2011eha_pembahasan iv.pdf
TRANSCRIPT
123
PENGARUH LOGAM BERAT TERHADAP KEMUNCULAN POLIMORFISME IKAN BADUKANG (Arius maculatus Fis & Bian) DAN IKAN
SEMBILANG (Plotosus canius Web & Bia)
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan di perairan muara Sungai Kahayan dan Katingan, Kalimantan Tengah. Tujuan penelitian adalah mengaji kandungan dan pola sebaran akumulasi logam berat di dalam tulang sirip keras serta pengaruhnya terhadap kemunculan polimorfisme tulang sirip ikan Badukang dan Sembilang. Contoh ikan Badukang dan Sembilang hasil tangkapan dipisahkan antara tulang sirip keras normal serta abnormal. Kandungan Pb dan Cd dalam jaringan tulang sirip keras ikan dianalisis menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (AAS). Kandungan Hg dianalisis menggunakan Cold Vapor Atomic Absorption Spectrometer (CV-AAS). Kajian histologis pola sebaran akumulasi logam berat dalam jaringan tulang sirip keras menggunakan zat pewarna Natrium Rhodizonat (C6Na2O6). Untuk mengbuang kalsium yang terkandung dalam jaringan tulang sirip keras ikan menggunakan asam Chlorida (HCl). Kajian histologis pengaruh sebaran akumulasi logam berat dalam jaringan tulang sirip keras ikan menggunakan zat pewarna Eosin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah tulang sirip keras punggung ikan Badukang (Arius maculatus Fis & Bian) abnormal sebesar 12.19% dan tulang sirip dada sebesar 18.787% dari total 804 ekor contoh, sedangkan jumlah tulang sirip keras punggung ikan Sembilang (Plotosus canius Web & Bia) abnormal sebasar 17.16% dan dada sebesar 21.33% dari 1022 ekor contoh yang didapat. Perubahan morfologi yang ditemukan pada tulang sirip keras sangat bervariasi mulai dari bengkok tidak beraturan, sebagian tulang sirip keras tebal dan sebagian tipis tidak beraturan, tulang sirip semakin tipis, membesar, tulang sirip berlobang, gerigi tulang abormal, rapuh dan mudah patah. Hasil analisis kandungan Hg dalam jtulang sirip keras abnormal lebih tinggi dibandingkan ikan normal, sementara kandungan Cd dan Pb dalam tulang sirip keras abnormal tidak jauh berbeda dibandingkan ikan normal. Akumulasi Hg, Cd dan Pb dalam tulang sirip keras membentuk kompleks Hg, Cd dan Pb yang tersebar secara bergerombol. Akumulasi kompleks Hg, Cd dan Pb yang bergerombol dalam tulang sirip keras normal ditemukan tersebar dalam dinding pembuluh darah dan sekitarnya, sedangkan akumulasi kompleks Hg, Cd dan Pb dalam tulang sirip keras abnormal ditemukan tersebar secara bergerombol seluruh jaringan tulang, dinding pembuluh darah dan sekitarnya. Kondisi demikian menyebabkan kemunculan polimorfisme tulang sirip keras ikan Badukang dan Sembilang. Lebih jauh diketahui bahwa tulang sirip keras abnormal tidak ditemukan struktur khusus yang melingkari dalam tulang keras ikan, sebagaimana yang ditemukan dalam tulang sirip keras normal. Hal ini mengindikasikan bahwa akumulasi logam berat dalam jumlah yang sama dalam tulang sirip keras tidak selalu menyebabkan kemunculan polimorfisme. Kompleks akumulasi logam berat bergerombol pada satu lokasi lebih memberikan dampak kemunculan polimorfisme tulang sirip keras ikan. Besaran kandungan dan pola sebaran akumulasi kompleks Hg, Cd dan Pb dalam seluruh jaringan tulang sirip keras sangat menentukan kemunculan polimorfisme. Kompleks total akumulasi Hg, Cd dan Pb lebih berperan dalam menginduksi terjadinya kemunculan polimorfime tulang sirip keras ikan. Kata kunci: kandungan, sebaran, raksa (Hg), kadmium (Cd), timah hitam (Pb), morfologi, morfologi, tulang sirip keras
124
PENDAHULUAN
Kegiatan pertambangan, pemanfaatan hutan, perkebunan, pertanian, pemukiman
menyebabkan kebakaran hutan dan gambut. Kegiatan pemanfaatan kayu, pertanian dan
perkebunan menggunakan insektisida dan fungisida. Zat kimia beracun tersebut umumnya
mengandung metil, etil, alkil, fenil logam berat (Tarumingkeng 1995; Anonim 2010; Rompas
2010). Air hujan yang jatuh wilayah tanpa vegetasi tersebut menyebabkan limbah dan
tanah tererosi dan logam berat terangkut ke perairan sungai hingga muara. Hal demikian
menyebabkan perairan muara sungai dan biota terpapar logam berat (Hg, Cd dan Pb).
