4. pembahasan sanitasi bahan baku
DESCRIPTION
laporan praktikum sanitasiTRANSCRIPT
Medina Maulidya240210130020Kelompok 4A
V. PEMBAHASAN
Kontaminasi makanan adalah terdapatnya bahan atau organisme berbahaya
dalam makanan secara tidak sengaja. Bahan atau organisme berbahaya tersebut
disebut kontaminan. Terdapatnya kontaminan dalam makanan dapat berlangsung
melalui 2 (dua) cara yaitu kontaminasi langsung dan kontaminasi silang. Kontaminasi
langsung adalah kontaminasi yang terjadi pada bahan makanan mentah, baik tanaman
maupun hewan yang diperoleh dari tempat hidup atau asal bahan makanan tersebut.
Sedangkan kontaminasi silang adalah kontaminasi pada bahan makanan mentah
maupun makanan masak melalui perantara. Bahan kontaminan dapat berada dalam
makanan melalui berbagai pembawa antara lain serangga, tikus, peralatan ataupun
manusia yang menangani makanan tersebut yang biasanya merupakan perantara
utama (Purnawijayanti, 2001). Makanan yang terkontaminasi dapat menimbulkan
gejala penyakit baik infeksi maupun keracunan.
Mutu dari suatu produk olahan tergantung dari keadaan awal
bahan bakunya. Bahan baku harus berada dalam kondisi yang baik,
bersih, dan bebas dari kotoran dan bahan beracun. Bahan – bahan
lain selain makanan tidak boleh disimpan di tempat penyimpanan
makanan. Pemisahan ini dilakukan untuk mencegah kontaminasi
silang. Kontaminasi silang ini dapat menimbulkan transfer
kontaminan biologi atau kimia terhadap produk pangan dari bahan
baku, pekerja, atau lingkungan penanganan produk (Sofiah, 2011).
Jumlah kontaminan bahan baku dapat diketahui melalui jumlah bakteri
proteolitik yang terdapat pada bahan baku. Bakteri proteolitik adalah bakteri yang
mampu mendegradasi protein karena memproduksi enzim protease ekstraseluler.
Contoh bakteri proteolitik adalah Pseudomonas, Bacillus, Streptococcus dan
Staphylococcus.
Percobaan diawali dengan pemotongan sampel. Sampel yang diuji yaitu daging,
ikan, apel, dan selada. Sampel dipotong dengan ukuran 2 x 2,5 cm. Sampel tersebut
selanjutnya dimasukkan ke dalam 25 mL larutan NaCl fisiologis. Campuran tersebut
Medina Maulidya240210130020Kelompok 4A
kemudian dikocok selama 1 menit. Kemudian 1 mL suspense diambil dan
dipindahkan ke dalam cawan petri. Terdapat 2 buah cawan petri yang harus diisi
dengan suspense tersebut dengan jumlah suspense yang harus dimasukkan ke dalam
cawan petri yaitu 1 mL. Media Skim Milk Agar (SMA) kemudian ditambahkan ke
dalamnya. Media dibiarkan hingga membeku. Inkubasi cawan petri tersebut
selanjutnya diinkubasi. Salah satu cawan petri diinkubasi pada suhu 30OC selama 2
hari dan cawan petri lainnya diinkubasi pada suhu 55OC selama 2 hari. Jumlah koloni
bakteri proteolitik dihitung setelahnya.
Pada pengujian kali ini, media yang digunakan yaitu Skim Milk Agar (SMA).
Media ini mengandung kasein. Kasein adalah salah satu jenis protein. Hidrolisis
kasein digunakan untuk memperlihatkan aktivitas hidrolitik protease yang
memutuskan ikatan peptida CO-NH. Hidrolisis protein ditunjukkan dengan adanya
zona bening di sekeliling pertumbuhan bakteri. Adapun cara membuat SMA adalah
dengan mencampurkan PCA atau medium lainnya yang tidak mengandung
karbohidrat dengan konsentrasi dua kali lipat (double strength) pada suhu 50-550C,
ditambah susu skim steril pada susu 500C dalam jumlah sama. (Sumardi, et all, 1992)
Susu skim digunakan sebagai sumber substrat. Susu skim merupakan susu yang
mengandung protein tinggi 3.7 % dan lemak 0.1%. Susu skim mengandung kasein
sebagi protein susu dimana akan dipecah oleh mikroorganisme proteolitik menjadi
senyawa nitrogen terlarut sehingga pada koloni dikelilingi area bening. Menunjukkan
mikroba tersebut mempunyai aktivitas proteolitik ( Fardiaz,1992).
