tingkah laku rusa-1
TRANSCRIPT
ETOLOGI HEWAN (TINGKAH LAKU HEWAN)
SERI
TINGKAH LAKU RUSA
DISUSUN OLEH
Dr. Ir. Deden Ismail, MSi
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKANUNIVERSITAS MAHASARASWATI
DENPASAROktober 2013
1
Daftar Isi
2
I. Tingkah Laku
Tingkah laku hewan adalah ekspresi suatu hewan yang ditimbulkan oleh
semua faktor yang mempengaruhinya, baik faktor dari dalam maupun dari luar yang
berasal dari lingkungannya (Suratmo, 1976). Untuk praktisnya, tingkah laku dapat
diartikan sebagai gerak-gerik organisme. Sehingga perilaku merupakan perubahan
gerak termasuk perubahan dari bergerak menjadi tidak bergerak sama sekali atau
membeku, dan perilaku hewan merupakan gerak-gerik hewan sebagai respon
terhadap rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan kondisi lingkungannya
(Tinbergen, 1979).
Untuk menentukan tingkah laku hewan, perlu diketahui pola tingkah laku.
Sedangkan pola tingkah laku (behaviour patterns) dapat didefinisikan: kumpulan
dari bagian-bagian perilaku yang mempunyai sebuah fungsi tertentu. Di alam, hal ini
terutama ditentukan oleh faktor keturunan dan lingkungan, tetapi dapat juga dibentuk
karena latihan dan belajar. Faktor dari satwa itu sendiri (endogenous factor) yang
lebih menentukan tingkah laku hewan. Untuk mengontrol dan mengembangkan
tingkah laku hewan, ditentukan oleh kondisi refleks hewan yang disebabkan oleh
peranan dari lingkungan atau rangsangan dari luar menentukan. Selanjutnya, hewan
tersebut akan mengembangkan sendiri tingkah lakunya (Scott, 1969; Mc Douglas,
1908 dalam Suratmo, 1978; Pavlov dalam Suratmo, 1978).
1.1 Faktor-faktor Penentu Perkembangan Tingkah laku
Faktor-faktor yang menentukan perkembangan tingkah laku hewan sebagai
berikut (Manning, 1978; Hess, 1987).
1) Insting dan belajar (Instinct and learning)
3
Insting diwariskan dari tetuanya, sedangkan belajar (learning) pada hewan
yang diperoleh dari hasil kemampuan hewan tersebut berdasarkan
pengalamannya, sesuai dengan kondisi lingkungan yang dialaminya.
Untuk merencanakan proses belajar pada hewan, maka proses belajar tersebut
harus sesuai dengan kemampuan sensorik dan motorik hewan tersebut, juga
tingkah laku spesifik jenis tersebut. Pada ruminansia, lebih mudah memberi
motivasi dengan jalan menakutinya, dibandingkan dengan membuatnya
kelaparan, hal ini terjadi karena rumen merupakan tempat pakan yang sulit
dikosongkan. Selanjutnya tingkah laku belajar yang tidak dikehendaki pada ternak
sapi yang merupakan Self reinforcement yaitu Intersuckling atau induk sapi
menyusu pada induk lain, yang dapat dicegah dengan menghambat ternak tersebut
untuk melakukan tingkah laku tersebut dan menyediakan fasilitas yang sesuai,
sehingga ternak tersebut dapat melakukan tingkah lakunya jenisnya yang spesifik
(Tomaszewska et al., 1991).
2) Pengalaman pertama (Early experiences)
Pengalaman pertama yang diperoleh hewan berpengaruh sangat besar
terhadap tingkah laku hewan. Beberapa hal yang mempengaruhi early experiences
antara lain, tempat pertama yang dikenal hewan, persepsi pertama dan hubungan
sosial yang pertama.
3) Imprinting
Suatu periode yang sensitif di awal kehidupan hewan masih muda yang
dipengaruhi oleh suatu keadaan yang khusus, disebut Imprinting. Pengaruh ini
seringkali berasal dari induknya, tetapi bisa juga dari individu lain. Bentuk ini
4
merupakan hasil belajar dari pola tingkah laku yang keras sebagai respon dari
rangsangan yang spesifik. Salah satu bentuk dari imprinting ditunjukkan oleh
individu yang cenderung untuk ikut berkembang bersama kelompok lainnya.
Imprinting didapati pada kebanyakan hewan, dari insekta hingga primata (Barrett
et al., 1986).
4) Motivasi
Motivasi adalah proses internal yang menentukan perubahan tingkah laku dan
disebabkan oleh adanya kebutuhan khusus, dan kebutuhan khusus ini cenderung
merupakan kebutuhan dasar. Stimulus yang diberikan pada satwa yang sama,
tetapi waktu pengamatan yang berbeda, tidak selalu memberikan respon yang
sama, karena terjadi perubahan tingkah laku di dalam diri satwa tersebut.
II. Tingkah Laku Rusa
Berdasarkan daptasi tingkah laku ada 10 tipe (Hafez et al., 1969) maka
tingkah laku rusa dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Ingestive behaviour (tingkah laku mencari makan dan minum).
Ingestion adalah proses menangkap dan memasukkan makanan ke dalam
mulut (Dukes, 1955 dalam Moen, 1973). Tampaknya proses ini merupakan
proses yang sederhana, tetapi hal ini merupakan masalah yang sangat penting
pada ruminansia yang masih liar. Pada tingkah laku ini, termasuk didalamnya
konsumsi bahan makanan atau bahan bergizi yang dapat berupa bahan padat
atau cairan. Makan dan minum juga merupakan tingkah laku ingestive, dan
setiap jenis mempunyai cara yang tertentu (Dukes, 1955 dalam Moen, 1973;
Tomaszweska et al., 1991), serta makan itu sendiri sebenarnya merupakan
5
tingkah laku, yang sering kali dipengaruhi oleh macam dan modifikasi banyak
faktor (Mlowszewski, 1983). Sapi, domba dan kambing pada umumnya
mempunyai pola ruminasi atau memamah biak. Setelah makan hewan tersebut
sering kali berbaring dan segera mengunyah, menelan dan memuntahkan
kembali (regurgitasi) makanan berulang-ulang ke dalam rongga mulut,
kemudian dikunyah kembali. Lambung terdiri dari beberapa bagian yang dapat
membantu memisahkan makanan yang kasar dan yang halus yang ada di tanah.
Pola memamah biak pada rusa, seperti halnya pada sapi dan domba, ada
hubungannya dengan tidak terdapatnya gigi seri atas. Cara merumput rusa yaitu
dengan melilitkan lidah pada rumput di mulutnya, kemudian menyentakkan
kepalanya ke depan sehingga rumput terpotong oleh gigi seri bawah seperti
halnya pada sapi.
