5. bab_ii_tesis_indrie hr edit (1).doc
TRANSCRIPT
II. TELAAH PUSTAKA
A. Limbah Bengkel
Seiring dengan berkembangnya industri automotif, maka kebutuhan akan
minyak pelumas pada kegiatan perbengkelan juga semakin meningkat. Selain
membawa dampak positif, juga membawa dampak negatif berupa limbah hasil
kegiatan perbengkelan. Contohnya limbah yang berasal dari minyak pelumas
bekas. Selain dari kegiatan perbengkelan, limbah minyak pelumas dihasilkan juga
dari tumpahan atau ceceran minyak dari alat transportasi, Maupun produk-
produknya, minyak bekas pakai, dan limbah minyak yang terkandung dalam
limbah alat-alat mesin dari kegiatan industri maupun rumah tangga (Udiharto,
1996). seluruh proses fabrikasi, finishing logam, manufaktur mesin dan suku
cadang, sludge proses produksi, pelarut bekas, residu proses produksi yang
dihasilkan dari kegiatan perbengkelan termasuk limbah B3, karena mengandung
logam berat ( terutama As, Cd, Br, Cr, Pb, Ag, Hg, Cu, Zn, Se, Sn ), nitrat, residu
cat, minyak dan gemuk, senyawa amonia, pelarut mudah terbakar, larutan asam
(Anonim, 2006). Limbah cair yang dihasilkan dari kegiatan automotif memiliki
konsentrasi minyak berkisar antara 86 - 159 mg/L,
Berdasarkan SK Gubernur KDH. TK I Jateng No : 660.1/02/1997 tentang
Baku Mutu Limbah Cair ( Tabel 2.1). Limbah kegiatan perbengkelan adalah
polutan atau pencemar yang selain mencemari badan air juga dapat mencemari
tanah..
Tabel 2.1. Baku Mutu Limbah Cair
Parameter Kadar maksimum (mg/L)
Beban pencemaran maksimum (kg/ton)
BOD5 85 12,75
COD 250 37,5
Warna Jernih* Jernih*
PH 6,0 – 9,0
Debit Limbah Maksimum
150 m3 per ton produk
Hasil kegiatan perbengkelan limbah cair yang dibuang akan mencemari
badan air, apabila langsung dibuang ke badan air atau saluran air. Kandungan
6
minyak yang tinggi pada badan air akan menyebabkan penurunan kualitas
badan air dan menimbulkan bau yang tak sedap, karena sifat minyak yang sulit
terurai sehingga menyebabkan penurunan self purification badan air tersebut.
Menurut Alvarez (1991) yang dikutip dari Anna et al (2003), pencemaran pada
tanah yang diakibatkan oleh kontaminasi senyawa hidrokarbon menyebabkan
kerusakan pada jaringan hewan dan tumbuhan yang dapat meningkatkan resiko
terjadinya kematian atau mutasi sebagai akibat terakumulasinya
polutan.Sekalipun sesungguhnya lingkungan itu sendiri memiliki kemampuan
untuk mendegradasi senyawa-senyawa pencemar yang masuk ke dalamnya
melalui proses biologis dan kimiawi. Namun, sering kali beban pencemaran di
lingkungan lebih besar dibandingkan dengan kecepatan proses degradasi zat
pencemar tersebut secara alami. Akibatnya, zat pencemar akan terakumulasi
sehingga dibutuhkan campur tangan manusia untuk mengatasi pencemaran
tersebut (Atlas, R and Bartha,1985) .
B. Proses Pengolahan Minyak Pelumas Bekas
Beberapa langkah pengelolaan yang sudah dilakukan oleh para pengusaha
automotif untuk mengurangi efek buruk atau dampak dari pengelolaan yang tidak
tepat pada limbah bengkel dan minyak pelumas bekas, yaitu:
1. Sistem Drainase Bengkel
Bengkel yang baik adalah bengkel yang lantainya terbuat dari
semen/plester/keramik agar tumpahan minyak pelumas bekas, bahan bakar dan zat
berbahaya lainnya tidak mencemari tanah. Drainase bengkel wajib terpisah dari
drainase air hujan, karena jika di satukan minyak pelumas bekas yang tercecer
dapat terbawa air hujan menuju selokan dan mencemari lingkungan.
