4. al-qur'an dan ilmu pengetahuan
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan sumber utama ajaran islam yang
didalamnya terkandung pokok-pokok ajaran Islam dan sumber Ilmu
pengetahuan tentang ke-Islaman. Banyak hal-hal yang telah digali
dari Al-Qur’an tersebut oleh para ilmuwan barat maupun para
ilmuwan muslim sendiri. Karena Al-Qur’an merupakan sumber
pokok orang Islam yang kebenarannya dapat dibuktikan.
B. Rumusan Masalah
Karena Al-Qur’an merupakan sumber pokok yang utama bagi
kita, oleh karena itu, apa bukti bahwa Al-Qur’an itu menjadi sumber
pokok kita?
C. Tujuan Penulisan
Alam penulisan kami kali ini, kami akan mencari bukti bahwa
Al-Qur’an merupakan suber pokok ajaran Islam. Dan kita
mengetahui kelebiahan Kitab Al-Qur’an dari kitab-kitab yang
lainnya, yang telah diturunkan sebelumnya.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENDAHULUAN
Dalam khazanah Islam terdapat dua kategori ilmu pengetahuan;
ilmu-Ilmu umum dan ilmu-ilmu agama. Adanya ilmu-ilmu umum
dipahami dalam Al Qur’an seperti; “Tidakkah kamu melihat bahwasanya
Allah menurunkan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-
buahan yang beraneka ragam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung
itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka ragam warnanya
dan ada pula yang hitam pekat. Dan demikian pula diantara manusia,
binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak yang
bermacam-macam warnyanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang
takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah orang-orang
yang berilmu, sesungguhnya Allah Maha Pengasih dan Penyayang.
”(QS. 35:27-28).
Sedangkan adanya ilmu-ilmu agama dapat dipahami dari ayat Al
Qur’an seperti; “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu
semuanya berperang (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. ” (QS. 9:122).
Demikianlah dua kelompok ilmu sebagaimana dipahami dari ayat-
ayat Al Qur’an. Kedua kelompok besar itu dapat dipandang sebgai
genus, dan cabang-cabangnya sebagai spesies, jadi, ada genus ilmu-
ilmu umum dengan spesiesnya sains, ilmu-ilmu social, dan ilmu-ilmu
budaya; ada pula genus-genus ilmu agama, dengan spesiesnya akidah,
fikih, tafsir, dan sebagainya. Dengan begitu, ilmu-ilmu agama memang
terpisah dari ilmu-ilmu umum. Hal itu mungkin besar gunanya dalam
rangka spesialisasi, sehingga mampu melahirkan kedalaman ilmu.
2
Namun demikian, lanjut Prof. Dr. Salman Harun, bukan berarti umat
Islam hanya mempelajari ilmu-ilmu agama belaka. Baik ilmu-ilmu
agama ataupun umum sama-sama penting dan harus didalami demi
kepentingan manusia di dunia dan akhirat. Sebab, sebagaimana
disinyalir oleh sebuah hadits, kebahagiaan di dunia diraih dengan ilmu-
ilmu umum, sedangkan kebahagiaan di akhirat dicapai dengan ilmu-
ilmu agama. Jdi, Islam menghendaki pengembangan kedua golongan
besar ilmu tersebut.
B. AL QUR’AN DAN ILMU PENGETAHUAN
Membahas hubungan Al Qur’an dengan ilmu pengetahuan,
menurut Quraish Shihab, bukan dinilai dengan banyaknya cabang-
cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula
dengan menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah, tetapi pembahasan
hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan
kemurnian dan kesucian Al Qur’an dan sesuai pula dengan logika ilmu
pemgetahuan itu sendiri.
Ilmu pengetahuan senantiasa memperbaharui teori dan analisis
seiring dengan perkembangan zaman. Sampai saat ini ilmu
pengetahuan masih dalam keadaan kurang lengkap, antara samar-
samar dan jelas, antara keliru dan mendekati kebenaran. Pada
awalmya ilmu pengetahuan bersifat perkiraan; kemudian meningkat
menjadi keyakinan. Tetapi kebenaran ilmu pengetahuan ini bersifat
nisbi. Tidak jarang pula kaidah-kaidah ilmiah yang pada awalnya
dianggap akurat dan benar, kemudian ternyata menjadi goyah; yang
pada awalnya dianggap mantap, kemudian menjadi goncang.
Membahas hubungan antara Al Qur’an dan ilmu pengetahuan
bukan dengan melihat, misalnya, adakah teori relativitas atau bahasan
tentang nagkasa luar; ilmu computer tercantum dalam Al Qur’an; tetapi
yang lebih utama adlah melihat adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi
kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adkah satu ayat Al
3
Qur’an bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan?
Dengan kata lain, meletakkannya pada sisi “social psychology”
(psikologi sosial) bukan pada sisi “history of scientific progress”
(sejarah perkembangan ilmu pengetahuan).
