148154344-skenario-b-blok-19
DESCRIPTION
148154344-Skenario-B-Blok-19TRANSCRIPT
-
1
Skenario B Blok 19
Dengan ditemani polisi, Bujang 25 tahun datang ke RSUD dengan keluhan luka dan memar
di kepala sebelah kanan. 1 jam sebelum masuk RS kepala penderita dipukul oleh temannya dengan
menggunakan dayung kayu dari arah samping dan depan. Penderita pingsan kurang lebih 5 menit
kemudian sadar kembali. Dan melaporkan kejadian ini ke kantor polisi terdekat. Pada saat tiba di
RSUD, penderita mengeluh nyeri kepala hebat disertai muntah.
Dari hasil pemeriksaan didapatkan :
RR : 28 x/menit, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi : 50x/menit, GCS : E4 M6 V5 pupil isokor,
reflex cahaya : pupil kanan reaktif, pupil kiri reaktif. Regio temporal dekstra : tampak luka dekstra
ukuran 6x1 cm, tepi tidak rata, sudut tumpul dengan dasar fraktur tulang. Regio nasal : tampak darah
segar mengalir dari kedua lubang hidung.
Tak lama setelah selesai dilakukan pemeriksaan, tiba-tiba pasien tidak sadarkan diri. Dari
hasil pemeriksaan pada saat terjadi penurunan kesadaran didapatkan :
Pasien ngorok, RR 24x/menit, nadi 50x/menit, tekanan darah 140/90 mmHg, GCS : E2M5V3, pupil
anisokor dekstra, reflek cahaya pupil kanan negative, refleks cahaya pupil kiri reaktif / normal.
Pada saat itu anda merupakan dokter jaga UGD di RSUD tersebut dibantu oleh 3 orang
perawat.
I. Klarifikasi Istilah
1. Memar : jejas pada suatu bagian tanpa pemecahan kulit1
2. Pupil isokor : kesamaan ukuran pupil (tempat masuknya cahaya pada mata) pada
kedua mata1
3. Nyeri kepala hebat : nyeri kepala yang tidak terhankan.
4. Pingsan : hilangnya kesadaran sementara waktu yang disebabkan oleh
iskemia serebral umum.1
5. Muntah : pengeluaran isi lambung melalui mulut 1
6. Pupil anisokor : perbedaan diameter pupil lebih dari 1 mm.1
7. Regio temporal dextra : daerah pelipis kanan
8. Reflex cahaya pupil : refleks pupil yang miosis/mengecil jika diberi cahaya dari jarak
dekat.
9. Ngorok : pernafasan kasar biasanya karena lidah jatuh ke posterior menutupi
jalan nafas.
II. Identifikasi Masalah
1. Bujang, 25 tahun, mengalami luka dan memar di kepala sebelah kanan
2. Satu jam yang lalu:
- Dipukul menggunakan dayung kayu dari arah samping dan depan.
- Pingsan kurang lebih 5 menit kemudian sadar kembali
3. Saat tiba di RSUD, penderita mengeluh nyeri kepala hebat disertai muntah
4. Hasil pemeriksaan awal didapatkan :
RR 28 x/menit, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 50x/menit, GCS E4 M6 V5, pupil isokor,
reflex cahaya: pupil kanan reaktif, pupil kiri reaktif.
-
2
Regio temporal dekstra: tampak luka dekstra ukuran 6x1 cm, tepi tidak rata, sudut tumpul
dengan dasar fraktur tulang. Regio nasal : tampak darah segar mengalir dari kedua lubang
hidung.
5. Tak lama setelah selesai dilakukan pemeriksaan, tiba-tiba pasien tidak sadarkan diri.
6. Hasil pemeriksaan pada saat terjadi penurunan kesadaran didapatkan :
Pasien ngorok, RR 24x/menit, nadi 50x/menit, tekanan darah 140/90 mmHg, GCS E2M5V3,
pupil anisokor dekstra, reflek cahaya pupil kanan negative, refleks cahaya pupil kiri reaktif /
normal.
III. Analisis Masalah
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari kepala? Penjelasan pada sintesis.
2. Bagaimana biomekanika terjadinya trauma pada kasus ini?
3. Bagian regio mana pada kepala yang berpotensi mengalami cedera?
4. Bagaimana mekanisme pingsan 5 menit dan sadar kembali?
5. Bagaiman mekanisme nyeri kepala dan muntah, serta hubungannya dengan trauma kepala?
6. Apa interpretasi dan mekanisme dari pemeriksaaan pertama:
7. Bagaimana interpretasi dari penurunan kesadaran beruntun (sadar-pingsan-sadar-pingsan)?
8. Bagaimana interpretasi dan mekanisme dari perubahan pada pemeriksaan kedua:
9. Bagaimana penatalaksaan awal / initial assessment pada kasus?
10. Bagaimana penanganan pre hospital / yang harus dilakukan dokter saat perujukan ke UGD?
11. Bagaimana penanganan pasien saat ini / penanganan akhir pada pasien?
12. Apa saja pemeriksaan tambahan yang diperlukan pada pasien?
13. Bagiamana kriteria rujukan pada pasien ini?
14. Apa saja differential diagnosis pada kasus?
15. Apa diagnosis yang ditegakkan dan bagaimana cara diagnosisinya?
16. Bagaimana epidemiologi kejadian pada kasus ini?
17. Bagaimana patofisiologi pada kasus tersebut?
18. Apa prognosis pasien Bujang?
19. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi pada kasus?
20. Apa kompetensi dokter umum pada kasus ini?
IV. Hipotesis
Bujang, 25 tahun mengalami trauma capitis pada regio temporal dextra dengan gejala lucid
interval et causa epidural hematoma, fraktur os temporal, disertai epistaksis anterior.
-
3
V. Kerangka Konsep
Bujang, laki-laki 25
tahun
Dipukul dengan
dayung kayu dari arah
samping dan depan
Trauma hidung
Ruptur pembuluh
darah di anterior
(pleksus
kiesselbach/a.
etmoidalis anterior
Trauma kepala
regio temporal
dextra
Fraktur tulang
Epistaksis anterior
Ruptur a.
meningea media
Doktrin Monro-
Kellie
Penambahan masa
intrakranial
Hematoma epidural
Perdarahan
Herniasi bag.
Medial lobus di
bawah pinggiran
tentorium
Kenaikan TIK
tajam
Mekanisme
kompensasi
terlampaui
Perdarahan >>>
hematom >>>
Nuclei saraf
cranial ketiga
Menekan sirkulasi
arteria
Gangguan
perfusi darah
otak
Penurunan kesadaran
Cushing response : vasokonstriksi
perifer (peninggian tekanan darah
sistemik) bradikardi, pernafasan yang
melambat dan muntah
Penurunan CBF
Formation
retikularis di
medulla
oblongata
Hilang kesadaran
Dilatasi pupil
Stridor
Muntah
Nyeri kepala
hebat
Pingsan 5
menit
Sadar kembali
(kompensasi)
Lucid
interval
-
4
VI. Learning Issue
A. ANATOMI FISIOLOGI
1. Kulit Kepala
a. SCALP
Kulit kepala terdiri atas lima lapis, tiga lapisan yang pertama saling melekat dan bergerak
sebagai sebuah unit. Untuk membantu mengingat nama kelima lapisan kulit kepala tersebut,
gunakan setiap huruf dari SCALP (=kulit kepala) untuk menunjukkan lapisan kulit kepala
Skin : kulit, tebal dan berambut, dan mengandung banyak kelenjar sebacea
Connective tissue : jaringan ikat di bawah kulit, yang merupakan jaringan lemak fibrosa.
Septa fibrosa menghubungkan kulit dengan aponeurosis m.occipitofrontalis. Pada lapisan
ini terdapat banyak pembuluh arteri dan vena. Arteri merupakan cabang-cabang dari a.
carotis externa dan interna, dan terdapat anastomosis yang luas di antara cabang-cabang
ini.
Aponeurosis (epicranial), merupakan lembaran tendo yang tipis, yang menghubungkan
venter occipitale dan venter frontale m.occipitofrontalis. Pinggir lateral aponeurosis
melekat pada fascia temporalis.
Spatium subapomeuroticum adalah ruang potensial di bawah aponeurosis epicranial.
Dibatasi di depan dan belakang oleh origo m.occipitofrontalis dan melah ke lateral sampai
ke tempat perlekatan aponeurosis pada fascia temporalis
Loose areolar tissue : jaringan ikat, yang mengisi spatium subaponeuroticum dan secara
longgar menghubungkan cranium (pericranium). Jaringan areolar ini mengandung
beberapa arteri kecil, dan juga beberapa vv.emissaria yang penting. Vv.emissaria tidak
berkatup dan menghubungkan vena-vena superificial kulit kepala dengan vv.diploicae
tulang tengkorak dan dengan sinus venosus intracranialis.
Pericranium, merupakan periosteum yang menutupi permukaan luar tulang tengkorak.
