148154344-skenario-b-blok-19

33
1 Skenario B Blok 19 Dengan ditemani polisi, Bujang 25 tahun datang ke RSUD dengan keluhan luka dan memar di kepala sebelah kanan. 1 jam sebelum masuk RS kepala penderita dipukul oleh temannya dengan menggunakan dayung kayu dari arah samping dan depan. Penderita pingsan kurang lebih 5 menit kemudian sadar kembali. Dan melaporkan kejadian ini ke kantor polisi terdekat. Pada saat tiba di RSUD, penderita mengeluh nyeri kepala hebat disertai muntah. Dari hasil pemeriksaan didapatkan : RR : 28 x/menit, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi : 50x/menit, GCS : E4 M6 V5 pupil isokor, reflex cahaya : pupil kanan reaktif, pupil kiri reaktif. Regio temporal dekstra : tampak luka dekstra ukuran 6x1 cm, tepi tidak rata, sudut tumpul dengan dasar fraktur tulang. Regio nasal : tampak darah segar mengalir dari kedua lubang hidung. Tak lama setelah selesai dilakukan pemeriksaan, tiba-tiba pasien tidak sadarkan diri. Dari hasil pemeriksaan pada saat terjadi penurunan kesadaran didapatkan : Pasien ngorok, RR 24x/menit, nadi 50x/menit, tekanan darah 140/90 mmHg, GCS : E2M5V3, pupil anisokor dekstra, reflek cahaya pupil kanan negative, refleks cahaya pupil kiri reaktif / normal. Pada saat itu anda merupakan dokter jaga UGD di RSUD tersebut dibantu oleh 3 orang perawat. I. Klarifikasi Istilah 1. Memar : jejas pada suatu bagian tanpa pemecahan kulit 1 2. Pupil isokor : kesamaan ukuran pupil (tempat masuknya cahaya pada mata) pada kedua mata 1 3. Nyeri kepala hebat : nyeri kepala yang tidak terhankan. 4. Pingsan : hilangnya kesadaran sementara waktu yang disebabkan oleh iskemia serebral umum. 1 5. Muntah : pengeluaran isi lambung melalui mulut 1 6. Pupil anisokor : perbedaan diameter pupil lebih dari 1 mm. 1 7. Regio temporal dextra : daerah pelipis kanan 8. Reflex cahaya pupil : refleks pupil yang miosis/mengecil jika diberi cahaya dari jarak dekat. 9. Ngorok : pernafasan kasar biasanya karena lidah jatuh ke posterior menutupi jalan nafas. II. Identifikasi Masalah 1. Bujang, 25 tahun, mengalami luka dan memar di kepala sebelah kanan 2. Satu jam yang lalu: - Dipukul menggunakan dayung kayu dari arah samping dan depan. - Pingsan kurang lebih 5 menit kemudian sadar kembali 3. Saat tiba di RSUD, penderita mengeluh nyeri kepala hebat disertai muntah 4. Hasil pemeriksaan awal didapatkan : RR 28 x/menit, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 50x/menit, GCS E4 M6 V5, pupil isokor, reflex cahaya: pupil kanan reaktif, pupil kiri reaktif.

Upload: harunakbar

Post on 18-Dec-2015

36 views

Category:

Documents


22 download

DESCRIPTION

148154344-Skenario-B-Blok-19

TRANSCRIPT

  • 1

    Skenario B Blok 19

    Dengan ditemani polisi, Bujang 25 tahun datang ke RSUD dengan keluhan luka dan memar

    di kepala sebelah kanan. 1 jam sebelum masuk RS kepala penderita dipukul oleh temannya dengan

    menggunakan dayung kayu dari arah samping dan depan. Penderita pingsan kurang lebih 5 menit

    kemudian sadar kembali. Dan melaporkan kejadian ini ke kantor polisi terdekat. Pada saat tiba di

    RSUD, penderita mengeluh nyeri kepala hebat disertai muntah.

    Dari hasil pemeriksaan didapatkan :

    RR : 28 x/menit, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi : 50x/menit, GCS : E4 M6 V5 pupil isokor,

    reflex cahaya : pupil kanan reaktif, pupil kiri reaktif. Regio temporal dekstra : tampak luka dekstra

    ukuran 6x1 cm, tepi tidak rata, sudut tumpul dengan dasar fraktur tulang. Regio nasal : tampak darah

    segar mengalir dari kedua lubang hidung.

    Tak lama setelah selesai dilakukan pemeriksaan, tiba-tiba pasien tidak sadarkan diri. Dari

    hasil pemeriksaan pada saat terjadi penurunan kesadaran didapatkan :

    Pasien ngorok, RR 24x/menit, nadi 50x/menit, tekanan darah 140/90 mmHg, GCS : E2M5V3, pupil

    anisokor dekstra, reflek cahaya pupil kanan negative, refleks cahaya pupil kiri reaktif / normal.

    Pada saat itu anda merupakan dokter jaga UGD di RSUD tersebut dibantu oleh 3 orang

    perawat.

    I. Klarifikasi Istilah

    1. Memar : jejas pada suatu bagian tanpa pemecahan kulit1

    2. Pupil isokor : kesamaan ukuran pupil (tempat masuknya cahaya pada mata) pada

    kedua mata1

    3. Nyeri kepala hebat : nyeri kepala yang tidak terhankan.

    4. Pingsan : hilangnya kesadaran sementara waktu yang disebabkan oleh

    iskemia serebral umum.1

    5. Muntah : pengeluaran isi lambung melalui mulut 1

    6. Pupil anisokor : perbedaan diameter pupil lebih dari 1 mm.1

    7. Regio temporal dextra : daerah pelipis kanan

    8. Reflex cahaya pupil : refleks pupil yang miosis/mengecil jika diberi cahaya dari jarak

    dekat.

    9. Ngorok : pernafasan kasar biasanya karena lidah jatuh ke posterior menutupi

    jalan nafas.

    II. Identifikasi Masalah

    1. Bujang, 25 tahun, mengalami luka dan memar di kepala sebelah kanan

    2. Satu jam yang lalu:

    - Dipukul menggunakan dayung kayu dari arah samping dan depan.

    - Pingsan kurang lebih 5 menit kemudian sadar kembali

    3. Saat tiba di RSUD, penderita mengeluh nyeri kepala hebat disertai muntah

    4. Hasil pemeriksaan awal didapatkan :

    RR 28 x/menit, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 50x/menit, GCS E4 M6 V5, pupil isokor,

    reflex cahaya: pupil kanan reaktif, pupil kiri reaktif.

  • 2

    Regio temporal dekstra: tampak luka dekstra ukuran 6x1 cm, tepi tidak rata, sudut tumpul

    dengan dasar fraktur tulang. Regio nasal : tampak darah segar mengalir dari kedua lubang

    hidung.

    5. Tak lama setelah selesai dilakukan pemeriksaan, tiba-tiba pasien tidak sadarkan diri.

    6. Hasil pemeriksaan pada saat terjadi penurunan kesadaran didapatkan :

    Pasien ngorok, RR 24x/menit, nadi 50x/menit, tekanan darah 140/90 mmHg, GCS E2M5V3,

    pupil anisokor dekstra, reflek cahaya pupil kanan negative, refleks cahaya pupil kiri reaktif /

    normal.

    III. Analisis Masalah

    1. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari kepala? Penjelasan pada sintesis.

    2. Bagaimana biomekanika terjadinya trauma pada kasus ini?

    3. Bagian regio mana pada kepala yang berpotensi mengalami cedera?

    4. Bagaimana mekanisme pingsan 5 menit dan sadar kembali?

    5. Bagaiman mekanisme nyeri kepala dan muntah, serta hubungannya dengan trauma kepala?

    6. Apa interpretasi dan mekanisme dari pemeriksaaan pertama:

    7. Bagaimana interpretasi dari penurunan kesadaran beruntun (sadar-pingsan-sadar-pingsan)?

    8. Bagaimana interpretasi dan mekanisme dari perubahan pada pemeriksaan kedua:

    9. Bagaimana penatalaksaan awal / initial assessment pada kasus?

    10. Bagaimana penanganan pre hospital / yang harus dilakukan dokter saat perujukan ke UGD?

    11. Bagaimana penanganan pasien saat ini / penanganan akhir pada pasien?

    12. Apa saja pemeriksaan tambahan yang diperlukan pada pasien?

    13. Bagiamana kriteria rujukan pada pasien ini?

    14. Apa saja differential diagnosis pada kasus?

    15. Apa diagnosis yang ditegakkan dan bagaimana cara diagnosisinya?

    16. Bagaimana epidemiologi kejadian pada kasus ini?

    17. Bagaimana patofisiologi pada kasus tersebut?

    18. Apa prognosis pasien Bujang?

    19. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi pada kasus?

    20. Apa kompetensi dokter umum pada kasus ini?

    IV. Hipotesis

    Bujang, 25 tahun mengalami trauma capitis pada regio temporal dextra dengan gejala lucid

    interval et causa epidural hematoma, fraktur os temporal, disertai epistaksis anterior.

  • 3

    V. Kerangka Konsep

    Bujang, laki-laki 25

    tahun

    Dipukul dengan

    dayung kayu dari arah

    samping dan depan

    Trauma hidung

    Ruptur pembuluh

    darah di anterior

    (pleksus

    kiesselbach/a.

    etmoidalis anterior

    Trauma kepala

    regio temporal

    dextra

    Fraktur tulang

    Epistaksis anterior

    Ruptur a.

    meningea media

    Doktrin Monro-

    Kellie

    Penambahan masa

    intrakranial

    Hematoma epidural

    Perdarahan

    Herniasi bag.

