tingkah laku rusa-1

48
ETOLOGI HEWAN (TINGKAH LAKU HEWAN) SERI TINGKAH LAKU RUSA DISUSUN OLEH Dr. Ir. Deden Ismail, MSi PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR Oktober 2013

Upload: ismailden

Post on 18-Jan-2016

88 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tingkah Laku Rusa-1

ETOLOGI HEWAN (TINGKAH LAKU HEWAN)

SERI

TINGKAH LAKU RUSA

DISUSUN OLEH

Dr. Ir. Deden Ismail, MSi

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKANUNIVERSITAS MAHASARASWATI

DENPASAROktober 2013

Page 2: Tingkah Laku Rusa-1

1

Daftar Isi

Page 3: Tingkah Laku Rusa-1

2

I. Tingkah Laku

Tingkah laku hewan adalah ekspresi suatu hewan yang ditimbulkan oleh

semua faktor yang mempengaruhinya, baik faktor dari dalam maupun dari luar yang

berasal dari lingkungannya (Suratmo, 1976). Untuk praktisnya, tingkah laku dapat

diartikan sebagai gerak-gerik organisme. Sehingga perilaku merupakan perubahan

gerak termasuk perubahan dari bergerak menjadi tidak bergerak sama sekali atau

membeku, dan perilaku hewan merupakan gerak-gerik hewan sebagai respon

terhadap rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan kondisi lingkungannya

(Tinbergen, 1979).

Untuk menentukan tingkah laku hewan, perlu diketahui pola tingkah laku.

Sedangkan pola tingkah laku (behaviour patterns) dapat didefinisikan: kumpulan

dari bagian-bagian perilaku yang mempunyai sebuah fungsi tertentu. Di alam, hal ini

terutama ditentukan oleh faktor keturunan dan lingkungan, tetapi dapat juga dibentuk

karena latihan dan belajar. Faktor dari satwa itu sendiri (endogenous factor) yang

lebih menentukan tingkah laku hewan. Untuk mengontrol dan mengembangkan

tingkah laku hewan, ditentukan oleh kondisi refleks hewan yang disebabkan oleh

peranan dari lingkungan atau rangsangan dari luar menentukan. Selanjutnya, hewan

tersebut akan mengembangkan sendiri tingkah lakunya (Scott, 1969; Mc Douglas,

1908 dalam Suratmo, 1978; Pavlov dalam Suratmo, 1978).

1.1 Faktor-faktor Penentu Perkembangan Tingkah laku

Faktor-faktor yang menentukan perkembangan tingkah laku hewan sebagai

berikut (Manning, 1978; Hess, 1987).

1) Insting dan belajar (Instinct and learning)

Page 4: Tingkah Laku Rusa-1

3

Insting diwariskan dari tetuanya, sedangkan belajar (learning) pada hewan

yang diperoleh dari hasil kemampuan hewan tersebut berdasarkan

pengalamannya, sesuai dengan kondisi lingkungan yang dialaminya.

Untuk merencanakan proses belajar pada hewan, maka proses belajar tersebut

harus sesuai dengan kemampuan sensorik dan motorik hewan tersebut, juga

tingkah laku spesifik jenis tersebut. Pada ruminansia, lebih mudah memberi

motivasi dengan jalan menakutinya, dibandingkan dengan membuatnya

kelaparan, hal ini terjadi karena rumen merupakan tempat pakan yang sulit

dikosongkan. Selanjutnya tingkah laku belajar yang tidak dikehendaki pada ternak

sapi yang merupakan Self reinforcement yaitu Intersuckling atau induk sapi

menyusu pada induk lain, yang dapat dicegah dengan menghambat ternak tersebut

untuk melakukan tingkah laku tersebut dan menyediakan fasilitas yang sesuai,

sehingga ternak tersebut dapat melakukan tingkah lakunya jenisnya yang spesifik

(Tomaszewska et al., 1991).

2) Pengalaman pertama (Early experiences)

Pengalaman pertama yang diperoleh hewan berpengaruh sangat besar

terhadap tingkah laku hewan. Beberapa hal yang mempengaruhi early experiences

antara lain, tempat pertama yang dikenal hewan, persepsi pertama dan hubungan

sosial yang pertama.

3) Imprinting

Suatu periode yang sensitif di awal kehidupan hewan masih muda yang

dipengaruhi oleh suatu keadaan yang khusus, disebut Imprinting. Pengaruh ini

seringkali berasal dari induknya, tetapi bisa juga dari individu lain. Bentuk ini

Page 5: Tingkah Laku Rusa-1

4

merupakan hasil belajar dari pola tingkah laku yang keras sebagai respon dari

rangsangan yang spesifik. Salah satu bentuk dari imprinting ditunjukkan oleh

individu yang cenderung untuk ikut berkembang bersama kelompok lainnya.

Imprinting didapati pada kebanyakan hewan, dari insekta hingga primata (Barrett

et al., 1986).

4) Motivasi

Motivasi adalah proses internal yang menentukan perubahan tingkah laku dan

disebabkan oleh adanya kebutuhan khusus, dan kebutuhan khusus ini cenderung

merupakan kebutuhan dasar. Stimulus yang diberikan pada satwa yang sama,

tetapi waktu pengamatan yang berbeda, tidak selalu memberikan respon yang

sama, karena terjadi perubahan tingkah laku di dalam diri satwa tersebut.

II. Tingkah Laku Rusa

Berdasarkan daptasi tingkah laku ada 10 tipe (Hafez et al., 1969) maka

tingkah laku rusa dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Ingestive behaviour (tingkah laku mencari makan dan minum).

Ingestion adalah proses menangkap dan memasukkan makanan ke dalam

mulut (Dukes, 1955 dalam Moen, 1973). Tampaknya proses ini merupakan

proses yang sederhana, tetapi hal ini merupakan masalah yang sangat penting

pada ruminansia yang masih liar. Pada tingkah laku ini, termasuk didalamnya

konsumsi bahan makanan atau bahan bergizi yang dapat berupa bahan padat

atau cairan. Makan dan minum juga merupakan tingkah laku ingestive, dan

setiap jenis mempunyai cara yang tertentu (Dukes, 1955 dalam Moen, 1973;

Tomaszweska et al., 1991), serta makan itu sendiri sebenarnya merupakan

Page 6: Tingkah Laku Rusa-1

5

tingkah laku, yang sering kali dipengaruhi oleh macam dan modifikasi banyak

faktor (Mlowszewski, 1983). Sapi, domba dan kambing pada umumnya

mempunyai pola ruminasi atau memamah biak. Setelah makan hewan tersebut

sering kali berbaring dan segera mengunyah, menelan dan memuntahkan

kembali (regurgitasi) makanan berulang-ulang ke dalam rongga mulut,

kemudian dikunyah kembali. Lambung terdiri dari beberapa bagian yang dapat

membantu memisahkan makanan yang kasar dan yang halus yang ada di tanah.

