_5_antraks-wabah-sbawa_jun2005
TRANSCRIPT
8/3/2019 _5_Antraks-Wabah-Sbawa_Jun2005
http://slidepdf.com/reader/full/5antraks-wabah-sbawajun2005 1/11
WABAH ANTRAKS DI KABUPATEN SUMBAWA,
PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PADA TAHUN 2004 (The Outbreak of Anthrax in Sumbawa District
the Province of West Nusa Tenggara in 2004)
Anak Agung Gde Putra, Lalu Zuhudin*, Ni Luh Dartini, A.A. Sagung Dewi,
Ni Made Arsani, dan Rince Morita Butarbutar
BPPV Denpasar dan*Dinas Peternakan Propinsi NTB
ABSTRAK
Telah terjadi wabah antraks yang menyerang kerbau, sapi, kambing, anjing, ayam, dan juga manusia di
Kabupaten Sumbawa. Berdasarkan informasi yang diperoleh, diperkirakan bahwa wabah mulai terjadi sekitar
pertengahan bulan September 2004 di Desa Berare dan menyerang 8 ekor sapi, tetapi kasus ini luput dari
pengamatan petugas karena tidak dilaporkan saat kasus terjadi. Dua minggu kemudian, penyakit muncul di
Desa Ngeru, Karang Dima, Batu Bangka, Lito, Lito B, Penyaring, dan terakhir di Desa Pelita. Sampai akhir
Nopember 2004, sebanyak 9 ekor kerbau, 18 ekor sapi, 1 ekor kambing, 6 ekor anjing, dan 1 ekor ayam telah
tertular antraks. Di samping itu, 13 orang juga tertular antraks, tetapi tidak ada yang sampai meninggal dunia.
Kabupaten Sumbawa telah diketahui sebagai daerah tertular antraks dan kasus itu kerap muncul secara
periodik. Kasus antraks muncul karena rendahnya cakupan vaksinasi di Kabupaten Sumbawa, yaitu sekitar
17%. Rendahnya cakupan vaksinasi di daerah (desa) tertular juga diakibatkan oleh pendekatan program
vaksinasi yang tidak memprioritaskan pelaksanaan vaksinasi pada desa-desa tertular berdasarkan sejarah
kejadian antraks. Mengingat rendahnya cakupan vaksinasi di desa tertular dan kasus antraks juga terjadi di
daerah yang berbukit, untuk menghindari terjadinya wabah yang lebih besar pada saat musim hujan, maka
disarankan agar segera dilakukan vaksinasi di desa tertular, desa yang mengikuti aliran air (sungai) yang
berkaitan dengan tempat kasus antraks terjadi, dan di desa sekitar desa tertular, serta melakukan penutupan
lalu lintas ternak ke dan dari desa tertular.
Kata kunci: antraks, ternak, manusia, pulau Sumbawa
ABSTRACT
The outbreak of anthrax in the District of Sumbawa, West Nusa Tenggara Province was initiated by the first
case of anthrax that occurred in Berare Village in the midle of September 2004, affecting 8 buffaloes.
Anthrax was then found in four other villages. Up to the end of the outbreak (late November 2004): 9
buffaloes, 18 cattle, 1 goat were affected. More over 6 dogs and one chicken that affected by the disease was
due to that those animals were fed with infected meat by the owner. During the outbreak, 10 men and 1
woman were also affected due to either they skinning or consuming meat from the dead animals.
Sumbawa District has been known as one of endemic areas for anthrax in the Province of West Nusa
Tenggara and for that reason the disease was controlled by vaccination. The recent outbreak occurred
because of a relatively low vaccination coverage in the district which was about 17%. The low vaccination
coverage was also due to the poor approach in vaccination programme; it was not based on infected villages
according to historical incidence of anthrax. Of those findings and in order to stop the outbreak before the
rainy season comes, which begi by the end of the year, it was then recommended to revaccinate all of the
susceptible population with priority to: infected villages, low land villages and the neighbour of infected
villages.
