2011eha_pembahasan iv.pdf

15
123 PENGARUH LOGAM BERAT TERHADAP KEMUNCULAN POLIMORFISME IKAN BADUKANG (Arius maculatus Fis & Bian) DAN IKAN SEMBILANG (Plotosus canius Web & Bia) ABSTRAK Penelitian ini dilakukan di perairan muara Sungai Kahayan dan Katingan, Kalimantan Tengah. Tujuan penelitian adalah mengaji kandungan dan pola sebaran akumulasi logam berat di dalam tulang sirip keras serta pengaruhnya terhadap kemunculan polimorfisme tulang sirip ikan Badukang dan Sembilang. Contoh ikan Badukang dan Sembilang hasil tangkapan dipisahkan antara tulang sirip keras normal serta abnormal. Kandungan Pb dan Cd dalam jaringan tulang sirip keras ikan dianalisis menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (AAS). Kandungan Hg dianalisis menggunakan Cold Vapor Atomic Absorption Spectrometer (CV-AAS). Kajian histologis pola sebaran akumulasi logam berat dalam jaringan tulang sirip keras menggunakan zat pewarna Natrium Rhodizonat (C 6 Na 2 O 6 ). Untuk mengbuang kalsium yang terkandung dalam jaringan tulang sirip keras ikan menggunakan asam Chlorida (HCl). Kajian histologis pengaruh sebaran akumulasi logam berat dalam jaringan tulang sirip keras ikan menggunakan zat pewarna Eosin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah tulang sirip keras punggung ikan Badukang ( Arius maculatus Fis & Bian) abnormal sebesar 12.19% dan tulang sirip dada sebesar 18.787% dari total 804 ekor contoh, sedangkan jumlah tulang sirip keras punggung ikan Sembilang (Plotosus canius Web & Bia) abnormal sebasar 17.16% dan dada sebesar 21.33% dari 1022 ekor contoh yang didapat. Perubahan morfologi yang ditemukan pada tulang sirip keras sangat bervariasi mulai dari bengkok tidak beraturan, sebagian tulang sirip keras tebal dan sebagian tipis tidak beraturan, tulang sirip semakin tipis, membesar, tulang sirip berlobang, gerigi tulang abormal, rapuh dan mudah patah. Hasil analisis kandungan Hg dalam jtulang sirip keras abnormal lebih tinggi dibandingkan ikan normal, sementara kandungan Cd dan Pb dalam tulang sirip keras abnormal tidak jauh berbeda dibandingkan ikan normal. Akumulasi Hg, Cd dan Pb dalam tulang sirip keras membentuk kompleks Hg, Cd dan Pb yang tersebar secara bergerombol. Akumulasi kompleks Hg, Cd dan Pb yang bergerombol dalam tulang sirip keras normal ditemukan tersebar dalam dinding pembuluh darah dan sekitarnya, sedangkan akumulasi kompleks Hg, Cd dan Pb dalam tulang sirip keras abnormal ditemukan tersebar secara bergerombol seluruh jaringan tulang, dinding pembuluh darah dan sekitarnya. Kondisi demikian menyebabkan kemunculan polimorfisme tulang sirip keras ikan Badukang dan Sembilang. Lebih jauh diketahui bahwa tulang sirip keras abnormal tidak ditemukan struktur khusus yang melingkari dalam tulang keras ikan, sebagaimana yang ditemukan dalam tulang sirip keras normal. Hal ini mengindikasikan bahwa akumulasi logam berat dalam jumlah yang sama dalam tulang sirip keras tidak selalu menyebabkan kemunculan polimorfisme. Kompleks akumulasi logam berat bergerombol pada satu lokasi lebih memberikan dampak kemunculan polimorfisme tulang sirip keras ikan. Besaran kandungan dan pola sebaran akumulasi kompleks Hg, Cd dan Pb dalam seluruh jaringan tulang sirip keras sangat menentukan kemunculan polimorfisme. Kompleks total akumulasi Hg, Cd dan Pb lebih berperan dalam menginduksi terjadinya kemunculan polimorfime tulang sirip keras ikan. Kata kunci: kandungan, sebaran, raksa (Hg), kadmium (Cd), timah hitam (Pb), morfologi, morfologi, tulang sirip keras

Upload: dotuong

Post on 13-Jan-2017

240 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

123

PENGARUH LOGAM BERAT TERHADAP KEMUNCULAN POLIMORFISME IKAN BADUKANG (Arius maculatus Fis & Bian) DAN IKAN

SEMBILANG (Plotosus canius Web & Bia)