Al Qur’an sebagai kitab petunjuk yang memberikan petunjuk
kepada manusia untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat
dalam humgammya dengan ilmu pengetahuan adalah mendorong
manusia seluruhnya untuk mempergunakan akal pikirannya serta
menambah ilmu pengetahuannya sebisa mungkin. Kemudian juga
menjadikan observasi atas alam semesta sebagai alat utuk percaya
kepada setiap penemuan baru atau teori ilmiah, sehingga mereka dapat
mencarikan dalilnya dalam Al Qur’an untuk dibenarkan atau dibantah.
Bukan saja karena tidak sejalan dengan tujuan-tujuan pokok Al Qur’an,
tetapi juga tidak sejalan dengan ciri-ciri khas ilmu pengetahuan.
Cirri khas dari ilmu pengetahuan yang tidak dapat diingkari-
meskipun oleh para ilmuan- adalah bahwa ia tidak mengenal kata
“kekal”. Apa yang dianggap salah di masa silam misalnya, dapat diakui
kebenarannya di masa modern.menurut Robert Fascher, ilmu
pengetahuan adalah terjemahan dari kata bahasa Inggris, science,
yang berarti pengetahuan. Kata science itu sendiri berasal dari bahasa
Yunani, scientia, yang berarti pengetahuan. Namun pengertian yang
umu dipergunakan, ilmu pengetahuan adalah himpunan pengetahuan
manusia yang dikumpulkan melalui proses pengkajian dan dapat
diterima oleh rasio.
Malik bin Nabi di dalam kitabnya Intaj al-Mustasyriqin wa Atsarahu
di al-Fikry al-Hadits, seperti yang dikutip oleh M. Quraish Shihab,
menulis bahwa ilmu pengetahuan adalah sekumpulan masalah serta
sekumpulan metode yang dipergunakan menuju tercapainya masalah
tersebut.
4
Selanjutnya ia menerangkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan
bukan hanya terbatas dalam bidang-bidang tersebut, tetapi bergantung
pula pada sekumpulan syarat-syarat psikologis dan sosial yang
mempunyai pengaruh negatif dan positif sehingga dapatmenghambat
kemajuan ilmu pengetahuan atau mendorongnya. Jika definisi di atas
ditarik benang merahnya, maka dapat disimpulkan bahwa ilmu
pengetahuan adalah fakta-fakta pengalaman manusia yang disusun
secara seksama dan sistematis sehingga ia merupakan satu kesatuan
yang utuh dan saling berkaitan. Fakta-fakta tersebut diperoleh melalui
proses pengkajian yang mendalam, seperti pengamatan, penguraian
dan penyimpulan.
Berkaitan dengan hal tersebut, yang harus dilakukan oleh para
peneliti berkaitan dengan teori-teori social yang didasarkan kepada al-
Quran, menurut Kuntowijoyo, adalah kita perlu memahami al-Quran
sebagai paradigm. Apa yang dimaksud dengan “paradigma” disini
adalah seperti yang dipahamai oleh Thomas Kuhn bahwa pada
dasarnya realitas social itu dikonstruksi oleh mode of thought atau
mode of inquiry tertentu, yang pada gilirannya akan menghasilkan
mode of knowing tertentu pula. Immanuel Kant, misalnya, menganggap
“cara mengetahui” itu sebagai apa yang disebut skema konseptual;
Marx menamakannya sebagai ideology; dan Wittgenstein melihatnya
sebagai cagar bahasa.
Dalam pengertian ini, lanjut Kuntowijoyo, paradisma al-Quran
berarti –sesuatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita
memahami realitas sebagaimana al-Quran memahaminya. Konstruksi
pengetahuan itu dibangun al-Quran pertama-tama dengan tujuan agar
kita memiliki “hikmah” yang atas dasar itu dapat dibentuk perilaku yang
sejalan dengan nilai-nilai normative al-Quran, baik pada level moral
maupun sosial. Konstruksi pengetahuan itu juga memungkinkan kita
merumuskan desain besar mengenai sistem Islam, termasuk dalam hal
sistem ilmu pengetahuannya. Jadi, di samping memberikan gambaran
5
aksiologis, paradigm al-Quran juga dapat berfungsi untuk memberikan
wawasan epistemologis.
Pada umumnya, menurut Prof. Dr. Achmad Baiquni, kegiatan
utama daripada pengembangan ilmu pengetahuan adalah rangkaian
kegiatan mulai dari observasi dan pengukuran yang dilakukan dalam
pemeriksaan yang diperintahkan Allah SWT, dan pengakuan akal serta
fikiran untuk menganalisa data untuk sampai pada kesimpulan yang
rasional.
