3. bab ii kejang parsial sederhana

Upload: indra040293

Post on 06-Mar-2016

17 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Epilepsi atau dikenal dengan istilah kejang berasal dari Bahasa Yunani Epilanbanmein yang berarti serangan atau penyakit yang timbul secara tiba-tiba. Epilepsi merupakan suatu gangguan serebral kronik dengan berbagai macam etiologi, yang dicirikan oleh timbulnya serangan paroksismal yang berkala yang diakibatkan oleh lepasnya muatan listrik neuron-neuron serebral secara eksesif. Hal ini tergantung pada jenis gangguan dan daerah serebral yang secara berkala melepaskan muatan listriknya4,5. Kejang parsial (fokal) merupakan kejang yang tidak meliputi seluruh tubuh (muncul hanya pada bagian tubuh tertentu) dengan manifestasi tanda-tanda motorik, gejala otonom, somatosensori atau gejala sensorik khusus, atau gejala psikis. Kejang ini berasal dari daerah fokus korteks serebral dan dapat menyebar ke daerah kortikal lainnya secara unilateral atau bilateral6. 2.2 EPIDEMIOLOGI

Prevalensi epilepsi di negara maju sekitar berkisar antara 40-70 kasus per 100.000 orang per tahun. Insiden berkisar 100-190 kasus per 100.000 orang per tahun di negara berkembang. Prevalensi epilepsi untuk di Indonesia belum ada data yang pasti, namun diperkirakan terdapat 1-2 juta penderita epilepsi. Prevalensinya berkisar 5-10 kasus per 1000 orang dan insiden berkisar 50 kasus per 100.000 orang per tahun. Kejang parsial kompleks terjadi pada sekitar 35% dari orang dengan epilepsi dimana kejang parsial lebih sering terjadi di negara-negara dengan prevalensi cysticercosis tinggi. Insiden kejang parsial pada orang yang lebih muda dari 60 tahun adalah 20 kasus per 100.000 orang/tahun. Angka ini meningkat 80 kasus per 100.000 orang/tahun pada orang berusia 60-80 tahun2,7.2.3 ETIOLOGI

Epilepsi dapat disebabkan oleh berbagai hal. Epilepsi dibagi menjadi 3 golongan berdasarkan peyebabnya, antara lain5 :

a) Epilepsi Idiopatik

Penyebab dari epilepsi ini tidak diketahu secara pasti, meliputi 50 % dari penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitannya biasanya pada usia > 3 tahun. Kelompok epilepsi ini semakin berkurang karena kecanggihan perkembangan ilmu pengetahuan dan alat-alat diagnostik. Lesi struktural di otak atau defisit neurologis ditemukan pada epilepsi jenis ini. Sebagian dari jenis ini disebabkan oleh abnormalitas konstitusional dari fisiologi serebral yang disebabkan oleh interaksi beberapa faktor genetik.b) Epilepsi Simptomatik

Epilepsi ini disebabkan oleh kelainan atau lesi struktural pada otak atau susunan saraf pusat. Simptomatik terjadi bila fungsi otak terganggu oleh berbagai kelainan intrakranial ataupun ekstrakranial. Penyebab intrakranial seperti anomali kongenital, trauma otak, neoplasma otak, lesi iskemia, ensefalopati, abses serebri, maupun jaringan parut. Penyebab ekstrakranial seperti gagal jantung, gangguan pernafasan, gangguan metabolism (hipoglikemia, hiperglikemia, uremia), gangguan keseimbangan elektrolit, intoksikasi obat, gangguang hidrasi (dehidrasi).

c) Epilepsi Kriptogenik

Epilepsi jenis ini dianggap simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui secara pasti. Sebagian besar lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa disertai lesi yang mendasari atau lesi di otak tidak diketahui. Gambaran klinisnya berupa ensefalopati difus. Jenis epilepsi yang termasuk dalam golongan ini seperti sindrom West, sindroma Lennox Gastaut, dan epilepsi mioklonik. 2.4 KLASIFIKASI

Menurut International League against Epilepsi, bangkitan epilepsi parsial (fokal, lokal) diklasifikasikan menjadi3:1. Bangkitan parsial sederhana (kesadaran tidak terganggu)

a. Dengan gejala motorik fokal motorik tidak menjalar

fokal motorik menjalar (epilepsi Jackson)

versif

postural

disertai gangguan fonasi

b. Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (halusinasi sederhana)

Somatosensoris

Visual

Auditoris

Olfaktoris

Gustatoris

Vertigoc. Dengan gejala atau tanda gangguan saraf autonom (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil).

d. Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)

Disfasia

Dismensia

Kognitif

Afektif

Ilusi

Halusinasi kompleks (berstruktur)

