80103460 bab i refrat forensik

88
BAB I PENDAHULUAN Dalam era reformasi saat ini, hukum memegang peran penting dalam berbagai segi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang, yang merupakan bagian integral dari kesejahteraan, diperlukan dukungan hukum bagi penyelenggaraan berbagai kegiatan di bidang kesehatan. Perubahan konsep pemikiran penyelenggaraan pembangunan kesehatan tidak dapat dielakkan. Pada awalnya pembangunan kesehatan bertumpu pada upaya pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan, bergeser pada penyelenggaraan upaya kesehatan yang menyeluruh dengan penekanan pada upaya pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan. Paradigma ini dikenal dalam kalangan kesehatan sebagai paradigma sehat. Sebagai konsekuensi logis dari diterimanya paradigma sehat maka segala kegiatan apapun harus berorientasi pada wawasan kesehatan, tetap dilakukannya pemeliharaan dan peningkatan kualitas individu, keluarga dan masyarakat serta lingkungan dan secara terus menerus memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau serta mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat.

Upload: oktariyanti-m-wardhani

Post on 07-Aug-2015

23 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: 80103460 BAB I Refrat Forensik

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam era reformasi saat ini, hukum memegang peran penting dalam

berbagai segi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk mewujudkan derajat

kesehatan yang optimal bagi setiap orang, yang merupakan bagian integral dari

kesejahteraan, diperlukan dukungan hukum bagi penyelenggaraan berbagai

kegiatan di bidang kesehatan.

Perubahan konsep pemikiran penyelenggaraan pembangunan kesehatan

tidak dapat dielakkan. Pada awalnya pembangunan kesehatan bertumpu pada

upaya pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan, bergeser pada

penyelenggaraan upaya kesehatan yang menyeluruh dengan penekanan pada

upaya pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan. Paradigma ini dikenal

dalam kalangan kesehatan sebagai paradigma sehat.

Sebagai konsekuensi logis dari diterimanya paradigma sehat maka segala

kegiatan apapun harus berorientasi pada wawasan kesehatan, tetap dilakukannya

pemeliharaan dan peningkatan kualitas individu, keluarga dan masyarakat serta

lingkungan dan secara terus menerus memelihara dan meningkatkan pelayanan

kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau serta mendorong kemandirian

masyarakat untuk hidup sehat.

Secara ringkas untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi

setiap orang maka harus secara terus menerus dilakukan perhatian yang sungguh-

sungguh bagi penyelenggaraan pembangunan nasional yang berwawasan

kesehatan, adanya jaminan atas pemeliharaan kesehatan, ditingkatkannya

profesionalisme dan dilakukannya desentralisasi bidang kesehatan.

Kegiatan-kegiatan tersebut sudah barang tentu memerlukan perangkat hukum

kesehatan yang memadai. Perangkat hukum kesehatan yang memadai

dimaksudkan agar adanya kepastian hukum dan perlindungan yang menyeluruh

baik bagi penyelenggara upaya kesehatan maupun masyarakat penerima

pelayanan kesehatan.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah yang dimaksud dengan

hukum kesehatan, apa yang menjadi landasan hukum kesehatan, materi muatan

Page 2: 80103460 BAB I Refrat Forensik

peraturan perundang-undangan bidang kesehatan, dan hukum kesehatan di masa

mendatang.

Diharapkan jawaban atas pertanyaan tersebut dapat memberikan

sumbangan pemikiran, baik secara teoritikal maupun praktikal terhadap

keberadaan hukum kesehatan. Untuk itu dilakukan kajian normatif, kajian yang

mengacu pada hukum sebagai norma dengan pembatasan pada masalah kesehatan

secara umum melalui tradisi keilmuan hukum.

Dalam hubungan ini hukum kesehatan yang dikaji dibagi dalam 3 (tiga)

kelompok sesuai dengan tiga lapisan ilmu hukum yaitu dogmatik hukum, teori

hukum, dan filsafat hukum. Selanjutnya untuk memecahkan isu hukum,

pertanyaan hukum yang timbul maka digunakan pendekatan konseptual, statuta,

historis, dogmatik, dan komparatif. Namun adanya keterbatasan waktu maka

kajian ini dibatasi hanya melihat peraturan perundang-undangan bidang

kesehatan.

Page 3: 80103460 BAB I Refrat Forensik

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hukum Kesehatan

Pada masa kini dapat disepakati luas ruang lingkup peraturan hukum untuk

kegiatan pelayanan kesehatan menurut ilmu kedokteran mencakup aspek-aspek di

bidang pidana, hukum perdata, hukum administrasi, bahkan sudah memasuki

aspek hukum tatanegara.

Persyaratan pendidikan keahlian, menjalankan pekerjaan profesi, tatacara

membuka praktek pengobatan, dan berbagai pembatasan serta pengawasan profesi

dokter masuk dalam bagian hukum administrasi. Hak dan kewajiban yang timbul

dari hubungan pelayanan kesehatan, persetujuan antara dokter dan pasien serta

keluarganya, akibat kelalaian perdata serta tuntutannya dalam pelayanan

kesehatan masuk bagian hukum perdata. Kesaksian, kebenaran isi surat

keterangan kesehatan, menyimpan rahasia, pengguguran kandungan, resep obat

keras atau narkotika, pertolongan orang sakit yang berakibat bahaya maut atau

luka-luka masuk bagian hukum pidana.

Dalam negara hukum yang sudah meningkat kearah negara kesejahteraan

menjadi kewajiban negara dengan alat perlengkapannya untuk mewujudkan

keadaan bagi kehidupan setiap orang, keluarga dan masyarakat memperoleh

kesejahteraan (well being) menurut penjelasan pasal 1-6 Undang-Undang no. 9/

1960 berarti melibatkan tenaga kesehatan atau dokter turut secara aktif dalam

semua usaha kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah. Usaha kesehatan

pemerintah yang melibatkan tenaga kesehatan selaku aparat negara yang

berwenang merupakan pengembangan aspek hukum tatanegara didalam hukum

kedokteran kesehatan.

Semua aspek hukum dalam peraturan hukum kedokteran kesehatan menjadi

perangkat hukum yang secara khusus menentukan perilaku keteraturan atau

perintah keharusan atau larangan perbuatan sesuatu itu berlaku bagi para pihak

yang berkaitan dengan usaha kesehatan sebagaimana ditentukan dalam peraturan

perundangan.

Page 4: 80103460 BAB I Refrat Forensik

Disamping norma-norma hukum yang terdapat didalam hukum kedokteran

kesehatan, berlaku juga norma etik kesehatan / norma etik kedokteran sebagai

petunjuk tentang perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk dalam

kehidupan yang susila sehari-hari. Tugas pekerjaan yang dilaksanakan secara

profesional memerlukan dukungan yang ditaati berdasarkan kekuasaan moral dan

salah satu diantaranya tercantum dalam rumusan kode etik kedokteran maupun

kode etik tenaga kesehatan yang lainnya.

Sebagaimana norma etika sukarela ditaati berdasarkan keluhuran sikap /

tanggung jawab moral dari setiap orang yang menjalankan pekerjaan profesi, akan

tetapi sebagian yang lain harus dikuatkan menjadi tatanan sosial (bukan peraturan

hukum) yang dirumuskan secara tertulis, baik mengenai kewajiban moril / akhlak

dalam kode etik profesi maupun mengenai kewajiban lain yang berhubungan

dengan tugas pekerjaan profesi dalam hukum disipliner. Sanksi berupa celaan /

teguran dan atau tindakan tata tertib / administratif diserahkan kepada

kebijaksanaan badan organisasi profesi yang bertindak bukan sebagai badan

peradilan.

Prof. DR. H. Bambang Poernomo, SH, 2008, Hukum Kesehatan, Aditya Media :

Yogyakarta

A. Definisi dan Kedudukan Hukum Kesehatan

Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum

Kesehatan Indonesia (PERHUKI), adalah semua ketentuan hukum yang

berhubungan langsung dengan pemeliharaan / pelayanan kesehatan dan

penerapannya. Hal ini menyangkut hak dan kewajiban baik dari perorangan dan

segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari

pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspeknya, organisasi,

sarana, pedoman standar pelayanan medik, ilmu pengetahuan kesehatan dan

hukum serta sumber-sumber hukum lainnya. Hukum kedokteran merupakan

bagian dari hukum kesehatan, yaitu yang menyangkut asuhan / pelayanan

kedokteran (medical care / sevice).

Page 5: 80103460 BAB I Refrat Forensik

Hukum kesehatan merupakan bidang hukum yang masih muda.

Perkembangannya dimulai pada waktu World Congress on Medical Law di Belgia

pada tahun 1967. Perkembangan selanjutnya melalui World Congress of The

Association for Medical Law yang diadakan secara periodik hingga saat ini.

Di Indonesia perkembangan hukum kesehatan dimulai dari terbentuknya

Kelompok studi untuk Hukum Kedokteran FK-UI / R.S. Ciptomangunkusumo di

Jakarta pada tahun 1982. Perhimpunan untuk Hukum Kedokteran Indonesia

(PERHUKI), terbentuk di Jakarta pada tahun 1983 dan berubah menjadi

Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI) pada kongres I

PERHUKI di Jakarta pada tahun 1987.

Hukum kesehatan mencakup komponen-komponen hukum bidang

kesehatan yang bersinggungan satu dengan yang lainnya, yaitu hukum

Kedokteran / Kedokteran Gigi, Hukum Keperawatan, Hukum Farmasi Klinik,

Hukum Rumah Sakit, Hukum Kesehatan Masyarakat, Hukum Kesehatan

Lingkungan dan sebagainya (Konas PERHUKI, 1993).

Sumber Rujukan:

Hanafiah, M.J, Amir, A., 1999, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, EGC :

Jakarta.

Perkembangan hukum di bidang kedokteran dan kesehatan dapat ditelaah

mengenai pengertiannya, kedudukan pengembangan ilmunya, dan proyeksinya.

Seringkali terdapat keraguan pemakaian istilah mana yang dapat dipakai untuk

memilih istilah hukum kedokteran ataukah hukum kesehatan ataukah hukum

kedokteran - kesehatan.

Bagi ahli hukum pidana sudah kenal dengan istilah ilmu kedoteran

kehakiman dan/atau ilmu kedokteran forensik yaitu ilmu yang menghasilkan

bahan penyelidikan melalui pengetahuan kedokteran untuk membantu

menyelesaikan dan pembuktian perkara pidana yang menyangkut korban manusia.

Oleh karena itu dalam hal memahami peraturan-peraturan hukum tentang kegiatan

pelayanan kesehatan menurut ilmu kedokteran, akan dirasakan lebih serasi dengan

menyebut istilah "hukum kedokteran kesehatan" disingkat HKK.

Page 6: 80103460 BAB I Refrat Forensik

Penggunaan kata majemuk hukum kedoteran-kesehatan mempunyai latar

belakang dari rumusan kalimat "kesehatan berdasarkan ilmu kedokteran"

sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum eks Undang-Undang tentang

pokok-pokok kesehatan no. 9/1960. Sebab selama ini telah dikembangkan

pemikiran baru dibidang kesehatan mengenai keluarga/sosial dalam kaitannya

dengan kependudukan yang ruang lingkup tatanan peraturan hukumnya dihimpun

dalam hukum keluarga berencana dan kependudukan yang diselenggaran oleh

BKKBN.

Kedudukan hukum kedokteran kesehatan menjadi bagian dari pertumbuhan

ilmu hukum dan sebagai cabang/ranting pohon hukum yang dikemudian hari

diharapkan dapat berkembang lebih jauh menjadi sub bidang tersendiri hukum

kesehatan dan hukum kedokteran termasuk teknologi kedokteran. Kemajuan

pembidangan hukum yang demikian itu dapat terlihat pada hukum acara pidana

menjadi beberapa bagian antara lain hukum pembuktian dan hukum kepolisian

yang mengandung teknologi penegakan hukum.

Sumber Artikel :

Prof.DR.H. Bambang Poernomo, SH, 2008, Hukum Kesehatan, Aditya Media :

Yogyakarta

B. Landasan, Asas Hukum dan Materi perundang-undangan Dalam Bidang

Kesehatan.

Hermien Hadiati Koeswadji menyatakan pada asasnya hukum kesehatan

bertumpu pada hak atas pemeliharaan kesehatan sebagai hak dasar social (the

right to health care) yang ditopang oleh 2 (dua) hak dasar individual yang terdiri

dari hak atas informasi (the right to information) dan hak untuk menentukan nasib

sendiri (the right of self determination).(6)

Sejalan dengan hal tersebut Roscam Abing mentautkan hukum kesehatan

dengan hak untuk sehat dengan menyatakan bahwa hak atas pemeliharaan

kesehatan mencakup berbagai aspek yang merefleksikan pemberian perlindungan

dan pemberian fasilitas dalam pelaksanaannya. Untuk merealisasikan hak atas

pemeliharaan bisa juga mengandung pelaksanaan hak untuk hidup, hak atas

Page 7: 80103460 BAB I Refrat Forensik

privasi, dan hak untuk memperoleh informasi.(7) Demikian juga Leenen secara

khusus, menguraikan secara rinci tentang segala hak dasar manusia yang

merupakan dasar bagi hukum kesehatan.(8)

Asas Hukum adalah Norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan

yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum

(Bellefroid dalam Mertokusumo, 1986), sedangkan menurut Eikema Hommes,

asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma hukum yang konkret, akan tetapi

perlu dipandang sebagai dasar umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku.

