bab 2 tinjauan pustaka dalam bab ini akan dibahas teori...

23
10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dibahas teori mengenai Self-esteem, Body Dissatisfaction dan Eating Disorders. 2.1 Self-Esteem 2.1.1 Definisi Self-esteem Istilah self-esteem dalam bahasa indonesia disebut dengan penghargaan diri. Berikut merupakan penjabaran dari pengertian self-esteem menurut beberapa tokoh: Rosenberg (1965) mendefinisikan self-esteem sebagai perasaan penerimaan diri (self-acceptance), penghargaan diri (self-respect dan self-worth) dan evaluasi diri yang positif yang dikonseptualisasikan sebagai karakteristik yang relatif menetap. Baron dan Byrne (dalam Geldard, 2010) mengatakan bahwa self-esteem merupakan penilaian inidividu terhadap diri sendiri dan dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki orang lain dalam menjadi pembanding. Menurut Atwater dan Duffy (2002) self-esteem adalah evaluasi pribadi terhadap diri sendiri yang menghasilkan perasaan berharga yang terkait dengan konsep diri. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa definisi self-esteem adalah suatu penilaian atau evaluasi individu terhadap dirinya sendiri yang relatif menetap, penerimaan pada diri yang diekpresikan melalui perilaku dan sikapnya terhadap diri sendiri serta meliputi berbagai karakteristik baik positif maupun negatif yang menghasilkan perasaan berharga.

Upload: hathu

Post on 10-Nov-2018

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

10

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan dibahas teori mengenai Self-esteem, Body Dissatisfaction

dan Eating Disorders.

2.1 Self-Esteem

2.1.1 Definisi Self-esteem

Istilah self-esteem dalam bahasa indonesia disebut dengan penghargaan diri.

Berikut merupakan penjabaran dari pengertian self-esteem menurut beberapa tokoh:

Rosenberg (1965) mendefinisikan self-esteem sebagai perasaan penerimaan

diri (self-acceptance), penghargaan diri (self-respect dan self-worth) dan evaluasi diri

yang positif yang dikonseptualisasikan sebagai karakteristik yang relatif menetap.

Baron dan Byrne (dalam Geldard, 2010) mengatakan bahwa self-esteem

merupakan penilaian inidividu terhadap diri sendiri dan dipengaruhi oleh

karakteristik yang dimiliki orang lain dalam menjadi pembanding.

Menurut Atwater dan Duffy (2002) self-esteem adalah evaluasi pribadi

terhadap diri sendiri yang menghasilkan perasaan berharga yang terkait dengan

konsep diri.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa definisi self-esteem

adalah suatu penilaian atau evaluasi individu terhadap dirinya sendiri yang relatif

menetap, penerimaan pada diri yang diekpresikan melalui perilaku dan sikapnya

terhadap diri sendiri serta meliputi berbagai karakteristik baik positif maupun negatif

yang menghasilkan perasaan berharga.

11

2.1.2 Bagian konstruk dari Self-esteem

Menurut Heatherton dan Polivy (1991) self-esteem, dapat dikonstruk menjadi

komponen utama yakni :

a. Performance self-esteem mengacu pada kompetensi umum seseorang

meliputi kemampuan intelektual, performa hasil sekolah, kapasitas diri, percaya

diri, self-efficacy dam self agency.

b. Social self-esteem mengacu pada bagaimana seseorang mempercayai

pandangan orang lain menurut mereka. Apabila orang lain terutama significant

others menghargai mereka maka akan memiliki social self-esteem yang tinggi.

Seseorang dengan social self-esteem yang rendah akan merasakan kecemasan

ketika berada di publik dan akan sangat khawatir mengenai image mereka dan

bagaimana orang lain memandang mereka.

c. Physical (Appearance) self-esteem mengacu pada bagaimana seseorang

melihat fisik mereka meliputi skills, penampilan menarik, body image dan juga

stigma mengenai ras dan etnis.

2.1.3 Faktor yang mempengaruhi Self-esteem

Berikut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi self-esteem:

1. Lingkungan Keluarga

Tempat sosialisasi pertama adalah lingkungan keluarga. Perlakuan adil,

pemberian kesempatan untuk aktif dan pendidikan yang demokratis

biasanya terdapat pada anak yang memiliki self-esteem yang tinggi

(Monks, 2004).