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan di perairan muara Sungai Kahayan dan Katingan, Kalimantan Tengah. Tujuan penelitian adalah mengaji kandungan dan pola sebaran akumulasi logam berat di dalam tulang sirip keras serta pengaruhnya terhadap kemunculan polimorfisme tulang sirip ikan Badukang dan Sembilang. Contoh ikan Badukang dan Sembilang hasil tangkapan dipisahkan antara tulang sirip keras normal serta abnormal. Kandungan Pb dan Cd dalam jaringan tulang sirip keras ikan dianalisis menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (AAS). Kandungan Hg dianalisis menggunakan Cold Vapor Atomic Absorption Spectrometer (CV-AAS). Kajian histologis pola sebaran akumulasi logam berat dalam jaringan tulang sirip keras menggunakan zat pewarna Natrium Rhodizonat (C6Na2O6). Untuk mengbuang kalsium yang terkandung dalam jaringan tulang sirip keras ikan menggunakan asam Chlorida (HCl). Kajian histologis pengaruh sebaran akumulasi logam berat dalam jaringan tulang sirip keras ikan menggunakan zat pewarna Eosin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah tulang sirip keras punggung ikan Badukang (Arius maculatus Fis & Bian) abnormal sebesar 12.19% dan tulang sirip dada sebesar 18.787% dari total 804 ekor contoh, sedangkan jumlah tulang sirip keras punggung ikan Sembilang (Plotosus canius Web & Bia) abnormal sebasar 17.16% dan dada sebesar 21.33% dari 1022 ekor contoh yang didapat. Perubahan morfologi yang ditemukan pada tulang sirip keras sangat bervariasi mulai dari bengkok tidak beraturan, sebagian tulang sirip keras tebal dan sebagian tipis tidak beraturan, tulang sirip semakin tipis, membesar, tulang sirip berlobang, gerigi tulang abormal, rapuh dan mudah patah. Hasil analisis kandungan Hg dalam jtulang sirip keras abnormal lebih tinggi dibandingkan ikan normal, sementara kandungan Cd dan Pb dalam tulang sirip keras abnormal tidak jauh berbeda dibandingkan ikan normal. Akumulasi Hg, Cd dan Pb dalam tulang sirip keras membentuk kompleks Hg, Cd dan Pb yang tersebar secara bergerombol. Akumulasi kompleks Hg, Cd dan Pb yang bergerombol dalam tulang sirip keras normal ditemukan tersebar dalam dinding pembuluh darah dan sekitarnya, sedangkan akumulasi kompleks Hg, Cd dan Pb dalam tulang sirip keras abnormal ditemukan tersebar secara bergerombol seluruh jaringan tulang, dinding pembuluh darah dan sekitarnya. Kondisi demikian menyebabkan kemunculan polimorfisme tulang sirip keras ikan Badukang dan Sembilang. Lebih jauh diketahui bahwa tulang sirip keras abnormal tidak ditemukan struktur khusus yang melingkari dalam tulang keras ikan, sebagaimana yang ditemukan dalam tulang sirip keras normal. Hal ini mengindikasikan bahwa akumulasi logam berat dalam jumlah yang sama dalam tulang sirip keras tidak selalu menyebabkan kemunculan polimorfisme. Kompleks akumulasi logam berat bergerombol pada satu lokasi lebih memberikan dampak kemunculan polimorfisme tulang sirip keras ikan. Besaran kandungan dan pola sebaran akumulasi kompleks Hg, Cd dan Pb dalam seluruh jaringan tulang sirip keras sangat menentukan kemunculan polimorfisme. Kompleks total akumulasi Hg, Cd dan Pb lebih berperan dalam menginduksi terjadinya kemunculan polimorfime tulang sirip keras ikan. Kata kunci: kandungan, sebaran, raksa (Hg), kadmium (Cd), timah hitam (Pb), morfologi, morfologi, tulang sirip keras

124

PENDAHULUAN

Kegiatan pertambangan, pemanfaatan hutan, perkebunan, pertanian, pemukiman

menyebabkan kebakaran hutan dan gambut. Kegiatan pemanfaatan kayu, pertanian dan

perkebunan menggunakan insektisida dan fungisida. Zat kimia beracun tersebut umumnya

mengandung metil, etil, alkil, fenil logam berat (Tarumingkeng 1995; Anonim 2010; Rompas

2010). Air hujan yang jatuh wilayah tanpa vegetasi tersebut menyebabkan limbah dan

tanah tererosi dan logam berat terangkut ke perairan sungai hingga muara. Hal demikian

menyebabkan perairan muara sungai dan biota terpapar logam berat (Hg, Cd dan Pb).

Menurut Hamblin dan Christiansen (2004), erosi permukaan tanah di Kalimantan Tengah

termasuk kategori rendah sampai tinggi. Tanah dan batuan di Kalimantan mengandung

timah hitam (Pb) dan kadmium (Cd) yang berasosiasi dengan sulfida (S) (Sukandarrumidi

(2007). Hasil penelitian Global Mercury Project (2005), kegiatan penambangan emas

tradisional menyebabkan air sungai, bekas galian tambang emas dan organ tubuh ikan di-

Sungai Katingan terpapar Hg. Limbah lumpur tambang mengandung kadmium (Cd), raksa

(Hg) dan timah hitam (Pb) (Herman 2006). Kebakaran hutan dan gambut menyebabkan air

sungai dan danau terpapar Hg (Kelly et al. 2006). Achmad 2004) mengemukakan bahwa

gambut mengandung logam berat. Hasil penelitian Hartoto dan Awalina (2000), air sungai

dan sedimen Sungai Kahayan terpapar Hg dan Pb. Air sungai di Kalimantan rata-rata

mengandung 0.006 mg/l Cd (Litbang Pengairan Departemen Pekerjaan umum 1998 dalam

Rompas 2010). Menurut BPPLHD (2002), air dan sedimen Sungai Kahayan bagian hulu

mengandung sekitar 0.001 mg/l Hg. Selama perjalanannya aliran air sungai dari hulu ke-

muara akan bertemu aliran air yang mengandung logam berat dan tidak mengandung

logam berat.