Dalam hal ini maka asas hukum bukanlah peraturan hukum yang konkret,

melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya. sas hukum diterapkan

tidak langsung. Pada umumnya asas hukum akan berubah mengikuti

perkembangan masyarakat dan terpengaruh pada waktu dan tempat. 

P Scholten menyatakan bahwa ada empat asas yang sifatnya sangat universal.

Asas tersebut yaitu :

1. Asas Kepribadian

Manusi menghendaki adanya kebebasan individu, sehingga berharap ada

pengakuan kepribadian manusia, dimana manusia dipandang sebagai subyek

hukum penyandang hak dan kewajiban.

2. Asas Persekutuan

Manusia menghendaki persatuan, kesatuan, cinta kasih dan keutuhan

masyarakat berdasarkan ketertiban.

3. Asas Kesamaan

Menghendaki adanya keadilan, dimana manusia dipandang sederajad didalam

hukum (equality before the law)

4. Asas Kewibawaan

Menunjukkan bahwa hukum berwenang memberi keputusan yang mengikat

para pihaknya.

Dalam ilmu kesehatan dikenal beberapa asas :

1. Sa science et sa conscience / ya ilmunya dan ya hati nuraninya

2. Agroti Salus Lex suprema / keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi

3. Deminimis noncurat lex / hukum tidak mencampuri hal-hal yang sepele

Page 8: 80103460 BAB I Refrat Forensik

4. Res ipsa liquitar / faktanya telah berbicara

Sumber :

Dewi,A.I,2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book

Publisher :Yogyakarta

Segala sesuatu yang berkaitan dengan kesehatan seringkali dikatakan

sebagian masyarakat kesehatan dengan ucapan saratnya peraturan. Peraturan

dimaksud dapat berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku umum dan

berbagai ketentuan internal bagi profesi dan asosiasi kesehatan. Agar diperoleh

gambaran yang lebih menyeluruh maka digunakan susunan 3 (tiga) komponen

dalam suatu sistem hukum seperti yang dikemukakan Schuyt.(9) Ketiga

komponen dimaksud adalah keseluruhan peraturan, norma dan ketetapan yang

dilukiskan sebagai sistem pengertian, betekenissysteem, keseluruhan organisasi

dan lembaga yang mengemban fungsi dalam melakukan tugasnya, organisaties

instellingen dan keseluruhan ketetapan dan penanganan secara konkret telah

diambil dan dilakukan oleh subjek dalam komponen kedua, beslisingen en

handelingen.

Dalam komponen pertama yang dimaksudkan adalah seluruh peraturan,

norma dan prinsip yang ada dalam penyelenggaraan kegiatan di bidang kesehatan.

Bertolak dari hal tersebut dapat diklasifikasikan ada 2 (dua) bentuk, yaitu

ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh penguasa dan ketentuan yang dibuat oleh

organisasi profesi dan asosiasi kesehatan. Hubungan antara keduanya adalah

ketentuan yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi kesehatan serta sarana

kesehatan hanya mengikat ke dalam dan tidak boleh bertentangan dengan

ketentuan yang dibuat oleh penguasa. Menurut inventarisasi yang dilakukan

terhadap ketentuan yang dikeluarkan penguasa dalam bentuk peraturan

perundang-undangan terdapat 2 (dua) kategori, yaitu yang bersifat menetapkan

dan yang bersifat mengatur.

Dari sudut pandang materi muatan yang ada dapat dikatakan mengandung 4

(empat) obyek, yaitu:

1. Pengaturan yang berkaitan dengan upaya kesehatan

Page 9: 80103460 BAB I Refrat Forensik

2. Pengaturan yang berkaitan dengan tenaga kesehatan

3. Pengaturan yang berkaitan dengan sarana kesehatan

4. Pengaturan yang berkaitan dengan komoditi kesehatan

Apabila diperhatikan dari ketentuan tersebut terkandung prinsip

perikemanusiaan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha

bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan

dan kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan sendiri.(10)

Selanjutnya dari ketentuan yang ada dalam keputusan dan peraturan yang dibuat

oleh organisasi profesi dan asosiasi bidang kesehatan serta sarana kesehatan

adalah mencakup kode etik profesi, kode etik usaha dan berbagai standar yang

harus dilakukan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan.

Apabila diperhatikan prinsip-prinsip yang dikandung dalam ketentuan ini

mencakup 4 (empat) prinsip dasar, yaitu autonomy, beneficence, non maleficence

dan justice.(11)

Sebelum memasuki komponen kedua, perlu dibahas terlebih dahulu

komponen ketiga mengenai intervensi yang berupa penanganan yang dilakukan

berdasarkan ketentuan yang diatur. Komponen ini merupakan aktualisasi terhadap

komponen ideal yang ada dalam komponen pertama. Bila diperhatikan isi

ketentuan yang ada dimana diperlukan penanganan terdapat 4 (empat) sifat, yaitu:

1. Perintah (gebod) yang merupakan kewajiban umum untuk melakukan sesuatu

2. Larangan (verbod) yang merupakan kewajiban umum untuk tidak melakukan

sesuatu

3. Pembebasan (vrijstelling, dispensatie) berupa pembolehan khusus untuk tidak

melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan

4. Izin (toesteming, permissie) berupa pembolehan khusus untuk melakukan

sesuatu yang secara umum dilarang.(12)

Tindakan penanganan yang dilakukan apakah sudah benar atau tidak,

kiranya dapat diukur dengan tatanan hukum seperti yang dikemukakan oleh Nonet

dan Selznick, yaitu apakah masih bersifat represif, otonomous atau responsive.

(13)

Selanjutnya dengan komponen kedua tentang organisasi yang ada dalam

penyelenggaraan upaya kesehatan dapat dibagi dalam 2 (dua) bagian besar yaitu

Page 10: 80103460 BAB I Refrat Forensik

organisasi pemerintah dan organisasi / badan swasta.

Pada organisasi pemerintah mencakup aparatur pusat dan daerah serta departemen

dan lembaga pemerintah non departemen. Pada sektor swasta terdapat berbagai

organisasi profesi, asosiasi dan sarana kesehatan yang mempunyai tugas dan

fungsi di bidang kesehatan.

Dari susunan dalam 3 (tiga) komponen tersebut secara global menurut

Schuyt bahwa tujuan yang ingin dicapat adalah (14):

1. Penyelenggaraan ketertiban sosial

2. Pencegahan dari konflik yang tidak menyenangkan

3. Jaminan pertumbuhan dan kemandirian penduduk secara individual

4. Penyelenggaraan pembagian tugas dari berbagai peristiwa yang baik dalam

masyarakat

5. Kanalisasi perubahan sosial

2.2. Hubungan Terapeutik

A. Perjanjian Terapeutik

Perjanjian terapeutik atau transaksi terapeutik adalah perjanjian antara

dokter dengan pasien yang memberikan kewenangan kepada dokter untuk

melakukan kegiatan memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien berdasarkan

keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh dokter tersebut. dari hubungan

hukum dalam transaksi terapeutik tersebut, timbullah hak dan kewajiban masing-

masing pihak, pasien mempunyai hak dan kewajibannya, demikian juga

sebaliknya dengan dokter.

Karena transaksi terapeutik merupakan perjanjian, maka menurut

Komalawati (2002) terhadap transaksi terapeutik juga berlaku hukum perikatan

yang diatur dalam buku III KUH Perdata, sebagaimana disebutkan didalam pasal

1319 KUH Perdata yang berbunyi :

" Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak

terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum, yang termuat

dalam Bab ini dan Bab yang lalu"

Dengan demikian, untuk sahnya perjanjian tersebut, harus dipenuhi syarat-

syarat yang termuat dalam pasal 1320 KUH Perdata, dan akibat yang

Page 11: 80103460 BAB I Refrat Forensik

ditimbulkannya diatur dalam pasal 1338 KUH Perdata, yang mengandung asas

pokok hukum perjanjian.

Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia yang dilampirkan dalam

Keputusan Menteri Kesehatan RI, No 434/Men.Kes/X/1983 tentang Berlakunya

Kode Etik Kedokteran Indonesia Bagi para Dokter di Indonesia, mencantumkan

tentang transaksi terapeutik sebagai berikut :

" Yang dimaksud dengan transaksi terapeutik adalah hubungan antara dokter

dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial), serta

senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani.

Menurut Subekti (1985), suatu perjanjian adalah suatu peristiwa bahwa

seseorang berjanji kepada orang lain atau antara dua orang itu saling berjanji

untuk melaksanakan sesuatu hal.

Untuk sahnya perjanjian terapeutik (Nasution : 2005), harus dipenuhi

syarat-syarat sesuai pasal 1320 KUH Perdata :

1. Adanya kesepakatan dari mereka yang saling mengikatkan dirinya.

2. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

3. Mengenai suatu hal tertentu.

4. Untuk suatu sebab yang halal / diperbolehkan.

Syarat 1 dan 2 merupakan syarat subjektif yang harus dipenuhi yaitu para

pihak harus sepakat, dan kesepakatan itu dilakukan oleh pihak-pihak yang cakap

untuk membuat suatu perikatan.

Untuk keabsahan kesepakatan para pihak yang mengikatkan dirinya, maka

kesepakatan ini harus memenuhi kriteria pasal 1321 KUH Perdata yang berbunyi :

" Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau

diperolehnya dengan paksaan atau penipuan".

Agar kesepakatan ini sah menurut hukum, maka didalam kesepakatan ini

para pihak harus sadar (tidak ada kekhilafan), terhadap kesepakatan yang dibuat,

tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak, dan tidak boleh ada penipuan

didalamnya. Untuk itulah diperlukan adanya informed consent atau yang juga

dikenal dengan istilah Persetujuan Tindakan Medik.

Untuk syarat adanya kecakapan untuk membuat perjanjian, diatur dalam

pasal 1329 dan 1330 KUH Perdata sebagai berikut :

Page 12: 80103460 BAB I Refrat Forensik

Pasal 1329 :

"Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh

undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap".

Pasal 1330 :

Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :

1. Orang-orang yang belum dewasa.

2. Mereka yang ditaruh di dalam pengampuan.

3. Orang-orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan

pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang

membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Pihak penerima pelayanan medik yang tidak cakap untuk bertindak (tidak

boleh membuat kesepakatan, atau kesepakatan yang dibuat bisa dianggap tidak

sah) antara lain :

1. Orang dewasa yang tidak cakap untuk bertindak (misalnya : orang gila,

pemabuk, atau tidak sadar), maka diperlukan persetujuan dari pengampunya

(yang boleh membuat perikatan dengan dokter adalah pengampunya).

2. Anak dibawah umur, diperlukan persetujuan dari walinya atau orang tuanya.

Yang dimaksud dengan dewasa menurut Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 585/Men.Kes/per/IX/1989, Pasal 8 ayat (2) adalah telah berumur 21 tahun

atau telah menikah. Jadi untuk seseorang yang berusia dibawah 21 tahun dan

belum menikah, maka transaksi terapeutik harus ditanda tangani oleh orang tua

atau walinya, yang merupakan pihak yang berhak memberikan persetujuan.

Sumber Rujukan :

Isfandyarie, A, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku I,

Prestasi Pustaka Publisher : Jakarta.

B. Akibat Transaksi Teurapetik

Jika transaksi terapeutik telah memenuhi syarat sahnya perjanjian, maka

semua kewajiban yang timbul mengikat bagi para pihak, baik pihak dokter

maupun pihak pasien.

Page 13: 80103460 BAB I Refrat Forensik

Akibat hukum dari dilakukannya perjanjian tertuang di dalam pasal 1338

dan 1339 KUH Perdata sebagai berikut ;

Pasal 1388 :

" Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya"

Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua

belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan

cukup untuk itu.

Pasal 1339 :

" Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas

dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat

perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang".

Dari kedua pasal diatas dapat diambil pengertian sebagai berikut :

1. Perjanjian terapeutik (transaksi terapeutik) berlaku sebagai undang-undang

baik bagi pihak pasien maupun pihak dokter, dimana undang-undang

mewajibkan para pihak memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing

sesuai dengan hal yang diperjanjikan.

2. Perjanjian terapeutik tidak dapat ditarik kembali tanpa kesepakatan pihak

lain, misalnya ; karena dokter tidak berhasil menyembuhkan pasien atau

kondisi pasien memburuk setelah ditanganinya, dokter tidak boleh lepas

tanggung jawab dengan mengalihkan pasien kepada sejawat yang lain tanpa

indikasi medis yang jelas. Untuk mengalihkan pasien kepada sejawat yang

lain, dokter yang bersangkutan harus minta persetujuan pasien atau

keluarganya.

3. Kedua belah pihak, baik dokter dan pasien harus sama-sama beritikad baik

dalam melaksanakan perjanjian terapeutik. Wawancara dalam pengobatan

harus dilakukan berdasarkan itikad baik dan kecermatan yang patut oleh

dokter, dan pasien harus membantu menjawab dengan itikad baik pula agar

hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan dibuatnya transaksi terapeutik.

4. Perjanjian hendaknya dilaksanakan sesuai dengan tujuan dibuatnya perjanjian

yaitu kesembuhan pasien, dengan mengacu kepada kebiasaan dan kepatutan

Page 14: 80103460 BAB I Refrat Forensik

yang berlaku baik kebiasaan yang berlaku dalam bidang pelayanan medis

maupun dari pihak kepatutan pasien. Dokter harus menjaga mutu pelayanan

dengan berpedoman kepada standar pelayanan medik yang telah disepakati

bersama dalam rumah sakit maupun orgnisasi profesi sebagai kebiasaan yang

berlaku, serta memikirkan kelayakan dan kepatutan yang ada di masyarakat.