Sebagaimana disebutkan di atas, ciri khas dalam ilmu
pengetahuan, baik yang termasuk dalam ilmu-ilmuumum atau ilmu-ilmu
agama, adalah pengetahuan akal atau rasio dan dapat diterimanya oleh
akal dan rasio tersebut. Di dalam al-Quran tersimpul ayat-ayat yang
menganjurkan untuk menggunakan akal pikiran dan menggunakan
hasil. Allah berfirman; Katakanlah hai Muhammad: “Aku hanya
menganjurkan kepadanya satu hal saja, yaitu berdirilah karena Allah
berdua-dua atau bersendiri-sendiri, kemudian berfikirlah.” (QS. 34-36).
Dalam al-Qurantidak ada satu pun yang bertujuan untuk
melumpuhkan akal sehingga menghalangi seseoran untuk memikirkan
maknanya. Tidak sedikit ayat al-Quran yang menganjurkan supaya
berfikir, merenungkan penciptaan Allah yang Maha Kuasa dan
Bijaksana. Dan tidak ada pula sesuatu yang merintangi akal untuk
memperoleh tambahan ilmu pengetahuan seluas-luasnya dan sedalam-
dalamnya. Nagi setiap muslim semua kemungkinan itu dijamin oleh al-
Quran. Hal itu sama sekali tidak terdapat dalam kitab suci agama-
agama lain. Al-Quran membuka pemikiran dan pandangan manusia
untuk melihat dan merenungi tanda-tanda kekuasaan Allah pada
ciptaan-Nya. Segala ciptaan-Nya dapat dijadikan sebagai gerbang ilmu
pengetahuan, seperti; “Sesungguhnya pada penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
6
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata); “Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha
Suci Engkau, maka peliharalah kami dari azab neraka.” (QS. 3:190-
193)
Betapa banyak ayat-ayat al-Quran yang mendorong kaum muslim
agar mempergunakan akalnya untuk menganalisis kekuasaan dan
peringatan-peringatan Allah dalam rangka mengembangkan ilmu
pengetahuan. Bagi orang yang beriman ketinggian martabat justru
diraih dengan iman dan ilmunya. Dalam hubungan ini, Allah berfirman;
“… Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” (QS.
58:11). Atau “Katakanlah, adakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang-orang yang tidak mengetahui?...” (QS. 39:9)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin maju dan
berkembang ilmu pengetahuan, maka semakin tampak dan semakin
jelas kemukjizan dan kebenaran al-Quran. Semakin tinggi ilmu
pengetahuan seseorang, maka semakin kuat pula keimanannya
kepada kebenaran ayat-ayat Allah. Al-Quran tidak menghendaki
kemungkinan adanya pertentangan dan keraguan ketika terjadi
perubahan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan, atau pada saat kaidah-
kaidah itu mengikuti hasil penemuan baru yang merobohkan pemikiran
lama.
Kata-kata atau pernyataan yang dipakai dalam al-Quran untuk
menggambarkan perbuatan berfikir, bukan hanya kata “aqala”, tetapi
juga kata-kata sebagai berikut: Pertama, “Nazara”, yaitu melihatsecara
abstrak, dalam arti, berfikir dan merenung. Kata ini terdapat dalam 30
ayat lebih, di antaranya: “Apakah mereka tidak memperhatikan unta
bagaimana ia diciptakan? Dan langit bagaimana ia ditinggikan ? Dan
gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana
dibentangkan?” (QS. 88:17-20)
7
Kedua, “Tadabbara”, yaitu menerangkan sesuatu yang terseurat
dan tersirat, misalnya; ”Tidakkah mereka merenungkan al-Quran
ataukah hati telah terkunci.” . (QS. 47:24)
Ketiga, “Tafakkara”, yaitu berfikir secara mendalam. Hal ini ada di
dalam 16 ayat, di antaranya; “Ia buat segala apa yang ada di langit dan
apa yang ada di bumi tunduk padamu, semuanya adalah dari-Nya,
padanya sungguh terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mau berpikir”.
(QS. 45:13).
Keempat, “Faqiha”, yaitu mengerti secara mendalam. Hal ini
terdapat di dalam 16 ayat, di antaranya; “Tidak sepatutnya bagi orang-
orang yang mukmin itu semuanya berperang (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan
untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. ” (QS.
9:122).
Kelima, “Tazakkara”, yaitu berarti mengingat, memperoleh
peringatan, mendapat pelajaran, memperhatikan dan mempelajari,
yang semuanya mengandung perbuatan berpikir dalam upaya
pengenbangan ilmu pengetahuan. Di dalam Al Qur’an kata ini
disebutkan di dalam 40 ayat, di antaranya; “Apakah yang menciptakan
sama dengan tidak menciptakan? Apakah kamu tidak perhatikan?”
(QS. 16:17).
Keenam, “Fahima”, yaitu memahami dalam bentuk pemahaman
yang mendalam, seperti; “Dan Daud serta Sulaiman sewaktu
menentukan keputusan tentang lading, ketika domba orang masuk ke
dalamnya pada malam hari, dan Kami menjadi saksi atas keputusan itu.