Perlu diingat bahwa sutura di antara tulang tulang tengkorak dan periosteum pada
permukaan luar tulang berlanjut dengan periosteum pada permukaan dalam tulang-tulang
tengkorak.
b. Otot-otot Kulit Kepala
M.Occipitofrontalis
-
5
Origo : otot ini mempunyai empat venter, dua occipitalis dan dua frontalis, yang
dihubungkan oleh aponeurosis. Setiap venter occipitalis berasal dari linea nuchalis
suprema ossis occipitale dan berjalan ke depan untuk melekat pada aponeurosis. Setiap
venter frontalis berasal dari kulit dan fascia superficialis alis mata, berjalan ke belakang
untuk melekat pada aponeurosis.
Persarafan : venter occipitalis dipersarafi oleh ramus auricularis n.facialis, venter frontalis
dipersarafi oleh ramus temporalis n.facialis
Fungsi : ketiga lapisan pertama kulit kepala dapat bergerak ke depan dan belakang,
jaringan ikat longgar dari lapisan keempat kulit kepala memungkinkan aponeurosis
bergerak di atas pericranium. Venter frontalis dapat menaikkan alis mata seperti pada
ekspresi keheranan dan ketakutan.
c. Persarafan Sensorik Kulit Kepala
Truncus utama saraf sensorik terletak pada fascia superficialis. Dari anterior di garis
tengah menuju ke lateral ditemukan saraf-saraf berikut ini :
N.supratrochlearis, cabang dari divisi ophtalmica n.trigeminus, membelok di sekitar
margo superior orbitalis dan berjalan ke depan di atas dahi. Mempersarafi kulit kepala ke
arah belakang sampai ke vertex. N.zygomaticotemporalis, cabang dari divisi maxillaris
n.trigeminus, mempersarafi kulit kepala di atas pipi.N.auriculotemporales, cabang dari
divisi mandibula n.trigeminus, berjalan ke atas di samping kepala dari depan aurikula.
Cabang terakhirnya mempersarafi kulit daerah temporal. N.occipitalis minor, cabang dari
plexus cervicalis (C2), mempersarafi kulit kepala di bagian lateral regio occipitale dan kulit
di atas permukaan medial auricula. N.occipitalis major, cabang dari ramus posterior
n.cervicalis kedua, berjalan ke atas di belakang kepala dan mempersarafi kulit sampai ke
depan sejauh vertex cranii.
d. Pendarahan Kulit Kepala
Kulit kepala mempunyai banyak suplai darah untuk memberi makanan ke folikel
rambut, dan oleh karena itu, luka kecil akan menyebabkan perdarahan yang banyak. Arteri
terletak di dalam fascia superficialis. Dari arah anterior ke lateral, ditemukan arteri-arteri
berikut ini :
A. supratrochlearis dari a.supraorbitalis, cabang-cabang a.ophthalmica, berjalan ke
atas melalui dahi bersama dengan n.supratrochlearis dan n.supraorbitalis.
A.temporalis superficialis, cabang terminal kecil a.carotis externa, berjalan di depan
auricula bersama dengan n.auriculotemporalis. arteri ini bercabang dua, ramus anterior
dan posterior yang mendarahi kulit di daerah frontal dan temporal.
A.auricularis posterior cabang a.caroti externa, naik di belakang telinga dan
mendarahi kulit kepala di atas dan belakang telinga.
A.occipitalis, sebuah cabang a.carotis externa, berjalan ke atas dari puncak trigonum
posterior bersama dengan n.occipitalis major. Pembuluh ini mendarahi kulit di belakang
kepala sampai ke vertex cranii.
e. Aliran Vena Kulit Kepala
V.supratrochlearis dan v.supraorbitalis bersatu di pinggir medial orbita untuk
membentuk v.facialis. V.temporalis superficialis bersatu dengan v.maxillaris di dalam
substansi glandula parotidea untuk membentuk v.retromandibularis. V.auricularis posterior
-
6
bersatu denga divisi posterior v.retromandibularis, tepat di bawah glandula parotidea, untuk
membentuk v.jugularis externa. V.occipitalis bermuara ke plexus venosus suboccipitalis,
yang terletak di dasar bagian atas trigonum posterior, kemudian plexus bermuara ke dalam
v.vertebralis atau v.jugularis interna. Vena-vena di kulit kepala beranastomosis luas satu
dengan yang lain, dihubungkan ke vv.diploicae tulang tengkorak dan sinus venosus
intracranial oleh Vv.emissariae yang tidak berkatup.
2. Cavum Cranii
Cavum cranii berisi otak dan meningen yang membungkusnya, bagian saraf otak, arteri,
vena dan sinus venosus.
a. Calvaria
Permukaan dalam calvaria memperlihatkan sutura coronalis, sagitalis, lambdoidea. Pada
garis tengah terdapat sulcus sagittalis yang dangkal untuk tempat sinus sagittalis superior. Di
kanan dan kiri sulcus terdapat beberapa lubang kecil, disebut foveae granulares yang menjadi
tempat lacunae laterales dan granulationes arachnoidales. Didapatkan sejumlah alur dangkal
untuk divisi anterior dan poesterior a. et v.meningea media sewaktu keduanya berjalan di sisi
tengkorak menuju calvaria.
b. Basis Cranii
Bagian dalam basis cranii dibagi dalam tiga fossa yaitu fossa cranii anterior, media, dan
posterior. Fossa cranii anterior dipisahkan dari fossa cranii media oleh ala minor ossis
sphenoidalis, dan fossa cranii media dipisahkan dari fossa cranii posterior oleh pars petrosa ossis
temporalis.
1) Fossa Cranii Anterior
Fossa cranii anterior menampung lobus frontalis cerebri. Dibatasi di anterior oleh
permukaan dalam os.frontale, dan di garis tengah terdapat crista untuk tempat melekatnya falx
cerebri. Batas posteriornya adalah ala minor ossis sphenoidalis yang tajam dan bersendi di lateral
dengan os frontale dan bertemu dengan angulus anteroinferior os parietale atau pterion.Ujung
medial ala minor ossis sphenoidalis membentuk processus clinoideus anterior pada masing-
masing sisi, yang menjadi tempat melekatnya tentorium cerebelli. Bagian tengah fossa cranii
media dibatasi di posterior oleh alur chiasma opticum.
Dasar fossa dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di lateral dan oleh lamina
cribriformis ossis ethmoidalis di medial. Crista galli adalah tonjolan tajam ke atas dari os
ethmoidale di garis tengah dan merupakan tempat melekatnya falx cerebri. Di antara crista galli
dan crista ossis frontalis terdapat apertura kecil, yaitu foramen cecum, untuk tempat lewatnya
vena kecil dari mucosa hidung menuju ke sinus sagittalis superior. Sepanjang crista galli terdapat
celah sempit pada lamina cribriformis untuk tempat lewatnya n.ethmoidalis anterior menuju ke
cavum nasi. Permukaan atas lamina cribriformis menyokong bulbus olfactorius, dan lubang-
lubang halus pada lamina cribrosa dilalui oleh n.olfactorius.
2) Fossa Cranii Media
Fossa cranii media terdiri dari bagian medial yang sempit dan bagian lateral yang lebar.
Bagian medial yang agak tinggi dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis, dan bagian lateral yang
luas membentuk cekungan di kanan dan kiri, yang menampung lobus temporalis cerebri. Di
anterior dibatasi oleh ala minor ossis sphenoidalis dan di posterior oleh batas atas pars petrosa
ossis temporalis. Di lateral terletak pars squamosa ossis temporalis, ala major ossis sphenoidalis
-
7
dan os parietale. Dasar dari masing-masing bagian lateral fossa cranii media dibentuk leh ala
major ossis sphenoidalis dan pars squamosa dan petrosa ossis temporalis.
Os sphenoidale mirip kelelawar dengan corpus terletak di bagian tengah dan ala major
dan minor terbentang kanan dan kiri. Corpus ossis sphenoidalis berisi sinus sphenoidalis yang
berisi udara, yang dibatasi oleh membrana mucosa dan berhubungan dengan rongga hidung.
Sinus ini berfungsi sebagai resonator suara. Di anterior, canalis opticus dilalui oleh n.opticus dan
a.ophthalmica, sebuah cabang dari a.carotis interna, menuju orbita. Fissura orbitalis superior,
yang merupakan celah di antara ala major dan minor ossis sphenoidalis, dilalui oleh n.lacrimalis,
n.frontalis, n.trochlearis, n.oculomotorius, n.nasociliaris, dan n.abducens, bersama dengan
v.ophthalmica superior. Sinus venosus sphenoparietalis berjalan ke medial sepanjang pinggir
posterior ala minor ossis sphenoidalis dan bermuara ke dalam sinus cavernosus.
