2011-2-01074-ps bab2001

32
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan menguraikan teori-teori yang berkaitan dengan variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Variabel-variabel tersebut yaitu impulsivitas membeli, dimensi budaya yang meliputi keyakinan tentang jarak kekuasaan, penghindaran ketidakpastian, kolektivisme, dan maskulinitas, serta pemaknaan simbolik pada uang. Selain itu bab ini akan membahas kerangka berpikir dan hipotesis. 1.1 Impulsivitas Membeli 1.1.1 Definisi Impulsivitas Membeli Impulsivitas membeli merujuk kepada perilaku yang tiba-tiba dan spontan yang mana menghalangi dan/atau mengesampingkan pemikiran, pertimbangan semua variabel informasi dan pilihan alternatif (Bayley & Nancorrow, 1998). Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Peck dan Childers (2006) yang mendefinisikan impulsivitas membeli sebagai kecenderungan untuk membeli secara 7

Upload: avisenic

Post on 01-Dec-2015

24 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ghdfh

TRANSCRIPT

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan menguraikan teori-teori yang berkaitan dengan variabel-variabel

yang digunakan dalam penelitian ini. Variabel-variabel tersebut yaitu impulsivitas

membeli, dimensi budaya yang meliputi keyakinan tentang jarak kekuasaan,

penghindaran ketidakpastian, kolektivisme, dan maskulinitas, serta pemaknaan

simbolik pada uang. Selain itu bab ini akan membahas kerangka berpikir dan

hipotesis.

1.1 Impulsivitas Membeli

1.1.1 Definisi Impulsivitas Membeli

Impulsivitas membeli merujuk kepada perilaku yang tiba-tiba dan

spontan yang mana menghalangi dan/atau mengesampingkan pemikiran,

pertimbangan semua variabel informasi dan pilihan alternatif (Bayley &

Nancorrow, 1998). Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Peck dan

Childers (2006) yang mendefinisikan impulsivitas membeli sebagai

kecenderungan untuk membeli secara spontan, tidak dipikirkan atau tidak

direncanakan, segera, dan secara kinetik.

Menurut Solomon (2004) impulsivitas membeli terjadi ketika

seseorang mengalami dorongan yang kuat yang mana ia tidak dapat

menahannya. Selain itu, perilaku impulsivitas membeli juga disertai

dengan respon emosional yang kuat (Rook & Gardner, 1993) dan

kehilangan kontrol diri (Baumeister, 2002). Respon emosional ini mungkin

7

8

dapat ditimbulkan sebelum, bersamaan dengan, atau setelah pembelian

yang tidak direncanakan (Beatty & Ferrel, 1998; wood, 1998).

Impulsivitas membeli juga terkait dengan kecenderungan untuk

mengabaikan konsekuensi yang berbahaya, misalkan pengeluaran uang

atau membeli barang yang memiliki kualitas yang rendah (Dittmar &

Drury, 2000; Rook, 1997), dan bahkan dapat membentuk pola pembelian

yang berlebihan atau kompulsif (Faber & O’Guinn, 1992; Dittmar, 2005).

Hal ini telah membuktikan dengan jelas bahwa impulsivitas

membeli berbeda dengan perilaku membeli. Perilaku membeli ialah

proses pengambilan keputusan dan tindakan dari orang yang terlibat

dalam membeli dan menggunakan produk (Brown, 2008). Sedangkan

Verplanken dan Herabadi (2001) menyimpulkan bahwa impulsivitas

membeli dapat dikatakan sebagai perilaku pembelian yang spontan

dan/atau tidak direncanakan, disertai respon emosional, dan

mengabaikan konsekuensi berbahaya yang berujung kepada penyesalan.

Solomon (2004) telah membedakan impulsivitas membeli dengan

partial planners. Dapat dikatakan sebagai partial planners apabila

seseorang mengetahui bahwa mereka membutuhkan produk tertentu

namun tidak memutuskan untuk melakukan pembelian atas sebuah

merek tertentu sampai mereka berada di dalam toko, sedangkan pada

impulsivitas membeli tidak memiliki perencanaan sama sekali.

Impulsivitas membeli juga memiliki makna yang berbeda dengan

kompulsivitas membeli. Dittmar (2005, dalam Soliha, 2010)

mengkonseptualisasikan kompulsivitas membeli sebagai suatu

manifestasi ekstrim dari individu yang mencari perbaikan suasana hati

dan peningkatan rasa percaya diri dengan membeli produk-produk yang

9

dapat meningkatkan identitas diri individu tersebut. Di dalam penelitian

Dittmar (2005) menyatakan bahwa perasaan individu akan berubah

secara langsung menjadi positif setelah melakukan pembelian. Menurut

Dittmar (2005, dalam Herabadi, Verplanken, & Knippenberg, 2009)

menerangkan bahwa pembelian yang kompulsif merupakan fenomena

yang lebih kuat dibandingkan dengan impulsivitas membeli.