Banyaknya makanan yang diperlukan oleh hewan liar ternyata bervariasi,
antara lain dipengaruhi musim dan individu hewan tersebut (Moen, 1973). Pada
White-tailed deer di Lousiana, konsumsi makan menurun, mengakibatkan
penurunan berat badan rusa jantan sebanyak 10% selama musim dingin,
sedangkan pada rusa betina mencapai 3%. Selain itu, musim kawin juga
berpengaruh terhadap berat badan rusa, baik pada jantan maupun pada betina,
yang diakibatkan oleh berkurangnya jumlah makanan yang dimakan, karena
waktu untuk merumput lebih banyak dipergunakan untuk proses perkawinan
(Nordan et al., 1968 dalam Moen, 1973)
Menurut Hafez et al. (1969), ruminansia pada saat di padang rumput, tidak
selalu merumput, tetapi diselingi dengan istirahat, memamah biak dan berteduh.
6
Secara umum, kegiatan merumput secara intensif dilakukan antara matahari
terbit hingga matahari terbenam.. Lamanya periode merumput terpanjang terjadi
bila merumput lebih pagi hingga lebih sore menjelang malam. Selanjutnya,
Tomaszewska et al. (1991) menyatakan, bahwa pada ternak ruminansia,
dengan penggembalaan bebas pada daerah subtropis, periode merumput paling
banyak terjadi ketika rumen diisi dengan rumput yang baru, hal ini terjadi
menjelang pagi, menjelang senja sampai setelah matahari terbenam, dengan satu
periode lebih singkat kira-kira pada saat tengah malam. Di daerah tropis, siklus
merumput berlaku sebaliknya. Pada waktu tengah hari yang panas, ternak
beristirahat di bawah naungan atau dekat tempat air dengan periode merumput
yang panjang pada malam hari. Analog dengan rusa, kegiatan merumput domba
Cheviot di Scotlandia pada malam hari tergantung pada temperatur udara dan
kecenderungan untuk menghindari lalat, dimana pada saat musim panas waktu
merumput pada malam hari lebih lama dibandingkan pada musim dingin, hal ini
ada kaitannya dengan temperatur udara pada malam hari di musim panas lebih
tinggi dibandingkan dengan temperatur udara pada musim dingin, juga akibat
lamanya siang (length of day) di musim panas lebih lama waktunya
dibandingkan pada musim dingin (Tribe, 1949 dalam Hafez et al., 1969).
Mengenai tingkah laku merumput, menurut Hafez et al., (1969) ternyata
dalam sehari semalam, domba merumput sebanyak 4 - 7 kali, dengan lama
merumput antara 9 - 11 jam. Selanjutnya memamah biak sebanyak 15 kali,
dengan mengunyah sebanyak 91 kali per menit, dan jarak yang ditempuh dalam
waktu sehari berkisar antara 1,5 - 12 km. Penelitian pada ruminansia lainnya
7
seperti pada domba (Welch dan Smith, 1969; Bae et al., 1979), pada Moose
(Welch, 1982; Renecker dan Hudson, 1989) juga menunjukkan pula bahwa
pada saat memamah biak, waktu yang digunakan jarang melebihi 10 jam per
hari.
Craigjead et al., (1973) yang memonitoring dengan menggunakan radio
kontrol terhadap Elk (Cervus elaphus canadensis) secara periodik selama 24
jam, diketahui bahwa Elk telah mempergunakan 46% waktunya selama sehari
semalam tersebut untuk beristirahat, 44% untuk makan, dan 10% untuk aktifitas
lainnya, sedangkan penelitian yang serupa pada Chinese Water Deer
menunjukan bahwa 50,4% dari seluruh waktunya dalam sehari semalam
digunakan untuk makan, 37,2% untuk istirahat dan 12,4% untuk kegiatan
lainnya (Zhang, 2000b).
Dalam penyesuaian diri terhadap jumlah pakan yang dimakan, ternyata
semua hewan bisa juga bervariasi dalam jumlah pakan yang dimakan dengan
jumlah gigitan per menit, yaitu dengan meningkatkan besar renggutannya. Pada
domba, ternyata ada hubungan antara tingginya padang rumput dan jumlah
pakan yang dimakan, dan ada hubungan antara jumlah gigitan (renggutan) per
satuan waktu dengan besarnya gigitan. Pada anakan rumput yang dimakan
sampai pada ketinggian 5 cm, jumlah renggutan per menit meningkat,
kemudian jumlah renggutan per menit akan menurun dengan semakin tingginya
anakan rumput yang dimakan. Banyaknya gigitan per gr akan semakin
meningkat dengan semakin tingginya anakan rumput (Allden dan Whittaker
dalam Tomaszewska et al., 1991). Hal yang sama juga terjadi pada sapi (Wallis
8
de Vries et al., 1994). Zhang (2000a) dalam penelitiannya mengenai banyaknya
renggutan per menit terhadap Chinese Water Deer mendapatkan bahwa rata-rata
pada jantan sebesar 92,4 kali, pada betina sebesar 91,8 kali dan lebih tinggi bila
dibandingkan dengan Red Deer (pada jantan maupun betina) sebesar 50 - 60 kali
(Clutton-Brock et al., 1982), atau pada sapi Meuse-Rhein muda yang berkisar
antara 52,0 - 77,7 kali (Wallis de Vries et al., 1994). Selain itu, beberapa
peneliti juga berpendapat bahwa banyaknya renggutan per menit pada hewan
berkuku (Ungulata) tidak tetap, seperti pada Red Deer (Clutton-Brock et al.,
1982), dan pada kambing (Solanki, 1994).
Banyaknya kunyahan per menit pada ruminansia bervariasi, tergantung
pada jenis hewan, jenis pakan, dan musim. Banyaknya kunyahan per menit pada
Chinese Water Deer berkisar antara 71 - 97 kali (Zhang, 2000a), Red Deer
antara 62 - 64 kali (Clutton-Brock et al.,1982), domba rata-rata sebanyak 100
kali (England, 1954), dan pada sapi antara 50 - 70 kali (Morgan, 1951). Musim,
suhu dan banyaknya serat berpengaruh terhadap banyaknya kunyahan per menit
dan waktu yang diperlukan untuk mengunyah lebih lama. Seperti pada penelitian
Semiadi et al. (1994) yang membandingkan tingkah laku makan Rusa Sambar
yang merupakan rusa tropika dengan Red Deer yang merupakan rusa daerah
sedang (temperate), dimana pada Red Deer, banyaknya makanan yang dimakan
semakin sedikit pada musim dingin dibandingkan dengan musim panas, karena
semakin berkurangnya waktu yang diperlukan untuk makan di pedok. Pada saat
yang sama, penelitian dilakukan terhadap Rusa Sambar, diperoleh adanya
peningkatan makanan yang dimakan yang diikuti dengan peningkatan frekuensi
9
mengunyahnya, selanjutnya, makanan yang lebih banyak berserat ternyata
menyebabkan waktu yang diperlukan untuk mengunyah lebih lama (Geoffrey,
1992). Mengenai pengaruh pemberian konsentrat terhadap lamanya merumput
pada domba yang dipelihara di pedok, ternyata kelompok domba yang diberi
konsentrat menunjukkan bahwa lamanya merumput yang lebih singkat
dibandingkan dengan kelompok domba tanpa diberi makanan konsentrat (Tribe,
1950 dalam Hafez ed., 1969).