Menurut Hamblin dan Christiansen (2004), erosi permukaan tanah di Kalimantan Tengah
termasuk kategori rendah sampai tinggi. Tanah dan batuan di Kalimantan mengandung
timah hitam (Pb) dan kadmium (Cd) yang berasosiasi dengan sulfida (S) (Sukandarrumidi
(2007). Hasil penelitian Global Mercury Project (2005), kegiatan penambangan emas
tradisional menyebabkan air sungai, bekas galian tambang emas dan organ tubuh ikan di-
Sungai Katingan terpapar Hg. Limbah lumpur tambang mengandung kadmium (Cd), raksa
(Hg) dan timah hitam (Pb) (Herman 2006). Kebakaran hutan dan gambut menyebabkan air
sungai dan danau terpapar Hg (Kelly et al. 2006). Achmad 2004) mengemukakan bahwa
gambut mengandung logam berat. Hasil penelitian Hartoto dan Awalina (2000), air sungai
dan sedimen Sungai Kahayan terpapar Hg dan Pb. Air sungai di Kalimantan rata-rata
mengandung 0.006 mg/l Cd (Litbang Pengairan Departemen Pekerjaan umum 1998 dalam
Rompas 2010). Menurut BPPLHD (2002), air dan sedimen Sungai Kahayan bagian hulu
mengandung sekitar 0.001 mg/l Hg. Selama perjalanannya aliran air sungai dari hulu ke-
muara akan bertemu aliran air yang mengandung logam berat dan tidak mengandung
logam berat.
Semua jaringan organ tubuh ikan mengandung sulfur (-SH) dan nitrogen (-NH) yang
mengikat logam berat secara kovalen (Cowan 1993; Pin et al. 1988). Menurut Cowan
(1993), gugus sulfur mengikat Hg dan Cd lebih kuat dibandingkan Pb, sedangkan gugus
nitrogen mengikat Pb lebih kuat dibandingkan Hg dan Cd. Gugus sulfur lebih reaktif
terhadap Hg dan Cd dibandingkan Pb (Kanovalov 1994). Hg, Cd dan Pb yang terakumulasi
dalam organ tubuh ikan dapat tereduksi menjadi Hg2+, Cd2+ dan Pb2+ (Hodgson dan Levi
2000; Rompas 2010). Akumulasi logam berat di dalam tulang sirip keras dapat
125
menyebabkan penyerapan hormon, kalsium (Ca), seng (Zn), fosfor (P) dan vitamin
terganggu (Granner 2003). Menurut Lu (1995), logam berat yang terakumulasi dalam organ
tubuh ikan menyebabkan perubahan morfologi (Lu 1995). Akumulasi logam berat dalam
tulang sirip keras menganggu perkembangan anatomi dan eidonomi. Anatomi adalah studi
morfologi dan karakteristik struktur jaringan organ dalam tubuh ikan, sedangkan eidonomi
adalah studi morfologi dan karakteristik struktur organ luar tubuh ikan (Anonim 2010).
Manurut Mayr (2010), perubahan lingkungan tidak selalu menyebabkan mutasi genetik,
akan tetapi dapat langsung terjadi pada organ tubuh ikan. Selanjutnya dikatakan bahwa
perbedaan relung habitat dapat menyebabkan perubahan morfologi.
Tujuan penelitian adalah mengaji: (a) Kandungan logam berat (Hg, Cd dan Pb)
dalam tulang sirip keras ikan Badukang dan Sembilang di muara Sungai Kahayan serta
Katingan. (b) Sebaran akumulasi logam berat dan pengaruh terhadap kemunculan
polimorfisme tulang sirip keras ikan Badukang dan Sembilang.
BAHAN DAN METODE
Metode Pengambilan Contoh
Lokasi pengambilan contoh air laut dan tulang sirip keras ikan disajikan dalam
halaman 36-38. Metode pengambilan contoh tulang sirip keras ikan disajikan dalam
halaman 61-62 dan histologi disajikan pada halaman 106-107. Penelitian dilakukan selama
kurang lebih 6 bulan. Penelitian ini menggunakan metode survei dan pengambilan contoh
purposiv sampling (Sevilla et al. 1993). Penangkapan ikan menggunakan rawai (long line).
Panangkapan ikan dilakukan di wilayah stasiun 1 dan 2 muara Sungai Kahayan serta
Katingan. Survei dilakukan 4 kali dan 3 kali ulangan per stasiun (12 kali). Contoh ikan
Badukang diambil pada spesies Arius maculatus Fis & Bian, sedangkan contoh ikan
Sembilang diambil pada spesies Plotosus canius Web & Bia (Kottelat et al. 1993). Contoh
ikan hasil tangkapan dipisahkan berdasarkan morfologi tulang sirip keras normal dan
abnormal. Pengambilan contoh tulang sirip keras menggunakan pisau bedah. Contoh
tulang sirip keras disimpan pada suhu 4 0C. Analisis kandungan Hg, Cd dan Pb di sajikan
dalam halaman 62.