Adapun manfaat drainase limbah bengkel adalah:
a. Mengalokasi tumpahan atau ceceran dari limbah bengkel.
b. Sebagai saluran pembuangan air pada saat pembersihan lantai
c. Saluran untuk pembuangan air bekas pencucian alat - alat bengkel
7
2. Bak penampung Minyak Pelumas Bekas
Untuk Mencengah adanya tumpahan ataupun tetesan minyak pelumas
bekas di lantai, maka diperlukan bak –bak penampungan. Bak penampung dapat
terbuat dari plastik maupun kaleng bekas. Di samping sebagai bak penampungan,
juga dapat digunakan sebagai wadah pada saat mencuci peralatan bengkel
3. Menjaga kenyamanan bengkel bekas
Yang di maksud dengan menjaga kenyamanan bengkel adalah adanya
pengelolaan barang limbah, pengelolaan peralatan bengkel, dan pengelolaan
kebersihan bengkel.
4. Pengumpulan Limbah
Pengelolaan limbah bengkel yang benar dan efisien adalah dengan
memisahkan jenis limbah mulai sejak awal sehingga tidak tercampur dalam satu
wadah. Dalam bengkel otomotif ada beberapa limbah yang dapat dipisahkan,
misalnya : limbah dari konsumen, kain majun dan serbuk kayu pembersih lantai,
sparepart bekas, minyak pelumas bekas dan minyak sisa pencucian peralatan
bengkel dipisahkan terlebih dahulu sebelum disimpan.
5. Pembuangan dan penjualan limbah bengkel dan oli bekas
Limbah bengkel tidak semuanya bisa di daur ulang dan wajib di buang.
Untuk limbah yang bisa di daur ulang seperti komponen bekas dan minyak
pelumas bekas, wajib di beri tempat khusus yang terlindung dari hujan dan
sengatan sinar matahari. Pengumpulan minyak pelumas bekas dan spare part
bekas tidak boleh lebih dari 6 bulan, dan dijual secara periodik ke pengepul
limbah bengkel. Pada umumnya limbah minyak bumi dan turunannya diolah
secara fisika dengan penyaringan, penyerapan, pembakaran atau secara kimia
dengan menggunakan pengemulsi. Cara-cara ini memang dapat menghilangkan
limbah minyak bumi dengan cepat, akan tetapi biayanya mahal dan tidak ramah
lingkungan Sebagai contoh, pembakaran dapat menghancurkan hidrokarbon
dengan cepat, tetapi pada saat yang bersamaan menyebabkan polusi udara dan
meninggalkan sisa pembakaran yang memerlukan penanganan yang lebih lanjut.
8
Sementara itu penggunaan senyawa kimia sebagai penetralisir juga memakan
biaya yang cukup besar. Selain itu, metode ini memerlukan teknologi dan
peralatan canggih untuk menarik kembali bahan kimiawi dari lingkungan agar
tidak menimbulkan dampak negatif yang lain ( Baker, C and Herson, D, 1994 ),
sehingga diperlukan suatu cara pengolahan limbah minyak bumi yang lebih
ekonomis dan lebih ramah lingkungan (Clark,1986). Salah satu metode yang
digunakan untuk mengolah limbah bengkel pada tanah menggunakan mikroba
disebut bioremediasi.
C. Kontaminasi Pada Minyak Pelumas
Minyak pelumas mesin menyerap unsur –unsur sisa hasil pembakaran
berupa;
1. elemen keausan (tembaga, besi, chrominium, aluminium, timah,molybdenum,
silikon, nikel atau magnesium ditandai dengan perubahan warna.
2. Kotoran atau jelaga
3. Bahan bakar
4. Air
5. Ethylene gycol (anti beku)
6. Produk –produk belerang/ asam
7. Produk –produk oksidasi, mengakibatkan minyak pelumas bertambah kental.
Daya oksidasi meningkat oleh tingginya temperatur
D. Minyak pelumas
Minyak pelumas adalah sejenis cairan kental yang berfungsi sebagai
pelicin, pelindung, dan pembersih bagian dalam mesin serta berfungsi sebagai
bahan pelumas agar mesin berjalan dengan baik dan bebas gangguan, Sekaligus
sebagai pendingin dan penyekat, sehingga mencegah terjadinya keausan pada
mesin. Minyak pelumas umumnya terdiri atas dua fraksi: kimia aditif dan cairan
dasar (base - oil). Kimia aditif, sekitar 5-20%(b/v), ditambahkan untuk fungsi
tertentu (Vazouez-Duhalt,1989). Sedangkan Komponen utama dari base oil adalah
siklik alkana (c-alkana), Merupakan kelompok hidrokarbon terbesar yang ada di
minyak mentah maupun hasil penyulingan, yaitu berkisar antara 20-50%. C-
9
alkana termasuk sulit didegradasi mikroba karena sebagian besar c-alkana dalam
minyak dasar memiliki sisi alkil panjang rantai (Koma et al., 2003).