2) Eliminative behaviour (tingkah laku membuang kotoran)
Bahan makanan yang tidak semuanya dicerna, masih mengandung
jaringan yang terdegradasi, pada saluran pencernaan digunakan oleh
mikroorganisme dalam rumen dan hasil akhirnya dikeluarkan melalui anus.
Banyaknya kotoran (feses) dan tempat hewan membuang kotoran
seringkali dipergunakan untuk menentukan banyaknya individu pada sensus
populasi hewan liar. Bentuk dan banyaknya kotoran, berupa pellet yang
berkelompok yang dikeluarkan per ekor per hari sebanyak sekitar 13 pellet
(perkiraan yang umum). Keadaan ini seringkali dipergunakan untuk
menentukan banyaknya rusa yang terdapat pada suatu daerah. Banyaknya
kotoran yang dikeluarkan (Defecation rate) sangat beragam, hal ini tergantung
pada kuantitas dan kualitas makanannya (Moen, 1973).
3) Sexual behaviour (tingkah laku seksual)
Tingkah laku seksual pada binatang, yang tidak saling memilih
pasangannya, akan menguntungkan proses domestikasi suatu jenis, juga akan
menguntungkan program pemuliaan yang menggunakan beberapa keturunannya
10
yang terbatas. Jantan ruminansia akan agresif selama musim kawin. Sifat jantan
untuk mengawini betina dan keberhasilan terjadinya perkawinan, tergantung
pada: a) tingkat agresifitas yang terjadi pada jantan, b) daya tarik yang terjadi di
antara jantan dan betina yang sedang berahi, c) tahapan interaksi tingkah laku
sebagai hasil dari kesediaan betina untuk kawin (mating) yang ditunjukkan
dengan posisi tubuhnya untuk dapat dikawini dan d) reaksi pejantan untuk
menaiki betina untuk kopulasi. (Moen, 1973; Alexander et al., 1980). Keeratan
hubungan jantan dan betina tersebut merupakan interaksi yang sangat kuat di
antara individu-individu pada musim kawin, dibandingkan dengan waktu
lainnya pada tahun itu (Moen, 1973). Selanjutnya, frekuensi kopulasi bervariasi,
tergantung pada spesies, jenis, rasio jantan dan betina, luas tempat, lama periode
istirahat kawin (sexual rest), musim dan rangsangan seksual alami (nature of
sexual stimuli). Banyaknya ejakulasi pada sapi dan domba lebih tinggi
dibandingkan pada kuda dan babi. Pada beberapa sapi jantan yang diamati
ternyata banyaknya kopulasi mencapai 80 kali dalam 24 jam atau 60 kali dalam
6 jam, atau rata-rata kopulasi sebanyak 21 kali sebelum hewan yang diamati
kelelahan (Wierzbowski, 1966 dalam Alexander etal., 1980).
Setelah lama tidak kawin, seekor domba pejantan dapat kopulasi lebih dari
50 kali pada hari pertama setelah bertemu dengan domba-domba betina, tetapi
frekuensinya menurun dengan tajam pada hari-hari berikutnya. Kambing, kuda
dan babi cepat lelah, beristirahat kawin, dan mempunyai frekuensi ejakulasi
yang lebih rendah dibandingkan dengan domba dan sapi. Banyaknya kopulasi
(perkawinan) yang dilakukan pejantan dengan betina yang sama dan sedang
11
berahi pada perkawinan secara alami lebih rendah kalau sperma pejantan
sebelumnya telah diambil untuk AI (Artificial Insemination) bila dibandingkan
pejantan tersebut tidak diambil spermanya. Pejantan akan mengawini betina
yang sama dan sedang berahi 5 - 10 kali pada sapi, 3 - 6 kali pada domba, 2 - 4
kali pada kuda dan babi (Alexander et al., 1980).
Tingkah laku seksual pada hewan, dipengaruhi oleh faktor genetis,
perbedaan sistem syaraf, jenis kelamin, serta faktor lingkungan. Tingkah laku
seksual pada hewan, ditentukan oleh mekanisme endokrin. Hormon yang
berpengaruh terhadap tingkah laku seksual adalah hormon steroid. Hormon
steroid pada jantan dan betina secara biokimia ada kesamaannya, tetapi ritmik
yang dikeluarkan ke dalam aliran darah secara keseluruhannya berbeda. Sekresi
androgen tidak permanen. Pada jantan, puncak sekresi hormon yang dikeluarkan
dalam waktu 24 jam tidak tetap dan dapat terjadi beberapa kali, walaupun
jumlah yang dikeluarkan dalam prakteknya tetap dari hari ke hari, sedangkan
fluktuasi musiman kadang-kadang berlangsung cepat dan kadang-kadang
lambat. Sedangkan pada betina, estrogen dalam darah hanya terdapat beberapa
hari saja selama siklus berahi. Pengambilan hormon gonad dan terapinya pada
jantan secara lengkap berbeda dengan pada betina (Alexander et al., 1980)
Salah satu karakterisitik tanda seksual sekunder pada suku Cervidae
adalah pertumbuhan dan perkembangan ranggah. Pengrusakan ranting pada
semak-semak merupakan petunjuk peningkatan agresifitas sebagai
perkembangan kondisi reproduksi. Severinghaus dan Cheatum (1956, dalam
Moen, 1973) menyatakan bahwa pada rusa yang dipelihara di laboratorium,
12
pada saat aktifitas seksualnya meningkat, rusa jantan akan menunjukkan
agresifitas yang meningkat pula, yaitu dengan merusak pagar, pohon atau
benda-benda lainnya. Hal ini juga menjadi tanda bahwa daerah itu sebagai
daerah kekuasaan (teritori) jantan tersebut. Pada saat musim kawin sering terjadi
perkelahian antar pejantan yang memperebutkan betina yang akan dikawininya.