2. Bangkitan parsial kompleks (disertai gangguan kesadaran)

a. Awal parsial sederhana diikuti penurunan kesadaran

Dengan gejala parsial sederhana

Dengan automatisme

3. Bangkitan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik)

a. Bangkitan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum

b. Bangkitan parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum

c. Bangkitan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum

2.5 PATOFISIOLOGI

Mekanisme timbulnya epilepsi meliputi gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada sinaps atau ketidakseimbangan antara neurotransmiter eksitatori dan inhibitori. Defisiensi neurotransmiter inhibitori seperti Gamma Amino Butyric Acid (GABA) atau peningkatan neurotransmiter eksitatori seperti glutamat menyebabkan aktivitas dari neuron otak tidak normal. Neurotransmiter eksitatori (aktivitas pemicu kejang) yaitu, glutamat, aspartat, asetil kolin, norepinefrin, histamin, faktor pelepas kortikotripin, purin, peptida, sitokin dan hormon steroid. Neurotransmiter inhibitori (aktivitas menghambat neuron) yaitu, dopamin dan Gamma Amino Butyric Acid (GABA). Serangan kejang juga diakibatkan oleh abnormalitas konduksi kalium, kerusakan kanal ion, dan defisiensi ATPase yang berkaitan dengan transport ion, dapat menyebabkan ketidak stabilan membran neuron.8,9Aktivitas glutamat pada reseptornya (AMPA) dan (NMDA) dapat memicu pembukaan kanal Na+. Pembukaan kanal Na ini diikuti oleh pembukaan kanal Ca2+, sehingga ion-ion Na+ dan Ca2+ banyak masuk ke intrasel. Akibatnya, terjadi pengurangan perbedaan polaritas pada membran sel atau yang disebut juga dengan depolarisasi. Depolarisasi ini penting dalam penerusan potensial aksi sepanjang sel syaraf. Depolarisasi berkepanjangan akibat peningkatan glutamat pada penderita epilepsi menyebabkan terjadinya potensial aksi yang terus menerus dan memicu aktivitas sel-sel saraf. Beberapa obat-obat antiepilepsi bekerja dengan cara memblokade atau menghambat reseptor AMPA (alpha amino 3 Hidroksi 5 Methylosoxazole- 4-propionic acid) dan menghambat reseptor NMDA (N-methil D-aspartat). Interaksi antara glutamat dan reseptornya dapat memicu masuknya ion-ion Na+ dan Ca2+ yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya potensial aksi. Patofisiologi epilepsi meliputi ketidakseimbangan kedua faktor ini yang menyebabkan instabilitas pada sel-sel saraf tersebut. 8,9

Gambar 1. Ketidakseimbangan Neurotransmitter Eksitasi dan Inhibisi8,92.6 MANIFESTASI KLINIS

A. Kejang parsial sederhana

Kejang parsial sederhana merupakan kejang parsial tanpa disertai gangguan kesadaran. Kejang parsial sederhana dapat berupa gangguan sensorik, motorik, otonom, dan atau psikis. Kejang jenis ini umumnya berlangsung beberapa detik hingga menit. Apabila kejang berlangsung >30 menit maka disebut status epileptikus fokal sederhana. Penderita akan mengalami gejala seperti deja vu yaitu perasaan dimana penderita pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya, perasaan takut atau senang yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat dijelaskan, perasaan seperi kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian tubuh tertentu, gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu, dan halusinasi10.

B. Kejang parsial kompleksKejang parsial kompleks merupakan bangkitan parsial kompleks dengan bangkitan fokal disertai terganggunya kesadaran yang dapat diikuti oleh automatisme yang stereotipik seperti mengunyah, menelan, tertawa, dan kegiatan motorik lainnya tanpa tujuan yang jelas, atau kepala berpaling ke arah bagian tubuh yang mengalami kejang3.C. Kejang parsial yang berkembang menjadi kejang umumKejang jenis ini umumnya dimulai dengan aura berevolusi menjadi kejang fokal kompleks kemudian menjadi kejang tonik-klonik umum. Akan tetapi kejang fokal kompleks dapat berevolusi menjadi kejang umum atau suatu aura dapat berlangsung berevolusi menjadi kejang umum tanpa kejang fokal kompleks yang nyata10.2.7 DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis epilepsi dilakukan melalui anamnesis, yang didukung dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang1,11.

1. Anamnesis: auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata mengenai hal berikut dibawah ini :

a) Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pasca bangkitan

Sebelum bangkitan/gejala prodromal

Kondisi dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya bangkitan seperti perubahan perilaku, rasa lapar, berkeringat, hipotermi, mengantuk, menjadi sensitif, dan lain-lain.

Selama bangkitan

Dapat ditanyakan apakah ada aura, gejala yang dirasakan pada awal bangkita, bagaimana pola/bentuk bangkitan yang dimulai dari deviasi mata, gerakan kepala, gerakan tubuh, vokalisasi, automatisasi, gerakan pada salah satu atau kedua lengan dan tungkai, bangkitan tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat, dan sebagainya. Ditanyakan pula apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan, apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya, dan apakah aktivitas penderita saat tejadi bangkitan. Pasca bangkitan

Sikap bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, dan gaduh gelisah.

b) Faktor pencetus epilepsi seperti kelelahan, kurang tidur, hormonal, stres psikologis, dan alkohol

c) Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antara bangkitan, kesadaran antara bangkitan

d) Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya

e) Penyakit yg diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis psikiatrik maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab atau komorbiditas

f) Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga

Riwayat keluarga penting diketahui untuk menentukan apakah ada sindrom epilepsi yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya dengan faktor genetik dimana manifestasinya adalah serangan kejang.

g) Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh kembang

h) Riwayat bangkitan neonatal atau kejang demam

i) Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat, dan lain-lain.j) Riwayat sosial seperti latar belakang pendidikan penderita, jenis pekerjaan penderita, dan apakah penderita seorang pengemudi kendaraan bermotor.

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis1,11Pemeriksaan fisik umum yang dilakukan kepada penderita berguna untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan epilepsi seperti trauma kepala, tanda-tanda infeksi, kelainan kongenital, kecanduan alkohol atau napza, dan tanda-tanda keganasan.

Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat berhubungan dengan epilepsi seperti status mental, koordinasi, nervus kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Tampak tanda fokal yang tidak jarang menjadi petunjuk lokalisasi seperti paresis Todd, gangguan kesadaran pasca iktal, dan afasia pasca bangkitan jika dilakukan dalam beberapa menit. Adanya defisit neurologi seperti hemiparese, dystonia, disfasia, gangguan lapang pandang, papiledema mungkin dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang terbatas. Ditemukannya nistagmus, diplopia atau ataksia mungkin karena efek toksik dari obat anti epilepsi seperti karbamazepin, fenitoin, dan lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu serangan kejang terjadi. Dysmorphism dan gangguan belajar mungkin ada kelainan kromosom dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang makin memberat dapat diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral, sedangkan adanya distonia bisa menggambarkan kelainan fokus kontralateral di lobus temporalis tersebut.3. Pemeriksaan penunjang1,11Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan ensefalografi (EEG), dan pemeriksaan pencitraan otak. Pemeriksaan LaboratoriumPemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan hematologis, kadar elektrolit dan glukosa, kimia klinik, dan pemeriksaan toksikologi serum dan urin bila mencurigai adanya penyalahgunaan obat. Pemeriksaan Ensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG adalah pemeriksaan yang penting untuk membantu diagnosis epilepsi karena rekaman ini dapat membantu penentuan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi, membantu menentukan prognosis dan menentukan perlu atau tidaknya obat anti epilepsi (OAE).

Pemeriksaan Pencitraan OtakComputed Tomography Scan (CT Scan) kepala dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) kepala dilakukan untuk melihat ada atau tidanya kelainan struktural otak. Indikasi CT Scan antara lain semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada kelainan struktural di otak, perubahan serangan kejang, ada defisit neurologis fokal, serangan kejang parsial, dan serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun. MRI merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi karena sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibandingkan CT Scan. 2.8 DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama secara klinis, yaitu berdasakan deskripsi kejang. Diagnosis banding dari epilepsi antara lain pingsan (syncope), non epileptic attack disorder, aritmia jantung, dan serangan panik1,10. 2.9 PENATALAKSANAAN

Terapi epilepsi memiliki tujuan utama yaitu tercapainya kualitas hidup penderita yang optimal. Berikut adalah beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut baik secara non medikamentosa dan medikamentosa1.

1. Non medika mentosa1Menghindari faktor pemicu seperti stress, olahraga, konsumsi kopi atau alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan. Penderita epilepsi perlu memiliki pola hidup yang baik dengan mengkonsumsi makanan yang bergizi dan teratur yang disertai istirahat yang cukup.

2. Medika mentosa1Prinsip-prinsip penanggulangan epilepsi di bidang farmakoterapi antara lain :a. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah dipastikan yaitu terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Penderita dan keluarganya harus diberi penjelasan terlebih dahulu mengenai tujuan pengobatan dan efek samping dari pengobatan tersebut.

b. Terapi dimulai dengan monoterapi

c. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap sampai dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat.

d. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis terapi, maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara perlahan.e. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan tidak terkontrol dengan pemberian OAE pertama dan kedua.

