4 hasil dan pembahasan - perpustakaan digital · pdf filepraktikum isolasi pigmen di...
TRANSCRIPT
26
4 Hasil dan Pembahasan
4.1 Uji Coba dengan Bayam
Daerah pengambilan sampel untuk penelitian ini telah ditetapkan, yakni di daerah sawah
kolam di Bojongsoang. Ruang lingkup daerah sampling ini menimbulkan sebuah hambatan
dalam pengerjaan rangkaian penelitian karena sampel hanya tersedia pada musim hujan,
yakni saat sawah-sawah di Bojongsoang dijadikan kolam ikan musiman. Oleh karena itu,
sebelum sampel tersedia, dilakukan suatu percobaan mirip dengan yang telah direncanakan,
hanya saja pelarut petroleum eter di sini digantikan oleh n-heksan, dan percobaan dilakukan
dalam skala kecil terhadap tumbuhan bayam sebagai sampel. n-heksan dipilih untuk
menggantikan petroleum eter karena berdasarkan data literatur, komponen utama petroleum
eter adalah n-heksan (MSDS terlampir), di samping hidrokarbon-hidrokarbon rantai pendek
yang lain. Selain itu, tersedia pula beberapa literatur yang menjelaskan bahwa kelarutan
karoten dalam n-heksan adalah cukup baik (Rodroguez-Amaya, 2001). Bayam dipilih
sebagai sampel karena bayam adalah sampel yang banyak digunakan secara umum untuk
praktikum isolasi pigmen di laboratorium (Koster S. K., 2008).
Pada percobaan ini, sekitar 10 g daun bayam dikeringkan dalam oven, digunting kecil-kecil
dalam mortar dan digerus. Proses penggerusan berjalan tidak efisien, terutama apabila
sampel masih mengandung air. Dari sini, diambil kesimpulan bahwa pada pengerjaan skala
besar nantinya, sampel kering akan dihancurkan dengan menggunakan blender, dan
pengeringan harus sempurna agar air tidak mengganggu ekstraksi padat-cair untuk
pengambilan pigmen.
Bubuk daun bayam yang diperoleh kemudian ditempatkan dalam gelas kimia kecil, diekstrak
dengan n-heksan sebanyak 17 mL hingga warna berubah menjadi kekuningan (15 menit),
kemudian disaring. Filtrat berwarna kuning diuji dengan kromatografi lapis tipis dan ditandai
sebagai KLT-bayam I. Setelahnya, filtrat ditambahkan pula dengan 7 tetes metanol yang
jenuh KOH, dikocok kuat beberapa menit, dan filtratnya di-KLT sebagai KLT-bayam II.
Sementara itu, residu bubuk daun diekstrak lagi dengan aseton:air 8:2 hingga filtrat berwarna
hijau dan kemudian disaring (KLT-bayam III). Filtrat dipindahkan ke corong pisah,
ditambahkan dengan 8,5 mL n-heksan, akuades, lalu dikocok dan dipisahkan. Lapisan
n-heksan ini diekstrak kembali dengan akuades, dikocok dan dipisahkan kembali. Lapisan
27
n-heksan selanjutnya ditempatkan dalam corong pisah dan diekstrak dengan metanol 85%.
Hasil ekstraksi ini, lapisan n-heksannya diuji dengan kromatografi lapis tipis sebagai KLT-
bayam IV.
Hasil kromatografi lapis tipis menunjukkan terjadinya pemisahan yang cukup berarti. KLT-
bayam I mengandung banyak spot yang di antaranya terdiri dari karoten, xantofil dan
klorofil (berdasarkan warna dan Rf relatifnya, dibandingkan dengan literatur). Sementara
KLT-bayam II menunjukkan bahwa spot yang paling intens terlihat adalah spot karoten,
dengan pengotor yang nyaris tidak terlihat (kemungkinan karena konsentrasinya sangat kecil
menimbang sampel yang diolah juga sangat sedikit. Sementara itu, KLT-bayam III
menunjukkan spot-spot yang cenderung mirip dengan KLT-bayam I, yang menunjukkan
bahwa pigmen-pigmen dalam sampel dapat diekstrak baik oleh n-heksan maupun oleh
aseton:air 8:2.
Percobaan ini secara keseluruhan mengindikasikan perlunya strategi pemilihan pelarut.
Secara kepolaran, tampak bahwa karoten yang sangat nonpolar memang akan cenderung
lebih mudah terekstrak oleh n-heksan daripada aseton:air, demikian pula sebaliknya untuk
xantofil dan klorofil, yang karena lebih polar seharusnya akan lebih mudah larut dalam
aseton:air. Turut terekstraknya karoten pada aseton:air 8:2 bisa jadi merupakan indikasi
bahwa n-heksan bukanlah pelarut yang terbaik bagi senyawa karoten. Meski demikian,
dalam metode ekstraksi pigmen, ada banyak hal lain yang harus dipertimbangkan:
1. Ekstraksi yang terjadi di sini adalah ekstraksi padat-cair. Keberhasilan suatu pelarut
untuk mengekstrak zat yang ditargetkan juga akan bergantung pada kemampuan
pelarut tersebut dalam mengatasi matriks dalam mana zat yang ditargetkan berada
(terutama sekali untuk melunakkan dinding sel). Dari hasil perbandingan intensitas
warna spot karoten KLT-bayam I dan III, diamati bahwa spot karoten pada KLT-
bayam III lebih intens warnanya dibandingkan spot karoten pada KLT-bayam I yang
memunculkan dugaan bahwa aseton:air mampu menembus matriks dengan lebih
mudah sehingga mampu melarutkan lebih banyak zat yang terkandung dalam
sampel. Dari sini, diambil suatu kesimpulan bahwa perendaman sampel dalam
n-heksan harus cukup lama agar karoten dapat secara maksimal terekstrak.
2. Mengingat bahwa pigmen-pigmen ini adalah zat-zat yang rentan akan degradasi,
berbagai literatur menyarankan agar proses perendaman sampel dengan tujuan
mengekstrak pigmen tidak dilakukan terlalu lama. Perendaman yang terlalu lama
memperbesar kemungkinan terjadinya isomerisasi ikatan rangkap dari trans ke cis
pada pigmen karoten (Rodroguez-Amaya, 2001). Selain itu, disebutkan pula bahwa
perendaman yang terlalu lama membuat larutan ekstrak cenderung asam akibat
28
tingginya intensitas dekomposisi jaringan. Asam ini dapat menyebabkan terjadinya
degradasi dan/atau isomerisasi pigmen. Jika proses perendaman dilakukan dengan
cukup singkat, maka tidak perlu dilakukan langkah tambahan penetralan larutan
ekstrak dengan MgCO3.