2. Lingkungan Sosial

Lingkungan sosial dimana individu berada turut mempengaruhi

pembentukan self-esteem. Individu mulai menyadari bahwa dirinya

12

berharga sebagai individu dengan lingkungannya. Penilaian masyarakat

terhadap individu akhirnya mempengaruhi konsep diri yakni self-esteem

(Sriati, 2008). Hubungan dengan teman dan keluarga juga dapat

mempengaruhi self-esteem. Selain itu, pernikahan dan hubungan yang

saling mendukung juga mampu meningkatkan self-esteem (Orth, Robins,

dan Trzesniewski, 2010). Kehilangan kasih sayang, penghinaan dan

dijauhi teman akan menurunkan self-esteem. Sebaliknya pengalaman,

keberhasilan, persahabatan dam kemasyhuran akan meningkatkan self-

esteem. Hubungan dengan sesama anggota masyarakat dengan budaya,

ras dan agama yang berbeda dapat turut mempengaruhi self-esteem.

(Monks, 2004).

3. Faktor Psikologis

Penerimaan diri akan mengarahkan individu untuk mampu menentukan

arah dirinya pada saat mulai memasuki hidup bermasyarakat sebagai

anggota masyarakat yang sudah dewasa. (Monks, 2004).

4. Demografis (Gender, Usia dan Etnis)

Perbedaan jenis kelamin antara pria dan wanita dapat mengakibatkan

terjadinya perbedaan yang terkait dengan pola pikir, cara berpikir serta

cara bertindak (Monks, 2004). Hal ini paling banyak terjadi pada usia

remaja dan dewasa sedangkan tidak berpengaruh besar pada usia tua.

Etnik juga berpengaruh terhadap self-esteem (Orth, Robins, dan

Trzesniewski, 2010).

5. Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi yang meliputi tingkat pendidikan, pendapatan, dan

gengsi pekerjaan. Status sosial ekonomi dapat mempengaruhi self-esteem

13

karena status dan kekayaan dapat mempengaruhi persepsi seseorang

tentang nilai dirinya (Orth, Robins, dan Trzesniewski, 2010).

2.1.4 Self-esteem pada Remaja

Flemming & Courtney (1984) dalam Frey (1994) mengemukakan bahwa self-

esteem pada remaja dibagi menjadi lima aspek, yaitu :

1. Perasaan ingin dihormati

Perasaan ingin diterima oleh orang lain, perasaan ingin dihargai, didukung,

diperhatikan, dan merasa diri berguna.

2. Percaya diri dalam bersosialisasi

Merasa percaya diri, mudah bergaul dengan orang lain, baik baru dikenal

maupun baru dikenal.

3. Kemampuan akademik

Sukses memenuhi tuntutan prestasi ditandai oleh keberhasilan individu dalam

mengerjakan bermacam-macam tugas pekerjaan dengan baik dan benar.

4. Penampilan fisik

Kemampuan merasa bahwa diri memiliki kelebihan, merasa diri menarik, dan

merasa percaya diri.

5. Kemampuan fisik

Mampu melakukan sesuatu dalam bentuk aktivitas, dapat berprestasi dalam

hal kemampuan fisik.

2.1.5 Self-esteem pada Dewasa Muda

Pada usia dewasa muda ini, orang telah memiliki pekerjaan yang stabil,

keluarga, dan hubungan percintaan, dikarakteristikan dengan pencapaian prestasi

puncak dan memiliki kontrol akan diri sendiri dan lingkungannya (Erickson &

Levinson dalam Orth, Robins, dan Trzesniewski, 2010 ).

14

Selama tugasnya ini, individu meningkatkan posisi pekerjaan dalam status

dan kekuasaan, di mana hal ini dapat meningkatkan self-esteem. Menurut Crocker

dan Wolfe (Dannefer, 1984 dalam Orth, Robins, dan Trzesniewski, 2010), self-

esteem yang positif akan didapat apabila individu mampu melihat dan mengenal

dirinya sendiri pada masa perkembangan, dari pada adanya penghargaan dari luar

dirinya.

2.2 Body Dissatisfaction

Sebelum menjelaskan Body Dissatisfaction, akan dibahas sedikit mengenai

Body Image karena Body Dissatisfaction merupakan bagian dari Body Image.

2.2.1 Body Image

Menurut Cash & Pruzinsky (1989; 1990), Body image dapat didefinisikan

sebagai :

“ Body image is regarded as multi-dimensional self-attitudes towards one’s

body particularly focusing on appearance. The body image construct is comprised of

at least two independent modalities including perceptual (size estimations) and

attitudinal (body-related affects and cognitions) ”

Body image dapat dipandang sebagai sikap diri yang multi dimensi terhadap

tubuh seseorang terutama berfokus pada penampilan (Cash & Pruzinsky, 1990).