Foramen rotundum, terletak di belakang ujung medial fissura orbitalis superior,
menembus ala major ossis sphenoidalis dan dilalui oleh n.maxillaris dari ganglion trigeminus
menuju fossa pterygopalatina. Foramen ovale terletak posterolateral terhadap foramen rotundum
dan menembus ala major ossis sphenoidalis dan dilalui oleh radix sensorik besar dan radix
motorik kecil dari n.mandibularis menuju ke fossa infratemporalis n.petrosus minus juga berjalan
melalui foramen ini.
Foramen spinosum yang kecil terletak posterolateral terhadap foramen ovale dan juga
menembus ala major ossis sphenoidalis. Foramen ini dilalui oleh a.meningea media dari fossa
infratemporalis menuju ke cavum cranii. Kemudian arteri berjalan ke depan dan lateral di dalam
alur pada permukaan atas pars squamosa ossis temporalis dan ala major ossis sphenoidalis.
Pembuluh ini berjalan dalam jarak yang pendek, kemudian terbagi dalam ramus anterior dan
posterior. Ramus anterior berjalan ke depan dan atas, ke angulus anteroinferior ossis temporalis.
Di sini, arteri membuat saluran yang pendek dan dalam, kemudian berjalan ke belakang dan atas
pada os parietale. Pada tempat ini, arteri paling mudah cedera akibat pukulan pada kepala. Ramus
posterior berjalan ke belakang dan atas, melintasi pars squamosa ossis temporalis untuk sampai
os parietale.
Foramen laserum besar dan iregular terletak antara apeks pars petrosa osis temporalis
dan os sphenoidale. Muara inferior foramen laserum terisi kartilago dan jaringan fibrosa, dan
hanya sedikit pembuluh darah melalui jaringan tersebut dari rongga tengkorak ke leher. Canalis
caroticus bermuara pada sisi foramen lacerum di atas muara inferior yang tertutup. A.carotis
interna masuk ke foramen dari canalis ini dan segera melengkung ke atas untuk sampai pada sisi
corpus ossis sphenoidalis. Di sini, arteri ini membelok ke depan dalam sinus cavernosus untuk
mencapai daerah processus clinoideus anterior. Pada tempat ini, a.carotis interna membelok
vertikal ke atas, medial terhadap processus clinoideus anterior, dan muncul dari sinus cavernosus.
Lateral terhadap foramen lacerum terdapat lekukan pada apeks pars petrosa ossis
temporalis untuk ganglion temporalis. Pada permukaan anterior os petrosus terdapat dua alur
saraf, alur medial yang lebih besar untuk n.petrosus major, sebuah cabang n.facialis, dan alur
lateral yang lebih kecil untuk n.petrosus minor, sebuah cabang dari plexus tymphanicus. N.
petrosus major ke dalam foramen lacerum dibawah ganglion trigeminus dan bergabung dengan
n.petrosus profundus (serabut symphatis dari sekitar a.carotis interna), untuk membentuk
n.canalis pterygoidei. N. petrosus minor berjalan ke depan ke foramen ovale.
N.abducens melengkung tajam ke depan, melintasi apeks os petrosus, medial terhadap
ganglion trigeminus. Di sini, saraf ini meninggalkan fossa cranii posterior dan masuk ke dalam
-
8
sinus cavernosus. Eminentia arcuata adalah penonjolan bulat yang terdapat pada permukaan
anterior os petrosus dan ditimbulkan oleh canalis semicircularis superior yang terletak di
bawahnya. Tegmen tympani adalah lempeng tipis tulang, yang merupakan penonjolan ke depan
pars petrosa ossis temporalis dan terletak berdampingan dengan pars squamosa tulang ini. Dari
belakang ke depan, lempeng ini membentuk atap antrum mastoideum, cavum tympani dan tuba
auditiva. Lempeng tipis tulang ini merupakan satu-satunya penyekat utama penyebaran infeksi
dari dalam cavum tympani ke lobus temporalis cerebri.
Bagian medial fossa cranii media dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis. Di depan
terdapat sulcus chiasmatis, yang berhubungan dengan chiasma opticum dan berhubungan ke
lateral dengan canalis opticus. Posterior terhadap sulcus terdapat peninggian, disebut
tuberculum sellae. Di belakang peninggian ini terdapat cekungan dalam, yaitu sella turcica,
yang merupakan tempat glandula hypophisis. Sella turcica dibatasi di posterior oleh lempeng
tulang bersegi empat yang disebut dorsum sellae. Angulus superior dorsum sellae mempunyai
dua tuberculum disebut processus clinoideus posterior, yang menjadi tempat perlekatan dari
pinggir tetap tentorium cerebelli.
3) Fossa Cranii Posterior
Fossa cranii posterior dalam dan menampung bagian otak belakang, yaitu cerebellum,
pons dan medulla oblongata. Di anterior fossa dibatasi oleh pinggir superior pars petrosa ossis
temporalis dan di posterior dibatasi oleh permukaan dalam pars squamosa ossis occipitalis. Dasar
fossa cranii posterior dibentuk oleh pars basillaris, condylaris, dan squamosa ossis occipitalis dan
pars mastoideus ossis temporalis. Atap fossa dibentuk oleh lipatan dura, tentorium cerebelli,
yang terletak di antara cerebellum di sebelah bawah dan lobus occipitalis cerebri di sebelah atas.
Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan dilalui oleh medulla
oblongata dengan meningen yang meliputinya, pars spinalis ascendens n.accessories, dan kedua
a.vertebralis. Canalis hypoglossi terletak di atas pinggir anterolateral foramen magnum dan
dilalui oleh n.hypoglossus. Foramen jugularis terletak di antara pinggir bawah pars petrosa
ossis temporalis dan pars condylaris ossis occipitalis. Foramen ini dilalui oleh struktur berikut ini
dari depan ke belakang : sinus petrosus inferior, n.IX, n.X dan n.XI, dan sinus sigmoideus
yang besar. Sinus petrosus inferior berjalan turun di dalam alur pada pinggir bawah pars petrosa
ossis temporalis untuk mencapai foramen. Sinus sigmoideus berbelok ke bawah melalui foramen
dan berlanjut sebagai v.jugularis interna.
Meatus acusticus internus menembus permukaan superior pars petrosa ossis temporalis.
Lubang ini dilalui oleh n.verstibulocochlearis dan radix motorik dan senorik n.facialis. Crista
occipitalis interna berjalan ke atas di garis tengah, posterior terhadap foramen magnum, menuju
ke protuberantia occipitalis interna. Pada crista ini melekat falx cerebelli yang kecil, yang
menutupi sinus occipitalis.
Kanan dan kiri dari protuberantia occipitalis interna terdapat alur lebar untuk sinus
transversus. Alur ini terbentang di kedua sisi, pada permukaan dalam os occipitale, sampai ke
angulus inferior atau sudut os parietale. Kemudian alur berlanjut ke pars mastoideus ossis
temporalis, dan di sini sinus transversus berlanjut sebagai sinus sigmoideus. Sinus petrosus
superior berjalan ke belakang sepanjang pinggir atas os petrosus di dalam sebuah alur sempit
dan bermuara ke dalam sinus sigmoideus. Sewaktu berjalan turun ke foramen jugulare, sinus
sigmoideus membuat alur yang dalam pada bagian belakang os petrosus dan pars mastoideus
ossis temporalis. Di sini, sinus sigmoideus terletak tepat posterior terhadap antrum amstoideum.
-
9
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
duramater, araknoid dan piamater.
Duramater adalah selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat
pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput araknoid di bawahnya,
maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdural) yang terletak antara duramater dan
araknoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju
sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan
dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke
sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan
perdarahan hebat. Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada
arteri-arteri ini dan dapat menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami
cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan tembus
pandang disebut lapisan araknoid. Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat erat permukaan
korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi dalam ruang sub araknoid.
4. Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum terdiri atas
hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan duramater dari sisi
inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara manusia.
Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan.
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fiungsi motorik, dan pada sisi dominan
mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan
orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori. Lobus oksipital bertanggung jawab
dalam proses penglihatan. Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan medula
oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi
dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik,
yang terus memanjang sampai medulla spinalis dibawahnya. Lesi yang kecil saja pada batang
otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang berat. Serebelum bertanggung jawab
dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan, terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan
medula spinalis, batang otak, dan juga kedua hemisfer serebri.
5. Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen monro
menuju ventrikel III kemudian melalui aquaductus sylvii menuju ventrikel IV. Selanjutnya CSS
keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang subaraknoid yang berada di seluruh
permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui vili
araknoid.
6. Tentorium
Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra tentorial (terdiri
atas fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii
posterior).
-
10
B. FISIOLOGI
Mekanisme fisiologis yang berperan antara lain :
1. Tekanan Intra Kranial
Biasanya ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal.
Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu tekanan intra kranial
normal sebesar 50 sampai 200 mmH2O atau 4 sampai 15 mmHg. Dalam keadaan normal,
tekanan intra kranial (TIK) dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat sementara
waktu sampai tingkat yang jauh lebih tinggi dari normal. Ruang intra kranial adalah suatu
ruangan kaku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu
: otak (1400 g), cairan serebrospinal ( sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan
volume pada salah satu dari ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan ruang yang ditempati
oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan intra kranial (Lombardo,2003).