Peneliti lain seperti (Faber & O’Guinn, 1989, dalam Soliha, 2010)

mendefinisikan kompulsivitas membeli sebagai suatu kondisi kronis

dimana seseorang melakukan aktivitas pembelian berulang sebagai

akibat dari adanya peristiwa yang tidak menyenangkan ataupun perasaan

yang negatif. Sejalan dengan yang dikemukakan Solomon (2004)

menyatakan bahwa kompulsivitas membeli lebih mengacu kepada

pembelanjaan yang berulang, sering berlebihan, sebagai penangkal

ketegangan depresi, kecemasan, atau kebosanan. Kompulsivitas

membeli lebih condong kepada proses pembelian bukan kepada

pembeliannya itu sendiri menurut Solomon (2004).

1.1.2 Karakteristik Impulsivitas Membeli

Adapun karakteristik kecenderungan impulsivitas membeli yang

dikemukakan oleh Rook (dalam Engel & Blackwell, 2006) guna

memberikan gambaran yang jelas akan impulsivitas membeli, yakni

sebagai berikut:

a. Spontanitas

Pembelian tidak diharapkan sebelumnya serta tidak terfikirkan.

Pembeli langsung merespon point of scale terhadap barang yang

dilihatnya pada saat itu juga.

10

b. Dorongan yang kuat

Pembeli termotivasi dengan kuat untuk melakukan pembelian.

c. Perasaan senang dan terangsang

Objek stimulus yang langsung dan sering diikuti oleh adanya

emosi yang dikarakteristikkan dengan perasaan bergairah dan

kegembiraan.

d. Mengabaikan konsekuensi

Impulsivitas membeli memang berpotensi memiliki kecenderungan

untuk mengabaikan konsekuensi yang negatif dan berbahaya.

1.1.3 Penyebab Impulsivitas Membeli

Beberapa peneliti melihat banyak faktor yang mempengaruhi

impulsivitas membeli seperti suasana hati konsumer, self-identity (Dittmar

& Cox, 1995), umur, ketersediaan uang saku, jenis kelamin (Bellenger,

Robertson, & Hirschman, 1978; Wood, 1998), dan pengaruh budaya

(Kacen & Lee, 2002).

1.1.4 Tipe-tipe Perilaku Impulsivitas Membeli

Loudon dan Bitta (1993) telah mengkategorikan empat tipe

perilaku impulsivitas membeli sebagai berikut:

a. Pure Impulse

Dapat dikatakan pure impulse apabila pembeli membeli tanpa

melakukan pertimbangan, atau dengan kata lain, pembeli membeli

tidak dengan pola normal.

11

b. Suggestion Impulse

Tipe ini muncul ketika pembeli tidak mengenal suatu produk, akan

tetapi ketika melihat produk tersebut untuk pertama kali individu

memvisualisasikan kebutuhan akan produk tersebut.

c. Reminder Impulse

Tipe ini merupakan tipe dimana pembeli melihat suatu produk dan

mengingat bahwa ia kekurangan akan suatu produk tersebut atau

mengingat suatu iklan tentang barang tersebut dan membuat

keputusan untuk membeli.

d. Planned Impulse

Pada tipe ini, pembeli memasuki sebuah toko dengan tujuan untuk

membeli suatu barang dan kemudian menyadari bahwa ia

mungkin akan melakukan pembelian atas barang lainnya dengan

harapan dan intensi membeli berdasarkan atas harga khusus,

kupon dan lainnya seperti itu.

1.2 Dimensi Budaya

Budaya merupakan program mental kolektif dari pemikiran

manusia yang membedakan satu kelompok orang dari yang lain

(http://geert-hofstede.com/indonesia.html). Hofstede (1980) telah

mengkategorikan budaya kedalam empat dimensi yaitu keyakinan

tentang jarak kekuasaan (Power Distance Belief), penghindaran

ketidakpastian (Uncertainty Avoidance), kolektivisme (Collectivsm), dan

maskulinitas (Masculinity).