Pola memamah biak pada rusa, seperti halnya pada sapi dan domba, ada

hubungannya dengan tidak terdapatnya gigi seri atas. Cara merumput rusa yaitu

dengan melilitkan lidah pada rumput di mulutnya, kemudian menyentakkan

kepalanya ke depan sehingga rumput terpotong oleh gigi seri bawah seperti

halnya pada sapi.

Banyaknya makanan yang diperlukan oleh hewan liar ternyata bervariasi,

antara lain dipengaruhi musim dan individu hewan tersebut (Moen, 1973). Pada

White-tailed deer di Lousiana, konsumsi makan menurun, mengakibatkan

penurunan berat badan rusa jantan sebanyak 10% selama musim dingin,

sedangkan pada rusa betina mencapai 3%. Selain itu, musim kawin juga

berpengaruh terhadap berat badan rusa, baik pada jantan maupun pada betina,

yang diakibatkan oleh berkurangnya jumlah makanan yang dimakan, karena

waktu untuk merumput lebih banyak dipergunakan untuk proses perkawinan

(Nordan et al., 1968 dalam Moen, 1973)

Menurut Hafez et al. (1969), ruminansia pada saat di padang rumput, tidak

selalu merumput, tetapi diselingi dengan istirahat, memamah biak dan berteduh.

Page 7: Tingkah Laku Rusa-1

6

Secara umum, kegiatan merumput secara intensif dilakukan antara matahari

terbit hingga matahari terbenam.. Lamanya periode merumput terpanjang terjadi

bila merumput lebih pagi hingga lebih sore menjelang malam. Selanjutnya,

Tomaszewska et al. (1991) menyatakan, bahwa pada ternak ruminansia,

dengan penggembalaan bebas pada daerah subtropis, periode merumput paling

banyak terjadi ketika rumen diisi dengan rumput yang baru, hal ini terjadi

menjelang pagi, menjelang senja sampai setelah matahari terbenam, dengan satu

periode lebih singkat kira-kira pada saat tengah malam. Di daerah tropis, siklus

merumput berlaku sebaliknya. Pada waktu tengah hari yang panas, ternak

beristirahat di bawah naungan atau dekat tempat air dengan periode merumput

yang panjang pada malam hari. Analog dengan rusa, kegiatan merumput domba

Cheviot di Scotlandia pada malam hari tergantung pada temperatur udara dan

kecenderungan untuk menghindari lalat, dimana pada saat musim panas waktu

merumput pada malam hari lebih lama dibandingkan pada musim dingin, hal ini

ada kaitannya dengan temperatur udara pada malam hari di musim panas lebih

tinggi dibandingkan dengan temperatur udara pada musim dingin, juga akibat

lamanya siang (length of day) di musim panas lebih lama waktunya

dibandingkan pada musim dingin (Tribe, 1949 dalam Hafez et al., 1969).

Mengenai tingkah laku merumput, menurut Hafez et al., (1969) ternyata

dalam sehari semalam, domba merumput sebanyak 4 - 7 kali, dengan lama

merumput antara 9 - 11 jam. Selanjutnya memamah biak sebanyak 15 kali,

dengan mengunyah sebanyak 91 kali per menit, dan jarak yang ditempuh dalam

waktu sehari berkisar antara 1,5 - 12 km. Penelitian pada ruminansia lainnya

Page 8: Tingkah Laku Rusa-1

7

seperti pada domba (Welch dan Smith, 1969; Bae et al., 1979), pada Moose

(Welch, 1982; Renecker dan Hudson, 1989) juga menunjukkan pula bahwa

pada saat memamah biak, waktu yang digunakan jarang melebihi 10 jam per

hari.

Craigjead et al., (1973) yang memonitoring dengan menggunakan radio

kontrol terhadap Elk (Cervus elaphus canadensis) secara periodik selama 24

jam, diketahui bahwa Elk telah mempergunakan 46% waktunya selama sehari

semalam tersebut untuk beristirahat, 44% untuk makan, dan 10% untuk aktifitas

lainnya, sedangkan penelitian yang serupa pada Chinese Water Deer

menunjukan bahwa 50,4% dari seluruh waktunya dalam sehari semalam

digunakan untuk makan, 37,2% untuk istirahat dan 12,4% untuk kegiatan

lainnya (Zhang, 2000b).

Dalam penyesuaian diri terhadap jumlah pakan yang dimakan, ternyata

semua hewan bisa juga bervariasi dalam jumlah pakan yang dimakan dengan

jumlah gigitan per menit, yaitu dengan meningkatkan besar renggutannya. Pada

domba, ternyata ada hubungan antara tingginya padang rumput dan jumlah

pakan yang dimakan, dan ada hubungan antara jumlah gigitan (renggutan) per

satuan waktu dengan besarnya gigitan. Pada anakan rumput yang dimakan

sampai pada ketinggian 5 cm, jumlah renggutan per menit meningkat,

kemudian jumlah renggutan per menit akan menurun dengan semakin tingginya

anakan rumput yang dimakan. Banyaknya gigitan per gr akan semakin

meningkat dengan semakin tingginya anakan rumput (Allden dan Whittaker

dalam Tomaszewska et al., 1991). Hal yang sama juga terjadi pada sapi (Wallis

Page 9: Tingkah Laku Rusa-1

8

de Vries et al., 1994). Zhang (2000a) dalam penelitiannya mengenai banyaknya

renggutan per menit terhadap Chinese Water Deer mendapatkan bahwa rata-rata

pada jantan sebesar 92,4 kali, pada betina sebesar 91,8 kali dan lebih tinggi bila

dibandingkan dengan Red Deer (pada jantan maupun betina) sebesar 50 - 60 kali

(Clutton-Brock et al., 1982), atau pada sapi Meuse-Rhein muda yang berkisar

antara 52,0 - 77,7 kali (Wallis de Vries et al., 1994). Selain itu, beberapa

peneliti juga berpendapat bahwa banyaknya renggutan per menit pada hewan

berkuku (Ungulata) tidak tetap, seperti pada Red Deer (Clutton-Brock et al.,

1982), dan pada kambing (Solanki, 1994).

