2012-1-00431-ps bab2001

15
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini membahas tinjauan pustaka yang digunakan peneliti terkait dengan penelitian yang dilakukan, sehingga dapat menjadi landasan teoritis dalam mendukung penelitian ini. Teori-teori yang terdapat dalam bab ini diantaranya komitmen organisasi, selfefficacy, guru dan SMK. Diakhir bab ini, juga dipaparkan hubungan antara komitmen organisasi dan self efficacy serta kerangka berpikir. 2.1 Komitmen Organisasi 2.1.1 Pengertian komitmen organisasi Komitmen organisasi didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut (Robbins & Judge, 2007). Komitmen organisasi merupakan sejauh manaseorang individumengidentifikasidan terlibatdengan organisasinya atautidak bersediauntuk meninggalkannya (Greenberg& Baron, 2003). Sementara Spector (2000) menyatakan bahwa komitmen organisasi menggambarkan sejauh mana individu mengidentifikasikan dirinya dan dilibatkan dengan organisasinya dan tidak ingin meninggalkan organisasinya. Luthans (2008) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai (1) keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota dari bagian organisasi (2) kesediaan untuk mengerahkan tingkat usaha yang tinggi atas nama organisasi (3) keyakinan yang

Upload: andiikmalrachman

Post on 18-Dec-2015

1 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

education

TRANSCRIPT

  • BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    Pada bab ini membahas tinjauan pustaka yang digunakan peneliti terkait

    dengan penelitian yang dilakukan, sehingga dapat menjadi landasan teoritis dalam

    mendukung penelitian ini. Teori-teori yang terdapat dalam bab ini diantaranya

    komitmen organisasi, selfefficacy, guru dan SMK. Diakhir bab ini, juga

    dipaparkan hubungan antara komitmen organisasi dan self efficacy serta kerangka

    berpikir.

    2.1 Komitmen Organisasi

    2.1.1 Pengertian komitmen organisasi

    Komitmen organisasi didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seorang

    karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk

    mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut (Robbins & Judge,

    2007). Komitmen organisasi merupakan sejauh manaseorang

    individumengidentifikasidan terlibatdengan organisasinya atautidak bersediauntuk

    meninggalkannya (Greenberg& Baron, 2003). Sementara Spector (2000)

    menyatakan bahwa komitmen organisasi menggambarkan sejauh mana individu

    mengidentifikasikan dirinya dan dilibatkan dengan organisasinya dan tidak ingin

    meninggalkan organisasinya.

    Luthans (2008) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai (1) keinginan

    yang kuat untuk tetap menjadi anggota dari bagian organisasi (2) kesediaan untuk

    mengerahkan tingkat usaha yang tinggi atas nama organisasi (3) keyakinan yang

  • dalam dan penerimaan nilai-nilai serta tujuan organisasi. Menurut Schultz

    &Schultz (2006) komitmen organisasi dipengaruhi oleh persepsi karyawan

    tentang bagaimana komitmen organisasi itu sendiri. Semakin besar komitmen

    yang dirasakan oleh karyawan, semakin tinggi harapan karyawan bahwa jika

    mereka bekerja untuk memenuhi tujuan organisasi maka mereka akan dihargai

    secara adil (Schultz & Schultz, 2006). Sedangkan Mowday, Steers, dan Porter

    (1979, dalam Spector : 2000) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai tiga

    komponen, yaitu :

    a. Menerima tujuan/goal dan value yang dimiliki oleh organisasi

    b. Kesediaan untuk berusaha dengan sungguh sungguh demi organisasi

    c. Mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi.

    Meyer dan Allen (1997) juga menyatakan bahwa karyawan yang memiliki

    komitmen organisasi akan bekerja dengan penuh dedikasi karena karyawan yang

    memiliki komitmen tinggi menganggap bahwa hal yang penting yang harus

    dicapai adalah pencapaian tugas dalam organisasi. Karyawan yang memiliki

    komitmen organisasi yang tinggi juga memiliki pandangan yang positif dan akan

    melakukan yang terbaik untuk kepentingan organisasi. Hal ini membuat karyawan

    memiliki keinginan untuk memberikan tenaga dan tanggung jawab yang lebih

    menyokong kesejahteraan dan keberhasilan organisasi tempatnya bekerja.

    Komitmen organisasi mencerminkan sejauh mana seorang individu

    mengidentifikasi dengan organisasi dan tujuannya. (Kreitner & Kinicki, 2008).