12

Hofstede telah meneliti dimensi budaya terhadap beberapa

negara salah satunya negara Indonesia

(http://geert-hofstede.com/indonesia.html). Konteks penelitian yang

dilakukan oleh Hofstede ini ialah untuk melihat bagaimana nilai-nilai di

tempat kerja dipengaruhi oleh dimensi budaya. Selain itu, penelitian yang

dilakukan oleh Hofstede mengukur dimensi budaya pada level negara.

1.2.1 Keyakinan tentang Jarak Kekuasaan

Dimensi ini sepakat dengan fakta bahwa semua individu dalam

masyarakat tidak sama terhadap ketidaksetaraan sikap budaya

(http://geert-hofstede.com/indonesia.html). Hal ini melahirkan adanya

keyakinan tentang jarak kekuasaan atau yang biasa dikenal sebagai

Power Distance Belief (PDB).

Hofstede telah mengungkapkan dimensi keyakinan tentang jarak

kekuasaan ini sebagai tingkat sejauh mana anggota sebuah kebudayaan

mengharapkan dan menerima bahwa kekuasaan yang didistribusikan

tidak merata (Hofstede, 2001).

Keyakinan tentang jarak kekuasaan tidak mengukur sejauh mana

individu memiliki atau tidak memiliki kekuatan (Oyserman, 2006, dalam

Zhang, Winterich, & Mittal, 2009). Perbedaan utama yang membedakan

budaya keyakinan tentang jarak kekuasaan yang tinggi dan rendah tidak

terletak pada perbedaan kekuasaan individu tersebut, melainkan dalam

sikap individu terhadap perbedaan kekuasaan.

Karakteristik individu khususnya pada anak-anak dengan

keyakinan tentang jarak kekuasaan yang tinggi antara lain menempatkan

13

premi kepada kepatuhan, konformitas, dan penahanan diri (Hofstede,

1980; 2001). Selain itu, karakteristik bagi orang dewasa dengan

keyakinan tentang jarak kekuasaan yang tinggi antara lain memilki

ekspektasi untuk mengontrol diri dan menghormati norma sosial

(Hofstede, 1980; 2001).

Sebaliknya, Shavitt, Lawlani, Zhang, dan Torelli (2006) melihat

individu-individu yang menganut budaya keyakinan tentang jarak

kekuasaan yang rendah cenderung untuk tidak menunjukkan kontrol diri

dan kurang menanggapi aturan-aturan sosial yang ada.

Dalam penelitian Hofstede

(http://geert-hofstede.com/indonesia.html) yang dilakukan di Indonesia,

dimensi ini memiliki skor 78 yang berarti memiliki nilai keyakinan tentang

jarak kekuasaan yang tinggi. Makna dari nilai budaya yang tinggi ini

menunjukkan bahwa karakteristik Indonesia bergantung kepada hirarki

atau pangkat kedudukan dan ketidakseimbangan hak antara pemangku

kepentingan dan bukan pemangku kepentingan. Individu akan lebih

mengharapkan adanya kontrol manajemen dan adanya suatu arahan

atau delegasi.

Selain di Indonesia, Hofstede telah melakukan penelitian di

budaya barat seperti Amerika, Belanda, Kanada, dan lain sebagainya

dengan tipikal keyakinan terhadap jarak kekuasaan yang rendah

(Hofstede, 2005). Dimensi dengan nilai yang rendah ini memberikan

makna yang cenderung untuk menempatkan nilai yang tinggi pada

kepuasan yang langsung terpenuhi dibandingkan dengan kepuasan yang

tertunda atau delay gratification (Chen, Ng, & Rao, 2005).

14

1.2.2 Penghindaran Ketidakpastian

Dimensi ini dikenal sebagai Uncertainty Avoidance (UA).

Penghindaran ketidakpastian mengungkapkan sejauh mana anggota

masyarakat merasa tidak nyaman dengan ketidakpastian dan ambiguitas

(Hofstede, 2001).

Hogg dan Vaughann (2008) menggambarkan dimensi

penghindaran ketidakpastian sebagai perencanaan untuk stabilitas dalam

menghadapi ketidakpastian hidup.

Ketidakpastian akan masa depan merupakan fakta dasar dari

kehidupan manusia yang mana mereka mencoba untuk mengatasi

melalui domain tekhnologi, hukum, dan agama (Baker & Carson, 2011).

Ketidakpastian yang ekstrim menciptakan kecemasan yang berat,

dan masyarakat telah mengembangkan cara untuk mengatasi

ketidakpastian yang melekat pada ketidakpastian hidup (Hofstede, 2001).