Banyaknya kunyahan per menit pada ruminansia bervariasi, tergantung

pada jenis hewan, jenis pakan, dan musim. Banyaknya kunyahan per menit pada

Chinese Water Deer berkisar antara 71 - 97 kali (Zhang, 2000a), Red Deer

antara 62 - 64 kali (Clutton-Brock et al.,1982), domba rata-rata sebanyak 100

kali (England, 1954), dan pada sapi antara 50 - 70 kali (Morgan, 1951). Musim,

suhu dan banyaknya serat berpengaruh terhadap banyaknya kunyahan per menit

dan waktu yang diperlukan untuk mengunyah lebih lama. Seperti pada penelitian

Semiadi et al. (1994) yang membandingkan tingkah laku makan Rusa Sambar

yang merupakan rusa tropika dengan Red Deer yang merupakan rusa daerah

sedang (temperate), dimana pada Red Deer, banyaknya makanan yang dimakan

semakin sedikit pada musim dingin dibandingkan dengan musim panas, karena

semakin berkurangnya waktu yang diperlukan untuk makan di pedok. Pada saat

yang sama, penelitian dilakukan terhadap Rusa Sambar, diperoleh adanya

peningkatan makanan yang dimakan yang diikuti dengan peningkatan frekuensi

Page 10: Tingkah Laku Rusa-1

9

mengunyahnya, selanjutnya, makanan yang lebih banyak berserat ternyata

menyebabkan waktu yang diperlukan untuk mengunyah lebih lama (Geoffrey,

1992). Mengenai pengaruh pemberian konsentrat terhadap lamanya merumput

pada domba yang dipelihara di pedok, ternyata kelompok domba yang diberi

konsentrat menunjukkan bahwa lamanya merumput yang lebih singkat

dibandingkan dengan kelompok domba tanpa diberi makanan konsentrat (Tribe,

1950 dalam Hafez ed., 1969).

2) Eliminative behaviour (tingkah laku membuang kotoran)

Bahan makanan yang tidak semuanya dicerna, masih mengandung

jaringan yang terdegradasi, pada saluran pencernaan digunakan oleh

mikroorganisme dalam rumen dan hasil akhirnya dikeluarkan melalui anus.

Banyaknya kotoran (feses) dan tempat hewan membuang kotoran

seringkali dipergunakan untuk menentukan banyaknya individu pada sensus

populasi hewan liar. Bentuk dan banyaknya kotoran, berupa pellet yang

berkelompok yang dikeluarkan per ekor per hari sebanyak sekitar 13 pellet

(perkiraan yang umum). Keadaan ini seringkali dipergunakan untuk

menentukan banyaknya rusa yang terdapat pada suatu daerah. Banyaknya

kotoran yang dikeluarkan (Defecation rate) sangat beragam, hal ini tergantung

pada kuantitas dan kualitas makanannya (Moen, 1973).

3) Sexual behaviour (tingkah laku seksual)

Tingkah laku seksual pada binatang, yang tidak saling memilih

pasangannya, akan menguntungkan proses domestikasi suatu jenis, juga akan

menguntungkan program pemuliaan yang menggunakan beberapa keturunannya

Page 11: Tingkah Laku Rusa-1

10

yang terbatas. Jantan ruminansia akan agresif selama musim kawin. Sifat jantan

untuk mengawini betina dan keberhasilan terjadinya perkawinan, tergantung

pada: a) tingkat agresifitas yang terjadi pada jantan, b) daya tarik yang terjadi di

antara jantan dan betina yang sedang berahi, c) tahapan interaksi tingkah laku

sebagai hasil dari kesediaan betina untuk kawin (mating) yang ditunjukkan

dengan posisi tubuhnya untuk dapat dikawini dan d) reaksi pejantan untuk

menaiki betina untuk kopulasi. (Moen, 1973; Alexander et al., 1980). Keeratan

hubungan jantan dan betina tersebut merupakan interaksi yang sangat kuat di

antara individu-individu pada musim kawin, dibandingkan dengan waktu

lainnya pada tahun itu (Moen, 1973). Selanjutnya, frekuensi kopulasi bervariasi,

tergantung pada spesies, jenis, rasio jantan dan betina, luas tempat, lama periode

istirahat kawin (sexual rest), musim dan rangsangan seksual alami (nature of

sexual stimuli). Banyaknya ejakulasi pada sapi dan domba lebih tinggi

dibandingkan pada kuda dan babi. Pada beberapa sapi jantan yang diamati

ternyata banyaknya kopulasi mencapai 80 kali dalam 24 jam atau 60 kali dalam

6 jam, atau rata-rata kopulasi sebanyak 21 kali sebelum hewan yang diamati

kelelahan (Wierzbowski, 1966 dalam Alexander etal., 1980).

Setelah lama tidak kawin, seekor domba pejantan dapat kopulasi lebih dari

50 kali pada hari pertama setelah bertemu dengan domba-domba betina, tetapi

frekuensinya menurun dengan tajam pada hari-hari berikutnya. Kambing, kuda

dan babi cepat lelah, beristirahat kawin, dan mempunyai frekuensi ejakulasi

yang lebih rendah dibandingkan dengan domba dan sapi. Banyaknya kopulasi

(perkawinan) yang dilakukan pejantan dengan betina yang sama dan sedang

Page 12: Tingkah Laku Rusa-1

11

berahi pada perkawinan secara alami lebih rendah kalau sperma pejantan

sebelumnya telah diambil untuk AI (Artificial Insemination) bila dibandingkan

pejantan tersebut tidak diambil spermanya. Pejantan akan mengawini betina

yang sama dan sedang berahi 5 - 10 kali pada sapi, 3 - 6 kali pada domba, 2 - 4

kali pada kuda dan babi (Alexander et al., 1980).

Tingkah laku seksual pada hewan, dipengaruhi oleh faktor genetis,

perbedaan sistem syaraf, jenis kelamin, serta faktor lingkungan. Tingkah laku

seksual pada hewan, ditentukan oleh mekanisme endokrin. Hormon yang

berpengaruh terhadap tingkah laku seksual adalah hormon steroid. Hormon

steroid pada jantan dan betina secara biokimia ada kesamaannya, tetapi ritmik

yang dikeluarkan ke dalam aliran darah secara keseluruhannya berbeda. Sekresi

androgen tidak permanen. Pada jantan, puncak sekresi hormon yang dikeluarkan

dalam waktu 24 jam tidak tetap dan dapat terjadi beberapa kali, walaupun

jumlah yang dikeluarkan dalam prakteknya tetap dari hari ke hari, sedangkan

fluktuasi musiman kadang-kadang berlangsung cepat dan kadang-kadang

lambat. Sedangkan pada betina, estrogen dalam darah hanya terdapat beberapa

hari saja selama siklus berahi. Pengambilan hormon gonad dan terapinya pada

jantan secara lengkap berbeda dengan pada betina (Alexander et al., 1980)

Salah satu karakterisitik tanda seksual sekunder pada suku Cervidae

adalah pertumbuhan dan perkembangan ranggah. Pengrusakan ranting pada

semak-semak merupakan petunjuk peningkatan agresifitas sebagai

perkembangan kondisi reproduksi. Severinghaus dan Cheatum (1956, dalam

Moen, 1973) menyatakan bahwa pada rusa yang dipelihara di laboratorium,

Page 13: Tingkah Laku Rusa-1

12

pada saat aktifitas seksualnya meningkat, rusa jantan akan menunjukkan

agresifitas yang meningkat pula, yaitu dengan merusak pagar, pohon atau

benda-benda lainnya. Hal ini juga menjadi tanda bahwa daerah itu sebagai

daerah kekuasaan (teritori) jantan tersebut. Pada saat musim kawin sering terjadi

perkelahian antar pejantan yang memperebutkan betina yang akan dikawininya.

