130146572-makalah-5-forensik.docx

39
DAFTAR ISI DAFTAR ISI 1 BAB I : PENDAHULUAN 2 BAB II : SKENARIO KASUS 3 BAB III : PEMBAHASAN 1. ETIKA PROFESI KEDOKTERAN 5 2. ASPEK HUKUM 10 3. PROSEDUR MEDIKOLEGAL 13 4. HAL-HAL YANG DIINFORMASIKAN 18 5. REKAM MEDIS 19 6. P ROSEDUR TINDAKAN MEDIS 22 BAB IV : KESIMPULAN 2 5 BAB V : DAFTAR PUSTAKA 2 6 1

Upload: putery-rizkia-amry

Post on 26-Dec-2015

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 130146572-Makalah-5-Forensik.docx

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 1

BAB I : PENDAHULUAN 2

BAB II : SKENARIO KASUS 3

BAB III : PEMBAHASAN

1. ETIKA PROFESI KEDOKTERAN 5

2. ASPEK HUKUM 10

3. PROSEDUR MEDIKOLEGAL 13

4. HAL-HAL YANG DIINFORMASIKAN 18

5. REKAM MEDIS 19

6. PROSEDUR TINDAKAN MEDIS 22

BAB IV : KESIMPULAN 25

BAB V : DAFTAR PUSTAKA 26

1

Page 2: 130146572-Makalah-5-Forensik.docx

BAB I

PENDAHULUAN

Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pola pikir

masyarakat sekarang ini pun kian maju oleh karena mudahnya pengaksesan informasi,

termasuk informasi kesehatan. Hal itu membuat sebagian besar masyarakat menjadi lebih

kritis dalam menilai setiap tindakan medis yang diperolehnya. Sehingga hubungan dokter-

pasien yang pada awalnya adalah hubungan yang bersifat paternalistic lambat laun berubah

menjadi hubungan yang kontraktual di mana dokter dan pasien adalah pihak-pihak yang

bebas, yang meskipun memiliki perbedaan kapasitas dalam membuat keputusan, tetapi saling

menghargai. Dokter akan mengemban tanggung jawab atas segala keputusan teknis,

sedangkan pasien tetap memegang kendali keputusan penting, terutama yang terkait dengan

nilai moral dan gaya hidup pasien. Hubungan kontrak mengharuskan terjadinya pertukaran

informasi dan negosiasi sebelum terjadinya kesepakatan, namun juga memberikan peluang

kepada pasien untuk menyerahkan pengambilan keputusan kepada dokter.

2

Page 3: 130146572-Makalah-5-Forensik.docx

BAB II

SKENARIO KASUS

Seorang pasien berumur 62 tahun datang ke rumah sakit dengan karsinoma kolon yang

telah terminal. Pasien masih cukup sadar, berpendidikan cukup tinggi. Ia memahami benar

posisi kesehatannya dan keterbatasan kemampuan ilmu kedokteran saat ini. Ia juga memiliki

pengalaman pahit sewaktu kakaknya menjelang ajalnya dirawat di ICU dengan peralatan

bermacam-macam tampak sangat menderita, dan alat-alat tersebut tampaknya hanya

memperpanjang penderitaannya saja. Oleh karena itu, ia meminta kepada dokter apabila dia

mendekati ajalnya agar menerima terapi yang minimal saja (tanpa antibiotika, tanpa peralatan

ICU, dan lain-lain), dan ia ingin mati dengan tenang dan wajar. Namun, ia tetap setuju

apabila ia menerima obat-obatan penghilang rasa sakit bila memang dibutuhkan.

3

Page 4: 130146572-Makalah-5-Forensik.docx

BAB III

PEMBAHASAN

CARCINOMA COLON

Carsinoma colon atau kanker usus besar adalah suatu bentuk keganasan yang terjadi

pada kolon, rektum, dan appendix (usus buntu). Di negara maju, kanker ini menduduki

peringkat ke tiga yang paling sering terjadi, dan menjadi penyebab kematian yang utama di

dunia barat.

Mula-mula gejalanya tidak jelas, seperti berat badan menurun (sebagai gejala umum

keganasan) dan kelelahan yang tidak jelas sebabnya. Setelah berlangsung beberapa waktu

barulah muncul gejala-gejala lain yang berhubungan dengan keberadaan tumor dalam ukuran

yang bermakna di usus besar. Makin dekat lokasi tumor dengan anus biasanya gejalanya

makin banyak. Bila kita berbicara tentang gejala tumor usus besar, gejala tersebut terbagi

tiga, yaitu gejala lokal, gejala umum, dan gejala penyebaran (metastasis).

Gejala lokalnya adalah, antara lain :

Perubahan kebiasaan buang air.

Perubahan frekuensi buang air, berkurang (konstipasi) atau bertambah (diare)

Sensasi seperti belum selesai buang air, (masih ingin tapi sudah tidak bisa keluar) dan

perubahan diameter serta ukuran kotoran (feses). Keduanya adalah ciri khas dari

kanker kolorektal

Perubahan wujud fisik kotoran/feses

Feses bercampur darah atau keluar darah dari lubang pembuangan saat buang air

besar, feses bercampur lender.

Feses berwarna kehitaman, biasanya berhubungan dengan terjadinya perdarahan di

saluran pencernaan bagian atas.

