurkan kandungan atau menyuruh orang lain
melakukannya, hukuman maksimal 4 tahun (KUHP pasal 336).
2. Seseorang yang menggugurkan kandungan tanpa seizinnya, hukuman
maksimal 12 tahun dan bila wanita tersebut meninggal, hukuman
maksimum 15 tahun (KUHP pasal 347).
3. Seseorang yang menggugurkan kandungan wanita dengan seizin wanita
tersebut, hukuman maksimum 5 tahun 6 bulan dan bila wanita tersebut
meninggal, maksimum 7 tahun (KUHP pasal 348).
4. Dokter, bidan atau juru obat yang melakukan kejahatan di atas, hukuman
ditambah dengan sepertiganya dan pencabutan hak pekerjaannya (KUHP
pasal 349).
5. Barang siapa mempertunjukkan alat/cara menggugurkan kandungan
kepada anak di bawah usia 17 tahun/di bawah umur, hukuman maksimum
9 bulan (KUHP pasal 383).
6. Barang siapa menganjurkan/merawat/memberi obat kepada seorang wanita
dengan memberi harapan agar gugur kandungannya, hukuman maksimum
4 tahun (KUHP pasal 299).2
Seluruh lembaga fatwa di Indonesia, Bahtsul Masail, Majlis Tarjih, MUI,
dan Dewan Hisbah sepakat mengharamkan aborsi sejak terjadinya pembuahan,
kecuali darurat, ada alasan medis. Demikian pula mereka sepakat tentang batas
haramnya aborsi adalah sejak terjadinya konsepsi. MUI merupakan lembaga fatwa
yang beberapa kali merevisi fatwanya. Awalnya termasuk yang
mengharamkannya secara mutlak, dalam perkembangan berikutnya lebih merinci
hukum pengecualian, jika karena adanya uzur syar’i, baik darurat maupun hajat,
seperti akibat perkosaan atau demi menyelamatkan jiwa ibu, atau karena
menderita penyakit berat yang dapat mengancam jiwa si ibu, mereka
membolehkannya dengan batasan dan syarat tertentu, seperti sebelum usia
kandungan 40 hari, diromendasikan oleh keluarga, dokter dan ulama,
pelaksanaannya dsilakukan di rumah sakit tertentu. Fatwa MUI terakhir
mengundang reaksi dari Dewan Hisbah yang kemudian menetapkan bahwa aborsi
bagi korban perkosaan hukumnya haram.4
2.6. Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh
Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh manusia merupakan tindakan
medik yang sangat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan fungsi organ tubuh
yang berat. Ini adalah terapi pengganti (alternatif) yang merupakan upaya terbaik
untuk menolong pasien dengan kegagalan organnya, karena hasilnya lebih
memuaskan dibandingkan dengan terapi konservatif. Walaupun transplantasi
organ dan jaringan itu telah lama dikenal.
a. Menurut Ulama
Pada prinsipnya seluruh lembaga fatwa di Indonesia mengharamkan
transplantasi organ manusia. Majlis Tarjih, MPKS, MUI, dan Dewan Hisbah
menambahkan kecuali darurat, juga termasuk untuk kepentingan ilmu
pengetahuan dan pendidikan kedokteran. Fatwa Bahtsul Masail mengalami
pergeseran, awalnya mereka mengharamkannya secara mutlak namun kemudian
direvisi yang selanjutnya difatwakan dengan dua pandangan, haram secara mutlak
dan jaiz karena darurat. Dewan Hisbah dan Bahtsul Masail mempersyaratkan
menggunakan organ muslim. Bedanya, Dewan Hisbah sebatas menyarankan
sedangkan Bahtsul Masail mengharuskannya. MPKS, Bahtsul Masail, dan Dewan
Hisbah secara khusus telah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan
transplantasi menggunakan organ babi, kecuali tidak ada pilihan lain. Namun jika
ada bahan pengganti, maka penggunaan gigi babi, Bahtsul Masail
mengharamkannya secara mutlak.
2.7. Kesalahan dan Kelalaian Medis
Tuntutan terhadap dokter, pada umumnya dilakukan oleh pasien yang
merasa tidak puas terhadap pengobatan atau pelayanan medis yang dilakukan oleh
dokter yang merawatnya. Ketidakpuasan tersebut terjadi karena hasil yang dicapai
dalam upaya pengobatan tidak sesuai dengan harapan pasien dan keluarganya.