    Medial lobus di

    bawah pinggiran

    tentorium

    Kenaikan TIK

    tajam

    Mekanisme

    kompensasi

    terlampaui

    Perdarahan >>>

    hematom >>>

    Nuclei saraf

    cranial ketiga

    Menekan sirkulasi

    arteria

    Gangguan

    perfusi darah

    otak

    Penurunan kesadaran

    Cushing response : vasokonstriksi

    perifer (peninggian tekanan darah

    sistemik) bradikardi, pernafasan yang

    melambat dan muntah

    Penurunan CBF

    Formation

    retikularis di

    medulla

    oblongata

    Hilang kesadaran

    Dilatasi pupil

    Stridor

    Muntah

    Nyeri kepala

    hebat

    Pingsan 5

    menit

    Sadar kembali

    (kompensasi)

    Lucid

    interval

  • 4

    VI. Learning Issue

    A. ANATOMI FISIOLOGI

    1. Kulit Kepala

    a. SCALP

    Kulit kepala terdiri atas lima lapis, tiga lapisan yang pertama saling melekat dan bergerak

    sebagai sebuah unit. Untuk membantu mengingat nama kelima lapisan kulit kepala tersebut,

    gunakan setiap huruf dari SCALP (=kulit kepala) untuk menunjukkan lapisan kulit kepala

    Skin : kulit, tebal dan berambut, dan mengandung banyak kelenjar sebacea

    Connective tissue : jaringan ikat di bawah kulit, yang merupakan jaringan lemak fibrosa.

    Septa fibrosa menghubungkan kulit dengan aponeurosis m.occipitofrontalis. Pada lapisan

    ini terdapat banyak pembuluh arteri dan vena. Arteri merupakan cabang-cabang dari a.

    carotis externa dan interna, dan terdapat anastomosis yang luas di antara cabang-cabang

    ini.

    Aponeurosis (epicranial), merupakan lembaran tendo yang tipis, yang menghubungkan

    venter occipitale dan venter frontale m.occipitofrontalis. Pinggir lateral aponeurosis

    melekat pada fascia temporalis.

    Spatium subapomeuroticum adalah ruang potensial di bawah aponeurosis epicranial.

    Dibatasi di depan dan belakang oleh origo m.occipitofrontalis dan melah ke lateral sampai

    ke tempat perlekatan aponeurosis pada fascia temporalis

    Loose areolar tissue : jaringan ikat, yang mengisi spatium subaponeuroticum dan secara

    longgar menghubungkan cranium (pericranium). Jaringan areolar ini mengandung

    beberapa arteri kecil, dan juga beberapa vv.emissaria yang penting. Vv.emissaria tidak

    berkatup dan menghubungkan vena-vena superificial kulit kepala dengan vv.diploicae

    tulang tengkorak dan dengan sinus venosus intracranialis.

    Pericranium, merupakan periosteum yang menutupi permukaan luar tulang tengkorak.

    Perlu diingat bahwa sutura di antara tulang tulang tengkorak dan periosteum pada

    permukaan luar tulang berlanjut dengan periosteum pada permukaan dalam tulang-tulang

    tengkorak.

    b. Otot-otot Kulit Kepala

    M.Occipitofrontalis

  • 5

    Origo : otot ini mempunyai empat venter, dua occipitalis dan dua frontalis, yang

    dihubungkan oleh aponeurosis. Setiap venter occipitalis berasal dari linea nuchalis

    suprema ossis occipitale dan berjalan ke depan untuk melekat pada aponeurosis. Setiap

    venter frontalis berasal dari kulit dan fascia superficialis alis mata, berjalan ke belakang

    untuk melekat pada aponeurosis.

    Persarafan : venter occipitalis dipersarafi oleh ramus auricularis n.facialis, venter frontalis

    dipersarafi oleh ramus temporalis n.facialis

    Fungsi : ketiga lapisan pertama kulit kepala dapat bergerak ke depan dan belakang,

    jaringan ikat longgar dari lapisan keempat kulit kepala memungkinkan aponeurosis

    bergerak di atas pericranium. Venter frontalis dapat menaikkan alis mata seperti pada

    ekspresi keheranan dan ketakutan.

    c. Persarafan Sensorik Kulit Kepala

    Truncus utama saraf sensorik terletak pada fascia superficialis. Dari anterior di garis

    tengah menuju ke lateral ditemukan saraf-saraf berikut ini :

    N.supratrochlearis, cabang dari divisi ophtalmica n.trigeminus, membelok di sekitar

    margo superior orbitalis dan berjalan ke depan di atas dahi. Mempersarafi kulit kepala ke

    arah belakang sampai ke vertex. N.zygomaticotemporalis, cabang dari divisi maxillaris

    n.trigeminus, mempersarafi kulit kepala di atas pipi.N.auriculotemporales, cabang dari

    divisi mandibula n.trigeminus, berjalan ke atas di samping kepala dari depan aurikula.

    Cabang terakhirnya mempersarafi kulit daerah temporal. N.occipitalis minor, cabang dari

    plexus cervicalis (C2), mempersarafi kulit kepala di bagian lateral regio occipitale dan kulit

    di atas permukaan medial auricula. N.occipitalis major, cabang dari ramus posterior

    n.cervicalis kedua, berjalan ke atas di belakang kepala dan mempersarafi kulit sampai ke

    depan sejauh vertex cranii.

    d. Pendarahan Kulit Kepala

    Kulit kepala mempunyai banyak suplai darah untuk memberi makanan ke folikel

    rambut, dan oleh karena itu, luka kecil akan menyebabkan perdarahan yang banyak. Arteri

    terletak di dalam fascia superficialis. Dari arah anterior ke lateral, ditemukan arteri-arteri

    berikut ini :

    A. supratrochlearis dari a.supraorbitalis, cabang-cabang a.ophthalmica, berjalan ke

    atas melalui dahi bersama dengan n.supratrochlearis dan n.supraorbitalis.

    A.temporalis superficialis, cabang terminal kecil a.carotis externa, berjalan di depan

    auricula bersama dengan n.auriculotemporalis. arteri ini bercabang dua, ramus anterior

    dan posterior yang mendarahi kulit di daerah frontal dan temporal.

    A.auricularis posterior cabang a.caroti externa, naik di belakang telinga dan

    mendarahi kulit kepala di atas dan belakang telinga.

    A.occipitalis, sebuah cabang a.carotis externa, berjalan ke atas dari puncak trigonum

    posterior bersama dengan n.occipitalis major. Pembuluh ini mendarahi kulit di belakang

    kepala sampai ke vertex cranii.

    e. Aliran Vena Kulit Kepala

    V.supratrochlearis dan v.supraorbitalis bersatu di pinggir medial orbita untuk

    membentuk v.facialis. V.temporalis superficialis bersatu dengan v.maxillaris di dalam

    substansi glandula parotidea untuk membentuk v.retromandibularis. V.auricularis posterior

  • 6

    bersatu denga divisi posterior v.retromandibularis, tepat di bawah glandula parotidea, untuk

    membentuk v.jugularis externa. V.occipitalis bermuara ke plexus venosus suboccipitalis,

    yang terletak di dasar bagian atas trigonum posterior, kemudian plexus bermuara ke dalam

    v.vertebralis atau v.jugularis interna. Vena-vena di kulit kepala beranastomosis luas satu

    dengan yang lain, dihubungkan ke vv.diploicae tulang tengkorak dan sinus venosus

    intracranial oleh Vv.emissariae yang tidak berkatup.

    2. Cavum Cranii

    Cavum cranii berisi otak dan meningen yang membungkusnya, bagian saraf otak, arteri,

    vena dan sinus venosus.

    a. Calvaria

    Permukaan dalam calvaria memperlihatkan sutura coronalis, sagitalis, lambdoidea. Pada

    garis tengah terdapat sulcus sagittalis yang dangkal untuk tempat sinus sagittalis superior. Di

    kanan dan kiri sulcus terdapat beberapa lubang kecil, disebut foveae granulares yang menjadi

    tempat lacunae laterales dan granulationes arachnoidales. Didapatkan sejumlah alur dangkal

    untuk divisi anterior dan poesterior a. et v.meningea media sewaktu keduanya berjalan di sisi

    tengkorak menuju calvaria.

    b. Basis Cranii

    Bagian dalam basis cranii dibagi dalam tiga fossa yaitu fossa cranii anterior, media, dan

    posterior. Fossa cranii anterior dipisahkan dari fossa cranii media oleh ala minor ossis

    sphenoidalis, dan fossa cranii media dipisahkan dari fossa cranii posterior oleh pars petrosa ossis

    temporalis.

    1) Fossa Cranii Anterior

    Fossa cranii anterior menampung lobus frontalis cerebri. Dibatasi di anterior oleh

    permukaan dalam os.frontale, dan di garis tengah terdapat crista untuk tempat melekatnya falx

    cerebri. Batas posteriornya adalah ala minor ossis sphenoidalis yang tajam dan bersendi di lateral

    dengan os frontale dan bertemu dengan angulus anteroinferior os parietale atau pterion.Ujung

    medial ala minor ossis sphenoidalis membentuk processus clinoideus anterior pada masing-

    masing sisi, yang menjadi tempat melekatnya tentorium cerebelli. Bagian tengah fossa cranii

    media dibatasi di posterior oleh alur chiasma opticum.

    Dasar fossa dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di lateral dan oleh lamina

    cribriformis ossis ethmoidalis di medial. Crista galli adalah tonjolan tajam ke atas dari os

    ethmoidale di garis tengah dan merupakan tempat melekatnya falx cerebri. Di antara crista galli

    dan crista ossis frontalis terdapat apertura kecil, yaitu foramen cecum, untuk tempat lewatnya

    vena kecil dari mucosa hidung menuju ke sinus sagittalis superior. Sepanjang crista galli terdapat

    celah sempit pada lamina cribriformis untuk tempat lewatnya n.ethmoidalis anterior menuju ke

    cavum nasi. Permukaan atas lamina cribriformis menyokong bulbus olfactorius, dan lubang-

    lubang halus pada lamina cribrosa dilalui oleh n.olfactorius.