Keyword: anthrax, livestock, human, Sumbawa island
8/3/2019 _5_Antraks-Wabah-Sbawa_Jun2005
http://slidepdf.com/reader/full/5antraks-wabah-sbawajun2005 2/11
PENDAHULUAN
Antraks adalah penyakit hewan menular
yang dapat menyerang berbagai jenis
hewan mamalia, bersifat perakut, akut,atau subakut, dan bersifat zoonosis.
Burung unta juga dilaporkan peka
terhadap antraks (Noor dkk., 2001;
Hardjoutomo dkk., 2002). Ada dua
bentuk antraks, yaitu bentuk kulit dan
bentuk septisemik (Ezzel, 1986). Bila
kuman Bacillus anthracis berada dalam
lingkungan yang tidak menguntungkan
bagi perkembangannya dan memperoleh
jumlah oksigen yang cukup, maka ia akan
membentuk spora, dan spora ini mampubertahan hidup selama puluhan tahun.
Penyembelihan hewan tertular antraks
akan mendorong kuman ini membentuk
spora., Karena itu, hewan tertular antraks
dilarang untuk disembelih. Padang
penggembalaan atau lingkungan budidaya
ternak yang telah tercemari spora antraks
akan mengakibatkan penyakit itu menjadi
bersifat endemik apabila tidak ditangani
secara baik. Akibat dari penangananantraks yang belum optimal, sejak lama
pulau Sumbawa dikenal sebagai pulau
yang endemik antraks (Poerwadikarta,
1998; Hardjoutomo dan Poerwadikarta,
1996; Poerwadikarta dkk., 1993;
Hardjoutomo dkk., 1995; Kertayadnya
dan Suendra, 2003).
Kabupaten Buleleng, Bali sekitar tahun
1885 pernah dilaporkan tertular antraks
(Soemanagara, 1958). Sekarang pulauBali dikenal sebagai salah satu pulau di
Indonesia yang bebas dari antraks. Data
ini menunjukkan bahwa antraks masih
dapat diberantas, tentu dengan program
yang jelas dan berkesinambungan dan
dilaksanakan dalam jangka waktu yang
lama mengingat daya tahan hidup spora
antraks di tanah dapat berlangsung dalam
kurun waktu yang sangat lama. Di daerah
endemik, salah satu cara untuk
mengendalikan penyakit ini adalahdengan melakukan vaksinasi massal
terhadap seluruh hewan peka di semua
desa tertular dan desa sekitarnya yang
secara epidemiologi terancam. Kalau
program vaksinasi dilaksanakan secara
berkesinambungan dan dalam jangkawaktu yang lama, pada akhirnya spora B.
anthracis pada suatu saat akan mati juga
seperti yang terjadi di pulau Bali. Laporan
penyidikan ini dibuat berkaitan dengan
munculnya wabah antraks di Kabupaten
Sumbawa yang menyerang ternak dan
manusia.
MATERI DAN METODE
1. Pengamatan Lapangan Penyidikan lapangan tahap pertama
dilakukan pada tanggal 5 Nopember,
selanjutnya tahap ke dua dilakukan pada
tanggal 11 Nopember 2004. Penyidikan
dilakukan oleh tim Dinas Peternakan
Kabupaten Sumbawa, tim Dinas
Peternakan Propinsi NTB, dan tim
penyidik BPPV Regional VI Denpasar.
Pengamatan dilakukan langsung di lokasikasus setelah mendengar informasi
adanya kasus kematian ternak yang
mencirikan antraks dan adanya manusia
yang tertular karena ada hubungan dengan
ternak yang mati. Untuk memperoleh
informasi yang diperlukan, tim
melakukan wawancara dengan
masyarakat atau peternak yang ternaknya
mengalami kematian dan juga kepada
orang yang diduga tertular antraks.