Timbul rasa nyeri disertai mual dan muntah saat buang air besar, terjadi akibat

sumbatan saluran pembuangan kotoran oleh massa tumor.

Adanya benjolan pada perut yang mungkin dirasakan oleh penderita.

Timbul gejala-gejala lainnya di sekitar lokasi tumor, karena kanker dapat tumbuh

mengenai organ dan jaringan sekitar tumor tersebut, seperti kandung kemih (timbul

darah pada air seni, timbul gelembung udara, dan lain-lain), vagina (keputihan yang

berbau, muncul lendir berlebihan, dan lain-lain). Gejala-gejala ini terjadi belakangan,

menunjukkan semakin besar tumor dan semakin luas penyebarannya.

4

Page 5: 130146572-Makalah-5-Forensik.docx

ETIKA PROFESI KEDOKTERAN

Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar-salahnya suatu

sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Penilaian

baik-buruk dan benar-salah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang

cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang paling banyak dianut orang adalah

teori deontologi dan teleologi. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa, Deontologi

mengajarkan bahwa baik-buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatannya itu sendiri

(I Kant), sedangkan teleologi mengajarkan untuk menilai baik-buruk tindakan dengan melihat

hasilnya atau akibatnya (D Hume, J Bentham, JS Mills). Deontologi lebih mendasarkan

kepada ajaran agama, tradisi dan budaya, sedangkan teleologi lebih ke arah penalaran

(reasoning) dan pembenaran (justifikasi) kepada azas manfaat (aliran utilitarian).

Etika adalah cabang ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu sikap

atau perbuatan dilihat dari moralitas. Etik deskriptif yaitu bidang sains yang mempelajari

moralitas merupakan pengatuan empiris tentang moralitas dan menjelaskan pandangan moral

tentang isu-isu yang terjadi pada ketika itu. Etika sendiri terbagi kepada :

Etika normatif : Penegakan terhadap apa yang benar secara moral dan mana yang

salah secara moral dalam kaitannya.

Etika metaetik: Memperlihatkan analisis dari kedua konsep moral yang telah

disebutkan.1

Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa: “seorang dokter harus senantiasa berupaya

melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang

dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya sebagai seorang profesi dokter harus sesuai

dengan ilmu kedokteran mutakhir, hukum dan agama.

KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat akan

kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan

untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jadi dalam menjalankan profesinya

seorang dokter tidak boleh melakukan:

5

Page 6: 130146572-Makalah-5-Forensik.docx

1. Menggugurkan kandungan (Abortus Provocatus),

2. Mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak

mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).

Sumpah dokter yang paling banyak dikenal adalah sumpah Hippocrates yang

berisikan kewajipan-kewajipan dokter dalam berprilaku dan bersikap atau seperti code of

conduct bagi dokter. 1

Kode etik kedokteran Indonesia (KODEKI) dibuat dengan mengacu kepada Kode

Etik Kedokteran Internasional yang berunsurkan tentang kewajiban umum, kewajiban

terhadap pasien, kewajipan terhadap sesame dan kewajipan terhadap diri sendiri.

KODEKI berisikan:

KEWAJIBAN UMUM

Pasal 1:

Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.

Pasal 2:

Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar

profesi yang tertinggi.

Pasal 3:

Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh

sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.

Pasal 4:

Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.

Pasal 5:

Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik

hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan

pasien.

Pasal 6:

Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap

penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang

dapat menimbulkan keresahan masyarakat.

Pasal 7:

Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri

kebenarannya.

6

Page 7: 130146572-Makalah-5-Forensik.docx

Pasal 7a:

Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang

kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang

(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.

Pasal 7b:

Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan

berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam

karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam

menangani pasien

Pasal 7c:

Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga

kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien

Pasal 7d:

Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.

Pasal 8:

Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan

masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh

(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha

menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.

Pasal 9:

Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang

lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.2

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN

Pasal 10:

Setiap dokten wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan

ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu

pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien,ia wajib menujuk pasien kepada

dokten yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.

Pasal 11:

Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat

berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah

lainnya.

Pasal 12:

7

Page 8: 130146572-Makalah-5-Forensik.docx

Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien,

bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

Pasal 13:

Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan,

kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya. 2

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWAT

Pasal 14:

Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.

Pasal 15:

Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman sejawat, kecuali dengan

persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis. 2

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP DIRI SENDIRI

Pasal 16:

Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.

Pasal 17:

Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

kedokteran/kesehatan. 2

Bioetika adalah salah satu cabang dari etik normatif di atas. Bioetik atau Biomedical

ethics adalah etik yang berhubungan dengan praktek kedokteran dan atau penelitian di bidang

biomedis.

Beberapa contoh pertanyaan di dalam bioetika adalah : Apakah seorang dokter

berkewajiban secara moral untuk memberitahukan kepada seorang yang berada dalam

stadium terminal bahwa ia sedang sekarat? Apakah membuka rahasia kedokteran dapat

dibenarkan secara moral? Apakah aborsi ataupun euthanasia dapat dibenarkan secara moral?