Musim kawin pada Rusa Jawa ditandai dengan tingkah laku rusa jantan
yang selalu meraung-raung (melenguh) dengan suara keras pada waktu tertentu
di pagi dan sore hari, bahkan kadang kadang di malam hari. Ciri-ciri lainnya
adalah berendam di dalam lumpur, berjalan tegak dengan kepala mendatar,
berdiri tegak, sambil mengarahkan mulutnya (flehmen) ke arah betina dewasa
yang sedang berahi, kemudian mengikuti jejak betina tersebut dan menciumi
bekas urine yang dikeluarkan betina (Departemen Kehutanan RI, 1986;
Takandjandji dan Sinaga, 1997). Menurut Jacoeb dan Wiryosuhanto (1994),
perkawinan umumnya akan berlangsung pada malam hari, dan kopulasinya
relatif cepat dan singkat.
Sifat agresif yang ditunjukkan rusa jantan pada musim kawin hanya terjadi
di antara kelompok yang mempunyai ranggah tetap (ranggah keras), dan
hierarki antar individu yang nampak lebih dominan (Mackay, 1997; Sinclair,
1998). Tidak seperti pada jenis rusa yang berasal dari daerah dingin, jantan
Rusa Jawa dan Rusa Maluku tidak berusaha berkumpul dengan betina-
betinanya. Di musim kawin, rusa jantan cenderung mempunyai sifat untuk
mengumpulkan “harem” (Semiadi, 1998). Hal ini sangat jelas terlihat pada
kelompok rusa asal daerah dingin. Pada rusa yang berasal dari daerah tropika,
13
kecenderungan untuk mengumpulkan harem juga ada, tetapi tidak terlalu kuat.
Jantan rusa mempunyai sifat perkawinan Poligamus (Polyginy) (Giraldeau,
1998; Semiadi, 1998). Selama musim kawin ini, rusa jantan berkubang dan
mengasah ranggahnya pada rumput yang panjang (Sinclair, 1998). Selanjutnya
Word (1998) juga menyatakan, jantan yang kawin akan meninggalkan bekas
pada wilayah jelajahnya (home range), yaitu berupa adanya gosokan
ranggahnya pada batang pohon, atau pepohonan kecil. Selama musim kawin,
jantan makan lebih sedikit dan kehilangan berat badan sampai 30%, karena
lebih banyak waktunya digunakan untuk mengawini betinanya (Golz, 1993).
Pada rusa betina, kesiapan untuk melakukan perkawinan ditandai dengan
adanya tanda berahi, yaitu dengan adanya pembengkakan pada labia vulva,
mucosa warnanya merah dan keluar eksudat (cairan) bening sampai merah
(lendir berahi), serta ekornya sering dinaikkan ke atas dan siap untuk dikawini
(Jacoeb dan Wiryosuhanto, 1994). Sebagai suatu perbandingan, pada domba
juga memperlihatkan tanda-tanda yang serupa dengan rusa, dengan suatu
catatan bahwa pada domba betina, sering diperlihatkan suatu pola yang kurang
sempurna pada respon perkawinan dan tidak mencari jantan. Pada suatu
penelitian didapatkan bahwa pada domba muda yang telah mencapai pubertas
dan ovulasi, ketika dinaiki oleh jantan akan menjatuhkan diri dan tidak bisa
dikawini, atau berdiri, siap untuk dinaiki dan dikawini, tetapi belum ovulasi
(Tomaszewska et al., 1991).
Musim kawin segera berhenti bila semua betina terpilih sudah kawin.
Periode kawin berikutnya berkisar antara bulan Juni sampai Juli (Hoogerwerf,
14
1970 dalam Susanto, 1980). Pada penangkaran rusa di Oilsonbai Pulau Timor
NTT musim kawin pada bulan Januari - Maret (Takandjandji, 1995), di
Australia, antara bulan Juli sampai Agustus (Pearse, 1996; Dryden, 1999),
sedangkan pada peternakan rusa di Queensland, perkawinan dapat terjadi
hampir sepanjang bulan dalam musim kawin, yaitu antara bulan Januari – Maret
dan Oktober – Desember dengan periode kawin utama antara Juni - September
(Sinclair, 1998). Rusa Jawa yang dipelihara di NTT akan melahirkan pada bulan
September (Takandjandji dan Sinaga, 1997), sedangkan di Australia, Rusa Jawa
dan Rusa Maluku umumnya melahirkan pada musim panas (antara Desember -
Februari)(Sinclair, 1998)
Mengenai hubungan antara musim dengan perkawinan, Sinclair (1998)
menyatakan bahwa pada anak jenis Rusa Jawa yang diternakkan di Queensland,
Australia, yaitu Rusa Maluku dan Rusa Jawa, nampaknya tidak ada hubungan
nyata antara musim dengan perkawinan. Perkawinan dan pemeliharaan anak
(calving ) dapat terjadi sepanjang tahun. Pada jantan rusa Maluku, proses
reproduksi dan pergantian ranggah tidak dipengaruhi oleh musim, dan betina
dapat beranak sepanjang tahun. Sedangkan pada rusa Jawa, meskipun secara
umum musim tidak mempengaruhi masa perkawinan, tetapi pada pengamatan di
Queensland ternyata ada pengaruh yang nyata dari musim terhadap reproduksi
dan pergantian ranggah. Pada rusa jantan, aktifitas seksual meningkat serta fertil
bila ranggahnya sudah merupakan ranggah yang tetap/keras. Lamanya rusa
mempunyai ranggah keras sangat beragam tergantung dari jenis rusanya,
kisarannya antara 3,5 hingga 12 bulan, bahkan dalam jumlah sedikit dapat lebih
15
dari 1 tahun (Semiadi, 1998). Bila ranggahnya masih merupakan ranggah yang
muda (berbulu halus seperti beludru), atau pada saat ranggahnya belum tumbuh,
aktifitas seksualnya terhenti dan bersikap seperti betina serta seringkali
berkumpul dengan kelompok betina. Sedangkan rusa betina seringkali tetap
subur sepanjang tahun.
Selanjutnya, dalam hubungannya dengan pertumbuhan dan lepasnya
ranggah pada Rusa Jawa yang dipelihara di NTT, dinyatakan bahwa ranggah
pertama kali tumbuh pada umur 7 - 9 bulan, musim ranggah lepas (gugur
ranggah) dapat terjadi pada bulan Maret, Mei dan Oktober, dengan interval
pengguguran ranggah satu tahun sekali dan masa pertumbuhan ranggah kembali
satu bulan sesudah ranggah gugur (Takandjandji, 1995).
4) Care giving (Epimeletic) behaviour (tingkah laku memelihara keturunan)
Tingkah laku ini merupakan tingkah laku induk untuk memelihara dan
memberi perlindungan terhadap anaknya termasuk menjilati dan memotong tali
pusar anak dengan mengitari anaknya, membersihkan badan anaknya,
menyapih, mencari kutu, dan melengking, ketika dipisahkan dari anaknya.