Musim kawin pada Rusa Jawa ditandai dengan tingkah laku rusa jantan

yang selalu meraung-raung (melenguh) dengan suara keras pada waktu tertentu

di pagi dan sore hari, bahkan kadang kadang di malam hari. Ciri-ciri lainnya

adalah berendam di dalam lumpur, berjalan tegak dengan kepala mendatar,

berdiri tegak, sambil mengarahkan mulutnya (flehmen) ke arah betina dewasa

yang sedang berahi, kemudian mengikuti jejak betina tersebut dan menciumi

bekas urine yang dikeluarkan betina (Departemen Kehutanan RI, 1986;

Takandjandji dan Sinaga, 1997). Menurut Jacoeb dan Wiryosuhanto (1994),

perkawinan umumnya akan berlangsung pada malam hari, dan kopulasinya

relatif cepat dan singkat.

Sifat agresif yang ditunjukkan rusa jantan pada musim kawin hanya terjadi

di antara kelompok yang mempunyai ranggah tetap (ranggah keras), dan

hierarki antar individu yang nampak lebih dominan (Mackay, 1997; Sinclair,

1998). Tidak seperti pada jenis rusa yang berasal dari daerah dingin, jantan

Rusa Jawa dan Rusa Maluku tidak berusaha berkumpul dengan betina-

betinanya. Di musim kawin, rusa jantan cenderung mempunyai sifat untuk

mengumpulkan “harem” (Semiadi, 1998). Hal ini sangat jelas terlihat pada

kelompok rusa asal daerah dingin. Pada rusa yang berasal dari daerah tropika,

Page 14: Tingkah Laku Rusa-1

13

kecenderungan untuk mengumpulkan harem juga ada, tetapi tidak terlalu kuat.

Jantan rusa mempunyai sifat perkawinan Poligamus (Polyginy) (Giraldeau,

1998; Semiadi, 1998). Selama musim kawin ini, rusa jantan berkubang dan

mengasah ranggahnya pada rumput yang panjang (Sinclair, 1998). Selanjutnya

Word (1998) juga menyatakan, jantan yang kawin akan meninggalkan bekas

pada wilayah jelajahnya (home range), yaitu berupa adanya gosokan

ranggahnya pada batang pohon, atau pepohonan kecil. Selama musim kawin,

jantan makan lebih sedikit dan kehilangan berat badan sampai 30%, karena

lebih banyak waktunya digunakan untuk mengawini betinanya (Golz, 1993).

Pada rusa betina, kesiapan untuk melakukan perkawinan ditandai dengan

adanya tanda berahi, yaitu dengan adanya pembengkakan pada labia vulva,

mucosa warnanya merah dan keluar eksudat (cairan) bening sampai merah

(lendir berahi), serta ekornya sering dinaikkan ke atas dan siap untuk dikawini

(Jacoeb dan Wiryosuhanto, 1994). Sebagai suatu perbandingan, pada domba

juga memperlihatkan tanda-tanda yang serupa dengan rusa, dengan suatu

catatan bahwa pada domba betina, sering diperlihatkan suatu pola yang kurang

sempurna pada respon perkawinan dan tidak mencari jantan. Pada suatu

penelitian didapatkan bahwa pada domba muda yang telah mencapai pubertas

dan ovulasi, ketika dinaiki oleh jantan akan menjatuhkan diri dan tidak bisa

dikawini, atau berdiri, siap untuk dinaiki dan dikawini, tetapi belum ovulasi

(Tomaszewska et al., 1991).

Musim kawin segera berhenti bila semua betina terpilih sudah kawin.

Periode kawin berikutnya berkisar antara bulan Juni sampai Juli (Hoogerwerf,

Page 15: Tingkah Laku Rusa-1

14

1970 dalam Susanto, 1980). Pada penangkaran rusa di Oilsonbai Pulau Timor

NTT musim kawin pada bulan Januari - Maret (Takandjandji, 1995), di

Australia, antara bulan Juli sampai Agustus (Pearse, 1996; Dryden, 1999),

sedangkan pada peternakan rusa di Queensland, perkawinan dapat terjadi

hampir sepanjang bulan dalam musim kawin, yaitu antara bulan Januari – Maret

dan Oktober – Desember dengan periode kawin utama antara Juni - September

(Sinclair, 1998). Rusa Jawa yang dipelihara di NTT akan melahirkan pada bulan

September (Takandjandji dan Sinaga, 1997), sedangkan di Australia, Rusa Jawa

dan Rusa Maluku umumnya melahirkan pada musim panas (antara Desember -

Februari)(Sinclair, 1998)

Mengenai hubungan antara musim dengan perkawinan, Sinclair (1998)

menyatakan bahwa pada anak jenis Rusa Jawa yang diternakkan di Queensland,

Australia, yaitu Rusa Maluku dan Rusa Jawa, nampaknya tidak ada hubungan

nyata antara musim dengan perkawinan. Perkawinan dan pemeliharaan anak

(calving ) dapat terjadi sepanjang tahun. Pada jantan rusa Maluku, proses

reproduksi dan pergantian ranggah tidak dipengaruhi oleh musim, dan betina

dapat beranak sepanjang tahun. Sedangkan pada rusa Jawa, meskipun secara

umum musim tidak mempengaruhi masa perkawinan, tetapi pada pengamatan di

Queensland ternyata ada pengaruh yang nyata dari musim terhadap reproduksi

dan pergantian ranggah. Pada rusa jantan, aktifitas seksual meningkat serta fertil

bila ranggahnya sudah merupakan ranggah yang tetap/keras. Lamanya rusa

mempunyai ranggah keras sangat beragam tergantung dari jenis rusanya,

kisarannya antara 3,5 hingga 12 bulan, bahkan dalam jumlah sedikit dapat lebih

Page 16: Tingkah Laku Rusa-1

15

dari 1 tahun (Semiadi, 1998). Bila ranggahnya masih merupakan ranggah yang

muda (berbulu halus seperti beludru), atau pada saat ranggahnya belum tumbuh,

aktifitas seksualnya terhenti dan bersikap seperti betina serta seringkali

berkumpul dengan kelompok betina. Sedangkan rusa betina seringkali tetap

subur sepanjang tahun.

Selanjutnya, dalam hubungannya dengan pertumbuhan dan lepasnya

ranggah pada Rusa Jawa yang dipelihara di NTT, dinyatakan bahwa ranggah

pertama kali tumbuh pada umur 7 - 9 bulan, musim ranggah lepas (gugur

ranggah) dapat terjadi pada bulan Maret, Mei dan Oktober, dengan interval

pengguguran ranggah satu tahun sekali dan masa pertumbuhan ranggah kembali

satu bulan sesudah ranggah gugur (Takandjandji, 1995).

4) Care giving (Epimeletic) behaviour (tingkah laku memelihara keturunan)

Tingkah laku ini merupakan tingkah laku induk untuk memelihara dan

memberi perlindungan terhadap anaknya termasuk menjilati dan memotong tali

pusar anak dengan mengitari anaknya, membersihkan badan anaknya,

menyapih, mencari kutu, dan melengking, ketika dipisahkan dari anaknya.