2. Hipotesa Monro-Kellie
Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga bila salah satu
dari ketiga komponennya membesar, dua komponen lainnya harus mengkompensasi dengan
mengurangi volumenya (bila TIK masih konstan). Mekanisme kompensasi intra kranial ini
terbatas, tetapi terhentinya fungsi neural dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal.
Kompensasi terdiri dari meningkatnya aliran cairan serebrospinal ke dalam kanalis spinalis dan
adaptasi otak terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme kompensasi
yang berpotensi mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran darah ke otak dan pergeseran
otak ke arah bawah (herniasi) bila TIK makin meningkat. Dua mekanisme terakhir dapat
berakibat langsung pada fungsi saraf. Apabila peningkatan TIK berat dan menetap, mekanisme
kompensasi tidak efektif dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan kematian neuronal
(Lombardo, 2003).
C. BIOMEKANIKA TRAUMA KAPITIS
Biomekanika trauma:
Mekanisme trauma pada kasus ini adalah trauma akselerasi dengan jenis lesi coup dan jenis
trauma tumpul.
Mekanisme : kepala mendapat energy besar dari pukulanenergi diteruskan ke SCALPtrauma
local( luka robek)energi diteruskan ke os.temporalos.temporal tidak bisa menahan besarnya
energyfrakturditeuskan keotakrobeknya a.menieal medianaperdarahan di epidural.
-
11
Dampak
Hal ini berdampak trauma langsung pada kepala yang berakibat timbulmya laserasi ataupun
robekan di jaringan kepala. Laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah
karena kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah.
Terjadinya fraktur linear pada os temporalis menyebabkan robeknya arteri meningea media
yang akan menimbulkan epidural hematoma, yaitu pengumpulan darah diantara lamina
interna kranui dan duramater. Pada awalnya TIK masih terkompesasi dengan cara
bergesernya CSF dan darah vena keluar dari ruang intrakranial, namun selanjutnya TIK tidak
dapat dikompensasi dan menyebabkan TIK meningkat.
Penilaian Cedera
1) Cedera Kepala Ringan (CKR) termasuk didalamnya Laseratio dan Commotio Cerebri
Skor GCS 13-15
Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10 menit
Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan
neurologist.
2) Cedera Kepala Sedang (CKS)
Skor GCS 9-12
Ada pingsan lebih dari 10 menit
Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota gerak.
3) Cedera Kepala Berat (CKB)
Skor GCS
-
12
pemeriksaan memori. Terapi simptomatis, perawatan selama 3-5 hari untuk observasi
kemungkinan terjadinya komplikasi dan mobilisasi bertahap.
c. Contusio Cerebri
Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam jaringan otak
tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan
atau terputus.
Timbulnya lesi contusio di daerah coup, contrecoup, dan intermediate menimbulkan
gejala deficit neurologik yang bisa berupa refleks babinsky yang positif dan kelumpuhan UMN.
Tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah.
Juga karena pusat vegetatif terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa
timbul.
Terapi dengan antiserebral edema, simptomatik, neurotropik dan perawatan 7-10 hari.
d. Laceratio Cerebri
Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai dengan robekan piamater.
Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan subaraknoid traumatika, subdural akut
dan intercerebral. Laceratio dapat dibedakan atas laceratio langsung dan tidak langsung.
Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan oleh benda asing
atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka. Sedangkan laceratio
tidak langsung disebabkan oleh deformitas jaringan yang hebat akibat kekuatan mekanis.
e. Fracture Basis Cranii
Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media, dan fossa posterior. Gejala
yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana yang terkena.
Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala:
Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding
Epistaksis
Rhinorrhoe
Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala:
Hematom retroaurikuler, ottorhoe
Perdarahan dari telinga
Pemberian antibiotik dosis tinggi untuk mencegah infeksi. Tindakan operatif bila adanya
liquorrhoe yang berlangsung lebih dari 6 hari.
f. Hematom Epidural
Letak : antara tulang tengkorak dan duramater
Etiologi : pecahnya a. Meningea media atau cabang-cabangnya
Gejala : setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri kepala sebentar
kemudian membaik dengan sendirinya tetapi beberapa jam kemudian timbul gejala-gejala yang
memperberat progresif seperti nyeri kepala, pusing, kesadaran menurun, nadi melambat,
tekanan darah meninggi, pupil pada sisi perdarahan mula-mula sempit, lalu menjadi lebar, dan
akhirnya tidak bereaksi terhadap refleks cahaya. Ini adalah tanda-tanda bahwa sudah terjadi
herniasi tentorial.
Akut (minimal 24jam sampai dengan 3x24 jam)
Pada pemeriksaan kepala mungkin pada salah satu sisi kepala didapati hematoma subkutan
-
13
Pemeriksaan neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil melebar. Pada sisi kontralateral
dari hematom, dapat dijumpai tanda-tanda kerusakan traktus piramidalis, misalnya :
hemiparesis, refleks tendon meninggi, dan refleks patologik positif.
Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan pengikatan pembuluh
darah.
g. Hematom subdural
Letak : di bawah duramater
Etiologi : pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging veins dan laserasi piamater serta
arachnoid dari kortex cerebri
Gejala subakut : mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama
Kronis : 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma
CT-Scan : setelah hari ke 3 diulang 2 minggu kemudian
Ada bagian hipodens yang berbentuk cresent.
Hiperdens yang berbentuk cresent di antara tabula interna dan parenkim otak (bagian dalam
mengikuti kontur otak dan bagian luar sesuai lengkung tulang tengkorak)
Isodens terlihat dari midline yang bergeser
Operasi sebaiknya segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak (dekompresi)
dengan melakukan evakuasi hematom. Penanganan subdural hematom akut terdiri dari
trepanasi-dekompresi.
h. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal, terbanyak pada lobus
temporalis. Perdarahan intraserebral akibat trauma kapitis yang berupa hematom hanya berupa
perdarahan kecil-kecil saja. Jika penderita dengan perdarahan intraserebral luput dari kematian,
perdarahannya akan direorganisasi dengan pembentukan gliosis dan kavitasi. Keadaan ini bisa
menimbulkan manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi bagian otak yang terkena.
i. Oedema serebri
Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama pingsannya, mungkin hingga berjam-
jam. Gejala-gejalanya berupa commotio cerebri, hanya lebih berat. Tekanan darah dapat naik,
nadi mungkin melambat. Gejala-gejala kerusakan jaringan otak juga tidak ada. Cairan otak pun
normal, hanya tekanannya dapat meninggi.
TIK meningkat,
Cephalgia memberat,
Kesadaran menurun
D. INTERPRETASI PEMERIKSAAN
Interpretasi Pemeriksaan saat sadar Bujang
Hasil Batasan Normal Interpretasi
RR 28x/menit 16-24 x/menit Takipneu
TD 130/90 mmHg 120-80 mmHg
Nadi 50 x/menit 60-100
Bradikardia, dampak dari
peningkatan TIK
GCS (15) E4 M6 V5 14 15 cedera kepala ringan
Cedera kepala ringan
-
14
pupil isokor, reflex cahaya :
pupil kanan reaktif, pupil kiri
reaktif
pupil isokor, reflex
cahaya : pupil kanan
reaktif, pupil kiri reaktif
Normal
Regio Temporal dextra :
Tampak luka dextra ukuran 6x1
cm, tepi tidak rata, sudut tumpul
dengan dasar fraktur tulang Tidak ada
Ada fraktur os. Temporale
berbentuk linier.
Bentuk sudut tumpul
menunjukkan luka
disebabkan oleh benda
tumpul.
Regio Nasal : tampak darah
segar mengalir dari kedua
lubang hidung.
Tidak ada
Ada pecahnya pembuluh
darah di dalam cavum nasii.
Adanya rembesan
1. Nyeri Kepala:
Trauma kepala robeknya a/v meningea mediana perdarahan epidural regangan pada
duramater akibat akumulasi darahmerangsang ujung-ujung saraf bebas dari Nervus
trigeminus (saraf sensoris) nyeri kepala
2. Muntah:
robeknya a/v meningea mediana perdarahan epidural peningkatan tekanan intrakranial
penurunan CBF fase kompensasi (cushing response) penekanan medula oblongata
hipoksia pusat vasomotor vasokonstriksi perifer, peningkatan tekanan darah permenit,
bradikardi, gangguan pernafasan, muntah.
akumulasi darah di epiduralTIK peningkatan tekanan di medulla oblongatamenekan
pusat muntah muntah
3. Regio temporal dextra
Luka dextra ukuran 6 x 1 cm robekan pada regio temporal dextra yang mengakibatkan
luka perdarahan
Tepi tidak rata, sudut tumpul dengan dasar fraktur tulang laserasi hingga mengenai tulang
dan terjadi fraktur tulang.