126
Contoh tulang sirip keras ikan dalam kondisi segar difiksasi dengan menggunakan
larutan formalin 10% (PA). Kalsium yang terkandung dalam tulang sirip keras ikan buang
dengan asam Chlorida (HCl). Jumlah contoh preparasi 2-3 kali ulangan. Metode histologis
yang digunakan terdiri atas metode histoteknik dan histokimia. Metode tersebut digunakan
untuk memperoleh contoh preparasi yang memenuhi syarat (Humason 1972; Kiernan
1990). Contoh preparasi yang digunakan untuk mengetahui pola sebaran akumulasi logam
berat dan pengaruhnya terhadap morfologi jaringan tulang sirip keras. Pola sebaran
akumulasi logam berat dalam tulang sirip keras digunakan untuk mengetahui keterkaitan
logam berat dengan kemunculan polimorfisme tulang sirip keras. Untuk mengetahui pola
sebaran akumulasi logam berat dalam jaringan tulang sirip keras ikan menggunakan
metode Rhodizonate. Untuk mengetahui pola sebaran akumulasi Hg, Cd dan Pb dalam
jaringan biota menggunakan Natrium Rhodiszonate (C6Na2O6) (Kiernan 1990). Untuk
mengetahui pengaruh akumulasi logam berat dalam jaringan tulang sirip keras ikan
menggunakan zat pewarna eosin. Metode eosin digunakan sebagai pewarna dasar untuk
mengetahui perubahan struktur jaringan tulang sirip keras ikan (Humason 1972).
Analisis Data
Data kandungan logam berat dalam tulang sirip keras ikan dianalisis menggunakan
statistik dan uji t pada taraf (P<0.05). Pola sebaran akumulasi Hg, Cd, Pb dalam jaringan
tulang sirip keras ikan Badukang dan Sembilang serta pengaruh dianalisis secara deskripsi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persentase Morfologi Tulang Sirip Keras Ikan Normal dan Abnormal
Hasil yang didapat dari keseluruhan contoh lokasi yang terpilih menunjukkan bahwa
persentase tulang sirip keras ikan Badukang dan Sembilang yang mengalami abnormalitas
di muara Sungai Kahayan dan Katingan cukup tinggi. Persentase tulang sirip keras
punggung ikan Badukang abnormal yang ditemukan di muara Sungai Kahayan dan
Katingan sebesar 12.19%, sedangkan persentase tulang sirip keras dada ikan abnormal
sebesar 17.16% (804 ekor). Persentase tulang sirip keras punggung ikan Sembilang
abnormal sebesar 18.787%, sedangkan persentase tulang sirip keras dada abnormal
sebesar 21.33% (1022 ekor). Persentase tulang sirip keras punggung dan dada ikan
127
Sembilang abnormal lebih tinggi dibandingkan ikan Badukang. Jumlah dan persentase
tulang sirip keras ikan abnormal disajikan pada Tabel 11 di bawah.
Tabel 11 Jumlah dan persentase (%) tulang sirip keras punggung dan dada abnormal ikan Badukang (Arius maculatus Fis & Bian), Sembilang (Plotosus canius Web & Bia) di muara Sungai Kahayan serta Katingan.
Tulang sirip keras
Stasiun Jumlah Bedukang Sembilang
Punggung Bedukang Sembilang
Dada Bedukang Sembilang
St 1.1 306 210 34 26 24 36 St 1.2 306 242 42 42 40 38 St 2.3 302 234 24 44 42 72 St 2.4 288 336 18 80 32 72
Jumlah 804 1022 98 192 138 218 Persentase (%) 12.19 18.79 17.16 21.33
Pada Tabel di atas menunjukkan bahwa kemunculan tulang sirip keras ikan
Sembilang abnormal mempunyai populasi lebih tinggi dibandingkan ikan Badukang.
Kondisi demikian sangat mungkin terkait dengan pola hidup ikan Sembilang yang banyak
membenamkan tubuh di dalam lumpur. Pola hidup demikian memberikan peluang terjadi
paparan logam berat yang lebih tinggi di dalam tubuh ikan dibandingkan ikan yang
berenang aktif dalam air laut. Perubahan tulang sirip keras ikan tersebut berkaitan dangan
perubahan kandungan Hg, Cd dan Pb dalam sedimen dan air laut. Meningkatnya
kandungan Hg, Cd dan Pb dalam air laut dan sedimen menyebabkan biota makanan ikan
terpapar logam berat. Meningkatnya kandungan logam berat dalam air laut dan sedimen
memberikan peluang besar terakumulasi di dalam tubuh ikan melalui proses penyaringan
oksigen oleh sel lamela insang. Akumulasi logam berat dalam tulang sirip keras ikan dapat
menyebabkan perubahan molekul tulang sirip keras yang terpapar. Perubahan morfologi
yang terjadi sangat mungkin terkait dengan terganggunya kegiatan enzim dan proses
metabolisme pada lokasi logam berat terakumulasi dalam jaringan tulang sirip keras.