Menilai berbagai faktor ini, diputuskan untuk menetapkan lama waktu perendaman sampel
pada n-heksan selama 40 menit dan 15 menit untuk lama perendaman sampel dengan
aseton:air 8:2. Perendaman dengan aseton:air dilakukan dengan jangka waktu yang lebih
singkat dibandingkan dengan perendaman dengan n-heksan selain karena klorofil jauh lebih
rentan degradasi dibandingkan dengan karoten ataupun xantofil, juga karena aseton yang
memiliki tingkat kepolaran sedang merupakan pelarut yang telah banyak dikenal mampu
melarutkan banyak senyawa organik. Penyingkatan masa perendaman diharapkan mampu
mencegah turut terekstraknya banyak pengotor dari matriks sampel. Selain itu, metode
pengekstraksian pigmen dari sampel yang disarankan oleh jurnal utama (Schertz F.M., 1938)
– di mana tiap 1/5 bagian sampel padat diekstraksi dua kali, pertama dengan perendaman
selama waktu yang cukup singkat, dan kedua dengan melewatkan kembali filtrat – cukup
masuk akal. Melewatkan kembali filtrat menutupi kemungkinan kurang lamanya
perendaman. Selain itu, karena pengekstrak hanya dilewatkan, kemungkinan rusaknya
pigmen selama tahap ekstraksi kedua dapat diminimalkan.
Gambar 4.1 menunjukkan warna dan Rf relatif berbagai pigmen yang umum ditemukan
dalam tumbuhan.
Gambar 4.1 Warna dan Rf relatif berbagai pigmen (Wikipedia, 2008)
Gambar 4.1 menunjukkan hasil pemisahan berbagai senyawa yang terdapat dalam jaringan
tumbuhan dengan teknik kromatografi lapis tipis (KLT). KLT adalah sebuah teknik
sederhana yang memisahkan campuran zat-zat terlarut atas dasar perbedaan kelarutan dalam
eluen (fasa gerak) dan kekuatan interaksi (adsorpsi) oleh adsorben (fasa diam). Dalam satu
proses elusi yang sama, makin besar nilai Rf dari suatu zat (makin tinggi posisinya dalam
29
plat KLT), maka makin tinggi pula sifat nonpolarnya. Hal ini berkaitan dengan sifat fasa
diam plat KLT – yakni silika gel (SiO2) – yang bersifat sangat polar. Molekul-molekul yang
polar akan dengan mudah berinteraksi secara dipol-dipol dengan ikatan Si-O yang polar, dan
oleh karenanya akan teradsorpsi dengan lebih kuat pada plat KLT dan tidak bermigrasi lebih
jauh ke atas (Feist P., 2008). Sementara untuk molekul-molekul nonpolar, interaksi dengan
SiO2 lebih lemah sehingga cenderung tetap tinggal dalam fasa gerak yang biasanya lebih
nonpolar dibandingkan silika gel dan memiliki nilai Rf yang lebih tinggi. Dari sini, dapat
diamati bahwa karoten bersifat sangat nonpolar bila dibandingkan dengan klorofil ataupun
xantofil.
Pigmen menyerap sinar pada panjang gelombang sinar tampak sehingga di permukaan plat
KLT akan tampak sebagai spot-spot yang berwarna. Untuk mengamati adanya zat-zat tak
berwarna yang turut bercampur, dapat diamati dengan menyinari plat KLT dengan lampu
UV. Plat KLT mengandung fluor yang berfluoresensi bila disinari sinar UV, tetapi bila ada
zat organik terikat pada adsorben di plat KLT, maka bagian ini dari plat KLT tidak akan
berpendar (berfluoresensi) (Feist P., 2008). Dari serangkaian uji KLT yang telah dilakukan,
tidak pernah ditemukan adanya zat organik tidak berwarna yang turut terekstrak oleh
n-heksan maupun aseton 20% air. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh kurang
lamanya proses ekstraksi padat-cair sehingga zat-zat terlarut lain (yang biasanya jumlahnya
sangat kecil dibandingkan pigmen-pigmen ini) tidak terekstrak. Atau, kalaupun terekstrak,
ekstraknya sangat sedikit sehingga tidak tampak di bawah sinar UV.
Dari hasil-hasil ini, dapat disimpulkan bahwa, n-heksan mungkin dapat menggantikan
petroleum eter, meskipun mungkin kelarutan karoten dalam n-heksan tidak sebaik dalam
petroleum eter. Meski demikian, sifat n-heksan yang lebih nonpolar dibandingkan petroleum
eter diharapkan dapat sedikit banyak bersifat lebih selektif dalam melarutkan karoten, tanpa
banyak mengikutsertakan klorofil dan xantofil yang sifatnya jauh lebih polar dibandingkan
karoten.
Penelitian dilanjutkan ke tahap pengumpulan sampel kering setelah sampel mulai tersedia
pada pertengahan bulan November. Pertama-tama, sampel yang berasal dari sawah kolam di
Bojongsoang diangkat, dikumpulkan dalam trash bag dan diangkut ke laboratorium. Begitu
sampai di laboratorium, sampel diperas dan disimpan dalam bentuk paket-paket kecil di
dalam freezer. Pembekuan ini bertujuan untuk mencegah pembusukan yang dapat segera
terjadi dalam waktu dua sampai tiga hari apabila sampel tidak di-freezer. Sampel yang busuk
berbau sangat menyengat dan tidak dapat dimanfaatkan lagi karena pigmen-pigmennya
kemungkinan besar telah diterdegradasi (dilihat dari warna yang berubah dari hijau menjadi
coklat). Sampel beku dapat bertahan selama berbulan-bulan dari pembusukan.
30
Untuk langkah pencucian dan pengeringan, air yang membekukan sampel pertama-tama
dicairkan kembali, dan sampel lalu di-screen dengan cepat dari berbagai pengotor (seperti
udang kecil, kepiting kecil, ikan kecil, siput berbagai ukuran, ulat, pasir dan bagian tumbuh-
tumbuhan lain). Air cucian bisa jadi sangat kotor karena banyaknya pasir pengotor pada
sawah kolam tempat sampel tumbuh. Pengerjaan ini harus dilakukan dengan menggunakan
sarung tangan dan memerlukan sangat banyak waktu karena kotoran cenderung terjerat
dalam sampel yang berbentuk filamen sehingga tidak dapat dengan mudah disingkirkan.
Tahap pengeringan sampel dilakukan dengan menebarnya tipis-tipis di atas tampah (atau
wadah lain yang berpori), dibantu dengan angin misalnya dengan hair dryer atau lemari
asam. Selain itu, sebagian kecil sampel juga dikeringkan dengan cara konvensional yaitu
penjemuran. Hanya saja, penjemuran cenderung lebih sulit dilakukan karena hujan dan
mendung mendominasi hari-hari selama pelaksanaan perlakuan awal ini. Cara pengeringan
dengan penjemuran merupakan cara yang paling hemat energi meskipun terdapat
kemungkinan adanya pigmen yang terdegradasi akibat sinar matahari yang menyengat
selama masa pengeringan yang cenderung lebih lama bila dibandingkan dengan pengeringan
dengan pemanasan/angin.
Sampel kering selanjutnya dihancurkan dengan menggunakan blender, dan disimpan dengan
wadah yang di-seal dengan isolasi. Penghancuran dengan menggunakan blender
menghasilkan ukuran sampel yang berbeda-beda, mulai dari bubuk yang mudah terbawa
angin hingga yang ukurannya agak besar. Keseragaman dapat lebih mudah diperoleh bila
untuk setiap kali mem-blender, sampel yang diblender tidak terlalu banyak dan lama proses
blender diseragamkan. Makin lama pem-blender-an dilakukan, makin kecil hasil blender
yang diperoleh.