Semua jaringan organ tubuh ikan mengandung sulfur (-SH) dan nitrogen (-NH) yang

mengikat logam berat secara kovalen (Cowan 1993; Pin et al. 1988). Menurut Cowan

(1993), gugus sulfur mengikat Hg dan Cd lebih kuat dibandingkan Pb, sedangkan gugus

nitrogen mengikat Pb lebih kuat dibandingkan Hg dan Cd. Gugus sulfur lebih reaktif

terhadap Hg dan Cd dibandingkan Pb (Kanovalov 1994). Hg, Cd dan Pb yang terakumulasi

dalam organ tubuh ikan dapat tereduksi menjadi Hg2+, Cd2+ dan Pb2+ (Hodgson dan Levi

2000; Rompas 2010). Akumulasi logam berat di dalam tulang sirip keras dapat

125

menyebabkan penyerapan hormon, kalsium (Ca), seng (Zn), fosfor (P) dan vitamin

terganggu (Granner 2003). Menurut Lu (1995), logam berat yang terakumulasi dalam organ

tubuh ikan menyebabkan perubahan morfologi (Lu 1995). Akumulasi logam berat dalam

tulang sirip keras menganggu perkembangan anatomi dan eidonomi. Anatomi adalah studi

morfologi dan karakteristik struktur jaringan organ dalam tubuh ikan, sedangkan eidonomi

adalah studi morfologi dan karakteristik struktur organ luar tubuh ikan (Anonim 2010).

Manurut Mayr (2010), perubahan lingkungan tidak selalu menyebabkan mutasi genetik,

akan tetapi dapat langsung terjadi pada organ tubuh ikan. Selanjutnya dikatakan bahwa

perbedaan relung habitat dapat menyebabkan perubahan morfologi.

Tujuan penelitian adalah mengaji: (a) Kandungan logam berat (Hg, Cd dan Pb)

dalam tulang sirip keras ikan Badukang dan Sembilang di muara Sungai Kahayan serta

Katingan. (b) Sebaran akumulasi logam berat dan pengaruh terhadap kemunculan

polimorfisme tulang sirip keras ikan Badukang dan Sembilang.

BAHAN DAN METODE

Metode Pengambilan Contoh

Lokasi pengambilan contoh air laut dan tulang sirip keras ikan disajikan dalam

halaman 36-38. Metode pengambilan contoh tulang sirip keras ikan disajikan dalam

halaman 61-62 dan histologi disajikan pada halaman 106-107. Penelitian dilakukan selama

kurang lebih 6 bulan. Penelitian ini menggunakan metode survei dan pengambilan contoh

purposiv sampling (Sevilla et al. 1993). Penangkapan ikan menggunakan rawai (long line).

Panangkapan ikan dilakukan di wilayah stasiun 1 dan 2 muara Sungai Kahayan serta

Katingan. Survei dilakukan 4 kali dan 3 kali ulangan per stasiun (12 kali). Contoh ikan

Badukang diambil pada spesies Arius maculatus Fis & Bian, sedangkan contoh ikan

Sembilang diambil pada spesies Plotosus canius Web & Bia (Kottelat et al. 1993). Contoh

ikan hasil tangkapan dipisahkan berdasarkan morfologi tulang sirip keras normal dan

abnormal. Pengambilan contoh tulang sirip keras menggunakan pisau bedah. Contoh

tulang sirip keras disimpan pada suhu 4 0C. Analisis kandungan Hg, Cd dan Pb di sajikan

dalam halaman 62.

126

Contoh tulang sirip keras ikan dalam kondisi segar difiksasi dengan menggunakan

larutan formalin 10% (PA). Kalsium yang terkandung dalam tulang sirip keras ikan buang

dengan asam Chlorida (HCl). Jumlah contoh preparasi 2-3 kali ulangan. Metode histologis

yang digunakan terdiri atas metode histoteknik dan histokimia. Metode tersebut digunakan

untuk memperoleh contoh preparasi yang memenuhi syarat (Humason 1972; Kiernan

1990). Contoh preparasi yang digunakan untuk mengetahui pola sebaran akumulasi logam

berat dan pengaruhnya terhadap morfologi jaringan tulang sirip keras. Pola sebaran

akumulasi logam berat dalam tulang sirip keras digunakan untuk mengetahui keterkaitan

logam berat dengan kemunculan polimorfisme tulang sirip keras. Untuk mengetahui pola

sebaran akumulasi logam berat dalam jaringan tulang sirip keras ikan menggunakan

metode Rhodizonate. Untuk mengetahui pola sebaran akumulasi Hg, Cd dan Pb dalam

jaringan biota menggunakan Natrium Rhodiszonate (C6Na2O6) (Kiernan 1990). Untuk

mengetahui pengaruh akumulasi logam berat dalam jaringan tulang sirip keras ikan

menggunakan zat pewarna eosin. Metode eosin digunakan sebagai pewarna dasar untuk

mengetahui perubahan struktur jaringan tulang sirip keras ikan (Humason 1972).