(Hafez et al., 1969, Fyffe, 1998). Epimeletic behaviour ini dipengaruhi oleh
struktur umur dari suatu organisasi struktur sosial hewan.
Sikap melindungi pada induk ruminansia telah banyak diamati oleh para
ahli. Induk secara aktif melindungi anaknya dari serangan dan gangguan hewan
lain, baik berasal dari jenis yang sama maupun dari hewan lain, bahkan dari
manusia. Selanjutnya Peterson (1955 dalam Moen, 1973) menyatakan bahwa
bila jantan Moose (Alces-alces) mendekati induk dan anaknya, segera akan
16
diusir oleh induknya. Demikian juga induk Moose akan bersikap waspada dan
melindungi anaknya bila melihat manusia yang mencoba mengganggunya.
Tetapi pada jenis lainnya seperti rusa (Cervus), dan Caribou (Rangifer) mereka
akan menyingkir bila manusia nampak akan mengganggu.
Untuk pertahanan diri, rusa seringkali menggunakan kaki depan dan
kukunya untuk menendang. Bahkan anjing dapat terbunuh akibat tendangan kaki
rusa dengan menggunakan kukunya seperti dilaporkan oleh Murie (1951).
Bahkan Severinghaus dan Chetaum (1956, dalam Moen, 1973) menyatakan
bahwa rusa ekor putih (White-tail deer) yang dikejar serigala dapat menendang
dengan kaki depannya pada saat berlari.
Tingkah laku Epimeletik, terlihat pada hubungan antara induk dengan
anaknya. Induk dan anak rusa mencari makan bersama-sama di padang rumput
dan sering kali induk terpisah dari anaknya. Tingkah laku epimeletik dan Et-
epimeletik sering terjadi secara bersama-sama, dapat terlihat pada saat anak
menyusu induknya. Induk rusa akan melindungi dan menyembunyikan anaknya
minggu pertama setelah dilahirkan, dan anaknya sendiri belum dapat berjalan.
Induknya tetap bersembunyi dan tidak mau didekati 3 - 4 hari pertama setelah
melahirkan.
Induk rusa yang baru melahirkan dapat segera berdiri dan lalu
membersihkan selaput lendir yang melekat pada tubuh anaknya dengan
menggunakan lidahnya. Setelah itu anak rusa dapat berdiri, berlari dan menyusu.
Dua minggu setelah dilahirkan, anak rusa mulai belajar memakan hijauan. Di
Filipina, pada anak rusa (Rusa sp.) yang baru lahir, langsung membuka matanya,
17
dan dapat berdiri mengitari induknya (Prestosa, 1974). Anak rusa menyusu
untuk pertama kali 6 jam setelah dilahirkan. Setelah 2 minggu, rusa dapat
berlari dan melompat. Pada minggu pertama, anak rusa hanya berdiri dan
mengamati apa yang dimakan induknya, kemudian membaui dan menggigit
rumput muda dengan cara meniru induknya. Sedangkan Kelly (1983)
menyatakan bahwa anak Rusa Merah (Cervus elaphus) di Australia Barat mulai
menyusu untuk pertama kali setengah jam sesudah kelahiran. Aktifitas menyusui
terjadi sepanjang hari dari pagi sampai malam, waktu ini bersamaan dengan
periode merumput dari induknya.
Induk rusa akan menjaga dan memelihara anaknya sampai anaknya bisa
mandiri, dan anak akan bersama-sama dengan induk sampai usia maksimum
satu tahun (Syarief, 1974 ) sedangkan menurut Sinclair (1998) selama 8 bulan.
5) Care-soliciting (Et-epimeletic) behaviour (tingkah laku minta dipelihara dari
anak kepada induknya)
Pada anak rusa, sifat ini ditunjukkan dengan tingkah lakunya yang akan
bersuara melengking ketika dipisahkan dari induknya, diganggu atau digigit
hewan lain. Sedangkan pada rusa yang dewasa, akan bersuara melengking kalau
dipisahkan dari kelompoknya (Woodford dan Dunning, 1992; Mackay, 1997;
Word, 1998).
6) Agonistic behaviour (tingkah laku menyerang)
Tingkah laku agonistik atau tingkah laku menyerang (agresi), sering kali
terjadi pada hewan yang merasa terganggu personal space atau flight distance-
nya yaitu merupakan jarak yang diterima oleh hewan terhadap keberadaan
18
hewan lain untuk menghindarkan diri atau pergi dari tempat tersebut (Marler
dan Hamilton III, 1966). Sikap agresif termasuk sikap menyerang, mengancam,
dan sikap lain yang menunjukkan permusuhan di antara dua atau lebih hewan.
Tingkah laku ini dapat terjadi pada hewan jantan maupun pada hewan betina.
(Barrett et al., 1986)
Secara umum, tingkah laku agonistik pada kebanyakan hewan dapat
dibedakan menjadi dua yaitu (Alcock, 1983; Barrett et al., 1986):
1) bersifat agresif (menyerang mengancam), yang dapat ditunjukkan dengan
dua cara yaitu:
a) ekspresi wajah/mimik, yaitu dengan cara kepala dijulurkan, bahu
direndahkan, menyeringai, membuka dan menutup mulut, gigi
menggeretak,
b) gerakan tubuh, dengan cara menampar (pada beruang), posisi
menerkam (harimau, singa dan lainnya), mendorong dengan
menggunakan ranggah (rusa), menerjang, menjatuhkan atau
melemparkan benda, mengencingi, mengejar atau memburu individu
yang dijadikan target. Hal ini tergantung pada tingkat kepandaian
hewan tersebut.
2) Bersifat submisif (ketakutan, kekalahan). Hal ini ditunjukkan dengan:
a) ekspresi wajah, yaitu menundukkan kepala, memalingkan muka,
b) gerakan tubuh, dengan cara membalikkan tubuh, membelakangi,
kemudian lari.
19
Pada rusa, tingkah laku agonistik ini sering nampak pada rusa jantan. Hal
ini sering terjadi pada musim kawin, pada saat itu terjadi tingkah laku saling
menyerang di antara jantan-jantan yang mempunyai ranggah keras.
7) Allelomimetic behaviour (tingkah laku meniru yang lain)
Pada beberapa ruminansia seperti pada kambing, domba rusa dan lainnya,
pola tingkah laku ini berupa kegiatan berjalan, berlari, makan rumput dan
tiduran dan istirahat bersama. Pada kegiatan merumput, Tribe (1950, dalam
Hafez et al., 1969) yang melakukan observasi pada dua kelompok domba yang
berbeda waktu merumputnya; setelah kedua kelompok itu digabungkan, waktu
merumput dan istirahat kedua kelompok tersebut ternyata sama. Selain itu
tingkah laku ini juga dapat ditandai dengan adanya kelompok hewan tersebut
mengikuti seekor hewan yang dianggap sebagai pimpinannya (Hafez et al.,1969;
Woodford dan Dunning, 1992; Word, 1998).