Menurut Kai et al. (2006), Wagner dan Misof (1992), perubahan morfologi tulang sirip keras
ikan terjadi karena pengaruh faktor lingkungan. Menurut Mayr (2010), morfologi tulang sirip
keras ikan abnormal dipicu oleh perbedaan relung habitat. Paparan logam berat dalam
perairan berpotensi terakumulasi dalam juvenil ikan hingga dewasa. Kondisi demikian
sangat berpengaruh terhadap perubahan struktur morfologi dalam dan luar tulang sirip
keras ikan Badukang Sembilang. Banyak laporan hasil penelitian mengatakan bahwa
logam berat yang terakumulasi dalam sel jaringan organ tubuh ikan bersifat mutagenik,
128
teratugenik dan karsinogenik. Hal demikian menunjukkan bahwa Hg, Cd dan Pb yang
terkumulasi dalam jaringan tulang sirip keras ikan berpotensi menjadi menyebabkan
kemunculan polimorfisme.
Kandungan Logam Berat dalam Tulang Sirip Keras Ikan
Hasil analisis kandungan Hg, Cd, Pb di dalam tulang sirip keras ikan Badukang dan
Sembilang normal dan abnormal di muara Sungai Kahayan serta Katingan disajikan pada
Tabel 12. Kandungan Pb dalam jaringan tulang sirip keras ikan di muara Sungai Kahayan
serta Katingan lebih tinggi dibandingkan Cd dan Hg (P<0.05), sedangkan kandungan Cd
dalam jaringan tulang sirip keras ikan tidak berbeda nyata dibandingkan Hg (P<0.05).
Kecuali kandungan Cd dalam jaringan tulang sirip keras ikan Badukang di muara Sungai
Kahayan yang lebih tinggi dibandingkan Hg. Jaringan tulang sirip keras ikan Badukang dan
Sembilang abnormal di muara Sungai Kahayan dan Katingan mengandung Hg lebih tinggi
dibandingkan ikan normal (P<0.05). Kandungan Cd dan Pb dalam jaringan tulang sirip
keras ikan abnormal di muara Sungai Kahayan dan Katingan tidak berbeda nyata
dibandingkan ikan normal (P<0.05) (Tabel 12, Lampiran 14, 17). Menurut Lu (1995),
kompleks metalothionien (sulfhidril -SH) dalam tulang mengikat Hg, Cd dan Pb. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa hati, ginjal dan insang ikan berukuran kecil di muara Sungai
Kahayan serta Katingan mengandung Hg, Cd dan Pb lebih tinggi dibandingkan ikan
berukuran sedang dan besar. Hal demikian menunjukkan bahwa akumulasi Hg, Cd, Pb di
dalam jaringan organ junvenil ikan (muda) sudah berpotensi menyebabkan kemunculan
polimorfisme tulang sirip keras ikan. Menurut Kennis (1992), toksisitas subletal Hg di
dalam biota laut lebih tinggi dibandingkan Cd dan Pb, sedangkan toksisitas Cd lebih tinggi
dibandingkan Pb. Jaringan tulang mengakumulasi 90-95% Pb (Manahan 2003; Hodgson
dan Levi 2000). Kondisi demikian menujukkan bahwa Hg, Cd dan Pb berpotensi menggusur
kalsium (Ca), seng (Zn) dan magnesium (Mg) dari dalam tulang sirip keras ikan. Menurut
Lesson et al. (1996), tulang normal mengandung 85% kalsium fosfat (Ca3 (PO4)2 dan 10%
kalsium karbonat (CaCO3) serta 5% magnesium fluorida. Hal ini menunjukkan bahwa
kalsium berperan penting dalam pengerasan dan proses metabolisme tulang sirip keras.