    Hal tersebut merupakan sikap kerja yang penting karena orang yang berkomitmen

    diharapkan untuk menampilkan kemauan bekerja lebih keras untuk mencapai

  • tujuan organisasi dan keinginan yang lebih besar untuk tetap dipekerjakan di

    dalam organisasi.

    Berdasarkan uraian teori dari para tokoh diatas, penulis menyimpulkan

    komitmen organisasi sebagai kesediaan karyawan untuk meyakini dan

    menunjukkan nilai-nilai yang ada pada perusahaan dalam dirinya dengan kemauan

    yang kuat untuk memberikan sesuatu yang dapat mencapai tujuan organisasi.

    2.1.2 Komponen komitmen organisasi

    Menurut Meyer dan Allen (1997, dalam Kreitner & Kinicki, 2008) terdapat tiga

    komponen dalam komitmen organisasi, yaitu:

    1) Komponen affective

    Komponen ini Berkaitan dengan keinginan secara emosional terikat

    dengan organisasi, identifikasi serta keterlibatan berdasarkan atas nilai-nilai yang

    sama. Menurut Meyer & Allen (1991, dalam Rhoades, Eisenberger, & Armeli,

    2001) ikatan emosionalkaryawan dalam komitmen afektifdianggap

    sebagaipenentu yang penting daridedikasi dan loyalitas. Komitmen afektif

    karyawan dianggap memilikirasadanidentifikasiyang meningkatkanketerlibatan

    merekadalam kegiatanorganisasi, kesediaan merekauntuk mengejartujuan

    organisasidan keinginanmereka untuk tetapdengan organisasi.

    2) Komponen continuance

    Komitmen didasari oleh kesadaran akan biaya-biaya yang akan ditanggung

    jika tidak bergabung dengan organisasi. Seorang karyawan mungkin berkomitmen

    terhadap seorang yang memberi pekerjaan karena ia dibayar tinggi dan merasa

    bahwa pengunduran diri dari organisasi akan menghancurkan keluarganya.

  • 3) Komponen normative

    Komitmen berdasarkan perasaan wajib sebagai anggota/karyawan untuk

    tetap tinggal karena perasaan hutang budi. Disini terjadi juga internalisasi norma-

    norma.

    2.1.3 Penyebab (antecendent) Komitmen Organisasi

    Komitmen organisasi disebabkan oleh beberapa faktor menurut Meyer dan

    Allen (1997, dalam Kreitner & Kinicki, 2008). Masing-masing dimensi dari

    komitmen organisasi memiliki faktor-faktor ynag berpengaruh. Berikut ini uraian

    mengenai faktor-faktor yang menyebabkan komitmen afektif, komitmen rasional,

    dan komitmen normatif.

    2.1.3.1 Faktor yang menyebabkan komitmen afektif(affective commitment)

    Beberapa faktor yang menyebabkan komitmen afektif, antara lain

    karakteristik organisasi, karakteristik pribadi, dan pengalaman kerja. Pertama,

    karakteristik organisasi yang mempengaruhhi komitmen afektif adalah cara

    pengambilan kebijakan perusahaan. Kedua, karakteristik pribadi yang

    mempengaruhi komitmen afektif, antara lain variabel demografis, seperti gender,

    usia, tingkat pendidikan, dan masa kerja, serta variabel seperti kepribadian, dan

    nilai (value) yang dianut. Secara keseluruhan hubungan antara variabel

    demografis dan komitmen afektif tidak konsisten dan kurang kuat. Berdasarkan

  • hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa wanita memiliki komitmen

    organisasi yang lebih tinggi daripada pria (Meyer & Allen, 1997).

    2.1.3.2 Faktor yang menyebabkan komitmen Rasional (continuance

    commitment)

    Menurut Meyer dan Allen (1997), faktor yang menyebabkan komitmen

    rasional adalah investasi yang diberikan pada organisasi dan alternatif pekerjaan

    lain. Komitmen rasional (continuance commitment) berkorelasi negatif dengan

    jumlah alternatif pekerjaan lain serta menariknya pekerjaan lain tersebut (Meyer

    dan Allen, 1997). Investasi maupun alternatif pekerjaan ini tidak akan berdampak

    apapun terhadap komitmen rasional apabila karyawan tidak menyadari dan tidak

    mengetahui akibatnya.

