ii. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · untuk dapat mengangkat citra sebagai makanan...
TRANSCRIPT
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Daging Sei
Daging sei adalah suatu produk olahan dagitlg khas di Timor Propinsi
Nusa Tenggara Tinlur yang diolah secara tradisional dengan cara pengasapan.
Dipotong memanjang dengan diameter 2-2,5 cm diolah dengall cara pernberian
garam atau kuring dan dilanjutkan ddengan pengasapan dengan menggu~lakan
bahan bakar kayu keras kayu kosatnbi (Schleichera oleasa, Merr).
Produk daging sapi asap sei adalah makanan tradisional yang merupakan
~nakanan khas dari Nusa Tenggara Timur. Menurut Noor (1994) lnakanan
tradisional urllunl~~ya diolah secara tradisional dengan peralatan sederhana dalam
industri rumah tangga yang li~lgkunga~lnya kurang menunjang. Produknya kurang
dapat memenuhi standar ~nutu perdagangan. Kelemahan ini secara umum dapat
diperbaiki atau diatasi dengan menggunakan cara produksi yang baik (Good
Mailufacturing Practices) serta penggunaan bahan tambahan makanan (Food
additives) yang aman.
Prosedur pembuatan daging sei adalah daging sapi dipotong mema~ljang
selanjutnya digarami (dikuring). Bahan kuring yang digunakan adalall cat~lpurall
garam dapur dan sendawa (salpeter) dengan jumlah pemakaian 500 graln garam
dapur dan 150 gram sendawa untuk 20 kg daging sapi. Metode kuring yang
digunakan yaitu dengan menaburkan secara langsung bahau kuri~lg pada
permukaan daging sambil dilakukan peremasan. Daging kuring dibungkus dengan
karung plastik, diikat dan digantung. Lama penggantungan disesuaikan dengan
perlakuan lama kuring, lalu daging diasap selama + 90 menit, kemudian diangkat
dan didinginkau (Jaya, 1998).
Untuk dapat mengangkat citra sebagai makanan tradisional guna
menyukseskan penganekaragaman pangan, perlu dikaji faktor pendukung dan
formulasi sebagai makanan seimbang yang aman dan menarik, namuu tidak
kehilangan sifat asalnya (Noor, 1994).
B. Pengaruh Kuring Terhadap Daging Asap
Kuring adalah suatu proses yang dapat menghambat pertumbuhan
~nikroorganisme melalui penggunaan garaln NaCI, diikuti penggunaan garam
nitrit yang ditan~bahkan untuk melnpertahankan warna daging dan pengasapan
untuk nlengendalikan pertunlbuhan mikroorganisme dan n~encapai suatu rasa
daging yang diinginkan (Buckel et al, 1987). Menurut Soeparno (1994) kuring
adalah cara prosesing daging dengan menambahkan beberapa bahan seperti garam
NaC1, Natrium nitrit dan atau Natriu~n nitrat, dan gula (Dekstrosa atau sukrosa
atau pati hidrolisis) serta bumbu-bumbu.
Zat-zat yang biasa digunakan dalam proses kuring merupakan zat
penggurih dan zat pengawet (Frazier dan Westhoff, 1984). Pemakaian garam
NaCl akan menyebabkan terjadinya dehidrasi dan merubah tekanan osmotik
sehingga mempengaruhi pertu~nbuhan bakteri dan mikroba perusak (Kramlich et
al, 1982).
Maksud kuring antara lain adalah untuk mendapatkan warna yang stabil,
aroma, tekstur dan kelezatan yang baik, dan untuk mengurangi pengerutan daging
selama prosesing serta memperpanjang masa simpan produk daging
(Soeparno, 1994).
Garam dapur bekerja dengan cara dehidrasi dan merubah tekanan osmotic
pada produk sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang
mengakibatkan kerusakan lanjut. Penggunaan garam dapur tunggal pada produk
olahan daging kurang dapat diterinla konsumen, sebab selain warna produk gelap,
juga menyebabkan daging menjadi kering dan kasar. Kombinasi garam dapur dan
nitrit umum digunakan untuk memperbaiki penampakan dan flavor produk
(Pearson dan Tauber , 1984).
Menurut Kramlich et a1 (1982) ada empat fkngsi nitrit dalam daging
kuring yaitu : 1) untuk illenstabilkan warna daging , 2) mengl~an~bat pertumbuhan
tnikrobia perusak dan pembentuk racun, 3) menunda perkembangan ketengikan,
dan 4) berperan dalam pembentukan sifat flavor.