(Hafez et al., 1969, Fyffe, 1998). Epimeletic behaviour ini dipengaruhi oleh

struktur umur dari suatu organisasi struktur sosial hewan.

Sikap melindungi pada induk ruminansia telah banyak diamati oleh para

ahli. Induk secara aktif melindungi anaknya dari serangan dan gangguan hewan

lain, baik berasal dari jenis yang sama maupun dari hewan lain, bahkan dari

manusia. Selanjutnya Peterson (1955 dalam Moen, 1973) menyatakan bahwa

bila jantan Moose (Alces-alces) mendekati induk dan anaknya, segera akan

Page 17: Tingkah Laku Rusa-1

16

diusir oleh induknya. Demikian juga induk Moose akan bersikap waspada dan

melindungi anaknya bila melihat manusia yang mencoba mengganggunya.

Tetapi pada jenis lainnya seperti rusa (Cervus), dan Caribou (Rangifer) mereka

akan menyingkir bila manusia nampak akan mengganggu.

Untuk pertahanan diri, rusa seringkali menggunakan kaki depan dan

kukunya untuk menendang. Bahkan anjing dapat terbunuh akibat tendangan kaki

rusa dengan menggunakan kukunya seperti dilaporkan oleh Murie (1951).

Bahkan Severinghaus dan Chetaum (1956, dalam Moen, 1973) menyatakan

bahwa rusa ekor putih (White-tail deer) yang dikejar serigala dapat menendang

dengan kaki depannya pada saat berlari.

Tingkah laku Epimeletik, terlihat pada hubungan antara induk dengan

anaknya. Induk dan anak rusa mencari makan bersama-sama di padang rumput

dan sering kali induk terpisah dari anaknya. Tingkah laku epimeletik dan Et-

epimeletik sering terjadi secara bersama-sama, dapat terlihat pada saat anak

menyusu induknya. Induk rusa akan melindungi dan menyembunyikan anaknya

minggu pertama setelah dilahirkan, dan anaknya sendiri belum dapat berjalan.

Induknya tetap bersembunyi dan tidak mau didekati 3 - 4 hari pertama setelah

melahirkan.

Induk rusa yang baru melahirkan dapat segera berdiri dan lalu

membersihkan selaput lendir yang melekat pada tubuh anaknya dengan

menggunakan lidahnya. Setelah itu anak rusa dapat berdiri, berlari dan menyusu.

Dua minggu setelah dilahirkan, anak rusa mulai belajar memakan hijauan. Di

Filipina, pada anak rusa (Rusa sp.) yang baru lahir, langsung membuka matanya,

Page 18: Tingkah Laku Rusa-1

17

dan dapat berdiri mengitari induknya (Prestosa, 1974). Anak rusa menyusu

untuk pertama kali 6 jam setelah dilahirkan. Setelah 2 minggu, rusa dapat

berlari dan melompat. Pada minggu pertama, anak rusa hanya berdiri dan

mengamati apa yang dimakan induknya, kemudian membaui dan menggigit

rumput muda dengan cara meniru induknya. Sedangkan Kelly (1983)

menyatakan bahwa anak Rusa Merah (Cervus elaphus) di Australia Barat mulai

menyusu untuk pertama kali setengah jam sesudah kelahiran. Aktifitas menyusui

terjadi sepanjang hari dari pagi sampai malam, waktu ini bersamaan dengan

periode merumput dari induknya.

Induk rusa akan menjaga dan memelihara anaknya sampai anaknya bisa

mandiri, dan anak akan bersama-sama dengan induk sampai usia maksimum

satu tahun (Syarief, 1974 ) sedangkan menurut Sinclair (1998) selama 8 bulan.

5) Care-soliciting (Et-epimeletic) behaviour (tingkah laku minta dipelihara dari

anak kepada induknya)

Pada anak rusa, sifat ini ditunjukkan dengan tingkah lakunya yang akan

bersuara melengking ketika dipisahkan dari induknya, diganggu atau digigit

hewan lain. Sedangkan pada rusa yang dewasa, akan bersuara melengking kalau

dipisahkan dari kelompoknya (Woodford dan Dunning, 1992; Mackay, 1997;

Word, 1998).

6) Agonistic behaviour (tingkah laku menyerang)

Tingkah laku agonistik atau tingkah laku menyerang (agresi), sering kali

terjadi pada hewan yang merasa terganggu personal space atau flight distance-

nya yaitu merupakan jarak yang diterima oleh hewan terhadap keberadaan

Page 19: Tingkah Laku Rusa-1

18

hewan lain untuk menghindarkan diri atau pergi dari tempat tersebut (Marler

dan Hamilton III, 1966). Sikap agresif termasuk sikap menyerang, mengancam,

dan sikap lain yang menunjukkan permusuhan di antara dua atau lebih hewan.

Tingkah laku ini dapat terjadi pada hewan jantan maupun pada hewan betina.

(Barrett et al., 1986)

Secara umum, tingkah laku agonistik pada kebanyakan hewan dapat

dibedakan menjadi dua yaitu (Alcock, 1983; Barrett et al., 1986):

1) bersifat agresif (menyerang mengancam), yang dapat ditunjukkan dengan

dua cara yaitu:

a) ekspresi wajah/mimik, yaitu dengan cara kepala dijulurkan, bahu

direndahkan, menyeringai, membuka dan menutup mulut, gigi

menggeretak,

b) gerakan tubuh, dengan cara menampar (pada beruang), posisi

menerkam (harimau, singa dan lainnya), mendorong dengan

menggunakan ranggah (rusa), menerjang, menjatuhkan atau

melemparkan benda, mengencingi, mengejar atau memburu individu

yang dijadikan target. Hal ini tergantung pada tingkat kepandaian

hewan tersebut.

2) Bersifat submisif (ketakutan, kekalahan). Hal ini ditunjukkan dengan:

a) ekspresi wajah, yaitu menundukkan kepala, memalingkan muka,

b) gerakan tubuh, dengan cara membalikkan tubuh, membelakangi,

kemudian lari.

Page 20: Tingkah Laku Rusa-1

19

Pada rusa, tingkah laku agonistik ini sering nampak pada rusa jantan. Hal

ini sering terjadi pada musim kawin, pada saat itu terjadi tingkah laku saling

menyerang di antara jantan-jantan yang mempunyai ranggah keras.

7) Allelomimetic behaviour (tingkah laku meniru yang lain)

Pada beberapa ruminansia seperti pada kambing, domba rusa dan lainnya,

pola tingkah laku ini berupa kegiatan berjalan, berlari, makan rumput dan

tiduran dan istirahat bersama. Pada kegiatan merumput, Tribe (1950, dalam

Hafez et al., 1969) yang melakukan observasi pada dua kelompok domba yang

berbeda waktu merumputnya; setelah kedua kelompok itu digabungkan, waktu

merumput dan istirahat kedua kelompok tersebut ternyata sama. Selain itu

tingkah laku ini juga dapat ditandai dengan adanya kelompok hewan tersebut

mengikuti seekor hewan yang dianggap sebagai pimpinannya (Hafez et al.,1969;

Woodford dan Dunning, 1992; Word, 1998).