Pertanyaan bioetik juga dapat menyangkut tentang dapat dibenarkan atau tidaknya

suatu hukum dilihat dari segi etik, seperti: Apakah dapat dibenarkan membuat suatu

peraturan perundang-undangan yang mewajibkan seseorang untuk menerima tindakan medis

yang bersifat life-saving, meskipun bertentangan dengan keinginannya? Apakah dapat

dibenarkan secara etik apabila dibuat suatu hukum yang mengharuskan memasukkan

seseorang sakit jiwa ke dalam rumah sakit, meskipun bertentangan dengan keinginan pasien ?

8

Page 9: 130146572-Makalah-5-Forensik.docx

Apakah dapat dibenarkan membuat suatu peraturan yang membolehkan tindakan medis apa

saja yang diminta oleh pasien kepada dokternya, meskipun sebenarnya tidak ada indikasi ?

Di dalam menentukan tindakan di bidang kesehatan atau kedokteran, selain

mempertimbangkan keempat kebutuhan dasar di atas, keputusan hendaknya juga

mempertimbangkan hak-hak asasi pasien. Pelanggaran atas hak pasien akan mengakibatkan

juga pelanggaran atas kebutuhan dasar di atas terutama kebutuhan kreatif dan spiritual pasien.

Beauchamp and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu

keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral principle) dan beberapa rules

dibawahnya. Ke-4 kaidah dasar moral tersebut adalah :

1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak

otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang kemudian

melahirkan doktrin informed consent;

2. Princip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan

ke kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan

saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi

buruknya (mudharat);

3. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang

memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai "primum non nocere" atau

"above all do no harm".

4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam

bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice).

Sedangkan rules derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur dan terbuka),

privacy (menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien) dan

fidelity (loyalitas dan promise keeping).

Selain prinsip atau kaidah dasar moral di atas yang harus dijadikan pedoman dalam

mengambil keputusan klinis, profesional kedokteran juga mengenal etika profesi sebagai

panduan dalam bersikap dan berperilaku (code of ethical conduct). Sebagaimana diuraikan

pada pendahuluan, nilai-nilai dalam etika profesi tercermin di dalam sumpah dokter dan kode

etik kedokteran. Sumpah dokter berisikan suatu "kontrak moral" antara dokter dengan Tuhan

sang penciptanya, sedangkan kode etik kedokteran berisikan "kontrak kewajiban moral"

antara dokter dengan peer-group-nya, yaitu masyarakat profesinya.

9

Page 10: 130146572-Makalah-5-Forensik.docx

ASPEK HUKUM

(PERMENKES No.1419/MENKES/PER/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik

Dokter dan Dokter Gigi pasal 17) Dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan

tindakan kedokteran atau kedokteran gigi terlebih dahlu harus memberika penjelasan kepada

pasien tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan dan mendapat persetujuan pasien

Pasien berhak menolak tindakan yang dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri

pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang

jelas tentang penyakitnya.

Pemberian obat-obatan juga harus dengan persetujuan pasien dan bila pasien meminta

untuk dihentikan pengobatan, maka terapi harus dihentikan kecuali dengan penghentian

terapi akan mengakibatkan keadaan gawat darurat atau kehilangan nyawa pasien

Dalam Pedoman Penegakkan Disiplin Kedokteran tahun 2008 seorang dokter dapat

dikategorikan melakukan bentuk pelanggaran disiplin kedokteran apabila tidak memberikan

penjelasan yang jujur, etis, dan memadai (adequate information) kepada pasien atau

keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran.

Hak Pasien atas Informasi  Penyakit dan Tindakan Medis dari Aspek Hukum

Kedokteran.

Merima pelayanan praktik kedokteran mempunyai hak mendapatkan penjelasan

secara lengkap tentang tindakan medis  yang akan diterimanya (Undan-Undang No. 29 tahun

2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 52).  Penjelasan tersebut sekurang-kurangnya

mencakup :

1. Diagnosis dan tata cara tindakan medis

2. Tujuan tindakan medis yang dilakukan

3. Alternatif tindakan lain dan resikonya

4. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi

5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. (Pasal 45 ayat 3).

Dalam praktek kedokteran dikenal dua macam euthanasia yaitu:

10

Page 11: 130146572-Makalah-5-Forensik.docx

a. Euthanasia pasif: Ialah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan

memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Alasan yang lazim

dikemukakan dokter ialah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan

memperpanjang penderitaan pasien, tidak mengurangi keadaan sakitnya yang

memang sudah parah.5

b. Euthanasia pasif:

Tindakan dokter berupa penghentian pengobatan pasien yang menderita sakit keras,

yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian

pemberian obat ini berakibat mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim

dikemukakan ialah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana

yang dibutuhkan untuk biaya pengobatan cukup tinggi, sedangkan fungsi

pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.

Tindakan upaya dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut

penelitian medis masih mungkin bisa sembuh. Umumnya alasannya adalah

ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi padahal biaya pengobatannya yang

dibutuhkan sangat tinggi. 5

Secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu

bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien atau korban itu

sendiri (voluntary euthanasia). 5

Pasal 344 KUHP. Yang menyatakan : “Barang siapa merampas nyawa orang lain

atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam

dengan pidana penjara palinglama dua belas tahun”.6 Maka disimpulkan, bahwa

pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan

demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai

perbuatan yang dilarang dan tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang”

sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai

tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang

melanggar larangan tersebut5. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan, “

Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan

pidana penjara paling lama lima belas tahun”. 6

Pasal 340 KUHP menyatakan, “ Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana

lebih dulu merampas nyawa oranglain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan

11

Page 12: 130146572-Makalah-5-Forensik.docx

pidana mati atau pidana penjaraseumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua

puluh tahun”. 6

Pasal 356 (3) KUHP “Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan

yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”. 6

Pasal 304 KUHP dinyatakan, “Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau

membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku

baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau

pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun

delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah” 6.

Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut

dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”. 6

KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya

euthanasia aktif dan dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau dengan sengaja

menghilangkan nyawa seseorang. Akibatnya, dokter sering dipersalahkan dalam tindakan

euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli

apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk

mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang

belum diketahui pengobatannya. 5

Di lain pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar

bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan tidak menghendaki kematiannya seperti pasien

yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat pasal-pasal dalam undang-undang dalam

KUHP. Beberapa pasal KUHP yang berkaitan dengan euthanasia antara lain 338, 340, 344,

345, dan 359. Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, antara

lain pasal 1313, 1314, 1315, dan 1319 KUH Perdata.5,6 Secara formal tindakan euthanasia di

Indonesia belum memiliki dasar hukum sehingga selalu terbuka kemungkinan terjadinya

penuntutan hukum terhadap euthanasia yang dilakukan.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berperan dalam menghadapi perkembangan iptekdok,

telah menyiapkan perangkat lunak berupa SK PB IDI no.319/PB/4/88 mengenai “Pernyataan

Dokter Indonesia tentang Informed Consent”. Disebutkan di sana, manusia dewasa dan sehat

rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya.

Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien,

walau untuk kepentingan pasien itu sendiri. Kemudian SK PB IDI no.336/PB/4/88 mengenai

12

Page 13: 130146572-Makalah-5-Forensik.docx

“Pernyataan Dokter Indonesia tentang Mati”. Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum

tersosialisasikan dengan baik di kalangan IDI sendiri maupun di kalangan pengelola rumah

sakit. Sehingga, tiap dokter dan rumah sakit masih memiliki pandangan dan kebijakan yang

berlainan.5

Masalah euthanasia dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 dan 344

KUHP. 5 Dalam hal ini terdapat apa yang disebut ‘concursus idealis’ yang diatur dalam pasal

63 KUHP, yang menyebutkan bahwa: (1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu

aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-

beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. (2) Jika suatu

perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum diatur pula dalam aturan

pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan. Pasal 63 (2) KUHP ini

mengandung asas ‘lex specialis derogat legi generalis’, yaitu peraturan yang khusus akan

mengalahkan peraturan yang sifatnya umum.

PROSEDUR MEDIKOLEGAL

Persetujuan tindakan medik

Peraturan menteri kesehatan No 585/MenKes/Per/IX/1989 tentang persetujuan tindakan

medis

Pasal 1. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

1. Persetujuan tindakan medik/informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh

pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan

dilakukan terhadap pasien tersebut;

2. Tindakan medik adalah suatu tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien berupa

diagnostik atau terapeutik;

3. Tindakan invasif adalah tindakan medik yang langsung dapat mempengaruhi

keutuhan jaringan tubuh;

4. Dokter adalh dokter umum/spesialis dan dokter gigi/dokter gigi spesialis yang bekerja

di rumah sakit, puskesmas, klinik, atau praktek perorangan atau bersama. 6

Pasal 2. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

1. Semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat

persetujuan.

13

Page 14: 130146572-Makalah-5-Forensik.docx

2. Persetujuan dapat diberi secara bertulis atau lisan

3. Persetujuan sebagaiman dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat

informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta

risiko yang dapat ditimbulkannya.

4. Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan

serta kondisi dan situasi pasien6

Pasal 3. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

1. Setiap tindakan medis yang berisiko tinggi harus dengan persetujuan bertulis yang

ditanda tangani oleh yang berhak memberikan persetujuan6

Pasal 4. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

1. Informasi tentang tindakan medik harus diberi kepada pasien, baik diminta maupun

tidak diminta.

2. Dokter harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya, kecuali bila dokter

menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau

pasien menolak diberikan informasi. 6

Pasal 5. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

1. Informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan kerugian dari tindakan medik

yang kan dilakukan, baik diagnostik maupun terapeutik

2. Informasi diberikan secara lisan

3. Informasi harus diberiakn jujur dan benar kecuali bila dokter menilai bahwa hal itu

dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien,

4. Dalam hal dimaksud dalam ayat (3) dokter dengan persetujuan pasien dapat

memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat pasien. 6

Pasal 8. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

1. Persetujuan diberiakan oleh pasien dewasa yang berada dalam keadaan sedar dan

sehat mental

2. Pasien dewasa yang dimaksud ayat (1) adalah yang telah berumur 21 tahun atau telah

menikah. 6

Panitia Pertimbangan Dan Pembinaan Etik Kedokteran

14

Page 15: 130146572-Makalah-5-Forensik.docx

Peraturan menteri kesehatan No 554/MenKes/Per/XII/1982 tentang Panitia pertimbangan

dan Pembinaan Etik Kedokteran

Pasal 8 Permenkes No 554/MenKes/Per/XII/1982

Panitia Pertimbangan Dan Pembinaan Etik Kedokteran (P3EK) Pusat dalam persoalan Etik