Analisis Data

Data kandungan logam berat dalam tulang sirip keras ikan dianalisis menggunakan

statistik dan uji t pada taraf (P<0.05). Pola sebaran akumulasi Hg, Cd, Pb dalam jaringan

tulang sirip keras ikan Badukang dan Sembilang serta pengaruh dianalisis secara deskripsi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persentase Morfologi Tulang Sirip Keras Ikan Normal dan Abnormal

Hasil yang didapat dari keseluruhan contoh lokasi yang terpilih menunjukkan bahwa

persentase tulang sirip keras ikan Badukang dan Sembilang yang mengalami abnormalitas

di muara Sungai Kahayan dan Katingan cukup tinggi. Persentase tulang sirip keras

punggung ikan Badukang abnormal yang ditemukan di muara Sungai Kahayan dan

Katingan sebesar 12.19%, sedangkan persentase tulang sirip keras dada ikan abnormal

sebesar 17.16% (804 ekor). Persentase tulang sirip keras punggung ikan Sembilang

abnormal sebesar 18.787%, sedangkan persentase tulang sirip keras dada abnormal

sebesar 21.33% (1022 ekor). Persentase tulang sirip keras punggung dan dada ikan

127

Sembilang abnormal lebih tinggi dibandingkan ikan Badukang. Jumlah dan persentase

tulang sirip keras ikan abnormal disajikan pada Tabel 11 di bawah.

Tabel 11 Jumlah dan persentase (%) tulang sirip keras punggung dan dada abnormal ikan Badukang (Arius maculatus Fis & Bian), Sembilang (Plotosus canius Web & Bia) di muara Sungai Kahayan serta Katingan.

Tulang sirip keras

Stasiun Jumlah Bedukang Sembilang

Punggung Bedukang Sembilang

Dada Bedukang Sembilang

St 1.1 306 210 34 26 24 36 St 1.2 306 242 42 42 40 38 St 2.3 302 234 24 44 42 72 St 2.4 288 336 18 80 32 72

Jumlah 804 1022 98 192 138 218 Persentase (%) 12.19 18.79 17.16 21.33

Pada Tabel di atas menunjukkan bahwa kemunculan tulang sirip keras ikan

Sembilang abnormal mempunyai populasi lebih tinggi dibandingkan ikan Badukang.

Kondisi demikian sangat mungkin terkait dengan pola hidup ikan Sembilang yang banyak

membenamkan tubuh di dalam lumpur. Pola hidup demikian memberikan peluang terjadi

paparan logam berat yang lebih tinggi di dalam tubuh ikan dibandingkan ikan yang

berenang aktif dalam air laut. Perubahan tulang sirip keras ikan tersebut berkaitan dangan

perubahan kandungan Hg, Cd dan Pb dalam sedimen dan air laut. Meningkatnya

kandungan Hg, Cd dan Pb dalam air laut dan sedimen menyebabkan biota makanan ikan

terpapar logam berat. Meningkatnya kandungan logam berat dalam air laut dan sedimen

memberikan peluang besar terakumulasi di dalam tubuh ikan melalui proses penyaringan

oksigen oleh sel lamela insang. Akumulasi logam berat dalam tulang sirip keras ikan dapat

menyebabkan perubahan molekul tulang sirip keras yang terpapar. Perubahan morfologi

yang terjadi sangat mungkin terkait dengan terganggunya kegiatan enzim dan proses

metabolisme pada lokasi logam berat terakumulasi dalam jaringan tulang sirip keras.

Menurut Kai et al. (2006), Wagner dan Misof (1992), perubahan morfologi tulang sirip keras

ikan terjadi karena pengaruh faktor lingkungan. Menurut Mayr (2010), morfologi tulang sirip

keras ikan abnormal dipicu oleh perbedaan relung habitat. Paparan logam berat dalam

perairan berpotensi terakumulasi dalam juvenil ikan hingga dewasa. Kondisi demikian

sangat berpengaruh terhadap perubahan struktur morfologi dalam dan luar tulang sirip

keras ikan Badukang Sembilang. Banyak laporan hasil penelitian mengatakan bahwa

logam berat yang terakumulasi dalam sel jaringan organ tubuh ikan bersifat mutagenik,

128

teratugenik dan karsinogenik. Hal demikian menunjukkan bahwa Hg, Cd dan Pb yang

terkumulasi dalam jaringan tulang sirip keras ikan berpotensi menjadi menyebabkan

kemunculan polimorfisme.

Kandungan Logam Berat dalam Tulang Sirip Keras Ikan

Hasil analisis kandungan Hg, Cd, Pb di dalam tulang sirip keras ikan Badukang dan

Sembilang normal dan abnormal di muara Sungai Kahayan serta Katingan disajikan pada

Tabel 12. Kandungan Pb dalam jaringan tulang sirip keras ikan di muara Sungai Kahayan

serta Katingan lebih tinggi dibandingkan Cd dan Hg (P<0.05), sedangkan kandungan Cd

dalam jaringan tulang sirip keras ikan tidak berbeda nyata dibandingkan Hg (P<0.05).

Kecuali kandungan Cd dalam jaringan tulang sirip keras ikan Badukang di muara Sungai

Kahayan yang lebih tinggi dibandingkan Hg. Jaringan tulang sirip keras ikan Badukang dan

Sembilang abnormal di muara Sungai Kahayan dan Katingan mengandung Hg lebih tinggi

dibandingkan ikan normal (P<0.05). Kandungan Cd dan Pb dalam jaringan tulang sirip

keras ikan abnormal di muara Sungai Kahayan dan Katingan tidak berbeda nyata

dibandingkan ikan normal (P<0.05) (Tabel 12, Lampiran 14, 17). Menurut Lu (1995),

kompleks metalothionien (sulfhidril -SH) dalam tulang mengikat Hg, Cd dan Pb. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa hati, ginjal dan insang ikan berukuran kecil di muara Sungai