Hasil upaya pengobatan yang mengecewakan pasien, seringkali dianggap sebagai
kelalaian atau kesalahan dokter dalam melaksanakan profesinya.
Hariyani (2005) mengemukakan bahwa dalam kaitan hubungan antara
pasien dan dokter, penyebab dari ketidakpuasan tersebut pada umumnya karena
kurangnya komunikasi antara dokter dengan pasiennya, terutama terkait masalah
"informed consent". Perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dokter dan
pasien oleh Hariyani disebut dengan istilah "sengketa medik".
Beberapa unsur dari persetujuan tindakan medik yang sering dikemukakan
pasien sebagai alasan penyebab sengketa medik ini adalah :
1. Isi informasi (tentang penyakit yang diderita pasien) dan alternatif yang bisa
dipilih pasien tidak disampaikan secara jelas dan lengkap.
2. Saat memberikan informasi seyogyanya sebelum terapi mulai dilakukan,
terutama dalam hal tindakan medis yang beresiko tinggi dengan kemungkinan
adanya perluasan dalam terapi atau tindakan medik.
3. Cara menyampaikan informasi tidak memuaskan pasien, karena pasien
merasa bahwa dirinya tidak mendapatkan informasi yang jujur, lengkap dan
benar yang ingin didapatkannya secara lisan dari dokter yang merawatnya.
4. Pasien merasa tidak diberi kesempatan untuk menentukan pilihan atau
alternatif pengobatan yang telah dilakukan terhadap dirinya, sehingga hak
pasien untuk menentukan dirinya sendiri (self determination) diabaikan oleh
dokter.
5. Kadang-kadang pasien hanya mendapatkan informasi dari perawat
(paramedis), padahal menurut hukum yang berhak memberikan informasi
adalah dokter yang menangani pasien tersebut.
Apakah tidak diberikannya informasi ini termasuk dalam kategori kelalaian
dokter?
Menurut Fuady (2005) untuk dapat diajukannya gugatan atas dasar
ketiadaan informed consent harus dipenuhi beberapa unsur yuridis sebagai berikut
:
1. Adanya kewajiban dokter untuk mendapatkan persetujuan (consent) dari
pasien.
2. Kewajiban tersebut tidak dilaksanakan tanpa justifikasi yuridis.
3. Adanya kerugian dipihak pasien.
4. Adanya hubungan sebab akibat antara ketiadaan informed consent dan
kerugian tersebut.
Dalam buku hukum medik (medical law), Guwandi (2004) menyatakan
bahwa "kelalaian" sebagai terjemahan dari 'negligence", yang dalam arti umum
bukanlah merupakan suatu pelanggaran hukum maupun kejahatan. Seseorang
dapat dikatan lalai kalau orang tersebut bersikap acuh tak acuh atau tidak peduli,
dan tidak memperhatikan kepentingan orang lain sebagaimana kepatutan yang
berlaku dalam pergaulan dimasyarakat. Selama akibat dari kelalaian ini tidak
membawa kerugian atau mencederai orang lain, maka tidak ada akibat hukum
yang dibebankan kepada orang tersebut, karena hukum tidak mencampuri hal-hal
yang dianggap sepele (de minimus not curat lex, the law does not concern itself
with trifles).
Kelalaian yang terkena sanksi sebagai akibat hukum yang harus
dipertanggungjawabkan oleh pelaku, bila kelalaian ini sudah menyebabkan
terjadinya kerugian baik kerugian harta benda maupun hilangnya nyawa atau
cacat pada anggota tubuh seseorang.
Untuk menentukan adanya kelalaian dokter, Hariyani (2005) menyebutkan 4
unsur yang disingkat dengan "4D" yaitu sebagai berikut :
a. Adanya duty (kewajiban) yang harus dilaksanakan.
b. Adanya derelection of that duty (penyimpangan kewajiban)
c. Terjadinya damaged (kerusakan / kerugian)
d. Terbuktinya direct causal relationship (berkaitan langsung) antara
pelanggaran kewajiban dengan kerugian.