Kedokteran dan khusunya dalam menangani pelanggaran kode etik masing-masing

bekerjasam dengan IDI atau PDGI6

Pasal 22 Permenkes No 554/MenKes/Per/XII/1982

(1) P3EK Propinsi dalam hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) mengusulkan

kepada Kakanwil DepKes Propinsi untuk mengambil tindakan yang diperlukan terhadap

dokter atau dokter gigi yang bersngkutan

(2) Kakanwil DepKes Propinsi dapat mengambil tindakan berupa peringatan atau tindakan

administratif terhadap dokter atau dokter gigi sesuai dengan berat ringannya pelanggaran6

Dalam aspek hukum kesehatan, hubungan dokter dengan pasien terjalin dalam ikatan

transaksi atau kontrak terapeutik. Tiap-tiap pihak, yaitu yang memberi pelayanan (medical

providers) dan yang menerima pelayanan (medical receivers) mempunyai hak dan kewajiban

yang harus dihormati. Dalam ikatan demikianlah masalah Persetujuan Tindakan Medik atau

yang sekarang disebut Persetujuan Tindakan Kedokteran (PTM) ini timbul. Artinya, di satu

pihak dokter (tim dokter) mempunyai kewajiban untuk melakukan diagnosis, pengobatan,

dan tindakan medik yang terbaik menurut jalan pikiran dan pertimbangannya (mereka), dan

di lain pihak pasien atau keluarga pasien memiliki hak untuk menentukan pengobatan atau

tindakan medik apa yang akan dilaluinya.

Masalahnya adalah, tidak semua jalan pikiran dan pertimbangan terbaik dari dokter

akan sejalan dengan apa yang diinginkan' atau dapat diterima oleh pasien atau keluarga

pasien. Hal ini dapat terjadi karena dokter umumnya melihat pasien hanya dari segi medik

saja, sedangkan pasien mungkin melihat dan mempertimbangkan dari segi lain yang tidak

kalah pentingnya, seperti keuangan, psikis, agama, dan pertimbangan keluarga.

Perkembangan terakhir di Indonesia mengenai PTM adalah ditetapkannya Peraturan

Menteri Kesehatan No. 585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik

(informed consent).

Yang dimaksud dengan informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh

pasien atau walinya yang berhak kepada dokter untuk melakukan suatu tindakan medis

15

Page 16: 130146572-Makalah-5-Forensik.docx

terhadap pasien sesudah pasien atau wali itu memperoleh informasi lengkap dan memahami

tindakan itu. Dengan kata lain, informed consent juga disebut persetujuan tindakan medis.

Persetujuan (consent) dapat dibagi menjadi 2, yaitu:

1. expressed, dapat secara lisan atau secara tulisan, dan

2. implied, yang dianggap telah diberikan.

Persetujuan yang paling sederhana ialah persetujuan yang diberikan secara lisan,

misal untuk tindakan-tindakan rutin. Tindakan-tindakan, yang lebih kompleks yang

mempunyai risiko yang kadang-kadang tidak dapat diperhitungkan dari awal dan yang dapat

menyebabkan hilangnya nyawa atau cacat permanen, memperoleh persetujuan yang tertulis

agar suatu saat apabila diperlukan persetujuan itu dapat dijadikan bukti.

Namun, persetujuan yang dibuat secara tertulis tersebut tidak dapat dipakai sebagai

alat untuk melepaskan diri dari tuntutan apabila terjadi suatu yang merugikan pasien. Hal ini

harus diingat karena secara etik dokter diharapkan untuk memberikan yang terbaik bagi

pasien. Apabila dalam suatu kasus ditemukan unsur kelalaian dari pihak dokter, maka dokter

tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Begitu pula dari pihak pasien;

mereka tidak bisa langsung menuntut apabila terjadi hal-hal di luar dugaan karena hams ada

bukti-bukti yang menunjukkan adanya kelalaian. Dalam hal ini, harus dibedakan antara

kelalaian dan kegagalan. Apabila hal tersebut merupakan risiko dari tindakan yang telah

disebutkan dalam persetujuan tertulis, maka pasien tidak bisa menuntut. Oleh sebab itu, untuk

memperoleh persetujuan dari pasien dan untuk menghindari adanya salah satu pihak yang

dirugikan, dokter wajib memberikan informasi sejelas-jelasnya agar pasien dapat

mempertimbangkan apa yang akan terjadi terhadap dirinya. Biasanya informasi itu meliputi:

a. sifat dan tujuan tindakan medik;

b. keadaan pasien yang memerlukan tindakan medis;

c. risiko dari tindakan itu apabila dilakukan atau tidak.

Implied consent adalah peristiwa yang terjadi sehari-hari. Misalnya, seorang ibu

datang ke poliklinik kebidanan dengan keluhan terasa ada yang aneh pada alat-alat genital.

Dalam hal ini, ia dianggap telah memberikan persetujuan untuk dilakukan pemeriksaan sesuai

prosedur. Meskipun demikian, secara etik/santunnya dokter diharapkan meminta persetujuan

lisan.