Beberapa kriteria penting yang harus dipenuhi oleh minyak pelumas antara
lain :
1. Viskositas harus cukup kental untuk menahan agar bagian peralatan yang
bergerak relatif terpisah, tetapi juga harus mencegah kebocoran dari segel.
2. Fluiditas harus cukup pada saat awal yaitu pada saat peralatan masih dingin.
3. Dapat membentuk film yang cukup kuat untuk pelumasan perbatasan.
4. Tahan terhadap oksidasi pada suhu tinggi.
5. Mengandung deterjen dan dispersan cukup untuk menyerap endapan atau
lumpur yang terbentuk.
6. Tidak membentuk emulsi dengan air yang masuk dari segel yang bocor.
Sifat-sifat penting minyak pelumas adalah sifat alir dan kecocokan sebagai
pelumas pada kondisi pemakaian yang berbeda-beda. Sifat alir ditunjukkan oleh
viskositas dan titik tuang, sedangkan kecocokan untuk penggunaan pada kondisi
suhu, beban, kecepatan dan adanya kontaminan ditunjukkan dengan ketahanan
oksidasi, kemampuan membawa beban, karbon residu, kandungan belerang, abu,
flash point dan sifat-sifat lain yang ditentukan dengan pengujian standar.
E. Jenis Minyak Pelumas
Minyak Pelumas di alam dapat dibedakan menurut bahan dasar yang
digunakan yaitu:
1. Gemuk
Minyak pelumas jenis ini berasal dari tumbuhan/binatang, telah dikenal sejak
zaman dahulu untuk melumasi roda pedati. Jenis pelumas ini kurang cocok
untuk industri karena jumlahnya terbatas, mudah teroksidasi, tidak stabil, dan
harganya relatif mahal.
2. Minyak pelumas sintetis (bahan kimia)
Minyak pelumas sintetis biasanya terdiri atas Polyalphaolifins yang terbentuk
dari pemilahan minyak pelumas mineral, yakni gas. Senyawa ini kemudian
dicampur dengan minyak pelumas mineral. Minyak pelumas sintesis
cenderung tidak mengandung bahan karbon reaktif, Senyawa yang sangat
10
tidak baik karena cenderung bergabung dengan oksigen sehingga
menghasilkan acid (asam). Karena sifatnya yang akan teroksidasi pada suhu
antara 100°C - 125°C. Minyak pelumas jenis ini hanya digunakan pada
peralatan khusus yang memerlukan pelumasan pada suhu tinggi.
3. Minyak pelumas dari minyak bumi (Petroleum) /minyak pelumas mineral,
adalah minyak pelumas berbahan baku minyak pelumas dasar (base oil) yang
diambil dari minyak bumi yang telah diolah dan disempurnakan.
F. Minyak Pelumas Bekas Termasuk Limbah B3
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) didefinisikan sebagai limbah
atau kombinasi limbah yang karena kuantitas, konsentrasi, atau sifat fisika dan
kimia memiliki karakter cepat menyebar, atau diduga sebagai penyebab
meningkatnya angka penyakit dan kematian, atau memiliki potensi yang
berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan, dikarenakan tidak sesuai saat
diperlakukan, dalam penyimpanan, proses pengangkutan, atau dalam penempatan
dan pengolahan (Katz dan Dawston, 1997). Minyak pelumas bekas dihasilkan dari
berbagai aktivitas manusia seperti industri, pertambangan dan usaha
perbengkelan. Minyak pelumas bekas termasuk katagori limbah B3 yang mudah
terbakar, bila tidak ditangani pengelolahan dan pembuangannya akan
membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan.