Tipe KejangTerapi pilihan pertamaObat alternatif

Kejang parsialKarbamazepin

Fenitoin

Lamotrigin

Asam valproat

OkskarbanzepinGabapentin

Topiramat

Levetiracetam

Zonisamid

Tiagabin

Primidon

Fenobarbital

Felbamat

OAE pilihan pada epilepsi berdasarkan mekanisme kerjanya antara lain :1. Karbamazepin secara kimia merupakan golongan antidepresan trisiklik. Karbamazepin digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan tonik-klonik. Karbamazepin menghambat kanal Na+, yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron. Dosis pada anak dengan usia kurang dari 6 tahun 10-20 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 6-12 tahun dosis awal 200 mg 2 kali sehari dan dosis pemeliharaan 400-800 mg. Sedangkan pada anak usia lebih dari 12 tahun dan dewasa 400 mg 2 kali sehari. Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan karbamazepin adalah gangguan penglihatan (penglihatan berganda), pusing, lemah, mengantuk, mual, goyah (tidak dapat berdiri tegak) dan Hyponatremia. Resiko terjadinya efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan usia.12,13,142. Fenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk kejang umum, kejang tonik-klonik, dan pencegahan kejang pada penderita trauma kepala/bedah saraf. Fenitoin memiliki range terapetik sempit sehingga pada beberapa penderita dibutuhkan pengukuran kadar obat dalam darah. Mekanisme aksi fenitoin adalah dengan menghambat kanal sodium (Na+) yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron. Dosis awal penggunaan fenitoin 5 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 20 mg/kg/hari tiap 6 jam. Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan fenitoin adalah depresi pada SSP, sehingga mengakibatkan lemah, kelelahan, gangguan penglihatan (penglihatan berganda), disfungsi korteks dan mengantuk. Pemberian fenitoin dosis tinggi dapat menyebabkan gangguan keseimbangan tubuh dan nistagmus. Salah satu efek samping kronis yang mungkin terjadi adalah gingival hyperplasia (pembesaran pada gusi). Menjaga kebersihan rongga mulut dapat mengurangi resiko gingival hiperplasia. 12,13,143. Lamotrigin merupakan obat antiepilepsi generasi baru dengan spektrum luas yang memiliki efikasi pada parsial dan epilepsi umum. Lamotrigin tidak menginduksi atau menghambat metabolisme obat anti epilepsi lain. Mekanisme aksi utama lamotrigin adalah blokade kanal Na, menghambat aktivasi arus Ca2+ serta memblok pelepasan eksitasi neurotransmiter asam amino seperti glutamat dan aspartat. Dosis lamotrigin 25-50 mg/hari. Penggunaan lamotrigin umumnya dapat ditoleransi pada penderita anak, dewasa, maupun pada penderita geriatri. Efek samping yang sering dilaporkan adalah gangguan penglihatan (penglihatan berganda), sakit kepala, pusing, dan goyah (tidak dapat berdiri tegak). Lamotrigin dapat menyebabkan kemerahan kulit terutama pada penggunaan awal terapi 3-4 minggu. Stevens-Johnson syndrome juga dilaporkan setelah menggunakan lamotrigin.144. Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial, kejang absens, kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik. Asam valproat dapat meningkatkan GABA dengan menghambat degradasi nya atau mengaktivasi sintesis GABA. Asam valproat juga berpotensi terhadap respon GABA post sinaptik yang langsung menstabilkan membran serta mempengaruhi kanal kalium. Dosis penggunaan asam valproat 10-15 mg/kg/hari. Efek samping yang sering terjadi adalah gangguan pencernaan (>20%), termasuk mual, muntah, anorexia, dan peningkatan berat badan. Efek samping lain yang mungkin ditimbulkan adalah pusing, gangguan keseimbangan tubuh, tremor, dan kebotakan. Asam valproat mempunyai efek gangguan kognitif yang ringan. Efek samping yang berat dari penggunaan asam valproat adalah hepatotoksik. Hiperammonemia (gangguan metabolisme yang ditandai dengan peningkatan kadar amonia dalam darah) umumnya terjadi 50%, tetapi tidak sampai menyebabkan kerusakan hati.13,145. Benzodiazepin digunakan dalam terapi kejang. Benzodiazepin merupakan agonis GABAA, sehingga aktivasi reseptor benzodiazepin akan meningkatkan frekuensi pembukaan reseptor GABAA. Dosis benzodiazepin untuk anak usia 2-5 tahun 0,5 mg/kg, anak usia 6-11 tahun 0,3 mg/kg, anak usia 12 tahun atau lebih 0,2 mg/kg, dan dewasa 4-40 mg/hari. Efek samping yang mungkin terjadi pada penggunaan benzodiazepin adalah kehilangan kesadaran, pusing, depresi, mengantuk, kemerahan dikulit, konstipasi, dan mual.13Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan. Pada anak-anak dengan epilepsi, penghentian sebaiknya dilakukan secara bertahap setelah 2 tahun bebas dari bangkitan kejang. Sedangkan pada orang dewasa penghentian membutuhkan waktu lebih lama yakni sekitar 5 tahun. Ada 2 syarat yang penting diperhatikan ketika hendak menghentikan OAE, yakni:11. Syarat umum yang meliputi :

Penghentian OAE telah diduskusikan terlebih dahulu dengan penderita/keluarga dimana penderita sekurang-kurangnya 2 tahun bebas bangkitan.

Gambaran EEG normal

Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.

Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan utama.

2. Kemungkinan kekambuhan setelah penghentian OAE

Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya.

Epilepsi simtomatik

Gambaran EEG abnormal

Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan.

Penggunaan OAE lebih dari 1

Masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi

Mendapat terapi 10 tahun atau lebih.

Kekambuhan akan semakin kecil kemungkinannya bila penderita telah bebas bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka pengobatan menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian evaluasi.Penatalaksanaan status epileptikus1Status epileptikus adalah kondisi bangkitan yang berlangsung lebih dari 30 menit atau adanya dua bangkitan atau lebih dimana diantara bangkitan tidak terdapat pemulihan kesadaran.

1. Stadium I (0-10 menit)

memperbaiki fungsi kardio dan respirasi

memperbaiki jalan nafas, oksigenasi dan resusitasi bilama diperlukan.

2. Stadium II (1-60 menit)

pemeriksaan status neurologik

pengukuran tekanan darah, nadi dan suhu

pemeriksaan EEG

pasang infus

ambil 50-100cc darah untuk pemeriksaan laborat

pemberian OAE cito : diazepam 0.2mg/kg dengan kecepatan pemberian 5 mg/ menit IV dapat diulang lagi bila kejang masih berlangsung setelah 5 menit pemberian.

Beri 50cc glukosa

Pemberian tiamin 250mg intravena pada penderita alkoholisme

Menangani asidosis dengan bikarbonat.

3. Stadium III (90-60/90 menit)

menentukan etiologi

bila kejang terus berkangsung setekah pemberian lorazepam/diazepam, beri phenitoin IV 15-20mg/kg dengan kecepatan kuranglebih 50mg/menit sambil monitoring tekanan darah.

Atau dapat pula diberikan Phenobarbital 10mg/kg dengan kecepatan kurang lebih 10mg/menit (monitoring pernafasan saat pemberian)

Terapi vasopresor (dopamin) bila diperlukan.