Implied consent juga dapat terjadi pada keadaan gawat darurat apabila pasien dalam

keadaan tidak sadar, kritis, sementara persetujuan dari wali tidak diperoleh karena tidak ada

di tempat. Dalam hal ini dokter secara etik berkewajiban menolong pasien jika memang

diyakini tidak ada orang lain yang sanggup.

16

Page 17: 130146572-Makalah-5-Forensik.docx

Dalam memberikan informasi tentang tindakan medis yang akan dilakukan, harus

diingat kondisi pasien pada saat itu. Mengingat pasien biasanya datang dalam keadaan yang

tidak sehat, diharapkan dokter tidak memberikan informasi yang dapat mempengaruhi

keputusan pasien karena dalam keadaan yang demikian itu pikiran pasien tersebut mudah

terpengaruh. Atau apabila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk menerima informasi

tersebut, diharapkan wali yang berhak dapat menggantikannya. Apabila wali tidak ada dan

kondisi pasien kritis, maka implied consent dapat diambil sebagai pegangan untuk melakukan

tindakan medis.

Selain terhadap kondisi pasien pada saat ia datang, dokter juga harus dapat

menyesuaikan diri terhadap tingkat pendidikan pasien agar pasien mengerti dan memahami

pembicaraan. Pasien mempunyai hak untuk memperoleh informasi dan dokter berkewajiban

menyampaikan informasi tersebut, baik diminta atau tidak, kecuali jika penyampaian

informasi tersebut akan memperburuk kondisi pasien. Ini sesuai dengan hak dan kewajiban

dokter dan pasien.

Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup

untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed consent juga

berarti mengambil keputusan bersama. Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat

terpenuhi dengan sempurna apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan

sehingga ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat dibuat apabila

informasi yang diberikan dapat menyebabkan guncangan psikis pada pasien.

Elemen-elemen informed consent

Suatu informed consent harus meliputi :

1. Dokter harus menjelaskan pada pasien mengenai tindakan, terapi dan penyakitnya

2. Pasien harus diberitahu tentang hasil terapi yang diharapkan dan seberapa besar

kemungkinan keberhasilannya

3. Pasien harus diberitahu mengenai beberapa alternatif yang ada dan akibat apabila

penyakit tidak diobati

4. Pasien harus diberitahu mengenai risiko apabila menerima atau menolak terapi

Risiko yang harus disampaikan meliputi efek samping yang mungkin terjadi dalam

penggunaan obat atau tindakan pemeriksaan dan operasi yang dilakukan.

17

Page 18: 130146572-Makalah-5-Forensik.docx

HAL-HAL YANG DIINFORMASIKAN

Hasil Pemeriksaan

Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah dilakukan.

Misalnya perubahan keganasan pada hasil Pap smear. Apabila infomasi sudah diberikan,

maka keputusan selanjutnya berada di tangan pasien.

 Risiko

Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya antisipasi

yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi idiosinkratik dan kematian

yang tak terduga akibat pengobatan selama ini jarang diungkapkan dokter. Sebagian kalangan

berpendapat bahwa kemungkinan tersebut juga harus diberitahu pada pasien. Jika seorang

dokter mengetahui bahwa tindakan pengobatannya berisiko dan terdapat alternatif

pengobatan lain yang lebih aman, ia harus memberitahukannya pada pasien. Jika seorang

dokter tidak yakin pada kemampuannya untuk melakukan suatu prosedur terapi dan terdapat

dokter lain yang dapat melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien.

 Alternatif

Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan terapi.

Ia harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya yang ditimbulkan dari

beberapa pilihan tersebut. Sebagai contoh adalah terapi hipertiroidisme. Terdapat tiga pilihan

terapi yaitu obat, iodium radioaktif, dan subtotal tiroidektomi. Dokter harus menjelaskan

prosedur, keberhasilan dan kerugian serta komplikasi yang mungkin timbul.

 Rujukan/ konsultasi

Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa kemampuan

dan pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan terapi pada pasien-pasien

tertentu. Pengadilan menyatakan bahwa dokter harus merujuk saat ia merasa tidak mampu

melaksanakan terapi karena keterbatasan kemampuannya dan ia mengetahui adanya dokter

lain yang dapat menangani pasien tersebut lebih baik darinya.

 Prognosis

18

Page 19: 130146572-Makalah-5-Forensik.docx

            Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele, ketidaknyamanan,

biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk tidak mendapat pengobatan atau tidak

mendapat tindakan apapun. Pasien juga berhak mengetahui apa yang diharapkan dari dan apa

yang terjadi dengan mereka. Semua ini berdasarkan atas kejadian-kejadian beralasan yang

dapat diduga oleh dokter. Kejadian yang jarang atau tidak biasa bukan merupakan bagian dari

informed consent. 

REKAM MEDIS

Dalam pelayanan kedokteran/kesehatan, terutama yang dilakukan para dokter baik di

rumah sakit maupun praktik pribadi, peran pencatatan rekam medis (RM) sangat penting dan

sangat melekat dengan kegiatan pelayanan tersebut. Dengan demikian, ada ungkapan bahwa

rekam medis adalah orang ketiga pada saat dokter menerima pasien. Hal tersebut dapat

dipahami karena catatan demikian akan berguna untuk merekam keadaan pasien, hasil

pemeriksaan serta tindakan pengobatan yang diberikan pada waktu itu. Catatan atau rekaman

itu menjadi sangat berguna untuk mengingatkan kembali dokter tentang keadaan, hasil

pemeriksaan, dan pengobatan yang telah diberikan bila pasien datang kembali untuk berobat

ulang setelah beberapa hari, beberapa bulan, bahkan setelah beberapa tahun kemudian.