    2.1.3.3. Faktor yang menyebabkan komitmen Normatif

    Menurut Meyer dan Allen (1997), faktor-faktor yang menyebabkan

    kokmitmen normatif antara lain proses sosialisasi dan investasi yang diberikan

    organisasi pada karyawannya. Proses sosialisasi terjadi di lingkungan keluarga

    maupun lingkungan kerja.

    2.2 Self-efficacy

    2.2.1 Pengertian self-efficacy

    Menurut Kreitner & Knicki (2008) self efficacy adalah keyakinan

    seseorang mengenai kesempatannya untuk sukses dalam mengerjakan tugas yang

    spesifik. Menurut Bandura (1982, dalam Lahey, 2009) self efficacy didefinisikan

    sebagai persepsi bahwa seseorang mampu melakukan apa yang diperlukan untuk

    mencapai tujuan. Maksudnya mampu mengetahui apa yang harus dilakukan dan

  • secara emosional mampu melakukannya. Orang yang memiliki self efficacy yang

    tinggi dapat menerima tantangan yang lebih besar, mengeluarkan usaha lebih, dan

    mungkin lebih berhasil dalam mencapai tujuan sebagai hasil. Orang yang

    memiliki self efficacy rendah tidak mendapat promosi ditempat kerja karena tidak

    melibatkan dirinya untuk memberikan kontribusi yang baik kepada organisasi.

    Menurut Schultz dan Schultz (2006) self efficacy adalah keyakinan

    seseorang akan kemampuannya dalam mengerjakan tugas tertentu. Orang yang

    memiliki self efficacy tinggi tidak terganggu oleh stress dibandingkan dengan

    orang yang memiliki self efficacy rendah. Sementara Bandura (2001, dalam Feist

    & Feist : 2008) mendefinisikan self efficacy sebagai keyakinan manusia pada

    kemampuan mereka untuk melatih sejumlah ukuran pengendalian terhadap fungsi

    diri mereka dan kejadian-kejadian di lingkungannya. Bandura (1997) menyatakan

    bahwa self efficacy merupakan keyakinan individu bahwa ia dapat menguasai

    situasi dan memperoleh hasil yang positif. Selain itu Bandura (1997, dalam

    Luszczynska & Schwarzer, 2005) menjelaskan self efficacy merupakan keyakinan

    seseorang untuk dapat menggunakan keterampilan yang dibutuhkan untuk

    menahan godaan, mengatasi stress, dan mengerahkan sumber daya yang

    diperlukan untuk memenuhi tuntutan situasional.

    Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa self efficacy

    merupakan keyakinan seseorang akan kemampuan yang dimilikinya dirinya

    dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugas yang dihadapi, sehingga mampu

    mencapai tujuan yang diharapkannya

  • 2.2.2 Klasifikasi Self Efficacy

    Self efficacy terbagi menjadi dua bentuk yaitu self efficacy yang tinggi

    danself efficacy yang rendah. Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi

    akan cenderung memilih untuk terlibat langsung dalam mengerjakan suatu tugas,

    sementara individu yang memiliki self efficacy rendah cenderung menghindari

    tugas tersebut.

    Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi cenderung mengerjakan

    suatu tugas tertentu, sekalipun tugas-tugas tersebut merupakan tugas yang sulit.

    Mereka tidak memandang tugas sebagai suatu ancaman yang harus mereka

    hindari. Selain itu, mereka mengembangkan minat instrinsik dan ketertarikan

    mendalam terhadap suatu aktivitas, mengembangkan tujuan, dan berkomitmen

    dalam mencapai tujuan tersebut. Mereka juga mencegah kegagalan yang mungkin

    akan terjadi. Mereka yang gagal dalam melaksanakan sesuatu, biasanya cepat

    mendapatkan self efficacy mereka kembali setelah mengalami kegagalan tersebut

    (Bandura, 1997).

    Individu yang memiliki self efficacy tinggi menganggap kegagalan sebagai

    akibat dari kurangnya usaha keras, pengetahuan, dan keterampilan. Sedangkan

    individu yang memiliki self efficacy rendah, ragu akan kemampuan yang mereka

    miliki sehingga menjauh dari tugas-tugas yang sulit karena tugas tersebut

    dianggap sebagai suatu ancaman bagi mereka. Individu seperti ini memiliki

    komitmen yang rendah dalam mencapai tujuan yang mereka pilih atau yang

    ditetapkan. Individu yang memiliki self efficacy rendah tidak berpikir tentang

    bagaimana cara yang baik dalam menghadapi tugas-tugas yang sulit. Saat

    menghadapi tugas yang sulit mereka mengurangi usaha-usaha mereka dan cepat

  • menyerah. Mereka juga lamban dalam membenahi ataupun mendapatkan kembali

    self efficacy mereka ketika menghadapi kegagalan (Bandura, 1997).