Mongoreksi komplikasi

4. Stadium IV (30-90 menit)

Bila tetap kejang, pindah ke ICU

Beri propofol (2mg/kgBB bolus iv, diulang bila perlu)2.10 PROGNOSISAngka kematian pada penderita epilepsi adalah 2-3 kali pada populasi umum. Sebagian besar kematian tersebut disebabkan oleh penyebab yang mendasari dan kejadian lainnya diakibatkan oleh kecelakaan, kematian tak terduga tiba-tiba pada epilepsi (SUDEP), dan bunuh diri. Penderita epilepsi memiliki peningkatan risiko untuk trauma, luka bakar, dan aspirasi.15BAB III

LAPORAN KASUS3.1IDENTITAS

Nama: NWSUmur: 52 TahunJenis kelamin:PerempuanBangsa:IndonesiaSuku:BaliAgama:HinduAlamat:Br Pande, Tulikup, GianyarPekerjaan: IRTNomor rekam medik:544413Tanggal MRS:6 November 2015

Tanggal Pemeriksaan:7 November 20153.2ANAMNESIS

Riwayat Penyakit Sekarang

Keluhan utama: Kejang pada separuh tubuh kanan

Pasien diantar oleh keluarga ke IGD RSUD Sanjiwani Gianyar pada tanggal 6 November 2015 kira-kira pada pukul 14.00 WITA dengan keluhan kejang pada separuh tubuh kanan yang dirasakan 15 menit sebelum ke UGD. Pasien mengaku keluhan timbul tiba-tiba saat pasien sedang duduk. Pasien sudah mendapati separuh tubuh kanannya kejang. Kejang dirasakan berlangsung selama 3 menit. Pasien saat kejang masih sadar. Kemudian pasien ke IGD RSUD Sanjiwani pukul 14.00 WITA akibat kejangnya dan mendapat pengobatan diazepam. Namun pukul 15.00 WITA keluhan kejang kembali terjadi. Pasien sadar dan kejang terjadi pada separuh tubuh kanan. Total kejang yang dialami pasien 2 kali. Sebelumnya separuh tubuh kanan pasien lemas sulit untuk digerakan sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit dan belum mendapat pengobatan. Separuh tubuh kanan lemas diawali dengan rasa kesemutan sejak 2 minggu SMRS. Kesemutan dirasakan hilang timbul dan pasien tidak ada mencari pengobatan. Sebelumnya pasien juga mengeluhkan sakit kepala, dan pasien berobat ke puskesmas, setelah minum obat sakit kepala dirasakan membaik.

Saat ini pasien masih mengeluhkan lemah separuh tubuh kanan, belum BAB sejak 1 hari SMRS (3hari) dan sakit kepala. Keluhan suara pelo, penglihatan ganda, mual dan muntah menyemprot disangkal oleh pasien. Pasien juga menyangkal adanya riwayat trauma kepala, demam, sesak napas saat beraktivitas ringan, penurunan berat badan dan benjolan dileher.

Riwayat Penyakit Sebelumnya

Riwayat penyakit sistemik seperti hipertensi, asma, diabetes melitus, penyakit jantung disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien menyebutkan bahwa ayah pasien meninggal karena stroke.

Riwayat Pengobatan

Pasien tidak ada mengonsumsi obat-obatan.Riwayat Pribadi / Sosial

Lahir:SpontanPendidikan :SD

a. Mulai bicarab. :LupaKanan/kidal:Kanan

Gagap:Tidak pernahMakanan:Teratur

c. Mulai membacad. :LupaMinuman keras:Tidak pernah

e. Jalan waktu tidurf. :Tidak pernahMerokok:Tidak pernah

g. Mulai jalanh. :LupaKawin:Iya, 1 kali

i. Ngompolj. :Tidak pernahk. Anak l. :3

3.3STATUS PRESENT

Berat: 50 kgPernapasanTinggi: 158 cm Frekuensi: 20 kali / menit

IMT: 20,08 kg/m2Pola: Normal

Tekanan darah

Kanan : 120/80 mmHgSuhu Aksila: 36,5 oC

Kiri: 120/80 mmHgNadi

Kanan: 96 kali / menit

Kiri: 80 kali/menitKepala

Mata: Konjungtiva pucat ( - / - ); ikterus ( - / - );

refleks pupil ( + / + ); (4 mm / 4 mm)

THT

Telinga: Hiperemik ( - ); sekret ( - ); nyeri ( - ); edema ( - )

Hidung: Hiperemik ( - ); sekret ( - ); nyeri ( - ); edema ( - )

Tenggorok: Tonsil ( - ) Hiperemik ( - ); nyeri ( - ); edema ( - )

Mulut: Sianosis ( - ), lainnya: tidak ada

Leher

Arteri karotis komunis dextra teraba, bruit ( - )

Arteri karotis komunis sinistra teraba, bruit ( - )Thoraks

Jantung, inspeksi: ictus cordis tidak tampak

auskultasi: S1 S2 tunggal regular ; murmur ( - )

Paru,inspeksi: dextra-sinistra simetris

auskultasi: vesikuler ( + / + ); ronkhi ( - / - )

wheezing ( - / - )

Abdomen

Inspeksi: distensi ( - ); asites ( - ); peristaltik ( - )

Auskultasi: bising usus (+) normal

Palpasi

Hepar: tidak teraba

Lien: tidak terabaGenitalia: tidak dievaluasi

Ekstremitas: akral hangat ; edema

Kulit: sianosis ( - )

3.4STATUS NEUROLOGIS

Kesan Umum

Kesadaran: compos mentis (GCS : E 4 V 5 M 6 )

Kecerdasan: sesuai tingkat pendidikan

Kelainan jiwa: tidak ada

Kaku dekortikasi: ( - )

Kaku deserebrasi: ( - )

Refleks leher tonik

(Magnus-deKleijn): ( - )

Pergerakan mata boneka: tidak dievaluasi

Deviation conjugee: ( - )

Krisis okulogirik: ( - )

Opistotonus: ( - )

Kranium

bentuk: normocephalisimetri: simetris

fontanel: normal tertutupkedudukan: normal

perkusi: reduppalpasi: benjolan (-)

transluminasi: hydrocephalus (-)auskultasi: bruit (-)