8) Shelter-seeking behaviour (tingkah laku mencari tempat berlindung dari
lingkungan yang membahayakan dirinya)
Semua hewan akan mencari lingkungan yang dirasakan paling cocok
dengan yang diinginkan. Pada beberapa keadaan, mereka memperoleh tempat
berlindung dari badan hewan lain, selain itu mereka mendapat tempat
berlindung dalam kandang atau dari pepohonan. Kalau diberikan kesempatan,
hewan kebanyakan akan memilih lingkungan atau tempat yang paling
menguntungkan, tetapi hal ini tak selalu demikian. Keberadaan naungan yang
diperlukan dan penggunaannya tergantung pada tempat dimana hewan liar
tersebut telah beradaptasi. Kalkun misalnya, sering mengalami masalah, karena
20
cenderung kurang senang mencari perlindungan pada saat hujan. Hal ini dapat
dipahami, sebab hewan tersebut dalam keadaan alami hidup di hutan, dan
naungan telah tersedia berupa pepohonan sebagai tempat bertengger. Pada
domba mungkin akan mengalami masalah pada kelompok yang besar sebab
kadang-kadang hewan tersebut bersama-sama dan berlindung pada saat badai di
musim dingin, seringkali pepohonan sebagai tempat bernaung tidak ada (Scott,
1969).
Bagi rusa, terutama rusa yang dipelihara di daerah tropika seperti
Indonesia, shelter (tempat berlindung/bernaung) merupakan hal yang sangat
penting. Shelter selain merupakan bangunan yang terbuka, dapat juga berupa
pepohonan. Pada beberapa penangkaran di Indonesia, biasanya rusa dilepaskan
di dalam pedok, maka di dalam pedok tersebut biasanya dijumpai pepohonan
tinggi dengan jarak antara pohon sekitar 3 - 5 m atau 5 - 7 m. Terlalu banyaknya
semak di dalam pedok tidak baik di lihat dari segi tingkah laku rusa, karena rusa
dan anaknya akan lebih susah dihalau bila diperlukan. Selain itu rusa cenderung
mempunyai sifat yang lebih liar serta malas keluar dari semak, karena dirasakan
lebih aman berada di dalam kegelapan semak (Semiadi, 1998). Pola tingkah laku
mencari tempat bernaung atau berlindung ditandai dengan tingkah laku menuju
ke bawah tempat naungan atau pohon, berkumpul bersama untuk menghindari
lalat, berkumpul bersama dalam cuaca yang dingin, mencakari tanah dan
berbaring (Hafez et al., 1969; Moen, 1973).
Seperti halnya pada domba, yang dikenal dengan tingkah laku berkemah
(Camping behaviour), yaitu kebiasaan domba yang tinggal atau tidur pada
21
tempat ketinggian dalam cuaca dingin dan dekat tempat yang berair atau pada
tempat yang terlindung atau teduh bila cuaca panas (Hafez et al., 1969), maka
hal tersebut juga didapati pada rusa (Moen, 1973)
9) Investigatory behaviour (tingkah laku memeriksa lingkungan)
Menurut Scott (1969), semua jenis hewan mempunyai kecenderungan
untuk memeriksa lingkungannya. Bila pertama kali hewan menemukan tempat
yang baru, maka pertama kali ia akan memeriksa tempat tersebut, dan tingkah
laku ini tergantung pada pancaindera hewan tersebut. Pada hewan liar yang
berkelompok dalam kelompok besar, yang habitat mereka rata dan berpasir,
tingkah laku memeriksa lingkungan (investigasi) lebih banyak dilakukan dengan
indera penglihatannya (mata), sedangkan pada anjing dan kelinci, tingkah laku
investigasi ini lebih utama menggunakan indera penciumannya. Pada rusa,
kegiatan investigasi terutama menggunakan indera pendengaran, barulah indera
penglihatan dan akhirnya indera penciuman (Moen, 1973).
10) Behaviour disorders (kekacauan tingkah laku)
Menurut Scott (1969), tingkah laku berupa ketidak mampuan untuk
menyesuaikan diri (Maladaptive behaviour) jarang terjadi pada hewan liar,
tetapi sering didapati pada hewan yang telah dijinakkan. Dimulai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Pavlov dan Liddell yang mempelajari refleks
bersyarat (conditioned reflexes), yang telah banyak dilakukan percobaan pada
jaringan syaraf hewan yang dijinakkan. Bila dianalisis, umumnya percobaan itu
telah menemukan beberapa faktor seperti adanya hewan yang mempunyai
motivasi tinggi, terjadi karena latihan, rangsangan eksternal atau internal. Bila
22
sumber rangsangan tak dapat dihindari, akhirnya hewan tersebut tak dapat
beradaptasi pada situasi demikian. Tak satu pun dari ketiga faktor, yaitu motivasi
yang tinggi, penangkaran/pemeliharaan dan ketidak mampuan beradaptasi akan
menghasilkan tingkah laku maladaptasi.
Bila ketiga faktor tersebut semuanya terjadi, hewan akan segera
menunjukkan tingkah laku yang menyimpang secara alami, dan hal ini
tergantung pada simulasi, percobaan yang dilakukan sebelumnya, obyek serta
hewan yang ada. Kalau diuji, maka tingkah laku tersebut kembali menjadi
adaptasi sebagian saja. Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa, kalau hewan
ditempatkan pada situasi yang tak sesuai, maka hewan tersebut berusaha
menyesuaikan diri sesuai dengan apa yang dapat dilakukannya.
Penangkaran yang tertutup merupakan salah satu faktor utama untuk
terjadinya tingkah laku maladaptive. Masturbasi, homoseksual, lesbian dan
tingkah laku seksual lainnya seringkali terjadi pada hewan di dalam kandang.
Isolasi akan menyebabkan keganjilan dalam tingkah lakunya, seperti
meningkatnya tingkah laku allelomimetik (tingkah laku meniru) seperti pada
ayam hutan dan anjing (Kruijit, 1964 dan Fuller, 1967, dalam Hafez, et al.,
1969). Khusus mengenai homoseksual pada rusa, Fullerby (1999) menyatakan
bahwa 20% rusa jantan adalah homoseksual. Selanjutnya, disebutkan pula
bahwa ranggahnya jarang digunakan pada musim kawin seperti halnya jantan
normal, yaitu digosok-gosokkan pada ranting, membuat lubang, berguling-
guling pada lubang serta berkubang dan menggunakan ranggahnya untuk
menyerang jantan lain yang mendekati betina yang akan dikawininya.