    2.2.3 Sumber Self Efficacy

    1) Mastery experience

    Sumber yang paling kuat atau berpengaruh bagi self efficacy adalah

    pengalaman-pengalaman tentang penguasaan (mastery experience), menurut

    Bandura (dalam Feist & Feist, 2008)yaitu kinerja yang sudah kita lakukan di masa

    lalu. Biasanya, kesuksesan suatu kinerja akan membangkitkan harapan terhadap

    kemampuan diri untuk mempengaruhi hasil yang diharapkan. Sedangkan

    kegagalan cenderung merendahkannya (Feist & Feist, 2008).

    Dalam pekerjaan, menurut Gist & Mitchell (dalam Avey, Luthans &

    Jensen, 2009) keberhasilan dalam melakukan suatu tugas (performa/kinerja)

    sebelumnya akan meningkatkan selfefficacy mengenai tugas tersebut, dan

    kesalahan yang berulang saat melakukan suatu tugas maka membuat harapannya

    menjadi lebih rendah. Dengan kata lain, selfefficacy sangat mempengaruhi kinerja

    seseorang dalam melakukan tugas.

    2) Social modelling

    Social modelling yaitu berbicara mengenai pengalaman-pengalaman tidak

    terduga (vicarious experiences) yang disediakan atau dilakukan oleh orang lain.

    Selfefficacy akan meningkat ketika seseorang mengamati pencapaian orang lain

    yang setara kompetensinya, tetapi akan menurun ketika melihat kegagalan

    seorang rekan kerja (Feist & Feist, 2008).

  • Menurut Bandura (dalam Feist & Feist, 2008 ), social modelling adalah

    pemodelan perilaku orang lain yang telah berhasil menyelesaikan suatu tugas.

    Dengan mengamati dan mengobservasi orang lain yang berhasil menyelesaikan

    tugasnya, observer dapat meningkatkan atau memperbaiki.

    3) Social persuasion

    Menurut Bandura (dalam Feist & Feist, 2008), Self Efficacy dapat juga

    diraihatau dilemahkan melalui persuasi sosial. Efek persuasi sosial agak terbatas,

    namun apabila dalam kondisi yang tepat akan sangat berdampak dalam

    meningkatkan atau menurunkan selfefficacy. Kondisi yang dimaksud ialah

    seseorang harus percaya kepada sang pembicara (persuader). Bandura (1986,

    dalam Feist & Feist, 2008)berhipotesis bahwa efek sebuah nasihat bagi self

    efficacy berkaitan erat dengan status dan otoritas dari pemberi nasihat.

    Social persuasion terjadi ketika seseorang memberitahu kepada seorang

    individu bahwa mereka dapat menyelesaikan tugas dengan berhasil. Bentuk

    umum dari social persuasion yaitu; dorongan verbal, coaching dan menyediakan

    performance feedback (Bandura dalam Avey, Luthans & Jensen, 2009).

    4) Physical and emotion States

    Sumber terakhir dari selfefficacy adalah kondisi fisik dan emosi

    (Bandura,1997). Emosi yang kuat biasanya menurunkan tingkat performa/kinerja

    seseorang. Ketika mengalami rasa takut yang besar, kecemasan yang kuat dan

    tingkat stres yang tinggi, seseorang akan memiliki selfefficacy yang rendah.

    (dalam Feist & Feist, 2008).

  • 2.2.4 Aspek-aspek self efficacy

    Menurut Bandura (1997) terdapat tiga aspek dari self efficacy pada

    individu, yaitu :

    1. Tingkatan (level)

    Adanya perbedaan self efficacy yang dihayati oleh masing-masing individu

    mungkin dikarenakan perbedaan tuntutan yang dihadapi. Tuntutan tugas

    merepresentasikan bermacam-macam tingkat kesulitan atau kesukaran untuk

    mencapai perfomansi optimal. Jika halangan untuk mencapai tuntutan itu sedikit,

    maka aktivitas lebih mudah dilakukan, sehingga kemudian individu akan

    memiliki self efficacy yang tinggi. Jadi, individu memiliki persepsi yang berbeda

    terhadap tuntutan dari setiap tugas yang akan dihadapi sehingga dapat

    menentukan tingkat kesulitan untuk mencapai kinerja yang optimal. Tingkatan

    (level) bisa dikatakan sebagai suatu tingkat ketika seseorang meyakini usaha atau

    tindakan yang dapat ia lakukan.