4.2 Variasi Perlakuan Awal
Hasil dari variasi perlakuan awal sampel dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan Tabel 4.2.
Penghancuran yang dimaksud dalam tabel dilakukan dengan menggunting kecil-kecil sampel
hasil pemanasan sebelum masing-masing sampel direndam dalam n-heksan dan aseton:air
8:2.
Tabel 4.1 Hasil variasi perlakuan awal sampel percobaan I
Lama Pemanasan
% Berat-Hilang Jenis Wadah Perlakuan Setelah Pemanasan (sebelum
ekstraksi) 5 jam 55,117% Kaca arloji Sangat kering otomatis hancur 4 jam 42,666% Kaca arloji Tidak dihancurkan terlebih dahulu 2,5 jam 38,329% Kaca arloji Dihancurkan terlebih dahulu 1,5 jam 56,821% Cawan petri Dihancurkan terlebih dahulu 15 menit 4,804% Cawan petri Dihancurkan terlebih dahulu
31
Tabel 4.2 Hasil variasi perlakuan awal sampel percobaan II
Lama Pemanasan
% Berat-Hilang
Jenis Wadah
Perlakuan Setelah Pemanasan (sebelum ekstraksi)
5 jam 58,35% Kaca arloji Dihancurkan terlebih dahulu 4 jam 47,99% Kaca arloji Dihancurkan terlebih dahulu 2,5 jam 27,98% Kaca arloji Dihancurkan terlebih dahulu 1,5 jam 16,56% Kaca arloji Dihancurkan terlebih dahulu 15 menit 3,37% Kaca arloji Dihancurkan terlebih dahulu 24 jam T ruang
55,01% Kaca arloji Dihancurkan terlebih dahulu
Hasil ini diperoleh dengan catatan bahwa sampel pada kaca arloji ataupun cawan petri
beberapa kali dibalikkan selama masa pemanasan, agar pemanasan terjadi secara merata.
Hasil inilah yang selanjutnya memunculkan kesimpulan mengenai diperlukannya suatu
wadah berlubang agar pemanasan berlangsung cepat dan sempurna.
Untuk kasus sampel 1,5 jam pada percobaan I, dapat dilihat terjadinya anomali dimana
persen berat-hilang untuk sampel tersebut adalah yang tertinggi dibandingkan sampel-sampel
lainnya. Hal ini diperkirakan terjadi karena sampel dikeringkan dalam cawan petri yang
dimeternya lebih besar dari kaca arloji biasa. Luasnya permukaan wadah memungkinkan
sampel tersebar secara merata dan lebih tipis sehingga pemanasan berlangsung lebih baik.
Selain itu, sampel 15 menit baik dari percobaan I maupun percobaan II tidak menunjukkan
warna sama sekali saat diekstrak dengan n-heksan. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa
keberadaan air yang bersifat polar mengakibatkan sulitnya kontak antara n-heksan yang
nonpolar dengan sampel sehingga pigmen-pigmen lebih sulit terekstrak. Hal ini akan
berakibat buruk bila percobaan dilakukan dengan harapan bahwa ß-karoten akan terekstrak
ke n-heksan yang nonpolar, sementara klorofil dan xantofil ke aseton:air 8:2 yang polar.
Hasil KLT juga mendukung dengan menunjukkan bahwa untuk ekstraksi dengan sampel
yang belum benar-benar kering, ß-karoten lebih banyak terbawa oleh aseton:air
dibandingkan dengan n-heksan. Hal ini wajar mengingat aseton bersifat polar sehingga lebih
mudah berinteraksi dengan air yang mengelilingi sampel yang masih basah.
Pentingnya penghancuran sampel sebelum ekstraksi dapat dilihat pada sampel 4 jam dan 2,5
jam percobaan I. Kedua waktu pemanasan ini memberikan % berat-hilang yang tidak terpaut
jauh. Perbedaan perlakuan awal yang dilakukan adalah bahwa sampel 2,5 jam terlebih
dahulu digunting kecil-kecil, sementara sampel 4 jam tidak. Dari sini, dapat dilihat bahwa
penghancuran atau pengguntingan adalah penting karena meningkatkan luas permukaan
kontak antara sampel dengan pelarut sehingga ekstraksi berlangsung dengan lebih baik.
Selain itu, penghancuran juga membantu mengatasi halangan yang disebabkan oleh matriks
karena penghancuran secara fisik juga turut dapat membantu memecahkan dinding sel
sampel.
32
Keseluruhan percobaan ini memberikan kesimpulan bahwa warna ekstrak yang diperoleh
akan makin pekat apabila sampel makin kering. Selain itu, warna ekstrak dari sampel yang
didiamkan semalaman (tanpa pemanasan dalam oven) lebih kurang sama dengan warna
ekstrak sampel empat jam dalam oven dan wadah kaca arloji. Kesimpulan lain yang dapat
diambil adalah bahwa pemanasan baik dengan oven maupun dengan membiarkannya dalam
suhu kamar tidak memberikan perbedaan dari segi efektivitas ekstraksi. Degradasi klorofil
menjadi pheophytin yang tadinya ditakutkan terjadi dengan pemanasan dalam oven ternyata
juga terjadi pada pengeringan pada suhu kamar. Hal ini ditunjukkan dengan membandingkan
KLT hasil ekstraksi sampel yang dikeringkan dengan oven dan sampel yang dikeringkan
dengan suhu ruang yang secara tidak terduga sangatlah mirip (data tidak ditampilkan). Spot
pheophytin sendiri diduga timbul karena sampel tidak lagi terlalu segar, karena telah cukup
lama disimpan di freezer.
Perbandingan warna ekstrak yang diperoleh untuk percobaan II dapat dilihat pada Gambar
4.2.
Gambar 4.2 Perbandingan warna ekstrak n-heksan terhadap lama waktu pemanasan
Menilai bahwa proses pengeringan sampel dengan menggunakan oven cenderung bersifat
tidak hemat energi, maka diputuskan untuk mengeringkan sampel dengan cara yang
konvensional, yakni melalui penjemuran. Pada saat cuaca cerah dan matahari bersinar
dengan terik, pengeringan sampel membutuhkan waktu kurang-lebih enam jam (sekitar
pukul 09.00 – 15.00), dengan catatan bahwa sampel ditebar tipis-tipis di atas tampah.
Sementara itu, bila langit mendung, maka proses pengeringan sampel memerlukan waktu
yang bervariasi antara dua hingga tiga hari. Mengingat pengeringan sampel harus dilakukan
dengan cepat dan jumlah tampah yang tersedia terbatas, maka proses pengeringan dengan
penjemuran ini juga dikombinasikan dengan metode pengeringan lainnya.