Kami buat Sulaiman memahaminya dan kepada keduanya Kami
berikan nikmat dan ilmu. Kami jadikan bersama Daud gunung dan
8
burung tunduk memuja Kami. Kamilah Pembuat semua itu”. (QS. 21:
78-79).
Dalam penggunaan akal tidak terbatas pada masalah kealaman
saja tetapi juga dalam bidang keagamaan. Hal ini bias terjadi karena
ayat-ayat Al Qur’an yang jumlahnya kurang lebih dari6.250 itu, hanya
kira-kira 50 ayat yang mengandung ajaran mengenai akidah, ibadah
dan hidup kemasyarakatan. Di samping itu, terdapat pula kurang lebih
150 ayat yang menyinggung fenomena-fenomena alam dan yang lebih
dikenal dengan ayat kawniyah, yaitu ayat-ayat yang tentang kejadian
atau kosmos, nature. Pada umumnya ayat-ayat itu dating dalam bentuk
prinsip-prinsip dan garis-garis besar tanpa penjelasan mengenai
perincian maupun cara pelaksanaannya. Dalam memahami perincian
dan cara pelaksanaannya itulah banyak digunakan akal oleh para
ulama dan para ulama dan ilmuwan muslim.
Selanjutnya, sebagai contoh di sini dikemukakan beberapa ayat,
mengenai beberapa cabang ilmu-ilmu pengetahuan, yang disebutkan
secara eksplisit dalam Al Qur’an, yaitu pertama, ilmu falak (astronomi);
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar cemerlang dan bulan
bercahaya terang, dan ditetapkannya tempat-tempat peredarannya
(orbit) supaya kamu dapat mengetahui bilangan tahun dan
perhitungannya; Allah menjadikan itu dengan sebenarnya, dan
informasi ini disampaikan kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS.
10:5).
Kedua, berkaitan dengan hewan (zoologi), seperti; “Dan di antara
binatang ternak itu ada yang dijadikan untuk pengangkutan dan ada
disembelih; makanlah dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu;
dan janganlah kamu mengikuti perilaku syaitan, sesungguhnya syaitan
itu musuhmu yang nyata.” (QS. 6:142).
Ketiga, berkaitan dengan ilmu tumbuh-tumbuhan (botani), seperti;
“Dan di atas bumi ini terdapat lahan-lahan yang berdampingan, kebun-
9
kebun anggur, tanaman-tanaman, dan pohon-pohon kurma yang
bercabang dan tidak bercabang, disirami dengan air yang sama; Kami
melebihkan rasa sebagian tanaman itu atas sebagian yang lain,
sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda keagungan
Allah bagi orang yang berakal.” (QS. 13:4).
Keempat, berkaitan dengan ilmu alam (fisika), seperti; “Dan bumi
Kami bentangkan serta Kami tegakkan gunung-gunung di atasnya dan
Kami tumbuhkan segala macam tanaman yang indah di atasnya agar
menjadi peljaran dan peringatan bagi setiap hamba yang kembali pada
Allah.” (QS. 50:7-8).
Kelima, berkaitan dengan ilmu bumi (geografi), seperti; “Dan Kami
jadikan langit antar mereka dan negeri yang Kami berkati padanya
yaitu beberapa kota yang mudah kelihatan dan Kami tentukan di sana
batas-batas perjalanan, maka berjalanlah kalian di sana dengan aman
baik di waktu siang maupun di malam hari.” (QS. 34:18).
Dengan memperhatikan ayat-ayat di atas, nampak jelas bahwa Al
Qur’an banyak berisi perintah yang menyuruh manusia memperhatikan
alam dengan melalui penelitian yang berulang-ulang dan teliti serta
pengumpulan data yang secara sistematis yang kemudian dianalisis
untuk memperoleh kesimpulan tentang apa yang diteliti atau
diobservasi untuk dihimpun sebagai pengetahuan.
Walaupun demikian, tujuan pengunkapan ayat-ayat tersebut adalah
untuk menunjukkan kebesaran Tuhan dan ke-Esa-an-Nya, serta
mendorong manusia mengadakan observasi dan penelitian demi lebih
menguatkan iman dan kepercayaan kepada-Nya. Mengenai hal ini,
Mahmud Syaltut mengatakan dalam tafsirnya; “SesungguhnyaTuhan
tidak menurunkan Al Qur’an untuk menjadikan satu kitab yang
menerangkan kepada manusia mengenai teori-teori ilmiah, problem-
problem seni serta aneka warna pengetahuan.”
10
Sebagai makhluk yang diberi kelebihan-kelebihan, manusia
dijadikan penguasa di bumi dengan tugas, kewajiban dan segala
tanggung jawab. Dia harus melakukan pengelolaan yang baik. Untuk itu
ia harus mengetahui dan memahami benar-benar sifat dan kelakuan
alam di sekitarnya yang harus dikelolanya; baik yang bernyawa
maupun yang hidup di sekitar masyarakat. Pengetahuan dan
pemahaman ini dapat diperolehnya karena manusia hidup di dalam,
dan dapat menginderakan alam fisis di sekelilingnya.