Dengan adanya rekam medis, ia bisa mengingat atau mengenali keadaan pasien saat diperiksa

sehingga lebih mudah melanjutkan strategi pengobatan dan perawatannya. Namun, kini

makin dipahami bahwa peran rekam medis tidak terbatas pada asumsi yang dikemukakan di

atas, tetapi jauh lebih luas. Oleh karena itu, para tenaga kesehatan masa kini harus memahami

dengan baik hal-hal yang berkaitan dengan rekam medis.

Dalam Undang-undang Kesehatan, walaupun tidak ada bab yang mengatur tentang

rekam medis secara khusus, secara implisit Undang-undang ini jelas membutuhkan adanya

rekam medis yang bermutu sebagai bukti pelaksanaan pelayanan kedokteran/ kesehatan yang

berkualitas.

Kewajiban dokter untruk membuat rekam medis dalam pelayanan kesehatan

dipertegas dalam UUPK seperti terdapat pada pasal 46: (1). Setiap dokter atau dokter gigi

dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis. (2) Rekam medis

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima

pelayanan kesehatan. Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda

19

Page 20: 130146572-Makalah-5-Forensik.docx

tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan. Selanjutnya dalam pasal 79

diingatkan tentang sanksi hukum yang cukup berat, yaitu denda paling banyak

Rp.50.000.000,- bila dokter terbukti sengaja tidak membuat rekam medis.

Dalam Permenkes No. 749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang RM, disebut pengertian

RM adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan,

pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.

Isi RM

Di rumah sakit didapat dua jenis RM, yaitu:

• RM untuk pasien rawat jalan

• RM untuk pasien rawat inap

Untuk pasien rawat jalan, termasuk pasien gawat darurat, RM memiliki informasi pasien,

antara lain:

a. Identitas dan formulir perizinan (lembar hak kuasa)

b. Riwayat penyakit (anamnesis) tentang :

• keluhan utama

• riwayat sekarang

• riwayat penyakit yang pernah diderita

• riwayat keluarga tentang penyakit yang mungkin diturunkan

c. Laporan pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan laboratorium, foto rontgen, scanning,

MRI, dan lain lain.

d. Diagnosis dan/atau diagnosis banding

e. Instruksi diagnostik dan terapeutik dengan tanda tangan pejabat kesehatan yang

berwenang.

Untuk rawat inap, memuat informasi yang sama dengan yang terdapat dalam rawat jalan,

dengan tambahan :

• Persetujuan tindakan medik

• Catatan konsultasi

• Catatan perawat dan tenaga kesehatan lainnya

• Catatan observasi klinik dan hasil pengobatan

• Resume akhir dan evaluasi pengobatan.

20

Page 21: 130146572-Makalah-5-Forensik.docx

Secara umum kegunaan RM adalah:

1. Sebagai alat komunikasi antara dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang ikut ambil

bagian dalam memberi pelayanan, pengobatan dan perawatan pasien. Dengan membaca

RM, dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang terlibat dalam merawat pasien (misalnya,

pada pasien rawat bersama atau dalam konsultasi) dapat mengetahui penyakit,

perkembangan penyakit, terapi yang diberikan, dan lain-lain tanpa harus berjumpa satu

sama lain. Ini tentu merupa-kan sarana komunikasi yang efisien.

2. Sebagai dasar untuk perencanaan pengobatan/perawatan yang harus diberikan kepada

pasien. Segala instruksi kepada perawat atau komunikasi sesama dokter ditulis agar

rencana pengobatan dan perawatan dapat dilaksanakan.

3. Sebagai bukti tertulis atas segala pelayanan, perkembangan penyakit dan pengobatan

selama pasien berkunjung/dirawat di rumah sakit. Bila suatu waktu diperlukan bukti

bahwa pasien pernah dirawat atau jenis pelayanan yang diberikan serta perkembangan

penyakit selama dirawat, tentu data dari RM dapat mengungkapkan dengan jelas.

4. Sebagai dasar analisis, studi, evaluasi terhadap mutu pelayanan yang diberikan kepada

pasien. Baik buruknya pelayanan yang diberikan tercermin dari catatan yang ditulis atau

data yang didapati dalam RM. Hal ini tentu dapat dipakai sebagai bahan studi ataupun

evaluasi dari pelayanan yang diberikan.

5. Melindungi kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit maupun dokter dan tenaga

kesehatan lainnya. Bila timbul permasalahan (tuntutan) dari pasien kepada dokter

maupun rumah sakit, data dan keterangan yang diambil dari RM tentu dapat diterima

semua pihak. Di sinilah akan terungkap aspek hukum dari RM tersebut. Bila catatan dan

data terisi lengkap, RM akan menolong semua yang terlibat. Sebaliknya, bila catatan

yang ada hanya sekedarnya saja, apalagi kosong pasti akan merugikan dokter dan rumah

sakit. Penjelasan yang bagaimanapun baiknya tanpa bukti tertulis, pasti sulit dipercaya.