Pemeriksaan Khusus

Rangsangan Selaput Otak

Kaku kuduk: (-)

Tanda Kernig: (- /-)

Tanda leher Brudzinski

(Brudzinski I): (-/ -)

Tanda tungkai kontralateral Brudzinski

(Brudzinski II): (-/-)

Saraf Otak

KananKiri

Nervus I

Subjektif:tidak ada keluhan

Objektif: dalam batas normal

Nervus II

Visus: >3/60 meter>3/60 meter

Kampus: dalam batas normaldalam batas normal

Hemianopsia: tidak dievaluasi

Melihat warna: dalam batas normaldalam batas normal

Skotom: (-)(-)

Fundus: tidak dievaluasi

Nervus III, IV, VI

Kedudukan bola mata: simetrissimetrisPergerakan bola mata: normalnormal

Nistagmus: (-)(-)Celah mata: normalnormal

Ptosis: (-)(-)Pupil

bentuk: bulat, isokorbulat, isokor

ukuran: 4 mm4 mm

Refleks pupil

r. cahaya langsung: (+)(+)

r. cahaya konsensuil: (+)(+)

r. akomodatif /

konvergen: (+)(+)

r. pupil Marcus-

Gunn: (-)(-)Tes Wartenberg: (-)(-)

Nervus V

Motorik: dalam batas normaldalam batas normalSensibilitas: dalam batas normaldalam batas normalRefleks kornea

langsung: (+)(+)

konsensuil: (+)(+)Refleks kornea-

mandibuler: (-)(-)

Refleks bersin: (+)(+)Refleks nasal-

Becterew: (-)(-)Refleks maseter: (-)

Trismus: (-)Refleks menetek: (-)Refleks snout: (-)Nyeri tekan: (-)

Nervus VII

Otot wajah saat istirahat: lipatan dahi simetris, sudut mata simetris, tinggi ais simetris, sulkus nasolabialis simetris, sudut bibir simetris

Mengerutkan dahi:

simetrisMenutup mata:

simetris Meringis:

simetrisBersiul/mencucu:

simetris

Gerakan involunter

Tic: (-)(-)

Spasmus: (-)(-)

Indera pengecap

Asin: dalam batas normal

Asam: dalam batas normal

Manis: dalam batas normal

Pahit: dalam batas normalHiperakusis: (-)(-)

Tanda Chvostek: (-)(-)

Refleks glabela:(-)

Nervus VIII

Mendengar suara bisik

(gesekan jari tangan): dalam batas normaldalam batas normalTes garpu tala

Rinne: (+)(+)

Schwabach: (+)(+)

Weber: (+)(+)

Bing: (+)(+)Tinitus: (-)(-)Keseimbangan: tidak dievaluasi

Vertigo: (-)

Nervus IX, X, XI, XII

Langit-langit lunak: simetrisMenelan: dalam batas normalDisartri: (-)Disfoni: (-)Lidah

Tremor: (-)

Atrofi: (-)

Fasikulasi: (-)Ujung lidah saat

istirahat: deviasi sedikit ke kiriUjung lidah sewaktu

dijulurkan keluar: deviasi sedikit ke kanan

Palpasi ujung lidah

saat menekan pipi: lebih lemah yang kanan Refleks muntah: (+)Mengangkat bahu: lemahdalam batas normalFungsi m. sterno-

kleido-mastoideus: lemahdalam batas normal

Anggota Atas

KananKiri

Posisi: simetrisTenaga

M. deltoid

(abduksi l. atas): 15M. biseps

(fleksi l. atas): 15M. triseps

(ekstensi l. atas): 15Fleksi pergelangan

tangan: 15Ekstensi pergelangan

tangan: 15Membuka jari-jari

tangan: 15Menutup jari-jari

tangan: 15Lainnya:

Tonus: menurunnormalTropik: normalnormalRefleks

Biseps: ( + )( ++ )

Triseps: ( + )( ++ )

Radius: ( + )( + )

Ulna: ( + )( + )

Leri: (-)(+)Pronasi-abduksi: (-)(+)lengan (Grewel): (-)(+)Mayer: (-)(+)Hoffman-Tromner: (-)(-)Memegang: (-)(-)Palmomental:(-)(-)Sensibilitas

Perasa raba: normalnormalPerasa nyeri: normalnormalPerasa suhu: normalnormalPerasa proprioseptif: normalnormalPerasa vibrasi: normalnormalStereognosis: normalnormalBarognosis: normalnormalDiskriminasi dua

titik: normalnormalGrafestesia: normalnormalTopognosis: normal normalParestesia: (-)(-)Koordinasi

Tes telunjuk-

telunjuk:

tidak bisa dievaluasiTes telunjuk-hidung: sulit dievaluasinormal

Tes hidung-

telunjuk-hidung: sulit dievaluasinormalTes pronasi-supinasi

(diadokokinesis): sulit dievaluasinormalTes tepuk lutut: sulit dievaluasinormalVegetatif

Vasomotorik: normalnormalSudomotorik: normalnormalPilo arektor: tidak dievaluasi

Gerakan involunter

Tremor: (-)(-)Khorea: (-)(-)Atetosis: (-)(-)Balismus: (-)(-)Mioklonus: (-)(-)