2. Pengambilan Spesimen Untuk peneguhan diagnosa secara
laboratorium dari dugaan kasus antraks
yang terjadi, dilakukan pengambilan
spesimen di tiga desa tertular.
a) Di Desa Berare diambil dua sampel
tanah di sekitar tempat dilakukan
penyembelihan kerbau, di dua lokasi
yang berbeda.
b) Di Desa Batu Bangka diambil sampel
tanah dan tulang (rahang, rusuk)kerbau yang tersisa di sekitar tempat
8/3/2019 _5_Antraks-Wabah-Sbawa_Jun2005
http://slidepdf.com/reader/full/5antraks-wabah-sbawajun2005 3/11
pemusnahan kerbau.
c) Di Desa Karang Dima diambil
sampel tanah di sekitar tempat
dilakukannya pemusnahan kambing.
3. Pengujian Spesimen
Selama proses penyidikan, dilakukan
pemeriksaan preparat ulas darah oleh
Laboratorium tipe C Sumbawa terhadap 6
ekor ternak yang mati di Desa Batu
Bangka, Berare dan Desa Karang Dima.
Untuk melakukan konfirmasi agen
penyebab, terhadap spesimen yang
diambil dilakukan uji pembiakan pada
plat agar darah dan uji biologis
(Hardjoutomo, 1985), dengan tetapmemperhatikan kesehatan dan
keselamatan lingkungan (Sudana dkk.,
1983). Karena pulau Bali bebas dari
antraks, maka pengujian dilakukan di
Laboratorium tipe B di Mataram. Di
samping itu, sampel yang sama juga
dikirim ke Balitvet Bogor dalam rangka
uji banding.
HASIL
1. Diagnosa Lapangan
Berdasarkan pemeriksaan ulas darah dan
gejala klinis serta gambaran epidemiologi,
kasus kematian ternak yang terjadi di
Desa Batu Bangka, Ngeru, Berare, dan
Desa Karang Dima di Kabupaten
Sumbawa disebabkan oleh antraks.
Tertularnya 13 orang penduduk di desa
tertular terjadi setelah mereka melakukanpenyembelihan ternak tertular. Gejala
klinis yang muncul pada ternak tertular
antraks adalah berupa kematian
mendadak, kejang-kejang, dan keluar
darah dari lubang kumlah. Pada manusia,
terlihat gejala klinis pada kulit yaitu
berupa gatal-gatal, kemudian terbentuk
vesikula selanjutnya terbentuk ulser yang
ditemukan pada tangan, daerah pinggul,
pinggang, dan kaki.
2. Kronologi Kasus Antraks
Dari hasil wawancara dengan pemilik
ternak dan masyarakat, diperoleh
informasi bahwa penyakit mulai terjadi
sekitar pertengahan bulan September2004, yaitu adanya kematian 8 ekor sapi
yang terjadi di Desa Berare dan
berlangsung selama dua minggu. Kasus
ini luput dari pengamatan petugas Dinas
Peternakan karena hal tersebut tidak
dilaporkan oleh peternak. Berita antraks
baru kemudian menjadi pembicaraan
setelah tertularnya beberapa orang sekitar
tanggal 27 Oktober 2004. Berdasarkan
data yang diperoleh, sebelum berita
antraks tersebar luas, sudah ada tiga desayang tertular (Tabel 1). Kronologi
kejadian antraks di masing-masing desa
tertular diuraikan berikut ini.
a) Kasus antraks di Desa Berare,
Kecamatan Moyohilir, Kabupaten
Sumbawa.
Pada tanggal 27 Oktober 2004, satu ekor
sapi dilaporkan mati dengan
memperlihatkan gejala klinis antraks.Hewan yang mati tersebut telah
dimusnahkan dengan pembakaran.