4. Regio nasal
Pada kasus ini, terjadi epistaksis bagian anterior. Apabila terjadi epistaksis anterior berarti
kemungkinan mengenai pleksus kieselbach dan arteri ethmoidalis anterior. Jadi, epistaksis
anterior disini disebabkan karena factor trauma local akibat dari benturan benda tumpul
berupa dayung.
Interpretasi Pemeriksaan tidak sadar Bujang
Pasien ngorok
Ngorok (stridor): tidak sadar reflex menahan lidah menghilang lidah ke posterior
mengganggu jalan nafas aliran udara yang mengalami turbulensi menghasilkan suara kasar,
monofonik, high-pitched dengan berbagai vibrasi (stridor)
Tanda Vital
Trauma tumpul kepala Tekanan Intra Kranial (TIK) meninggi Cerebral Blood Flow dan
tekanan perfusi otak menurun, maka akan terjadi kompensasi (Cushing respons) penekanan
pada daerah medulla oblongata, hipoksia pusat vasomotor sehingga mengakibatkan
-
15
kompensasi vasokonstriksi perifer (peninggian tekanan darah sistemik) bradikardi, pernafasan
yang melambat dan muntah-muntah.
RR : 24x/menit
Masih dalam batasan normal. Namun terjadi penurunan RR dari keadaan sebelumnya,
kemungkinan ini diakibatkan karena sudah ada penanganan sebelumnya oleh dokter pada saat
pasien daang ke RSUD.
Nadi : 50x/menit
Merupakan kompensasi untuk menurukan tekanan darah ke otak akibat terjadinya peningkatan
intrakranial.
TD : 140/90 mmHg
Tekanan darah yang meningkat, diakibatkan oleh terjadinya peningkatan tekanan intrakranial.
GCS : E2M5V3
GCS = 10, cedera otak sedang
Pupil anisokor dextra, Reflex cahaya : pupil kanan (-), pupil kiri (+)
Paralisis nervus III dextra
Pupil anisokor : trauma tumpul hematoma epidural perdarahan berlanjut, terjadi
peningkatan tekanan intrakranial hematoma meluas ke daerah temporal lobus temporalis
tertekan ke arah bawa dan ke dalam bagian medial lobus mengalami herniasi ke bawah tepi
tentorium terdapat nuclei saraf kranial III (occulomotorius) gangguan pada parasimpatis
yang berfungsi untuk kontriksi pupil aktivitas simpatis meningkat (dominan) pupil kanan
midriasis (ipsilateral)
E. GANGGUAN KESADARAN
Kesadaran merupakan fungsi utama susunan saraf pusat. Untuk mempertahankan fungsi
kesadaran yang baik, perlu suatu interaksi yang konstan dan efektif antara hemisfer serebri yang
intak dan formasio retikularis di batang otak. Gangguan pada hemisfer serebri atau formasio
retikularis dapat menimbulkan
gangguan kesadaran11
. Bergantung pada beratnya kerusakan, gangguan kesadaran dapat berupa apati,
delirium, somnolen, sopor atau koma. Koma sebagai kegawatan maksimal fungsi susunan saraf pusat
memerlukan tindakan yang cepat dan tepat, sebab makin lama koma berlangsung makin parah
keadaan susunan saraf pusat
sehingga kemungkinan makin kecil terjadinya penyembuhan sempurna.12
Lintasan asendens dalam susunan saraf pusat yang menyalurkan impuls sensorik protopatik,
propioseptik dan perasa pancaindra dari perifer ke daerah korteks perseptif primer disebut lintasan
asendens spesifik atau lintasan asendens lemniskal.13
Ada pula lintasan asendens aspesifik yakni
formasio retikularis di sepanjang batang otak yang menerima dan menyalurkan impuls dari lintasan
spesifik melalui koleteral ke pusat kesadaran pada batang otak bagian atas serta meneruskannya ke
nukleus intralaminaris talami yang selanjutnya disebarkan difus ke seluruh permukaan otak14
-
16
Pada hewan, pusat kesadaran(arousal centre) terletak di rostral formasio retikularis daerah
pons sedangkan pada manusia pusat kesadaran terdapat didaerah pons, formasio retikularis daerah
mesensefalon dan diensefalon. Lintasan aspesifik ini oleh Merruzi dan Magoum disebut diffuse
ascending reticular activating system (ARAS).
Melalui lintasan aspesifik ini, suatu impuls dari perifer akan menimbulkan rangsangan pada
seluruh permukaan korteks serebri.16
Dengan adanya 2 sistem lintasan tersebut terdapatlah
penghantaran asendens yang pada pokoknya berbeda.
Lintasan spesifik menghantarkan impuls dari satu titik pada alat reseptor ke satu titik pada
korteks perseptif primer. Sebaliknya lintasan asendens aspesifik menghantarkan setiap impuls dari
titik manapun pada tubuh ke seluruh korteks serebri.Neuron-neuron di korteks serebri yang
digalakkan oleh impuls asendens aspesifik itu dinamakan neuron pengemban kewaspadaan,
sedangkan yang berasal dari formasio retikularis dan nuklei intralaminaris talami disebut neuron
penggalak kewaspadaan. Gangguan pada kedua jenis neuron tersebut oleh sebab apapun akan
menimbulkan gangguan kesadaran.14,15
Etiologi
Menurut kausa11
:
1. Kelainan otak
a. Trauma : komosio, kontusio, laserasio, hematoma epidural, hematoma subdural.
b. Gangguan sirkulasi: perdarahan intraserebral, infark otak oleh trombosis dan emboli.
c. Radang : ensefalitis, meningitis.
d. Neoplasma : primer, metastatik.
e. Epilepsi : status epilepsi.
2. Kelainan sistemik
-
17
a. Gangguan metabolisme dan elektrolit: hipoglikemia, diabetik ketoasidosis, uremia, gangguan
hepar, hipokalsemia, hiponatremia.
b. Hipoksia: penyakit paru berat, kegagalan jantung berat, anemia berat
c. toksik : keracunan CO, logam berat, obat, alkohol.
Menurut mekanisme gangguan serta letak lesi :
1. gangguan kesadaran pada lesi supratentorial.
2. gangguan kesadaran pada lesi infratentorial.
3. gangguan difus (gangguan metabolik).
Benyamin Chandra11
menggunakan istilah cemented yang merupakan huruf-huruf pertama penyebab
gangguan kesadaran.
c= circulation (gangguan sirkulasi darah).
e= ensefalomeningitis.
m=metabolisme (gangguan metabolisme).
e=elektrolit and endokrin (gangguan elektrolit dan endokrin)
n = neoplasma.
t =trauma kapitis.
e = epilepsi
d = drug intoxication.
Patofisiologi
a. Lesi Supratentorial
Pada lesi supratentorial, gangguan kesadaran akan terjadi baik oleh kerusakan langsung pada
jaringan otak atau akibat penggeseran dan kompresi pada ARAS karena proses tersebut maupun oleh
gangguan vaskularisasi dan edema yang diakibatkannya.
Proses ini menjalar secara radial dari lokasi lesi kemudian ke arah rostro-kaudal sepanjang batang
otak.14.16
Gejala-gejala klinik akan timbul sesuai dengan perjalan proses tersebut yang dimulai dengan
gejala-gejala neurologik fokal sesuai dengan lokasi lesi. Jika keadaan bertambah berat dapat timbul
sindroma diensefalon, sindroma mesensefalon bahkan sindroma ponto-meduler dan
deserebrasi.12,14,16
Oleh kenaikan tekanan intrakranial dapat terjadi herniasi girus singuli di kolong falks serebri,
herniasi transtentoril dan herniasi unkus lobus temporalis melalui insisura tentorii.14,16
b. Lesi infratentorial
Pada lesi infratentorial, gangguan kesadaran dapat terjadi karena kerusakan ARAS baik oleh
proses intrinsik pada batang otak maupun oleh proses ekstrinsik.12,16
c. Gangguan difus (gangguan metabolik)
Pada penyakit metabolik, gangguan neurologik umumnya bilateral dan hampir selalu
simetrik. Selain itu gejala neurologiknya tidak dapat dilokalisir pada suatu susunan anatomik
tertentu pada susunan saraf pusat.12
Penyebab gangguan kesadaran pada golongan initerutama akibat
kekurangan 02, kekurangan glukosa, gangguan sirkulasi darah serta pengaruh berbagai macam
toksin.16
d. Kekurangan 02
Otak yang normal memerlukan 3.3 cc 02/100 gr otak/menit yang disebut Cerebral Metabolic
Rate for Oxygen (CMR 02). CMR 02 ini pada berbagai kondisi normal tidak banyak berubah. Hanya
-
18
pada kejang-kejang CMR 02 meningkat dan jika timbul gangguan fungsi otak, CMR 02 menurun.
Pada CMR 02 kurang dari 2.5 cc/100 gram otak/menit akan mulai terjadi gangguan mental dan
umumnya bila kurang dari 2 cc 02/100 gram otak/menit terjadi koma.16
e. Glukosa
Energi otak hanya diperoleh dari glukosa. Tiap 100 gram otak memerlukan 5.5 mgr glukosa/menit.