Konstruk dari body image setidaknya terdiri dari dua komponen yaitu persepsi

(perkiraan ukuran) dan sikap ( terkait dengan tubuh dan mempengaruhi kognisi)

(Cash, 1989).

15

Menurut De Panfilis, Rabbaglio, Rossi, Zita & Maggini (2003), Body Image

adalah :

“a person’s mental image and evaluation of his or her physical appearance

and the effect of these perceptions and attitudes on behaviour”

Body Image dapat didefinisikan sebagai gambaran dan evaluasi mental

seseorang terhadap penampilan fisiknya dan efek persepsi tersebut serta sikap

terhadap tingkah lakunya (De Panfilis, Rabbaglio, Rossi, Zita & Maggini, 2003).

Spurgas (2005) mendefinisikan body image sebagai :

“The way a person perceives his/her body is influenced by a variety of factors

including the degree of importance their physical appearance has to their overall

sense of self”

Cara seseorang mempersepsikan tubuhnya yang dipengaruhi oleh berbagai

faktor termasuk tingkat pentingnya penampilan fisik terhadap keseluruhan rasa pada

diri mereka (Spurgas, 2005).

Beberapa contoh dimensi yang mencakup body image adalah : perception,

attitude, cognition, behavior, affect, fear of fatness, body distortion, body

dissatisfaction, cognitive-behavioral investment, evaluation, preference for thinness,

dan restrictive eating (Brown, T., Cash, T., & Mikulla, P., 1990).

Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa body image adalah gambaran, evaluasi

mental serta persepsi diri seseorang terhadap penampilan fisik termasuk tubuh, yang

dipengaruhi faktor seperti pentingnya tingkat penampilan fisik, serta efeknya

terhadap tingkah laku dan keseluruhan rasa pada diri.

16

2.2.2 Komponen dan Aspek-aspek Body Image

Body image terdiri dari berbagai dimensi yang saling mempengaruhi, meliputi

afeksi (kognisi), afeksi dan evaluasi serta behavioral (Thompson, 1996).

1. Persepsi (kognisi)

Merupakan komponen yang mencakup ketepatan individu dalam

mempersepsikan ukuran tubuhnya. Persepsi yang dimaksud lebih menekankan

kepada perkiraan mengenai ukuran tubuh, mencakup ukuran pada area tertentu

serta berat badan

2. Afeksi dan evaluasi

Merupakan komponen yang mencakup kepuasan individu terhadap tubuhnya,

afeksi, evaluasi serta kecemasan individu terhadap penampilan tubuhnya.

Komponen afeksi dapat berupa perasaan positif maupun negatif, suka maupun

tidak suka, puas maupun tidak puas, malu bahkan benci terhadap tubuhnya

sendiri dan mempengaruhi proses berpikir, berbicara dan pengungkapan

kondisi tubuh seseorang.

3. Tingkah laku (behavioral)

Merupakan komponen yang mencakup penginderaan terhadap situasi yang

berhubungan dengan penampilan fisik dan membuat tidak nyaman.

17

Dalam penelitian ini, aspek-aspek yang diukur meliputi ketiga dimensi

tersebut yang diukur ke dalam tiga domain somatik yakni penampilan fisik,

kebugaran dan kesehatan. Serta tiga sub-domain lainnya yang mengukur kepuasan

area tubuh, kecemasan terhadap kegemukan dan pengkategorian berat badan yang

dibagi menjadi 10 subskala yaitu :

1. Appearance Evaluation

Yaitu mengukur tingkat kepuasan individu dengan penampilan tubuhnya.

2. Appearance Orientation

Yaitu mengukur tingkat perhatian individu dengan penampilan tubuhnya

3. Fitness Evaluation

Yaitu mengukur tingkat penilaian individu terhadap kebugaran fisiknya.

4. Fitness Orientation

Yaitu mengukur tingkat pentingnya kebugaran fisik pada individu.

5. Health Evaluation

Yaitu mengukur tingkat penilaian individu terhadap kesehatan tubuhnya.

6. Health Orientation

Yaitu mengukur tingkat pentingnya pengetahuan dan kesadaran individu

akan kesehatan tubuhnya.