Diperoleh informasi bahwa beberapa
minggu sebelumnya telah ada 8 ekor sapi
yang mati secara mendadak dalam kurun
waktu sekitar dua minggu. Tentang kasus
kematian 8 ekor sapi ini belum dapat
ditelusuri secara cermat dan juga tidak
dilakukan pemeriksaan oleh petugas yang
berwenang. Diduga kasus antraks mulai
terjadi sekitar pertengahan bulanSeptember 2004, dan kematian 8 ekor
sapi tersebut diduga merupakan kasus
awal berjangkitnya antraks di Kecamatan
Moyohilir, Kabupaten Sumbawa tahun
2004.
Kasus antraks selanjutnya terjadi pada
tanggal 12 November 2004, menyerang
1 ekor kerbau; kerbau tersebut selanjutnya
dijual ke pejagal kemudian dilaporkan
mati. Kasus kematian ternak terakhir diDesa Berare terjadi pada tanggal 17
8/3/2019 _5_Antraks-Wabah-Sbawa_Jun2005
http://slidepdf.com/reader/full/5antraks-wabah-sbawajun2005 4/11
8/3/2019 _5_Antraks-Wabah-Sbawa_Jun2005
http://slidepdf.com/reader/full/5antraks-wabah-sbawajun2005 5/11
3. Tingkat Morbiditas dan Mortalitas
Antraks Tingkat morbiditas dan mortalitas antraks
pada berbagai ternak di 3 kecamatan
tertular disajikan pada Tabel 2, 3, danTabel 4. Secara keseluruhan, tingkat
morbiditas antraks adalah sebesar 0,21%
(28/13.084). Tingkat kematian penderita
(case fatality rate) dan tingkat mortalitas
antraks adalah juga sebesar 0,21%.
Data tentang cakupan vaksinasi antraks
per desa tidak tersedia, maka
hubungannya dengan kejadian kasus
antraks sulit dianalisis secara cermat.
4. Hasil Pengujian Spesimen Laboratorium Type C di Kabupaten
Sumbawa telah membuat preparat ulas
darah dari 6 ekor hewan yang mati,
dengan hasil secara mikroskopis positif B.
anthracis. Pengujian sampel yang
dilakukan di Laboratorium Type B di
Mataram, baik pada pemupukan pelat
agar darah maupun pada uji biologis pada
tikus putih, positif B. anthracis. Hasilpengujian sampel yang sama yang
dilakukan oleh Balitvet Bogor juga positif
B. anthracis.
5. Hewan Terserang
Dari 13.084 ekor ternak (sapi, kerbau,
kambing, dan kuda) yang ada di daerah
tertular, kasus antraks paling banyak
menyerang sapi (0,49%) kemudiandisusul kerbau (0,18%) dan kambing
(0,05%)(Tabel 5). Dari 2.429 kuda yang
ada di daerah wabah, tidak ada satu ekor
pun yang terserang antraks. Sementara itu,
6 ekor anjing dan 1 ekor ayam yang
tertular antraks disebabkan karena diberi
makan daging yang berasal dari ternak
yang terserang antraks.