Sendawa disebut juga salpeter atau cllilli salpeter. Bahasa kilniauya
dikenal sebagai garan1 kalium nitratlchilli salpeter. atau natrium nitratlBenga1
salpefer (Winarno, 1997). Selanjutnya dikatakan bahwa pada akhir abad ke 19,
para ahli telah berhasil mengungkapkan penemuannya lebih dalam lagi yaitu
bahwa sendawa sendiri (garam nitrat) bukan penyebab merahnya daging, tetapi
penyebab sesuugguhnya adalah garam nitrit (NOz), dan sendawa berfungsi
sebagai sumber nitrit. Oleh bakteri penghasil nitrit, nitrat dapat direduksi menjadi
nitrit. Kemudian secara pasti dapat diketahui bahwa di dalam daging, nitrit
dipecah sehingga menghasilkan NO (nitroso). Senyawa ini mudah bereaksi
dengan pigmen dalam daging (myoglobin) dan pigmen dalam darah (heme)
dengan membentuk warna merah muda stabil yang disebut nitrosamyo chromogen
dan nitrosochemo chromogen.
Reaksi pembentukan warna daging ole11 nitrit ditunjukkan Pearson dan
Tauber (1984) sebagai berikut :
Nitrit p NO + Hz0
Tidak adanya sinar dan udara
NO + Mb +NO MMb
NOMMb + NOMb
NO Mb + panas + pengasapan + NO - henzochronzagen
(merah lnuda stabil)
Penan~bahan sendawa pada nlakanan ~nempunyai dua tujuan yaitu pertalna
karena mempunyai daya pencegah pertumbuhan clostridiunz botulinunz, sedang
tujuan kedua ialah untuk memberi warna dagiug. Tetapi kini tujuan kedua inilah
yang diberi sendawa akan tahan lebih lama dan berasa lebih lezat (Winarno,
1997).
Sodium nitrit bersifat sebagai antimikroba yang efektif, kllususnya
terlladap bakteri patogen seperti Clostridiunz botulinum, Clostridium perpingens
dan Slaphylococczis azireus (Soeparno, 1994). Mekanisme garam nitrit dalam
menghambat pertumbuhan bakteri patogen, khususnya Staphylococcus aureus
dengan cara mengganggu aktivitas Co A dan mengganggu metabolisme asam
piruvat. Nitrit juga menghanlbat produksi toksin dari Clostridiunl botulinurn
dengan cara menghanlbat pertumbuhan dan perkembangan spora atau dengan cara
melnbentuk senyawa penghambat apabila dipanaskan (Buchanon dan Solberg
1970 disitir Soeparno, 1994).
Proses kuring dapat dilakukan dengan berbagai cara sesuai dengan jenis
daging yang diolah, nalnun pada dasarnya merupakan kombinasi dari metode
kuring yaitu kuring basah dan kuring kering. Kuring basah dilakukan dengan
penambahan sejumlah air pada bumbu kering sehingga membentuk larutan garam
yang nle~nba~ltu pengangkutan bumbu ke dalam daging r~lelalui difusi. Kuring
kering merupakan penambahan bumbu kering pada daging tanpa penambahan air,
dalam ha1 ini bunlbu kering menarik banyak air dari dalam daging sehingga
membentuk larutan garam yang dapat terdifusi ke dalam daging (Kramlich et al,
1982).
Waktu yang diperlukan untuk kuring kering biasanya 2-2,5 hari tergantung
suhu dan banyaknya ballan kuring. Suhu kuring adalah 15-22,5'C (Kramlich et
al, 1982). Meningkatnya suhu kuring akan meningkatkan kecepatan penetrasi
bahan kuring kedalam daging, nalnun ha1 ini menuntut kebersihan yang ketat
karena resiko kerusakan yang ditimbulkan mikrobia bertambah (Hendrikson et a],
disitir ole11 Lawrie, 1974).
C. Penggunaan Nitrat dan Nitrit Dalam Makanan
Penggunaan ballan tamballan makanan di Indonesia diatur dalam peraturan
di bidang makanan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
No. 722lMenkesl PERIIX188.
Di dalam peraturan tersebut tercantum pula batas maksimum penggunaan
sendawa (kalium nitrat dan atau natrium nitrat) untuk daging olahan atau daging
awetan, yaitu sebanyak 500 mg per kilogran~ daging, dan bila dicampur dengan
nitrit, batas maksimum 125 mg per kilo gram daging, dihitung sebagai Natrium
nitrit dan atau Kalium nitrit.
Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat telah
nlengembangkan prosedur pengolahan yang dapat menghilangkan atau
nlenurunkan nitrosamin dalam daging kuring antara lain dengan penetapan batas
penggunaannya. Pada penggunaan kuring atau penggunaan awal dibolehkan
kadar natrium nitrit 156 ppm dan natrium nitrat 1700 ppm dengan residu nitrit
akhir kurang dari 200 pprn dan nitrat tidak melebihi 500 ppm.
Menurut USDA (United States Department of Agriculture), jumlah
nlaksimunl nitrit sebagai garam sodium atau potasium yang bisa ditambahkan
dalam kuring daging adalah 239,7 gram1100 liter larutan garam, 62,8 gran1f100 kg
daging untuk daging kuring kering.
Nitrit bersifat toksik bila dikonsumsi dalam jumlah yang berlebihan. Dosis
nitrit yang lebih dari 15-20 mglkg berat badan bisa menyebabkan kematian
(Forrest et al., 1975 disitir Soeparno, 1994). Menurut Soeparno (1994) produk
daging cured biasanya mengandung nitrit 20-40 kali lebih rendah daripada dosis
letal, sehingga masalah toksisitas nitrit dapat diabaikan bila penambaha~l nitrit ke
dalam produk daging proses disesuaikan dengan jumlah yang diizinkan.
Nitrat dan nitrit sebagai garam sodium atau potasium diperguuakan dalam
daging cured dengan tujuan (1) untuk mengembatlgkan warna daging menjadi
merah muda terang (jambon kemerah-merahan) dan stabil; (2) mempercepat
proses kuring, (3) preservatif mikrobial yang mempunyai pengamh bakteriostatik,
dan (4) sebagai agensia yang mampu memperbaiki flavor dan antioksidan (Cast,
1978 dalam Soeparno, 1994).
Penggunaan nitrat dan nitrit di dalam campuran bahan kuring daging dapat
dikombinasikan. Namun, nitrat sudah tidak asing atau dilarang penggunaannya di
dalam kuring daging, karena nitrit dapat bereaksi dengan cepat selatna proses
kuring tanpa adanya nitrit (Soeparno, 1994).
D. I<omposisi Asap
Kelompok seilyawa kimia yang terdapat pada asap kayu adalah karbonil
(aldehid dan keton), asam organik, fenol, basa organik, alkohol, hidrokarbon
(termasuk polisiklik aromatik), dan gas seperti karbondioksida, karbonmonoksida,
oksigen, dan nitrogen (Daun, 1989). Menurut Lawrie (1974) senyawa kimia
utama yang terdapat di dalam asap antara lain adalah asam formiat, asetat, butirat,
kaprilat, vanilat, asam siringat, dimetoksife~~ol, metil glioksal, furfural, metanol,
etanol, oktanol, asetaldehid, diasetil, aseston, dan 3,4 benzpiren.
Kayu keras pada unlumnya mengandung 40-60 % sellulosa, 20-30 %
hemisellulosa dan 20-30 % lignin. Disamping menghambat pertumbuhan
mikroorganisme dan memperbaiki flavor, asap juga menghambat oksidasi lemak
(Soeparno, 1994). Asap kayu terdiri dari 2 fase dispersi yaitu fase cairan yang
mengandung partikel asap, dan fase gas dispersi. Partikel asap tidak mempunyai
pengaruh yang berarti terhadap proses pembuatan daging asap (Foster dan
Simpson, 1961 disitir Soeparno, 1994). Fase gas atau uap dapat dikelompokkan
menjadi asam fenol, karbonil, alkohol dan polisiklik hidrokarbon (Hollenbeck dan
Marinelli, 1963 disitir Soeparno, 1994).
Jenis kayu keras, sabut kelapa dan tempurung kelapa menghasilkan asap
yang banyak. Asap dari kayu yang keras.pada bagian sellulosanya akan terurai
menjadi senyawa-senyawa yang sederhana. Senyawa-senyawa tersebut adalah
alkohol alifatik, aldehida, keton dan asam organik termasuk furfural,
formaldehida, asam-asam dan fenol yang merupakan bahan pengawet. Bagian
ligninnya pecah menjadi senyawa-senyawa fenol, quinol, dan senyawa
antioksidan dan pirogalol yang merupakan bagian dari 20 jenis senyawa
antioksidan dan antiseptik (Moeljanto, 1982).