7. Illness Orientation

Yaitu mengukur tingkat pengetahuan dan kesadaran individu terhadap

penyakit serta reaksi terhadap masalah penyakit yang dirasakan oleh

tubuhnya.

8. Body Areas Satisfaction Scale

18

Yaitu mengukur tingkat kepuasan individu terhadap berbagai aspek

tertentu dari tubuhnya

9. Overweight Preoccupation

Yaitu mengukur tingkat kecemasan individu terhadap kegemukan serta

kewaspadaan akan berat badan.

10. Self-Classified Weight

Yaitu mengukur tingkat persepsi dan penilaian individu terhadap berat

badannya dan menggolongkannya ke dalam golongan tertentu.

2.2.3 Definisi Body dissatisfaction

Grogan (1999) mendefinisikan body dissatisfaction sebagai pikiran dan

perasaan negatif individu terhadap tubuhnya. Ogden (dalam Adlard, 2006)

menyatakan bahwa body dissatisfaction adalah kesenjangan antara persepsi individu

terhadap ukuran tubuh ideal dengan ukuran tubuh mereka sebenarnya atau dapat juga

dideskripsikan sebagai perasaan tidak puas terhadap bentuk dan ukuran tubuh.

Body dissatisfaction merupakan keterpakuan pikiran akan penilaian negatif

mengenai tampilan fisik dan adanya perasaan malu akan keadaan fisik ketika berada

dalam lingkungan sosial (Rosen dan Reiter, 1995).

Sarwer, Wadeen dan Foster (dalam Esther, 2002) mengemukakan bahwa

body dissatisfaction dapat dilihat dari penilaian individu mengenai beberapa hal

yang berhubungan dengan tubuhnya, yaitu :

1. Berat badan yang dimiliki,

2. Tinggi badan yang dimiliki, serta

3. Bagian-bagian tubuh tertentu (perut, payudara, pinggang, pinggul, bokong,

paha dan betis)

19

Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa body dissatisfaction

merupakan evaluasi negatif dan keterpakuan pikiran terhadap tampilan fisik terkait

dengan perasaan tidak puas akan bentuk tubuh ataupun berat badan yang dapat

menimbulkan rasa malu di lingkungan sosial yang dapat dilihat dari penilaian

individu mengenai hal-hal yang berhubungan dengan tubuhnya seperti berat badan,

tinggi badan serta bagian-bagian tubuh tertentu yakni perut, payudara, pinggang,

pinggul,bokong, paha dan betis.

2.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi Body Dissatisfaction

1. Gender

Perbedaan pandangan antara pria dan wanita dalam memandang tubuhnya

menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan tubuh. Umumnya

wanita memiliki pandangan akan tubuhnya dengan melihat dari segi estetika

dan evaluatif, dan sebaliknya pria memiliki pandangan akan tubunya lebih

pada fungsional sehingga body dissatisfaction pada wanita lebih tinggi

daripada pria (Secord & Jourard dalam Marina, 1997; Kurnia, 2005).

2. Berat Badan

Body dissatisfaction terkait erat dengan tingkat kurus atau gemuk seseorang.

Hal tersebut didukung oleh penelitian yang menemukan bahwa berat badan

dan ukuran tubuh berperan penting dalam mempengaruhi body dissatisfaction

pada wanita, terutama di lingkungan budaya yang menekankan pentingnya

penampilan (Thompson, 1990 dalam Kurnia, 2005).

3. Budaya

Budaya pada suatu lingkungan masyarakat sangat berpengaruh terhadap body

dissatisfaction seseorang, terutama yang menekankan pada standar tubuh

ideal (Kurnia, 2005).

20

4. Media massa

Media massa sangat besar perannya terhadap perkembangan body

dissatisfaction seseorang. Iklan dan artikel yang berhubungan dengan diet

serta kelangsingan memberikan informasi mengenai standar tubuh ideal yang

berlaku di masyarakat dan memberikan tekanan sosial yang menguatkan

keinginan untuk mencapai berat badan sesuai dengan standar tersebut

(Pattiasina, 1998).

5. Sosial

Keluarga, teman dan orang lain yang berada di lingkungan sekitar secara

tidak langsung memberikan standar dan nilai untuk penampilan.

6. Profesi dan Karir

Tuntutan karir atau profesi tertentu yang mengharuskan seseorang untuk

bertubuh langsing dan ideal menjadi tekanan bagi individu untuk mencapai

standar berat badan dan ukuran tubuh tertentu (Wolf, 2004).