8/3/2019 _5_Antraks-Wabah-Sbawa_Jun2005
http://slidepdf.com/reader/full/5antraks-wabah-sbawajun2005 6/11
Tabel 1
Kejadian antraks di lima desa tertular, tiga kecamatan, Kabupaten Sumbawa pada tahun
2004
Hewan tertular:Dusun / Desa,Kecamatan
TanggalKejadian Ker
bau
Sa
pi
Ka
mbi
ng
anjin
g
AyamKasuspada
manusia
A. Kecamatan Moyohilir:
1) Berare - 15-09-04
- 27-10-04
- 12-11-04
- 17-11-04
-
-
1
-
8
1
-
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2) Ngeru - 07-10-04 1 - - - - 3
3) Sengkal, Batu
Bangka
Dusun Penyaring
- 31-10-04
- 04-11-04
- 06-11-04
- 08-11-04
- 09-11-04
- 27-11-04
1
1
1
1
-
-
1
-
-
-
1
2
-
-
-
-
-
-
6
-
-
-
-
-
1
-
-
-
-
-
4
-
-
-
-
-
B. Kecamatan Labuhan Badas
4) Dusun
Bangkong danPemulung
Bangkong,
Desa Karang
Dima
- 26-10-04
- 29-11-04
-
-
-
1
1
-
-
-
-
-
-
-
C. Kecamatan Moyo Hulu
5) Dusun Lito B
Dusun Pelita
Dusun Lito
- 07-11-04
- 22-11-04
- 29-11-04
- 24-11-04
1
1
-
-
-
-
1
2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3
1
-
-
Jumlah: 8 18 1 6 1 11
8/3/2019 _5_Antraks-Wabah-Sbawa_Jun2005
http://slidepdf.com/reader/full/5antraks-wabah-sbawajun2005 7/11
Tabel 2 Tingkat morbiditas dan mortalitas antraks di desa tertular, di Kecamatan Moyohilir,
Kabupaten Sumbawa, tahun 2004.
Jenis ternak Populasi Cakupan
vaksinasi
Jumlah sakit Jumlah mati
1. Desa Berare:
Sapi
Kerbau
Kambing
Kuda
451
1.361
180
568
?
?
?
?
10 (2,2%)
2 (0,15%)
0
0
10 (2,2%)
2 (0,15%)
0
0
Jumlah: 2.560 12 (0,46%) 12 (0,46%)
2. Desa Ngeru:
Sapi
Kerbau
Kambing
Kuda
560
1.112
257
384
?
?
?
?
0
1 (0,09%)
0
0
0
1 (0,09%)
Jumlah: 2.313 1 (0,04%) 1 (0,04%)
3. Desa Batu Bangka
Sapi
Kerbau
Kambing
Kuda
388
1.651
540
760
?
?
?
?
4 (1,0%)
4 (0,24%)
0
0
4 (1,0%)
4 (0,24%)
0
0
Jumlah: 3.339 8 (0,24%) 8 (0,24%
Total: 8.212 21 (0,25%) 21 (0,25%)
Tabel 3
Tingkat morbiditas dan mortalitas antraks di Desa Karang Dima, Kecamatan Labuhan
Badas, Kabupaten Sumbawa, tahun 2004.
Jenis ternak Populasi Cakupan
vaksinasi
Jumlah sakit Jumlah mati
Sapi
Kerbau
Kambing
Kuda
1.655
20
867
331
?
?
?
?
1 (0,06%)
0
1 (0,11%)
0
1 (0,06%)
0
1 (0,11%)
0
Jumlah: 2.873 2 (0,07%) 2 (0,07%)
8/3/2019 _5_Antraks-Wabah-Sbawa_Jun2005
http://slidepdf.com/reader/full/5antraks-wabah-sbawajun2005 8/11
Tabel 4
Tingkat morbiditas dan mortalitas antraks di Lito B, Pelita, dan Lito, Kecamatan Moyo
Hulu, Kabupaten Sumbawa, tahun 2004.
Jenis ternak Populasi Cakupan
vaksinasi
Jumlah sakit Jumlah mati
Sapi
Kerbau
Kambing
Kuda
620
849
386
144
?
?
?
?
3 (0,48%)
2 (0,23%)
0
0
3 (0,48%)
2 (0,23%)
0
0
Jumlah: 1.999 5 (0,25%) 5 (0,25%)
Tabel 5
Jenis ternak yang terserang selama kejadian wabah antraks pada tahun 2004 di Kabupaten
Sumbawa
Jenis Ternak Populasi Ternak di
Daerah Tertular
Jumlah Ternak
yang Terserang
Persentase
Sapi
Kerbau
KambingKuda
3.674
4.993
1.9882.429
18
9
10
0,49%
0,18%
0,05%0
Jumlah: 13.084 28 0,21%
PEMBAHASAN
Sebagai daerah endemik antraks
(Poerwadikarta, 1998; Hardjoutomo dan
Poerwadikarta, 1996; Pourwadikarta dkk.,
1993; Hardjoutomo dkk., 1995;
Kertayadnya dan Suendra, 2003) adanya
gejala klinis baik pada ternak maupun
pada orang sudah cukup untuk membuat
diagnosa lapangan secara cepat (Bale
dkk., 1984; Sudana dkk., 1980; Putra,
2004; Anonim, 2004) sehingga dapat
diambil tindakan yang cepat.