33
4.3 Isolasi Karoten
Isolasi karoten dilakukan pertama-tama dengan merendam bubuk daun dalam n-heksan
secukupnya (ekstraksi padat-cair). Perendaman ini dilangsungkan dalam waktu yang tidak
terlalu lama tetapi juga tidak terlalu singkat. Perendaman tidak boleh terlalu lama agar
kemungkinan terekstraknya berbagai metabolit sekunder dan pengotor lainnya, serta adanya
kemungkinan degradasi dapat diminimalkan. Selain itu, perendaman tidak pula boleh terlalu
singkat agar cukup banyak karoten dapat terekstrak. Karoten yang tidak terekstrak nantinya
dapat menjadi pengotor pada ekstraksi dan isolasi klorofil dan xantofil. Filtrat dari hasil
perendaman ini di-KLT sebagai KLT I kemudian diekstraksi dengan metanol jenuh KOH,
dikocok beberapa menit dan didiamkan. Pada proses ini, klorofil yang ikut terekstrak ke
dalam n-heksan disaponifikasi agar klorofil pengotor ini menjadi lebih polar dan dapat larut
ke pelarut metanol. Selain itu, saponifikasi juga dapat menghilangkan lemak-lemak (lipid)
dan xantofil yang ikut terekstrak oleh n-heksan yang sifatnya sangat nonpolar. Sejalan
dengan banyaknya ekstraksi dengan metanol jenuh KOH ini, lapisan n-heksan di bagian atas
corong pisah berubah warna menjadi makin bening. Perubahan warna lapisan n-heksan pada
proses saponifikasi yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 4.3. Perubahan warna ini
menunjukkan telah terjadinya proses pemisahan karoten dengan berbagai pengotor (di
antaranya klorofil).
Gambar 4.3 Proses saponifikasi. Dari kiri ke kanan, warna lapisan n-heksan makin jernih
Secara umum, saponifikasi adalah reaksi hidrolisis ester dalam suasana basa membentuk
suatu aklohol dan garam asam karboksilat. Nama saponifikasi diperoleh dari reaksi
umumnya yakni antara suatu basa alkali dengan lemak atau minyak menghasilkan sabun.
Pada proses saponifikasi klorofil di sini, KOH berperan sebagai basa alkali, sementara
metanol nantinya akan menjadi pelarut bagi garam asam karboksilat dan alkohol yang
34
merupakan hasil reaksinya. Baik garam asam karboksilat maupun alkohol bersifat cenderung
polar sehingga tidak akan larut dalam n-heksan. Reaksi hidrolisis ester pada klorofil dapat
direpresentasikan dengan persamaan reaksi berikut.
R1-CO-O-R2 + KOH R1-CO-O- K+ + R2-OH
Larutan merah-jingga jernih ini selanjutnya dicuci dengan air hingga pH kembali netral.
Penetralan perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya proses degradasi, ataupun reaksi-
reaksi lain yang tidak diharapkan. Air cucian ini berwarna kuning terang, diduga
mengandung pigmen lain yang larut dalam air (terutama xantofil pengotor yang sifatnya
cenderung polar). Saat pH netral, warna fasa air berubah menjadi bening keruh yang
sekaligus menunjukkan telah terekstraknya semua pigmen polar yang larut dalam air.
Perubahan warna kedua fasa pada proses penetralan dengan air dapat dilihat pada Gambar
4.4.
Gambar 4.4 Proses penetralan dengan air. Dari kiri ke kanan, lapisan n-heksan makin jernih sementara lapisan air berubah dari kuning menjadi kuning keruh
Ke dalam lapisan n-heksan yang sudah netral kemudian ditambahkan dengan natrium-sulfat
anhidrat untuk menghilangkan air yang terperangkap dalam larutan n-heksan. Natrium-sulfat
anhidrat adalah garam yang telah kehilangan air di dalam kisi-kisinya. Molekul-molekul air
ini tidak secara kovalen terikat di dalam kisi kristal sehingga tidak benar-benar merupakan
bagian dari molekul yang bersangkutan. Saat dipanaskan, karena air ini tidak terikat dengan
kuat, molekul-molekul ini akan lepas, dan saat berada dalam lingkungan yang lembab dan
mengandung air, kristal-kristal ini akan secara mudah kembali disisipi oleh molekul air.
Larutan karoten dalam n-heksan ini kembali di-KLT sebagai KLT II sebelum dipekatkan,
dan dipindahkan ke erlenmeyer 100 mL. Ke dalam erlenmeyer ini kemudian ditambahkan
lagi metanol absolut, dan dibiarkan dalam temperatur ruang untuk membentuk kristal.
Penambahan metanol absolut dilakukan untuk menghasilkan suatu sistem pelarut campuran
35
metanol:n-heksan 50:50. Pelarut campuran yang digunakan di sini sangat penting bagi
terjadinya proses kristalisasi yang baik karena pelarut campuran ini diharapkan melarutkan
semaksimal mungkin pengotor yang mungkin ada, sehingga hanya mengkristalkan karoten
yang diharapkan. Selektivitas ini dimungkinkan karena pelarut lebih jenuh oleh karoten
daripada pengotor sehingga kemungkinan pengotor untuk mengkristal lebih kecil. Karena
alasan ini pulalah, penyaringan kristal yang terbentuk harus dilakukan segera setelah cukup
banyak kristal terbentuk. Mengingat n-heksan menguap pada temperatur kamar lebih cepat
daripada metanol, sejalan dengan makin lamanya proses kristalisasi, sistem pelarut akan
mengalami perubahan komposisi. Hal ini dapat memicu terkristalkannya pengotor yang tidak
diharapkan (akibat meningkatnya kejenuhan karena menguapnya pelarut), sehingga harus
dihindari. Kristal yang terbentuk disaring dengan penyaring vakum, dan dicuci dengan
metanol:n-heksan 50:50 (yang ternyata melarutkan suatu kristal pengotor yang berbentuk
jarum kuning bening). Kristalnya selanjutnya direkristalisasi dengan n-heksan, diuapkan
hingga bersisa sedikit, ditambahkan sedikit metanol absolut, dan dibiarkan mengkristal
kembali. Proses ini dapat diulang berkali-kali untuk menjamin kemurnian karoten yang
diperoleh. Pada pengerjaan ini, proses ini hanya dilakukan sekali. Endapan karoten yang
terbentuk dikumpulkan dengan penyaring vakum dan disimpan dalam botol yang ditutup
dengan rapat. Bentuk kristal karoten yang berhasil diperoleh dapat dilihat pada Gambar 4.5.
Gambar 4.5 Pembentukan kristal karoten (a). Pengendapan karoten dalam campuran n-heksan:metanol absolut (b). Penyaringan kristal karoten. Tampak adanya pengotor berupa kuning bening (c). Kristal karoten yang akhirnya diperoleh
Kristal yang terbentuk berwujud serpihan berwarna merah keunguan. Massa kristal adalah
0,0157 gram. Angka yang amat kecil ini diduga terjadi karena kurang lamanya masa
perendaman sampel dengan n-heksan. Selain itu, diduga pula kebanyakan karoten dalam
sampel telah teroksidasi menjadi senyawa-senyawa hasil degradasi karoten yang
teroksigenasi. Secara teori, hasil degradasi melalui oksigenasi senyawa karoten akan
memiliki tingkat kepolaran yang lebih tinggi karena adanya atom-atom oksigen tambahan.
Secara kimia, banyaknya ikatan rangkap dalam molekul karoten memang sangat rentan
36
teroksidasi. Senyawa karoten telah diketahui mengalami suatu reaksi asimetrik autokatalitik
dengan molekul oksigen secara spontan (Chemaphor Inc., 2008).