Berdasarkan PP No. 18 Tahun 1999 Jo PP No. 85 Tahun 1999 limbah
yang termasuk limbah B3 adalah limbah yang memenuhi salah satu atau lebih
karakteristik sebagai berikut :
1. Limbah mudah meledak
2. Limbah mudah terbakar
3. Limbah yang bersifat reaktif
4. Limbah beracun
5. Limbah yang menyebabkan infeksi
6. Limbah bersifat korosif
Wentz (1995) dan Freeman (1998) menyebutkan bahwa pengolahan limbah B-3
adalah proses untuk mengubah karakteristik dan komposisi limbah B3 untuk
menghilangkan dan atau mengurangi sifat bahaya atau sifat racun. Sehingga harus
11
ditangani sesuai dengan PP No 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun ;PP No 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 18 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun ;PP No 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan
Beracun ;Permen LH No 18 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perijinan Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun ;Permen LH No 30 Tahun 2009 tentang
Tata Laksana Perijinan dan Pengawasan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun Serta Pengawasan Pemulihan Akibat Pencemaran Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun Oleh Pemerintah Daerah. Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup No.128/2003 tentang Tata Cara dan PersyaratanTeknis
Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi Oleh Minyak Bumi
Secara Biologis.
G. Keseriusan Pemerintah dalam Pengelolaan, Penyimpanan dan
Pembuangan limbah B3
Minyak pelumas bekas, termasuk dalam kategori Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3), hal ini dapat dilihat pada Lampiran Peraturan
Pemerintah No 18 Tahun 1999. Dalam UU No 32 Tahun 2009, Pemerintah
memberikan batasan pengertian istilah limbah dan limbah B3, adalah :
1. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.
2. Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat,
energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau
jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat
mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup
manusia dan makhluk hidup lain.
3. Limbah bahan berbahaya dan beracun , yang selanjutnya disebut Limbah
B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3.
4. Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi pengurangan,
penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan,
dan/atau penimbunan.
12
Pengelolaan limbah B3 diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun, sebagai berikut:
Pengelolaan limbah B3 merupakan suatu rangkaian kegiatan yang mencakup
penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengangkutan, dan pengolahan limbah
B3 termasuk penimbunan hasil pengolahan tersebut. Dalam rangkaian kegiatan
tersebut terkait beberapa pihak yang masing-masing merupakan mata rantai dalam
pengelolaan limbah B3 yaitu:
a. Penghasil Limbah B3
b. Pengumpul Limbah B3
c. Pengangkut Limbah B3
d. Pemanfaat Limbah B3
e. Pengolah Limbah B3
f. Penimbun Limbah B3.
Dengan pengolahan limbah sebagaimana tersebut di atas, maka mata rantai
siklus perjalanan limbah B3 sejak dihasilkan oleh penghasil limbah B3 sampai
penimbunan akhir oleh pengolah limbah B3 dapat diawasi. Setiap mata rantai
perlu diatur, sedangkan perjalanan limbah B3 dikendalikan dengan system
manifest dapat diketahui berapa jumlah B3 yang dihasilkan dan berapa yang telah
dimasukkan ke dalam proses pengolahan dan penimbunan tahap akhir yang telah
memiliki persyaratan lingkungan.
Mengingat bahayanya limbah B3 maka wajar bila pengelolaan limbah B3
harus diawasi dari penghasil limbah B3 sampai dengan penimbunan limbah B3,
bahkan untuk itu sampai dikendalikan dengan system manifes, semua itu
dilakukan untuk melindungi masyarakat dari dampak yang ditimbulkan dari
limbah B3.
Sejalan dengan otonomi daerah, pengendalian lingkungan hidup
merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah (pasal 13
dan 14 UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah), dan untuk itu
Kementerian Lingkungan hidup telah menerbitkan Surat Edaran Nomor :
660.2/2176/SJ tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun di
Daerah tertanggal 28 Juli 2008, meski mungkin hingga saat ini belum semua
13
daerah menetapkan Perda sebagaimana diharapkan dalam surat edaran tersebut.