Rendahnya pemahaman masyarakat
(peternak) terhadap antraks telah
menyebabkan penyakit dapat menularimanusia dan penyakit ini akhirnya
menjadi penyakit zoonosis yang perlu
memperoleh perhatian khusus dari
pemerintah. Antraks pada manusia
hampir selalu diawali oleh kejadian
antraks pada ternak sehingga
pengendalian penyakit pada manusia
sangat ditentukan oleh keberhasilan
pengendalian penyakit pada ternak
(Hardjoutomo, 1986; Hardjoutomo dkk.,
1995; Hardjoutomo dan Poerwadikarta,
1996; Noor dkk., 2001; Putra, 2004).
Peningkatan pemahaman masyarakat
terhadap penyakit ini hanya dapat
dilakukan melalui peningkatan
pelaksanaan penyuluhan secara intensif
dan dilaksanakan secaraberkesinambungan oleh otoritas kesehatan
8/3/2019 _5_Antraks-Wabah-Sbawa_Jun2005
http://slidepdf.com/reader/full/5antraks-wabah-sbawajun2005 9/11
hewan. Keberhasilan dari kegiatan
penyuluhan dapat diukur dari tingkat
partisipasi masyarakat dalam kegiatan
vaksinasi dan tindakan yang dilakukan
apabila terjadi antraks. Menyembelih ataumemperdagangkan ternak tertular antraks,
selain memperparah keadaan karena spora
kuman ini dapat bertahan lama di tanah,
juga dapat mengakibatkan orang lain
tertular antraks. Hal inilah yang perlu
ditekankan pada saat kegiatan penyuluhan
dilaksanakan di samping hal-hal lainnya.
Penanganan kasus / wabah antraks oleh
masyarakat di Kabupaten Sumbawa
masih belum optimal. Hal tersebut dapatdilihat dari masih adanya masyarakat
yang menyemblih, memperdagangkan,
dan mengkonsumsi daging yang tertular
antraks. Sekalipun demikian, sudah
nampak ada upaya perbaikan dengan
dimusnahkannya beberapa ekor ternak
yang tertular antraks.
Rendahnya cakupan vaksinasi yang baru
mencapai sekitar 17% di KabupatenSumbawa, selain akibat terbatasnya
jumlah vaksin yang tersedia, juga dapat
diinterpretasikan sebagai belum efektifnya
pelaksanaan kegiatan penyuluhan.
Tertularnya manusia juga mendukung
anggapan bahwa kegiatan penyuluhan
yang dilaksanakan belum mencapai
sasarannya secara efektif. Rendahnya
partisipasi peternak dalam kegiatan
vaksinasi pada kambing diakibatkan oleh
terjadinya anapilaktik sok pascavaksinasi.Hal tersebut diduga disebabkan oleh
adanya kandungan saponin pada vaksin.
Karena itu, perlu dicarikan alternatif
pemecahan vaksin khusus untuk kambing.
Meskipun kejadian antraks pada ternak
lain dapat dikendalikan secara optimal
dan jika ternak kambing masih tertular
antraks (Kertayadnya dan Suendra, 2003),
maka hal tersebut akan tetap mengancam
kesehatan manusia serta dapat
memelihara endemisitas penyakit di suatulokasi.