8) Shelter-seeking behaviour (tingkah laku mencari tempat berlindung dari

lingkungan yang membahayakan dirinya)

Semua hewan akan mencari lingkungan yang dirasakan paling cocok

dengan yang diinginkan. Pada beberapa keadaan, mereka memperoleh tempat

berlindung dari badan hewan lain, selain itu mereka mendapat tempat

berlindung dalam kandang atau dari pepohonan. Kalau diberikan kesempatan,

hewan kebanyakan akan memilih lingkungan atau tempat yang paling

menguntungkan, tetapi hal ini tak selalu demikian. Keberadaan naungan yang

diperlukan dan penggunaannya tergantung pada tempat dimana hewan liar

tersebut telah beradaptasi. Kalkun misalnya, sering mengalami masalah, karena

Page 21: Tingkah Laku Rusa-1

20

cenderung kurang senang mencari perlindungan pada saat hujan. Hal ini dapat

dipahami, sebab hewan tersebut dalam keadaan alami hidup di hutan, dan

naungan telah tersedia berupa pepohonan sebagai tempat bertengger. Pada

domba mungkin akan mengalami masalah pada kelompok yang besar sebab

kadang-kadang hewan tersebut bersama-sama dan berlindung pada saat badai di

musim dingin, seringkali pepohonan sebagai tempat bernaung tidak ada (Scott,

1969).

Bagi rusa, terutama rusa yang dipelihara di daerah tropika seperti

Indonesia, shelter (tempat berlindung/bernaung) merupakan hal yang sangat

penting. Shelter selain merupakan bangunan yang terbuka, dapat juga berupa

pepohonan. Pada beberapa penangkaran di Indonesia, biasanya rusa dilepaskan

di dalam pedok, maka di dalam pedok tersebut biasanya dijumpai pepohonan

tinggi dengan jarak antara pohon sekitar 3 - 5 m atau 5 - 7 m. Terlalu banyaknya

semak di dalam pedok tidak baik di lihat dari segi tingkah laku rusa, karena rusa

dan anaknya akan lebih susah dihalau bila diperlukan. Selain itu rusa cenderung

mempunyai sifat yang lebih liar serta malas keluar dari semak, karena dirasakan

lebih aman berada di dalam kegelapan semak (Semiadi, 1998). Pola tingkah laku

mencari tempat bernaung atau berlindung ditandai dengan tingkah laku menuju

ke bawah tempat naungan atau pohon, berkumpul bersama untuk menghindari

lalat, berkumpul bersama dalam cuaca yang dingin, mencakari tanah dan

berbaring (Hafez et al., 1969; Moen, 1973).

Seperti halnya pada domba, yang dikenal dengan tingkah laku berkemah

(Camping behaviour), yaitu kebiasaan domba yang tinggal atau tidur pada

Page 22: Tingkah Laku Rusa-1

21

tempat ketinggian dalam cuaca dingin dan dekat tempat yang berair atau pada

tempat yang terlindung atau teduh bila cuaca panas (Hafez et al., 1969), maka

hal tersebut juga didapati pada rusa (Moen, 1973)

9) Investigatory behaviour (tingkah laku memeriksa lingkungan)

Menurut Scott (1969), semua jenis hewan mempunyai kecenderungan

untuk memeriksa lingkungannya. Bila pertama kali hewan menemukan tempat

yang baru, maka pertama kali ia akan memeriksa tempat tersebut, dan tingkah

laku ini tergantung pada pancaindera hewan tersebut. Pada hewan liar yang

berkelompok dalam kelompok besar, yang habitat mereka rata dan berpasir,

tingkah laku memeriksa lingkungan (investigasi) lebih banyak dilakukan dengan

indera penglihatannya (mata), sedangkan pada anjing dan kelinci, tingkah laku

investigasi ini lebih utama menggunakan indera penciumannya. Pada rusa,

kegiatan investigasi terutama menggunakan indera pendengaran, barulah indera

penglihatan dan akhirnya indera penciuman (Moen, 1973).

10) Behaviour disorders (kekacauan tingkah laku)

Menurut Scott (1969), tingkah laku berupa ketidak mampuan untuk

menyesuaikan diri (Maladaptive behaviour) jarang terjadi pada hewan liar,

tetapi sering didapati pada hewan yang telah dijinakkan. Dimulai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Pavlov dan Liddell yang mempelajari refleks

bersyarat (conditioned reflexes), yang telah banyak dilakukan percobaan pada

jaringan syaraf hewan yang dijinakkan. Bila dianalisis, umumnya percobaan itu

telah menemukan beberapa faktor seperti adanya hewan yang mempunyai

motivasi tinggi, terjadi karena latihan, rangsangan eksternal atau internal. Bila

Page 23: Tingkah Laku Rusa-1

22

sumber rangsangan tak dapat dihindari, akhirnya hewan tersebut tak dapat

beradaptasi pada situasi demikian. Tak satu pun dari ketiga faktor, yaitu motivasi

yang tinggi, penangkaran/pemeliharaan dan ketidak mampuan beradaptasi akan

menghasilkan tingkah laku maladaptasi.

Bila ketiga faktor tersebut semuanya terjadi, hewan akan segera

menunjukkan tingkah laku yang menyimpang secara alami, dan hal ini

tergantung pada simulasi, percobaan yang dilakukan sebelumnya, obyek serta

hewan yang ada. Kalau diuji, maka tingkah laku tersebut kembali menjadi

adaptasi sebagian saja. Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa, kalau hewan

ditempatkan pada situasi yang tak sesuai, maka hewan tersebut berusaha

menyesuaikan diri sesuai dengan apa yang dapat dilakukannya.

Penangkaran yang tertutup merupakan salah satu faktor utama untuk

terjadinya tingkah laku maladaptive. Masturbasi, homoseksual, lesbian dan

tingkah laku seksual lainnya seringkali terjadi pada hewan di dalam kandang.

Isolasi akan menyebabkan keganjilan dalam tingkah lakunya, seperti

meningkatnya tingkah laku allelomimetik (tingkah laku meniru) seperti pada

ayam hutan dan anjing (Kruijit, 1964 dan Fuller, 1967, dalam Hafez, et al.,

1969). Khusus mengenai homoseksual pada rusa, Fullerby (1999) menyatakan

bahwa 20% rusa jantan adalah homoseksual. Selanjutnya, disebutkan pula

bahwa ranggahnya jarang digunakan pada musim kawin seperti halnya jantan

normal, yaitu digosok-gosokkan pada ranting, membuat lubang, berguling-

guling pada lubang serta berkubang dan menggunakan ranggahnya untuk

menyerang jantan lain yang mendekati betina yang akan dikawininya.