PP dan Permen dipakai sebagai rujukan untuk menjelaskan pengelolaaan limbah
B3 oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten Kota
termasuk didalamnya tentang perijinan pengelolaan limbah B3 khususnya oli
bekas/pemulas bekas, Sedangkan dalam pelaksanaannya diatur :
1. PP No 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun
2. PP No 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 18 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
3. PP No 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun
4. Permen LH No 18 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perijinan Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
5. Permen LH No 30 Tahun 2009 tentang Tata Laksana Perijinan dan
Pengawasan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Serta
Pengawasan Pemulihan Akibat Pencemaran Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun Oleh Pemerintah Daerah
Dalam pasal 2 Permen LH No 18 Tahun 2009 dinyatakan bahwa :
(1) Jenis kegiatan pengelolaan limbah B3 yang wajib dilengkapi dengan izin
terdiri atas kegiatan:
a. pengangkutan
b. penyimpanan sementara
c. pengumpulan
d. pemanfaatan
e. pengolahan
f. penimbunan.
(2) Penghasil limbah B3 tidak dapat melakukan kegiatan pengumpulan limbah B3
sebagaimanadimaksud pada ayat (1) huruf c.
(3) Kegiatan pengumpulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c hanya
dapat diberikan izin apabila:
a. Telah tersedia teknologi pemanfaatan limbah B3; dan/atau
b. Telah memiliki kontrak kerja sama dengan pihak pengolah dan/atau
penimbun limbah B3.
14
Dalam pasal 3 ayat (3) Permen LH No 18 Tahun 2009 menyatakan bahwa
Kegiatan pengumpulan limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
huruf c wajibmemiliki izin dari:
a. Menteri untuk pengumpulan limbah B3 skala nasional setelah mendapat
rekomendasi dari gubernur;
b. Gubernur untuk pengumpulan limbah B3 skala provinsi; atau
c. Bupati/Walikota untuk pengumpulan limbah B3 skala kabupaten/kota.
Permen LH No 18 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perijinan Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun ditetapkan pada tanggal 22 Mei 2009, dan
3 bulan kemudian ditetapkan Permen LH No 30 Tahun 2009 Tata Laksana
Perijinan dan Pengawasan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
Serta Pengawasan Pemulihan Akibat Pencemaran Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun Oleh Pemerintah Daerah, tepatnya pada tanggal 5 Agustus 2009.
Sedangkan Permen LH No 30 Tahun 2009 untuk mendekatkan pelayanan publik
sejalan dengan otonomi daerah, dengan telah ditetapkannya UU No 32 Tahun
2004 ( dan perubahannya) ternyata belum maksimal untuk perizinan usaha dan
/kegiatan pengumpulan minyak pelumas/oli bekas. Hal ini dapat dilihat dari
ketentuan pasal 2 Permen LH No 30 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa :
(1) Ruang lingkup yang diatur dalam Peraturan Menteri ini meliputi:
a. perizinan yang meliputi:
1.izin penyimpanan sementara limbah B3; dan
2. izin pengumpulan limbah B3 skala provinsi dan kabupaten/kota;
b. rekomendasi izin pengumpulan limbah B3 skala nasional;
c. pengawasan pengelolaan limbah B3;
d. pengawasan pemulihan akibat pencemaran limbah B3; dan
e.pembinaan.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2 tidak termasuk
minyak pelumas/oli bekas.
15
H. Bioremediasi
Bioremediasi menurut Crawford dan Crawford (1996) merupakan proses
biodegradasi yang produktif menghilangkan bahan berbahaya (B3) yang ada di
lingkungan dan dapat mengancam kehidupan manusia, dan biasanya terdapat
pada tanah, air dan sedimen. Menurut Gritter et al. (1991) dari segi biaya dan
kelestarian lingkungan, bioremediasi lebih murah dan berwawasan lingkungan
dibandingkan dengan metode pemulihan lingkungan baik secara fisika maupun
kimiawi. Bioremediasi merupakan pengembangan dari bidang bioteknologi
lingkungan (Munir, 2006) dan merupakan alternatif pengolahan limbah minyak
bumi dengan cara degradasi mikroorganisme yang menghasilkan senyawa akhir
yang stabil dan tidak beracun (Zam, 2006). Dalam bioremediasi, biodegradasi
dilakukan dengan cara memotong rantai hidrokarbon tersebut menjadi lebih
pendek dengan melibatkan berbagai enzim yang dihasilkan oleh mikroba.