    2) Fossa Cranii Media

    Fossa cranii media terdiri dari bagian medial yang sempit dan bagian lateral yang lebar.

    Bagian medial yang agak tinggi dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis, dan bagian lateral yang

    luas membentuk cekungan di kanan dan kiri, yang menampung lobus temporalis cerebri. Di

    anterior dibatasi oleh ala minor ossis sphenoidalis dan di posterior oleh batas atas pars petrosa

    ossis temporalis. Di lateral terletak pars squamosa ossis temporalis, ala major ossis sphenoidalis

  • 7

    dan os parietale. Dasar dari masing-masing bagian lateral fossa cranii media dibentuk leh ala

    major ossis sphenoidalis dan pars squamosa dan petrosa ossis temporalis.

    Os sphenoidale mirip kelelawar dengan corpus terletak di bagian tengah dan ala major

    dan minor terbentang kanan dan kiri. Corpus ossis sphenoidalis berisi sinus sphenoidalis yang

    berisi udara, yang dibatasi oleh membrana mucosa dan berhubungan dengan rongga hidung.

    Sinus ini berfungsi sebagai resonator suara. Di anterior, canalis opticus dilalui oleh n.opticus dan

    a.ophthalmica, sebuah cabang dari a.carotis interna, menuju orbita. Fissura orbitalis superior,

    yang merupakan celah di antara ala major dan minor ossis sphenoidalis, dilalui oleh n.lacrimalis,

    n.frontalis, n.trochlearis, n.oculomotorius, n.nasociliaris, dan n.abducens, bersama dengan

    v.ophthalmica superior. Sinus venosus sphenoparietalis berjalan ke medial sepanjang pinggir

    posterior ala minor ossis sphenoidalis dan bermuara ke dalam sinus cavernosus.

    Foramen rotundum, terletak di belakang ujung medial fissura orbitalis superior,

    menembus ala major ossis sphenoidalis dan dilalui oleh n.maxillaris dari ganglion trigeminus

    menuju fossa pterygopalatina. Foramen ovale terletak posterolateral terhadap foramen rotundum

    dan menembus ala major ossis sphenoidalis dan dilalui oleh radix sensorik besar dan radix

    motorik kecil dari n.mandibularis menuju ke fossa infratemporalis n.petrosus minus juga berjalan

    melalui foramen ini.

    Foramen spinosum yang kecil terletak posterolateral terhadap foramen ovale dan juga

    menembus ala major ossis sphenoidalis. Foramen ini dilalui oleh a.meningea media dari fossa

    infratemporalis menuju ke cavum cranii. Kemudian arteri berjalan ke depan dan lateral di dalam

    alur pada permukaan atas pars squamosa ossis temporalis dan ala major ossis sphenoidalis.

    Pembuluh ini berjalan dalam jarak yang pendek, kemudian terbagi dalam ramus anterior dan

    posterior. Ramus anterior berjalan ke depan dan atas, ke angulus anteroinferior ossis temporalis.

    Di sini, arteri membuat saluran yang pendek dan dalam, kemudian berjalan ke belakang dan atas

    pada os parietale. Pada tempat ini, arteri paling mudah cedera akibat pukulan pada kepala. Ramus

    posterior berjalan ke belakang dan atas, melintasi pars squamosa ossis temporalis untuk sampai

    os parietale.

    Foramen laserum besar dan iregular terletak antara apeks pars petrosa osis temporalis

    dan os sphenoidale. Muara inferior foramen laserum terisi kartilago dan jaringan fibrosa, dan

    hanya sedikit pembuluh darah melalui jaringan tersebut dari rongga tengkorak ke leher. Canalis

    caroticus bermuara pada sisi foramen lacerum di atas muara inferior yang tertutup. A.carotis

    interna masuk ke foramen dari canalis ini dan segera melengkung ke atas untuk sampai pada sisi

    corpus ossis sphenoidalis. Di sini, arteri ini membelok ke depan dalam sinus cavernosus untuk

    mencapai daerah processus clinoideus anterior. Pada tempat ini, a.carotis interna membelok

    vertikal ke atas, medial terhadap processus clinoideus anterior, dan muncul dari sinus cavernosus.

    Lateral terhadap foramen lacerum terdapat lekukan pada apeks pars petrosa ossis

    temporalis untuk ganglion temporalis. Pada permukaan anterior os petrosus terdapat dua alur

    saraf, alur medial yang lebih besar untuk n.petrosus major, sebuah cabang n.facialis, dan alur

    lateral yang lebih kecil untuk n.petrosus minor, sebuah cabang dari plexus tymphanicus. N.

    petrosus major ke dalam foramen lacerum dibawah ganglion trigeminus dan bergabung dengan

    n.petrosus profundus (serabut symphatis dari sekitar a.carotis interna), untuk membentuk

    n.canalis pterygoidei. N. petrosus minor berjalan ke depan ke foramen ovale.

    N.abducens melengkung tajam ke depan, melintasi apeks os petrosus, medial terhadap

    ganglion trigeminus. Di sini, saraf ini meninggalkan fossa cranii posterior dan masuk ke dalam

  • 8

    sinus cavernosus. Eminentia arcuata adalah penonjolan bulat yang terdapat pada permukaan

    anterior os petrosus dan ditimbulkan oleh canalis semicircularis superior yang terletak di

    bawahnya. Tegmen tympani adalah lempeng tipis tulang, yang merupakan penonjolan ke depan

    pars petrosa ossis temporalis dan terletak berdampingan dengan pars squamosa tulang ini. Dari

    belakang ke depan, lempeng ini membentuk atap antrum mastoideum, cavum tympani dan tuba

    auditiva. Lempeng tipis tulang ini merupakan satu-satunya penyekat utama penyebaran infeksi

    dari dalam cavum tympani ke lobus temporalis cerebri.

    Bagian medial fossa cranii media dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis. Di depan

    terdapat sulcus chiasmatis, yang berhubungan dengan chiasma opticum dan berhubungan ke

    lateral dengan canalis opticus. Posterior terhadap sulcus terdapat peninggian, disebut

    tuberculum sellae. Di belakang peninggian ini terdapat cekungan dalam, yaitu sella turcica,

    yang merupakan tempat glandula hypophisis. Sella turcica dibatasi di posterior oleh lempeng

    tulang bersegi empat yang disebut dorsum sellae. Angulus superior dorsum sellae mempunyai

    dua tuberculum disebut processus clinoideus posterior, yang menjadi tempat perlekatan dari

    pinggir tetap tentorium cerebelli.

    3) Fossa Cranii Posterior

    Fossa cranii posterior dalam dan menampung bagian otak belakang, yaitu cerebellum,

    pons dan medulla oblongata. Di anterior fossa dibatasi oleh pinggir superior pars petrosa ossis

    temporalis dan di posterior dibatasi oleh permukaan dalam pars squamosa ossis occipitalis. Dasar

    fossa cranii posterior dibentuk oleh pars basillaris, condylaris, dan squamosa ossis occipitalis dan

    pars mastoideus ossis temporalis. Atap fossa dibentuk oleh lipatan dura, tentorium cerebelli,

    yang terletak di antara cerebellum di sebelah bawah dan lobus occipitalis cerebri di sebelah atas.

    Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan dilalui oleh medulla

    oblongata dengan meningen yang meliputinya, pars spinalis ascendens n.accessories, dan kedua

    a.vertebralis. Canalis hypoglossi terletak di atas pinggir anterolateral foramen magnum dan

    dilalui oleh n.hypoglossus. Foramen jugularis terletak di antara pinggir bawah pars petrosa

    ossis temporalis dan pars condylaris ossis occipitalis. Foramen ini dilalui oleh struktur berikut ini

    dari depan ke belakang : sinus petrosus inferior, n.IX, n.X dan n.XI, dan sinus sigmoideus

    yang besar. Sinus petrosus inferior berjalan turun di dalam alur pada pinggir bawah pars petrosa

    ossis temporalis untuk mencapai foramen. Sinus sigmoideus berbelok ke bawah melalui foramen

    dan berlanjut sebagai v.jugularis interna.

    Meatus acusticus internus menembus permukaan superior pars petrosa ossis temporalis.

    Lubang ini dilalui oleh n.verstibulocochlearis dan radix motorik dan senorik n.facialis. Crista

    occipitalis interna berjalan ke atas di garis tengah, posterior terhadap foramen magnum, menuju

    ke protuberantia occipitalis interna. Pada crista ini melekat falx cerebelli yang kecil, yang

    menutupi sinus occipitalis.

    Kanan dan kiri dari protuberantia occipitalis interna terdapat alur lebar untuk sinus

    transversus. Alur ini terbentang di kedua sisi, pada permukaan dalam os occipitale, sampai ke

    angulus inferior atau sudut os parietale. Kemudian alur berlanjut ke pars mastoideus ossis

    temporalis, dan di sini sinus transversus berlanjut sebagai sinus sigmoideus. Sinus petrosus

    superior berjalan ke belakang sepanjang pinggir atas os petrosus di dalam sebuah alur sempit

    dan bermuara ke dalam sinus sigmoideus. Sewaktu berjalan turun ke foramen jugulare, sinus

    sigmoideus membuat alur yang dalam pada bagian belakang os petrosus dan pars mastoideus

    ossis temporalis. Di sini, sinus sigmoideus terletak tepat posterior terhadap antrum amstoideum.

  • 9

    3. Meningen

    Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :

    duramater, araknoid dan piamater.

    Duramater adalah selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat

    pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput araknoid di bawahnya,

    maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdural) yang terletak antara duramater dan

    araknoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.

    Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju

    sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan

    dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke

    sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan

    perdarahan hebat. Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari

    kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada

    arteri-arteri ini dan dapat menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami

    cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).

    Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan tembus

    pandang disebut lapisan araknoid. Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat erat permukaan

    korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi dalam ruang sub araknoid.

    4. Otak

    Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum terdiri atas

    hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan duramater dari sisi

    inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara manusia.

    Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan.

    Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fiungsi motorik, dan pada sisi dominan

    mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan

    orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori. Lobus oksipital bertanggung jawab

    dalam proses penglihatan. Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan medula

    oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi

    dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik,

    yang terus memanjang sampai medulla spinalis dibawahnya. Lesi yang kecil saja pada batang

    otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang berat. Serebelum bertanggung jawab

    dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan, terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan

    medula spinalis, batang otak, dan juga kedua hemisfer serebri.

    5. Cairan serebrospinal

    Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kecepatan

    produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen monro

    menuju ventrikel III kemudian melalui aquaductus sylvii menuju ventrikel IV. Selanjutnya CSS

    keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang subaraknoid yang berada di seluruh

    permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui vili

    araknoid.

    6. Tentorium

    Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra tentorial (terdiri

    atas fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii

    posterior).

  • 10

    B. FISIOLOGI

    Mekanisme fisiologis yang berperan antara lain :

    1. Tekanan Intra Kranial

    Biasanya ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal.

    Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu tekanan intra kranial

    normal sebesar 50 sampai 200 mmH2O atau 4 sampai 15 mmHg. Dalam keadaan normal,

    tekanan intra kranial (TIK) dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat sementara

    waktu sampai tingkat yang jauh lebih tinggi dari normal. Ruang intra kranial adalah suatu

    ruangan kaku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu

    : otak (1400 g), cairan serebrospinal ( sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan

    volume pada salah satu dari ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan ruang yang ditempati

    oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan intra kranial (Lombardo,2003).

    2. Hipotesa Monro-Kellie

    Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga bila salah satu

    dari ketiga komponennya membesar, dua komponen lainnya harus mengkompensasi dengan

    mengurangi volumenya (bila TIK masih konstan). Mekanisme kompensasi intra kranial ini

    terbatas, tetapi terhentinya fungsi neural dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal.

    Kompensasi terdiri dari meningkatnya aliran cairan serebrospinal ke dalam kanalis spinalis dan

    adaptasi otak terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme kompensasi

    yang berpotensi mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran darah ke otak dan pergeseran

    otak ke arah bawah (herniasi) bila TIK makin meningkat. Dua mekanisme terakhir dapat

    berakibat langsung pada fungsi saraf. Apabila peningkatan TIK berat dan menetap, mekanisme

    kompensasi tidak efektif dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan kematian neuronal

    (Lombardo, 2003).

    C. BIOMEKANIKA TRAUMA KAPITIS

    Biomekanika trauma:

    Mekanisme trauma pada kasus ini adalah trauma akselerasi dengan jenis lesi coup dan jenis

    trauma tumpul.

    Mekanisme : kepala mendapat energy besar dari pukulanenergi diteruskan ke SCALPtrauma

    local( luka robek)energi diteruskan ke os.temporalos.temporal tidak bisa menahan besarnya

    energyfrakturditeuskan keotakrobeknya a.menieal medianaperdarahan di epidural.

  • 11

    Dampak

    Hal ini berdampak trauma langsung pada kepala yang berakibat timbulmya laserasi ataupun

    robekan di jaringan kepala. Laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah

    karena kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah.

    Terjadinya fraktur linear pada os temporalis menyebabkan robeknya arteri meningea media

    yang akan menimbulkan epidural hematoma, yaitu pengumpulan darah diantara lamina

    interna kranui dan duramater. Pada awalnya TIK masih terkompesasi dengan cara

    bergesernya CSF dan darah vena keluar dari ruang intrakranial, namun selanjutnya TIK tidak

    dapat dikompensasi dan menyebabkan TIK meningkat.

    Penilaian Cedera

    1) Cedera Kepala Ringan (CKR) termasuk didalamnya Laseratio dan Commotio Cerebri

    Skor GCS 13-15

    Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10 menit

    Pasien mengeluh pusing, sakit kepala

    Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan

    neurologist.

    2) Cedera Kepala Sedang (CKS)

    Skor GCS 9-12

    Ada pingsan lebih dari 10 menit

    Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad

    Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota gerak.

    3) Cedera Kepala Berat (CKB)

    Skor GCS

  • 12

    pemeriksaan memori. Terapi simptomatis, perawatan selama 3-5 hari untuk observasi

    kemungkinan terjadinya komplikasi dan mobilisasi bertahap.

    c. Contusio Cerebri

    Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam jaringan otak

    tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan

    atau terputus.

    Timbulnya lesi contusio di daerah coup, contrecoup, dan intermediate menimbulkan

    gejala deficit neurologik yang bisa berupa refleks babinsky yang positif dan kelumpuhan UMN.

    Tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah.

    Juga karena pusat vegetatif terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa

    timbul.

    Terapi dengan antiserebral edema, simptomatik, neurotropik dan perawatan 7-10 hari.

    d. Laceratio Cerebri

    Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai dengan robekan piamater.

    Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan subaraknoid traumatika, subdural akut

    dan intercerebral. Laceratio dapat dibedakan atas laceratio langsung dan tidak langsung.

    Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan oleh benda asing

    atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka. Sedangkan laceratio

    tidak langsung disebabkan oleh deformitas jaringan yang hebat akibat kekuatan mekanis.

    e. Fracture Basis Cranii

    Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media, dan fossa posterior. Gejala

    yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana yang terkena.

    Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala:

    Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding

    Epistaksis

    Rhinorrhoe

    Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala:

    Hematom retroaurikuler, ottorhoe

    Perdarahan dari telinga

    Pemberian antibiotik dosis tinggi untuk mencegah infeksi. Tindakan operatif bila adanya

    liquorrhoe yang berlangsung lebih dari 6 hari.

    f. Hematom Epidural

    Letak : antara tulang tengkorak dan duramater

    Etiologi : pecahnya a. Meningea media atau cabang-cabangnya

    Gejala : setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri kepala sebentar

    kemudian membaik dengan sendirinya tetapi beberapa jam kemudian timbul gejala-gejala yang

    memperberat progresif seperti nyeri kepala, pusing, kesadaran menurun, nadi melambat,

    tekanan darah meninggi, pupil pada sisi perdarahan mula-mula sempit, lalu menjadi lebar, dan

    akhirnya tidak bereaksi terhadap refleks cahaya. Ini adalah tanda-tanda bahwa sudah terjadi

    herniasi tentorial.

    Akut (minimal 24jam sampai dengan 3x24 jam)

    Pada pemeriksaan kepala mungkin pada salah satu sisi kepala didapati hematoma subkutan

  • 13

    Pemeriksaan neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil melebar. Pada sisi kontralateral

    dari hematom, dapat dijumpai tanda-tanda kerusakan traktus piramidalis, misalnya :

    hemiparesis, refleks tendon meninggi, dan refleks patologik positif.

    Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan pengikatan pembuluh

    darah.

    g. Hematom subdural

    Letak : di bawah duramater

    Etiologi : pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging veins dan laserasi piamater serta

    arachnoid dari kortex cerebri

    Gejala subakut : mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama

    Kronis : 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma

    CT-Scan : setelah hari ke 3 diulang 2 minggu kemudian

    Ada bagian hipodens yang berbentuk cresent.

    Hiperdens yang berbentuk cresent di antara tabula interna dan parenkim otak (bagian dalam

    mengikuti kontur otak dan bagian luar sesuai lengkung tulang tengkorak)

    Isodens terlihat dari midline yang bergeser

    Operasi sebaiknya segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak (dekompresi)

    dengan melakukan evakuasi hematom. Penanganan subdural hematom akut terdiri dari

    trepanasi-dekompresi.

    h. Perdarahan Intraserebral

    Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal, terbanyak pada lobus

    temporalis. Perdarahan intraserebral akibat trauma kapitis yang berupa hematom hanya berupa

    perdarahan kecil-kecil saja. Jika penderita dengan perdarahan intraserebral luput dari kematian,

    perdarahannya akan direorganisasi dengan pembentukan gliosis dan kavitasi. Keadaan ini bisa

    menimbulkan manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi bagian otak yang terkena.

    i. Oedema serebri

    Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama pingsannya, mungkin hingga berjam-

    jam. Gejala-gejalanya berupa commotio cerebri, hanya lebih berat. Tekanan darah dapat naik,

    nadi mungkin melambat. Gejala-gejala kerusakan jaringan otak juga tidak ada. Cairan otak pun

    normal, hanya tekanannya dapat meninggi.

    TIK meningkat,

    Cephalgia memberat,

    Kesadaran menurun

    D. INTERPRETASI PEMERIKSAAN

    Interpretasi Pemeriksaan saat sadar Bujang

    Hasil Batasan Normal Interpretasi

    RR 28x/menit 16-24 x/menit Takipneu

    TD 130/90 mmHg 120-80 mmHg

    Nadi 50 x/menit 60-100

    Bradikardia, dampak dari

    peningkatan TIK

    GCS (15) E4 M6 V5 14 15 cedera kepala ringan

    Cedera kepala ringan

  • 14

    pupil isokor, reflex cahaya :

    pupil kanan reaktif, pupil kiri

    reaktif

    pupil isokor, reflex

    cahaya : pupil kanan

    reaktif, pupil kiri reaktif

    Normal

    Regio Temporal dextra :

    Tampak luka dextra ukuran 6x1

    cm, tepi tidak rata, sudut tumpul

    dengan dasar fraktur tulang Tidak ada

    Ada fraktur os. Temporale

    berbentuk linier.

    Bentuk sudut tumpul

    menunjukkan luka

    disebabkan oleh benda

    tumpul.

    Regio Nasal : tampak darah

    segar mengalir dari kedua

    lubang hidung.