Bila kesalahan atau kelalaian tersebut dihubungkan dengan hukum pidana,
maka Jonkers (Guwandi, 2004) mengemukakan 4 unsur sebagai berikut :
a. Perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum (wederrechtelijkheid)
b. Akibat dari perbuatan bisa dibayangkan (voorzeinbaarheid)
c. Akibat perbuatan sebenarnya bisa dihindari (vermijdbaarheid)
d. Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepadanya (verwijtbaarheid), karena
sebenarnya pelaku sudah dapat membayangkan dan dapat menghindarinya.
Menurut hukum pidana (Nasution, 2005), kelalaian terbagi menjadi 2 :
a. "Kealpaan perbuatan" ialah perbuatannya sendiri sudah merupakan suatu
peristiwa pidana, sehingga untuk dipidananya pelaku tidak perlu melihat
akibat yang timbul dari perbuatan tersebut (lihat pasal 205 KUHP)
b. "Kealpaan akibat" ialah akibat yang timbul merupakan suatu peristiwa pidana
bila akibat dari kealpaan tersebut merupakan akibat yang dilarang oleh
hukum pidana, misalnya terjadinya cacat atau kematian sebagai akibat yang
timbul dari suatu perbuatan (lihat pasal 359, 360, dan 361 KUHP).
Nasution (2005) mengemukakan pendapat Picard (1984) tentang 3 katergori
yang dapat dipakai sebagai pedoman untuk mengetahui apakah dokter telah
berbuat dalam suasana dan keadaan yang sama sebagai berikut :
1. Pendidikan, pengalaman, dan kualifikasi-kualifikasi lain yang berlaku untuk
tenaga kesehatan
2. Tingkat resiko dalam prosedur penyembuhan / perawatan
3. Suasana, peralatan, fasilitas, dan sumber-sumber lain yang tersedia bagi
tenaga kesehatan.
C. Berkhouwer dan L.D. Vorstman (Nasution, 2005) mengemukakan 3 faktor
yang menjadi penyebab kesalahan dokter dalam melakukan profesi, yaitu :
1. Kurangnya pengetahuan
2. Kurangnya pengalaman
3. kurangnya pengertian
Dari semua pendapat diatas, ada 2 pakar hukum yang memberikan kesimpulan
sebagai berikut :
Guwandi (2005) menyatakan bahwa untuk menyebutkan bahwa seorang dokter
telah melakukan kelalaian, maka harus dapat dibuktikan hal-hal sebagai berikut :
a. Bertentangan dengan etika, moral dan disiplin
b. Bertentangan dengan hukum
c. Bertentangan dengan standar profesi medis
d. Kekurangan ilmu pengetahuan atau tertinggal ilmu didalam profesinya yang
sudah berlaku umum dikalangan tersebut.
e. Menelantarkan (negligence, abandonment), kelalaian, kurang hati-hati, acuh,
kurang peduli terhadap keselamatan pasien, kesalahan menyolok dan
sebagainya.
Nasution (2005) menyimpulkan untuk menentukan adanya kealpaan harus
terpenuhi adanya 3 unsur sebagai berikut :
a. Pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat menurut hukum tertulis
maupun tidak tertulis, sehingga ia sebenarnya telah melakukan suatu perbuatan
(termasuk tidak berbuat) yang melawan hukum.
b. Pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh, dan kurang berpikir panjang.
c. Perbuatan pelaku itu dapat dicela, oleh karenanya pelaku harus
bertanggungjawab atas akibat perbuatan tersebut.
Sumber Rujukan :
Isfandyarie, A, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku I,
Prestasi Pustaka Publisher : Jakarta.
2.8. Kecelakaan Medis
Kecelakaan medis sering dianggap sama dengan kelalaian medis, karena
kedua keadaan tersebut sama-sama dapat menimbulkan kerugian kepada pasien.
bila ditinjau dari segi hukum, dua keadaan tersebut harus dibedakan, karena
didalam hukum medis yang menganut "inspanning verbintenis" (perjanjian upaya)
yang harus dipertanggungjawabkan bukan akibat dari perbuatan, tetapi
pertanggungjawaban lebih mengarah kepada cara bagaimana sampai akibat
tersebut terjadi.