Kahayan serta Katingan mengandung Hg, Cd dan Pb lebih tinggi dibandingkan ikan

berukuran sedang dan besar. Hal demikian menunjukkan bahwa akumulasi Hg, Cd, Pb di

dalam jaringan organ junvenil ikan (muda) sudah berpotensi menyebabkan kemunculan

polimorfisme tulang sirip keras ikan. Menurut Kennis (1992), toksisitas subletal Hg di

dalam biota laut lebih tinggi dibandingkan Cd dan Pb, sedangkan toksisitas Cd lebih tinggi

dibandingkan Pb. Jaringan tulang mengakumulasi 90-95% Pb (Manahan 2003; Hodgson

dan Levi 2000). Kondisi demikian menujukkan bahwa Hg, Cd dan Pb berpotensi menggusur

kalsium (Ca), seng (Zn) dan magnesium (Mg) dari dalam tulang sirip keras ikan. Menurut

Lesson et al. (1996), tulang normal mengandung 85% kalsium fosfat (Ca3 (PO4)2 dan 10%

kalsium karbonat (CaCO3) serta 5% magnesium fluorida. Hal ini menunjukkan bahwa

kalsium berperan penting dalam pengerasan dan proses metabolisme tulang sirip keras.

Berkurangnya kandungan mineral kalsium dalam tulang berpengaruh terhadap morfologi

tulang sirip keras. Akumulasi Hg, Cd dan Pb dalam jaringan tulang sirip keras ikan dapat

129

Tabel 12 Kandungan logam berat (n=12) dalam jaringan tulang sirip keras ikan Badukang (Arius maculatus Fish & Bian), Sembilang (Plotosus canius Web & Bian) normal dan abnormal di muara Sungai Kahayan serta Katingan

Kandungan

Morfologi Ikan Hg mg/kg bb

Cd mg/kg bb

Pb mg/kg bb

Ikan Badukang Muara S. Kahayan Normal Rata-Rata 0.018 a 0.077 a 1.562 a

Kisaran 0.012 - 0.027 0.059 - 0.093 1.220 - 2.020 Abnormal Rata-Rata 0.022 b 0.075 a 1.485 a

Kisaran 0.014 - 0.029 0.063 - 0.098 1.030 - 2.210

RATA-RATA 0.0200 a 0.0760 b 1.523 c

Muara S. Katingan Normal Rata-Rata 0.017 a 0.028 a 1.010 a

Kisaran 0.013 - 0.024 0.012 - 0.040 0.770 - 1.320 Abnormal Rata-Rata 0.020 b 0.031 a 1.118 a

Kisaran 0.015 - 0.027 0.019 - 0.045 0.689 - 1.543

RATA-RATA 0.0185 a 0.030 a 1.064 b

Ikan Sembilang Muara S. Kahayan Normal Rata-Rata 0.015 a 0.028 a 0.955 a

Kisaran 0.010 - 0.024 0.017 - 0.038 0.660 - 1.453 Abnormal Rata-Rata 0.020 a 0.029 a 0.933 a

Kisaran 0.015 - 0.028 0.012 -0.044 0.610 - 1.233

RATA-RATA 0.018 a 0.0287 a 0.944 b

Muara S. Katingan Normal Rata-Rata 0.017 a 0.028 a 0.815 a

Kisaran 0.009 - 0.028 0.013 - 0.044 0.545-1.114 Abnormal Rata-Rata 0.021 b 0.026 a 0.788 a

Kisaran 0.015 - 0.028 0.017 - 0.035 0.649-0.964

RATA-RATA 0.019 a 0.027 a 0.802 b

Ket: Batas deteksi alat 0.001 mg/kg bb. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf P<0.05.

teroksidasi menjadi Hg2+, Cd2+ dan Pb2+ dengan toksisitas jauh lebih tinggi (Squibb dan

Fowler 1984 dalam Lu 1995). Tentu hal itu berpengaruh terhadap perkembangan sel

jaringan tulang sirip keras. Menurut Lu (1995), akumulasi Hg, Cd dan Pb di dalam tulang

sirip keras dapat terlihat secara makroskopik. Hal ini terjadi karena interaksi logam berat

dengan metalothionien (sulfhidril -SH) dan nitrogen (-NH). Tingginya kandungan logam

berat dalam organ tubuh ikan dapat menganggu kemampuan glomerulus menfiltrasi dan

tubulus ginjal mengekskresi logam berat. Glomerulus dan tubulus dalam nepron ginjal

berperan penting dalam proses filtrasi dan ekskresi logam berat keluar dari organ tubuh

ikan. Hati ikan berperan penting dalam mendetosifikasi dan menyingkirkan Hg, Cd dan Pb

130

yang memasuki tubuh ikan serta mengirimnya ke ginjal. Oleh karena itu, organ tubuh ikan

tersebut berperan penting dalam pelepasan logam berat melalui urine. Menurut Goldenthel

(1971) dalam Lu (1995), ikan muda 1.5-10 kali lebih rentan terpapar logam berat

dibandingkan ikan dewasa. Hal terjadi karena defesiensi berbagai enzim detoksifikasi.