Individu dengan budaya penghindaran ketidakpastian yang rendah

memiliki karakteristik toleran terhadap aturan atau hal yang tabu. Individu

tersebut lebih menyukai inovasi dan ide-ide maupun perilaku yang

menyimpang serta memiliki ketertarikan terhadap suatu hal yang

berbeda. Selain itu, bagi individu dengan penghindaran ketidakpastian

yang rendah memiliki agresi dan emosi yang tidak diperlihatkan. Individu

akan lebih di motivasi oleh suatu prestasi dan harga diri (Hofstede, 2005).

Sebaliknya, karakteristik seseorang dengan budaya

penghindaran ketidakpastian yang tinggi antara lain takut terhadap

sesuatu yang tidak pasti atau ambigu dan tidak menyukai ide-ide serta

perilaku yang menyimpang atau berbeda. Individu akan lebih menerima

resiko yang sudah dikenalnya. Selain itu mereka jarang melakukan

15

inovasi dikarenakan bagi mereka sesuatu yang baru merupakan hal yang

ditakuti. Individu akan lebih dimotivasi oleh harga diri dan keamanan.

Mereka memiliki prinsip yakni waktu adalah uang atau ‘time is money’

(Hofstede, 2005).

Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Hofstede (http://geert-

hofstede.com/indonesia.html) didapatkan skor sebesar 48 terhadap

dimensi penghindaran ketidakpastian di Indonesia. Tentunya skor ini

menunjukkan preferensi rendah menengah untuk menghindari

ketidakpastian. Dengan ini, terdapat preferensi kuat di Indonesia yang

memungkinkan penghindaran ketidakpastian untuk menjaga penampilan

dengan menunjukkan sikap harmoni bagi lingkungan dan menggunakan

perantara untuk menghilangkan ketidakpastian yang berhubungan

dengan konfrontasi

1.2.3 Kolektivisme

Isu mendasar pada dimensi ini ditujukan kepada tingkat

ketergantungan masyarakat mempertahankan para anggotanya

(http://geert-hofstede.com/indonesia.html).

Menurut Vaughann dan Hogg (2008) mendefinisikan dimensi

individualisme sebagai identitas seseorang yang ditentukan oleh pilihan

pribadi atau kolektif.

Hofstede (1980, 2001) menggambarkan individualisme dan

kolektivisme sebagai berikut:

“Individualism stands for a society in which the ties

between individuals are loose: Everyone is expected to look

after her/his immediate family only. Collectivism stands for a

16

society in which people from birth onwards are integrated into

strong, cohesive in-groups, which throughout people’s lifetime

continue to protect them in exchange for unquestioning

loyalty” (Hofstede, 2001: 225).

Jika diartikan secara bebas, individualisme merujuk kepada

sebuah masyarakat dimana hubungan antara satu individu dengan

individu lain tidak terlalu mengikat atau longgar. Setiap individu menjaga

diri sendiri dan keluarga langsung mereka saja, seperti keluarga inti atau

yang memiliki hubungan darah. Sedangkan pada masyarakat

kolektivisme merujuk kepada sebuah masyarakat dimana individu dari

lahir terus terintegrasi dengan kuat, bersatu didalam kelompok, yang

mana sepanjang hidup anggota masyarakat terus melindungi satu sama

lain dengan kesetiaan yang tidak diragukan lagi.

Hofstede (http://geert-hofstede.com/indonesia.html) menyatakan

bahwa citra seseorang dalam masyarakat di dalam dimensi ini tercermin

dalam kata “Saya” (individualisme) atau “Kami” (kolektivisme).

Pada dimensi individu maupun kolektivisme memiliki karakteristik

masing-masing. Seseorang dengan individulisme yang tinggi memiliki

karakteristik antara lain lebih dimotivasi oleh preferensi diri termasuk

kebutuhan dan hak diri, memberikan prioritas terhadap tujuan pribadi, dan

memiliki fokus terhadap analisa rasional dari hubungan mereka dengan

orang lain (Triandis, 1994, dalam Kacen & Lee, 2002). Selain itu orang

yang individualis ditandai dengan berbicara sesuai dengan apa yang

dipikirkan yang mana merupakan karakteristik dari orang yang jujur, dan

memiliki rasa interdependen yang cenderung rendah (Hofstede, 2005).

17

Berbeda dengan dimensi kolektivisme, yang mana seseorang

dengan kolektivisme yang tinggi seringkali dimotivasi oleh norma dan

kewajiban yang diberlakukan oleh kelompoknya dan memberikan prioritas

terhadap tujuan dari kelompok tersebut (Kacen & Lee, 2000).