Untuk memberikan gambaran lebih jelas tentang transaksi terapeutik, maka

akan dipaparka kekhususan transaksi terapeutik dengan perjanjian pada umumnya

sebagai berikut (Komalawati, 2002):

1. Subjek pada transaksi terapeutik terdiri dari dokter dan pasien. Dokter

bertindak sebagai pemberi pelayanan medik profesional yang pelayanannya

didasarkan pada prinsip pemberian pertolongan. Sedangkan paien sebagai

penerima pelayanan medik yang membutuhkan pertolongan. Pihak dokter

mempunyai kualifikasi dan kewenangan tertentu sebagai tenga profesional

dibidang medik yang berkompeten untuk memberikan pertolongan yang

dibutuhkan pasien, sedangkan pihak pasien karena tidak mempunyai

kualifikasi dan kewenangan sebagaimana yang dimiliki dokter berkewajiban

membayar honorarium kepada dokter atas pertolongan yang telah diberikan

dokter tersebut.

2. Objek perjanjian berupa upaya medik profesional yang mencirikan pemberian

pertolongan.

3. Tujuan perjanjian adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang

berorientasi kekeluargaan, mencakup kegiatan peningkatan kesehatan

(promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif),

dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif).

Sumber Rujukan :

Isfandyarie, A, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku I,

Prestasi Pustaka Publisher : Jakarta.

C. Hak dan Kewajiban Dokter-pasien

Hak-Hak Dokter Meliputi :

Page 15: 80103460 BAB I Refrat Forensik

1. Melakukan praktik dokter setelah memperoleh surat ijin dokter dan surat ijin

praktik.

2. Memperoleh informasi yang benar dan lengkap dari pasien tentang

penyakitnya.

3. Bekerja sesuai standar profesi.

4. Menolak melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan etika, hukum,

agama, dan hati nuraninya.

5. Mengakhiri hubungan dengan pasiennya, jika menurut penilaiannya

kerjasama dengan pasiennya tidak ada gunanya lagi kecuali dalam keadaan

gawat darurat.

6. Hak atas privasi dokter.

7. Ketentraman bekerja.

8. Mengeluarkan surat-surat keterangan dokter.

9. Menerima imbalan jasa.

10. Menjadi anggota perhimpunan profesi.

11. Hak membela diri.

Kewajiban Dokter Meliputi :

1. Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan

sumpah kedokteran.

2. Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran

tertinggi.

3. Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh

dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi.

4. Setiap dokter wajib melindungi makhluk insani.

5. Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter harus mengutamakan

kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan

kesehatan yang menyeluruh, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi

masyarakat yang sebenarnya.

6. Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan menggunakan segala ilmu dan

keterampilannya untuk kepentingan penderita.

Page 16: 80103460 BAB I Refrat Forensik

7. Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang

seorang penderita, bahkan setelah penderita meninggal.

8. Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas

kemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu

memberikannya.

9. Setiap dokter tidak boleh mengambil alih penderita dari teman sejawatnya

tanpa persetujuannya.

Sumber Rujukan :

Dewi, A.I., 2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book

Publisher :Yogyakarta.

Hak Pasien Meliputi :

1. Mendapatkan pelayanan yang manusiawi

2. Memperoleh asuhan perawatan yang bermutu baik

3. Memilih dokternya

4. Meminta dokter yang merawat agar mengadakan konsultasi dengan dokter

lain

5. Dijaga privasinya (kerahasiaan penyakit yang diderita)

6. Mendapatkan informasi yang lengkap tentang :

a. Penyakit yang diderita

b. Tindakan medik apa yang hendak dilakukan dan kemungkinan akibatnya

c. Alternatif terapi yang lainnya

d. Prognosis

e. Perkiraan biaya pengobatan

7. Meminta tidak diinformasikan tentang penyakitnya (hak waiver)

8. Menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya

9. Mengajukan keluhan-keluhan dan memperoleh tanggapan

10. Didampingi keluarga dalam keadaan kritis

11. Mengakhiri pengobatan dan rawat inap atas tanggung jawab sendiri

12. Menjalankan agama dan kepercayaannya di rumah sakit (tidak mengganggu

pasien lain)

Page 17: 80103460 BAB I Refrat Forensik

Kewajiban Pasien di Rumah Sakit:

1. Pasien dan keluarganya berkewajiban untuk mentaati segala peraturan dan

tata tertib rumah sakit.

2. Pasien wajib untuk menceritakan sejujur-jujurnya tentang segala sesuatu

mengenai penyakit yang dideritanya.

3. Pasien berkewajiban untuk mematuhi segala instruksi dokter dalam rangka

pengobatan.

4. Pasien dan/atau penanggungnya berkewajiban untuk melunasi semua imbalan

dan jasa pelayanan rumah sakit / dokter.

5. Pasien dan/atau penanggungnya berkewajiban untuk memenuhi segala

perjanjian yang ditandatanganinya.

Sumber Rujukan :

Hanfiah, J., Amir, A., 1999, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, EGc:

Jakarta.

UU No 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.

D. Pertanggungjawaban Dokter dalam Hukum

Dalam pengertian hukum, tanggung jawab berarti "keterikatan". Tiap

manusia, mulai saat ia dilahirkan sampai saat ia meninggal dunia mempunyai hak

dan kewajiban dan disebut sebagai subjek hukum. Demikian juga dokter, dalam

melakukan suatu tindakan, harus bertanggung jawab sebagai subjek hukum

pengemban hak dan kewajiban.

Tindakan atau perbuatan dokter sebagai subjek hukum dalam pergaulan

masyarakat, dapat dibedakan antara tindakannya sehari-hari yang tidak berkaitan

dengan pelaksanaan profesi dan tindakan yang berkaitan dengan pelaksanaan

profesi. Begitu pula dalam tanggung jawab hukum seorang dokter, dapat tidak

berkaitan dengan profesi, dan dapat pula merupakan tanggung jawab hukum

bekaitan dengan pelaksanaan profesinya.

Perbuatan dokter yang tidak berkaitan dengan pelaksanaan profesi yang

menimbulkan tanggung jawab hukum antara lain : dokter menikah, melakukan

Page 18: 80103460 BAB I Refrat Forensik

perjanjian jual beli, dan sebagainya. Perbuatan dokter yang tidak berkaitan dengan

pelaksanaan profesinya ini, pada umumnya juga bisa dilakukan oleh setiap orang

yang bukan dokter.

Tanggung jawab hukum timbul berkaitan dengan pelaksanaan profesi

dokter, masih dapat dibedakan antara :

1. Tanggung jawab terhadap ketentuan profesionalnya yang termuat dalam

Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 434/Men.Kes/SK/X/1983 tentang

Kodeki.

2. Tanggung jawab terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang tercantum dalam

undang-undang, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) beserta

hukum acaranya (KUHAP), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW/

Bugerlijk Wetboek) dan Undang-Undang perlindungan konsumen beserta

hukum acaranya (HIR), Undang-Undang No 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan, dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran.

Dalam pertanggung jawaban hukum seorang dokter sebagai pengemban

profesi, dokter harus selalu bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya.

Karena tanggung jawab dokter dalam hukum sedemikian luasnya, maka dokter

juga harus mengerti dan memahami ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku

dalam pelaksanaan profesinya. Termasuk didalamnya tentang pemahaman hak-

hak dan kewajiban dalam menjalan profesi sebagai dokter.

Penguasaan ilmu dan keterampilan saja tidaklah cukup. Mungkin saja

terjadi, seorang dokter yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang

tinggi dibidang keahliannya, benar-benar menggunakan ilmunya demi menolong

pasien tanpa dipengaruhi pertimbangan untuk mencari keuntungan pribadi.

Namun perasaan tidak puas pasien atas upaya penyembuhan yang dilakukan

dokter tersebut, dapat mengakibatkan pasien lalu menuntut sang dokter ke

pengadilan. Walaupun pada akhirnya tuntutan pasien terhadap dokter tidak

terbukti, dokter ternyata tidak melakukan tindakan yang merugikan pasien, namun

nama dokter tersebut  sudah terlanjur tercemar. Dalam hal demikian, suatu

tindakan yang bersifat preventif akan sangat berarti bagi ketenangan bekerja

dokter dalam melaksanakan profesinya. Pengertian tentang tanggung jawab

Page 19: 80103460 BAB I Refrat Forensik

hukum akan sangat membantu dokter dalam mengantisipasi kemungkinan

tuntutan pasien yang dapat terjadi dalam upaya medis yang dilakukan dokter.

Kesadaran dokter terhadap kewajiban hukumnya baik terhadap diri sendiri

maupun terhadap orang lain dalam menjalankan profesinya harus benar-benar

dipahami oleh dokter sebagai pengemban hak dan kewajiban. Kewajiban hukum

pada intinya menyangkut apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan

seseorang dokter, atau apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak

seharusnya dilakukan dalam menjalankan profesi dokter.

Kewajiban hukum dokter mencakup kewajiban hukum yang timbul karena

profesinya dan kewajiban yang timbul dari kontrak terapeutik (penyembuhan)

yang dilakukan dalam hubungan dokter dengan pasien. Kewajiban tersebut

mengikat setipa dokter yang selanjutnya menimbulkan tanggung jawab hukum

bagi diri dokter yang bersangkutan. Dalam menjalankan kewajiban hukumnya,

diperlukan adanya ketaatan dan kesungguhan dari dokter tersebut dalam

melaksanakan kewajiban sebagai pengemban profesi. Kesadaran hukum yang

dimiliki dokter harus berperan dalam diri dokter tersebut untuk bisa

mengendalikan dirinya sehingga tidak melakukan kesalahan profesi, agar

terhindar dari sanksi yang diberikan oleh hukum.

Fuady (2005) membagi kewajiban hukum yang utama dari seorang dokter

menjadi 4 hal yang terdiri dari :

1. Kewajiban melakukan diagnosis penyakit.

2. Kewajiban mengobati penyakit.

3. Kewajiban memberikan informasi yang cukup kepada pasien dalam bahasa

yang dimengerti oleh pasien, baik diminta maupun tidak.

4. Kewajiban untuk mendapatkan persetujuan pasien (tanpa paksaan atau

penekanan) terhadap tindakan medik yang akan dilakukan oleh dokter setelah

dokter memberikan informasi yang cukup dan dimengerti oleh pasien.

"Keterikatan" dokter terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam

menjalankan profesinya merupakan tanggung jawab hukum yang harus dipenuhi

dokter yang pada dasarnya meliputi 3 bentuk pertanggung jawaban, yaitu :

Page 20: 80103460 BAB I Refrat Forensik

1. Bidang hukum administrasi dimuat dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun

2004 Tentang praktik kedokteran.

2. Bidang hukum pidana, terdiri dari :

a. KUHP, antara lain pasal 48-51, 224, 267, 268, 322, 344-361, 531.

b. Ketentuan Pidana UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

c. Ketentuan Pidana  UU No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

3. Bidang Hukum Perdata, terdiri dari :

a. BW, antara lain pasal 1239, 1365, 1366, 1367.

b. UU No 8 Tahun 1999 Tentang Konsumen Pasal 19.

Sehubungan dengan tanggung jawab hukum dokter dalam bidang hukum

perdata, maka ada 2 bentuk pertanggungjawaban pokok, yaitu :

a. Pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan karena wanprestasi.

b. Pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan karena perbuatan

melawan hukum.

Pada dasarnya, pertanggungjawaban perdata bertujuan untuk memperoleh

kompensasi atas kerugian yang diderita disamping untuk mencegah terjadinya hal-

hal yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, dasar untuk menuntut tanggung jawab

dokter yang dianggap telah merugikan pasiennya adalah mengenai perbuatan

melawan hukum atau wanprestasi yang memberikan hak kepada yang dirugikan

untuk menerima kompensasi dari pihak lain yang mempunyai kewajiban terhadap

pihak yang menderita kerugian tersebut.

Ada 3 prinsip pertanggungjawaban perdata, yaitu :

1. Setiap tindakan yang menimbulkan kerugian atas diri orang lain berarti orang

yang melakukannya harus membayar kompensasi sebagai

pertanggungjawaban kerugian (pasal 1365 BW).

2. Seseorang harus bertanggung jawab tidak hanya karena kerugian yang

dilakukannya dengan sengaja, tetapi juga karena kelalaian atau kurang hati-

hati (pasal 1366 BW).

3. Seseorang harus memberikan pertanggungjawaban tidak hanya atas kerugian

yang ditimbulkan dari tindakannya sendiri, tetapi juga atas kerugian yang

Page 21: 80103460 BAB I Refrat Forensik

ditimbulkan dari tindakan orang lain yang berada dibawah pengawasannya

(pasal 1367 BW).

Safitri Hariyani, dalam sengketa medik, membagi pertanggungjawaban

dalam bidang hukum perdata sebagai berikut :

1. Melakukan wanprestasi (1239 BW)

2. Melakukan perbuatan melawan hukum (1365 BW)

3. Melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian (1366 BW)

4. Melalaikan pekerjaan sebagai penanggung jawab (1367 ayat 3 BW).

Sumber Rujukan :

Isfandyarie, A, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku I,

Prestasi Pustaka Publisher : Jakarta.