    Tidak ada

    Ada pecahnya pembuluh

    darah di dalam cavum nasii.

    Adanya rembesan

    1. Nyeri Kepala:

    Trauma kepala robeknya a/v meningea mediana perdarahan epidural regangan pada

    duramater akibat akumulasi darahmerangsang ujung-ujung saraf bebas dari Nervus

    trigeminus (saraf sensoris) nyeri kepala

    2. Muntah:

    robeknya a/v meningea mediana perdarahan epidural peningkatan tekanan intrakranial

    penurunan CBF fase kompensasi (cushing response) penekanan medula oblongata

    hipoksia pusat vasomotor vasokonstriksi perifer, peningkatan tekanan darah permenit,

    bradikardi, gangguan pernafasan, muntah.

    akumulasi darah di epiduralTIK peningkatan tekanan di medulla oblongatamenekan

    pusat muntah muntah

    3. Regio temporal dextra

    Luka dextra ukuran 6 x 1 cm robekan pada regio temporal dextra yang mengakibatkan

    luka perdarahan

    Tepi tidak rata, sudut tumpul dengan dasar fraktur tulang laserasi hingga mengenai tulang

    dan terjadi fraktur tulang.

    4. Regio nasal

    Pada kasus ini, terjadi epistaksis bagian anterior. Apabila terjadi epistaksis anterior berarti

    kemungkinan mengenai pleksus kieselbach dan arteri ethmoidalis anterior. Jadi, epistaksis

    anterior disini disebabkan karena factor trauma local akibat dari benturan benda tumpul

    berupa dayung.

    Interpretasi Pemeriksaan tidak sadar Bujang

    Pasien ngorok

    Ngorok (stridor): tidak sadar reflex menahan lidah menghilang lidah ke posterior

    mengganggu jalan nafas aliran udara yang mengalami turbulensi menghasilkan suara kasar,

    monofonik, high-pitched dengan berbagai vibrasi (stridor)

    Tanda Vital

    Trauma tumpul kepala Tekanan Intra Kranial (TIK) meninggi Cerebral Blood Flow dan

    tekanan perfusi otak menurun, maka akan terjadi kompensasi (Cushing respons) penekanan

    pada daerah medulla oblongata, hipoksia pusat vasomotor sehingga mengakibatkan

  • 15

    kompensasi vasokonstriksi perifer (peninggian tekanan darah sistemik) bradikardi, pernafasan

    yang melambat dan muntah-muntah.

    RR : 24x/menit

    Masih dalam batasan normal. Namun terjadi penurunan RR dari keadaan sebelumnya,

    kemungkinan ini diakibatkan karena sudah ada penanganan sebelumnya oleh dokter pada saat

    pasien daang ke RSUD.

    Nadi : 50x/menit

    Merupakan kompensasi untuk menurukan tekanan darah ke otak akibat terjadinya peningkatan

    intrakranial.

    TD : 140/90 mmHg

    Tekanan darah yang meningkat, diakibatkan oleh terjadinya peningkatan tekanan intrakranial.

    GCS : E2M5V3

    GCS = 10, cedera otak sedang

    Pupil anisokor dextra, Reflex cahaya : pupil kanan (-), pupil kiri (+)

    Paralisis nervus III dextra

    Pupil anisokor : trauma tumpul hematoma epidural perdarahan berlanjut, terjadi

    peningkatan tekanan intrakranial hematoma meluas ke daerah temporal lobus temporalis

    tertekan ke arah bawa dan ke dalam bagian medial lobus mengalami herniasi ke bawah tepi

    tentorium terdapat nuclei saraf kranial III (occulomotorius) gangguan pada parasimpatis

    yang berfungsi untuk kontriksi pupil aktivitas simpatis meningkat (dominan) pupil kanan

    midriasis (ipsilateral)

    E. GANGGUAN KESADARAN

    Kesadaran merupakan fungsi utama susunan saraf pusat. Untuk mempertahankan fungsi

    kesadaran yang baik, perlu suatu interaksi yang konstan dan efektif antara hemisfer serebri yang

    intak dan formasio retikularis di batang otak. Gangguan pada hemisfer serebri atau formasio

    retikularis dapat menimbulkan

    gangguan kesadaran11

    . Bergantung pada beratnya kerusakan, gangguan kesadaran dapat berupa apati,

    delirium, somnolen, sopor atau koma. Koma sebagai kegawatan maksimal fungsi susunan saraf pusat

    memerlukan tindakan yang cepat dan tepat, sebab makin lama koma berlangsung makin parah

    keadaan susunan saraf pusat

    sehingga kemungkinan makin kecil terjadinya penyembuhan sempurna.12

    Lintasan asendens dalam susunan saraf pusat yang menyalurkan impuls sensorik protopatik,

    propioseptik dan perasa pancaindra dari perifer ke daerah korteks perseptif primer disebut lintasan

    asendens spesifik atau lintasan asendens lemniskal.13

    Ada pula lintasan asendens aspesifik yakni

    formasio retikularis di sepanjang batang otak yang menerima dan menyalurkan impuls dari lintasan

    spesifik melalui koleteral ke pusat kesadaran pada batang otak bagian atas serta meneruskannya ke

    nukleus intralaminaris talami yang selanjutnya disebarkan difus ke seluruh permukaan otak14

  • 16

    Pada hewan, pusat kesadaran(arousal centre) terletak di rostral formasio retikularis daerah

    pons sedangkan pada manusia pusat kesadaran terdapat didaerah pons, formasio retikularis daerah

    mesensefalon dan diensefalon. Lintasan aspesifik ini oleh Merruzi dan Magoum disebut diffuse

    ascending reticular activating system (ARAS).

    Melalui lintasan aspesifik ini, suatu impuls dari perifer akan menimbulkan rangsangan pada

    seluruh permukaan korteks serebri.16

    Dengan adanya 2 sistem lintasan tersebut terdapatlah

    penghantaran asendens yang pada pokoknya berbeda.

    Lintasan spesifik menghantarkan impuls dari satu titik pada alat reseptor ke satu titik pada

    korteks perseptif primer. Sebaliknya lintasan asendens aspesifik menghantarkan setiap impuls dari

    titik manapun pada tubuh ke seluruh korteks serebri.Neuron-neuron di korteks serebri yang

    digalakkan oleh impuls asendens aspesifik itu dinamakan neuron pengemban kewaspadaan,

    sedangkan yang berasal dari formasio retikularis dan nuklei intralaminaris talami disebut neuron

    penggalak kewaspadaan. Gangguan pada kedua jenis neuron tersebut oleh sebab apapun akan

    menimbulkan gangguan kesadaran.14,15

    Etiologi

    Menurut kausa11

    :

    1. Kelainan otak

    a. Trauma : komosio, kontusio, laserasio, hematoma epidural, hematoma subdural.

    b. Gangguan sirkulasi: perdarahan intraserebral, infark otak oleh trombosis dan emboli.

    c. Radang : ensefalitis, meningitis.

    d. Neoplasma : primer, metastatik.

    e. Epilepsi : status epilepsi.

    2. Kelainan sistemik

  • 17

    a. Gangguan metabolisme dan elektrolit: hipoglikemia, diabetik ketoasidosis, uremia, gangguan

    hepar, hipokalsemia, hiponatremia.

    b. Hipoksia: penyakit paru berat, kegagalan jantung berat, anemia berat

    c. toksik : keracunan CO, logam berat, obat, alkohol.

    Menurut mekanisme gangguan serta letak lesi :

    1. gangguan kesadaran pada lesi supratentorial.

    2. gangguan kesadaran pada lesi infratentorial.

    3. gangguan difus (gangguan metabolik).

    Benyamin Chandra11

    menggunakan istilah cemented yang merupakan huruf-huruf pertama penyebab

    gangguan kesadaran.

    c= circulation (gangguan sirkulasi darah).

    e= ensefalomeningitis.

    m=metabolisme (gangguan metabolisme).

    e=elektrolit and endokrin (gangguan elektrolit dan endokrin)

    n = neoplasma.

    t =trauma kapitis.

    e = epilepsi

    d = drug intoxication.

    Patofisiologi

    a. Lesi Supratentorial

    Pada lesi supratentorial, gangguan kesadaran akan terjadi baik oleh kerusakan langsung pada

    jaringan otak atau akibat penggeseran dan kompresi pada ARAS karena proses tersebut maupun oleh

    gangguan vaskularisasi dan edema yang diakibatkannya.

    Proses ini menjalar secara radial dari lokasi lesi kemudian ke arah rostro-kaudal sepanjang batang

    otak.14.16

    Gejala-gejala klinik akan timbul sesuai dengan perjalan proses tersebut yang dimulai dengan

    gejala-gejala neurologik fokal sesuai dengan lokasi lesi. Jika keadaan bertambah berat dapat timbul

    sindroma diensefalon, sindroma mesensefalon bahkan sindroma ponto-meduler dan

    deserebrasi.12,14,16

    Oleh kenaikan tekanan intrakranial dapat terjadi herniasi girus singuli di kolong falks serebri,

    herniasi transtentoril dan herniasi unkus lobus temporalis melalui insisura tentorii.14,16

    b. Lesi infratentorial

    Pada lesi infratentorial, gangguan kesadaran dapat terjadi karena kerusakan ARAS baik oleh

    proses intrinsik pada batang otak maupun oleh proses ekstrinsik.12,16

    c. Gangguan difus (gangguan metabolik)

    Pada penyakit metabolik, gangguan neurologik umumnya bilateral dan hampir selalu

    simetrik. Selain itu gejala neurologiknya tidak dapat dilokalisir pada suatu susunan anatomik

    tertentu pada susunan saraf pusat.12

    Penyebab gangguan kesadaran pada golongan initerutama akibat

    kekurangan 02, kekurangan glukosa, gangguan sirkulasi darah serta pengaruh berbagai macam

    toksin.16

    d. Kekurangan 02

    Otak yang normal memerlukan 3.3 cc 02/100 gr otak/menit yang disebut Cerebral Metabolic

    Rate for Oxygen (CMR 02). CMR 02 ini pada berbagai kondisi normal tidak banyak berubah. Hanya

  • 18

    pada kejang-kejang CMR 02 meningkat dan jika timbul gangguan fungsi otak, CMR 02 menurun.