Page 24: Tingkah Laku Rusa-1

23

Sebaliknya, jantan yang homosek (gay) terpisah dari kelompoknya, lebih senang

berkumpul bersama induk rusa lain, bersama dengan anak-anaknya. Bila

dibandingkan dengan jantan normal, maka selama musim kawin, jantan gay

bersuara lebih melengking seperti suara betina, berbeda dengan suara rusa

jantan normal yang bersuara lebih keras.

Selain itu, beberapa penyimpangan tingkah laku rusa antara lain adalah

tingkah laku menyedot penis sambil menghisap air seni, menyedot pusar atau

menjilati bagian anus anak rusa lainnya oleh anak rusa, dan hal ini merupakan

tingkah laku yang tidak sehat. Hal ini cenderung terjadi pada anak rusa yang

selalu merasa lapar, apabila dibiarkan akan menjadi suatu kebiasaan yang jelek.

Apabila telah berkembang menjadi sesuatu kebiasaan, maka anak rusa tersebut

akan menolak untuk minum air susu dan lebih tertarik untuk menyedot air seni

kawan-kawannya. Selain itu, kesukaan menyedot ini dapat membuat kawannya

terganggu serta melukai bagian-bagian yang diisapnya, dan akhirnya

berkembang menjadi infeksi. Untuk menghindari hal tersebut, dilakukan

pemisahan anak rusa pada tempat tersendiri dan membiarkan anak rusa itu

meminum susu sebanyak yang dapat diminum. Sifat ini akan cepat hilang

dengan jalan memisahkannya dari kelompoknya lebih dini (Semiadi, 1998).

III. Hubungan Sosial

Hubungan sosial adalah tingkah laku yang terjadi secara tetap dan dapat

diramalkan yang terjadi antara dua individu (Scott, 1969). Pada hewan, di antara

kelompok hewan yang hidup bersama, akan dibentuk kebiasaan sebagai akibat dari

adanya hubungan antar individu tersebut. Hal ini terutama dalam upaya untuk

Page 25: Tingkah Laku Rusa-1

24

memanfaatkan sumber daya habitatnya, mengenali tanda bahaya, dan melepaskan

diri dari serangan pemangsanya (Alikodra, 1990). Tingkah laku sosial berkembang

sesuai dengan adanya perkembangan dari proses belajar hewan tersebut.

Word (1998) menyatakan bahwa dominansi individual pada rusa terdapat

pada individu, bukan pada kelompok. Seperti pada rusa Ekor Putih/White-tail deer

dan Mule deer (Odocoileus hemionus hemionus), untuk meningkatkan posisi

kepemimpinannya, rusa jantan menggunakan ranggahnya. Bila jantan tak berranggah

atau ranggahnya masih merupakan ranggah yang muda, maka jantan tersebut akan

bersikap seperti betina. Hal itu ditandai dengan tingkah lakunya, bila jantan tersebut

menunjukkan kekuatannya, akan digunakan kaki depan dan kukunya, bukan

ranggahnya seperti rusa jantan yang mempunyai ranggah. Ini menunjukkan betapa

penting ranggah yang dimiliki oleh rusa jantan untuk menunjukkan kekuatan dan

kepemimpinan dalam kelompoknya. Rusa jantan yang mempunyai ranggah besar dan

kuat akan menguasai betina-betina. Sedangkan jantan muda (mempunyai ranggah

muda), atau hewan yang mandul, akan menempati posisi terendah dalam urutan

kepemimpinannya ( Alikodra, 1990; Word, 1998).

Selanjutnya, Darnawi (1994) menyatakan bahwa Rusa Jawa di habitat

aslinya di Ujung Kulon hidup berkelompok. Jumlah anggota tiap kelompok

bervariasi antara 3 –75 ekor, yang terdiri dari 3 – 4 ekor atau kurang dari 7 ekor

sebanyak 60%, 10 – 15 ekor sebanyak 20%, 20 ekor sebanyak 10% dan 20 – 75 ekor

sebanyak 10%. Tetapi di Taman Nasional Baluran (Baluran National Park, 1995) dan

di luar Jawa seperti di Nusa Tenggara Timur, kelompok ini dapat mencapai ratusan

ekor terutama pada awal musim kawin dan pada waktu makan rumput dan istirahat

Page 26: Tingkah Laku Rusa-1

25

di tempat yang sama, ternyata tidak membentuk satu kesatuan (unit) tetapi terpisah

menjadi beberapa grup yang lebih kecil, dan hubungan grup merupakan kesatuan

yang stabil, terdiri dari rusa betina induk, rusa betina muda dan anak. Kelompok ini

dipimpin oleh rusa dewasa yang paling tua, dan kepemimpinannya jelas pada saat

menghadapi bahaya. Pimpinan kelompok ini akan memberikan tanda bahaya dengan

bunyinya yang khas dan segera diikuti oleh anggota kelompok lainnya. Biasanya

jeritan ini disertai dengan hentakan kaki dan rusa siap untuk berlari (Hoogerwerf,

1970 dalam Susanto, 1980). Rusa memiliki daya adaptasi yang tinggi dengan

lingkungannya, dan rusa dapat hidup dalam kelompok antara 10-20 ekor serta kurang

memperhatikan daerah kekuasannya, sedangkan rusa jantan kebanyakan soliter

(Departemen Kehutanan RI, 1986; Sinclair, 1998).

Beberapa hubungan sosial pada hewan adalah sebagai berikut (Scott, 1969;

Barrett et al., 1986; Alikodra, 1990):

a) Hubungan ketergantungan pemeliharaan

Hubungan ini biasa terjadi antara induk dan anaknya. Pada rusa, domba

dan kambing, yang anaknya tumbuh dan hidup bersama dengan induknya dalam

jangka waktu yang lama dan bentuk hubungan yang terjadi sangat erat dan tetap

terjadi sampai hewan tersebut dewasa.

b) Hubungan dominansi-subordinasi

Dominansi, adalah tingkah laku yang timbul karena individu-individu

dalam satu kelompok hewan lebih unggul dari individu lainnya. Dalam kelompok

sosial, tekanan yang terjadi akan mengubah sifat agresif dan meningkatkan

kerjasama antar individu dalam kelompok tersebut serta sering kali dalam

Page 27: Tingkah Laku Rusa-1

26

bentuk hirarki dominansi. Di dalam pola hierarki terdapat tingkatan dalam sistem

dominansi-subordinansi. Ada dua tipe hirarki dominansi, yaitu: Peck order dan

Despotisme.

Pada Peck order, individu pada tingkat yang di atas akan mengendalikan

individu pada tingkat di bawahnya, dan individu pada tingkat tersebut akan

mengendalikan individu yang berada pada tingkat di bawahnya lagi dan

seterusnya. Sedangkan pada Despotisme, maka individu pada tingkat paling atas

akan mengendalikan (menguasai) individu-individu lain di bawahnya yang

mempunyai tingkatan sama.