Berkurangnya kandungan mineral kalsium dalam tulang berpengaruh terhadap morfologi
tulang sirip keras. Akumulasi Hg, Cd dan Pb dalam jaringan tulang sirip keras ikan dapat
129
Tabel 12 Kandungan logam berat (n=12) dalam jaringan tulang sirip keras ikan Badukang (Arius maculatus Fish & Bian), Sembilang (Plotosus canius Web & Bian) normal dan abnormal di muara Sungai Kahayan serta Katingan
Kandungan
Morfologi Ikan Hg mg/kg bb
Cd mg/kg bb
Pb mg/kg bb
Ikan Badukang Muara S. Kahayan Normal Rata-Rata 0.018 a 0.077 a 1.562 a
Kisaran 0.012 - 0.027 0.059 - 0.093 1.220 - 2.020 Abnormal Rata-Rata 0.022 b 0.075 a 1.485 a
Kisaran 0.014 - 0.029 0.063 - 0.098 1.030 - 2.210
RATA-RATA 0.0200 a 0.0760 b 1.523 c
Muara S. Katingan Normal Rata-Rata 0.017 a 0.028 a 1.010 a
Kisaran 0.013 - 0.024 0.012 - 0.040 0.770 - 1.320 Abnormal Rata-Rata 0.020 b 0.031 a 1.118 a
Kisaran 0.015 - 0.027 0.019 - 0.045 0.689 - 1.543
RATA-RATA 0.0185 a 0.030 a 1.064 b
Ikan Sembilang Muara S. Kahayan Normal Rata-Rata 0.015 a 0.028 a 0.955 a
Kisaran 0.010 - 0.024 0.017 - 0.038 0.660 - 1.453 Abnormal Rata-Rata 0.020 a 0.029 a 0.933 a
Kisaran 0.015 - 0.028 0.012 -0.044 0.610 - 1.233
RATA-RATA 0.018 a 0.0287 a 0.944 b
Muara S. Katingan Normal Rata-Rata 0.017 a 0.028 a 0.815 a
Kisaran 0.009 - 0.028 0.013 - 0.044 0.545-1.114 Abnormal Rata-Rata 0.021 b 0.026 a 0.788 a
Kisaran 0.015 - 0.028 0.017 - 0.035 0.649-0.964
RATA-RATA 0.019 a 0.027 a 0.802 b
Ket: Batas deteksi alat 0.001 mg/kg bb. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf P<0.05.
teroksidasi menjadi Hg2+, Cd2+ dan Pb2+ dengan toksisitas jauh lebih tinggi (Squibb dan
Fowler 1984 dalam Lu 1995). Tentu hal itu berpengaruh terhadap perkembangan sel
jaringan tulang sirip keras. Menurut Lu (1995), akumulasi Hg, Cd dan Pb di dalam tulang
sirip keras dapat terlihat secara makroskopik. Hal ini terjadi karena interaksi logam berat
dengan metalothionien (sulfhidril -SH) dan nitrogen (-NH). Tingginya kandungan logam
berat dalam organ tubuh ikan dapat menganggu kemampuan glomerulus menfiltrasi dan
tubulus ginjal mengekskresi logam berat. Glomerulus dan tubulus dalam nepron ginjal
berperan penting dalam proses filtrasi dan ekskresi logam berat keluar dari organ tubuh
ikan. Hati ikan berperan penting dalam mendetosifikasi dan menyingkirkan Hg, Cd dan Pb
130
yang memasuki tubuh ikan serta mengirimnya ke ginjal. Oleh karena itu, organ tubuh ikan
tersebut berperan penting dalam pelepasan logam berat melalui urine. Menurut Goldenthel
(1971) dalam Lu (1995), ikan muda 1.5-10 kali lebih rentan terpapar logam berat
dibandingkan ikan dewasa. Hal terjadi karena defesiensi berbagai enzim detoksifikasi.
Selain itu, organ filtrasi dan ekskresi ginjal belum berfungsi optimum. Belum berfungsi
organ tubuh ikan berkaitan erat dengan fungsi metabolik dan ekskretorik. Menurut Lu
(1995) dan Darmono (2001), logam berat yang terakumulasi dalam tubuh ikan dapat
mensubstitusi kofaktor enzim seng (Zn) yang berperan dalam metabolisme. Hal ini
menganggu kegiatan enzim dan proses metabolisme. Hg, Cd dan Pb dapat mensubstitusi
kalsium (Ca3 (PO4)2 dalam tulang. Kondisi demikian menyebabkan metabolisme jaringan
tulang dan proses pengerasan sel jaringan tulang terganggu. Akumulasi logam berat dalam
sel jaringan organ tubuh ikan mengganggu komunikasi sel jaringan tulang sirip keras
dengan jaringan organ tubuh lainnya. Kondisi demikian terjadi karena reseptor kimia yang
terdapat di dalam selaput sel tidak berfungsi dengan baik. Menurut Parsons (1994),
tingginya terkanan faktor lingkungan (stress) dan perubahan habitat menyebabkan
morfologi ikan berubah.