    Pada CMR 02 kurang dari 2.5 cc/100 gram otak/menit akan mulai terjadi gangguan mental dan

    umumnya bila kurang dari 2 cc 02/100 gram otak/menit terjadi koma.16

    e. Glukosa

    Energi otak hanya diperoleh dari glukosa. Tiap 100 gram otak memerlukan 5.5 mgr glukosa/menit.

    Menurut Hinwich pada hipoglikemi, gangguan pertama terjadi pada serebrum dan kemudian

    progresif ke batang otak yang letaknya lebih kaudal. Menurut Arduini hipoglikemi menyebabkan

    depresi selektif pada susunan saraf pusat yang dimulai pada formasio retikularis dan kemudian

    menjalar ke bagian-bagian lain.16

    Pada hipoglikemi, penurunan atau gangguan kesadaran merupakan

    gejala dini.

    f. Gangguan sirkulasi darah

    Untuk mencukupi keperluan 02 dan glukosa, aliran darah ke otak memegang peranan penting. Bila

    aliran darah ke otak berkurang, 02 dan glukosa darah juga akan berkurang.

    Mekanisme pingsan selama 5 menit dan sadar kembali

    Akibat pukulan energi eksternal tinggi mengenai kepala getaran hebat tiba-tiba perubahan

    posisi secara mendadak dari otak blokade impuls aferen aspesifik gangguan kesadaran/ pingsan

    kompensasi reposisi kepala, getaran yang menghilang sadar kembali TIK makin meningkat

    hematom makin membesar kecurigaan herniasi unkus lesi supratentorial dan menekan arteri

    di sekitar batang otak hipoksia, hipoglikemia suplai darah dan oksigen

  • 19

    Gambar 2

    Hematom epidural akibat perdarahan arteri meningea media,terletak antara duramater dan

    lamina interna tulang pelipis. Os Temporale (1), Hematom Epidural (2), Duramater (3), Otak

    terdorong kesisilain (4)

    2. Patofisiologi

    Pada hematoma epidural, fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah terutama

    arteri meningea media masuk ke dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan berjalan di antara

    durameter dan tulang di permukaan dan os temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan

    hematom epidural. Desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang

    kepala sehingga hematom bertambah besar.

    Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus temporalis

    otak ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus (unkus dan sebagian

    dari girus hipokampus) mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan

    timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.13,14

    Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus formation

    retikularis(ARAS) di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat

    nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan

    ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini,

    menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan

    tanda Babinski positif.13,14

    Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong ke arah yang

    berlawanan, menyebabkan tekanan intrakranial yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut adanya

    peningkatan tekanan intrakranial, antara lain kekakuan deserebrasi, dan gangguan tanda-tanda vital

    dan fungsi pernafasan.13

    Sumber perdarahan :12,14

    Artery meningea ( lucid interval : 2 3 jam )

    Sinus duramatis

    Diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi a. diploica dan vena diploica

  • 20

    3. Gambaran Klinis

    Hematoma epidural tanpa cedera lain biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea

    media. Kelainan ini pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda. Baru setelah hematom

    bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan dan peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan

    mengalami sakit kepala, mual dan muntah diikuti dengan penurunan kesadaran.

    Gejala neurologik yang tepenting adalah pupil mata anisokor yaitu ipsilateral melebar. Pada

    perjalanannya pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan

    Nuclei saraf

    cranial ketiga

    Formation

    retikularis di

    medulla

    oblongata

    Hilang kesadaran

    Dilatasi pupil

    Doktrin Monro-Kellie

    (tergesernya CSFdan

    darah vena keluar dari

    ruang intracranial

    dengan volume yang

    sama, TIK akan tetap

    normal

    Kenaikan TIK

    tajam

    Mekanisme

    kompensasi

    terlampaui

    Perdarahan >>>

    hematom >>>

    Reflex menahan lidah hilang

    Penurunan kesadaran

    Cushing response : vasokonstriksi

    perifer (peninggian tekanan darah

    sistemik) bradikardi, pernafasan yang

    melambat dan muntah

    Penurunan CBF

    Stridor

    Duramater

    meregang

    Muntah

    Menekan pusat

    muntah di medulla

    oblongata

    Nyeri kepala

    hebat

    Pingsan 5

    menit

    Sadar kembali

    (kompensasi)

    Dipukul dengan

    dayung kayu dari arah

    samping dan depan

    Trauma hidung

    Ruptur pembuluh

    darah di anterior

    (pleksus

    kiesselbach/a.

    etmoidalis anterior

    Trauma kepala

    regio temporal

    dextra

    Fraktur tulang

    Epistaksis anterior

    Ruptur a.

    meningea media

    Penambahan masa

    intrakranial

    Hematoma epidural

    Perdarahan

    Herniasi bag.

    Medial lobus di

    bawah pinggiran

    tentorium

    Menekan sirkulasi

    arteria

    Gangguan

    perfusi darah

    otak

  • 21

    masih positif akan menjadi negatif. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardia. Pada tahap

    akhir, kesadaran menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran

    sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.

    Ciri khas hematoma epidural murni adalah terdapatnya interval bebas antara saat terjadinya

    trauma dan tanda pertama yang berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam.

    Jika hematoma epidural disertai dengan cedera otak seperti memar otak, interval bebas tidak

    akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.

    Riwayat klasik pada hematoma epidural adalah setelah mengidap trauma kapitis, penderita

    pingsan sebentar, lalu ia sadar kembali. Dalam masa beberapa puluhan menit sampai beberapa hari

    tidak ada manifestasi yang mengejutkan. 15

    Lucid interval merupakan adanya fase sadar diantara dua fase tidak sadar karena

    bertambahnya volume darah. Pingsan I pada lucid interval disebabkan karena benturan langsung,

    sedangkan pingsan II karena EDH. 11,12

    Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada EDH. Kalau pada

    SDH dan ICH yang cedera primernya hampir selalu berat atau EDH denga trauma primer berat tidak

    terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase

    sadar. 11,12

    4. Gambaran Radiologi

    Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala lebih mudah

    dikenali

    a. Foto Polos Kepala

    Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural

    hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang mengalami

    trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong sulcus arteria

    meningea media. 16

    b. Computed Tomography (CT-Scan)

    Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi cedara

    ntracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single) tetapi dapat pula

    terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling sering di daerah

    temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong

    ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang

    tinggi pada stage yang akut ( 60 90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari

    pembuluh darah. 15,17,18

  • 22

    Gambar 3. Gambaran CT-Scan cranium

    Soft tissue swelling (+), Gyri sulcy menghilang, Fraktur linier pada lobus temporalis sinsistra, EDH

    lobus oksipital ukuran 5,5x1,5x4 cm, Ventrikel mengalami pelebaran, Cysterna tidak ada kelainan,

    Midline tidak bergeser

    Kesan : fraktur linier os temporal sinistra + EDH lobus temporalis sinistra

    c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

    MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser posisi

    duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat menggambarkan

    batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk

    menegakkan diagnosis. 16,18,19

  • 23

    Gambar 4. Gambaran MRI Hematoma Epidural

    5. DIAGNOSIS BANDING

    a. Hematoma subdural

    Hematoma subdural terjadi akibat pengumpulan darah diantara dura mater dan

    arachnoid. Secara klinis hematoma subdural akut sukar dibedakan dengan hematoma epidural

    yang berkembang lambat. Bisa disebabkan oleh trauma hebat pada kepala yang menyebabkan

    bergesernya seluruh parenkim otak mengenai tulang sehingga merusak a. kortikalis. Biasanya

    di sertai dengan perdarahan jaringan otak. Gambaran CT-Scan hematoma subdural, tampak

    penumpukan cairan ekstraaksial yang hiperdens berbentuk bulan sabit. 11,16

    Gambar 5. Hematoma Subdural Akut

    b. Hematoma Subarachnoid

    Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh darah di

    dalamnya. 11,16

    Gambar 6. Kepala panah menunjukkan hematoma subarachnoid, panah hitam menunjukkan

  • 24

    hematoma subdural dan panah putih menunjukkan pergeseran garistengah ke kanan

    6. Penatalaksanaan

    a. Penatalaksanaan awal di TKP

    periksa apakah pasien sadar atau tidak.

    jika pasien dalam keadaan tidak sadar, periksa denyut nadi.

    masih teraba denyut nadi, lakukan pertolongan dengan system ABCDE sambil

    mencari pertolongan dan mengusahakan unutk membawa pasien ke RS terdekat.

    Airway :

    1. posisikan pasien untuk membuka jalan nafas dengan jaw trush maneuver,chin

    lead dan head lead, bersihkan jalan nafas

    2. miring kan ke satu sisi untuk membersihkan jalan nafas (hidung) yang berisi

    darah.

    3. Pasang chollar neck

    Breathing :

    1. Look, Listen, Feel

    2. Pantau terus fungsi pernafasannya

    Circulation: Pantau terus TD,HR selama perjalanan ke RS, jika terjadi cardiac arrest

    lakukan kompresi.

    Pada kasus, fungsi Beathing pasien masih bagus, dan Denyut nadi masih teraba, jadi

    setelah jalan nafas dibersihkan, dan dipasang chollar neck segera bawa ke RS

    terdekat.