Mengingat pentingnya pemahaman sifat dan kelakuan alam di
sekeliling kita, maka Allah memerinyahkan dalam Al Qur’an:
“Katakanlah (hai Muhammad): periksalah apa-apa yang ada di langit
dan di bumi.” (QS. Yunus:101). Dari kegiatan ini diharapkan orang
dapat memperoleh pengetahuan yang berguna baginya dalam
menjalankan peranannya sebagai khalifah di bumi dan sekaligus demi
kebahagiaannya hidup di dunia maupan di akhirat.
C. POSISI AL QUR’AN DALAM BERBAGAI STUDI KEISLAMAN
Al Qur’an tidak hanya sebagai petunjuk bagi suatu umat tertentu
dan untuk periode waktu tertentu, melainkan menjadi petunjuk yang
universal dan sepanjang waktu. Al Qur’an itu pun patut bagi setiap
zaman dan tempat. Oleh karena itu, petunjuknya sangat luas seperti
luasnya umat manusia dan meliputi segala aspek kehidupan.
Dengan adanya Al Qur’an, maka muncullah berbagai ilmu
pengetahuan Islam. Karena ingin memahamiisi kandungan Al Qur’an,
orang menciptakan ilmu tafsir. Karena ingin mengerti maksud Al
Qur’an, orang bertanya kepada Nabi Muhammad. Dan ucapan
(penjelasan), atau perbuatan Nabi, atau penetapannya menjadi
penjelasan maksud Al Qur’an. Dengan demikian muncul ilmu hadits.
Karena ingin membaca Al Qur’an dengan benar sesuai dengan kaidah
bahasa Arab, muncullah ilmu nahwu/sharaf. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa di dalam Al Qur’an, seperti yang dikatakan oleh M.
11
Quraish Shihab, terdapat jiwa ayat-ayat yang mendorong terhadap
kemajuan ilmu pengetahuan, baik ilmu-ilmu umum atau ilmu-ilmu
agama.
Setidaknya, menurut Harun Nasution, terdapat banyak ayat Al
Qur’an seperti; pertama, ayat-ayat mengenai dasar-dasar keyakinan
atau kredo dalam Islam yang darinya lahir teologi Islam. Kedua, ayat-
ayat mengenai hokum yang melahirkan hukum-hukum Islam yang
kemudian disebut fiqh. Ketiga, ayat-ayat mengenai budi pekerti luhur
yang melahirkan etika Islam atau ilmu akhlak. Keempat, ayat-ayat
mengenai dekat dan rapatnya hubungan manusia dengan Tuhan yang
kemudian melahirkan mistisme Islam atau ilmu tasawwuf. Kelima, ayat-
ayat mengenai tanda-tanda dalam alam yang menunjukkan adanya
Tuhan, yang membicarakan soal kejadian alam di sekitar manusia.
Ayat-ayat yang serupa ini menumbuhkan pemikiran filosofis dalam
Islam yang kemudian disebut filsafat Islam. Dan masih banyak ayat-
ayat lain yang menyangkut hubungan golongan yang kaya,
hubungannya dengan sejarah umat sebelumnya dan umat-umat
sebelum Nabi Muhammad.
1. Teologi Islam
Dilihat dari segi etimologi (logat) ataupun dari segi
terminologinya (istilah), teologi sendiri terdiri dari asal kata
“Theos” yang mempunyai arti “Tuhan”, dan “Logos” mempunyai
arti “ilmu”. Jadi arti teologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
Tuhan.
Dalam encyclopedia Everyman’s di sana disebutkan bahwa
teologi adalah pengetahuan tentang Tuhan, di mana manusia
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Tuhan.
Sementara Collins dalam kamus “New English Dictionary”
mengatakan bahwa teologi merupakan ilmu yang membahas
12
tentang fakta-fakta dan gejala-gejala agama dan hubungan-
hubungan antara Tuhan dengan manusia.
Dalam sejarah pemikiran Islam, teologi dalam tradisi Islam
disebut dengan ilmu kalam, dan ini berkembang mulai dari abad
pertama Hijri. Adapun aliran teologi yang pertama kali dating
adalah aliran Mu’tazilah. Sedangkan aliran yang kedua adalah
Asy’ariah, aliran ini timbul dikarenakan sebagai reaksi dari aliran
Mu’tazilah yang mereka anggap bahwa dari setiap pernyataan-
pernyataan yang dikeluarkan oleh Mu’tazilah dapat
menyesatkan.