Data dari KLT I maupun II menunjukkan telah terjadinya pemisahan secara signifikan. KLT
I mengandung spot xantofil, klorofil dan karoten. Sementara pada KLT II hanya spot karoten
yang tampak jelas, disertai dengan adanya pigmen kuning lain yang tidak teridentifikasi.
Pigmen pengotor ini tidaklah diharapkan. Diduga pigmen ini adalah pigmen yang sama
seperti yang terekstrak oleh air pada proses penetralan larutan n-heksan. Kristal yang diduga
telah murni diuji kemurniannya dengan KLT tiga eluen yang akan dijelaskan pada Subbab
4.5.1.
Seperti yang telah disampaikan, sebagian besar proses pemisahan yang dilakukan pada
penelitian ini didasarkan pada metode ekstraksi (yakni, ekstraksi padat-cair dan ekstraksi
cair-cair). Ekstraksi sendiri adalah suatu metode pemisahan zat terlarut yang didasarkan pada
perbedaan kelarutan berbagai zat terlarut dalam dua sistem pelarut yang tidak saling campur
(Skoog et al., 1996). Untuk keseluruhan penelitian ini, tipe prosedur ekstraksi yang
digunakan adalah ekstraksi sederhana di mana zat-zat yang ingin dipisahkan diasumsikan
memiliki rasio distribusi yang berbeda cukup jauh. Ekstraksi secara umum bergantung pada
beberapa faktor krusial, di antaranya adalah (Gamse T., 2002): selektivitas, kapasitas,
kelarutan antar dua pelarut, perbedaan rapat massa, dan tegangan antar-muka.
Secara umum, hasil ekstraksi yang diperoleh menunjukkan bahwa berbagai proses ekstraksi
yang dilakukan pada penelitian ini dapat berlangsung dengan baik dan masih berada dalam
rentang kriteria yang diijinkan. Meski demikian, optimasi proses ekstraksi dengan
memperhatikan beberapa faktor ini tentu masih dapat dilakukan lebih jauh.
4.4 Pemisahan Klorofil dan Xantofil
4.4.1 Ekstraksi klorofil dan xantofil
Untuk ekstraksi klorofil dan xantofil, pertama-tama residu bubuk daun direndam dalam
aseton (20% air) secukupnya. Perendaman ini tidak boleh terlalu lama, karena aseton
cenderung untuk melarutkan banyak senyawa sehingga bila terlalu lama akan ada
kemungkinan terdapat banyak pengotor dalam ekstrak, tetapi tidak boleh pula terlalu singkat
karena jumlah klorofil yang terekstrak tidak akan maksimal. Lama perendaman yang
digunakan adalah lima belas menit. Ekstrak aseton-air pertama ini di-KLT sebagai KLT III.
Filtrat ini kemudian diekstrak dengan n-heksan dan aquades. Pada proses ini terjadi
pemisahan dimana klorofil dan xantofil dibiarkan berpindah ke fasa n-heksan, sementara
pengotor lain yang larut air akan tinggal di fasa aseton-air sebagai suatu emulsi. Hal ini dapat
37
terjadi karena klorofil dan xantofil praktis tidak larut dalam air. Klorofil dan xantofil yang
bersatu di fasa n-heksan kemudian dipisahkan dengan pertama-tama menambahkan metanol
85% sebagai fasa untuk melarutkan xantofil. Xantofil yang memang lebih polar daripada
klorofil akan dengan mudah pindah ke fasa metanol 85% di bagian bawah. Sementara itu,
lapisan n-heksan yang sudah bebas dari xantofil dilanjutkan ke tahapan pemekatan klorofil.
Sampai di tahap ini, baik lapisan metanol 85% maupun lapisan n-heksan keduanya
ditotolkan pada plat KLT sebagai KLT IV1 dan KLT IV2.
KLT menunjukkan bahwa pemisahan telah terjadi dengan cukup baik. KLT III yang tadinya
mengandung baik xantofil, klorofil, maupun karoten, pada KLT IV1 hanya tertinggal
xantofilnya saja, sementara pada KLT IV2, selain terdapat klorofil yang diharapkan, ternyata
diperoleh juga spot untuk karoten yang adalah wajar mengingat karoten adalah pengotor
yang larut baik dalam n-heksan dan tidak larut dalam air.
Selain dari uji KLT, bukti-bukti terjadinya pemisahan dapat diperoleh dengan mengamati
warna masing-masing fasa. Pada awalnya, fasa aseton-air berwarna hijau kecoklatan sangat
pekat. Setelah diekstrak dengan n-heksan, diperoleh fasa aseton-air yang hijau bening
sementara fasa n-heksan di sebelah atas tetap berwarna hijau pekat. Warna hijau pekat ini
berubah lagi saat larutan n-heksan diekstrak dengan metanol 85%. Dengan mengamati secara
cermat warna larutan yang mengalir keluar dari keran corong pisah, warna larutan metanol
85% adalah kuning jernih (sesuai dengan warna xantofil), sementara warna dari fasa
n-heksan di sebelah atas kini berubah menjadi hijau yang cenderung bening.
Untuk mengendapkan xantofil, lapisan metanol 85% ini dipindahkan ke corong pisah, dan
volumenya ditambah hingga dua kali lipatnya dengan aquades untuk meningkatkan
kepolaran sehingga menurunkan kelarutan xantofil dan klorofil pengotor yang mungkin
masih tersisa setelah ekstraksi oleh n-heksan. Ke dalam campuran larutan yang saling
campur ini, ditambahkan pula sedikit garam untuk meningkatkan kejenuhan larutan sehingga
menurunkan tingkat kelarutan xantofil dan klorofil lebih jauh lagi. Setelah didiamkan
beberapa hari, endapan xantofil dan klorofil akan diperoleh mengapung dalam corong pisah.
Endapan ini lalu dipisahkan dari larutan kuning jernih, dan proses pemurnian xantofil dari
klorofil pengotor dilakukan.
Untuk menghilangkan klorofil pengotor, pertama-tama endapan campuran klorofil-xantofil
ini dilarutkan dalam sedikit aseton di mana kedua pigmen ini larut, lalu klorofil terlarutnya
kembali disaponifikasi dengan menggunakan metanol jenuh KOH. Klorofil tersaponifikasi
larut baik pada aseton, seperti halnya xantofil. Oleh karena itu, untuk memisahkan keduanya,
ditambahkan sejumlah besar aquades yang dijenuhkan dengan garam, yang diharapkan dapat
menurunkan kelarutan xantofil setelah didiamkan beberapa hari, meninggalkan klorofil
38
tersaponifikasi yang tetap larut. Endapan xantofil yang terbentuk lalu disaring dengan
penyaring vakum. Sejalan dengan proses penyaringan, kristal xantofil yang tertahan di kertas
saring juga dicuci dengan aquades untuk menetralkan kembali kristal karoten yang
diperoleh. Proses mengendapnya xantofil dalam larutan klorofil tersaponifikasi dapat dilihat
pada Gambar 4.6.