    Pemeriksaan

    Hal terpenting yang pertama kali dinilai ialah status fungsi vital dan status kesadaran

    pasien. Ini harus dilakukan sesegera mungkin bahkan mendahului anamnesis yang teliti

    1) Primary survey

    Seperti halnya kasus kedaruratan lainnya, hal terpenting yang dinilai ialah :

    a) Jalan nafas airway

    b) Pernafasan breathing

    c) Nadi dan tekanan darah circulation

    Jalan nafas harus segera dibersihkan dari benda asing, lendir atau darah, bila perlu

    segera dipasang pipa naso/orofaring; diikuti dengan pemberian oksigen. Manipulasi leher

    hams berhati-hati bila ada riwayat/dugaan trauma servikal (whiplash injury), jamb dengan

    kepala di bawah atau trauma tengkuk. Pemantauan fungsi sirkulasi dilakukan untuk menduga

    adanya shock, terutama bila terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax,

    trauma abdomen, fraktur ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai

    dengan me-lambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal peninggian tekanan

    intrakranial, yang biasanya dalam fase akut disebabkan oleh hematoma epidural.

    2) Pemeriksaan neurologis

    Dewasa ini penilaian status kesadaran secara kualitatif, terutama pada kasus cedera

    kepala sudah mulai ditinggalkan karena subyektivitas pemeriksa; stilah apatik, somnolen,

    sopor, coma, sebaiknya dihindari atau disertai dengan penilaian kesadaran yang lebih

  • 25

    obyektif, terutama dalam keadaan yang memerlukan penilaian/perbandingan secara ketat.

    Cara penilaian kesadaran yang luas digunakan ialah dengan Skala Koma Glasgow. Melalui

    cara ini pula, perkembangan/perubahan kesadaran dari waktu ke waktu dapat diikuti secara

    akurat.

    Skala Koma Glasgow

    Skala Koma Glasgow adalah berdasarkan penilaian/pemeriksaan atas tiga parameter, yaitu :

    a. Buka mata.

    b. Respon motorik terbaik.

    c. Respon verbal terbaik

    Skala Koma Glasgow

    a. Reaksi membuka mata

    4 Buka mata spontan

    3 Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara

    2 Buka mata bila dirangsang nyeri

    1 Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

    b. Reaksi berbicara

    5 Komunikasi verbal baik, jawaban tepat

    4 Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang

    3 Dengan rangsangan, reaksi hanya kata, tak berbentuk kalimat

    2 Dengan rangsangan, reaksi hanya suara, tak terbentuk kata

    1 Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

    c.Reaksi gerakan lengan/tungkai

    6 Mengikuti perintah

    5 Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan

    4 Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan

    3 Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal

    2 Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal

    1 Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi

    3) Secondary survey

    Pemeriksaan neurologis serial (DCS, lateralisasi, dan refleks pupil) harus.

    Pemeriksaan neurologis serial (DCS, lateralisasi, dan refleks pupil) harus selalu dilakukan

    untuk deteksi dini gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal (unkus)

    adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Adanya trauma langsung

    pada mata sering merupakan penyebab abnormalitas respon pupil dan dapat membuat

    pemeriksaan pupil menjadi sulit.

    4) Prosedur Diagnostik

    Pemeriksaan CT scan harus segera dilakukan secepat mungkin, segera setelah

    hemodinamika normal. Pemeriksaan CT scan ulang harus dikerjakan jika terjadi perubahan

    status klinik penderita dan secara rutin 12-24 jam setelah trauma bila dijumpai gambaran

    kontusio atau hematoma pada CT scan awal.

    Angiografi pada penderita dengan kelainan neurologis dapat dilakukan bila tidak

    terdapat CT scan.

  • 26

    Setelah mendapatkan tatalaksana awal primary survey di UGD, jaga terus agar pasien tetap

    stabil dan setelah pasien stabil segera rujuk ke bedah saraf untuk dilakukan tatalaksana

    terhadap cedera kepalanya.

    Penanganan pasien saat ini (tidak sadar) melanjutkan tatalaksana awal yang terlalu

    dilakukan pada saan pasien tiba di UGD

    Airway : pasang EET

    Breathing : Tetap beri oksigen 10-12 liter/menit

    Circulation : resusitasi cairan dengan Ringer Laktat terus dilakukan, evaluasi terus

    tanda vital

    Disabillity : evaluasi GCS, refleks pupil.

    Exposure: Cari lebih lanjut perdarahan yang mungkin terjadi.

    Pengobatan17

    1) Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital

    Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang dapat

    menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa naso/orofaringeal dan

    pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka jalur intravena : guna-kan

    cairan NaCl 0,9% atau Dextrose in saline.

    2) Mengurangi edema otak

    Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:

    a) Cairan intravena

    Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap

    dalam keadaan normovolemia. Keadaan hipovolemia pada pasien sangatlah berbahaya.

    Namun harus diperhatikan untuk tidak meberikan cairan yang berlebihan. Jangan

    berikan cairan hipotoni. Pengguaan cairan yang mengandung glukosa dapat

    menyebabkan hiperglikemia yang erakibat buruk pada otak yang cedera. Karena itu

    cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam fisiologis atau ringer laktat.

    Kadar natrium serum juga harus dipertahankan untuk mencegah terjadinya edema otak.

    Strategi terbaik adalah mempertahankan volume intravaskular normal dan hindari

    hipoosmolalitas, dengan cairan isotonik. Saline hipertonik bisa digunakan untuk

    mengatasi hiponatremia yang bisa menyebabkan edem otak.

    b) Hiperventilasi.

    Bertujuan untuk menurunkan PCO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi

    pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan

    metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat

    diperiksa, PCO2 dipertahankan > 100 mmHg dan PCO2di antara 25-30 mmHg.

    c) Cairan hiperosmoler.

    Umumnya digunakan cairan Manitol 10-15% per infus untuk "menarik" air dari

    ruang intersel ke dalam ruang intravaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui

    diuresis. Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol hams diberikan dalam dosis

    yang cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan: 0,51 gram/kg BB dalam 10-30

    menit. Cara ini berguna pada kasus-kasus yang menunggu tindakan bedah. Pada kasus

    biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek rebound; mungkin dapat dicoba diberikan

    kembali (diulang) setelah beberapa jam atau keesokan harinya.

  • 27

    d) Kortikosteroid.

    Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa waktu

    yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid

    tidak/kurang bermanfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan pada

    asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak. Dosis parenteral yang pernah

    dicoba juga bervariasi : Dexametason pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus

    yang diikuti dengan 4 dd 4 mg. Selain itu juga Metilprednisolon pernah digunakan

    dengan dosis 6 dd 15 mg dan Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg.

    e) Barbiturat.

    Digunakan untuk mem"bius" pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan

    serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan

    yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kemsakan akibat hipoksi,

    walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan

    yang ketat.

    f) Cara lain

    Pada 24-48 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 1500-2000 ml/24 jam

    agar tidak memperberat edema jaringan. Ada laporan yang menyatakan bahwa posisi

    tidur dengan kepala (dan leher) yang diangkat 30 akan menurunkan tekanan

    intrakranial. Posisi tidur yang dianjurkan, terutama pada pasien yang berbaring lama,

    ialah kepala dan leher diangkat 30, sendi lutut diganjal, membentuk sudut 150, telapak

    kaki diganjal, membentuk sudut 90 dengan tungkai bawah.

    3) Obat-obat Neurotropik

    Dewasa ini banyak obat yang dikatakan dapat membantu mengatasi kesulitan/gangguan

    metabolisme otak, termasuk pada keadaan koma.

    a) Piritinol

    Piritinol merupakan senyawa mirip piridoksin (vitamin B6) yang dikatakan

    mengaktivasi metabolisme otak dan memperbaiki struktur serta fungsi membran sel.

    Pada fase akut diberikan dalam dosis 800-4000 mg/hari lewat infus. Tidak dianjurkan

    pemberian intravena karena sifatnya asam sehingga mengiritasi vena.

    b) Piracetam

    Piracetam merupakan senyawa mirip GABA - suatu neurotransmitter penting di

    otak. Diberikan dalam dosis 4-12 gram/ hari intravena.

    c) Citicholine

    Disebut sebagai koenzim pembentukan lecithin di otak. Lecithin sendiri

    diperlukan untuk sintesis membran sel dan neurotransmitter di dalam otak. Diberikan

    dalam dosis 100-500 mg/hari intravena.

    Terapi Operatif

    Operasi di lakukan bila terdapat : 12

    Volume hamatom > 30 ml ( kepustakaan lain > 44 ml)

    Keadaan pasien memburuk

    Pendorongan garis tengah > 3 mm

    Penanganan darurat dengan dekompresi dengan trepanasi sederhana (boor hole). Dilakukan

    craniotomy untuk mengevakuasi hematom. Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah

  • 28

    untuk life saving dan untuk fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka

    operasinya menjadi operasi emergenci. Biasanya keadaan emergenci ini di sebabkan oleh lesi

    desak ruang.12

    Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :

    25 cc desak ruang supra tentorial

    10 cc desak ruang infratentorial

    5 cc desak ruang thalamus

    Sedangkan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan :

    Penurunan klinis

    Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan

    klinis yang progresif.

    Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan klinis

    yang progresif

    7. Prognosis

    Prognosis tergantung pada

    Lokasinya ( infratentorial lebih jelek

    Besarnya

    Kesadaran saat masuk kamar operasi

    Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena kerusakan

    otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar antara 7-15% dan kecacatan

    pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami koma sebelum

    operasi

    8. Komplikasi

    Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita trauma kepala dengan perdarahan epidural

    adalah:

    a. koma

    b. deficit neurologis

    c. kompresi batang otak

    d.edema serebri

    e.kematian

    9. Kompetensi Dokter Umum 3B

    G. EPISTAKSIS

    1. Definisi

    Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung; merupakan suatu tanda atau keluhan bukan

    penyakit(1,2,3). Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat menjengkelkan dan

    mengganggu, dan dapat pula mengancam nyawa. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk

    mengobati epistaksis secara efektif(2,4,7,10).