2.3 Eating Disorders

Sebelum membahas mengenai Eating Disorders, akan dibahas terlebih

dahulu sedikit mengenai Perilaku makan (Eating Attitudes).

2.3.1 Eating Attitudes

Menurut Jones, Bennett, Olmsted, Lawson & Rodin (2001), Eating

Attitudes adalah :

“ Eating attitudes can include thoughts about dieting, striving for thinness

and preoccupation with food. Abnormal or disturbed eating attitudes are attitudes

that surround food that are unhealthy or different from that of the general

population”

21

Eating attitudes (perilaku makan) dapat mencakup pikiran tentang diet,

upaya untuk kurus dan obsesi terhadap makanan. Eating attitudes yang abnormal

atau terganggu adalah sikap yang melingkupi perilaku makan yang tidak sehat atau

berbeda dari populasi pada umumnya (Jones, Bennett, Olmsted, Lawson & Rodin,

2001).

Perilaku makan yang terganggu dapat menimbulkan permasalahan kesehatan

yang cukup signifikan dan memiliki keterkaitan dengan eating disorders (Powell &

Kahn, 1995).

2.3.2 Definisi Eating disorders

Eating disorders adalah segala bentuk karakteristik penyimpangan perilaku

atau kebiasaan makan yang sangat parah, mengakibatkan konsumsi dan penyerapan

makanan berubah serta secara signifikan mengganggu kesehatan fisik serta fungsi

psikososial (Fairburn & Walsh, 1995).

Polivy dan Herman (1987) mendefinisikan eating disorders sebagai perilaku

makan yang tidak normal dan tidak sesuai dengan standar fisiologis serta sering

diasosiasikan dengan adanya perhatian yang sangat besar pada berat badan.

Gangguan makan (Eating Disorders) hadir ketika seseorang mengalami

gangguan parah dalam tingkah laku makan, seperti mengurangi kadar makanan

dengan ekstrem atau makan terlalu banyak yang ekstrem, atau perasaan menderita

atau keprihatinan tentang berat atau bentuk tubuh yang ekstrem. Seseorang dengan

gangguan makan mungkin berawal dari mengkonsumsi makanan yang lebih sedikit

atau lebih banyak daripada biasa, tetapi pada tahap tertentu, keinginan untuk makan

lebih sedikit atau lebih banyak terus menerus di luar keinginan (APA, 2005).

22

2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan Eating Disorders

Berikut merupakan faktor-faktor menurut Fisher et.al (dalam Santrock, 2001) yang

mempengaruhi dan turut mendorong timbulnya kecenderungan eating disorders :

1. Faktor Sosial

Faktor sosial sangat berperan dalam mempengaruhi seseorang untuk

melakukan eating disorders contohnya seperti pandangan masyarakat akan

penampilan dan tubuh yang langsing serta pada umumnya wanita lebih

dituntut untuk memperhatikan berat badannya. Pengaruh media massa seperti

televisi, iklan dan sebagainya juga turut mendorong seseorang untuk

melakukan usaha diet demi memiliki tubuh langsing seperti yang ditayangkan

(Herman & Polivy, 1987).

2. Faktor Psikologis

Faktos psikologis dari dalam diri individu juga turut berperan dalam

mempengaruhi mempengaruhi seseorang untuk melakukan eating disorders.

Umumnya individu yang menekankan pentingnya penampilan akan berusaha

untuk menjaga penampilannya dengan cara apapun termasuk diet berlebihan

agar penampilannya tetap terlihat menarik dan dihargai oleh orang lain

(Tanenhaus, 1992).

3. Faktor Fisiologis

Dalam faktor fisiologis, jika bagian otak yang disebut dengan hypothalamus

menjadi abnormal, maka akan memungkinkan individu untuk menjadi

anoreksia. Selain itu, individu yang memiliki faktor keturunan yang

berkecenderungan gemuk, cenderung berusaha untuk menurunkan berat

badannya (Tannenhaus, 1992).

23

2.3.4 Tipe Eating disorders

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th Edition (DSM-IV

TR) mengklasifikasikan tiga jenis gangguan makan yaitu anorexia nervosa (AN),

bulimia nervosa (BN), dan eating disorders not otherwise specified (EDNOS).

(National Institute of Mental Health (NIMH), 2007).