    2. Kekuatan (Strength)

    Pengalaman memiliki pengaruh terhadap self efficacy yang diyakini

    seseorang. Pengalaman yang lemah akan melemahkan keyakinannya pula.

    Individu yang memiliki keyakinan kuat terhadap kemampuan mereka akan teguh

    dalam berusaha untuk mengeyampingkan kesulitan yang dihadapi dan tidak

    mudah kewalahan dalam menghadapi kesulitan. Dengan pengalaman tersebut

    akan timbul suatu kepercayaan diri yang ada dalam diri seseorang yang dapat ia

    wujudkan dalam meraih performa tertentu.

    3. Keadaan umum (Generality)

  • Sejauh mana individu yakin dengan kemampuannya dalam berbagai

    situasi tugas, mulai dari aktivitas yang biasa dilakukan sampai pada aktivitas

    yang belum pernah dilakukan dalam serangkaian tugas atau situasi yang sulit dan

    bervariasi. Keadaan umum bervariasi dalam jumlah dari dimensi yang berbeda-

    beda, diantaranya tingkat kesamaan aktivitas, perasaan dimana kemampuan

    ditunjukkan (tingkah laku, kognitif, afektif), ciri kualitatif situasi, dan

    karakteristik individu menuju kepada siapa perilaku itu ditujukan. Pengukuran

    berhubungan dengan daerah aktivitas dan konteks situasi yang menampakkan

    pola dan tingkat generality yang paling mendasar berkisar tentang apa yang

    individu susun pada kehidupan mereka.

    2.2 Hubungan antara self efficacy dengan komitmen organisasi

    Berdasarkan teori yang telah dijelaskan Bandura (2001, dalam Feist &

    Feist, 2008) mendefinisikan self efficacy sebagai keyakinan manusia pada

    kemampuan mereka untuk melatih sejumlah ukuran pengendalian terhadap fungsi

    diri mereka dan kejadian-kejadian di lingkungannya.Self efficacy merupakan

    keyakinan individu akan kemampuannya untuk dapat mengerjakan tugas tertentu

    agar mendapatkan hasil yang optimal. Terdapat sumber-sumber yang membentuk

    self efficacy, antara lain mastery experience, social modelling, social persuasion

    dan Physical and Emotion States.

    Sedangkan komitmen organisasi mencerminkan sejauh mana seorang

    individu mengidentifikasi dengan organisasi dan tujuannya. (Kreinter & Kinicki,

    2008). Komitmen organisasi memiliki tiga aspek penting yaitu affective,

    continuance, dan normative. Individu yang memiliki komitmen organisasi akan

    terlihat memiliki nilai-nilai yang sama dengan organisasi di tempatnya bekerja.

  • Guru yang kurang memiliki rasa keyakinan terhadap keberhasilan

    pembelajaran menunjukkan komitmen yang lemah untuk mengajar, kurang dalam

    menghabiskan waktu untuk mata pelajaran, mereka merasa tidak yakin, dan

    kurang mencurahkan waktu untuk keseluruhan hal-hal akademis (Bandura, 1995).

    Sebaliknya guru-guru yang tidak percaya dengan keyakinan mereka untuk

    berhasil akan mencoba untuk menghindari masalah yang berurusan dengan

    akademik dan tidak mengubah usaha mereka untuk meringankan emosional

    mereka.

    Hasil penelitian sebelumnya menyatakan peningkatan self efficacy guru

    akan diikuti dengan peningkatan komitmen guru, dan sebaliknya penurunan self

    efficacy guru akan diikuti dengan penurunan komitmen guru pula (Wulandari &

    Mardhani, 2009). Reyes dan Coladarci (1992, dalam Wulandari & Mardhani,

    2009) menemukan bahwa self efficacy berhubungan dengan komitmen guru

    disekolah, baik itu komitmen guru terhadap organisasi ataupun komitmen guru

    terhadap profesinya.Beberapa penelitian sebelumnya mengenai self efficacy dan

    komitmen organisasi menghasilkan hubungan yang positif signifikan.