Menurut Leahy dan Colwell (1990), hasil proses biodegradasi senyawa
hidrokarbon kompleks umumnya berupa CO2 dan metana yang kurang berbahaya
dibandingkan minyak pada konsentrasi yang sama serta senyawa sederhana
lainnya. Proses pemecahan rantai hidrokarbon oleh bakteri dapat berlangsung
karena adanya reaksi enzimatik . Bioremediasi dapat berlangsung secara alamiah
dalam beberapa kasus pencemaran lingkungan, hal ini disebabkan karena
mikroorganisme pada lingkungan yang tercemar tersebut telah beradaptasi untuk
mendegradasi polutan. Bioremediasi merupakan proses penting untuk pemulihan
lingkungan tercemar oleh berbagai bahan pencemar termasuk limbah minyak dari
bengkel. Metode ini telah digunakan untuk mendegradasi limbah minyak
pelumas, solar pada sedimen (Schinner dan Margesin 2001; Obbard dan Ran
2003).
I. Bakteri Bioremediasi
Mikroorganisme pengurai Hidrokarbon hidrokarbon ditemukan mana-
mana di alam . Jumlah populasi kepadatan tinggi ditemukan pada lokasi
terkontaminasi minyak bumi. Lingkungan Arkutik akuatik ????, muara, lautan dan
sedimen laut, laut dalam, dll adalah beberapa situs dieksplorasi untuk mengisolasi
hidrokarbon mikroorganisme pengurai. hidrokarbon. mikroorganisme
16
Mikroorganisme dari habitat perairan diantaranya, Pseudomonas, Vibrio,
Achromobacter, Arthrobacter, Micrococcus, Corynebacter,
Acinetobacter, Nocardia dll yang merupakan pengurai??? pemanfaat
hidrokarbon dominan, sementara Aureobasidium, Candida, Rhodotorula dan
Sporobolomyces adalah jamur yang paling umum dan ragi terisolasi dari
lingkungan laut. (Desai dan Vyas, 2006) Macam mikroorganisme pedegradasi
minyak bumi dan turunannya, dilihat pada table 2.2: mikroorganisme pendegradasi
hidrokarbon
Table 2.2: mikroorganisme pedegradasi hidrokarbon Komponen minyak Microorganisms Minyak jenuh
Arthrobacter sp., Acinetobacter sp., Candida sp., Pseudomonas sp., Rhodococcus sp., Streptomyces sp., Bacillus sp., Aspergillus japonicus
Monocyclic aromatic hydrocarbons
Pseudomonas sp., Bacillus sp. B. stereothermophilus, Vibrio sp., Nocardia sp., Corynebacterium sp., Achromobacter sp
Polycyclic aromatic hydrocarbons
Arthrobacter sp, Bacillus sp., Burkholderia cepacia., Pseudomonas sp., Mycobacterium sp., Xanthomonas sp., Phanerochaete chrysosporium, Anabena sp., Alcaligenes
Resins
Pseudomonas sp., Members of anggota Vibrionaceae., Enterobacteriaceea.,Moraxella sp.
Organisme yang telah diketahui memiliki kemampuan mendegradasi
hidrokarbon terutama adalah mikroorganisme seperti jamur, ragi, dan bakteri
(Rosenberg et al., 1992). Bakteri yang memiliki kemampuan mendegradasi
senyawa hidrokarbon disebut bakteri hidrokarbonoklastik (Davids, 1967). Secara
alami mikroorganisme ini memiliki kemampuan untuk mengikat, mengemulsi,
mentranspor, dan mendegradasi hidrokarbon. Bakteri ini mendegradasi senyawa
hidrokarbon dengan cara memotong rantai hidrokarbon tersebut menjadi lebih
pendek dengan melibatkan berbagai enzim. Sintesis enzim-enzim tersebut dikode
oleh kromosom atau plasmid, tergantung pada jenis bakterinya (Ashok et al.,
1995). Mikroorganisme yang mampu bertahan di habitat yang tercemar
disebabkan karena mikroorganisme tersebut mampu memanfaatkan kontaminan
17
dalam metabolismenya dan mampu menjalankan peran yang tepat di lingkungan
tersebut (Anna et al, 2003). Keberadaan mikroorganisme (bakteri, jamur, dan
khamir) pendegradasi hidrokarbon tersebar luas di alam. Banyak dijumpai pada
kawasan tercemar minyak (Nurhariyati et al., 2006). Mikroba tersebut akan
memanfaatkan karbon dari minyak bumi sebagai sumber energi. Dengan adanya
pertumbuhan tersebut akan mengakibatkan perubahan pada minyak bumi
(Udiharto, 1993). Dilaporkan Hadi (2003), kelompok bakteri yang mampu
mendegradasi hidrokarbon alifatik antara lain Nocardia, Pseudomonas,
Mycobacterium, sedangkan bakteri yang mampu mendegradasi hidrokarbon
aromatik diantaranya dari genus Pseudomonas.