Karakteristik lain dari budaya ini ialah keharmonisan yang terjalin antar

anggota harus selalu dipertahankan, rasa interdependen yang dimiliki

cenderung tinggi, dan konfrontasi antar anggota yang datang secara

langsung sebisa mungkin dihindari (Hofstede, 2005)

Hofstede (http://geert-hofstede.com/indonesia.html) melakukan

penelitian terhadap dimensi kolektivisme di Indonesia. Hasil yang

didapatkan yakni Indonesia memiliki nilai yang rendah pada dimensi ini

yaitu bernilai 14 yang berarti merupakan masyarakat kolektivis. Ini

memiliki makna bahwa terdapat preferensi yang tinggi untuk kerangka

sosial. Individu sangat ditentukan dan diharapkan untuk sesuai dengan

tujuan dari masyarakat dan kelompoknya yang mana mereka berasal

(http://geert-hofstede.com/indonesia.html).

1.2.4 Maskulinitas

Dualitas dari jenis kelamin seperti maskulinits dan femininitas

merujuk kepada fakta mendasar yang mana setiap masyarakat mengatasi

sesuatu dengan cara yang berbeda pula (Hofstede, 1980).

Definisi dari sisi maskulinitas di dimensi ini merupakan preferensi

masyarakat untuk suatu prestasi, kepahlawanan, ketegasan, dan imbalan

materi untuk sukses. Masyarakat dalam arti luas lebih kompetitif di

dimensi ini. Berlawanan dengan dimensi femininitas yang menyinggung

mengenai preferensi untuk kerja sama, kerendahan hati, menjaga yang

18

lemah, dan kualitas hidup. Masyarakat luas di dimensi femininitas ini lebih

berorientasi kepada konsensus atau permufakatan bersama (Hofstede,

2001).

Sejalan dengan Vaughann dan Hogg (2008) yang mendefinisikan

dimensi ini sebagai menilai atribut baik yang memiliki tipikal maskulin

(pencapaian dan memperoleh keberhasilan materi) atau memiliki tipikal

feminin (mempromosikan harmoni interpersonal dan merawat terhadap

sesama).

Hofstede (2005) telah mengkarakteristikkan dimensi feminin

sebagai semua orang seharusnya sopan, simpati untuk yang lemah, dan

resolusi konflik dilakukan dengan kompromi dan perundingan. Selain itu

pada dimensi ini lebih mengutamakan solidaritas antar sesama serta

pentingnya menjalin hubungan yang hangat terhadap sesama.

Sedangkan pada budaya maskulinitas dikarakteristikkan sebagai seorang

yang tegas, ambisius, tangguh, dan simpati untuk yang kuat. Dalam

menghadapi konflik sebisa mungkin resolusi konflik dilakukan dengan

memerangi mereka, terjadinya kompetisi di antara rekan kerja, dan uang

merupakan hal yang penting.

Penelitian dimensi maskulinitas telah dilakukan oleh Hofstede di

Indonesia. Di Indonesia sendiri dimensi maskulinitas memiliki skor 46

yang memiliki arti bahwa Indonesia tergolong kedalam dimensi

femininitas dikarenakan nilai yang didapatkan cukup rendah (http://geert-

hofstede.com/indonesia.html). Status di Indonesia dan simbol nyata dari

keberhasilan merupakan hal yang penting namun tidak selalu keuntungan

materil yang dijadikan motivasi. Seringkali posisi yang memegang

peranan lebih penting bagi mereka yaitu “gengsi” (outward appearance)

19

atau harga diri. Gengsi sangat dipertahankan sehingga memproyeksikan

penampilan luar yang berbeda yang bertujuan untuk mengesankan dan

menciptakan status yang memiliki aura

(http://geert-hofstede.com/indonesia.html).

1.3 Pemaknaan Simbolik pada Uang

Thierry (2001, dalam Hayes, 2005) mengatakan bahwa seseorang

yang menganggap uang sebagai suatu pencapaian akan tujuan tertentu,

maka uang tersebut akan terlihat sebagai suatu pemaknaan simbolik

yang mana perilaku seseorang akan terpengaruh oleh makna simbolik

tersebut.

Setiap individu memiliki pemaknaan pada uang yang berbeda satu

sama lain (Hayes, 2005). Beberapa tokoh meneliti bahwa uang kerap kali

dimaknai simbolik sebagai kekuatan dan/atau martabat (Srivastava,

Locke, & Bartol, 2001; Yamauchi & Templer, 1982), pengakuan sosial,

dan kesuksesan (Tang, 1992).

Dalam memahami pemaknaan simbolik pada uang ini, Thierry

(2001) telah memformulasikan suatu konstruk dan teori guna

menggambarkan pemaknaan simbolik terhadap uang.