Distonia: (-)(-)Spasmus: (-)(-)Nyeri tekan pada saraf: (-)(-)Badan

Keadaan kolumna

vertebralis

Kelainan lokal: (-)Nyeri tekan /

ketok lokal: (-)Gerakan

Fleksi: tidak dievaluasi

Ekstensi: tidak dievaluasi

Deviasi lateral: tidak dievaluasi

Rotasi: tidak dievaluasi

KananKiri

Keadaan otot-otot:normal, simetri, tidak ada atrofi

Refleks kulit

dinding perut atas: (+)(+)Refleks kulit dinding

perut bawah: (+)(+)Refleks Kremaster: tidak dievaluasi

Refleks anal: tidak dievaluasi

Sensibilitas

Perasa raba: normalnormalPerasa nyeri: normalnormalPerasa suhu: normalnormalKoordinasi

Asinergia serebeler: tidak dievaluasiVegetatif

Kandung kencing: dalam batas normalRektum: dalam batas normalGenitalia: tidak dievaluasiGerakan involunter: (-)Anggota Bawah

KananKiri

Posisi: simetris

Tenaga

Fleksi panggul: 15Ekstensi panggul: 15Fleksi lutut: 15Ekstensi lutut: 15Plantar-fleksi kaki: 15Dorso-fleksi kaki: 15Gerakan jari-

jari kaki: 15Tonus: turunnormal

Trofik: normalnormal

Refleks

Lutut (KPR): ( + )( ++ )

Achilles (APR): ( + )( ++ )

Supinasi-fleksi

kaki (Grewel): (-)( ++)

Plantar: (+)(+)

Babinsky: ( + )( - )

Oppenheim: ( - )( - )

Chaddock: ( - )( - )

Gordon: ( - )( - )

Schaefer: ( - )( - )

Stransky: ( - )( - )

Gonda: ( - )( - )

Bing: ( - )( - )

Mendel-Bechterew: ( - )( - )

Rossolimo: ( - )( - )

Klonus

Paha: ( - )( - )

Kaki: ( - )( - )

Sensibilitas

Perasa raba: normalnormalPerasa nyeri: normalnormalPerasa suhu: normal normalPerasa proprioseptif: normal normalPerasa vibrasi: normal normalDiskriminasi dua

titik: normalnormalGrafestesia: normal normalTopognosis: normalnormalParestesia: (-)(-)Koordinasi

Tes tumit-lutut-ibu

jari kaki: sulit dievaluasinormal

Tes ibu jari kaki-

telunjuk: sulit dievaluasinormal

Berjalan menuruti

garis lurus:

belum dapat dievaluasi

Berjalan memutar:

belum dapat dievaluasi

Berjalan maju-

mundur:

belum dapat dievaluasi

Lari ditempat:

belum dapat dievaluasi

Langkah/gaya jalan:

belum dapat dievaluasi

Vegetatif

Vasomotorik: normalnormalSudomotorik: normalnormalPilo arektor: tidak dievaluasi

Gerakan involunter

Tremor: ( - )( - )

Khorea: ( - )( - )

Atetosis: ( - )( - )

Balismus: ( - )( - )

Mioklonus: ( - )( - )

Distonia: ( - )( - )

Spasmus: ( - )( - )

Tes Romberg: belum dapat dievaluasiNyeri tekan pada saraf: (-)(-)Fungsi Luhur

Afasia motorik: (-)Afasia sensorik: (-)Afasia amnestik

(anomik): (-)Afasia konduksi: (-)Afasia global: (-)Agrafia: (-)Aleksia: (-)Apraksia: (-)Agnosia: (-)Akalkulia: (-)Pemeriksaan Lain

Tanda Naffziger: (-)Tanda Tinel: (-)Tanda Lasegue: (-) Bragad: (-) Sicard: (-)

Pemeriksaan Laboratorium:

Pemeriksaan darah lengkap dilakukan pada tanggal 7 November 2015 pada pukul 08.49 WITA

TESHASILUNITNORMALKET

WBC15,8X103/L4.00-10.00tinggi

HGB20,4g/dL11.00-16.00tinggi

HCT58,2%37.00-54.00Tinggi

MCV85,4fL82.00-95.00

PLT173X103/L150.00-450.00

Pemeriksaan profil lipid dilakukan pada tanggal 7 November 2015 pukul 08.49 WITA

TESHASILUNITNORMALKET

Chol. Total167mg/dl30 menit maka disebut status epileptikus fokal sederhana. Pada kasus ini NWS, pasien perempuan berumur 52 tahun kinan diantar oleh keluarga ke IGD RSUD Sanjiwani Gianyar pada tanggal 6 November 2015 dengan keluhan utama kejang pada separuh tubuh kanan. Dengan onset akut, yaitu 15 menit sebelum MRS saat pasien sedang duduk. Tidak didapat riwayat pingsan, mual maupun muntah. Dari uraian tersebut, pada kasus menunjukkan suatu kejang parsial sederhana.

Untuk membedakan antara kejang parsial sederhana dan kompleks, dapat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada kejang fokal kompleks didapatkan kesadaran terganggu. Sedangkan pada kejang parsial sederhana didapatkan kesadaran yang baik. Pada kasus ini didapatkan tidak ada riwayat pingsan pada pasien saat terjadi kejang. Berdasarkan uraian diatas, kasus ini cenderung mengarah pada terjadinya kejang parsial sederhana.Pada pemeriksaan fisik neurologis didapatkan adanya hemiparesis dextra derajat 1 yang didapat dari pemeriksaan tenaga pada tangan kanan yaitu 111dan tenaga kaki kanan 111 . Dari pemeriksaan nervus kranialis didapatkan paresis nervus XII dextra supranuklear. Pada hasil CT-Scan terdapat gambaran hipodens yang menunjukan suatu infark pada area sentrum semiovale sinistra pasien. Hal ini sesuai dengan lokasi kejang parsial pada pasien yakni di sebelah kanan.