2.3.4.1 Anorexia Nervosa

Menurut DSM-IV, anoreksia nervosa dapat dicirikan sebagai

“keengganan untuk memiliki dan mempertahankan berat badan normal,

ketakutan yang berlebihan untuk menaikkan berat badan, dan tidak mengalami

menstruasi selama 3 siklus berturut-turut.”

Anoreksia nervosa terbagi kepada dua jenis yaitu :

1. Restricting-type

Individu tersebut menurunkan berat badan dengan berdiet saja tanpa

makan berlebihan (binge eating) atau memuntahkan kembali (purging).

Mereka terlalu membatasi konsumsi karbohidrat dan makanan yang

mengandung lemak.

2. Binge-eating/purging type

Individu tersebut makan secara berlebihan kemudian memuntahkannya

kembali secara sengaja (APA, 2005)

Diagnosa Anorexia Nervosa

Berikut ini merupakan kriteria untuk diagnosa anorexia nervosa (DSM

IV-TR) :

24

1. Menolak mempertahankan berat badan pada level normal atau sedikit

di atas normal.

2. Ketakutan yang intens bahwa berat badan akan naik atau menjadi

gemuk.

3. Evaluasi yang tidak tepat terhadap berat badan atau bentuk tubuhnya

sendiri, atau menyangkal keseriusan keadaan berat badannya yang

rendah.

4. Amenorrhea pada wanita pascamenarke, yaitu tidak adanya siklus

menstruasi selama tiga bulan berturut-turut.

2.3.4.2 Bulimia Nervosa (BN)

Bulimia nervosa (BN) digambarkan sebagai periode makan berlebihan

yang berulang (binge eating) dan dilanjutkan dengan perilaku kompensasi

(muntah, berpuasa, berolahraga, atau kombinasinya). Makan berlebihan

disertai dengan perasaan subjektif kehilangan kontrol ketika makan. Muntah

yang dilakukan secara sengaja atau berolahraga (exercise) secara berlebihan,

serta penyalahgunaan pencahar, diuretik, amfetamin dan tiroksin (Chavez dan

Insel, 2007).

Bulimia nervosa digolongkan pada orang yang mengalami masalah

dalam mengkonsumsi makanan dengan jumlah yang sangat banyak (misalnya,

binge-eating) secara berulang-ulang dan sering, dan merasakan kurangnya

kontrol terhadap makan. Perilaku binge eating diikuti dengan perilaku yang

mengkompensasi binge dengan menyingkirkan makanan yang dimakan

(misalnya, muntah, penggunaan obat cuci perut (laxative) atau diuretik yang

berlebihan), berpuasa dan atau olahraga yang berlebihan (APA, 2005). Tidak

seperti anoreksia nervosa, orang yang menderita bulimia nervosa dapat

25

termasuk pada golongan dengan berat badan yang normal sesuai dengan umur

mereka. Akan tetapi seperti hal-nya anoreksia nervosa, mereka juga

mempunyai ketakutan untuk pertambahan berat badan, sangat nekat untuk

mengurangi berat badan, dan merasa ketidakbahagiaan yang besar atas ukuran

dan bentuk tubuh. Kebiasaannya, perilaku bulimik adalah rahasia, karena selalu

disertai dengan perasaan jijik dan malu. Siklus perilaku binge-ing dan

penyingkiran ini selalu berulang selama beberapa kali dalam seminggu (APA,

2005).

DSM-IV membagi Bulimia Nervosa menjadi dua bentuk yaitu

purging dan nonpurging.

1. Purging

Individu memuntahkan kembali makanan secara sengaja atau

menyalahgunakan obat pencahar, diuretik atau enema.

2. Non- purging

Individu menggunakan cara lain selain cara yang digunakan pada tipe

purging, seperti berpuasa atau olahraga (exercise) secara berlebihan.

Diagnosa untuk Bulimia Nervosa

Berikut merupakan kriteria untuk diagnosa Bulimia nervosa (DSM

IV-TR) :

1. Episode berulang binge-eating (makan berlebih) yang ditandai asupan

makanan yang luar biasa banyak dalam waktu 2 jam, ditambah

kekurangan sense of control terhadap makan selama episode-episode

ini

26

2. Perilaku kompensasi yang tidak pas dan berulang kali dilakuan untuk

mencegah bertambahnya berat badan, seperti dengan sengaja

merangsang muntah, penyalahgunaan obat pencahar, berpuasa, atau

melakukan olahraga secara berlebihan

3. Secara rata-rata, binge-ing atau perilaku kompensasi yang tidak tepat

itu terjadi paling sedikit dua kali seminggu selama minimal 3 bulan

4. Preokupasi atau perhatian yang berlebihan pada bentuk tubuh dan

berat badan.