Sesungguhnya dengan keterbatasan
jumlah vaksin yang tersedia, dan jika
vaksin tersebut digunakan secara efektif,
diharapkan masih dapat ditingkatkan
optimalitas pengendalian penyakit.Penularan utama antraks pada hewan
adalah melalui makanan dan minuman
yang terkontaminasi oleh spora kuman B.
anthracis yang ada di tanah (Ezzel, 1986).
Adanya spora dari kuman antraks di tanah
karena dilakukannya pemotongan
terhadap hewan tertular antraks.
Berdasarkan sejarah kejadian antraks di
setiap daerah, maka pemetaan penyakit
dapat dibuat, baik dengan pendekatandusun maupun dengan pendekatan desa.
Jadi, hanya dusun/desa tertular yang wajib
diberikan prioritas utama dalam kegiatan
vaksinasi. Prioritas vaksinasi lainnya juga
harus ditujukan pada ternak yang berada
di sepanjang aliran air (sungai), jika ada
ternak tertular antraks yang mati di daerah
perbukitan seperti yang dilaporkan terjadi
di Kabupaten Ngada, Propinsi Nusa
Tenggara Timur pada tahun 1996 (Putra,2004). Prioritas vaksinasi selanjutnya
adalah dusun/desa yang berada di sekitar
desa tertular antraks. Dengan
menggunakan pendekatan ini, jumlah
vaksin antraks yang tersedia di Kabupaten
Sumbawa yang setiap tahun sekitar
45.000 dosis, diharapkan akan lebih
mencapai sasarannya (perhatikan data
sementara desa tertular antraks di
Kabupaten Sumbawa).
Untuk dapat mengamati tingkat kekebalan
kelompok (herd immunity) pascavaksinasi
untuk mengevaluasi keberhasilan program
vaksinasi yang dilaksanakan, perlu
dilaksanakan surveilans seroepidemiologi.
Metode uji serologis yang ada saat ini
perlu dikembangkan sehingga memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang memadai
dan disebarkan penggunaannya
(Hardjoutomo dkk., 1993; Hardjoutomo
dan Poerwadikarta, 1996).
8/3/2019 _5_Antraks-Wabah-Sbawa_Jun2005
http://slidepdf.com/reader/full/5antraks-wabah-sbawajun2005 10/11
Pada saat penyidikan dilakukan, antraks
di beberapa dusun/desa tertular di
Kabupaten Sumbawa masih sedang
berlanjut (kasus terakhir pada ternak
tanggal 11 Nopember 2004), yangmengindikasikan tidak tingginya herd
immunity. Maka, telah disarankan untuk
segera melakukan vaksinasi sesuai
dengan pendekatan program vaksinasi
seperti yang telah diuraikan di atas.
Pembentukan antibodi antraks
memerlukan waktu sekitar dua minggu
pascavaksinasi sehingga dengan demikian
diharapkan mampu menahan peningkatan
kasus pada saat musim hujan. Desa/dusun
tertular antraks harus ditutup, untuk menghambat penyebaran penyakit baik
pada ternak maupun pada manusia.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan
bahwa sudah saatnya ada suatu
penyempurnaan manajemen
penanggulangan antraks secara
keseluruhan baik pada tingkat nasional,
Propinsi, Kabupaten/Kota, yang meliputi:
prioritas penanganan penyakit secaranasional, pendekatan program vaksinasi,
pengembangan vaksin khusus kambing,
peningkatan program penyuluhan,
pengembangan teknik uji serologi,
pengorganisasian pengendalian penyakit,
dan lain-lainnya.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepadaBapak Ir. H. Lalu Widjaje (mantan
Kepala Dinas Peternakan Propinsi NTB)
dan semua staf, juga kepada Bapak Ir.
Ibrahim (Kepala Dinas Peternakan
Kabupaten Sumbawa) beserta staf, atas
segala bantuan yang diberikan selama
penyidikan dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim (2004) Laporan penyakit anthrax tahun
2003-2004 dan rencana pengendalian serta
pemberantasan penyakit anthrax di Propinsi
Nusa Tenggara Barat tahun 2004-2005.