Sebenarnya, ada banyak perbedaan penafsiran yang terjadi
antara aliran Mu’tazilah dengan aliran Asy’ariah, Mu’tazilah
memberikan kedudukan yang tinggi terhadap akal, tidak
terhadap wahyu. Berbeda dengan Asy’ariah yang member
kedudukan tinggi terhadap wahyu, tidak terhadap akal.
Karena Mu’tazilah memberikan kedudukan yang tinggi
terhadap akal, maka teologi Mu’tazilah bercorak rasional.
Disebut rasional di sini, karena dalam setiap memahami ayat-
ayat al-Quran, mereka selalu berpikir secara rasional. Mereka
berusaha mencoba mencari kesamaan atau memadukan arti
teks yang terdapat dalam al-Quran dengan pendapat akal.
Karena dalam setiap menafsirkan al-Quran, Mu’tazilah selalu
menggunakan penafsiran secara majazi atau mitaforis, bukan
menggunakan penafsiran secara harfiah atau literlek. Seperti
contoh wajah Tuhan, dalam penafsiran Mu’tazilah wajah Tuhan
berarti esensi Tuhan dan tangan Tuhan yang diartikan
kekuasaan Tuhan. Berbeda dengan Asy’ariah, bagi Asy’ariah
wajah Tuhan tetap mempunyai arti wajah dan tangan Tuhan
berbeda dengan wajah dan tangan manusia.
13
Mu’tazilah sendiri mempunyai alas an yang kuat kenapa
harus menggunakan akalnya dalam setiap menafsirkan ayat-ayat
al-Quran, dengan menggunakan dalil yang ada dalam al-Quran
pada ayat 53 surat Fussilat, ayat 17 surat al-Ghasyiyah, ayat 185
al-A’raf: “Akan kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kekuasaan) Kami di segenap ufuk (penjuru) dan dari mereka
sendiri, sehingga nyata bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah
benar”. (QS. 41:53). “maka apakah memperhatikan unta
bagaimana dia diciptakan?” (QS. 88:7)
Dari kedua ayat di atas, dapat kita simpulkan bahwa Allah
mewajibkan kepada kita untuk merenungkan dan memikirkan
setiap apa yang telah Allah ciptakan, agar manusia dapat
mengetahui kekuasaan-Nya dan bahwa Dia adalah Sang
Pencipta. Secara tidak langsung kita diperintahkan untuk
beriman kepada-Nya sebelum turunnya wahyu, karena manusia
dengan akalnya dapat mengetahui apa yang buruk dengan apa
yang wajib untuk dikerjakannya.
Berbeda dengan aliran Asy’ariah yang memberikan
kedudukan lebih rendah terhadap akal dan memberikan
kedudukan yang tinggi terhadap wahyu, maka corak dari
pemikirannya sendiri bersifat tradisional. Disebut tradisional di
sini karena dalam setiap memahami arti dari teks-teks al-Quran,
mereka selalu terjebak pada tradisi memahami ayat secara
harfiah. Tanpa berusaha mencari kesamaan antara pendapat
yang terdapat pada teks-teks al-Quran itu sendiri.
Sementara Asy’ariah sendiri lebih cenderung terhadap
wahyu daripada akal dikarenakan bahwa mereka berpegang
pada ayat 134 suat Taha, ayat 15 surat al-Isra: “Dan sekiranya
Kami binasakan mereka dengan suatu azab sebelum al-Quran
itu (diturunkan), tentulah mereka berkata: “Ya Tuhan kami,
mengapa tidak Engkau utus seorang rasulkepada kami, lalu kami
14
mengikuti ayat-ayat Engkau sebelum kami menjadi hina dan
rendah?” (QS. 20:134). Dan ayat; “Dan Kami tidak akan
mengazab sebelum Kami mengutus seorang Rasul”. (QS. Al-
Isra, 17:15).
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa Allah tidak akan
menurunkan azabnya atau pun siksa bagi hamba-Nya sebelum
mengutus seorang Rasul ke atas muka bumi. Ini berarti bahwa
tidak ada kewajiban apapun bagi seorang hamba sebelum
diutusnya seorang Rasul ke atas muka bumi ini.
Secara keseluruhan, al-Asy’ari di sini mencoba menciptakan
suatu posisi moderat dalam hamper semua isu teologis yang
selama ini menjadi perdebatan, ia membuat penalaran yang
tunduk terhadap wahyu dan menolak “kehendak bebas” manusia
dalam kebaikan yang dilakukan secara sukarela, yang
menghilangkan kehendak bebas manusia yang kreatif dan lebih
menekankan kekuasaan Tuhan dalam setiap kejadian yang ada
di belakang ayat-ayat al-Quran.