Gambar 4.6 Pengendapan xantofil
Massa xantofil yang berhasil diisolasi adalah 82,45 mg. Total multi karoten yang berhasil
diisolasi (82,45 mg + 15,7 mg dari karoten) adalah 98,15 mg. Angka ini menunjukkan bahwa
rendemen multi karoten dari sampel alga adalah 0,1963 mg/g. Angka ini masih jauh lebih
kecil dibandingkan data literatur yakni 1,9 mg/g (Goud J. P. et al., 2007). Kecilnya
rendemen dapat disebabkan oleh banyak faktor di antaranya masih kurang efektifnya pelarut
yang digunakan untuk mengekstrak semua pigmen yang diharapkan (terutama karoten),
ataupun akibat terjadinya berbagai reaksi degradasi terhadap senyawa-senyawa multi karoten
yang diinginkan.
4.4.2 Pemekatan ekstrak klorofil
Usaha mengendapkan klorofil dilakukan dengan menambahkan air secara perlahan-lahan
(untuk mengurangi pembentukan emulsi) ke dalam larutan klorofil dalam n-heksan.
Campuran ini (dengan fasa air yang jernih), diuapkan dengan rotary evaporator. Klorofil
yang sangat tidak larut dalam air ini akan tertinggal sendiri dan membentuk agregat dengan
sesamanya saat n-heksan menguap seluruhnya. Endapan ini lalu disuspensikan dalam
n-heksan yang sangat tidak saling campur dengan air sehingga larutan klorofil dalam
n-heksan dapat dipisahkan dengan mudah dari air yang tidak diharapkan dengan
menggunakan corong pisah. Lapisan klorofil dalam n-heksan lalu diuapkan dengan
menggunakan rotary evaporator menyisakan padatan klorofil. Padatan klorofil yang
diperoleh berwarna hitam dengan wujud seperti lemak. Padatan klorofil yang masih
mengapung di air dapat dilihat pada Gambar 4.7.
39
Gambar 4.7 Padatan klorofil mengapung di permukaan air
Sebenarnya, klorofil yang berhasil diperoleh ini masih dapat dimurnikan lebih jauh. Jurnal
utama (Schertz F.M., 1938) menyarankan suatu cara pemurnian dengan menggunakan alat
sentrifuga tertentu. Pada saat penelitian ini dilakukan, alat ini tidak tersedia.
Massa padatan klorofil yang berhasil diperoleh pada penelitian ini adalah 2,77 g, yang
menunjukkan nilai persen rendemen sebesar 0,554 mg/g atau 0,00554% w/w. Nilai ini masih
sangat jauh dibandingkan dengan data dari literatur yakni 0,53% w/w untuk hanya klorofil a
saja (Schult et al., 2007). Nilai yang kecil ini kemungkinan besar disebabkan oleh cukup
banyaknya klorofil yang terekstrak oleh pelarut n-heksan yang seharusnya hanya melarutkan
karoten saja. Hal ini mengakibatkan banyak klorofil terbuang dalam bentuk endapan klorofil
tersaponifikasi.
4.5 Uji-Uji dan Karakterisasi
4.5.1 Uji kemurnian KLT tiga eluen
Uji kemurnian KLT tiga eluen dilakukan untuk melihat tingkat kemurnian suatu senyawa
yang berhasil diisolasi. Hal ini dilakukan dengan cara mengelusi spot sampel dengan eluen-
eluen tertentu yang berdasarkan perbedaan polaritasnya akan membawa spot sampel
mencapai nilai Rf yang kecil, menengah, dan tinggi. Dengan demikian, apabila terdapat
campuran senyawa dengan tingkat kepolaran yang relatif sama, campuran ini dapat
terpisahkan dengan baik melalui salah satu sistem eluen yang digunakan.
Untuk tiap kristal dan padatan yang diuji, urutan gambar dari kiri ke kanan menunjukkan
jenis eluen yang makin nonpolar. Saat suatu pigmen yang sifatnya nonpolar dielusi dengan
menggunakan eluen yang tingkat kepolarannya sama, pigmen tersebut akan cenderung
mengikuti eluennya dan memiliki nilai Rf yang cenderung besar. Makin sama nilai kepolaran
suatu zat dengan eluennya, maka makin tinggi nilai Rf-nya. Bila pigmen yang sama dielusi
dengan eluen yang jauh lebih nonpolar, maka spot pigmen tersebut akan berhenti pada Rf
40
yang tidak sebesar sebelumnya karena kelarutannya pada eluen kedua tidak sebesar
kelarutannya pada eluen pertama.
Hasil uji kemurnian dengan menggunakan KLT tiga eluen untuk kristal yang diduga karoten
dapat dilihat pada Gambar 4.8.
Gambar 4.8 Hasil uji kemurnian KLT tiga eluen untuk kristal yang diduga karoten
(a). Rf = 0,854; Eluen = n-heksan:kloroform 8:2 (b). Rf = 0,415; Eluen = n-heksan 100%
Untuk kristal yang diduga karoten, KLT dengan dua jenis eluen yang berbeda kepolaran
menunjukkan bahwa kristal ini tidak lagi mengandung pengotor, yakni, tidak terdapat spot
pengotor yang terpisah, baik pada KLT pertama maupun pada KLT kedua. Eluen yang
digunakan hanya dua jenis karena pelarut yang lebih non-polar daripada n-heksan 100% sulit
diperoleh.
Hasil uji kemurnian dengan menggunakan KLT tiga eluen untuk kristal yang diduga xantofil
dapat dilihat pada Gambar 4.9.
Gambar 4.9 Hasil uji kemurnian KLT tiga eluen untuk kristal yang diduga xantofil
(a). Rentang Rf tinggi untuk kristal yang diduga xantofil. (a1). Kristal dari percobaan pertama. Rf = 0,756; Eluen = kloroform:etil-asetat 9:1 (a2). Kristal dari percobaan kedua. Rf = 0,756; Eluen = kloroform:etil-asetat 9:1
(b). Rentang Rf sedang untuk kristal yang diduga xantofil. (b1). Kristal dari percobaan pertama. Rf = 0,573; Eluen = n-heksan:kloroform 1:1 (b2). Kristal dari percobaan kedua. Rf = 0,573; Eluen = n-heksan:kloroform 1:1
(c). Rentang Rf rendah untuk kristal yang diduga xantofil. (c1). Kristal dari percobaan pertama. Rf = 0,221; Eluen = kloroform 100% (c2). Kristal dari percobaan kedua. Rf = 0,198; Eluen kloroform 100%
41
Untuk kristal yang diduga xantofil, uji kemurnian ini juga menunjukkan hasil yang sama, di
mana pada tiga KLT yang dilakukan, tidak tampak adanya pengotor yang memisah. Hal lain
yang perlu diamati adalah bahwa hasil KLT untuk kristal yang diduga xantofil baik pada
percobaan pertama maupun untuk percobaan kedua (duplo) menghasilkan hasil yang relatif
sangat mirip. Hal ini mengindikasikan cukup tingginya kebolehulangan metode yang
digunakan. Hasil mengenai kebolehulangan metode ini relatif sama untuk kristal-kristal
lainnya (data tidak ditampilkan).