Walaupun akibatnya pasien tidak bisa sembuh atau meninggal atau cacat,
tetapi bila dokter telah melakukan upaya sungguh-sungguh sesuai dengan standar
profesi medis, maka dokter tidak bisa dipersalahkan. Sebagai contoh : Seorang
pasien datang dengan nyeri kepala hebat, terus-menerus sehingga tidak dapat
tidur. Ternyata hasil pemeriksaan menunjukkan pasien hypertensi berat. Selain
itu, dokter juga menemukan adanya kelainan neurologis kelumpuhan ringan pada
tangan dan kaki kiri pasien. Dokter telah melakukan pengobatan sesuai prosedur,
tetapi pasien tidak bisa sembuh, dan terjadi kelumpuhan ringan (parese) yang
menetap dari kaki dan tangan tersebut. Dalam hal terjadi seperti ini, dokter tidak
bisa dipersalahkan telah mengakibatkan kelumpuhan atau cacat pada pasien,
karena perjalanan penyakitnya memeng tidak bisa dicegah dan diobati oleh dokter
yang bersangkutan.
Demikian juga dalam kecelakaan medis yang merupakan kecelakaan murni
tanpa ditemukan adanya unsur kelalaian pada dokter, dokter tidak bisa
dipersalahkan bila terjadi akibat yang tidak dikehendaki pasien yang akibat
tersebut disebabkan oleh kecelakaan medis yang tidak dapat diduga sebelumnya.
Untuk menentukan bahwa akibat yang diderita pasien merupakan kecelakaan
medis dan bukan merupakan kelalaian medis, Guwandi (2004) memberikan ciri-
ciri sebagai berikut :
a. Kecelakaan merupakan peristiwa yang tidak terduga, tindakan yang tidak
disengaja (accident, misfortune, bad fortune, mischance, ill luck).
b. Tidak ditemukan adanya unsur kesalahan (schuld) dalam kecelakaan.
c. Dokter sudah melakukan pekerjaannya sesuai dengan standar profesi medis
dan etika profesi.
d. Kecelakaan yang mengandung unsur yang tidak dapat dipersalahkan
(verwijtbaarheid), tidak dapat dicegah (vermijdbaarheid) dan terjadinya tidak
dapat diduga sebelumnya.
e. Dokter sudah melakukan tindakan dengan hati-hati, melakukan upaya dengan
sungguh-sungguh dengan menggunakan segala ilmunya, keterampilan dan
pengalaman yang dimilikinya.
f. Dokter telah berusaha meminimalisasi resiko yang mungkin terjadi dengan
melakukan anamnese yang teliti, pemeriksaan pendahuluan yang adekuat, dan
pemeriksaan penunjang yang diperlukan.
g. Dalam hal kasus pembedahan / pembiusan, dokter telah berusaha melakukan
terapi awal terhadap kelalaian yang ditemukan atau telah melakukan
konsultasi dengan spesialis lainnya yang berkompeten terhadap kelainan yang
diderita pasiennya.
Contoh kasus kecelakaan medis dalam Guwandi (2004) :
The Straits Times, 25 oktober 1986:
Harian ini memuat berita tentang seorang ahli bedah yang melakukan operasi pada
tumor paru atas. Tumor tersebut agak besar dan terletak ditempat yang sulit,
didekat pembuluh darah arteri. Operasi harus dilakukan, karena tanpa operasi
diperkirakan umur pasien tinggal 6 bulan lagi. Tindakan operasi yang dilakukan
sangat beresiko, karena letaknya yang berdekatan dengan jantung dan pembuluh
darh besar. Pada waktu dilakukan operasi, terjadi "kecelakaan" yang tak disengaja
dengan tertusuknya dua pembuluh darah, dan perdarahan yang terjadi tidak dapat
dihentikan, karena banyaknya perlekatan-perlekatan didaerah tersebut.
Berdasarkan keterangan ahli, operasi ini memang sulit sekali untuk bisa
dilakukan, sehingga dokter ahli bedah yang terpandai sekalipun mungkin akan
dapat mengalami hal yang sama. Walaupun akhirnya pasien meninggal, dokter
tidak dapat dipersalahkan.
Sumber Rujukan ;
Isfandyarie, A, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku I,
Prestasi Pustaka Publisher : Jakarta.