23
Sebaliknya, jantan yang homosek (gay) terpisah dari kelompoknya, lebih senang
berkumpul bersama induk rusa lain, bersama dengan anak-anaknya. Bila
dibandingkan dengan jantan normal, maka selama musim kawin, jantan gay
bersuara lebih melengking seperti suara betina, berbeda dengan suara rusa
jantan normal yang bersuara lebih keras.
Selain itu, beberapa penyimpangan tingkah laku rusa antara lain adalah
tingkah laku menyedot penis sambil menghisap air seni, menyedot pusar atau
menjilati bagian anus anak rusa lainnya oleh anak rusa, dan hal ini merupakan
tingkah laku yang tidak sehat. Hal ini cenderung terjadi pada anak rusa yang
selalu merasa lapar, apabila dibiarkan akan menjadi suatu kebiasaan yang jelek.
Apabila telah berkembang menjadi sesuatu kebiasaan, maka anak rusa tersebut
akan menolak untuk minum air susu dan lebih tertarik untuk menyedot air seni
kawan-kawannya. Selain itu, kesukaan menyedot ini dapat membuat kawannya
terganggu serta melukai bagian-bagian yang diisapnya, dan akhirnya
berkembang menjadi infeksi. Untuk menghindari hal tersebut, dilakukan
pemisahan anak rusa pada tempat tersendiri dan membiarkan anak rusa itu
meminum susu sebanyak yang dapat diminum. Sifat ini akan cepat hilang
dengan jalan memisahkannya dari kelompoknya lebih dini (Semiadi, 1998).
III. Hubungan Sosial
Hubungan sosial adalah tingkah laku yang terjadi secara tetap dan dapat
diramalkan yang terjadi antara dua individu (Scott, 1969). Pada hewan, di antara
kelompok hewan yang hidup bersama, akan dibentuk kebiasaan sebagai akibat dari
adanya hubungan antar individu tersebut. Hal ini terutama dalam upaya untuk
24
memanfaatkan sumber daya habitatnya, mengenali tanda bahaya, dan melepaskan
diri dari serangan pemangsanya (Alikodra, 1990). Tingkah laku sosial berkembang
sesuai dengan adanya perkembangan dari proses belajar hewan tersebut.
Word (1998) menyatakan bahwa dominansi individual pada rusa terdapat
pada individu, bukan pada kelompok. Seperti pada rusa Ekor Putih/White-tail deer
dan Mule deer (Odocoileus hemionus hemionus), untuk meningkatkan posisi
kepemimpinannya, rusa jantan menggunakan ranggahnya. Bila jantan tak berranggah
atau ranggahnya masih merupakan ranggah yang muda, maka jantan tersebut akan
bersikap seperti betina. Hal itu ditandai dengan tingkah lakunya, bila jantan tersebut
menunjukkan kekuatannya, akan digunakan kaki depan dan kukunya, bukan
ranggahnya seperti rusa jantan yang mempunyai ranggah. Ini menunjukkan betapa
penting ranggah yang dimiliki oleh rusa jantan untuk menunjukkan kekuatan dan
kepemimpinan dalam kelompoknya. Rusa jantan yang mempunyai ranggah besar dan
kuat akan menguasai betina-betina. Sedangkan jantan muda (mempunyai ranggah
muda), atau hewan yang mandul, akan menempati posisi terendah dalam urutan
kepemimpinannya ( Alikodra, 1990; Word, 1998).
Selanjutnya, Darnawi (1994) menyatakan bahwa Rusa Jawa di habitat
aslinya di Ujung Kulon hidup berkelompok. Jumlah anggota tiap kelompok
bervariasi antara 3 –75 ekor, yang terdiri dari 3 – 4 ekor atau kurang dari 7 ekor
sebanyak 60%, 10 – 15 ekor sebanyak 20%, 20 ekor sebanyak 10% dan 20 – 75 ekor
sebanyak 10%. Tetapi di Taman Nasional Baluran (Baluran National Park, 1995) dan
di luar Jawa seperti di Nusa Tenggara Timur, kelompok ini dapat mencapai ratusan
ekor terutama pada awal musim kawin dan pada waktu makan rumput dan istirahat
25
di tempat yang sama, ternyata tidak membentuk satu kesatuan (unit) tetapi terpisah
menjadi beberapa grup yang lebih kecil, dan hubungan grup merupakan kesatuan
yang stabil, terdiri dari rusa betina induk, rusa betina muda dan anak. Kelompok ini
dipimpin oleh rusa dewasa yang paling tua, dan kepemimpinannya jelas pada saat
menghadapi bahaya. Pimpinan kelompok ini akan memberikan tanda bahaya dengan
bunyinya yang khas dan segera diikuti oleh anggota kelompok lainnya. Biasanya
jeritan ini disertai dengan hentakan kaki dan rusa siap untuk berlari (Hoogerwerf,
1970 dalam Susanto, 1980). Rusa memiliki daya adaptasi yang tinggi dengan
lingkungannya, dan rusa dapat hidup dalam kelompok antara 10-20 ekor serta kurang
memperhatikan daerah kekuasannya, sedangkan rusa jantan kebanyakan soliter
(Departemen Kehutanan RI, 1986; Sinclair, 1998).
Beberapa hubungan sosial pada hewan adalah sebagai berikut (Scott, 1969;
Barrett et al., 1986; Alikodra, 1990):
a) Hubungan ketergantungan pemeliharaan
Hubungan ini biasa terjadi antara induk dan anaknya. Pada rusa, domba
dan kambing, yang anaknya tumbuh dan hidup bersama dengan induknya dalam
jangka waktu yang lama dan bentuk hubungan yang terjadi sangat erat dan tetap
terjadi sampai hewan tersebut dewasa.
b) Hubungan dominansi-subordinasi
Dominansi, adalah tingkah laku yang timbul karena individu-individu
dalam satu kelompok hewan lebih unggul dari individu lainnya. Dalam kelompok
sosial, tekanan yang terjadi akan mengubah sifat agresif dan meningkatkan
kerjasama antar individu dalam kelompok tersebut serta sering kali dalam
26
bentuk hirarki dominansi. Di dalam pola hierarki terdapat tingkatan dalam sistem
dominansi-subordinansi. Ada dua tipe hirarki dominansi, yaitu: Peck order dan
Despotisme.
Pada Peck order, individu pada tingkat yang di atas akan mengendalikan
individu pada tingkat di bawahnya, dan individu pada tingkat tersebut akan
mengendalikan individu yang berada pada tingkat di bawahnya lagi dan
seterusnya. Sedangkan pada Despotisme, maka individu pada tingkat paling atas
akan mengendalikan (menguasai) individu-individu lain di bawahnya yang
mempunyai tingkatan sama.