Media SMA mempunyai komposisi 5 gram kasein, 2.5 gram ekstrak yeast, 1
gram Skim Milk Agar, 1 gram glukosa, dan 10.5 gram agar.
Berikut ini merupakan jenis bakteri proteolitik, yaitu
Bacteroides amylophilus, Clostridium sporogenes, Bacillus
licheniformis.Total bakteri proteolitik dihitung menggunakan rumus:
Jumlah bakteri proteolitik :12
cm2 ×25 ml× jumlah koloni
Berikut merupakan tabel hasil pengamatannya:
Medina Maulidya240210130020Kelompok 4A
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa jumlah
mikroorganisme pada suhu 300C terbanyak pada sampel ikan yaitu
109 koloni, kemudian diikuti oleh sampel selada dengan jumlah
koloni 49 (1 koloni kapang), lalu sampel apel dengan jumlah koloni
6 dan terakhir sampel daging dengan jumlah koloni 1.
Mikroorganisme yang tumbuh pada suhu 300C ini merupakan
bakteri proteolitik.
Berdasarkan hasil pengamatan pada umumnya, jumlah bakteri proteolitik dari
bahan baku yang diinkubasi pada suhu mesofilik lebih banyak daripada suhu
thermofilik. Hal ini dimungkinkan jenis mikroorganisme termofilik yang
menkontaminasi bahan tersebut lebih sedikit dibanding mikroorganisme lainnya,
sehingga ketika diinkubasikan pada suhu 55oC tadi pertumbuhannya lebih sedikit
dibanding ketika diinkubasikan disuhu yang lebih rendah, sehingga jumlah koloni
yang tumbuh lebih sedikit bahkan koloni hanya tumbuh di sampel apel.
Pada inkubasi dengan suhu 300C atau mesofilik koloni yang tumbuh lebih
banyak. Hal ini mungkin terjadi disebabkan oleh tumbuhnya koloni mikroorganisme
kontaminan mengingat medium yang digunakan syarat nutrisi yang cukup lengkap
dan pada suhu 30oC merupakan suhu optimum bagi sebagian besar bakteri.
Menurut literatur seharusnya daging memiliki jumlah
mikroorganisme yang tinggi pada inkubasi suhu 300C, dan
kemudian diikuti dengan daging ikan yang memiliki jumlah
mikroorganisme yang lebih sedikit dibandingkan dengan daging
ayam dan daging sapi. Menurut Soeparno (2009), hal ini
dikarenakan daging :
(1) Mempunyai kadar air yang tinggi (kira-kira 68-75%)
(2) Kaya akan zat yang mengandung nitrogen dengan
kompleksitasnya yang berbeda
(3) Mengandung sejumlah karbohidrat yang dapat difermentasikan
(4) Kaya akan mineral dan kelengkapan faktor untuk pertumbuhan
mikroorganisme
Medina Maulidya240210130020Kelompok 4A
(5) Mempunyai pH yang menguntungkan bagi sejumlah
mikroorganisme (5,3 – 6,5)
Mikroorganisme yang merusak daging dapat berasal dari
infeksi dan ternak hidup dan kontaminasi daging postmortem.
Sumber kontaminasi dapat berasal dari tanah disekitarnya, kulit
(kotoran pada kulit), isi saluran pencernaan, air, alat-alat yang
dipergunakan selama proses penanganan karkas, kotoran, udara,
dan pekerja. Mikroorganisme yang biasa mengkontaminasi daging
adalah Salmonella, Shigella, Escherisia coli, Bacillus proteus,
Staphylococcus albus, Staphylococcus aureus, Clostridium walchii,
Bacillus cereus dan Clostridium botulinum (Lawrie, 1979).