    2. Etiologi

    Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa hidung.

    Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus Kiesselbach (area Little).

    Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan

    mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis(7).

  • 29

    Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik(2,3,4,10).

    1) Lokal

    a) Trauma

    Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya mengeluarkan sekret dengan kuat,

    bersin, mengorek hidung, trauma seperti terpukul, jatuh dan sebagainya. Selain itu iritasi oleh

    gas yang merangsang dan trauma pada pembedahan dapat juga menyebabkan epistaksis.

    b) Infeksi

    Infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik, seperti lupus,

    sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis.

    c) Neoplasma

    Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten, kadang-

    kadang ditandai dengan mucus yang bernoda darah, Hemongioma, karsinoma, serta

    angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat.

    d) Kelainan kongenital

    Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan telangiektasis

    heriditer (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Oslers disease). Pasien ini juga menderita

    telangiektasis di wajah, tangan atau bahkan di traktus gastrointestinal dan/atau pembuluh

    darah paru.

    e) Sebab-sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum. Perforasi septum nasi atau

    abnormalitas septum dapat menjadi predisposisi perdarahan hidung. Bagian anterior septum

    nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang

    cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha

    melepaskan dengan jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang

    menyebabkan erosi membrana mukosa septum dan kemudian perdarahan.

    f) Pengaruh lingkungan

    Misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan udaranya

    sangat kering.

    2) Sistemik

    a) Kelainan darah misalnya trombositopenia, hemofilia dan leukemia.

    b) Penyakit kardiovaskuler

    Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, nefritis kronik, sirosis

    hepatis, sifilis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi

    biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.

    c) Biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza, morbili, demam tifoid.

    d) Gangguan endokrin

    Pada wanita hamil, menarche dan menopause sering terjadi epistaksis, kadang-kadang

    beberapa wanita mengalami perdarahan persisten dari hidung menyertai fase menstruasi.

    Lokasi epistaksis

    Menurunkan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang sukar ditanggulangi(3).

    Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan posterior.

    1) Epistaksis anterior

  • 30

    Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anak-anak dan biasanya

    dapat berhenti sendiri.Perdarahan pada lokasi ini bersumber dari pleksus Kiesselbach (little

    area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum bagian anterior tepat di ujung

    postero superior vestibulum nasi.

    Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan konkha inferior. Mukosa pada daerah ini sangat

    rapuh dan melekat erat pada tulang rawan dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek

    pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi

    patologik lainnya dan selanjutnya akan menimbulkan perdarahan

    2) Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Perdarahan

    cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan anemia,

    hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular(3,5,6,9).

    Gambaran klinis dan pemeriksaan

    Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang hidung.

    Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung

    yang terbanyak mengeluarkan darah(7).

    Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang

    memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi

    sisi dalam hidung. Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua

    kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan

    semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab

    perdarahan(5,9). Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan

    anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin

    1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh

    darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk sementara(5,9). Sesudah 10 sampai 15 menit kapas

    dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.

    Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau secret berdarah dari hidung yang bersifat

    kronik memerlukan focus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif

    yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan.

    Pemeriksaan yang diperlukan berupa:(5,9)

    a) Rinoskopi anterior

    Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa

    hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkhainferior harus diperiksa dengan

    cermat.

    b) Rinoskopi posterior

    Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis

    berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.

    c) Pengukuran tekanan darah

    Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat

    menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.

    d) Rontgen sinus

    Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi.

    e) Skrining terhadap koagulopati

  • 31

    Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah

    platelet dan waktu perdarahan.

    f) Riwayat penyakit

    Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang mendasari

    epistaksis.

    Penatalaksanaan

    Tujuan pengobatan epistaksis adalah untuk menghentikan perdarahan.

    Hal-hal yang penting adalah(1):

    1. Riwayat perdarahan sebelumnya.

    2. Lokasi perdarahan.

    3. Apakah darah terutama mengalir ke tenggorokan (ke posterior) atau keluar dari hidung depan

    (anterior) bila pasien duduk tegak.

    4. Lamanya perdarahan dan frekuensinya

    5. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga

    6. Hipertensi

    7. Diabetes melitus

    8. Penyakit hati

    9. Gangguan koagulasi

    10. Trauma hidung yang belum lama

    11. Obat-obatan, misalnya aspirin, fenil butazon

    Pengobatan disesuaikan dengan keadaan penderita, apakah dalam keadaan akut atau tidak(3,10).

    a) Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bila penderita

    sangat lemah atau keadaaan syok.

    b) Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan dengan cara

    duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama

    beberapa menit.

    c) Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang telah dibasahi dengan

    adrenalin dan pantokain/lidokain, serta bantuan alat penghisap untuk membersihkan bekuan

    darah.

    d) Pada epistaksis anterior jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik

    dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam trikloroasetat 10% atau dengan elektrokauter.

    e) Sebelum kaustik diberikan analgesia topikal terlebih dahulu.

    f) Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan pemasangan

    tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat

    antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita

    dengan lebar kurang cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga

    hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapat dipertahankan

    selama 1-2 hari.

    g) Perdarahan posterior

    Diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan

    ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah

    lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus menutup koana (nares posterior)

  • 32

    Teknik Pemasangan

    Untuk memasang tampon Bellocq, dimasukkan kateter karet melalui nares anterior sampai

    tampak di orofaring dan kemudian ditarik ke luar melalui mulut. Ujung kateter kemudian diikat pada

    dua buah benang yang terdapat pada satu sisi tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar

    hidung.

    Benang yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk tangan yang

    lain membantu mendorong tampon ini ke arah nasofaring. Jika masih terjadi perdarahan dapat

    dibantu dengan pemasangan tampon anterior, kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang

    diletakkan di tempat lubang hidung sehingga tampon posterior terfiksasi.

    Sehelai benang lagi pada sisi lain tampon Bellocq dikeluarkan melalui mulut (tidak boleh

    terlalu kencang ditarik) dan diletakkan pada pipi. Benang ini berguna untuk menarik tampon keluar

    melalui mulut setelah 2-3 hari. Setiap pasien dengan tampon Bellocq harus dirawat.

    Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter Foley dengan balon. Balon

    diletakkan di nasofaring dan dikembangkan dengan air. Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat

    dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan tampon posterior. Untuk itu pasien harus

    dirujuk ke rumah sakit.

  • 33

    DAFTAR PUSTAKA

    Adam GL, Boies LR, Higler PA. (eds) Buku Ajar Penyakit THT, Edisi Keenam, Philadelphia :

    WB Saunders, 1989. Editor Effendi H. Cetakan III. Jakarta, Penerbit EGC, 1997.

    Al Fauzi, Asra. Penanganan Cedera Kepala Di Puskesmas. (access 2010 Nov 20). Available

    from URL : http://stetoskopmerah.blogspot.com/search/label/cermin%20dunia%20kedokteran

    American College Surgeon. Advanced Trauma Life Support Edisi Ketujuh. United States of

    America, 2004.

    Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4, Anugrah P. EGC,

    Jakarta,1995, 1014-1016

    Anonym, Epidural hematoma,www.braininjury.com/epidural-subdural-hematoma.html.

    Anonym. Cedera kepala. (access 2010 Nov 26). Available from URL :

    http://74.125.153.132/search?q=cache:UPDmMAULAGMJ:rusari.com/ASKEP_CKB.doc+subdural

    +hematoma+prognosis&cd=6&hl=id&ct=clnk&gl=id

    Anonym. Chirugica. Tosca Enterprise, Yogyakarta. 2005

    Arif Mansjoer dkk Editor, Trauma Susunan Saraf dalam Kapita Selekta Kedokteran edisi

    Ketiga jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta, 2000

    Dahnert W, MD, Brain Disorders, Radioogy Review Manual, second edition, Williams &

    Wilkins, Arizona, 1993, 117 178

    De Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta. 2006.

    Edisson , Sahat. Diktat bedah : Neurotrauma. Bagian ilmu Bedah . FK UNSRI

    Ellis, Harold. Applied anatomy for students and junior doctors. Eleventh edition. Blackwell

    Publishing. 2006.

    Harsono, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada Universiti Press, Yogyakarta, 2005

    Hasan Sjahrir, Ilmu Penyakit Saraf Neurologi Khusus, Dian Rakyat, Jakarta, 2004

    Japardi, Iskandar. Cedera Kepala. BIP. Jakarta. 2004

    Mahar Mardjono, Priguna Sidharta, Neurologi Klinis Dasar, dian Rakyat, Jakarta, 2004

    Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono, Gajah Mada

    University Press, Yogyakarta, 2005, 314

    Mc.Donald D., Epidural Hematoma, www.emedicine.com

    Riyanto, Budi. Penatalaksanaan Fase Akut Cedera Kepala. Cermin Dunia Kedokteran 1997; no

    77.

    Santos, Perry M., Lepore, Michael Leo. (2001). Epistaxis. Dalam : Byron J. Head and Neck

    Surgery-otolaryngology. Volume 2 . Third Edition . Philadelphia : JB Lippincott Company

    Sidharta, Priguna. Neurologi Klinis dalam praktek Umum. Dian Rakyat, Jakarta. 2004

    Snell, S Richard. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Bagian 3. alih bahasa dr.Jan

    Tambayong. 1997. EGC.

    Soertidewi L. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranio Serebral, Updates In

    Neuroemergencies, Tjokronegoro A., Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2002, 80

    Sutton D, Neuroradiologi of The Spine, Textbook of Radiology and Imaging, fifth edition,

    Churchill Living Stone, London,1993, 1423

    Sylvia, A Price dan Wilson M Lorraine. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses Penyakit.

    EGC. Jakarta. 2006. p: 1167-1174