Umumnya satwa liar mempunyai sistem hirarki yang lebih kompleks, yang
merupakan campuran antara sistem Peck order dan Despotisme. Keuntungan
fenomena hirarki dominansi, di samping menghindari perkelahian di dalam
kelompok, hirarki dominansi cenderung untuk menyatukan kelompok dan
meningkatkan efisiensi dalam kelompok. Anggota kelompok yang dominan,
kebanyakan anggota kelompok yang lebih tua dan lebih berpengalaman, yang
dapat memimpin dan menyatukan kelompoknya. Seperti pada kelompok kera,
suara yang menyatakan adanya bahaya sering diteriakkan oleh anggota yang
menduduki tingkat paling tinggi dalam kelompoknya. Selain itu, keuntungan
lainnya dengan adanya dominansi hirarki ini adalah adanya efisiensi untuk
memperebutkan makanan, mempertahankan diri terhadap pemangsa dan musuh
lainnya.
Mengenai hubungan antara sifat dominansi dengan tingkah laku kawin,
Lindsay dan Fletcher (1972 dalam Tomaszewska et al., 1991) berpendapat
27
bahwa tingkat dominansi pada domba mempunyai pengaruh yang sangat penting
dalam keadaan kawin di kandang. Dalam keadaan dilepas, jantan yang dominan
bila tidak bisa mempertahankan kelompoknya, maka jantan subordinatnya bisa
mengawini betina lainnya dalam jumlah yang sama. Hal ini dapat terjadi bila
domba betina berada di luar daerah pandang (audience area) jantan dominan,
maka domba betina yang berahi akan dapat dikawini jantan subordinatnya. Tetapi
dalam keadaan tertutup, jantan yang dominan akan menghalang-halangi jantan
subordinatnya untuk kawin, walaupun jantan dikandangkan pada kandang
terpisah. Kejadian ini dikenal dengan istilah "pengaruh pemirsa" (audience
effect).
c) Hubungan yang saling menguntungkan
Kawanan kerbau dan banteng melakukan hubungan akrab dengan burung
jalak hitam (Acridotheres fucus javanicus). Banteng dan kerbau mendapatkan
keuntungan, karena gangguan dari kutu dan lalat menjadi berkurang, sedangkan
burung jalak mendapat keuntungan dari kutu dan lalat yang dimakan.
d) Hubungan seksual
Hubungan hewan liar jantan dan betina dewasa melalui proses yang unik.
Pada kebanyakan hewan, musim kawin berlangsung pada bulan-bulan tertentu,
jadi tidak terjadi sepanjang tahun.
Pada Rusa Jawa, berdasarkan sifat alaminya sebagai hewan tropik, tak ada
kesesuaian antara musim dan perkawinan. Perkawinan dan pemeliharaan anak
(calving) dapat terjadi sepanjang tahun, walaupun musim juga agak berpengaruh
terhadap musim kawin, khususnya di Australia (Sinclair, 1998).
28
Jantan Rusa Maluku, nampaknya tidak dipengaruhi musim dalam
hubungannya dengan reproduksi dan pergantian ranggah, dan betinanya dapat
beranak sepanjang tahun. Sebaliknya pada Rusa Jawa meskipun musim tidak
berpengaruh terhadap kegiatan untuk melakukan perkawinan, tetapi pada
beberapa peternakan di Queensland didapati adanya pengaruh yang nyata
antara musim dengan reproduksi dan pergantian ranggah (Tuckwell, 1997;
Sinclair, 1998). Rusa betina seringkali tetap subur sepanjang tahun, dan rusa
jantan, aktifitas seksualnya tinggi dan fertil bila ranggahnya merupakan ranggah
yang keras.
e) Hubungan pemimpin dengan pengikut.
Rombongan satwa liar dari satu jenis melakukan pergerakan dari satu
tempat ke tempat lainnya untuk mendapatkan sumberdaya, dipimpin oleh salah
satu anggotanya. Untuk banteng dan gajah, pergerakan kelompoknya dipimpin
oleh induk (Alikodra, 1990), hal yang sama juga terjadi pada rusa (Moen, 1973;
Mackay, 1997; Sinclair, 1998).
f) Hubungan kerjasama dalam mendapatkan makanan atau kerjasama di antara jenis
yang berbeda.
Untuk mendapatkan makanan, berbagai satwa liar seringkali melakukan
kerjasama, baik di antara jenis yang sama, maupun di antara jenis yang berbeda.
Anjing hutan selalu melakukan kerjasama bersama kawan-kawannya untuk
menangkap mangsanya. Erftemeijer (1987, dalam Alikodra, 1990) melakukan
penelitian pada kelompok burung (flock) yang melakukan kerjasama untuk
mendapatkan makanan berupa serangga atau buah. Pola kerjasama pada
29
berbagai jenis burung merupakan strategi untuk mendapatkan mangsa atau
memanfaatkan ruang dan menghindarkan diri dari ancaman pemangsa.
Peternak kambing perah untuk memindahkan anak yang baru dilahirkan
segera dari induknya supaya tidak diganggu oleh induknya, dengan cara
memerah susu yang pertama kali dikeluarkan induknya (Scott, 1969). Adanya
hubungan yang terjalin antara induk dengan pemerah tersebut akan
menyebabkan pemerahan menjadi lebih mudah dan hal ini akan mempermudah
pemerah untuk memindahkan anak kambing yang baru dilahirkan tersebut.
Dalam hal ini, manusia berperan penting dalam hubungan ketergantungan
pemeliharaan (Care-dependency relationships).
IV. Tingkah Laku Pergerakan Rusa
Rusa secara alami menyukai daerah berbukit dengan variasi topografi lainnya
(Semiadi, 1998). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Junaeni (1995) yang
menyatakan bahwa rusa pada habitat aslinya di Pulau Rinca, Taman Nasional
Komodo, lebih menyukai lereng sebagai tempat beraktifitas mencari makan dan
berjemur pada siang hari pada daerah yang relatif terbuka, serta akan menuju ke
puncak bukit atau lembah bila situasinya tidak aman. Hal ini juga disebabkan karena
lembah di daerah tersebut mempunyai hutan musim dengan vegetasi yang lebih
rapat, dan ini sesuai dengan pendapat Alikodra (1990), yang menyatakan bahwa
migrasi menurut ketinggian tempat merupakan pergerakan satwa liar yang dapat
mencapai beberapa kilometer turun naik lereng, bukit atau gunung, biasanya dalam
hubungannya dengan kondisi salju, temperatur atau makanannya.
30
Pada saat makan di padang rumput, Rusa Jawa dan Rusa Sambar, cenderung
membentuk pola penyebaran acak, yang berbeda dengan pola penyebaran banteng
(Bos javanicus) yang membentuk pola penyebaran berkelompok. Pola penyebaran ini
merupakan strategi individu atau kelompok organisme untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya (Alikodra, 1990)