Tempurung kelapa mempunyai komponen kin~ia yang hampir serupa
dengan jenis kayu keras. Komposisi kimia kayu dan tempurung kelapa disajikan
pada Tabel 2.
Pada tempurung kelapa terdapat garam-garam mineral 0,61 %, zat mineral
Tabel 2. Ko~nposisi Kimia Kayu dan Tenlpurung Kelapa
utama adalah garam kalium yaitu sekitar 45,Ol % dari total abu. Menurut
Woodroof (1979) keunggulan tempurung kelapa dari kelapa yang sudah tua,
Ternpurung Kelapa (5) 2)
33,60
36,51
29,27
Komposisi Kimia
Sellulosa
Lignin
Hen~isellulosa :
Pentosan
Heksosan
Resin
Protein
Abu
Sumber : 1) Zaitsev et al., 1969 2) Woodroof, 1979
Kayu Keras (%) 1)
54,O - 58,O
26,O - 29,O
10,O - 1 1,O
12,O- 14,O
2,O - 3,5
0,7 - ,08
0,4 - 0,8
dibandingkan bahan kayu, terutama adalah memiliki tingkat kadar air
kesetimbangan lebih rendah, yaitu sekitar 6 - 9 %, dibandingkan dengan kayu
yang berkisar 10 - 25 %.
Menurut Daun (1989) berdasarkan pengaruhnya pada nilai gizi produk
yang diasap, ko~nponerl asap dapat dibagi menjadi 4 golongan : 1) zat yang
melindungi penyusutan nilai gizi produk yang diasap dengan mencegah perubahan
kimiawi dan biologi yang yang merugikan (misalnya antioksidan dan bakterisida);
2) ko~nponen yang tidak menu~~jukkan kerja dari segi nilai gizi (partikel asap); 3)
senyawa yang berinteraksi dengan komponen bahan pangan dan menurunkan nilai
gizi produk yang diasap (misalnya karbonil bereaksi dengan gugus amino); dan 4)
kolnponen beracun (senyawa 3,4-benzpiren dan 1,2,5,6-fenantrasen).
Diantara berbagai senyawa organik dan anorganik yang karsinogen,
senyawa hidrokarbon polisiklis rnerupakan senyawa yang paling banyak terdapat
di alam yang dapat mencemari lingkungan (Rhee dan Bratzler, 1968). Senyawa
benzo (a) pyrene potensial sebagai karsinogen, oleh karena itu analisa hidrokarbon
polisiklis dari asap dan produk makanan hasil pengasapan semakin meningkat.
Namun menurut Daun (1979) konsentrasinya sangat rendah dalarn daging asap
dan bahkan dapat dihilangkan dengan penggunaan asap sebagai flavor.
Berbagai faktor dapat berperan dalam pembentukan hidrokarbon polisiklis
aromatis dalam asap dan makanan, diantaranya yang penting adalah komposisi
kayu dan suhu pirolisis (Tilgner, 1976) serta kandungan lemak daging (Doremire,
et. al., 1979).
Benzo (a) pyrene merupakan kelompok senyawa hidrokarbon polisiklis
aromatis (HPA) yang bersifat karsinogen dan telah dinyatakan sebagai indikator
kontaminasi HPA dalanl makanan. Kadarnya bervariasi beberapa bagian per
biliun (ppb). Di Jerrnan kadar maksinlum benzo (a) pyrene dalam bahan makanan
yang diijinkan adalah 1 ppb (1 pg/kg) (Tilgner, 1968, Girard, 1992; dalam Jaya,
1997).
E. Pengaruh Pengasaparl terlladap daging yang diasap
Pengasapan daging yang dimaksudkan untuk mernberikan kesempatan
pada gas-gas yang dihasilkan dari pembakaran kayu tertentu masuk ke dalam
bahan makanan dengan tujuan untuk mernperpanjang masa simpannya (Girard,
1992). Lebih lanjut dinyatakan bahwa pengasapan biasanya didahului dengan
kuring yang rnerupakan proses yang biasa dilakukan untuk pengawetan makanan.
Sedangkan menurut Soeparno (1994) maksud pengasapan daging adalah untuk
~neningkatkan flavor dan penanlpakan produk yang menarik .
Flavor daging asap tergantung pada reaksi antara kornponen asap dan
protein daging, misal fen01 dan polifenol akan bereaksi dengan grup amino
(Krylova et al, 1962 disitir Soeparno, 1994). Menurut Pearson dan Tauber (1984)
karakteristik flavor daging asap ulnumnya berasal dari komponen fenol dari fase
uap. Komponen fen01 yang memegang peranan utama dalam pembentukan flavor
adalah guaicol ; 4- nietil guaikol ; dan 2,6 - dimetoksifenol. Sedangkan komponen
fenol yang berperan dalanl pembentukan aroma adalah syringol.