Mikroorganisme yang biasa mengkontaminasi sayuran segar
adalah Pseudomonas, Enterobacter spp., Klebsiella spp., Serratia
spp., Flavobacterium spp., Xanthomonas spp., Chromobacterium
spp., dan Alcaligenes spp (Carlin, 2000). Sayuran sebagai produk
pertanian mempunyai rantai perjalanan yang panjang dari tempat
produksi hingga saat konsumsi. Selama dalam perjalanan tersebut
terdapat pengaruh lingkungan yang memungkinkan terjadinya
ketidakamanan pangan. Apabila sayuran segar tercemar oleh
mikroba dalam jumlah yang cukup tinggi, maka kemungkinan besar
sayuran tersebut tidak aman untuk dikonsumsi (Buckle, 2009).
Berdasarkan hasil pengamatan pada suhu 550C, hampir
semua sampel tidak ditumbuhi koloni kecuali pada sampel apel
terdapat 1 koloni. Hal ini disebabkan pada sampel selada, mungkin
sampel telah terkontaminasi mikroorganisme selama proses
pendistribusian sayuran dari produsen ke konsumen.
Mikroorganisme yang tumbuh pada inkubasi suhu 550C adalah
mikroorganisme jenis bakteri proteolitik termofilik.
Medina Maulidya240210130020Kelompok 4A
Jika dilihat secara keseluruhan, sampel yang dicuci dengan air memiliki
mikroba yang lebih banyak daripada sampel yang tidak dicuci dengan air. Hal ini
kemungkinan disebabkan air yang digunakan untuk mencuci tidak bersih sehingga
mengandung banyak mikroba. Selain air, banyaknya mikroba juga bisa disebabkan
oleh cara pencucian yang kurang tepat. Pencucian bahan menggunakan air yang
ditampung atau tidak mengalir bisa menyebabkan kotoran yang sudah lepas dapat
menempel kembali di bahan.
Medina Maulidya240210130020Kelompok 4A
VI. KESIMPULAN
1. Mutu dan keamanan suatu produk pangan sangat tergantung pada mutu dan
keamanan bahan bakunya.
2. Bakteri proteolitik adalah bakteri yang memproduksi enzim proteinase
ekstraseluler, yaitu enzim pemecah protein yang diproduksi di dalam sel
kemudian dilepaskan keluar dari sel.
3. Total bakteri proteolitik mesofilik lebih banyak daripada total bakteri
proteolitik thermofilik.
4. Pencucian seharusnya dapat digunakan untuk mengurangi bakteri proteolitik
yang dapat memecah protein.
5. Ikan mempunyai jumlah koloni terbanyak pada suhu 300C yaitu 109 kolon i
sedangkan pada suhu 550C sampel apel yang mempunyai koloni sebanyak 1
koloni sedangkan sisanya tidak.
6. Jumlah mikroorganisme pada bahan yang mengandung
protein tinggi lebih banyak dibanding dengan sayur dan buah.
7. Bahan baku daging juga banyak menganduk mikroorganisme
proteolitik yang bersifat thermofil.
8. Pencucian bahan baku harus menggunakan air bersih agar
tidak mencemari bahan baku.
9. Bahan baku daging harus diolah dengan suhu diatas suhu
pertumbuhan mikroorganisme yang bersifat termofil.
Medina Maulidya240210130020Kelompok 4A
DAFTAR PUSTAKA
Buckle KA, Edward RA, Fleet GH, Wooton M. 1987. Ilmu Pangan. Purnomo H, Adiono, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari : Food Science.
Carlin, F. 2000. Fresh dan Processed Vegetables. Di dalam Lund, B. M., Baird-Parker T. C, and Gould G. W. 2000. The Microbiological Safety and Quality Food. Vol II. Aspen Publisher, Inc. Gathersburg, Maryland
Fardiaz, S. 1987. Mikrobiologi Pangan. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fateta-IPB: Bogor.
Fardiaz, S. 1990. Sanitasi dalam Industri Makanan. Pusat Pelatihan Ekspor Indonesia (PPEI). Departemen Perdagangan RI. Jakarta.
Laksmi, B. S. 1988. Sanitasi dalam Industri Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi: Bogor.
Purnawijayanti HA. 2001. Higiene, Sanitasi, dan Keselamatan Kerja Dalam Pengolahan Pangan. Yogyakarta : Kanisius.
Sumardi, J. A., Bambang B. S., Hardoko. 1992. Penuntun Praktikum Kimia dan Mikrobiologi Pangan Hasil Perikanan. Universitas Brawijaya. Malang.
Winarno, F.G dan B.S. Laksmi. 1974. Dasar Pengawetan, Sanitasi dan Keracunan. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.