Selain itu, organ filtrasi dan ekskresi ginjal belum berfungsi optimum. Belum berfungsi

organ tubuh ikan berkaitan erat dengan fungsi metabolik dan ekskretorik. Menurut Lu

(1995) dan Darmono (2001), logam berat yang terakumulasi dalam tubuh ikan dapat

mensubstitusi kofaktor enzim seng (Zn) yang berperan dalam metabolisme. Hal ini

menganggu kegiatan enzim dan proses metabolisme. Hg, Cd dan Pb dapat mensubstitusi

kalsium (Ca3 (PO4)2 dalam tulang. Kondisi demikian menyebabkan metabolisme jaringan

tulang dan proses pengerasan sel jaringan tulang terganggu. Akumulasi logam berat dalam

sel jaringan organ tubuh ikan mengganggu komunikasi sel jaringan tulang sirip keras

dengan jaringan organ tubuh lainnya. Kondisi demikian terjadi karena reseptor kimia yang

terdapat di dalam selaput sel tidak berfungsi dengan baik. Menurut Parsons (1994),

tingginya terkanan faktor lingkungan (stress) dan perubahan habitat menyebabkan

morfologi ikan berubah.

Sebaran Logam Berat dalam Jaringan Tulang Sirip Keras Ikan

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jaringan tulang sirip keras ikan mengandung

Hg, Cd dan Pb (Gambar 27a-b). Akumulasi Hg, Cd dan Pb dalam jaringan tulang sirip

keras ikan berkaitan erat dengan gugus sulfur dan nitrogen. Menurut Cowan (1993), gugus

sulfur (R-SH, R2-S, S2O3-2) dan nitrogen (-CN-) mengikat Hg dan Cd secara kovalen,

sedangkan gugus nitrogen (-NH) mengikat Pb secara secara kovalen. Hal demikian

menyebabkan logam berat terikat sangat kuat dalam jaringan tulang sirip keras. Jaringan

tulang sirip keras ikan Badukang dan Sembilang mengandung Pb yang tergambar dengan

warna coklat (Gambar 27 a-1, b-1). Jaringan tulang sirip keras ikan mengandung kompleks

Hg dan Cd yang tergambar dengan warna hitam (Gambar 27 a-2, b-2). Jaringan tulang sirip

keras ikan mengandung kompleks Pb, Hg dan Cd yang tergambar dengan warna coklat

kehitaman (Gambar 27 a-3, b-3). Gambar warna logam berat yang terakumulasi di dalam

tulang sirip keras ikan menunjukkan lokasi Hg, Cd dan Pb mengikat gugus sulfur dan

nitrogen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola gugus nitrogen mengikat Pb secara

131

Gambar 27 Morfologi jaringan tulang sirip keras ikan Sembilang: (a) Normal (20 x),

(b) Abnormal (40 x). (1) Warna coklat menunjukkan jaringan tulang sirip keras ikan mengandung Pb, (2) Warna hitam menunjukkan jaringan tulang sirip keras ikan mengandung kompleks Cd dan Hg, (3) Warna coklat kehitaman menunjukkan jaringan tulang sirip keras ikan mengandung kompleks Hg, Cd dan Pb. Zat pewarna Natrium Rhodizonat (C6Na2O6).

bergerombol dan acak. Hal demikian menyebabkan akumulasi Pb dalam jaringan tulang

sirip keras ikan tersebar dengan pola bergerombol dan acak. Pola gugus sulfur mengikat

Hg dan Cd secaraacak. Hal demikian menyebabkan akumulasi kompleks Hg dan Cd dalam

jaringan tulang sirip keras ikan tersebar dengan pola acak. Gugus sulfur dan nitrogen yang

terkandung dalam tulang sirip keras ikan dapat mengikat Hg, Cd dan Pb secara

bergerombol. Gugus sulfur dan nitrogen yang terkandung dalam jaringan tulang sirip keras

ikan normal dan abnormal kebanyakan mengikat Hg, Cd dan Pb secara bergerombol.

Sebaran akumulasi kompleks Hg, Cd dan Pb dalam sel jaringan tulang sirip keras ikan

Badukang dan sembilang abnormal kebanyakan bergerombol diberbagai lokasi di dalam

jaringan tulang (Gambar 27b). Hal ini menyebabkan kemunculan polimorfisme. Sebaran

akumulasi kompleks Hg, Cd dan Pb dalam sel jaringan tulang sirip keras ikan Badukang

dan sembilang normal kebanyakan bergerombol di dalam dinding pembuluh darah dan

sekitarnya (Gambar 27b). Hal ini tidak menyebabkan kemunculan polimorfisme.

Pengaruh Logam Berat dalam Organ Tulang Sirip Keras Ikan

Hasil pengamatan secara histologis menunjukkan bahwa Hg, Cd dan Pb dalam

jaringan tulang sirip ikan Badukang dan Sembilang di muara Sungai Kahayan serta

Katingan menyebabkan perubahan di dalam jaringan tulang (Gambar 28 a-1, a-2, b-1, b-2).

b a

1

1 2

2

3

2

3

132

Hal demikian menunjukkan bahwa sinergis Hg, Cd dan Pb yang terakumulasi diberbagai

lokasi dalam jaringan tulang sirip keras berpengaruh terhadap perkembangan jaringan

tulang. Pengaruh sinergis kompleks Hg, Cd dan Pb dalam tulang sirip keras ikan abnormal

lebih tinggi dibandingkan normal. Kondisi demikian terlihat dari jaringan tulang sirip keras

ikan Sembilang abnormal yang tidak terbentuk lingkaran pertumbuhan jaringan tulang,

sebagaimana yang terlihat pada tulang sirip keras normal. Walaupun lingkaran pertumbuhan

tulang sirip keras abnormal dapat terbentuk, tetapi perkembangannya tidak teratur

sebagaimana pada ikan normal (Gambar 28 a-2, b-2). Hasil pengamatan menunjukkan

bahwa perubahan struktur tulang sirip keras ikan abnormal berkaitan erat dengan pola

akumulasi logam berat yang bergerombol. Berbagai lokasi sel jaringan dalam tulang sirip

keras ikan annormal banyak menyebabkan morfologi jaringan dalam tulang berubah

berubah. Logam berat yang terakumulasi dalam dinding pembuluh darah menyebabkan

dinding pembuluh darah menebal. Jika banyak lokasi jaringan tulang sirip keras meng-