Flavor yang diberikan ole11 asap bervariasi tergantung pada beberapa
kondisi yang digunakan untuk menghasilkan asap. Asap yang sama dapat
menghasilkan aroma yang berbeda dengan daging yang berbeda. Oleh karena itu
flavor produk pengasapan sedikit banyaknya tergantung pada reaksi antara
komponen - komponen asap dan grup fungsional dari protein-protein daging.
Dengan demikian fenol-fen01 dan polifenol-polifenol bereaksi dengan grup SH
dan karbonil-karbonil dengan grup atnino (Lawrie, 1974).
For~naldehid dari asap mempunyai pengaruh preservatif yang besar. Fenol
mempunyai aktivitas sebagai antioksidan yang menghambat ransiditas oksidatif.
Semua senyawa yang terkandung di dalam asap ikut lnenentukan karakteristik
flavor daging asap. Selama pengasapan, konlponen asap diserap ole11 pernlukaan
produk dan air interstisial didalam produk daging asap. Aldehid, keton, fenol. dan
asam-asam organic dari asap memiliki daya bakteriostatik dan atau bakterisidal
pada daging asap (Urbain, 1971 disitir Soeparno, 1994). Selanjutnya dikatakan
bahwa daging asap lne~npunyai stabilitas yang lebih besar dan masa simpan yang
lebih lama dari pada daging segar. Pengaruh bakteriostatik akan hilang bila
permukaan daging asap rusak. Disarnping kombinasi panas dan asap, dehidrasi
pennukaan, koagulasi protein dan deposisi resin dari hasil kondesasi forlnal dehid
dan fen01 merupakan penghalang kimiawi dan fisis yang efektif terliadap
pertumbuhan dan penetrasi ~nikroorganisme kedalam daging asap.
Pembentukan wama yang khas pada permukaan daging asap menurut
Ziemba (1969) disitir Sulandra (1992) gugus karbonil yang terdapat pada
komponen asap dengan asam amino pada daging. Reaksi ini terjadi sejenis dengall
reaksi non-enzimatis Mailard. Pearson dan Tauber (1984) menyatakan bahwa
gugus karbonil berasal dari deko~nposisi gula dan karbohidrat lainnya. Grup
karbonil merupakan komponen utama pada kayu asap yang memegang peranan
dalam pembentukan warna, sedangkan grup amino berasal dari dekomposisi
protein atau komponen nitrogen lainnya. Pembentukan warna secara langsung
berhubungan dengan konsentrasi pengasapan, temperatur dan kelembapatl pada
permukaan produk, dengan kelembapan 12-15'31 permukaan daging akan
menghasilkan pembentukan warna yang maksimal.
Penetrasi asap ke dalam produk daging sangat dipengaruhi ole11 densitas
asap, kecepatan dan sirkulasi udara dalarn ruang pengasapan, dan RH ruang
pengasapan, serta luas pertnukaan produk yang diasap. Semakin besar densitas
asap, akan senlakin cepat dan luas penetrasi asap kedalam produk. Semakin tinggi
kecepatan aliran udara dalam ruang pengasapan, senlakin banyak asap yang dapat
rnenempel pada pernlukaan produk. Kecepatan aliran udara ini perlu diatur
sehingga tidak terlalu cepat. Kecepatan aliran udara yang terlalu cepat dapat
menurunkan densitas asap. RH ruang pengasapan tidak hanya berpengaruh pada
laju penetrasi, tetapi juga pada sifat endapan asap. RH ruang yang tinggi akan
rnernpermudah endapan asap, sebaliknya pembentukan warna pada permukaan
daging asap menjadi terbatas. Kelen~baban permukaan daging turut
mempengaruhi penetrasi asap. Permukaan yang cukup lembab akan akan
mempermudah penetrasi asap, sebaliknya pernlukaan produk yang terlalu kering
akan mempersulit proses penetrasi asap ke dalam produk yang diasap (Pearson
dan Tauber, 1984).