Sebaran Logam Berat dalam Jaringan Tulang Sirip Keras Ikan
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jaringan tulang sirip keras ikan mengandung
Hg, Cd dan Pb (Gambar 27a-b). Akumulasi Hg, Cd dan Pb dalam jaringan tulang sirip
keras ikan berkaitan erat dengan gugus sulfur dan nitrogen. Menurut Cowan (1993), gugus
sulfur (R-SH, R2-S, S2O3-2) dan nitrogen (-CN-) mengikat Hg dan Cd secara kovalen,
sedangkan gugus nitrogen (-NH) mengikat Pb secara secara kovalen. Hal demikian
menyebabkan logam berat terikat sangat kuat dalam jaringan tulang sirip keras. Jaringan
tulang sirip keras ikan Badukang dan Sembilang mengandung Pb yang tergambar dengan
warna coklat (Gambar 27 a-1, b-1). Jaringan tulang sirip keras ikan mengandung kompleks
Hg dan Cd yang tergambar dengan warna hitam (Gambar 27 a-2, b-2). Jaringan tulang sirip
keras ikan mengandung kompleks Pb, Hg dan Cd yang tergambar dengan warna coklat
kehitaman (Gambar 27 a-3, b-3). Gambar warna logam berat yang terakumulasi di dalam
tulang sirip keras ikan menunjukkan lokasi Hg, Cd dan Pb mengikat gugus sulfur dan
nitrogen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola gugus nitrogen mengikat Pb secara
131
Gambar 27 Morfologi jaringan tulang sirip keras ikan Sembilang: (a) Normal (20 x),
(b) Abnormal (40 x). (1) Warna coklat menunjukkan jaringan tulang sirip keras ikan mengandung Pb, (2) Warna hitam menunjukkan jaringan tulang sirip keras ikan mengandung kompleks Cd dan Hg, (3) Warna coklat kehitaman menunjukkan jaringan tulang sirip keras ikan mengandung kompleks Hg, Cd dan Pb. Zat pewarna Natrium Rhodizonat (C6Na2O6).
bergerombol dan acak. Hal demikian menyebabkan akumulasi Pb dalam jaringan tulang
sirip keras ikan tersebar dengan pola bergerombol dan acak. Pola gugus sulfur mengikat
Hg dan Cd secaraacak. Hal demikian menyebabkan akumulasi kompleks Hg dan Cd dalam
jaringan tulang sirip keras ikan tersebar dengan pola acak. Gugus sulfur dan nitrogen yang
terkandung dalam tulang sirip keras ikan dapat mengikat Hg, Cd dan Pb secara
bergerombol. Gugus sulfur dan nitrogen yang terkandung dalam jaringan tulang sirip keras
ikan normal dan abnormal kebanyakan mengikat Hg, Cd dan Pb secara bergerombol.
Sebaran akumulasi kompleks Hg, Cd dan Pb dalam sel jaringan tulang sirip keras ikan
Badukang dan sembilang abnormal kebanyakan bergerombol diberbagai lokasi di dalam
jaringan tulang (Gambar 27b). Hal ini menyebabkan kemunculan polimorfisme. Sebaran
akumulasi kompleks Hg, Cd dan Pb dalam sel jaringan tulang sirip keras ikan Badukang
dan sembilang normal kebanyakan bergerombol di dalam dinding pembuluh darah dan
sekitarnya (Gambar 27b). Hal ini tidak menyebabkan kemunculan polimorfisme.
Pengaruh Logam Berat dalam Organ Tulang Sirip Keras Ikan
Hasil pengamatan secara histologis menunjukkan bahwa Hg, Cd dan Pb dalam
jaringan tulang sirip ikan Badukang dan Sembilang di muara Sungai Kahayan serta
Katingan menyebabkan perubahan di dalam jaringan tulang (Gambar 28 a-1, a-2, b-1, b-2).
b a
1
1 2
2
3
2
3
132
Hal demikian menunjukkan bahwa sinergis Hg, Cd dan Pb yang terakumulasi diberbagai
lokasi dalam jaringan tulang sirip keras berpengaruh terhadap perkembangan jaringan
tulang. Pengaruh sinergis kompleks Hg, Cd dan Pb dalam tulang sirip keras ikan abnormal
lebih tinggi dibandingkan normal. Kondisi demikian terlihat dari jaringan tulang sirip keras
ikan Sembilang abnormal yang tidak terbentuk lingkaran pertumbuhan jaringan tulang,
sebagaimana yang terlihat pada tulang sirip keras normal. Walaupun lingkaran pertumbuhan
tulang sirip keras abnormal dapat terbentuk, tetapi perkembangannya tidak teratur
sebagaimana pada ikan normal (Gambar 28 a-2, b-2). Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa perubahan struktur tulang sirip keras ikan abnormal berkaitan erat dengan pola
akumulasi logam berat yang bergerombol. Berbagai lokasi sel jaringan dalam tulang sirip
keras ikan annormal banyak menyebabkan morfologi jaringan dalam tulang berubah
berubah. Logam berat yang terakumulasi dalam dinding pembuluh darah menyebabkan
dinding pembuluh darah menebal. Jika banyak lokasi jaringan tulang sirip keras meng-
Gambar 28 Morfologi tulang sirip keras ikan Sembilang: (a) Normal (20 x), (b) Abnormal
(20 x). (1) Pembuluh darah, (2) Lingkaran pertumbuhan jaringan tulang. Zat pewarna Eosin.
akumulasi kompleks logam berat yang bergerombol, maka menyebabkan morfologi dalam
tulang berubah yang diikuti dengan perubahan morfologi tulang sirip keras ikan bagian luar.