Menurut Hinwich pada hipoglikemi, gangguan pertama terjadi pada serebrum dan kemudian
progresif ke batang otak yang letaknya lebih kaudal. Menurut Arduini hipoglikemi menyebabkan
depresi selektif pada susunan saraf pusat yang dimulai pada formasio retikularis dan kemudian
menjalar ke bagian-bagian lain.16
Pada hipoglikemi, penurunan atau gangguan kesadaran merupakan
gejala dini.
f. Gangguan sirkulasi darah
Untuk mencukupi keperluan 02 dan glukosa, aliran darah ke otak memegang peranan penting. Bila
aliran darah ke otak berkurang, 02 dan glukosa darah juga akan berkurang.
Mekanisme pingsan selama 5 menit dan sadar kembali
Akibat pukulan energi eksternal tinggi mengenai kepala getaran hebat tiba-tiba perubahan
posisi secara mendadak dari otak blokade impuls aferen aspesifik gangguan kesadaran/ pingsan
kompensasi reposisi kepala, getaran yang menghilang sadar kembali TIK makin meningkat
hematom makin membesar kecurigaan herniasi unkus lesi supratentorial dan menekan arteri
di sekitar batang otak hipoksia, hipoglikemia suplai darah dan oksigen
-
19
Gambar 2
Hematom epidural akibat perdarahan arteri meningea media,terletak antara duramater dan
lamina interna tulang pelipis. Os Temporale (1), Hematom Epidural (2), Duramater (3), Otak
terdorong kesisilain (4)
2. Patofisiologi
Pada hematoma epidural, fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah terutama
arteri meningea media masuk ke dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan berjalan di antara
durameter dan tulang di permukaan dan os temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan
hematom epidural. Desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang
kepala sehingga hematom bertambah besar.
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus temporalis
otak ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus (unkus dan sebagian
dari girus hipokampus) mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan
timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.13,14
Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus formation
retikularis(ARAS) di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat
nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan
ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini,
menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan
tanda Babinski positif.13,14
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong ke arah yang
berlawanan, menyebabkan tekanan intrakranial yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut adanya
peningkatan tekanan intrakranial, antara lain kekakuan deserebrasi, dan gangguan tanda-tanda vital
dan fungsi pernafasan.13
Sumber perdarahan :12,14
Artery meningea ( lucid interval : 2 3 jam )
Sinus duramatis
Diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi a. diploica dan vena diploica
-
20
3. Gambaran Klinis
Hematoma epidural tanpa cedera lain biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea
media. Kelainan ini pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda. Baru setelah hematom
bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan dan peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan
mengalami sakit kepala, mual dan muntah diikuti dengan penurunan kesadaran.
Gejala neurologik yang tepenting adalah pupil mata anisokor yaitu ipsilateral melebar. Pada
perjalanannya pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan
Nuclei saraf
cranial ketiga
Formation
retikularis di
medulla
oblongata
Hilang kesadaran
Dilatasi pupil
Doktrin Monro-Kellie
(tergesernya CSFdan
darah vena keluar dari
ruang intracranial
dengan volume yang
sama, TIK akan tetap
normal
Kenaikan TIK
tajam
Mekanisme
kompensasi
terlampaui
Perdarahan >>>
hematom >>>
Reflex menahan lidah hilang
Penurunan kesadaran
Cushing response : vasokonstriksi
perifer (peninggian tekanan darah
sistemik) bradikardi, pernafasan yang
melambat dan muntah
Penurunan CBF
Stridor
Duramater
meregang
Muntah
Menekan pusat
muntah di medulla
oblongata
Nyeri kepala
hebat
Pingsan 5
menit
Sadar kembali
(kompensasi)
Dipukul dengan
dayung kayu dari arah
samping dan depan
Trauma hidung
Ruptur pembuluh
darah di anterior
(pleksus
kiesselbach/a.
etmoidalis anterior
Trauma kepala
regio temporal
dextra
Fraktur tulang
Epistaksis anterior
Ruptur a.
meningea media
Penambahan masa
intrakranial
Hematoma epidural
Perdarahan
Herniasi bag.
Medial lobus di
bawah pinggiran
tentorium
Menekan sirkulasi
arteria
Gangguan
perfusi darah
otak
-
21
masih positif akan menjadi negatif. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardia. Pada tahap
akhir, kesadaran menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran
sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.
Ciri khas hematoma epidural murni adalah terdapatnya interval bebas antara saat terjadinya
trauma dan tanda pertama yang berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam.
Jika hematoma epidural disertai dengan cedera otak seperti memar otak, interval bebas tidak
akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.
Riwayat klasik pada hematoma epidural adalah setelah mengidap trauma kapitis, penderita
pingsan sebentar, lalu ia sadar kembali. Dalam masa beberapa puluhan menit sampai beberapa hari
tidak ada manifestasi yang mengejutkan. 15
Lucid interval merupakan adanya fase sadar diantara dua fase tidak sadar karena
bertambahnya volume darah. Pingsan I pada lucid interval disebabkan karena benturan langsung,
sedangkan pingsan II karena EDH. 11,12
Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada EDH. Kalau pada
SDH dan ICH yang cedera primernya hampir selalu berat atau EDH denga trauma primer berat tidak
terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase
sadar. 11,12
4. Gambaran Radiologi
Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala lebih mudah
dikenali
a. Foto Polos Kepala
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural
hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang mengalami
trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong sulcus arteria
meningea media. 16
b. Computed Tomography (CT-Scan)
Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi cedara
ntracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single) tetapi dapat pula
terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling sering di daerah
temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong
ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang
tinggi pada stage yang akut ( 60 90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari
pembuluh darah. 15,17,18
-
22
Gambar 3. Gambaran CT-Scan cranium
Soft tissue swelling (+), Gyri sulcy menghilang, Fraktur linier pada lobus temporalis sinsistra, EDH
lobus oksipital ukuran 5,5x1,5x4 cm, Ventrikel mengalami pelebaran, Cysterna tidak ada kelainan,
Midline tidak bergeser
Kesan : fraktur linier os temporal sinistra + EDH lobus temporalis sinistra
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser posisi
duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat menggambarkan
batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk
menegakkan diagnosis. 16,18,19
-
23
Gambar 4. Gambaran MRI Hematoma Epidural
5. DIAGNOSIS BANDING
a. Hematoma subdural
Hematoma subdural terjadi akibat pengumpulan darah diantara dura mater dan
arachnoid. Secara klinis hematoma subdural akut sukar dibedakan dengan hematoma epidural
yang berkembang lambat. Bisa disebabkan oleh trauma hebat pada kepala yang menyebabkan
bergesernya seluruh parenkim otak mengenai tulang sehingga merusak a. kortikalis. Biasanya
di sertai dengan perdarahan jaringan otak. Gambaran CT-Scan hematoma subdural, tampak
penumpukan cairan ekstraaksial yang hiperdens berbentuk bulan sabit. 11,16
Gambar 5. Hematoma Subdural Akut
b. Hematoma Subarachnoid
Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh darah di
dalamnya. 11,16
Gambar 6. Kepala panah menunjukkan hematoma subarachnoid, panah hitam menunjukkan
-
24
hematoma subdural dan panah putih menunjukkan pergeseran garistengah ke kanan
6. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan awal di TKP
periksa apakah pasien sadar atau tidak.
jika pasien dalam keadaan tidak sadar, periksa denyut nadi.
masih teraba denyut nadi, lakukan pertolongan dengan system ABCDE sambil
mencari pertolongan dan mengusahakan unutk membawa pasien ke RS terdekat.
Airway :
1. posisikan pasien untuk membuka jalan nafas dengan jaw trush maneuver,chin
lead dan head lead, bersihkan jalan nafas
2. miring kan ke satu sisi untuk membersihkan jalan nafas (hidung) yang berisi
darah.
3. Pasang chollar neck
Breathing :
1. Look, Listen, Feel
2. Pantau terus fungsi pernafasannya
Circulation: Pantau terus TD,HR selama perjalanan ke RS, jika terjadi cardiac arrest
lakukan kompresi.
Pada kasus, fungsi Beathing pasien masih bagus, dan Denyut nadi masih teraba, jadi
setelah jalan nafas dibersihkan, dan dipasang chollar neck segera bawa ke RS
terdekat.