2.3. Malpraktek Medis

a. Pengertian

Akhir-akhir ini tuntutan hukum terhadap dokter dengan dakwaan

melakukan malpraktek makin meningkat dimana-mana. Ini menunjukkan

peningkatan kesadaran hukum masyarakat, dimana masyarakat lebih menyadari

akan haknya. Disisi lain para dokter dituntut untuk melakukan kewajiban dan

tugas profesinya dengan lebih hati-hati dan penuh tanggung jawab. Seorang

dokter hendaknya dapat menegakkan diagnosis dengan benar sesuai dengan

prosedur, memberikan terapi dan melakukan tindakan medik sesuai standar

pelayanan medik, dan tindakan itu memang wajar dan diperlukan. a

Malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan

tingkat ketrampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim diperrgunakan dalam

mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang

sama. Yang dimaksud dengan kelalaian disini ialah sikap kurang hati-hati, yaitu

tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan

wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak

akan melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan

melakukan tindakan kedokteran dibawah standar pelayanan medik.a

Page 22: 80103460 BAB I Refrat Forensik

Walaupun UU No.6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan sudah dicabut

oleh UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan, namun perumusan

malpraktek/kelalaian medik yang tercantum dalam paal 11b masih dapat

dipergunakan yaitu :

1. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan di dalam KUHP dan peraturan

perundang-undangan lain, maka terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan

tindakan-tindakan administratif dalam hal sebagai berikut :

a. melalaikan kewajiban

b. melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh

seorang tenaga kesehatan , baik mengingat sumpah jabatannya, maupun

mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan.

Dari 2 butir tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pada butir (a)

melalaikan kewajiban, yang berarti tidak melakukan sesuatu yang seharusnya

dilakukan. Sedangkan pada butir (b) berarti melakukan suatu tindakan yang

seharusnya tidak dilakukan. a

Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hokum atau kejahatan, jika

kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan

orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hokum “De minimis

nonculat lex” , yang berarti hokum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap

sepele. Tetapi jika kelalaian itu menimbulkan kerugian materi, mencelakakan,

bahkan merenggut nyawa orang lain maka ini diklasifikasikan sebagai kelalaian

berat (culpa lata), serius dan kriminil.a

Tolak ukur culpa lata adalah :

1. Bertentangan dengan hukum

2. Akibatnya dapat dibayangkan

3. Akibatnya dapat dihindarkan

4. Perbuatannya dapat dipersalahkan

Jadi malpraktek medik merupakan kelalaian yang berat dan pelayanan

kedokteran dibawah standar.a

Malpraktek medik murni (criminal malprctice) sebenarnya tidak banyak

dijumpai. Misalnya melakukan pembedahan dengan niat membunuh pasiennya

atau adanya dokter yang sengaja melakukan pembedahan pada pasiennya tanpa

Page 23: 80103460 BAB I Refrat Forensik

indikasi medik, yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, jadi semata-mata untuk

mengeruk keuntungan pribadi. Memang dalam masyarakat yang menjadi

materealistis, hedonistis, dan konsumtif, dimana kalangan dokter turut terimbas,

malpraktek seperti diatas dapat meluas.a

Dokter dikatakan melakukan malpraktek jika :

1. Dokter kurang memahami ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang

sudah berlaku umum dikalangan profesi kedokteran

2. Memberikan pelayanan kedokteran dibawah standar profesi (tidak lege artis)

3. Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak

hati-hati

4. Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum.a

Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik

kedokteran, maka ia hanya telah melakukan malpraktek etik. Untuk dapat

menuntut penggantian kerugian karena kelalaian, maka penggugat harus dapat

membuktikan adanya 4 unsur berikut :

1. Adanya suatu kewajiban antara dokter dengan pasien

2. Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipergunakan

3. Penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya

4. Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar.a

Kadang-kadang penggugat tidak perlu membuktkan adanya kelalaian yang

tergugat. Dalam hukum terdapat suatu kaedah yang berbunyi ”Res Ipsa

Loquitur”, yang berarti faktanya telah berbicara, misalnya terdapatnya kain kasa

yang tertinggal di rongga perut pasien, sehingga menimbulkan komplikasi pasca

bedah. Dalam hal ini maka dokterlah yang harus membuktikan bahwa tidak

adanya kelalaian pada dirinya.a

Kelalaian dalam arti perdata berebeda dengan arti pidana. Dalam arti

pidana (kriminal), kelalaian menunjukkan kepada adanya suatu sikap yang

sifatnya lebih serius, yaitu sikap yang sangat sembarangan atau sikap sangat tidak

hati-hati terhadap kemungkinan timbulnya resiko yang bisa menyebabkan orang

lain terluka atau mati, sehingga harus bertanggungjawab terhadap tuntutan

kriminal oleh negara.a

Page 24: 80103460 BAB I Refrat Forensik

b. Contoh Kasus a

No Contoh Kasus Aspek hukum yang berkaitan

01 Seorang dokter memberikan cuti

sakit berulang kali kepada seorang

tahanan, padahal orang tersebut

mampu menghadiri sidang

pengadilan perkaranya.

Dokter terkena pelanggaran KODEKI Bab I pasal

7 dan KUHP pasal 267

KODEKI Bab I pasal 7

Seorang dokter hanya memberi keterangan atau

pendapat yang dapat dibuktikan kebenarannya.

KUHP Pasal 267

Dokter yang dengan sengaja memberi surat

keterangan palsu tentang adanya atau tidak

adanya penyakit, kelemahan atau cacat, dikuhum

dengan hukuman penjara selama 4 tahun

02 Seorang penderita gawat darurat di

rawat di suatu rumah sakit dan

ternyata membutuhkan

pembedahan segera. Ternyata

pembedahan tertunda-tunda,

sehingga penderita meninggal

dunia

a. Jika tertundanya pembedahan tersebut

disebabkan kelalaian dokter maka sikap dokter

tersebut bertentangan dengan lafal sumpah

dokter, KODEKI Bab II Pasal 10 dan KUHP

pasal 304 dan 306

Lafal sumpah dokter :

Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan

penderita

KODEKI Bab II Pasal 10

Seorang dokter wajib melakukan pertolongan

darurat sebagai suatu tugas kemanusiaan

KUHP Pasal 304

Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau

membiarkan seorang dalam kesengsaraan,

sedangkan ia wajib memberi kehidupan,

perawatan, dan pemeliharaan berdasarkan hukum

yang berlaku baginya atau karena suatu

perjanjian, dihukum dengan hukum penjara

selama-lamanya 2 tahun 8 bulan atau denda

sebanyak-banyaknya Rp.4.500,-

Page 25: 80103460 BAB I Refrat Forensik

KUHP Pasal 306

(2) Jika salah satu perbuatan tersebut berakibat

kematian, maka bersalah dihukum dengan

hukuman penjara selama-lamanya 9 tahun

b. Jika tertundanya pembedahan tersebut

disebabkan keluarga penderita belum membayar

uang panjar untuk rumah sakit, maka rumah

sakitlah yang terkena pasal-pasal KUHP 304 dan

306, sedangkan dokter terkena pelanggaran

KODEKI

03 Seorang dokter umum melakukan

pembedahan benjolan pada leher

seorang wanita yang kemudian

timbul komplikasi pendarahan.

Dokter menghentikan tindakannya

sedangkan benjolan tersebut belum

diangkat seluruhnya. Padahal di

kota tempat dokter itu bekerja ada

dokter spesialis bedah

Daalam kasus ini dokter umum tersebut

melanggar KODEKI Bab I Pasal 2 dan 11, KUHP

Pasal 360

KODEKI Bab I Pasal 2

Seorang dokter harus senantiasa melakukan

profesinya menurut ukuran tertinggi.

KODEKI Bab I Pasal 11

Dalam hal tidak mampu melakukan suatu

pemeriksaan atau pengobatan maka ia wajib

merujuk penderita kepada dokter lain yang

mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.

KUHP Pasal 350

Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan

orang lain mendapat luka berat atau luka

sedemikian, sehingga berakibat penyakit atau

halangan sementara untuk menjalankan jabatan

atau pekerjaannya, dihukum dengan hukuman

penjara selama-lamanya 5 tahun.

04 Seorang wanita usia 31 tahun di

rawat dengan benjolan pada leher,

lemah, dan tidak mempunyai nafsu

Dalam penyelidikan di pengadilan dibuktikan

bahwa prosedur punksi memang perlu dilakukan

untuk diagnosis dan terapi serta tekniknya telah

Page 26: 80103460 BAB I Refrat Forensik

makan. Dugaan diagnosis adalah

suatu penyakit darah mungkin

limfoma atau leukemia.

Pemeriksaan darah menunjukkan

suatu leukemia akut. Namun pada

saat itu tidak dapat dipastikan tipe

leukemianya, karena itu

diperlukan punksi sumsum tulang,

untuk mengetahui tipe sel dan

menetapkan terapi yang tepat.

Punksi sumsum tulang telah

dicoba sebanyak 6 kali, pada

tulang dada dan tulang panggul.

Pada punksi tulang dada yang

terakhir kali, tiba-tiba penderita

menjadi sesak, resusitasi dilakukan

segera, namun penderita

meninggal dunia 45 menit

kemudian. Pada autopsi dijumpai

bahwa penderita meninggal karena

komplikasi hemopericardium

(perdarahan) yang disebabkan luka

punksi pada bilik kanan jantung

sewaktu melakukan punksi tulang

dada.

dilaksanakan dengan hati-hati serta sesuai

prosedur. Komplikasi yang timbul memang dapat

terjadi pada aspirasi sumsum tulang. Pertolongan

yang diberikan setelah terjadi komplikasi adalah

cepat dan tepat dan dinilai tidak ada kelalaian

dokter.

05 Seorang wanita usia 70 tahun

dirujukkan ke rumah sakit untuk

appendektomi, karena radang usus

buntu. Pada waktu pembedahan,

spesialis bedah mengangkat suatu

jaringan yang diduganya usus

buntu yang sedang meradang.

Dipengadilan dinyatakan bahwa dokter spesialis

bedah tersebut kurang teliti dan hati-hati dan

dinilai ketrampilannya dibawah standar.

Kalaupun spesialis patologi segera

memberitahukan hasil pemeriksaannya kepada

spesialis bedah tersebut dan ia sempat melakukan

operasi kedua, belum tentu penderita dapat

Page 27: 80103460 BAB I Refrat Forensik

Namun pada pemeriksaan

patologi, ternyata jaringan tersebut

bukan merupakan usus buntu,

melainkan jaringan lemak.

Penderita meninggal 2 hari setelah

operasi. Pada autopsi dijumpai

usus buntu yang mengalmi

perforasimasih melekat pada

coecum. Kematian disebabkan

sepsis yang timbul akibat

appendicitis akut perforasi

diselamatkan.

Dari kasus- kasus diatas dapat diambil kesimpulan :

1. Dari seorang dokter dituntut penampilan sesuai dengan standar dalam

melaksanakan tugas profesinya, serta berusaha dengan sungguh-sungguh dan

hati-hati dalam mencegah komplikasi sewaktu menegakkan diagnosis.

2. Jika pemeriksaan penderita telah dilakukan dengan teliti, menegakkan

diagnosis berlandaskan data-data yang memadai, mempertimbangkan

diagnosis deferensial dengan tes-tes tambahan yang diperlukan , mengobati

penderitanya dengan cara-cara yang tepat, membuat catatan medik dengan

adekuat termasuk follow upnya, menyadari benar-benar apa yang

dilakukannya, dan memberikan pertolongan dengan cepat dan tepat jika

terjadi komplikasi, maka dokter tidak akan dituntut melakukan kelalaian

apabila terjadi juga hal-hal yang tidak diinginkan.

3. Jika suatu kasus yang diduga malpraktek diajukan ke depan pengadilan, maka

diperlukan bukti-bukti yang cukup untuk menegakkan kebenaran. Jika

penderita meninggal dunia, diperlukan autopsi klinik untuk menetapkan sebab

kematian yang pasti. Pada tahap sekarang ini, tindakan tersebut masih sulit

untuk dilakukan disebabkan pengaruh sosio-budaya.a

Page 28: 80103460 BAB I Refrat Forensik

c. Penanganan Malpraktek

Walaupun dalam KODEKI telah tercantum tindakan-tindakan yang

selayaknya tidak dilakukan oleh seorang dokter dalam menjalankan profesinya,

akan tetapi sanksi bila terjadi pelanggaran etik tidak dapat diterapkan dengan

seksama. Dalam etik sebenarnya tidak ada batas-batas yang jelas antara boleh atau

tidak, oleh karena itu kadangkala sulit memberikan sanksi-sanksinya. a

Di negara maju terdapat suatu Dewan Medis (Medical Council) yang

bertugas melakukan pembinaan etik profesi dan menanggulangi pelanggaran-

pelanggaran yang dilakukan terhadap etik kedokteran. Di negara kita IDI telah

mempunyai Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), baik ditingkat pusat

maupun di tingkat cabang. Walaupun demikian MKEK ini belum lagi

dimamfaatkan dengan baik oleh para dokter ataupun masyarakat.a

Masih banyak kasus yang terlanjur diajukan ke pengadilan sebelum

ditangani oleh MKEK, oleh karena itu fungsi MKEK belum memeuaskan, maka

pada tahun 1982 Departemen Kesehatan membentuk Panitia Pertimbangan dan

Pembinaan Etik Kedokteran (P3EK) yang terdapat pula di pusat dan di tingkat

propinsi. Tugass P3EK adalah menangani kasus-kasus malpraktek etik yang tidak

dapat ditanggulangi oleh MKEK, dan memberi pertimbangan dan usul-usul

kepada pejabat yang berwenang. a

Jadi instansi pertama yang akan menangani kasus-kasus malpraktek etik

ialah MKEK Cabang atau Wilayah. Masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh

MKEK dirujuk ke P3EK Propinsi atau jika P3EK Propinsi tidak dapat

menanganinya maka kasus tersebut diterusskan ke P3EK Pusat. a

2.4. Penanganan Penderita Gawat Darurat

a. Pengertian

Gawat darurat medik adalah suatu kondisi yang dalam pandangan penderita,

keluarga, atau siapapun yang bertanggung jawab dalam membawa penderita ke

rumah sakit, memerlukan pelayanan medik segera. Kondisi ini berlanjut hingga

petugas kesehatan yang profesional menetapkan bahwa keselamatan penderita

atau kesehatannya tidak terancam. Namun keadaan gawat darurat yang

sebenarnya adalah suatu kondisi klinik yang memerlukan pelayanan medik.