Gambar 28 Morfologi tulang sirip keras ikan Sembilang: (a) Normal (20 x), (b) Abnormal

(20 x). (1) Pembuluh darah, (2) Lingkaran pertumbuhan jaringan tulang. Zat pewarna Eosin.

akumulasi kompleks logam berat yang bergerombol, maka menyebabkan morfologi dalam

tulang berubah yang diikuti dengan perubahan morfologi tulang sirip keras ikan bagian luar.

Hg, Cd dan Pb yang terakumulasi diberbagai lokasi dalam jaringan tulang sirip keras

dapat teroksidasi menjadi Pb2+, Hg2+ dan Cd2+ dengan toksisitas lebih tinggi. Kondisi

demikian dapat menyebabkan hipertrofi, autrofi dan nekrosis. Jika hal ini terjadi pada masa

pertumbuhan ikan, maka menyebabkan polimorfisme. Menurut Chung et al. (2006),

akumulasi logam berat dalam tubuh anak ikan menyebabkan pertumbuhan terhambat.

Menurut Castro et al. (2006), faktor lingkungan berinteraksi dengan genetik dan organ

1

a b 1

2

2

133

tubuh ikan. Kondisi demikian menunjukkan bahwa akumulasi Hg, Cd dan Pb dalam sel

jaringan tulang sirip keras ikan berpengaruh terhadap pertumbuhan sel jaringan tulang.

Hasil pengamatan menunjukkan akumulasi Hg, Cd dan Pb dalam jaringan tulang sirip

keras menyebabkan bengkok-bengkok, Sebagian tulang sirip keras mengecil dan sebagian

membesar tidak beraturan, muncul benjolan dipermukaan tulang, gerigi tulang abnormal

dan tulang berlobang. Selain itu tulang bagian yang runcing sangat rapuh dan mudah

patah. Hal ini terjadi karena jaringan tulang sirip keras ikan kekurang kalsium. Tulang yang

berlobang dapat disebabkan karena kanker tulang. Perubahan morfologi tulang dapat

terjadi karena penyerapan nutrisi terganggu. Menurut Granner (2003), supaya

perkembangan dan pertumbuhan tulang sirip keras ikan normal diperlukan hormon,

mineral, zat makanan dan vitamin dalam jumlah yang cukup. Akumulasi Hg, Cd dan Pb

dalam sel jaringan tulang menyebabkan penyerapan nutrisi terhambat. Kondisi demikian

sangat berpengaruh terhadap perkembangan sel jaringan tulang sirip keras ikan muda

dibandingkan ikan dewasa. Perkembangan dan pertumbuhan jaringan tulang ikan muda

lebih cepat dibandingkan dewasa. Jika tulang sirip mengandung logam berat, maka potensi

perubahan morfologi semakin besar. Menurut Lu (1995) dan Granner (2003), tulang

memerlukan kalsium (Ca) dan fosfor (P) sangat penting selama perkembangan dan

pertumbuhan tulang ikan muda. Kekurangan Ca dan P dalam tulang menyebabkan

pertumbuhan tulang sirip keras ikan terganggu (Chao et al. 2006). Menurut Kai et al.

(2006), morfologi tulang sirip keras abnormal berkaitan dengan kekurangan mineral. Hal ini

berpengaruh terhadap perkembangan fisiologis. Menurut Heath (1987), akumulasi Hg, Cd

dan Pb di dalam tulang menghambat kegiatan enzim Mg-ATPase dan Na/K ATPase (Hg),

alkalin phosphatase (Hg, Cd, Pb,) dan acid phosphatase (Hg, Cd, Pb). Akumulasi logam

berat dalam dinding pembuluh darah menghambat pengangkutan hormon, mineral

essensial, zat makanan dan vitamin ke dalam tulang sirip keras ikan. Selain itu, akumulasi

logam berat dalam sel jaringan tulang sirip keras ikan menyebabkan kemampuan reseptor

kimia sel menerima perintah dan komunikasi antar sel terganggu. Kondisi demikian dapat

juga menyebabkan kemunculan polimorfisme. Untuk mencapai perkembangan sel jaringan

tulang sirip keras ikan yang normal diperlukan nutrisi dan mineral dalam jumlah cukup. Jika

hal tersebut tidak terpenuhi, maka menyebabkan polimorfisme tulang sirip keras ikan.