Pemeriksaan
Hal terpenting yang pertama kali dinilai ialah status fungsi vital dan status kesadaran
pasien. Ini harus dilakukan sesegera mungkin bahkan mendahului anamnesis yang teliti
1) Primary survey
Seperti halnya kasus kedaruratan lainnya, hal terpenting yang dinilai ialah :
a) Jalan nafas airway
b) Pernafasan breathing
c) Nadi dan tekanan darah circulation
Jalan nafas harus segera dibersihkan dari benda asing, lendir atau darah, bila perlu
segera dipasang pipa naso/orofaring; diikuti dengan pemberian oksigen. Manipulasi leher
hams berhati-hati bila ada riwayat/dugaan trauma servikal (whiplash injury), jamb dengan
kepala di bawah atau trauma tengkuk. Pemantauan fungsi sirkulasi dilakukan untuk menduga
adanya shock, terutama bila terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax,
trauma abdomen, fraktur ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai
dengan me-lambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal peninggian tekanan
intrakranial, yang biasanya dalam fase akut disebabkan oleh hematoma epidural.
2) Pemeriksaan neurologis
Dewasa ini penilaian status kesadaran secara kualitatif, terutama pada kasus cedera
kepala sudah mulai ditinggalkan karena subyektivitas pemeriksa; stilah apatik, somnolen,
sopor, coma, sebaiknya dihindari atau disertai dengan penilaian kesadaran yang lebih
-
25
obyektif, terutama dalam keadaan yang memerlukan penilaian/perbandingan secara ketat.
Cara penilaian kesadaran yang luas digunakan ialah dengan Skala Koma Glasgow. Melalui
cara ini pula, perkembangan/perubahan kesadaran dari waktu ke waktu dapat diikuti secara
akurat.
Skala Koma Glasgow
Skala Koma Glasgow adalah berdasarkan penilaian/pemeriksaan atas tiga parameter, yaitu :
a. Buka mata.
b. Respon motorik terbaik.
c. Respon verbal terbaik
Skala Koma Glasgow
a. Reaksi membuka mata
4 Buka mata spontan
3 Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara
2 Buka mata bila dirangsang nyeri
1 Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
b. Reaksi berbicara
5 Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
4 Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang
3 Dengan rangsangan, reaksi hanya kata, tak berbentuk kalimat
2 Dengan rangsangan, reaksi hanya suara, tak terbentuk kata
1 Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
c.Reaksi gerakan lengan/tungkai
6 Mengikuti perintah
5 Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan
4 Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan
3 Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal
2 Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal
1 Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi
3) Secondary survey
Pemeriksaan neurologis serial (DCS, lateralisasi, dan refleks pupil) harus.
Pemeriksaan neurologis serial (DCS, lateralisasi, dan refleks pupil) harus selalu dilakukan
untuk deteksi dini gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal (unkus)
adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Adanya trauma langsung
pada mata sering merupakan penyebab abnormalitas respon pupil dan dapat membuat
pemeriksaan pupil menjadi sulit.
4) Prosedur Diagnostik
Pemeriksaan CT scan harus segera dilakukan secepat mungkin, segera setelah
hemodinamika normal. Pemeriksaan CT scan ulang harus dikerjakan jika terjadi perubahan
status klinik penderita dan secara rutin 12-24 jam setelah trauma bila dijumpai gambaran
kontusio atau hematoma pada CT scan awal.
Angiografi pada penderita dengan kelainan neurologis dapat dilakukan bila tidak
terdapat CT scan.
-
26
Setelah mendapatkan tatalaksana awal primary survey di UGD, jaga terus agar pasien tetap
stabil dan setelah pasien stabil segera rujuk ke bedah saraf untuk dilakukan tatalaksana
terhadap cedera kepalanya.
Penanganan pasien saat ini (tidak sadar) melanjutkan tatalaksana awal yang terlalu
dilakukan pada saan pasien tiba di UGD
Airway : pasang EET
Breathing : Tetap beri oksigen 10-12 liter/menit
Circulation : resusitasi cairan dengan Ringer Laktat terus dilakukan, evaluasi terus
tanda vital
Disabillity : evaluasi GCS, refleks pupil.
Exposure: Cari lebih lanjut perdarahan yang mungkin terjadi.
Pengobatan17
1) Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang dapat
menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa naso/orofaringeal dan
pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka jalur intravena : guna-kan
cairan NaCl 0,9% atau Dextrose in saline.
2) Mengurangi edema otak
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
a) Cairan intravena
Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap
dalam keadaan normovolemia. Keadaan hipovolemia pada pasien sangatlah berbahaya.
Namun harus diperhatikan untuk tidak meberikan cairan yang berlebihan. Jangan
berikan cairan hipotoni. Pengguaan cairan yang mengandung glukosa dapat
menyebabkan hiperglikemia yang erakibat buruk pada otak yang cedera. Karena itu
cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam fisiologis atau ringer laktat.
Kadar natrium serum juga harus dipertahankan untuk mencegah terjadinya edema otak.
Strategi terbaik adalah mempertahankan volume intravaskular normal dan hindari
hipoosmolalitas, dengan cairan isotonik. Saline hipertonik bisa digunakan untuk
mengatasi hiponatremia yang bisa menyebabkan edem otak.
b) Hiperventilasi.
Bertujuan untuk menurunkan PCO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi
pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan
metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat
diperiksa, PCO2 dipertahankan > 100 mmHg dan PCO2di antara 25-30 mmHg.
c) Cairan hiperosmoler.
Umumnya digunakan cairan Manitol 10-15% per infus untuk "menarik" air dari
ruang intersel ke dalam ruang intravaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui
diuresis. Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol hams diberikan dalam dosis
yang cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan: 0,51 gram/kg BB dalam 10-30
menit. Cara ini berguna pada kasus-kasus yang menunggu tindakan bedah. Pada kasus
biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek rebound; mungkin dapat dicoba diberikan
kembali (diulang) setelah beberapa jam atau keesokan harinya.
-
27
d) Kortikosteroid.
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa waktu
yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid
tidak/kurang bermanfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan pada
asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak. Dosis parenteral yang pernah
dicoba juga bervariasi : Dexametason pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus
yang diikuti dengan 4 dd 4 mg. Selain itu juga Metilprednisolon pernah digunakan
dengan dosis 6 dd 15 mg dan Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg.
e) Barbiturat.
Digunakan untuk mem"bius" pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan
serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan
yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kemsakan akibat hipoksi,
walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan
yang ketat.
f) Cara lain
Pada 24-48 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 1500-2000 ml/24 jam
agar tidak memperberat edema jaringan. Ada laporan yang menyatakan bahwa posisi
tidur dengan kepala (dan leher) yang diangkat 30 akan menurunkan tekanan
intrakranial. Posisi tidur yang dianjurkan, terutama pada pasien yang berbaring lama,
ialah kepala dan leher diangkat 30, sendi lutut diganjal, membentuk sudut 150, telapak
kaki diganjal, membentuk sudut 90 dengan tungkai bawah.
3) Obat-obat Neurotropik
Dewasa ini banyak obat yang dikatakan dapat membantu mengatasi kesulitan/gangguan
metabolisme otak, termasuk pada keadaan koma.
a) Piritinol
Piritinol merupakan senyawa mirip piridoksin (vitamin B6) yang dikatakan
mengaktivasi metabolisme otak dan memperbaiki struktur serta fungsi membran sel.
Pada fase akut diberikan dalam dosis 800-4000 mg/hari lewat infus. Tidak dianjurkan
pemberian intravena karena sifatnya asam sehingga mengiritasi vena.
b) Piracetam
Piracetam merupakan senyawa mirip GABA - suatu neurotransmitter penting di
otak. Diberikan dalam dosis 4-12 gram/ hari intravena.
c) Citicholine
Disebut sebagai koenzim pembentukan lecithin di otak. Lecithin sendiri
diperlukan untuk sintesis membran sel dan neurotransmitter di dalam otak. Diberikan
dalam dosis 100-500 mg/hari intravena.
Terapi Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat : 12
Volume hamatom > 30 ml ( kepustakaan lain > 44 ml)
Keadaan pasien memburuk
Pendorongan garis tengah > 3 mm
Penanganan darurat dengan dekompresi dengan trepanasi sederhana (boor hole). Dilakukan
craniotomy untuk mengevakuasi hematom. Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah
-
28
untuk life saving dan untuk fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka
operasinya menjadi operasi emergenci. Biasanya keadaan emergenci ini di sebabkan oleh lesi
desak ruang.12
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
25 cc desak ruang supra tentorial
10 cc desak ruang infratentorial
5 cc desak ruang thalamus
Sedangkan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan :
Penurunan klinis
Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan
klinis yang progresif.
Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan klinis
yang progresif
7. Prognosis
Prognosis tergantung pada
Lokasinya ( infratentorial lebih jelek
Besarnya
Kesadaran saat masuk kamar operasi
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena kerusakan
otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar antara 7-15% dan kecacatan
pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami koma sebelum
operasi
8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita trauma kepala dengan perdarahan epidural
adalah:
a. koma
b. deficit neurologis
c. kompresi batang otak
d.edema serebri
e.kematian
9. Kompetensi Dokter Umum 3B
G. EPISTAKSIS
1. Definisi
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung; merupakan suatu tanda atau keluhan bukan
penyakit(1,2,3). Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat menjengkelkan dan
mengganggu, dan dapat pula mengancam nyawa. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk
mengobati epistaksis secara efektif(2,4,7,10).