2.3.4.3 Eating disorders not otherwise specified (EDNOS)

Diagnosa ini meliputi gangguan perilaku makan yang tidak memenuhi

keseluruhan kriteria pada diagnosa anoreksia nervosa dan bulimia nervosa.

Hal-hal tersebut termasuk :

1. Untuk pasien wanita, ditemukan semua kriteria untuk diagnosis

Anorexia Nervosa tetapi pasien tetap mengalami menstruasi secara

reguler.

2. Ditemukan semua kriteria untuk diagnosis Anorexia Nervosa kecuali

penurunan berat badan yang signifikan yakni berat badan pasien tetap

berada dalam jangkauan normal.

3. Ditemukan semua kriteria untuk diagnosis Bulimia Nervosa kecuali

Binge eating dan perilaku kompensasi muncul kurang dari 2 kali

dalam seminggu atau kurang dari 3 bulan.

4. Pasien memiliki berat badan normal dan menggunakan perilaku

kompensasi setelah makan sejumlah kecil makanan (contoh:

memuntahkan setelah memakan dua biskuit)

27

5. Pasien melakukan perilaku mengunyah dan memuntahkan kembali

secara berulang-ulang tetapi tidak menelannya, sejumlah banyak

makanan.

6. Binge eating disorder: terjadi perilaku makan yang berlebihan secara

berulang tanpa diikuti dengan adanya perilaku rutin dalam

mengkompensasi makanan seperti pada bulimia nervosa

2.3.4.4 Binge Eating Disorders (BED)

Menurut DSM-IV, kriteria binge eating disorder (BED) adalah

periode makan yang berlebihan, sama seperti bulimia nervosa, tetapi yang

membedakan binge eating disorder dengan bulimia nervosa ialah pada binge

eating tidak melibatkan perilaku untuk melawan periode makan berlebihan

tersebut, seperti memuntahkan kembali makanan, penggunaan obat pencahar

dan berolahraga berlebihan.

Tercantum dalam lampiran DSM IV-TR sebagai diagnosis untuk

studi lebih lanjut, binge eating disorder dicirikan dengan perilaku makan yang

tidak terkendali (binge) tanpa diikuti dengan adanya perilaku memuntahkan

secara sengaja atau penyalahgunaan obat pencahar. Memiliki hubungan dengan

gejala obesitas. Individu yang mengalami binge eating juga merasa bersalah,

malu dan atau distress dengan binge eating mereka yang dapat membawa

kepada lebih banyak episode pada perilaku makan berlebihan yang tidak

terkendali. Mereka juga sering mempunyai penyakit psikologis termasuk

kecemasan, depresi, dan masalah kepribadian (APA, 2005).

2.3.5 Body Mass Index

Body Mass Index (BMI) atau Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan nilai

yang diambil dari perhitungan antara berat badan (BB) dan tinggi badan (TB)

28

seseorang sebagai panduan berat badan ideal yang diukur sesuai rumus tertentu lalu

hasilnya dibandingkan dengan klasifikasi yang telah ada. Indeks massa tubuh

berkaitan dengan eating disorders. Ada banyak cara untuk mengukur Indeks Massa

Tubuh salah satunya adalah standar yang dibuat oleh Departemen Kesehatan RI

yaitu:

Tabel 2. 1 Rumus IMT

Berat Badan (kg)

Indeks Massa Tubuh =

Tinggi Badan (m) 2

Sumber: Depkes RI (2002)

Tabel 2. 2 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh

KEADAAN KATEGORI IMT

KURUS Kekurangan berat badan tingkat Berat < 17

Kekurangan berat badan tingkat ringan 17.0 - 18.4

NORMAL Berat badan Normal 18.5 - 25.0

GEMUK Kelebihan berat badan tingkat Ringan 25.1 - 27.0

Kelebihan berat badan tingkat Berat > 27

Sumber: Depkes RI (2002)

29

Tabel 2. 3 Klasifikasi Berat Badan yang diusulkan berdasarkan BMI pada Penduduk

Asia Dewasa

Kategori BMI (kg/m2)

Underweight < 18.5 kg/m2

Batas Normal 18.5 - 22.9 kg/m2

Overweight > 23

At Risk 23.0 – 24.9 kg/m2

Obese I 25.0 - 29.9kg/m2

Obese II > 30.0 kg/m2

Sumber: WHO (2000)

2.3.6 Tahap Perkembangan

Tahap krisis perkembangan menurut Erik Erikson (dalam Santrock, 2001)

yang sesuai dengan subjek penelitian :

A. Identitas dan kebingungan identitas (identity versus identity confusion)

Adalah tahap kelima yang dialami individu selama tahun-tahun masa remaja.