Hasil uji kemurnian dengan menggunakan KLT tiga eluen untuk padatan yang diduga
klorofil dapat dilihat pada Gambar 4.10.
Gambar 4.10 Hasil uji kemurnian KLT tiga eluen untuk padatan yang diduga klorofil
(a). Rentang Rf tinggi untuk padatan yang diduga klorofil. (a1). Rf = 0,737; Eluen = kloroform 100%
(b). Rentang Rf sedang untuk padatan yang diduga klorofil. (b1). Rf = 0,244; Eluen = n-heksan:kloroform 1:1 (b2). Rf = 0,293; Eluen = n-heksan:kloroform 1:1 (b3). Rf = 0,415; Eluen = n-heksan:kloroform 1:1
(c). Rentang Rf rendah untuk padatan yang diduga klorofil. (c1). Rf = 0,141; Eluen = n-heksan:etil-asetat 8:2 (c2). Rf = 0,195; Eluen = n-heksan:etil-asetat 8:2 (c3). Rf = 0,273; Eluen = n-heksan:etil-asetat 8:2
Berbeda dengan hasil-hasil uji kemurnian dengan KLT tiga eluen sebelumnya, untuk padatan
yang diduga klorofil, tampak adanya pengotor pada KLT kedua (b) dan ketiga (c), yang
ditunjukkan dengan terjadinya pemisahan spot sampel menjadi tiga spot dengan Rf yang
berbeda. Dilihat dari perbandingan warna dan Rf relatifnya dengan Gambar 4.1, pengotor
yang terdapat pada padatan klorofil terisolasi dihipotesiskan adalah xantofil (b1) dan produk-
produk hasil degradasi klorofil yang bisa jadi memiliki Rf yang lebih tinggi daripada klorofil
(yakni phaeophytin), ataupun lebih rendah (klorofilid). Sementara itu, spot-spot lain yang
tersisa bisa jadi adalah klorofil a dan klorofil b. Untuk mengidentifikasi secara lebih teliti,
42
hasil-hasil ini masih perlu diklarifikasi dengan berbagai usaha pembuktian lain seperti KLT
dengan menggunakan standar.
Secara keseluruhan, hasil uji kemurnian dengan KLT tiga eluen menunjukkan bahwa ketiga
pigmen yang berhasil diisolasi memiliki kondisi murni dari pengotor, kecuali untuk klorofil.
Identifikasi untuk memastikan jenis pigmen yang telah diperoleh dilakukan dengan
spektroskopi UV-vis dan FTIR yang diterangkan pada Subbab 4.5.2 dan 4.5.3.
4.5.2 Spektroskopi UV-vis
Perbandingan spektrum UV-vis karoten antara kristal karoten yang berhasil diisolasi degan
spektrum UV-vis beberapa karoten dari literatur dapat dilihat pada Gambar 4.11.
Gambar 4.11 Spektrum UV-vis kristal karoten (jingga) dan perbandingannya dengan
spektrum dari literatur (hijau) (Taylor K.L. et al., 2006)
Secara struktur, serapan pigmen-pigmen, baik karoten, xantofil, maupun klorofil yang berada
pada rentang daerah sinar tampak didasarkan pada keberadaan sistem ikatan rangkap
terkonjugasi yang cukup panjang. Suatu senyawa kimia yang memiliki ikatan rangkap tak
terkonjugasi biasanya akan menyerap pada panjang gelombang sekitar 190 nm sebagai
akibat terjadinya transisi elektron pada ikatan rangkap dari π ke π* (Williams & Fleming,
1966). Saat beberapa ikatan rangkap saling terkonjugasi, terjadi splitting pada tingkat energi
elektronik di mana tingkat energi HOMO meningkat dan tingkat energi LUMO menurun
menyebabkan energi yang dibutuhkan untuk terjadinya eksitasi makin berkurang (sehingga
nilai panjang gelombang sinar yang diserapnya makin besar). Makin panjang konjugasi
ikatan rangkap dalam suatu molekul, makin besar nilai panjang gelombang maksimumnya.
Gambar 4.11 menunjukkan bahwa dari segi bentuk puncak yang terbentuk, kristal karoten
yang diperoleh telah memberikan spektrum yang sangat mirip dengan spektrum yang
43
diperoleh dari literatur. Panjang gelombang maksimum yang diperoleh yakni 450 nm juga
masih bersesuaian dengan data dari berbagai literatur, meskipun setelah berbagai studi
literatur yang dilakukan, tetap tidak diperoleh data nilai tiga panjang gelombang maksimum
(426, 450, dan 474 nm) yang persis sesuai dengan yang diperoleh pada eksperimen ini.
Sesuai dengan aturan Woodward-Fiescher, nilai panjang gelombang suatu senyawa sangat
bergantung pada struktur dari senyawa itu sendiri (terutama sekali jumlah dan konformasi
ikatan rangkap terkonjugasi). Oleh karena itu, mengingat jenis senyawa karoten dan xantofil
yang telah ditemukan di alam mencapai sekitar 600 senyawa (George Mateljan Foundation,
2008), tiap senyawa ini dapat dibedakan berdasarkan nilai panjang gelombang tiga puncak
maksimumnya. Hasil tinjauan pustaka menunjukkan bahwa meskipun nilai panjang
gelombang maksimum suatu senyawa dapat diperkirakan melalui aturan Woodward-
Fiescher, sering kali nilai-nilai ini berbeda berdasarkan pada jenis eksperimen yang
dilakukan (alat, instrumen, pelarut, dan lain sebagainya) (Fanciullino A.L. et al., 2006;
Taylor K.L. et al., 2006). Oleh karena itu, cara terbaik untuk mengidentifikasi jenis senyawa
karoten yang telah berhasil diisolasi dengan menggunakan spektroskopi UV-vis adalah
dengan menggunakan berbagai standar senyawa karoten yang sudah murni.
Perbandingan spektrum UV-vis xantofil antara kristal yang berhasil diisolasi dengan
spektrum beberapa xantofil dari literatur dapat dilihat pada Gambar 4.12.
Gambar 4.12 Spektrum UV-vis kristal xantofil (jingga) dan perbandingannya dengan
spektrum dari literatur (hijau) (Taylor K.L. et al., 2006)
Sama seperti pada karoten, spektrum xantofil terisolasi juga sudah sangat mirip dari segi
bentuk kurva dengan berbagai senyawa xantofil yang diperoleh dari literatur. Meskipun nilai
panjang gelombang maksimum xantofil (444 nm) dengan karoten (450 nm) tidak berbeda
jauh, tetapi bentuk kurva kedua senyawa berbeda cukup jauh di mana bentuk kurva serapan
xantofil cenderung memiliki dua puncak yang tajam, sementara karoten memiliki puncak
44
serapan yang tidak setajam xantofil. Selain itu, kedua kristal ini juga sangat berbeda dari segi
kepolaran dan bentuk kristalnya sehingga dapat dipastikan bahwa kedua kristal ini bukanlah
kristal yang sama.
Perbandingan spektrum UV-vis klorofil antara padatan yang berhasil diisolasi dengan
spektrum klorofil a dan b dari beberapa literatur dapat dilihat pada Gambar 4.13.