Page 29: 80103460 BAB I Refrat Forensik

Kondisi tersebut berkisar antara yang memerrlukan pelayanan ekstensif segera

dengan rawat inap di rumah sakit dan yang memerlukan pemeriksaan diagnostik

atau pengamatan yang setelahnya mungkin memerlukan atau mungkin juga tidak

memerlukan rawat inap (The American Hospital Association)

Gawat darurat medik dapat timbul pada siapa saja, kapan saja dan dimana

saja. Gawat darurat dapat menimpa sseseorang karena penyakit mendadak (akut)

atau kecelakaan atau dapat menimpa sekelompok orang seperti pada kecelakaan

massal, bencana alam, atau karena peperangan. Penderita gawat darurat ini

memerlukan pelayanan medik yang cepat, tepat, bermutu dan terjangkau. Dalam

pelayanan medik itulah para petugass kesehatan dituntut untuk benar-benar

menghayati dan mengamalkan etik profesinya, karena dalam kondisi gawat

darurat aspek psiko-emosional memegang peranan pentinng, baik bagi penerima

pelayanan medik, maupun bagi petugas kesehatan terkait.a

b. Landasan Etik Medik

Etik medik terutama berlandaskan pada pancasila dengan silanya peri

kemanusiaan yang adil dan beradab. Di samping itu perlu dipahami, dihayati, dan

diamalkan hak penderita dan kewajiban-kewajiban lainnya dari dokter. Hampir

semua butir lafal sumpah dokter berkaitan erat dengan pelayanan medik penderita

gawat darurat, yaitu bahwa setiap dokter akan membaktikan hidupnya guna

kepentingan perikemanusiaan, mengutamakan kesehatan penderita,

mengutamakan kepentingan masyarakat, menghormati hidup insani, dan dalam

menunaikan kewajibannya seorang dokter tidak akan terpengaruh oleh

pertimbangan keagamaan, kesukuan, perbedaan kelamin, politik kepartaian atau

kedudukan sosial.a

Dalam KODEKI terdapat butir-butir yang berkaitan dengan kasus-kasus

gawat darurat yang kalau ditempatkan menurut urutan yang relevan lebih dahulu,

susunannya menjadi sebagai berikut :

1. Seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas

kemanusiaan, kecuali bila yakin ada orang lain yang bersedia dan mampu

memberikannya (Pasal 14)

Page 30: 80103460 BAB I Refrat Forensik

2. Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran

tertinggi (Pasal 2)

3. Setiap dokter harus senantiasa mengingatakan kewajibannya melindungi

hidup insani (Pasal 10)

4. Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan ilmu

keterampilannya untuk kepentingan penderita. Dalam hal ia tidak mampu

melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka ia wajib merujuk

penderita kepada dokter lain yang mempunyai keahlian terhadap penyakit

tersebut (Pasal 11)

5. Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh

dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadinya (Pasal 3)

6. Seorang dokter dalam bekerjasama dengan pejabat dibidang kesehatan dan

bidang lainnya serta masyarakat harus memelihar saling pengertian sebaik-

baiknya (Pasal 9)

7. Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada penderita agar senantiasa

ddapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribat dan

atau dalam masalah lainnya (Pasal 12)

8. Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang

penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia (Pasal 13)

9. Setiap dokter harus memelihara kesehatannya supaya dapat bekerja dengan

baik (Pasal 17)

Dari butir-butir KODEKI tersebut di atas jelas bagaimana seharusnya

seorang dokter berperilaku pada saat menghadapi kasus-kasus gawat darurat, yang

tidak jarang berakhir dengan kematian penderita. Upaya dokter dengan penuh

perhatian membantu penderita disertai dengan sikap manusiawi dan empati pada

saat penderita mengalami saat-saat kritis, alaupun akhirnya penderita meninggal

dunia, kiranya keluarga dapat menerima musibah itu dengan ikhlas, bahkan

berterima kasih kepada dokter yang telah berikhtiar dengan sungguh-sungguh

untuk menyelamatkan jiwa penderita.a

Page 31: 80103460 BAB I Refrat Forensik

c. Contoh Kasus

Pelayanan medik penderita gawat darurat mempunyai aspek khusus, karena

ini menyangkut kelangsungan hidup seseorang. Disini penderrita secara tiba-tiba

tak terduga sebelumnya, menghadapi ancaman bahaya maut, sehingga

memerlukan tindakan segera untuk menyelamatkan jiwanya, mencegah

bertambahnya penderitaan atau bertambah parahnya penyakit ataupun mencegah

timbulnya cacat permanen anggota tubuhnya. Oleh karena itu ada hal-hal yang

pada penderita biasa tidak dapat dibenarkan, pada kasus-kasus gawat darurat

diperbolehkan pengecualian. a

Contoh-contoh kasus gawat darurat yang berkaitan dengan etik dan pidana :

No Contoh Kasus Keterangan

01 Seorang dokter spesialis yang tugas jaga, yang

tidak bersedia datang untuk memeriksa

penderita gawat darurat yang dikonsul

kepadanya dan kemudian penderita meninggal

dunia.

Dokter bukan saja dianggap telah

melakukan malpraktek etik, tetapi

juga malpraktek pidana, karena

kelalaiannya menyebabkan seorang

meninggal dunia

Instruksi dokter mengenai

pemeriksaan dan pengobatan per

telfon juga dianggap pelanggaran,

karena pelayanannya dibawah

standar pelayanan medik

02 Dokter yang langsung mentransfer seorang

penderita gawat darurat ke rumah sakit rujukan

tanpa memberi pertolongan pertama untuk

memperbaiki keadaan umum penderita,

sehingga penderita meninggal dunia di

perjalanan

Malpraktek etik dan malpraktek

pidana

03 Rumah sakit dan atau seorang dokter yang

menunda-nunda rawat inap penderita gawat

darurat atau menunda-nunda tindakan medik

terhadap penderitanya atas alasan belum

membayar uang muka

Melanggar etik dan hukum sehingga

dapat digugat di pengadilan

Page 32: 80103460 BAB I Refrat Forensik

04 Untuk penderita gawat darurat yang dalam

keadaan tidak sadar misalnya petinju dengan

trauma capitis dan tidaak didampingi oleh

keluarga yang memerlukan tindakan

pembedahan segera (cyto) untuk

menyelamatkan jiwanya

Tidak diperlukan Persetujuan

Tindakan Medik (PTM) dari siapa

pun. Ini sesuai dengan KODEKI

dimana dokter mengutamakan

kesehatan penderita dan melindungi

hidup insani.

Permenkes No.585 Tahun 1989

Pasal 11 :

Dalam hal pasien tidak sadar/pingsan

atau tidak didampingi oleh keluarga

terdekat dan secara medik berada

dalam keadaan gawat dan atau darurat

yang memerlukan tindakan medik

segera untuk kepentingannya, tidak

diperlukan persetujuan dari siapa pun.

05 Seorang anak atau seorang penderita penyakit

jiwa yang mendapat kecelakaan lalu lintas dan

tiba di rumah sakit tanpa didampingi orang tua

atau walinya untuk menandatangani PTM,

sedangkan pembedahan tidak dapat ditunda-

tunda lagi demi mencegah bertambah parah

penyakitnya

Tindakan dokter melakukan

pembedahan itu dapat dibenarkan dan

sesuai dengan KODEKI.

2.5. Euthanasia

Ada dua masalah dalam bidang kedokteran/kesehatan yang berrkaitan

dengan aspek hukum yang selalu aktual dibicarakan dari waktu ke waktu,

sehingga dapat digolongkan ke dalam masalah klasik dalam bidang kedokteran

yaitu tentang abortus provokatus dan euthanasia. Dalam lafal sumpah dokter yang

disusun oleh Hipocrates (460-337 SM), Kedua masalah ini telah ditulis dan

diingatkan. Sampai kini tetap saja persoalan yang timbul berkaitan dengan

masalah ini tidak dapat diatasi atau diselesaikan dengan baik, atau didapatnya

Page 33: 80103460 BAB I Refrat Forensik

kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak. Di satu pihak tindakan

euthanasia pada beberapa kasus dan keadaan memang diperlukan, sementara di

lain pihak tindakan ini tidak dapat diterima, bertentangan dengan hukum, moral

dan agama. Kedua masalah ini setiap waktu akan dihadapi oleh kalangan

kedokteran dan masyarakat setiap waktu. Malah dapat diperkirakan akan semakin

meningkat di masa mendatang.a

Mengenai masalah euthanasia bila ditarik ke belakang boleh dikatakan

masalahnya sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tak

tersembuhkan, sementara pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam

situasi demikian, tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan

ini dan tidak ingin diperpanjang hidupnya lagi atau dilain keadaan pada pasien

yang sudah tidak sabar, keluarga orang sakit juga tidak tega melihat pasien yang

penuh penderitaan menjelang ajalnya dan minta kepada dokter untuk tidak

meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang mempercepat

kematian. Dari sinilah istilah euthanasia muncul, yaitu melepas kehidupan

seseorang agar terbebas dari penderitaan, atau mati secara baik (mati enak).a

Masalah ini makin sering dibicarakan dan menarik banyak perhatian karena

semakin banyak kasus yang dihadapi kalangan kedokteran dan masyarakat

terutama setelah ditemukannya tindakan di dalam dunia pengobatan dengan

mempergunakan teknologi canggih dalam mengatasi keadaan-keadaan gawat dan

mengancam kelangsungan hidup. Banyak kasus-kasus di pusat pelayanan

kesehatanterutama di bagian gawat darurat dan di bagian unit perawatan intensif

yang pada masa lalu sudah merupakan kasus yang tidak dapat dibantu lagi.a

Dengan demikian, pada kasus-kasus tertentu tetap saja muncul persoalan

dasar kembali, yaitu dilema meneruskan atau tidak tindakan medis yang

memperpanjang kehidupan. Apa yang harus dilakukan dokter menghadapi korban

yang telah mati otak atau mati batang otak ini, karena belum ada kasus yang dapat

keluar dari keadaan ini, sebab kerusakan jaringan otak sudah irreversible. Atau

pada kasus kanker stadium terminal dengan penderitaan sakit yang hebat,

sementara obat untuk itu belum ada. Begitu juga pada pasien gagal ginjal kronis

yang memerlukan pencucian darah, sementara dana untuk tindakan ini ditanggung

passien/keluarga dan lain-lain.a

Page 34: 80103460 BAB I Refrat Forensik

Sesuai dengan makin meningkatnya kesadaran akan hak untuk menentukan

nasib sendiri (self determination) dibanyak negara mulai timbul gerakan dan

penghargaan atas seseorang untuk mengakhiri hidup. Dibeberapa negara hak ini

diakui oleh pemerintah dan diatur oleh undang-undang.a

a. Pengertian

Euthanasia berasal dari kata Yunani Euthanathos. Eu berarti baik, tanpa

penderitaan, sedangkan tanathos berarti mati. Dengan demikian euthanasia dapat

diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan. Ada pula yang menterjemahkan

mati cepat tanpa derita.a

Belanda salah satu negara di Eropa yang maju dalam pengetahuan hukum

kesehatan mendefinisikan euthanasia sesuai dengan rumusan yang dibuat oleh

Euthanasia Study Group dari KNMG (Ikatan Dokter Belanda) : Euthanasia adalah

dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang

pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau

mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien

sendiri.” a

Aturan hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap negara dan

seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya maupun

ketersediaan perawatan atau tindakan medis. Di beberapa negara, eutanasia

dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap melanggar hukum.

Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur yang ketat selalu

diterapkan tanpa memandang status hukumnya.b

b. Konsep Tentang Kematian

Perkembangan euthanasia tidak terlepas dari konsep tentang kematian.

Usaha manusia untuk memperpanjang kehidupan dan menghindari kematian

dengan mempergunakan kemajuan iptek kedokteran telah membawa masalah baru

dalam euthanasia, terutama berkenaan dengan penentuan kapan seorang

dinyatakan telah mati a

Dikenal beberapa konsep tentang mati seperti :

1. Mati sebagai berhentinya darah mengalir

Page 35: 80103460 BAB I Refrat Forensik

Konsep mati dari berhentinya darah mengalir seperti dianut selama inidan

yang juga diatur dalam PP. 18 Tahun 1991 menyatakan bahwa mati adalah

berhentinya fungsi jantung dan paru-paru, tidak bisa dipergunakan lagi karena

teknologi resusitasi telah memungkinkan jantung dan paru-paru yang semua

terhenti, kini dapat dipacu untuk berddenyut kembali dan paru-paru dapat

dipompa untuk berkembang kempis kebali.

2. Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh.a

Konsep mati dari terlepasnya nyawa dari tubuh sering menimbulkan keraguan

karena misalnya pada tindakan resusitasi yang berhasil, keadaan demikian

menimbulkan kesan seakan-akan nyawa dapat ditarik kembali.a

3. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen

Konsep mati mengenai hilangnya kemampuan tubuh secara permanen untuk

menjalankan fungsinya secra terpadu juga dipertanyakan karena organ-organ

berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali karena otak telah mati. Untuk

kepentingan transplantasi konsep ini menguntungkan tetapi secara moral

tidak dapat diterima karena kenyataannya organ-organ masih berfungsi

meskipun tidak terpadu lagi.a

4. Hilangnya manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan

interaksi sosial.

Bila dibandingkan dengan manusia sebagai makhluk sosial yaitu individu

yang mempunyai kepribadian, menyadari kehidupannya, kekhususannya,

kemampuannya mengingat, menentukan sikap, dan mengambil keputusan,

mengajukan alasan yang masuk akal, mampu berbuat, menikmati, mengalami

kecemasan dan sebagainya, maka penggerak dari otak baik secara fisik

maupun sosial makin banyak dipergunakan.a

Pusat pengendali terletak di batang otak, oleh karena itu jika batang otak

telah mati maka dapat diyakini bahwa manusia ini secara fisik dan sosial telah

mati. Dalam keadaan demikian kalangan medis sering menempuh pilihan tidak

meneruskan resusitasi. Penentuan saat mati ini juga dibahas dan ditetapkan dalam

World Medical Asembly tahun 1968 yang dikenal dengan Deklarasi Sydney.

Disini dinyatakan penentuan saat kematian di kebanyakan negara merupakan

tanggung jawab sah dokter. Dokter dapat menentukan seseorang sudah mati

Page 36: 80103460 BAB I Refrat Forensik

dengan menggunakan kriteria yang lazim tanpa bantuan alat khusus yang telah

diketahui oleh semua dokter.a

Yang penting dalam penentuan saat mati disini adalah proses kematian

tersebut sudah tidak dapat dibangkitkan lagi (irreversible), meski menggunakan

teknik penghidupan kembali apapun. Walaupun sampai sekarang tidak ada alat

yang sungguh-sungguh memuaskan dapat digunakan untuk menentukan saat mati

ini, alat elektroensefalograf dapat diandalkan untuk maksud tersebut.a

c. Jenis Euthanasia

1. Berdasarkan cara dilaksanakan, euthanasia dapat dibedakan dalam :

Euthanasia Pasif

Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala

tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup

manusia.

Euthanasia Aktif

Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara medik melalui

intervensi aktif oleh seorang dokter dengan tujuan untuk mengakhiri

manusia. Euthanasia aktif dibagi menjadi euthanasia aktif langsung dan

tidak langsung. Euthanasia aktif langsung adalah dilakukannya tindakan

medik secara terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien,

atau memperpendek hidup pasien. Jenis euthanasia ini dikenal juga

sebagai mercy killing. Euthanasia aktif tidak langsung adalah dimana

dokter atau tenaga kesehatan melakukan tindakan medik untuk

meringankan penderitaan pasien, namun mengetahui adanya resiko

tersebut dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.a

2. Berdasarkan dari permintaan , euthanasia dibedakan atas :

Euthanasia voluntir atau euthanasia sukarela

Euthanasia voluntir adalah euthanasia yang dilakukan atas permintaan

pasien secara sadar dan diminta berulang-ulang.

Euthanasia involuntir

Euthanasia involuntir adalah euthanasia yang dilakukan pada pasien yang

sudah tidak sadar , dan biasanya keluarga pasien yang meminta.a

Page 37: 80103460 BAB I Refrat Forensik

Gambar. Mesin eutanasia b

d. Euthanasia Menurut Hukum Berbagai Negara

Sejauh ini eutanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia serta

ditoleransi di negara bagian Oregon di Amerika, Kolombia dan Swiss dan

dibeberapa negara dinyatakan sebagai kejahatan seperti di Spanyol, Jerman dan

Denmark.b

Belanda

Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang

mengizinkan eutanasia. Undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak

tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia

yang melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit

menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya.b

Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara

formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai

perbuatan kriminal. Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch

Euthanasia" dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67,

November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di

Belanda dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan

asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut

adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang

spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.b

Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para

dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi

kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002,

Page 38: 80103460 BAB I Refrat Forensik

sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang

belanda, dimana seorang dokter yang melakukan eutanasia pada suatu kasus

tertentu tidak akan dihukum.

Australia

Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di

dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski

reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima

UU yang disebut "Right of the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien

terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret

1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali.b

Belgia

Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September

2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia

setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia di

negara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan

eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan

"birokrasi kematian".b

Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia (setelah

Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika). Senator Philippe Mahoux, dari

partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang

tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan

psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan

kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.b

Amerika

Eutanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak negara bagian di Amerika.

Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit

mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan)

mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997

melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan

UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi

undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia.

Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18

Page 39: 80103460 BAB I Refrat Forensik

tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan

akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga

kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di

antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi

tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus

mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa

pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan

mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk

mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang

dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga

simpanan hari tuanya.b

Swiss

Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara

Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara

umum, pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis

pada tahun 1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada intinya

menyatakan bahwa "membantu suatu pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan

suatu perbuatan melawan hukum apabila motivasinya semata untuk kepentingan

diri sendiri.". Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk

melakukan pengelompokan terhadap obat-obatan yang dapat digunakan untuk

mengakhiri kehidupan seseorang.b

Inggris

Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania

Raya (Britain's Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan

sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics)

agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang

lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk

melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan semata guna memohon

dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor "kemungkinan hidup si bayi"

sebagai suatu legitimasi praktek kedokteran. Namun hingga saat ini eutanasia

masih merupakan suatu tindakan melawan hukum di kerajaan Inggris demikian

juga di Eropa (selain daripada Belanda). Demikian pula kebijakan resmi dari

Page 40: 80103460 BAB I Refrat Forensik

Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-BMA) yang secara

tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga.b

Jepang

Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang eutanasia

demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah

mengatur mengenai eutanasia tersebut.

Ada 2 kasus eutanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada

tahun 1962 yang dapat dikategorikan sebagai "eutanasia pasif". Kasus yang

satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai university pada tahun 1995

yang dikategorikan sebagai "eutanasia aktif ". Keputusan hakim dalam kedua

kasus tersebut telah membentuk suatu kerangka hukum dan suatu alasan

pembenar dimana eutanasia secara aktif dan pasif boleh dilakukan secara legal.

Meskipun demikian eutanasia yang dilakukan selain pada kedua kasus tersebut

adalah tetap dinyatakan melawan hukum, dimana dokter yang melakukannya akan

dianggap bersalah oleh karena merampas kehidupan pasiennya. Oleh karena

keputusan pengadilan ini masih diajukan banding ke tingkat federal maka

keputusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum sebagai sebuah

yurisprudensi, namun meskipun demikian saat ini Jepang memiliki suatu kerangka

hukum sementara guna melaksanakan eutanasia.b

Republik Ceko

Di Republik Ceko eutanisia dinyatakan sebagai suatu tindakan pembunuhan

berdasarkan peraturan setelah pasal mengenai eutanasia dikeluarkan dari

rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sebelumnya pada rancangan

tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospíšil bermaksud untuk memasukkan eutanasia

dalam rancangan KUHP tersebut sebagai suatu kejahatan dengan ancaman pidana

selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite

hukum negara tersebut merekomendasikan agar pasal kontroversial tersebut

dihapus dari rancangan tersebut.b

India

Di India eutanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan

mengenai larangan eutanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab

pertama pasal 300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India (Indian penal

Page 41: 80103460 BAB I Refrat Forensik

code-IPC) tahun 1860. Namun berdasarkan aturan tersebut dokter yang

melakukan euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas kelalaian yang

mengakibatkan kematian dan bukannya pembunuhan yang hukumannya

didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC, namun ini hanyalah diberlakukan

terhadap kasus eutanasia sukarela dimana sipasien sendirilah yang menginginkan

kematian dimana si dokter hanyalah membantu pelaksanaan eutanasia tersebut

(bantuan eutanasia). Pada kasus eutanasia secara tidak sukarela (atas keinginan

orang lain) ataupun eutanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman

berdasarkan pasal 92 IPC.b

China

Di China, eutanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutansia

diketahui terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama

"Wang Mingcheng" meminta seorang dokter untuk melakukan eutanasia terhadap

ibunya yang sakit. Akhirnya polisi menangkapnya juga si dokter yang

melaksanakan permintaannya, namun 6 tahun kemudian Pengadilan tertinggi

rakyat (Supreme People's Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun

2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak ada

kemungkinan untuk disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya

eutanasia atas dirinya namun ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya.

Akhirnya ia meninggal dunia dalam kesakitan.b

Afrika Selatan

Di Afrika Selatan belum ada suatu aturan hukum yang secara tegas

mengatur tentang eutanasia sehingga sangat memungkinkan bagi para pelaku

eutanasia untuk berkelit dari jerat hukum yang ada.b

Korea

Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang eutanasia

di Korea, namun telah ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi)yang di Korea

dikenal dengan "Kasus rumah sakit Boramae" dimana dua orang dokter yang

didakwa mengizinkan dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang

menderita sirosis hati (liver cirrhosis) atas desakan keluarganya. Polisi kemudian

menyerahkan berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan diberi catatan

bahwa dokter tersebut seharusnya dinayatakan tidak bersalah. Namun kasus ini

Page 42: 80103460 BAB I Refrat Forensik

tidak menunjukkan relevansi yang nyata dengan mercy killing dalam arti kata

eutanasia aktif.b

Pada akhirnya pengadilan memutuskan bahwa " pada kasus tertentu dari

penghentian penanganan medis (hospital treatment) termasuk tindakan eutanasia

pasif, dapat diperkenankan apabila pasien terminal meminta penghentian dari

perawatan medis terhadap dirinya.b

e. Euthanasia dan Hukum Indonesia

Kitab undang-undang Hukum Pidana mengatur seseorang dapat dipidana

atau dihukum jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun

karena kurang hati-hati.

Pasal 344 KUHP

Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri,

yang disebutnya dengan nyata atau sungguh-sungguh dihukum penjara

selama-lamanya 12 tahun.

Pasal 388 KUHP

Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena

makar mati dengan penjara selama-lamanya 15 tahun

Pasal 340 KUHP

Barang siapa dengan sengaja atau direncanakan lebih dahulumenghilangkan

jiwa orang lain, dihukum karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan

hukuman mati atau penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara

selama-lamanya dua puluh tahun

Pasal 359 KUHP

Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara

selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.

Pasal 345 KUHP

Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri,

menolongnya dalam perbuatan itu atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh

diri dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.a

Page 43: 80103460 BAB I Refrat Forensik

f. Contoh Kasus

Kasus Hasan Kusuma - Indonesia

Sebuah permohonan untuk melakukan eutanasia pada tanggal 22

Oktober 2004 telah diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma

karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli,

33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan di samping itu

ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan

suatu alasan pula. Permohonan untuk melakukan eutanasia ini diajukan ke

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh

bentuk eutanasia yang di luar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya

ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani

perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah

mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.b

Kasus seorang wanita New Jersey - Amerika Serikat

Seorang perempuan berusia 21 tahun dari New Jersey, Amerika

Serikat, pada tanggal 21 April 1975 dirawat di rumah sakit dengan

menggunakan alat bantu pernapasan karena kehilangan kesadaran akibat

pemakaian alkohol dan zat psikotropika secara berlebihan.Oleh karena

tidak tega melihat penderitaan sang anak, maka orangtuanya meminta agar

dokter menghentikan pemakaian alat bantu pernapasan tersebut. Kasus

permohonan ini kemudian dibawa ke pengadilan, dan pada pengadilan

tingkat pertama permohonan orangtua pasien ditolak, namun pada

pengadilan banding permohonan dikabulkan sehingga alat bantu pun

dilepaskan pada tanggal 31 Maret 1976. Pasca penghentian penggunaan

alat bantu tersebut, pasien dapat bernapas spontan walaupun masih dalam

keadaan koma. Dan baru sembilan tahun kemudian, tepatnya tanggal 12

Juni 1985, pasien tersebut meninggal akibat infeksi paru-paru

(pneumonia).b

Kasus Terri Schiavo

Terri Schiavo (usia 41 tahun) meninggal dunia di negara bagian

Florida, 13 hari setelah Mahkamah Agung Amerika memberi izin

mencabut pipa makanan (feeding tube) yang selama ini memungkinkan

Page 44: 80103460 BAB I Refrat Forensik

pasien dalam koma ini masih dapat hidup. Komanya mulai pada tahun

1990 saat Terri jatuh di rumahnya dan ditemukan oleh suaminya, Michael

Schiavo, dalam keadaan gagal jantung. Setelah ambulans tim medis

langsung dipanggil, Terri dapat diresusitasi lagi, tetapi karena cukup lama

ia tidak bernapas, ia mengalami kerusakan otak yang berat, akibat

kekurangan oksigen. Menurut kalangan medis, gagal jantung itu

disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur potasium dalam tubuhnya. Oleh

karena itu, dokternya kemudian dituduh malapraktek dan harus membayar

ganti rugi cukup besar karena dinilai lalai dalam tidak menemukan kondisi

yang membahayakan ini pada pasiennya.b

Setelah Terri Schiavo selama 8 tahun berada dalam keadaan koma,

maka pada bulan Mei 1998 suaminya yang bernama Michael Schiavo

mengajukan permohonan ke pengadilan agar pipa alat bantu makanan pada

istrinya bisa dicabut agar istrinya dapat meninggal dengan tenang, namun

orang tua Terri Schiavo yaitu Robert dan Mary Schindler menyatakan

keberatan dan menempuh langkah hukum guna menentang niat menantu

mereka tersebut. Dua kali pipa makanan Terri dilepaskan dengan izin

pengadilan, tetapi sesudah beberapa hari harus dipasang kembali atas

perintah hakim yang lebih tinggi. Ketika akhirnya hakim memutuskan

bahwa pipa makanan boleh dilepaskan, maka para pendukung keluarga

Schindler melakukan upaya-upaya guna menggerakkan Senat Amerika

Serikat agar membuat undang-undang yang memerintahkan pengadilan

federal untuk meninjau kembali keputusan hakim tersebut. Undang-

undang ini langsung didukung oleh Dewan Perwakilan Amerika Serikat

dan ditandatangani oleh Presiden George Walker Bush. Tetapi,

berdasarkan hukum di Amerika kekuasaan kehakiman adalah independen,

yang pada akhirnya ternyata hakim federal membenarkan keputusan hakim

terdahulu.b

Kasus "Doctor Death"