Hg, Cd dan Pb yang terakumulasi diberbagai lokasi dalam jaringan tulang sirip keras
dapat teroksidasi menjadi Pb2+, Hg2+ dan Cd2+ dengan toksisitas lebih tinggi. Kondisi
demikian dapat menyebabkan hipertrofi, autrofi dan nekrosis. Jika hal ini terjadi pada masa
pertumbuhan ikan, maka menyebabkan polimorfisme. Menurut Chung et al. (2006),
akumulasi logam berat dalam tubuh anak ikan menyebabkan pertumbuhan terhambat.
Menurut Castro et al. (2006), faktor lingkungan berinteraksi dengan genetik dan organ
1
a b 1
2
2
133
tubuh ikan. Kondisi demikian menunjukkan bahwa akumulasi Hg, Cd dan Pb dalam sel
jaringan tulang sirip keras ikan berpengaruh terhadap pertumbuhan sel jaringan tulang.
Hasil pengamatan menunjukkan akumulasi Hg, Cd dan Pb dalam jaringan tulang sirip
keras menyebabkan bengkok-bengkok, Sebagian tulang sirip keras mengecil dan sebagian
membesar tidak beraturan, muncul benjolan dipermukaan tulang, gerigi tulang abnormal
dan tulang berlobang. Selain itu tulang bagian yang runcing sangat rapuh dan mudah
patah. Hal ini terjadi karena jaringan tulang sirip keras ikan kekurang kalsium. Tulang yang
berlobang dapat disebabkan karena kanker tulang. Perubahan morfologi tulang dapat
terjadi karena penyerapan nutrisi terganggu. Menurut Granner (2003), supaya
perkembangan dan pertumbuhan tulang sirip keras ikan normal diperlukan hormon,
mineral, zat makanan dan vitamin dalam jumlah yang cukup. Akumulasi Hg, Cd dan Pb
dalam sel jaringan tulang menyebabkan penyerapan nutrisi terhambat. Kondisi demikian
sangat berpengaruh terhadap perkembangan sel jaringan tulang sirip keras ikan muda
dibandingkan ikan dewasa. Perkembangan dan pertumbuhan jaringan tulang ikan muda
lebih cepat dibandingkan dewasa. Jika tulang sirip mengandung logam berat, maka potensi
perubahan morfologi semakin besar. Menurut Lu (1995) dan Granner (2003), tulang
memerlukan kalsium (Ca) dan fosfor (P) sangat penting selama perkembangan dan
pertumbuhan tulang ikan muda. Kekurangan Ca dan P dalam tulang menyebabkan
pertumbuhan tulang sirip keras ikan terganggu (Chao et al. 2006). Menurut Kai et al.
(2006), morfologi tulang sirip keras abnormal berkaitan dengan kekurangan mineral. Hal ini
berpengaruh terhadap perkembangan fisiologis. Menurut Heath (1987), akumulasi Hg, Cd
dan Pb di dalam tulang menghambat kegiatan enzim Mg-ATPase dan Na/K ATPase (Hg),
alkalin phosphatase (Hg, Cd, Pb,) dan acid phosphatase (Hg, Cd, Pb). Akumulasi logam
berat dalam dinding pembuluh darah menghambat pengangkutan hormon, mineral
essensial, zat makanan dan vitamin ke dalam tulang sirip keras ikan. Selain itu, akumulasi
logam berat dalam sel jaringan tulang sirip keras ikan menyebabkan kemampuan reseptor
kimia sel menerima perintah dan komunikasi antar sel terganggu. Kondisi demikian dapat
juga menyebabkan kemunculan polimorfisme. Untuk mencapai perkembangan sel jaringan
tulang sirip keras ikan yang normal diperlukan nutrisi dan mineral dalam jumlah cukup. Jika
hal tersebut tidak terpenuhi, maka menyebabkan polimorfisme tulang sirip keras ikan.
134
Karakteristik Jaringan Organ Tubuh Ikan Mengandung Logam Berat
Hasil penelitian menunjukkan bahwa akumulasi Hg, Cd dan Pb menyebabkan
kemunculan polimorfisme tulang sirip keras ikan Badukang dan Sembilang di muara Sungai
Kahayan serta Katingan. Karaktersitik kemunculan polimorfisme tulang sirip keras ikan
Badukang dan Sembilang sebagai berikut: Tulang sirip keras ikan bengkok-bengkok tidak
beraturan, sebagian tulang sirip keras mengecil dan sebagian membesar tidak beraturan,
tulang sirip keras semakin tipis, tulang membesar, muncul benjolan pada permukaan
tulang sirip keras, sebagian tulang berlobang, gerigi pada tulang sirip keras tidak tumbuh
dan jika tumbuh dengan morfologis abnormal, bagian ujung tulang sirip yang lancip sangat
rapuh sehingga mudah patah (Gambar 29- 30a, b, c, d-e, f-g. 34 a, b, c, d-f). Menurut
Yonekura et al. (2002), morfologi tulang sirip keras abnormal terjadi karena perubahan
faktor lingkungan. Jaringan tulang sirip keras ikan yang kekurangan kalsium (Ca) mem-
pengaruhi perkembangan dan pertumbuhan tulang (Granner 2003). Kalsium (Ca) dalam
tulang berperan penting sebagai reseptor kimia yang memberi respon dan menerima
perintah dari faktor lingkungan (Lippard dan Berg 1994). Kekurangan Ca menyebabkan
morfologis tulang abnormal (Chao et al. 2006; Kai et al. 2006). Tulang sirip yang
kekurangan mineral essensial, zat makanan dan vitamin menyebabkan morfologi abnormal
(Baeverfjord et al. 1998). Menurut Leeson at al. (1996), Ca, Zn dan P berpengaruh
terhadap perkembangan sel makrik tulang serta proses pengerasan tulang. Tulang ikan
pada masa pertumbuhan memerlukan mineral essensial yang cukup (Johnston et al. 2008).