Gambar 4.13 Spektrum UV-vis padatan klorofil (jingga) dan perbandingannya dengan spektrum dari literatur (hijau) (Kurzon, 2008; Prahl S., 2008)
Dari perbandingan dengan kedua data dari literatur, terutama nilai panjang gelombang
maksimum dua puncak (406 dan 666 nm), dapat disimpulkan bahwa molekul klorofil yang
berhasil diisolasi adalah molekul klorofil a meskipun data uji kemurnian dengan KLT juga
menunjukkan adanya kemungkinan klorofil b sebagai pengotor.
Adanya dua puncak pada spektrum UV-vis klorofil disebabkan oleh adanya dua jalur
resonansi ikatan rangkap terkonjugasi yang membentang di dalam cincin porphyrin struktur
klorofil. Resonansi yang lebih panjang akan menghasilkan puncak serapan pada nilai
panjang gelombang yang lebih panjang (tinggi), dan sebaliknya.
4.5.3 Spektroskopi FTIR
Gambar spektrum FTIR dari kristal karoten yang berhasil diisolasi dapat dilihat pada
Gambar 4.14.
45
50075010001250150017502000250030003500400045001/cm
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
%T
3427
.51
2953
.02
2926
.01
2854
.65
2725
.42
2665
.62
2362
.80 23
35.8
0
1735
.93
1726
.29
1664
.57
1631
.78
1460
.11
1377
.17
1257
.59
1197
.79
1168
.86
1089
.78
1056
.99
1020
.34
970.
19
586.
36
karoten
Gambar 4.14 Spektrum FTIR kristal karoten
Beberapa puncak serapan yang khas bagi molekul karoten dapat diringkaskan pada Tabel
4.3.
Tabel 4.3 Data pucak spektrum FTIR kristal karoten dan interpretasinya
Puncak Serapan (cm-1) Vibrasi Gugus Fungsi 3427.51 O–H bebas, ulur 2953.02 2926.01 2854.65
C–H alifatik jenuh, ulur
2362.80 2335.80 CO2
1664.57 1631.78 C–H pada C=C terkonjugasi
970.19 C–H pada C=C konformasi trans
Puncak serapan yang diberi highlight abu-abu menandakan beberapa puncak yang tidak
diharapkan. Puncak O–H tidak diharapkan karena karoten seharusnya merupakan senyawa
pigmen yang hanya dibentuk oleh atom-atom karbon dan oksigen. Karoten yang teroksidasi
tidak lagi disebut karoten, melainkan xantofil. Puncak O–H diduga kuat berasal dari air
pengotor yang biasanya ada meskipun KBr yang digunakan selalu disimpan dalam oven
selama belum digunakan. Untuk membuktikannya, dilakukan pengukuran terhadap blanko
KBr yang menghasilkan spektrum seperti pada Gambar 4.15.
Puncak O–H yang tidak diharapkan
46
8001000120014001600180020002400280032003600400044001/cm
60
65
70
75
80
85
90
95
100
%T
3448
.72
023
35.8
0
kbr
Gambar 4.15 Spektrum FTIR KBr blanko
Gambar 4.15 dengan jelas menunjukkan adanya pengotor air pada plat KBr yang digunakan.
Spektrum blanko ini juga akan berlaku bagi pengukuran spektrum xantofil yang juga
menggunakan KBr (Gambar 4.16).
Gambar spektrum FTIR dari kristal xantofil yang berhasil diisolasi dapat dilihat pada
Gambar 4.16.
50075010001250150017502000250030003500400045001/cm
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
%T
3427
.51
2918
.30
2850
.79
2723
.49
2627
.05
2445
.74
2360
.87 23
37.7
221
23.6
320
75.4
120
27.1
9
1718
.58
1570
.06
1462
.04
1413
.82
1286
.52
1165
.00
1105
.21
1041
.56
964.
41
808.
17
721.
38 694.
3765
1.94
605.
6556
9.00
403
12
xantofil
Gambar 4.16 Spektrum FTIR kristal xantofil
Beberapa puncak serapan yang khas bagi molekul karoten dapat diringkaskan pada Tabel
4.4.
Puncak O–H dari pengotor air
47
Tabel 4.4 Data pucak spektrum FTIR kristal xantofil dan interpretasinya
Puncak Serapan (cm-1) Vibrasi Gugus Fungsi 3427.51 O–H bebas, ulur 2918.30 2850.79 C–H alifatik jenuh, ulur
2360.87 2337.72 CO2
1718.58 C=O pada αβ-tak jenuh 1413.82 O–H tekuk 1105.21 1041.56 C–O ulur
964.41 C–H pada C=C konformasi trans
Berbeda dengan spektrum yang diperoleh untuk karoten, spektrum xantofil menunjukkan
adanya serapan O–H yang kuat, dibarengi dengan adanya beberapa serapan khas senyawa
teroksigenasi seperti C–O dan C=O. Selain itu, kristal xantofil ini juga menunjukkan adanya
serapan-serapan khas yang masih identik dengan karoten, seperti serapan C–H alifatik dan
C=C. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa karoten yang terisolasi kemungkinan besar
memang merupakan suatu karoten teroksigenasi.
Gambar spektrum FTIR dari padatan klorofil yang berhasil diisolasi dapat dilihat pada
Gambar 4.17 sementara spektrum NaCl tanpa klorofil tidak ditampilkan karena tidak
menunjukkan adanya serapan (artinya, spektrum pada Gambar 4.17 tidak perlu dikoreksi).
50075010001250150017502000250030003500400045001/cm
-15
0
15
30
45
60
75
90
105
%T
4332
.12
4256
.90
4067
.87
4029
.30
3990
.72
3388
.93
3010
.88
2926
.01
2854
.65
2731
.20
2675
.27
2374
.37
2339
.65
1876
.74
1710
.86
1620
.21
1550
.77
1498
.69
1460
.11
1381
.03
1271
.09
1240
.23
1222
.87
1165
.00
1120
.64
1095
.57
1060
.85
1039
.63
964.
4193
5.48
918.
1278
8.89
721.
38
607.
58
480.
28
401
19
klorofil 2
Gambar 4.17 Spektrum FTIR padatan klorofil
48
Beberapa puncak serapan yang khas bagi molekul karoten dapat diringkaskan pada Tabel
4.5.
Tabel 4.5 Data pucak spektrum FTIR padatan klorofil dan interpretasinya
Puncak Serapan (cm-1) Vibrasi Gugus Fungsi 3388.93 N–H ulur pada amina sekunder atau imina 2926.01 2854.65
C–H ulur dari C–O–CH3 C–H pada N–CH2–
2374.37 2339.65 CO2
1710.86 C=O pada αβ-tak jenuh (ester & lakton) 1620.21 C–H pada C=C terkonjugasi 1550.77 N–H tekuk 721.38 CH2 rocking
Spektrum FTIR padatan klorofil mengandung banyak serapan yang khas bagi senyawa imina
dan amina sekunder, di samping adanya beberapa serapan yang khas bagi ester. Data FTIR
ini, bersama dengan data yang diperoleh pada uji-uji sebelumnya telah dapat
mengidentifikasikan dengan baik bahwa padatan berbentuk lemak yang berhasil diisolasi ini
merupakan molekul klorofil.