Dr. Jack Kevorkian dijuluki "Doctor Death", seperti dilaporkan

Lori A. Roscoe. Pada awal April 1998, di Pusat Medis Adven Glendale ,

California diduga puluhan pasien telah "ditolong" oleh Kevorkian untuk

Page 45: 80103460 BAB I Refrat Forensik

mengakhiri hidup. Kevorkian berargumen apa yang dilakukannya semata

demi "menolong" pasien-pasiennya. Namun, para penentangnya menyebut

apa yang dilakukannya adalah pembunuhan.b

Kasus rumah sakit Boramae - Korea

Pada tahun 2002, ada seorang pasien wanita berusia 68 tahun yang

terdiagnosa menderita penyakit sirosis hati. Tiga bulan setelah dirawat,

seorang dokter bermarga Park umur 30 tahun, telah mencabut alat bantu

pernapasan (respirator) atas permintaan anak perempuan si pasien. Pada

Desember 2002, anak lelaki almarhum tersebut meminta polisi untuk

memeriksa kakak perempuannya beserta dua orang dokter atas tuduhan

melakukan pembunuhan. Seorang dokter yang bernama dr. Park

mengatakan bahwa si pasien sebelumnya telah meminta untuk tidak

dipasangi alat bantu pernapasan tersebut. Satu minggu sebelum

meninggalnya, si pasien amat menderita oleh penyakit sirosis hati yang

telah mencapai stadium akhir, dan dokter mengatakan bahwa walaupun

respirator tidak dicabutpun, kemungkinan hanya dapat bertahan hidup

selama 24 jam saja.b

g. Euthanasia dan HIV/AIDS

Sebagai bagian dari isu keedokteran yang penting, dalam produk fatwa

lembaga fatwa MUI dan Bahtsul Masail fatwa tentang hukum euthanasia

merupakan bagian dari fatwa tentang AIDS/HIV. Namun dalam penerapannya

dapat terpisah. Bahtsul Masail dan MUI sepakat mengharamkan euthanasia bagi

penderita HIV/AIDS. Logika yang dimaksud oleh kedua lembaga tersebut, jika

untuk penderita HIV/AIDS yang jelas saat kematian dan kepedihan penderitaan

yang dialaminya saja haram apalagi karena alasan lain. Dewan Hisbah termasuk

yang mengharamkannya secara mutlak. Dewan Hisbah, MUI, dan Bahtsul Masail

sepakat bahwa jenazah penderita HIV/AIDS harus tetap diurus sebagaimana

mestinya, dilaksanakan oleh orang yang ahli. Bahtsul Masail secara khusus

mengulas tentang hukum pernikahan bagi penderita HIV/AIDS, menurut mereka

pernikahan bagi penderita HIV/AIDS adalah sah namun makruh.4

Page 46: 80103460 BAB I Refrat Forensik

2.5. Abortus

Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum berusia 22 minggu.

Abortus dapat terjadi secara spontan atau secara buatan. Abortus spontan

(keguguran, miscarriage) dapat merupakan suatu mekanisme alamiah untuk

mengeluarkan hasil konsepsi yang abnormal.

Abortus buatan (pengguguran, aborsi, abortus provocatus) adalah abortus

yang terjadi akibat intervensi tertentu yang bertujuan mengakhiri proses

kehamilan. Abortus buatan dapat bersifat legal (abortus provocatus

medianalis/therapeuticus) yang dilakukan berdasarkan indikasi medik. Abortus

buatan ilegal (abortus provocatus criminalis) adalah abortus yang dilakukan

berdasarkan indikasi nonmedik. Abortus ini dilakukan oleh tenaga kesehatan yang

kompeten atau tenaga yang tidak kompeten. Aborsi yang dilakukan oleh tenaga

yang tidak kompeten biasanya dengan cara-cara seperti memijit-mijit perut bagian

bawah, memasukkan benda acing atau jenis tumbuh-tumbuhan/rumput-rumputan

ke dalam leher rahim, dan pemakaian bahan-bahan kimia yang dimasukkan ke

dalam jalan lahir sehingga sering terjadi perdarahan dan infeksi yang berat,

bahkan dapat berakibat fatal. Berlandaskan Lafal Sumpah Hippokrates, Lafal

Sumpah Dokter Indonesia dan International Code of Medical Ethics maupun

KODEKI, setiap dokter wajib menghormati dan melindungi makhluk hidup

insani. Karena itu, aborsi berdasarkan indikasi nonmedik adalah tidak etis.

Abortus buatan legal dilakukan dengan cara tindakan operatif (paling

sering dengan cara kuretase, aspirasi vakum) atau dengan cara medikal. Dalam

Deklarasi Oslo (1970) dan UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, mengenai

abortus buatan legal terdapat ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

Abortus buatan legal hanya dilakukan sebagai suatu tindakan terapeutik

yang keputusannya disetujui secara tertulis oleh 2 orang dokter yang

dipilih berkat kompetensi profesional mereka dan prosedur operasionalnya

dilakukan oleh seorang dokter yang kompeten diinstalasi yang diakui

suatu otoritas yang sah, dengan syarat tindakan tersebut disetujui oleh ibu

hamil bersangkutan, suami, atau keluarga.

Jika dokter yang melaksanakan tindakan tersebut tnerasa bahwa hati

nuraninya tidak membenarkan ia melakukan pengguguran itu, ia berhak

Page 47: 80103460 BAB I Refrat Forensik

mengundurkan diri dan menyerahkan pelaksanaan tindakan medik itu

kepada teman sejawat lain yang kompeten.

Yang dimaksud dengan indikasi medis dalam abortus buatan legal adalah

suatu kondisi yang benar-benar menghaniskan diambil tindakan tersebut

sebab tanpa tindakan tersebut dapat membahayakan jiwa ibu atau adanya

ancaman gangguan fisik, mental dan psikososial jika kehamilan

dilanjutkan, atau risiko yang sangat jelas bahwa anak yang akan dilahirkan

menderita cacat mental, atau cacat fisik yang berat.

Hak utama untuk memberikan persetujuan tindakan medik adalah pada ibu

hamil yang bersangkutan, namun pada keadaan tidak sadar atau tidak

dapat memberikan persetujuannya dapat diminta pada suaminya/wali yang

sah.

Pernyataan Oslo didukung oleh General Assembly dari WMA, namun

tidak mengikat para anggotanya. Ada negara yang melegalkan abortus sebagai

salah satu cara keluarga berencana.

Suatu masalah yang sulit dihadapi adalah kehamilan tidak diinginkan

(KTD) seperti pada kasus kegagalan kontrasepsi, kehamilan di luar nikah,

kehamilan karena perkosaan, tidak adanya akses untuk pelayanan KB, tekanan

pasangan, dan faktor ekonomi. Setiap wanita memiliki hak reproduksi, yaitu hak

menentukan jumlah, penjarakan, dan waktu kelahiran anak. Oleh karena aborsi

atas alasan nonmedik dianggap tindakan melanggar hukum (tindakan kriminal)

dan aborsi bukan salah satu cara KB di Indonesia, banyak wanita dengan KTD

mencari pelayanan aborsi pada tenaga tidak terlatih dan memakan sendiri

bermacam-macam obat untuk menggugurkan kandungannya. Akibatnya, angka

kesakitan dan kematian ibu di Indonesia akibat aborsi tidak aman menjadi tinggi.

Aborsi tidak aman merupakan ancaman bagi kesehatan dan hidup wanita.

Tindakan konkrit pemecahan masalah aborsi tidak aman merupakan bagian upaya

peningkatan kualitas kesehatan reproduksi di Indonesia dan pemenuhan hak

reproduksi wanita. Penelitian pada banyak negara menunjukkan bahwa di

negaranegara yang mengizinkan aborsi dengan indikasi yang lebih bias, insiders

aborsi tidak aman lebih rendah dan angka kematian akibat aborsi tidak aman jauh

Page 48: 80103460 BAB I Refrat Forensik

lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara yang melarang aborsi secara

ketat.

Di Indonesia, diperkirakan sekitar 1,5-2 juta aborsi tidak aman setiap

tahunnya dan kontribusi Angka Kematian Ibu (AKI) sebab aborsi tidak aman

adalah 11,1%.

Oleh karena itu, dalam beberapa tahun terakhir ini diperkenalkan program

aborsi berbasis konseling dengan tujuan menyelenggarakan aborsi yang aman

sesuai standar setelah pasien mendapat konseling dengan baik. Bukan mustahil

bahwa ibu dengan KTD mengurungkan niatnya untuk aborsi setelah mendapat

konseling tersebut. Selanjutnya, konseling pasca-aborsi, pendidikan, dan

pelayanan KB hams diberikan secara bermutu sehingga dapat mencegah aborsi

berulang.

Secara rinci KUHP mengancam pelaku-pelaku abortus buatan ilegal

sebagai berikut:

1. Wanita yang sengaja menggugurkan kandungan atau menyuruh orang lain

melakukannya, hukuman maksimal 4 tahun (KUHP pasal 336).

2. Seseorang yang menggugurkan kandungan tanpa seizinnya, hukuman

maksimal 12 tahun dan bila wanita tersebut meninggal, hukuman

maksimum 15 tahun (KUHP pasal 347).

3. Seseorang yang menggugurkan kandungan wanita dengan seizin wanita

tersebut, hukuman maksimum 5 tahun 6 bulan dan bila wanita tersebut

meninggal, maksimum 7 tahun (KUHP pasal 348).

4. Dokter, bidan atau juru obat yang melakukan kejahatan di atas, hukuman

ditambah dengan sepertiganya dan pencabutan hak pekerjaannya (KUHP

pasal 349).

5. Barang siapa mempertunjukkan alat/cara menggugurkan kandungan

kepada anak di bawah usia 17 tahun/di bawah umur, hukuman maksimum

9 bulan (KUHP pasal 383).

6. Barang siapa menganjurkan/merawat/memberi obat kepada seorang wanita

dengan memberi harapan agar gugur kandungannya, hukuman maksimum

4 tahun (KUHP pasal 299).2

Page 49: 80103460 BAB I Refrat Forensik

Seluruh lembaga fatwa di Indonesia, Bahtsul Masail, Majlis Tarjih, MUI,

dan Dewan Hisbah sepakat mengharamkan aborsi sejak terjadinya pembuahan,

kecuali darurat, ada alasan medis. Demikian pula mereka sepakat tentang batas

haramnya aborsi adalah sejak terjadinya konsepsi. MUI merupakan lembaga fatwa

yang beberapa kali merevisi fatwanya. Awalnya termasuk yang

mengharamkannya secara mutlak, dalam perkembangan berikutnya lebih merinci

hukum pengecualian, jika karena adanya uzur syar’i, baik darurat maupun hajat,

seperti akibat perkosaan atau demi menyelamatkan jiwa ibu, atau karena

menderita penyakit berat yang dapat mengancam jiwa si ibu, mereka

membolehkannya dengan batasan dan syarat tertentu, seperti sebelum usia

kandungan 40 hari, diromendasikan oleh keluarga, dokter dan ulama,

pelaksanaannya dsilakukan di rumah sakit tertentu. Fatwa MUI terakhir

mengundang reaksi dari Dewan Hisbah yang kemudian menetapkan bahwa aborsi

bagi korban perkosaan hukumnya haram.4

2.6. Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh

Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh manusia merupakan tindakan

medik yang sangat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan fungsi organ tubuh

yang berat. Ini adalah terapi pengganti (alternatif) yang merupakan upaya terbaik

untuk menolong pasien dengan kegagalan organnya, karena hasilnya lebih

memuaskan dibandingkan dengan terapi konservatif. Walaupun transplantasi

organ dan jaringan itu telah lama dikenal.

a. Menurut Ulama

Pada prinsipnya seluruh lembaga fatwa di Indonesia mengharamkan

transplantasi organ manusia. Majlis Tarjih, MPKS, MUI, dan Dewan Hisbah

menambahkan kecuali darurat, juga termasuk untuk kepentingan ilmu

pengetahuan dan pendidikan kedokteran. Fatwa Bahtsul Masail mengalami

pergeseran, awalnya mereka mengharamkannya secara mutlak namun kemudian

direvisi yang selanjutnya difatwakan dengan dua pandangan, haram secara mutlak

dan jaiz karena darurat. Dewan Hisbah dan Bahtsul Masail mempersyaratkan

menggunakan organ muslim. Bedanya, Dewan Hisbah sebatas menyarankan

Page 50: 80103460 BAB I Refrat Forensik

sedangkan Bahtsul Masail mengharuskannya. MPKS, Bahtsul Masail, dan Dewan

Hisbah secara khusus telah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan

transplantasi menggunakan organ babi, kecuali tidak ada pilihan lain. Namun jika

ada bahan pengganti, maka penggunaan gigi babi, Bahtsul Masail

mengharamkannya secara mutlak.