Menurut Heath (1987), Hg, Cd dan Pb menghambat kegiatan enzim alkaline phosphatase
dan acid phospatase, Mg ATPase dan Na/K ATPase dalam tulang. deformasi tulang sirip
ikan dpat terjadi karena adaptasi dengan faktor lingkungan (Wagner dan Misof 1992).
Perubahan morfologi tulang sirip bersifat permanen (Eisler 2006). Kandungan logam berat
dalam organ tubuh ikan berperan penting dalam pembentukan struktur dan morfologi tulang
(Xu et al. 2008). Menurut Castro et al. (2008) dan Mayr (1010), perbedaan relung habitat
menyebabkan perbedaan morfologi. Polimorfisme berkaitan dengan variasi genetik dan
adaptasi (Mc Namara 1998).
135
Gambar 29 (a) Ikan Badukang (Arius maculatus Fis & Bian). (b) Morfologi tulang sirip keras dada ikan normal (0) dan abnormal (1). (c) Morfologi tulang sirip keras punggung normal (0) dan abnormal (1-4). (d-e) Morfologi tulang sirip keras dada normal (1) dan abnormal (2). (f-g) Morfologi tulang sirip keras punggung normal (1) dan abnormal (2).
0 1 0 1 2 3 4
a
g f
e d 1 2 2 1
2
b c
1 2 1
136
Gambar 30 (a) Ikan Sembilang (Plotosus canius Web & Bia). (b) Morfologi tulang sirip keras punggung normal (0) dan abnormal (1-3). (c) Morfologi tulang sirip keras dada normal (0) dan abnormal (1-4).
(d) Morfologi tulang sirip keras punggung normal (1) dan abnormal (2). (e) Morfologi tulang sirip keras dada normal (1) dan abnormal (2).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Organ tulang sirip keras ikan Badukang dan Sembilang mengandung Pb lebih tinggi
dibandingkan Cd dan Hg, sedangkan kandungan Cd dalam tulang sirip keras kedua jenis
ikan cenderung tidak berbeda dibandingkan Hg. Kandungan Hg dalam jaringan tulang sirip
keras ikan abnormal lebih tinggi dibandingkan normal, sedangkan kandungan Cd dan Pb
dalam tulang sirip ikan abnormal tidak jauh berbeda dibandingkan ikan normal. Pola
sebaran akumulasi Hg bergerombol bersama Cd dan Pb. Kompleks Hg, Cd dan Pb
berperan sangat sebagai pemicu kemunculan polimorfisme tulang sirip keras ikan
Badukang dan Sembilang. Akumulasi Hg, Cd dan Pb dalam tulang sirip keras ikan
abnormal menyebabkan lingkaran pertumbuhan jaringan dalam tulang sirip keras tidak
terbentuk, sebagai mana yang terjadi pada tulang sirip keras ikan normal.
0 1 2 3 0 1 2 3 4
2 1 2 1
a
e d
c b
137
Karakteristik polimorfisme tulang sirip keras ikan yang mengandung Hg, Cd dan Pb
serta tidak ditemukan lingkaran pertumbuhan adalah sebagai berikut: tulang sirip keras
bengkok-bengkok tidak beraturan, Sebagian tulang sirip keras mengecil dan sebagian
membesar tidak beraturan, tulang sirip keras semakin tipis dan mengecil, tulang
membesar, muncul benjolan pada permukaan tulang, tulang berlobang, gerigi pada tulang
sirip keras tidak tumbuh dan walaupun tumbuh tetapi tidak beraturan, tulang sirip keras
dibagian runcing sangat rapuh dan mudah patah.
Saran
Perlu diteliti lebih lanjut, pada konsentrasi berapa Hg, Cd dan Pb menyebabkan
polimorfisme pada tulang sirip keras ikan. Selain itu pada umur berapa tulang sirip keras
ikan Badukang dan Sembilang mulai mengalami perubahan morfologi. Spesies ikan apa
saja yang dapat menjadi indikator pencemaran logam berat.