Pengasapan mengakibatkan pengaliran gas yang akhirnya ~nengeringkan
produk yang diasap. Perubahan besar adalah susutnya air dan meningkatnya
kadar protein dan lemak per unit bobot bahan daging. Susut bobot dapat berkisar
dari 3 - 30 % (Shewan, 1949 disitir Daun, 1989). Menurut Daun (1989) setiap
perubahan nilai gizi yang terjadi akibat dehidrasi biasa, diduga berlangsung
dibawall kondisi pengasapan. Susutnya air menyebabkan ~eningkatan konsentrasi
garam, bahan kuring lainnya, dan komponen asap. Gejala ini agak khas untuk
pengasapan dan mungkin sekali menghasilkan perubahan tambahan dalam nilai
gizi produk yang diasap.
F. Penyinipanan Daging Asap
Dalam makanan masih terdapat sejun~lah kecil mikroba yang dapat
berkembangbiak dengan cepat bila kondisi penyimpanan meillungkinkan untuk
pertumbuhan dan perke~nbangbiakan lnikroba tersebut. Selanjutnya keadaan
inilah yang dapat menyebabkan kerusakan (kebusukan) makanan sebelum sampai
ke tangan konsumen atau bahkan dapat menyebabkan keracunan makanan jika
ditumbuhi bakteri patogen (Murhadi, 1994).
Tolok ukur yang digunakan untuk n~enentukan masa siinpan lnakanan
sangat ditentukan oleh jellis bahan pangan itu sendiri (Winarno, 1993).
Salah satu penyebab kerusakan bahan pangan adalah adanya kontaminasi
oleh mikroba. Mikroba perusak bahan pangan dapat digolongkan menjadi tiga
kelompok yaitu bakteri, kapang, dan khamir. Jenis kerusakan mikrobiologis pada
makanan ditandai dengan timbulnya kapang, kebusukan, lendir dan terjadinya
perubahan warna (Winarno, 1993).
Kerusakan daging olahan terdiri dari 2 jenis yaitu kerusakan flavor
(aroma) dan kerusakan penampilan (appearance). Kerusakan flavor daging olahan
ditandai dengan timbulnya ketengikan, pembusukan atau adanya bau asanl.
Kerusakan yang berhubungan dengan penampilan produk disebabkan oleh :
1) perubahan wama oleh adanya aktivitas mikrobia, 2) pertumbuhan mikrobia
mikroskopis dan 3) perubahan warna oleh agensia bukan mikrobia (Kramlich,
1982).
Kebusukan atau kerusakan daging ditandai ole11 terbentuknya senyawa-
senyawa berbau busuk seperti amoniak, H2S, indol dan amin yang merupakan
hasil pemecahan protein oleh mikroorganisme. Daging yang rusak
t~len~perlibatkan perubahan organoleptik, yaitu bau, warna, kekenyalan,
penampakan dan rasa. Diantara produk-produk metabolisme dari daging yang
busuk, kadaverin dan putresin merupakan dua senyawa diamin yang digunakan
sebagai indikator kebusukan daging (Fardiaz, 1999).
Daging asap dapat tetap awet dan tidak mengalami penurunan mutu yang
besar selama penyiinpanan dengan cara dikemas. Dalam menentukan bahan
kemasan perlu diketahui daya tahan kemasan, kekuatan kemasan, serta pengaruh
keinasan terhadap bahan yailg dikemas (Zakaria, 1996). Menurut Winarno (1993)
daging olahan memerlukan kemasan plastik PDVC (Polyvinylidene chlorida)
adalah pilihan yang baik untuk itu.
Beberapa jenis plastik seperti plastik polyetilene lebih biasa digunakan.
Menurut Syarief dan Santausa (1989) plastik polyetilene harganya murah, kuat,
dan transparan serta dapat direkatkan dengan panas.
Gangguan yailg paling umum terjadi pada bahan pangan adalah kehilangan
atau perubahan kadar air, pengaruh gas dan cahaya. Sebagai akibat perubahan
kadar air pada produk, maka akan timbul jamur dan bakteri, pengerasan pada
produk bubuk dan pelunakan pada produk kering. Akibat dari produk mengalami
kontak dengan oksigen yaitu tinlbulnya ketengikan pada produk yang berlemak
dan perkembangbiakan jasad renik (Syarief dan Sentausa, 1989).
Menurut fungsinya kemasan berfungsi sebagai (a) wadah untuk
menempatkan produk dan memberi bentuk sehingga memudahkan dalam
penyimpanan, pengangkutan dan distribusi. (b) memberi perlindungan terhadap
rnutu produk dari kontaminasi luar dan kerusakan, dan (c) untuk menambah daya
tarik produk (Syarief dan Irawati, 1989).