Dalam paham Asy’ariah segala sesuatunya serba Tuhan,
dan serba wahyu dengan sedikit sekali menggunakan akal
pikiran. Hal ini ditambah lagi dengan penempatan Tuhan yang
mempunyai kuasa secara mutlak, dengan sekehendak-Nya,
seakan-akan tidak pernah memperdulikan manusia itu sendiri
apakah mampu dalam melaksanakan semua kehendak Tuhan
atau tidak. Dengan demikian, jelas bahwa teologi Asy’ariah
sangat kuat berpegang pada wahyu dan kehendak mutlak
Tuhan, karena semuanya berawal dan berakhir pada-Nya. Jadi
wajar rasanya kalau seandainya banyak yang beranggapan
bahwa teologi Asy’ariah itu bercorak tradisional.
Dalam ilmu teologi juga dibahas tentang orang-orang yang
beriman, kafir, musyrik dan sebagainya. Juga terdapat
15
pembahasan mengenai pahala dan siksa di akhirat. Semua
masalah yang dibahas dalam teologi Islam terdapat dalam al-
Quran, sebagaimana dalam pembicaraannya mengenai para
nabi dan rasul, seperti: “Hai orang-orang yang beriman, yakinlah
kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang diturunkan-
Nya kepada rasul-Nya, dan kepada kitab-kitab yang diturunkan-
Nya terdahulu. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-
malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari
kemudian maka sesungguhnya orang itu telah sesat jalan
sejauh-jauhnya.” (QS. 4:136)
2. Ilmu Hukum (Fiqh)
Hukum Islam atau fiqh didefinisikan sebagai ilmu yang
membahas tentang hukum-hukum syariat yang bersifat amaliah
praktis, diambil dari dalil-dalil yang terinci. Dalil-dalil yang
dimaksud dalam definisi tersebut antara lain bersumber pada Al
Qur’an. Al Qur’an sebagai wahyu Allah yang paling sempurna
dan terakhir untuk manusia, harus dijadikan pedoman utama,
bahkan tunggal bagi manusia sebagai sumber hukum.
Kerangka-kerangka pernyataan Al Qur’an cukup universal
dan konkret, memasukkan sikap-sikap tertentudalam kehidupan.
Ia tidak hanya menyatakan prinsp-prinsip spiritual dan moral
yang eksternal, melainkan juga membimbing nabi Muhammad
dan masyarakat Islam permulaan dalam perjuangan melawan
musuh orang-orang Mekah, Yahudi, dan Munafik; dan dalam
menyusun tugas-tugas kemasyarakatan dan kenegaraan yang
baru tumbuh. Berbagai perjuangan dan pengajaran konstruktif
merupakan sifat yang khas. Di dalam Al Qur’an juga terdapat
pernyataan terinci tentang hukum warisan dan penetapan
hukuman terhadap tindkan criminal seperti perzinahan, yang
secara hukum tidak ditentukan, namun di dalmnya terdapat
pernyataan sedikit yang layak, yakni prundang-undangan seperti
16
perintah-perintah khusus untuk perjuangan melawan atau
berhubungan dengan orang-orang nonmuslim. Berbagai hal itu
sesuai dengan situasi dan sangat spesifik untuk disebut hukum.
Semua masalah hukum tersebut dibicarakan di dalam Al
Qur’an. Ayat-ayat yang mengandung masalah hukum disebut
ahkam. Ayat-ayat menjadi dasar bagi hukum yang dipakai untuk
mengatur masyarakat dalam Islam. Dibandingkan dengan jumlah
6360 ayat yang terkandung di dalam Al Qur’an, ayat ahkam
hanya sedikit. Menurut angka-angka yang diberikan Abd Al
Wahhab Khallaf. Jumlah itu hanya 5,8 persen dari seluruh ayat
Al Qur’an dengan perincian sebagai berikut; 140 ayat tentang
ibadah shalat; puasa, haji, zakat, dan lain-lain, 10 ayat tentang
hidup berkeluarga, 70 ayat mengenai perdagangan, 30 ayat
tentang soal criminal, 25 ayat tentang hubungan Islam dan non
Islam, 13 ayat mengenai soal pengadilan, 10 ayat tentang kaya
dan miskin, dan 10 ayat tentang kenegaraan.
3. Ilmu Akhlak
Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa Arab,
yaitu isim mashdar (bentuk infinitif) dari akhlaqa, yukhlaqu,
ikhlaqn, sesuai dengan timbangan (wazan) tsulasi mazid af’ala,
yuf’ilu, if’alan, yang berarti al sajiyah (perangai), at tabi’ah
(kelakuan, tabiat, watak dasar), al adat (kebiasaan, kelaziman),
al maru’ah (peradaban yang baik), dan ad din (agama).
Namun akar kata akhlak dari akhlaqa sebagaimana tersebut
di atas tampaknya kurang pas,sebab isim mashdar dari kata
akhlaqa bukan akhlak tetapi ikhlaq. Berkenaan dengan ini maka
muncul pendapat yang mengatakan bahwa secara limguistik
kata akhlaq merupakan isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu
isim yang tidak memiliki akar kata, malainkan kata tersebut
sudah demikian adanya. Kata akhlaq adalah jamak dari kata
17
khaliqun atau khuluqun yang artinya sama dengan arti akhlaq
sebagaimana telah disebutkan di atas. Baik kata akhlaq atau
khuluq kedua-duanya dijumpai pemakaiannya baik dalam Al
Qur’an, maupun dalam Al Hadits, sebagai berikut; “Dan
sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”
(QS. 68:4). Atau “(Agama kami) ini tidak lain hanyalah alat
kebiasaan yang dahulu.” (QS. 26:137).