Teori tersebut dinamakan teori refleksi yang mana didasarkan

kepada proporsi bahwa pembayaran berupa uang memiliki makna yang

berarti kepada individu karena uang merefleksikan informasi dari domain

penting (Thierry, 2001). Dengan kata lain, uang akan menjadi penting

bagi individu apabila uang tersebut mengkomunikasikan mengenai isu

penting kepada individu, seperti halnya dengan uang seseorang dapat

20

membeli rumah mewah yang mana rumah tersebut menyimbolkan suatu

pencapaian akan kesuksesan seseorang.

Menurut Thierry (2001) uang jadi sangat berarti apabila

pembayaran merefleksikan empat domain yang terpisah yaitu motivasi,

posisi relatif atau umpan balik, kontrol, dan pengeluaran.

Thierry (2001, dalam Hayes, 2005) secara spesifik menguraikan

empat domain penting tersebut dari makna pembayaran. Pertama terkait

dengan motivasi. Pembayaran merefleksikan pencapaian tujuan

kepemilikan suatu instrumen, seperti rumah dapat membawa peranan

penting kepada kepuasan dari pemenuhan kebutuhan atau motif tertentu.

Sebagai salah satu contoh pembayaran mungkin sebagai simbolisme

sesuatu seperti status di masyarakat, pengakuan, dan stabilitas.

Konsekuensinya, motivasi dari makna pembayaran merupakan hasil

refleksi yang mana individu termotivasi untuk memenuhi kepuasan

dengan uang.

Kedua, pembayaran juga dapat dipandang sebagai sinyal umpan

balik mengenai kinerja pekerjaan yang mana Thierry (2001, dalam Hayes,

2005) menamakannya sebagai posisi relatif. Posisi relatif memiliki dua

aspek. Pertama memberikan umpan balik mengenai kinerja dalam

hubungannya menentukan standar atau tujuan. Kedua, pembayaran

merefleksikan umpan balik mengenai kinerja dalam hubungannya dengan

orang lain. Pada skala besar, posisi relatif juga menyatakan tingkat

apresiasi individu yang dimiliki organisasi atas kinerja individu tersebut

terhadap organisasi.

Ketiga, pembayaran juga merefleksikan sejauh mana individu

memiliki otonomi untuk mengatur dirinya sendiri dan orang lain, yang

21

dikenal sebagai kontrol. Pembayaran mencerminkan sejauh mana

seseorang dapat mengatur perilaku mereka sendiri dalam sebuah

organisasi. Selain itu, pembayaran juga dapat mengubah perilaku orang

lain dalam organisasi terhadap apa yang individu inginkan dengan kata

lain hasil lebih dihargai.

Domain keempat yaitu pengeluaran. Thierry (2001, dalam Hayes,

2005) memaknai gaji dan pengeluaran berkaitan erat dengan cerminan

arti barang dan jasa yang dapat dibeli. Thierry telah mengemukakan

bahwa salah satu yang berhubungan dari gaji yakni dengan kepuasan

yang dihasilkan dari kemampuan membeli barang nyata dan jasa.

Dimensi Budaya

22

1.4 Kerangka Berfikir

Berikut merupakan model kerangka berpikir yang peneliti gunakan dalam

penelitian ini.

Gambar 2.1 Bagan kerangka berpikir

Sumber: Diolah oleh penulis

Kolektivisme

Pemaknaan simbolik pada uang

Maskulinitas

Penghindaran ketidakpastian

Keyakinan tentang jarak kekuasaan

Impulsivitas membeli

IV

DV

23

2.4.1 Pengaruh keyakinan tentang jarak kekuasaan terhadap

impulsivitas membeli

Pada penelitian sebelumnya telah ditemukan bahwa konsumen

dengan keyakinan tentang jarak kekuasaan yang tinggi cenderung untuk

menunjukkan impulsivitas membeli yang rendah dibandingkan dengan

konsumen yang menganut keyakinan tentang jarak kekuasaan yang

rendah (Zhang, Winterich, & Mittal, 2009). Penelitian ini dilakuan di

Australia, New Zealand, China, Hongkong, dan sebagainya. Sampel dari

penelitian ialah keluarga yang tinggal di perkotaan.

Pengaruh keyakinan tentang jarak kekuasaan terhadap

impulsivitas membeli tersebut diasosiasikan dengan adanya kontrol diri.