Pada pasien ini diberikan penanganan umum sesuai dengan prinsip 6B. Yang pertama adalah breathing dengan memperhatikan jalan nafas dan pernafasan pasien. Saat ini pasien bernafas spontan, jadi tidak diperlukan oksigen tambahan. Jika terdapat gangguan nafas dapat diatasi dengan memberikan oksigen melalui nasal kanul (kecepatan 2 6 L/ menit) atau sungkup (kecepatan 6-12 L/ menit).

Blood, pemantauan terhadap tekanan darah, gula darah (hipoglikemi/hiperglikemi), pemberian infus (IVFD) isotonis seperti RL atau NaCl 0,9% dengan jumlah tetes per menit disesuaikan dengan berat badan dan lama infus. Dari hasil pemeriksaan laboratorium, gula darah acak pasien yaitu 115 masih dalam rentang normal dan untuk terapi cairan yang diberikan adalah RL dengan jumlah pemberian 20 tetes permenit.

Brain, dengan mencari penyebab kejang dan terapi pada penyebab kejang. Dari hasil pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan, penyebab kejang pada pasien ini adalah stroke non-hemorraghic (SNH). Sehingga terapi yang diberikan untuk penyebab dasar dari kejang ini adalah terapi untuk SNH, yaitu acetosal. Acetosal atau acetylsalisilat acid merupakan agen antiplatelet yang signifikan digunakan untu mengurangi terjadinya stroke berulang. Pada pasien ini juga diberikan citicoline, tujuan pemberian citicoline selain sebagai neuroprotektan juga membantu mempercepat pemulihan dari stroke.Bladder, pemantauan terhadap jumlah cairan masuk dan cairan keluar. Pada pasien yang tidak sadarkan diri, pemantauan jumlah cairan masuk dan keluar dapat dilihat dengan pemasangan urine catheter. Pada pasien yang kesadarannya baik, seperti pada kasus jumlah cairan masuk dan keluar dapat kita pantau dengan menanyakan keadaan buang air kecil dari pasien.

Bowel: Diet pemenuhan jumlah kalori (25 30 kkal/kg/hari). Kontrol BAB minimal 1 kali dalam 3 hari. Apabila terjadi konstipasi berikan laksatif. Pasien diberikan laxadine 3xCI karena mengeluhkan tidak bisa BAB sejak 1 hari sebelum MRS (3 hari).

Bone & Skin: mobilisasi pasien untuk menghidari komplikasi akibat berbaring dalam jangka waktu yang panjang (dekubitus dan kontraktur). Pada pasien sebaiknya disarankan terutama pada keluarga pasien supaya posisi tidur pasien dirubah-ubah yaitu miring kanan 2 jam, dan miring ke kiri selama 2 jam untuk menghindari terjadinya dekubitus yang nantinya malah akan menambah komplikasi yang terjadi.

Salah satu obat pilihan lini pertama sebagai anti epilepsi pada kejang parsial sederhana yaitu phenytoin. Mekanisme aksi fenitoin adalah dengan menghambat kanal sodium (Na+) yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron. Benzodiazepine seperti diazepam yang bekerja cepat dan merupakan pilihan utama bila terjadi status epileptikus. Berikan diazepam 10mg IV bila terjadi kejang. Vitamin B1B6B12 (BComplex) digunakan sebagai suplemen dalam pemeliharaan sel-sel otak.BAB V

SIMPULAN

Epilepsi merupakan suatu gangguan serebral kronik dengan berbagai macam etiologi, yang dicirikan oleh timbulnya serangan paroksismal yang berkala yang diakibatkan oleh lepasnya muatan listrik neuron-neuron serebral secara eksesif. Sedangkan kejang parsial (fokal) merupakan kejang yang tidak meliputi seluruh tubuh (muncul hanya pada bagian tubuh tertentu) dengan manifestasi tanda-tanda motorik, gejala otonom, somatosensory atau gejala sensorik khusus, atau gejala psikis. Kejang jenis ini umumnya berlangsung beberapa detik hingga menit.

Dalam kasus ini, pasien perempuan berumur 52 tahun diantar oleh keluarga ke IGD RSUD Sanjiwani Gianyar pada tanggal 6 November 2015 dengan keluhan utama kejang pada separuh tubuh kanan. Dengan onset akut, yaitu 15 menit sebelum MRS saat pasien sedang duduk. Tidak didapatkan riwayat pingsan. Dari uraian tersebut, pada kasus menunjukkan suatu kejang parsial sederhana.

Pada pasien ini diberikan penanganan umum sesuai dengan prinsip 6B. Obat anti epilepsi seperti phenytoin. Phenytoin merupakan salah satu obat pilihan lini pertama untuk kejang parsial sederhana. Benzodiazepine seperti diazepam yang bekerja cepat dan merupakan pilihan utama bila terjadi status epileptikus. Diberikan diazepam 10mg IV bila terjadi kejang. Vitamin B1B6B12 (BComplex) digunakan sebagai suplemen dalam pemeliharaan sel-sel otak. Terapi untuk SNH yaitu acetosal atau acetylsalisilat acid merupakan agen antiplatelet yang signifikan digunakan untu mengurangi terjadinya stroke berulang. Citicoline juga diberikan sebagai neuroprotektan juga membantu mempercepat pemulihan dari stroke.

_

_

_

_

+

+

+

+

3