Umumnya satwa liar mempunyai sistem hirarki yang lebih kompleks, yang

merupakan campuran antara sistem Peck order dan Despotisme. Keuntungan

fenomena hirarki dominansi, di samping menghindari perkelahian di dalam

kelompok, hirarki dominansi cenderung untuk menyatukan kelompok dan

meningkatkan efisiensi dalam kelompok. Anggota kelompok yang dominan,

kebanyakan anggota kelompok yang lebih tua dan lebih berpengalaman, yang

dapat memimpin dan menyatukan kelompoknya. Seperti pada kelompok kera,

suara yang menyatakan adanya bahaya sering diteriakkan oleh anggota yang

menduduki tingkat paling tinggi dalam kelompoknya. Selain itu, keuntungan

lainnya dengan adanya dominansi hirarki ini adalah adanya efisiensi untuk

memperebutkan makanan, mempertahankan diri terhadap pemangsa dan musuh

lainnya.

Mengenai hubungan antara sifat dominansi dengan tingkah laku kawin,

Lindsay dan Fletcher (1972 dalam Tomaszewska et al., 1991) berpendapat

Page 28: Tingkah Laku Rusa-1

27

bahwa tingkat dominansi pada domba mempunyai pengaruh yang sangat penting

dalam keadaan kawin di kandang. Dalam keadaan dilepas, jantan yang dominan

bila tidak bisa mempertahankan kelompoknya, maka jantan subordinatnya bisa

mengawini betina lainnya dalam jumlah yang sama. Hal ini dapat terjadi bila

domba betina berada di luar daerah pandang (audience area) jantan dominan,

maka domba betina yang berahi akan dapat dikawini jantan subordinatnya. Tetapi

dalam keadaan tertutup, jantan yang dominan akan menghalang-halangi jantan

subordinatnya untuk kawin, walaupun jantan dikandangkan pada kandang

terpisah. Kejadian ini dikenal dengan istilah "pengaruh pemirsa" (audience

effect).

c) Hubungan yang saling menguntungkan

Kawanan kerbau dan banteng melakukan hubungan akrab dengan burung

jalak hitam (Acridotheres fucus javanicus). Banteng dan kerbau mendapatkan

keuntungan, karena gangguan dari kutu dan lalat menjadi berkurang, sedangkan

burung jalak mendapat keuntungan dari kutu dan lalat yang dimakan.

d) Hubungan seksual

Hubungan hewan liar jantan dan betina dewasa melalui proses yang unik.

Pada kebanyakan hewan, musim kawin berlangsung pada bulan-bulan tertentu,

jadi tidak terjadi sepanjang tahun.

Pada Rusa Jawa, berdasarkan sifat alaminya sebagai hewan tropik, tak ada

kesesuaian antara musim dan perkawinan. Perkawinan dan pemeliharaan anak

(calving) dapat terjadi sepanjang tahun, walaupun musim juga agak berpengaruh

terhadap musim kawin, khususnya di Australia (Sinclair, 1998).

Page 29: Tingkah Laku Rusa-1

28

Jantan Rusa Maluku, nampaknya tidak dipengaruhi musim dalam

hubungannya dengan reproduksi dan pergantian ranggah, dan betinanya dapat

beranak sepanjang tahun. Sebaliknya pada Rusa Jawa meskipun musim tidak

berpengaruh terhadap kegiatan untuk melakukan perkawinan, tetapi pada

beberapa peternakan di Queensland didapati adanya pengaruh yang nyata

antara musim dengan reproduksi dan pergantian ranggah (Tuckwell, 1997;

Sinclair, 1998). Rusa betina seringkali tetap subur sepanjang tahun, dan rusa

jantan, aktifitas seksualnya tinggi dan fertil bila ranggahnya merupakan ranggah

yang keras.

e) Hubungan pemimpin dengan pengikut.

Rombongan satwa liar dari satu jenis melakukan pergerakan dari satu

tempat ke tempat lainnya untuk mendapatkan sumberdaya, dipimpin oleh salah

satu anggotanya. Untuk banteng dan gajah, pergerakan kelompoknya dipimpin

oleh induk (Alikodra, 1990), hal yang sama juga terjadi pada rusa (Moen, 1973;

Mackay, 1997; Sinclair, 1998).

f) Hubungan kerjasama dalam mendapatkan makanan atau kerjasama di antara jenis

yang berbeda.

Untuk mendapatkan makanan, berbagai satwa liar seringkali melakukan

kerjasama, baik di antara jenis yang sama, maupun di antara jenis yang berbeda.

Anjing hutan selalu melakukan kerjasama bersama kawan-kawannya untuk

menangkap mangsanya. Erftemeijer (1987, dalam Alikodra, 1990) melakukan

penelitian pada kelompok burung (flock) yang melakukan kerjasama untuk

mendapatkan makanan berupa serangga atau buah. Pola kerjasama pada

Page 30: Tingkah Laku Rusa-1

29

berbagai jenis burung merupakan strategi untuk mendapatkan mangsa atau

memanfaatkan ruang dan menghindarkan diri dari ancaman pemangsa.

Peternak kambing perah untuk memindahkan anak yang baru dilahirkan

segera dari induknya supaya tidak diganggu oleh induknya, dengan cara

memerah susu yang pertama kali dikeluarkan induknya (Scott, 1969). Adanya

hubungan yang terjalin antara induk dengan pemerah tersebut akan

menyebabkan pemerahan menjadi lebih mudah dan hal ini akan mempermudah

pemerah untuk memindahkan anak kambing yang baru dilahirkan tersebut.

Dalam hal ini, manusia berperan penting dalam hubungan ketergantungan

pemeliharaan (Care-dependency relationships).

IV. Tingkah Laku Pergerakan Rusa

Rusa secara alami menyukai daerah berbukit dengan variasi topografi lainnya

(Semiadi, 1998). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Junaeni (1995) yang

menyatakan bahwa rusa pada habitat aslinya di Pulau Rinca, Taman Nasional

Komodo, lebih menyukai lereng sebagai tempat beraktifitas mencari makan dan

berjemur pada siang hari pada daerah yang relatif terbuka, serta akan menuju ke

puncak bukit atau lembah bila situasinya tidak aman. Hal ini juga disebabkan karena

lembah di daerah tersebut mempunyai hutan musim dengan vegetasi yang lebih

rapat, dan ini sesuai dengan pendapat Alikodra (1990), yang menyatakan bahwa

migrasi menurut ketinggian tempat merupakan pergerakan satwa liar yang dapat

mencapai beberapa kilometer turun naik lereng, bukit atau gunung, biasanya dalam

hubungannya dengan kondisi salju, temperatur atau makanannya.

Page 31: Tingkah Laku Rusa-1

30

Pada saat makan di padang rumput, Rusa Jawa dan Rusa Sambar, cenderung

membentuk pola penyebaran acak, yang berbeda dengan pola penyebaran banteng

(Bos javanicus) yang membentuk pola penyebaran berkelompok. Pola penyebaran ini

merupakan strategi individu atau kelompok organisme untuk mempertahankan

kelangsungan hidupnya (Alikodra, 1990)