Orang-orang dapat mempelajari hubungan antara nilai-nilai budaya dan

perilaku yang diharapkan (Hong, Veronica, Chie-yue, & Morris, 2003;

Oyserman & Lee, 2007, dalam Zhang, Winterich, & Mittal, 2009). Seperti

halnya seseorang belajar nilai-nilai budaya seperti konsep keyakinan

tentang jarak kekuasaan dan kontrol diri melalui berbagai mekanisme,

membangun jaringan semantik budaya dan konsep yang terkait misalkan

saja perilaku yang diharapkan seperti menahan diri terhadap godaan

sosial (Oyserman & Lee, 2007, dalam Zhang, Winterich, & Mittal, 2009).

Dalam penelitian ini, contoh godaan sosial yang ada ialah impulsivitas

membeli.

Sebagai contoh, di Indonesia yang memiliki keyakinan tentang

jarak kekuasaan yang tinggi (http://geert-hofstede.com/indonesia.html)

dapat mempelajari kontrol diri dan keyakinan tentang jarak kekuasaan

dalam menciptakan dan memperkuat hubungan satu sama lain. Contoh

lainnya ialah AS yang memiliki keyakinan tentang jarak kekuasaan yang

24

tinggi dapat mempelajari hubungannya antara kontrol diri terhadap jarak

kekuasaan seperti yang dilakukanya oleh militer Amerika Serikat yang

memiliki keyakinan tentang jarak kekuasaan yang tinggi (Soeters,

Poponete, & Page, 2006).

Selain itu, lembaga media juga memiliki peranan yang penting.

Keberadaan lembaga media secara terus-menerus mentransmisikan nilai-

nilai budaya kepada individu (Lull 2000, dalam Zhang, Winterich, & Mittal,

2009). Dengan hadirnya peranan media ini memiliki arti yang cukup

signifikan dalam membangun makna budaya maupun perilaku yang

diharapkan.

Dengan dimensi budaya seperti keyakinan tentang jarak

kekuasaan dengan kontrol diri, yang dapat dipelajari dan dibentuk melalui

berbagai mekanisme, dapat membangun suatu makna budaya yang

mana makna budaya tersebut akan mempengaruhi pemikiran kita tentang

diri kita sendiri maupun orang lain (Zhang, Winterich, & Mittal, 2009).

Beranjak dari hal tersebut, keyakinan tentang jarak kekuasaan

yang tinggi, yang mana memiliki kontrol diri yang tinggi pula, akan

berpengaruh terhadap penahanan perilaku impulsivitas membeli. Dengan

keyakinan tentang jarak kekuasaan yang tinggi akan menghantar

seseorang untuk menahan diri dalam menghadapi godaan perilaku sosial

yang terlarang seperti impulsivitas membeli.

Maka dari itu, keyakinan tentang jarak kekuasaan yang tinggi yang

mana memiliki asosiasinya dengan kontrol diri yang tinggi, akan

mengarah kepada perilaku impulsivitas yang rendah. Sedangkan individu

dengan keyakinan keyakinan jarak kekuasaan yang rendah berhubungan

25

dekat dengan kontrol diri yang rendah dapat mengarah kepada perilaku

impulsivitas membeli yang tinggi (Zhang, Winterich, & Mittal, 2009).

Peneliti mencoba untuk melakukan kembali penelitian mengenai

pengaruh keyakinan tentang jarak kekuasaan terhadap impulsivitas

membeli dikarenakan peneliti ingin memberikan informasi tentang

impulsivitas membeli yang berhubungan dengan nilai-nilai budaya di

Indonesia khususnya pada mahasiswa di Jakarta dan sekitarnya.

2.4.2 Pengaruh penghindaran ketidakpastian terhadap impulsivitas

membeli

Individu dengan budaya penghindaran ketidakpastian yang tinggi

cenderung lebih kaku dan dogmatis. Mereka terancam oleh situasi yang

tidak pasti, hidup dirasakan dengan penuh resiko, dan ketegangan yang

dirasakan harus dikurangi. Budaya dengan penghindaran ketidakpastian

yang tinggi mungkin mengandalkan mekanisme seperti peraturan, adat,

hukum, dan agama dalam mengejar keamanan (Hofstede, 1980).

Seseorang yang memiliki penghindaran ketidakpastian yang tinggi

diduga memiliki pengaruh terhadap impulsivitas membeli. Seseorang

dengan penghindaran ketidakpastian yang tinggi cenderung takut

menghadapi sesuatu yang mengancam atau tidak pasti, serta akan

menghasilkan ketegangan (Hofstede, 2005).