2.7. Kesalahan dan Kelalaian Medis

Tuntutan terhadap dokter, pada umumnya dilakukan oleh pasien yang

merasa tidak puas terhadap pengobatan atau pelayanan medis yang dilakukan oleh

dokter yang merawatnya. Ketidakpuasan tersebut terjadi karena hasil yang dicapai

dalam upaya pengobatan tidak sesuai dengan harapan pasien dan keluarganya.

Hasil upaya pengobatan yang mengecewakan pasien, seringkali dianggap sebagai

kelalaian atau kesalahan dokter dalam melaksanakan profesinya.

Hariyani (2005) mengemukakan bahwa dalam kaitan hubungan antara

pasien dan dokter, penyebab dari ketidakpuasan tersebut pada umumnya karena

kurangnya komunikasi antara dokter dengan pasiennya, terutama terkait masalah

"informed consent". Perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dokter dan

pasien oleh Hariyani disebut dengan istilah "sengketa medik".

Beberapa unsur dari persetujuan tindakan medik yang sering dikemukakan

pasien sebagai alasan penyebab sengketa medik ini adalah :

1. Isi informasi (tentang penyakit yang diderita pasien) dan alternatif yang bisa

dipilih pasien tidak disampaikan secara jelas dan lengkap.

2. Saat memberikan informasi seyogyanya sebelum terapi mulai dilakukan,

terutama dalam hal tindakan medis yang beresiko tinggi dengan kemungkinan

adanya perluasan dalam terapi atau tindakan medik.

3. Cara menyampaikan informasi tidak memuaskan pasien, karena pasien

merasa bahwa dirinya tidak mendapatkan informasi yang jujur, lengkap dan

benar yang ingin didapatkannya secara lisan dari dokter yang merawatnya.

4. Pasien merasa tidak diberi kesempatan untuk menentukan pilihan atau

alternatif pengobatan yang telah dilakukan terhadap dirinya, sehingga hak

pasien untuk menentukan dirinya sendiri (self determination) diabaikan oleh

dokter.

Page 51: 80103460 BAB I Refrat Forensik

5. Kadang-kadang pasien hanya mendapatkan informasi dari perawat

(paramedis), padahal menurut hukum yang berhak memberikan informasi

adalah dokter yang menangani pasien tersebut.

Apakah tidak diberikannya informasi ini termasuk dalam kategori kelalaian

dokter?

Menurut Fuady (2005) untuk dapat diajukannya gugatan atas dasar

ketiadaan informed consent harus dipenuhi beberapa unsur yuridis sebagai berikut

:

1. Adanya kewajiban dokter untuk mendapatkan persetujuan (consent) dari

pasien.

2. Kewajiban tersebut tidak dilaksanakan tanpa justifikasi yuridis.

3. Adanya kerugian dipihak pasien.

4. Adanya hubungan sebab akibat antara ketiadaan informed consent dan

kerugian tersebut.

Dalam buku hukum medik (medical law), Guwandi (2004) menyatakan

bahwa "kelalaian" sebagai terjemahan dari 'negligence", yang dalam arti umum

bukanlah merupakan suatu pelanggaran hukum maupun kejahatan. Seseorang

dapat dikatan lalai kalau orang tersebut bersikap acuh tak acuh atau tidak peduli,

dan tidak memperhatikan kepentingan orang lain sebagaimana kepatutan yang

berlaku dalam pergaulan dimasyarakat. Selama akibat dari kelalaian ini tidak

membawa kerugian atau mencederai orang lain, maka tidak ada akibat hukum

yang dibebankan kepada orang tersebut, karena hukum tidak mencampuri hal-hal

yang dianggap sepele (de minimus not curat lex, the law does not concern itself

with trifles).

Kelalaian yang terkena sanksi sebagai akibat hukum yang harus

dipertanggungjawabkan oleh pelaku, bila kelalaian ini sudah menyebabkan

terjadinya kerugian baik kerugian harta benda maupun hilangnya nyawa atau

cacat pada anggota tubuh seseorang.

Untuk menentukan adanya kelalaian dokter, Hariyani (2005) menyebutkan 4

unsur yang disingkat dengan "4D" yaitu sebagai berikut :

Page 52: 80103460 BAB I Refrat Forensik

a. Adanya duty (kewajiban) yang harus dilaksanakan.

b. Adanya derelection of that duty (penyimpangan kewajiban)

c. Terjadinya damaged (kerusakan / kerugian)

d. Terbuktinya direct causal relationship (berkaitan langsung) antara

pelanggaran kewajiban dengan kerugian.

Bila kesalahan atau kelalaian tersebut dihubungkan dengan hukum pidana,

maka Jonkers (Guwandi, 2004) mengemukakan 4 unsur sebagai berikut :

a. Perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum (wederrechtelijkheid)

b. Akibat dari perbuatan bisa dibayangkan (voorzeinbaarheid)

c. Akibat perbuatan sebenarnya bisa dihindari (vermijdbaarheid)

d. Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepadanya (verwijtbaarheid), karena

sebenarnya pelaku sudah dapat membayangkan dan dapat menghindarinya.

Menurut hukum pidana (Nasution, 2005), kelalaian terbagi menjadi 2 :

a. "Kealpaan perbuatan" ialah perbuatannya sendiri sudah merupakan suatu

peristiwa pidana, sehingga untuk dipidananya pelaku tidak perlu melihat

akibat yang timbul dari perbuatan tersebut (lihat pasal 205 KUHP)

b. "Kealpaan akibat" ialah akibat yang timbul merupakan suatu peristiwa pidana

bila akibat dari kealpaan tersebut merupakan akibat yang dilarang oleh

hukum pidana, misalnya terjadinya cacat atau kematian sebagai akibat yang

timbul dari suatu perbuatan (lihat pasal 359, 360, dan 361 KUHP).

Nasution (2005) mengemukakan pendapat Picard (1984) tentang 3 katergori

yang dapat dipakai sebagai pedoman untuk mengetahui apakah dokter telah

berbuat dalam suasana dan keadaan yang sama sebagai berikut :

1. Pendidikan, pengalaman, dan kualifikasi-kualifikasi lain yang berlaku untuk

tenaga kesehatan

2. Tingkat resiko dalam prosedur penyembuhan / perawatan

3. Suasana, peralatan, fasilitas, dan sumber-sumber lain yang tersedia bagi

tenaga kesehatan.

Page 53: 80103460 BAB I Refrat Forensik

C. Berkhouwer dan L.D. Vorstman (Nasution, 2005) mengemukakan 3 faktor

yang menjadi penyebab kesalahan dokter dalam melakukan profesi, yaitu :

1. Kurangnya pengetahuan

2. Kurangnya pengalaman

3. kurangnya pengertian

Dari semua pendapat diatas, ada 2 pakar hukum yang memberikan kesimpulan

sebagai berikut :

Guwandi (2005) menyatakan bahwa untuk menyebutkan bahwa seorang dokter

telah melakukan kelalaian, maka harus dapat dibuktikan hal-hal sebagai berikut :

a. Bertentangan dengan etika, moral dan disiplin

b. Bertentangan dengan hukum

c. Bertentangan dengan standar profesi medis

d. Kekurangan ilmu pengetahuan atau tertinggal ilmu didalam profesinya yang

sudah berlaku umum dikalangan tersebut.

e. Menelantarkan (negligence, abandonment), kelalaian, kurang hati-hati, acuh,

kurang peduli terhadap keselamatan pasien, kesalahan menyolok dan

sebagainya.

Nasution (2005) menyimpulkan untuk menentukan adanya kealpaan harus

terpenuhi adanya 3 unsur sebagai berikut :

a. Pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat menurut hukum tertulis

maupun tidak tertulis, sehingga ia sebenarnya telah melakukan suatu perbuatan

(termasuk tidak berbuat) yang melawan hukum.

b. Pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh, dan kurang berpikir panjang.

c. Perbuatan pelaku itu dapat dicela, oleh karenanya pelaku harus

bertanggungjawab atas akibat perbuatan tersebut.

Sumber Rujukan :

Isfandyarie, A, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku I,

Prestasi Pustaka Publisher : Jakarta.

Page 54: 80103460 BAB I Refrat Forensik

2.8. Kecelakaan Medis

Kecelakaan medis sering dianggap sama dengan kelalaian medis, karena

kedua keadaan tersebut sama-sama dapat menimbulkan kerugian kepada pasien.

bila ditinjau dari segi hukum, dua keadaan tersebut harus dibedakan, karena

didalam hukum medis yang menganut "inspanning verbintenis" (perjanjian upaya)

yang harus dipertanggungjawabkan bukan akibat dari perbuatan, tetapi

pertanggungjawaban lebih mengarah kepada cara bagaimana sampai akibat

tersebut terjadi.

Walaupun akibatnya pasien tidak bisa sembuh atau meninggal atau cacat,

tetapi bila dokter telah melakukan upaya sungguh-sungguh sesuai dengan standar

profesi medis, maka dokter tidak bisa dipersalahkan. Sebagai contoh : Seorang

pasien datang dengan nyeri kepala hebat, terus-menerus sehingga tidak dapat

tidur. Ternyata hasil pemeriksaan menunjukkan pasien hypertensi berat. Selain

itu, dokter juga menemukan adanya kelainan neurologis kelumpuhan ringan pada

tangan dan kaki kiri pasien. Dokter telah melakukan pengobatan sesuai prosedur,

tetapi pasien tidak bisa sembuh, dan terjadi kelumpuhan ringan (parese) yang

menetap dari kaki dan tangan tersebut. Dalam hal terjadi seperti ini, dokter tidak

bisa dipersalahkan telah mengakibatkan kelumpuhan atau cacat pada pasien,

karena perjalanan penyakitnya memeng tidak bisa dicegah dan diobati oleh dokter

yang bersangkutan.

Demikian juga dalam kecelakaan medis yang merupakan kecelakaan murni

tanpa ditemukan adanya unsur kelalaian pada dokter, dokter tidak bisa

dipersalahkan bila terjadi akibat yang tidak dikehendaki pasien yang akibat

tersebut disebabkan oleh kecelakaan medis yang tidak dapat diduga sebelumnya.

Untuk menentukan bahwa akibat yang diderita pasien merupakan kecelakaan

medis dan bukan merupakan kelalaian medis, Guwandi (2004) memberikan ciri-

ciri sebagai berikut :

a. Kecelakaan merupakan peristiwa yang tidak terduga, tindakan yang tidak

disengaja (accident, misfortune, bad fortune, mischance, ill luck).

b. Tidak ditemukan adanya unsur kesalahan (schuld) dalam kecelakaan.

Page 55: 80103460 BAB I Refrat Forensik

c. Dokter sudah melakukan pekerjaannya sesuai dengan standar profesi medis

dan etika profesi.

d. Kecelakaan yang mengandung unsur yang tidak dapat dipersalahkan

(verwijtbaarheid), tidak dapat dicegah (vermijdbaarheid) dan terjadinya tidak

dapat diduga sebelumnya.

e. Dokter sudah melakukan tindakan dengan hati-hati, melakukan upaya dengan

sungguh-sungguh dengan menggunakan segala ilmunya, keterampilan dan

pengalaman yang dimilikinya.

f. Dokter telah berusaha meminimalisasi resiko yang mungkin terjadi dengan

melakukan anamnese yang teliti, pemeriksaan pendahuluan yang adekuat, dan

pemeriksaan penunjang yang diperlukan.

g. Dalam hal kasus pembedahan / pembiusan, dokter telah berusaha melakukan

terapi awal terhadap kelalaian yang ditemukan atau telah melakukan

konsultasi dengan spesialis lainnya yang berkompeten terhadap kelainan yang

diderita pasiennya.

Contoh kasus kecelakaan medis dalam Guwandi (2004) :

The Straits Times, 25 oktober 1986:

Harian ini memuat berita tentang seorang ahli bedah yang melakukan operasi pada

tumor paru atas. Tumor tersebut agak besar dan terletak ditempat yang sulit,

didekat pembuluh darah arteri. Operasi harus dilakukan, karena tanpa operasi

diperkirakan umur pasien tinggal 6 bulan lagi. Tindakan operasi yang dilakukan

sangat beresiko, karena letaknya yang berdekatan dengan jantung dan pembuluh

darh besar. Pada waktu dilakukan operasi, terjadi "kecelakaan" yang tak disengaja

dengan tertusuknya dua pembuluh darah, dan perdarahan yang terjadi tidak dapat

dihentikan, karena banyaknya perlekatan-perlekatan didaerah tersebut.

Berdasarkan keterangan ahli, operasi ini memang sulit sekali untuk bisa

dilakukan, sehingga dokter ahli bedah yang terpandai sekalipun mungkin akan

dapat mengalami hal yang sama. Walaupun akhirnya pasien meninggal, dokter

tidak dapat dipersalahkan.

Sumber Rujukan ;

Page 56: 80103460 BAB I Refrat Forensik

Isfandyarie, A, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku I,

Prestasi Pustaka Publisher : Jakarta.