Disampaikan saat dialog antara Menteri
Pertanian dan Pemerintah Propinsi NTB di
Kantor Gubernur NTB pada tanggal 31
Oktober 2004.
Bale, A. R., Sudana, I. G. dan Suendra, I. N.
(1984) Studi laboratorik penyakit radang
limpa (anthrax), tanda klinis dan diagnosa.
Laporan Tahunan Hasil Penyidikan
Penyakit Hewan di Indonesia Periode
Tahun 1982-1983. Direktorat Kesehatan
Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan,
Jakarta, 30-37.
Ezzell Jr., J. W. (1986) Bacillus anthracis. In
Pathogenesis of Bacterial Infections inAnimals. Edited by Carlton L. Gyles and
Charles O. Thoen. Iowa State University
Press, Ames, pp. 21-25.
Hardjoutomo, S. (1985) Diagnosa antraks secara
laboratorik pengaruh pemanasan pada
spesimen terhadap hasil pemeriksaan.
Penyakit Hewan XVII (29): 276-279.
Hardjoutomo, S. (1986) Antraks, salah satu
zoonosis penting di Indonesia. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Pertanian
V (1): 22-26.
Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B. (1996)
Seratus sebelas tahun antraks di Indonesia:
Sampai dimana kesiapan kita? Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Pertanian
XV (2): 35-40.
Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B., Patten, B.
dan Barkah, K. (1993) The aplication of
ELISA to monitor the vaccinal response of
anthrax vaccinated ruminants. Penyakit
Hewan XXV (46A): 7-10.
Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B. dan
Martindah, E. (1995) Antraks pada hewan
dan manusia di Indonesia. Prosiding
Seminar Nasional Peternakan dan
Veteriner 7-8 Nopember 1995, Cisarua,
Bogor. Halaman: 305-318.
Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B., Barkah, K.
(2002) Kejadian antraks pada burung unta
di Purwakarta, Jawa Barat, Indonesia.
Wartazoa 12(3): 114-120.
8/3/2019 _5_Antraks-Wabah-Sbawa_Jun2005
http://slidepdf.com/reader/full/5antraks-wabah-sbawajun2005 11/11
Noor, S.M., Darminto, dan Hardjoutomo, S.
(2001) Kasus antraks pada manusia dan
hewan di Bogor pada awal tahun 2001.
Wartazoa 11(2): 8-14.
Poerwadikarta, M.B. (1998). Protein profiles of field isloates of Bacillus anthracis from
different endemic areas of Indonesia.
Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3(1):
34-38.
Poerwadikarta, M.B., Hardjoutomo, S. dan
Barkah, K. (1993). Sensitivity of local
isloates of Bacillus anthracis against
several antibiotics. Penyakit Hewan
XXV(46: 133-136.
Putra, A.A.G. (1996). Letupan penyakit antrakspada ternak di Kabupaten Ngada Propinsi
Nusa Tenggara Timur. Buletin Veteriner
XVI (64): 1-8.
Soemanagara, R. M. T. (1958) Ichtisar singkat dari
penyakit radang limpa, penyakit ngorok
dan radang paha di Indonesia. I. Anthrax,
radang limpa. Hemera Zoa LXV (7-8):
95-109.
Sudana, I. G., Soeharsono dan Malole, M. (1980)
Penyidikan penyakit hewan di Perwakilan
Kecamatan Ngadu Ngala, Kabupaten
Sumba Timur. Laporan Penyidikan BPPH
VI Denpasar.
Sudana, I. G., Bale, A. R., Hartaningsih, N. dan
Suendra, I N. (1983) Studi laboratorik
penyakit radang limpa (anthrax). IV. Daya
tahan spora anthrax terhadap beberapa
bahan kimia. Laporan Penyidikan BPPH
VI Denpasar.