134

Karakteristik Jaringan Organ Tubuh Ikan Mengandung Logam Berat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa akumulasi Hg, Cd dan Pb menyebabkan

kemunculan polimorfisme tulang sirip keras ikan Badukang dan Sembilang di muara Sungai

Kahayan serta Katingan. Karaktersitik kemunculan polimorfisme tulang sirip keras ikan

Badukang dan Sembilang sebagai berikut: Tulang sirip keras ikan bengkok-bengkok tidak

beraturan, sebagian tulang sirip keras mengecil dan sebagian membesar tidak beraturan,

tulang sirip keras semakin tipis, tulang membesar, muncul benjolan pada permukaan

tulang sirip keras, sebagian tulang berlobang, gerigi pada tulang sirip keras tidak tumbuh

dan jika tumbuh dengan morfologis abnormal, bagian ujung tulang sirip yang lancip sangat

rapuh sehingga mudah patah (Gambar 29- 30a, b, c, d-e, f-g. 34 a, b, c, d-f). Menurut

Yonekura et al. (2002), morfologi tulang sirip keras abnormal terjadi karena perubahan

faktor lingkungan. Jaringan tulang sirip keras ikan yang kekurangan kalsium (Ca) mem-

pengaruhi perkembangan dan pertumbuhan tulang (Granner 2003). Kalsium (Ca) dalam

tulang berperan penting sebagai reseptor kimia yang memberi respon dan menerima

perintah dari faktor lingkungan (Lippard dan Berg 1994). Kekurangan Ca menyebabkan

morfologis tulang abnormal (Chao et al. 2006; Kai et al. 2006). Tulang sirip yang

kekurangan mineral essensial, zat makanan dan vitamin menyebabkan morfologi abnormal

(Baeverfjord et al. 1998). Menurut Leeson at al. (1996), Ca, Zn dan P berpengaruh

terhadap perkembangan sel makrik tulang serta proses pengerasan tulang. Tulang ikan

pada masa pertumbuhan memerlukan mineral essensial yang cukup (Johnston et al. 2008).

Menurut Heath (1987), Hg, Cd dan Pb menghambat kegiatan enzim alkaline phosphatase

dan acid phospatase, Mg ATPase dan Na/K ATPase dalam tulang. deformasi tulang sirip

ikan dpat terjadi karena adaptasi dengan faktor lingkungan (Wagner dan Misof 1992).

Perubahan morfologi tulang sirip bersifat permanen (Eisler 2006). Kandungan logam berat

dalam organ tubuh ikan berperan penting dalam pembentukan struktur dan morfologi tulang

(Xu et al. 2008). Menurut Castro et al. (2008) dan Mayr (1010), perbedaan relung habitat

menyebabkan perbedaan morfologi. Polimorfisme berkaitan dengan variasi genetik dan

adaptasi (Mc Namara 1998).

135

Gambar 29 (a) Ikan Badukang (Arius maculatus Fis & Bian). (b) Morfologi tulang sirip keras dada ikan normal (0) dan abnormal (1). (c) Morfologi tulang sirip keras punggung normal (0) dan abnormal (1-4). (d-e) Morfologi tulang sirip keras dada normal (1) dan abnormal (2). (f-g) Morfologi tulang sirip keras punggung normal (1) dan abnormal (2).

0 1 0 1 2 3 4

a

g f

e d 1 2 2 1

2

b c

1 2 1

136

Gambar 30 (a) Ikan Sembilang (Plotosus canius Web & Bia). (b) Morfologi tulang sirip keras punggung normal (0) dan abnormal (1-3). (c) Morfologi tulang sirip keras dada normal (0) dan abnormal (1-4).

(d) Morfologi tulang sirip keras punggung normal (1) dan abnormal (2). (e) Morfologi tulang sirip keras dada normal (1) dan abnormal (2).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Organ tulang sirip keras ikan Badukang dan Sembilang mengandung Pb lebih tinggi

dibandingkan Cd dan Hg, sedangkan kandungan Cd dalam tulang sirip keras kedua jenis

ikan cenderung tidak berbeda dibandingkan Hg. Kandungan Hg dalam jaringan tulang sirip

keras ikan abnormal lebih tinggi dibandingkan normal, sedangkan kandungan Cd dan Pb

dalam tulang sirip ikan abnormal tidak jauh berbeda dibandingkan ikan normal. Pola

sebaran akumulasi Hg bergerombol bersama Cd dan Pb. Kompleks Hg, Cd dan Pb

berperan sangat sebagai pemicu kemunculan polimorfisme tulang sirip keras ikan

Badukang dan Sembilang. Akumulasi Hg, Cd dan Pb dalam tulang sirip keras ikan

abnormal menyebabkan lingkaran pertumbuhan jaringan dalam tulang sirip keras tidak

terbentuk, sebagai mana yang terjadi pada tulang sirip keras ikan normal.

0 1 2 3 0 1 2 3 4

2 1 2 1

a

e d

c b

137

Karakteristik polimorfisme tulang sirip keras ikan yang mengandung Hg, Cd dan Pb

serta tidak ditemukan lingkaran pertumbuhan adalah sebagai berikut: tulang sirip keras

bengkok-bengkok tidak beraturan, Sebagian tulang sirip keras mengecil dan sebagian

membesar tidak beraturan, tulang sirip keras semakin tipis dan mengecil, tulang

membesar, muncul benjolan pada permukaan tulang, tulang berlobang, gerigi pada tulang

sirip keras tidak tumbuh dan walaupun tumbuh tetapi tidak beraturan, tulang sirip keras

dibagian runcing sangat rapuh dan mudah patah.

Saran

Perlu diteliti lebih lanjut, pada konsentrasi berapa Hg, Cd dan Pb menyebabkan

polimorfisme pada tulang sirip keras ikan. Selain itu pada umur berapa tulang sirip keras

ikan Badukang dan Sembilang mulai mengalami perubahan morfologi. Spesies ikan apa

saja yang dapat menjadi indikator pencemaran logam berat.