Dalam hadits Rasulullah SAW. Disebutkan, seperti, orang
mkni yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang
sempurna akhlaqnya. (HR Tirmidzi). Atau, bahwasanya Aku,
kata Rasulullah ditus Allah untuk menyempurnakan keluhuran
budi pekerti. (HR Ahmad).
Ayat yang pertama disebut di atas menggunakan kata khuluq
untuk budi pekerti, sedangkan ayat yang kedua menggunakan
kata akhlaq untuk ari adat kebiasaan. Selanjutnya hadits yang
pertama menggunakan kata khuluq yang juga digunakan untuk
arti budi pekerti. Dengan demikian kata akhlaq atau khuluq
secara kebahasaan berarti budi pekerti, adat kebiasaan,
perangai, muru’ah atau segala sesuatu yang sudah menjadi
tabiat. Pengertian akhlaqdari sudut kebahasaan ini dapat
membantu kita menjelaskan pengertian akhlaq dari segi istilah.
4. Ilmu Tasawuf
Tasawuf atau sufisme bertujuan agar seseorang secara
sadar memperoloh hubungan langsung dengan Tuhan, sehingga
disadari benar bahwa ia berada di hadirat Tuhan. Paham bahwa
Tuhan dekat dengan manusia yang merupakan ajaran dasar
tasawuf itu terdapat dalam Al Qur’an dan hadits. Allah berfirman
dalam surat Al Baqarah ayat 186; “Jika hamba-hambaKu
bertanya padamu tentang diri-Ku. Aku adalah dekat. Aku
18
mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia
memohon kepada-Ku.” (QS. 2:186).
Kata doa yang terdapat dalam ayat ini oleh sufi diartikan
bukan berdoa dalam arti yang lazim dipakai, tetapi mereka
artikan berseru, memanggil. Tuhan mereka seru, dan Tuhan
melihat-Nya kepada mereka.
Ayat lain yang berkaitan dengan ilmu tasawuf adalah: “Timur
dan Barat kepunyaan Allah, maka kemana saja kamu berpaling
di situ (kamu jumpai) wajah Allah.” (QS. 2:115).
Bagi kaum sufi, ayat tersebut mengandung arti bahwa Tuhan
dapat dijumpai di mana saja.
5. Filsafat Islam
Filsafat Islam adalah ilmu yang berbicara tentang segala
sesuatu yang ada untuk dicari hakikat atau dasar serta prinsip-
prinsipnya secara sistematik, radikal dan universal. Ilmu ini pada
awalnya muncul melalui kontak dengan filsafat Yunani yang
dijumpai kaum muslim di Alexandria, Mesir, Antioch di Siria,
Sekeucia di Mesopotamia dan Bectra di Persia sebelah timur.
Namun dalam pengembangan ilmu filsafat ini, Islam
menyesuaikan dengan ajaran yang ada di dalam Al Qur’an.
Secara umum, ciri khas filsafat adalah dengan penggunaan
akal dan rasio dan sehat. Perbedaan antara filsafat Islam dengan
filsafat Barat adalah dalam penggunaan akal dan rasio. Kalau
filsafat Barat akal atau rasio adalah segala-galanya, sedangkan
dalam filsafat Islam akal atau rasio tetap berada di bawah Al
Qur’an. Di dalam Al Qur’an banyak ayat yang menyuruh manusia
menggunakan akal atau rasionya, seperti: “Ia buat segala apa
yang ada di langit dan apa yang ada di bumi tunduk padamu,
19
semuanya adalah dari-Nya, padanya sungguh terdapat tanda-
tanda bagi kaum yang mau berpikir.” (QS. 12:13).
Dengan demikian Al Qur’an sebenarnya menyuruh manusia
supaya berfilsafat. Oleh karena itu berfilsafat atau belajar filsafat,
sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Rusyd, adalah wajib atau
sekurang-kurangnya sunnat.
20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam, didalamnya terdapat
beberapa peraturan-peraturan yang mengatur semua sikap seorang
muslim sejati. Selain hal tersebut Al’Qur’an juga merupakan sumber
ilmu pengetahuan. Al-Qur’an penjelasannya mencakup tentang Fiqih,
Tasawuf, Akhlaq, teologi islam dan filsafat islam.
B. Penutup
Demikianlah penulisan makalah kami ini semoga bermanfaat bagi
para pembaca maupun bagi kami sebagai penulis. Kritik dan saran
yang membangun dari para pembaca selalu kami harapkan.
21