2. Etiologi
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa hidung.
Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus Kiesselbach (area Little).
Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan
mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis(7).
-
29
Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik(2,3,4,10).
1) Lokal
a) Trauma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya mengeluarkan sekret dengan kuat,
bersin, mengorek hidung, trauma seperti terpukul, jatuh dan sebagainya. Selain itu iritasi oleh
gas yang merangsang dan trauma pada pembedahan dapat juga menyebabkan epistaksis.
b) Infeksi
Infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik, seperti lupus,
sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis.
c) Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten, kadang-
kadang ditandai dengan mucus yang bernoda darah, Hemongioma, karsinoma, serta
angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat.
d) Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan telangiektasis
heriditer (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Oslers disease). Pasien ini juga menderita
telangiektasis di wajah, tangan atau bahkan di traktus gastrointestinal dan/atau pembuluh
darah paru.
e) Sebab-sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum. Perforasi septum nasi atau
abnormalitas septum dapat menjadi predisposisi perdarahan hidung. Bagian anterior septum
nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang
cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha
melepaskan dengan jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang
menyebabkan erosi membrana mukosa septum dan kemudian perdarahan.
f) Pengaruh lingkungan
Misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan udaranya
sangat kering.
2) Sistemik
a) Kelainan darah misalnya trombositopenia, hemofilia dan leukemia.
b) Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, nefritis kronik, sirosis
hepatis, sifilis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi
biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.
c) Biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza, morbili, demam tifoid.
d) Gangguan endokrin
Pada wanita hamil, menarche dan menopause sering terjadi epistaksis, kadang-kadang
beberapa wanita mengalami perdarahan persisten dari hidung menyertai fase menstruasi.
Lokasi epistaksis
Menurunkan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang sukar ditanggulangi(3).
Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan posterior.
1) Epistaksis anterior
-
30
Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anak-anak dan biasanya
dapat berhenti sendiri.Perdarahan pada lokasi ini bersumber dari pleksus Kiesselbach (little
area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum bagian anterior tepat di ujung
postero superior vestibulum nasi.
Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan konkha inferior. Mukosa pada daerah ini sangat
rapuh dan melekat erat pada tulang rawan dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek
pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi
patologik lainnya dan selanjutnya akan menimbulkan perdarahan
2) Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Perdarahan
cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan anemia,
hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular(3,5,6,9).
Gambaran klinis dan pemeriksaan
Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang hidung.
Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung
yang terbanyak mengeluarkan darah(7).
Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang
memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi
sisi dalam hidung. Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua
kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan
semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab
perdarahan(5,9). Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan
anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin
1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh
darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk sementara(5,9). Sesudah 10 sampai 15 menit kapas
dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau secret berdarah dari hidung yang bersifat
kronik memerlukan focus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif
yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan.
Pemeriksaan yang diperlukan berupa:(5,9)
a) Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa
hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkhainferior harus diperiksa dengan
cermat.
b) Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis
berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.
c) Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat
menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.
d) Rontgen sinus
Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi.
e) Skrining terhadap koagulopati
-
31
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah
platelet dan waktu perdarahan.
f) Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang mendasari
epistaksis.
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan epistaksis adalah untuk menghentikan perdarahan.
Hal-hal yang penting adalah(1):
1. Riwayat perdarahan sebelumnya.
2. Lokasi perdarahan.
3. Apakah darah terutama mengalir ke tenggorokan (ke posterior) atau keluar dari hidung depan
(anterior) bila pasien duduk tegak.
4. Lamanya perdarahan dan frekuensinya
5. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
6. Hipertensi
7. Diabetes melitus
8. Penyakit hati
9. Gangguan koagulasi
10. Trauma hidung yang belum lama
11. Obat-obatan, misalnya aspirin, fenil butazon
Pengobatan disesuaikan dengan keadaan penderita, apakah dalam keadaan akut atau tidak(3,10).
a) Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bila penderita
sangat lemah atau keadaaan syok.
b) Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan dengan cara
duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama
beberapa menit.
c) Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang telah dibasahi dengan
adrenalin dan pantokain/lidokain, serta bantuan alat penghisap untuk membersihkan bekuan
darah.
d) Pada epistaksis anterior jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik
dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam trikloroasetat 10% atau dengan elektrokauter.
e) Sebelum kaustik diberikan analgesia topikal terlebih dahulu.
f) Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan pemasangan
tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat
antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita
dengan lebar kurang cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga
hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapat dipertahankan
selama 1-2 hari.
g) Perdarahan posterior
Diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan
ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah
lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus menutup koana (nares posterior)
-
32
Teknik Pemasangan
Untuk memasang tampon Bellocq, dimasukkan kateter karet melalui nares anterior sampai
tampak di orofaring dan kemudian ditarik ke luar melalui mulut. Ujung kateter kemudian diikat pada
dua buah benang yang terdapat pada satu sisi tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar
hidung.
Benang yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk tangan yang
lain membantu mendorong tampon ini ke arah nasofaring. Jika masih terjadi perdarahan dapat
dibantu dengan pemasangan tampon anterior, kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang
diletakkan di tempat lubang hidung sehingga tampon posterior terfiksasi.
Sehelai benang lagi pada sisi lain tampon Bellocq dikeluarkan melalui mulut (tidak boleh
terlalu kencang ditarik) dan diletakkan pada pipi. Benang ini berguna untuk menarik tampon keluar
melalui mulut setelah 2-3 hari. Setiap pasien dengan tampon Bellocq harus dirawat.
Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter Foley dengan balon. Balon
diletakkan di nasofaring dan dikembangkan dengan air. Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat
dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan tampon posterior. Untuk itu pasien harus
dirujuk ke rumah sakit.
-
33
DAFTAR PUSTAKA
Adam GL, Boies LR, Higler PA. (eds) Buku Ajar Penyakit THT, Edisi Keenam, Philadelphia :
WB Saunders, 1989. Editor Effendi H. Cetakan III. Jakarta, Penerbit EGC, 1997.
Al Fauzi, Asra. Penanganan Cedera Kepala Di Puskesmas. (access 2010 Nov 20). Available
from URL : http://stetoskopmerah.blogspot.com/search/label/cermin%20dunia%20kedokteran
American College Surgeon. Advanced Trauma Life Support Edisi Ketujuh. United States of
America, 2004.
Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4, Anugrah P. EGC,
Jakarta,1995, 1014-1016
Anonym, Epidural hematoma,www.braininjury.com/epidural-subdural-hematoma.html.
Anonym. Cedera kepala. (access 2010 Nov 26). Available from URL :
http://74.125.153.132/search?q=cache:UPDmMAULAGMJ:rusari.com/ASKEP_CKB.doc+subdural
+hematoma+prognosis&cd=6&hl=id&ct=clnk&gl=id
Anonym. Chirugica. Tosca Enterprise, Yogyakarta. 2005
Arif Mansjoer dkk Editor, Trauma Susunan Saraf dalam Kapita Selekta Kedokteran edisi
Ketiga jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta, 2000
Dahnert W, MD, Brain Disorders, Radioogy Review Manual, second edition, Williams &
Wilkins, Arizona, 1993, 117 178
De Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta. 2006.
Edisson , Sahat. Diktat bedah : Neurotrauma. Bagian ilmu Bedah . FK UNSRI
Ellis, Harold. Applied anatomy for students and junior doctors. Eleventh edition. Blackwell
Publishing. 2006.
Harsono, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada Universiti Press, Yogyakarta, 2005
Hasan Sjahrir, Ilmu Penyakit Saraf Neurologi Khusus, Dian Rakyat, Jakarta, 2004
Japardi, Iskandar. Cedera Kepala. BIP. Jakarta. 2004
Mahar Mardjono, Priguna Sidharta, Neurologi Klinis Dasar, dian Rakyat, Jakarta, 2004
Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, 2005, 314
Mc.Donald D., Epidural Hematoma, www.emedicine.com
Riyanto, Budi. Penatalaksanaan Fase Akut Cedera Kepala. Cermin Dunia Kedokteran 1997; no
77.
Santos, Perry M., Lepore, Michael Leo. (2001). Epistaxis. Dalam : Byron J. Head and Neck
Surgery-otolaryngology. Volume 2 . Third Edition . Philadelphia : JB Lippincott Company
Sidharta, Priguna. Neurologi Klinis dalam praktek Umum. Dian Rakyat, Jakarta. 2004
Snell, S Richard. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Bagian 3. alih bahasa dr.Jan
Tambayong. 1997. EGC.
Soertidewi L. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranio Serebral, Updates In
Neuroemergencies, Tjokronegoro A., Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2002, 80
Sutton D, Neuroradiologi of The Spine, Textbook of Radiology and Imaging, fifth edition,
Churchill Living Stone, London,1993, 1423
Sylvia, A Price dan Wilson M Lorraine. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses Penyakit.
EGC. Jakarta. 2006. p: 1167-1174