    2.3 Pengertian Guru

    Menurut kamus besar bahasa Indonesia (2008), guru adalah orang yang

    pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Menurut Yelon dan

    Weinstein (1997, dalam Mulyasa, 2011) dapat diidentifikasikan sedikitnya 19

    peran guru, yakni guru sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih,

    penasehat, pembaharu (innovator), model dan teladan, pribadi, peneliti,

    pendorong kreativiitas, pembangkit pandangan, pekerja rutin, pembawa cerita,

    aktor, emansipator, evaluator, pengawet dan sebagai kulminator.

  • 2.4 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

    Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no 74 tahun 2008

    tentang guru, Sekolah Menengah Kejuruan yang selanjutnya disingkat SMK

    adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan

    pendidikan kejuruan pada jenjang Pendidikan Menengah sebagai lanjutan dari

    SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang

    diakui sama atau setara SMP atau MTs.

    Sekolah menengah atas (SMK) merupakan salah satu lembaga pendidikan

    yang bertanggung jawab untuk menciptakan sumber daya manusia yang memiliki

    kemampuan, keterampilan dan keahlian dalam bidang tertentu (Mulyadi, 2010)

    SMK dalam proses pendidikannya bekerja sama dengan dunia industri dan

    perdagangan melalui program praktek kerja industri yang biasa disebut prakerin.

    Pelaksanaan praktek kerja ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas lulusan

    SMK sebagai Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal dan profesional.

    2.5.1 Tujuan SMK

    Menurut Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan

    (2011)tujuan SMK antara lain :

    1. Mewujudkan Lembaga Pendidikan Kejuruan yang akuntabel sebagai

    Pusar Pembudayaan Kompetensi Berstandar Nasional

    2. Mendidik Sumber Daya Manusia yang mempunyai etos kerja dan

    kompetensi berstandar internasional

    3. Memberikan berbagai layanan Pendidikan Kejuruan yang permeabel dan

    flesibel secara terintegrasi antara jalur dan jenjang pendidikan

    4. Memperluas layanan dan pemerataan mutu pendidikan kejuruan

  • 5. Mengangkat keunggulan lokal sebagai modal daya saing bangsa

    2.6 Kerangka Berpikir

    - Absensi - Keterlambatan datang ke

    sekolah - Menunda masuk ke dalam

    kelas - Kekosongan jam pelajaran

    (tidak ada yang menggantikan)

    Self Efficacy, memiliki 3 dimensi :

    - Level Tingkat kesulitan dalam menghadapi kewajiban sebagai seorang guuru

    - Strength Tingkat kekuatan diri dalam menjalankan kewajiban sebagai soerang guru

    - Generality Tingkat keyakinan guru dalam menjalankan

    Komitmen Organisasi, memiliki 3 dimensi :

    - Afektif Keinginan secara emosional untuk terikat dengan organisasi

    - Continuance Kesadaran akan biaya atau keuntungan jika tidak bergabung dengan orgnisasi

    - Normative Perasaan wajib untuk tetap tinggal di organisasi karena perasaan hutang budi

    Guru SMK

    Efektivitas belajar mengajar

  • Keterangan Bagan

    Seorang guru dalam pekerjaannya diminta untuk dapat berkomitmen

    terhadap sekolah dan hendaknya dapat menginternalisasikan nilai-nilai yang ada

    pada organisasi kedalam dirinya. Hal tersebut penting untuk mencapai tujuan

    bersama dalam dunia pendidikan maupun organisasi dimana tempat guru tersebut

    mengajar. Dalam perjalanannya banyak dijumpai pelanggaran yang dilakukan

    oleh guru tersebut sehingga menghambat proses belajar mengajar, antara lain

    absensi yang tinggi, keterlambatan datang ke sekolah, menunda-nunda untuk

    masuk ke dalam kelas saat pergantian jam pelajaran, dan jam pelajaran kosong

    (tidak ada yang menggantikan).

    Upaya peningkatan hendaknya dilakukan oleh kepala sekolah dengan

    adanya pembinaan kepada guru yang bersangkutan agar membentuk suatu kondisi

    yang mendukung keyakinan diri guru tersebut dalam melakukan pekerjaanya.

    Peneliti akhirnya menduga bahwa dengan self efficacy yang tinggi yang

    dimiliki seorang guru mampu membuat guru tersebut memiliki komitmen yang

    tinggi pula kepada sekolah sebagai organisasi sehingga dapat menghasilkan

    kegiatan belajar mengajar yang efektif.