Sebagai perumpamaan, seseorang dengan penghindaran

ketidakpastian yang tinggi akan cenderung membeli sejumlah barang

diluar awal perencanaan mereka guna memenuhi kebutuhan mereka

yang tidak pasti di masa mendatang. Sedangkan seseorang dengan

penghindaran ketidakpastian yang rendah diduga akan cenderung

26

memiliki perilaku impulsivitas membeli yang rendah. Hal ini dikarenakan

seseorang dengan penghindaran ketidakpastian yang rendah lebih

mampu menerima resiko, berani dalam menghadapi sesuatu yang

mengancam dan tidak pasti serta tidak merasakan banyak resiko

terhadap keadaan yang mengancam (Hofstede, 2005).

2.4.3 Pengaruh kolektivisme terhadap impulsivitas membeli

Peneliti terdahulu telah menemukan pengaruh individualisme

dengan impulsivitas membeli.

Kacen dan Lee (2000) menyatakan bahwa individu yang

menganut budaya kolektivisme akan menekan perilaku impulsivitas

membeli, sedangkan seseorang yang menganut budaya individualisme

akan lebih berperilaku impulsif dalam membeli.

Pada penelitian ini, kecenderungan untuk fokus terhadap

preferensi kelompok dan harmoni kelompok dalam budaya kolektivis

mengarah kepada kemampuan untuk menekan atribut individu dalam

pengaturan yang tepat. Orang-orang yang kolektivis sering berperilaku

berdasarkan konteks yang berlaku atau apa yang “benar” dari suatu

situasi. Kebanyakan orang yang kolektivis umumnya terlihat lebih mapan

ketika mereka menampilkan perasaan pribadi dan berperilaku sesuai

dengan tata perilaku sosial yang tepat dan sesuai dibandingkan dengan

sikap dan keyakinan terhadap dirinya (Triandis, 1994).

Jika dilihat dari kontrol dan emosi, pada budaya kolektivisme lebih

menekan kontrol dan lebih memoderasi emosi seseorang dibandingkan

dari budaya individualisme (Potter, 1988).

27

Budaya mempengaruhi seseorang untuk dapat bersikap dan

berekspresi sesuai dengan lingkungan agar mereka dapat memberikan

ekspresi yang tepat sesuai dengan lingkungan dimana mereka berada.

Dengan hal ini, impulsivitas membeli yang berhubungan dengan

dorongan emosional (Rook, 1987), diduga akan memiliki pengaruhnya

dengan budaya individualisme dan kolektivisme yang mana orang-orang

dengan budaya kolektivisme akan lebih mengikuti kontrol dan emosi

sesuai dengan anggota kelompoknya dan memiliki kecenderungan untuk

berperilaku impulsif dalam membeli suatu barang dibandingkan dengan

orang-orang pada budaya individualisme.

2.4.4 Pengaruh maskulinitas terhadap impulsivitas membeli

Di Indonesia, yang mana dominan kepada dimensi femininitas,

diduga akan berperilaku impulsif dalam melakukan pembelian untuk

mendapatkan barang-barang yang diyakini dapat memberikan kesan

yang mengesankan atau yang biasa dinamakan dengan “gengsi”

(outward appearance) tersebut.

Pembelian terhadap barang terutama yang memberikan kesan

yang berbeda seperti halnya barang dengan merek ternama akan

menjadikan seseorang semakin impulsif dalam berbelanja.

Sebaliknya, bagi individu yang berada pada dimensi maskulin

diduga tidak memiliki kecenderungan untuk berperilaku impulsif dalam

berbelanja. Seperti yang telah dikemukakan oleh Hofstede (2005) bahwa

uang, keberhasilan, serta prestasi merupakan hal yang penting. Bagi

mereka keuntungan materi merupakan motivasi bagi mereka sehingga

28

menghamburkan banyak uang dalam berprilaku impulsif dalam belanja

demi memberikan kesan yang berbeda tidaklah penting bagi mereka.

2.4.5 Pengaruh pemaknaan simbolik pada uang terhadap impulsivitas

membeli

Seseorang yang memiliki kesadaran akan makna simbolik uang

akan mengacu kepada pencapaian tujuan instrumental, seperti

kepemilikan akan rumah maupun handphone blackberry dapat membawa

peranan penting kepada kepuasan dari pemenuhan kebutuhan atau motif

tertentu. Selain itu uang disimbolisasikan sebagai suatu status ataupun

kepuasan yang dihasilkan dari mampu membeli barang nyata dan jasa.

Dengan seseorang yang memaknai pentingnya besaran uang maka

seseorang tersebut akan melakukan pembelian yang impulsif guna

mencapai kepuasan.