Pada tahap ini mereka dihadapkan oleh pencarian siapa mereka, bagaimana

mereka nanti, dan ke mana mereka akan menuju masa depannya. Satu dimensi

yang penting adalah penjajakan pilihan-pilihan alternatif terhadap peran.

Penjajakan karir merupakan hal penting. Orangtua harus mengijinkan anak remaja

menjajaki banyak peran dan berbagai jalan. Jika anak menjajaki berbagai peran

dan menemukan peran positif maka ia akan mencapai identitas yang positif. Jika

orangtua menolak identitas remaja sedangkan remaja tidak mengetahui banyak

30

peran dan juga tidak dijelaskan tentang jalan masa depan yang positif maka ia

akan mengalami kebingungan identitas.

B. Keintiman dan keterkucilan (intimacy versus isolation)

Tahap keenam yang dialami pada masa-masa awal dewasa. Pada masa ini

individu dihadapi tugas perkembangan pembentukan relasi intim dengan orang

lain. Saat anak muda membentuk persahabatan yang sehat dan relasi akrab yang

intim dengan orang lain, keintiman akan dicapai, kalau tidak, isolasi akan terjadi.

C. Bangkit dan berhenti (generality versus stagnation)

Tahap ketujuh perkembangan yang dialami pada masa pertengahan dewasa.

Persoalan utama adalah membantu generasi muda mengembangkan dan

mengarahkan kehidupan yang berguna (generality). Perasaan belum melakukan

sesuatu untuk menolong generasi berikutnya adalah stagnation.

31

2.4 Kerangka Berpikir

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

2.4.1 Penjelasan kerangka berpikir

Tubuh merupakan instrumen bagi penari ballet sehingga keberadaannya

menjadi sangat penting untuk kelanjutan profesi penari ballet. Tuntutan agar

penampilan tubuhnya selalu menarik dan ideal membuat para penari ballet merasa

memiliki dorongan untuk terus menjaga tubuhnya agar selalu kurus. Tuntutan untuk

menjadi kurus menyebabkan para penari menjadi tidak puas akan tubuhnya yang

dapat menyebabkan munculnya body dissatisfaction. Ketika para penari telah

mengembangkan body dissatisfaction, mereka akan memiliki self-esteem yang

rendah akan dirinya sendiri. Untuk membuat dirinya merasa tubuhnya akan lebih

baik, para penari umumnya akan terus menjaga perilaku dalam kontrol makannya,

yang apabila dilakukan secara ekstrem dapat menyebabkan Eating Disorders. Oleh

karena itu peneliti membuat kerangka berfikir yaitu berawal dari tubuh (body) yang

menjadi media atau instrumen bagi penari, dihubungkan dengan dari dua variabel

Ballet Dancer

Body

Body Dissatisfaction

Self-Esteem

Eating Disorders

32

yakni variabel bebas yaitu self-esteem dan body dissatisfaction yang diharapkan akan

menghasilkan satu variabel terikat yaitu eating disorder. Dari hasil penelitian

tersebut maka penelitian akan menemukan apakah self-esteem dan body

dissatisfaction mampu memberikan prediksi terhadap kecenderungan eating

disorders pada penari ballet.

2.5 Hipotesis

Dengan demikian hipotesis yang akan ditarik oleh peneliti adalah :

Ho1 : Self-esteem dan Body dissatisfaction secara bersama tidak mampu

memprediksikan kecenderungan Eating disorders pada penari ballet.

Ha1 : Self-esteem dan Body dissatisfaction secara bersama mampu

memprediksikan kecenderungan Eating disorders pada penari ballet.

Ho2 : Self-esteem tidak mampu memprediksikan kecenderungan Eating

Disorders pada penari ballet.

Ha2 : Self-esteem mampu memprediksikan kecenderungan Eating Disorders

pada penari ballet.

Ho3 : Body Dissatisfaction tidak mampu memprediksikan kecenderungan

Eating Disorders pada penari ballet.

Ha3 : Body Dissatisfaction mampu memprediksikan kecenderungan Eating

Disorders pada penari ballet.