Laporan Lemigas (1994), menjelaskan bahwa pertumbuhan
mikroorganisme tersebut dapat ditandai dengan terjadinya peningkatan
populasinya, Biodegradasi senyawa hidrokarbon memerlukan keberadaan suatu
komunitas mikroba yang terdiri dari beberapa jenis mikroba. Interaksi mikroba
hidrokarbonoklastik memberi peran penting dalam biodegradasi minyak bumi di
alam. Interaksi itu bisa berupa mutualisme, yaitu bentuk interaksi dimana semua
anggota di dalam kultur campuran memperoleh keuntungan dari anggota lainnya,
atau berupa komensalisme, yaitu bentuk interaksi dimana salah satu anggota
komunitas memperoleh keuntungan dengan adanya populasi kedua, sedangkan
populasi kedua itu tidak memperoleh keuntungan atau kerugian dari populasi
pertama. Selain itu biodegradasi senyawa hidrokarbon dipengaruhi oleh faktor
fisika, kimia dan biologi. Faktor fisika-kimia yang berpengaruh terhadap
biodegradasi hidrokarbon antara lain komposisi dan struktur kimia hidrokarbon,
konsentrasi hidrokarbon, suhu, oksigen, salinitas, pH, nutrisi, cahaya dan tekanan
osmotik. (Bossert dan Bartha, 1984; Englert, 1993). Faktor biologis meliputi
mikroorganisme yang ada, karakter, jumlah sel, serta enzim yang dimiliki oleh
organisme tersebut (Atlas, 1981; Leahy dan Colwell, 1990; Atlas dan Bartha,
1992; Udiharto, 1992).
J. Degradasi Hidrokarbon
Das dan Chandran (2011) menyatakan bahwa mekanisme enzimatik
degradasi hidrokarbon dalam petroleum secara aerobik melibatkan oksigenase
18
sebagai enzim utama. Enzim tersebut dibutuhkan untuk mengintroduksi oksigen
pada substrat hidrokarbon, sehingga menginisiasi biodegradasi. Oksigenase yang
digunakan oleh bakteri tergantung pada panjang dan struktur hidrokarbon yang
akan didegradasi. Umumnya hidrokarbon berupa alkana didegradasi
menggunakan monooksigenase, sedangkan sebagian besar hidrokarbon aromatik
menggunakan dioksigenase (Gambar 3.1).
Gambar 3.1 Konsep utama degradasi hidrokarbon secara aerobik oleh mikroorganisme (Das dan Chandran, 2011).
Degradasi senyawa alifatik (parafin) seperti n-alkana terutama melalui
oksidasi pada gugus metil terminal membentuk alkohol primer dengan bantuan
enzim oksigenase.Alkohol akan dioksidasi lebih lanjut menjadi aldehida,
kemudian asam organik dan akhirnya dihasilkan asam lemak dan asetil koenzim
A. Senyawa antara asetil Ko-A akan masuk ke dalam siklus Krebs, rantai karbon
akan berkurang dari Cn menjadi Cn-2 yang terus berlanjut sampai molekul
hidrokarbon teroksidasi (Atlas & dan Bartha 1998 dalam Udiharto 1996). Reaksi
lengkap dapat dilihat pada Gambar 3.1.
19
Gambar 3.2 Reaksi degradasi hidrokarbon alifatik.
Senyawa aromatik banyak digunakan sebagai donor elektron secara
aerobik oleh mikroorganisme seperti bakteri dari genus Pseudomonas.
Metabolisme senyawa ini oleh bakteri diawali pembentukan katekol atau
protokatekuat dapat dilihat pada gambar 3.3. Senyawa tersebut selanjutnya
didegradasi menjadi senyawa yang dapat masuk ke dalam siklus Krebs, yaitu
asam suksinat, asetil Ko-A, dan asam piruvat. Reaksi lengkap dapat dilihat pada
Gambar 3.2.
20
Gambar 3.3 Reaksi degradasi hidrokarbon aromatik.
Gambar 3.4. Pengurai katekol dg dua cara ortho or meta (Cerniglia, 1984;
Rochkind-Dubinsky et al., 1987).