6. Menyediakan data-data khusus yang sangat berguna untuk keperluan penelitian dan

pendidikan. Setiap penelitian yang melibatkan data klinik pasien hanya dapat diper-

gunakan bila telah direncanakan terlebih dahulu. Oleh karena itu, RM di rumah sakit

pendidikan biasanya tersusun lebih rinci karena sering digunakan untuk bahan penelitian.

7. Sebagai dasar di dalam perhitungan biaya pembayaran pelayanan medik pasien. Bila

pasien mau dipulangkan, bagian administrasi keuangan cukup melihat RM, dan segala

biaya yang harus dibayar pasien/keluarga dapat ditentukan.

21

Page 22: 130146572-Makalah-5-Forensik.docx

8. Menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan, serta sebagai bahan

pertanggungjawaban dan laporan.

Data dan infomasi yang didapat dari RM sebagai bahan dokumentasi, bila diperlukan

dapat digunakan sebagai dasar untuk pertanggungjawaban atau laporan kepada pihak yang

memerlukan masa mendatang.

PROSEDUR TINDAKAN MEDIS

Perawatan penderita tergantung pada tingkat staging kanker itu sendiri. Terapi akan

jauh lebih mudah bila kanker ditemukan pada stadium dini. Tingkat kesembuhan kanker

stadium 1 dan 2 masih sangat baik. Namun bila kanker ditemukan pada stadium yang lanjut,

atau ditemukan pada stadium dini dan tidak diobati, maka kemungkinan sembuhnya pun akan

jauh lebih sulit.

Klasifikasi menurut kanker usus besar menurut Dukes :

Stadium 1 : Kanker terjadi di dalam dinding kolon

Stadium 2 : Kanker telah menyebar hingga ke lapisan otot kolon

Stadium 3 : Kanker telah menyebar ke kelenjar-kelenjar limfa

Stadium 4 : Kanker telah menyebar ke organ-organ lain.6

Tujuan pengobatan kanker ada dua, yaitu kuratif dan paliatif. Pengobatan kuratif

merupakan upaya yang ditujukan untuk mencapai kesembuhan penyakit kanker. Sementara

pengobatan paliatif ditujukan pada penderita kanker yang sudah tidak memungkinkan

kembali dicapainya kesembuhan.

Di antara pilihan terapi untuk penderitanya, pilihan operasi masih menduduki

peringkat pertama, dengan ditunjang oleh kemoterapi dan/atau radioterapi (mungkin

diperlukan).

Pemeriksaan

Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan abdomen dan rektal

Pemeriksaan Penunjang meliputi :

Pengujian darah samar

22

Page 23: 130146572-Makalah-5-Forensik.docx

Enema barium: tumor dan kelainan lain pada kolon memberikan gambaran bayangan

gelap pada gambaran rontgen.

Kolonoskopi.

Biopsi: ditemukan adenokarsinoma.

Ultrasonografi: melihat metastasis kanker ke kelenjar getah bening di hati dan

abdomen.

CT scan

Pemeriksaan antigen karsinoembrionik (CEA)7

Indikasi / Penatalaksanaan Medis8

Pengobatan pada pasien tergantung pada tahap penyakit dan komplikasi yang

berhubungan. Endoskopi, ultrasonografi dan laparoskopi telah terbukti berhasil dalam

pentahapan kanker kolorektal. Pengobatan medis untuk kanker kolorektal paling sering dalam

bentuk pendukung atau terapi adjuvan. Terapi adjuvan biasanya diberikan selain pengobatan

bedah. Pilihan mencakup kemoterapi, terapi radiasi atau imunoterapi.

Medika Mentosa

1. Kemoterapi

- 5-flurouracil merupakan obat pilihan untuk kemoterapi karsinoma kolon.

- Lemavisole serta leucovorin digunakan untuk pasien stadium 3 pasca operasi.

2. Agen biologic

Contoh obat yang digunakan adalah bevacizumab (Avastin) dan Panitumumab

(Vectibix).

3. Radioterapi

Peran radioterapi dalam pengobatan kanker kolon masih terbatas tetapi radioterapi

tetap menjadi modalitas terapi standar. Untuk memperkecil tumor, mencapai hasil

yang lebih baik dari pembedahan, dan untuk mengurangi resiko kekambuhan. Untuk

tumor yang tidak dioperasi atau tidak dapat disekresi, radiasi digunakan untuk

menghilangkan gejala secara bermakna

4. Terapi simptomatik

Termasuk antibiotic, analgesik dan lain-lain. Antara analgesik yang dugunakan adalah

golongan non steroid seperti aspirin dan ibuprofen dan golongan opiod seperti morfin,

fentanil, oxycodone,codein dan tramadol. Pemberian dimulai dengan analgesik lemah

dosis rendah dan ditingkatkan sesuai kebutuhan pasien.

23

Page 24: 130146572-Makalah-5-Forensik.docx

Non Medika Mentosa

1. Pembedahan

Pembedahan masih merupakan terapi pilihan untuk memperpanjang kehidupan

pasien. Prosedur pembedahan pilihan adalah sebagai berikut (Doughty & Jackson,

1993) :

Reseksi segmental dengan anostomosis (pengangkatan tumor dan porsi usus pada

sisi pertumbuhan, pembuluh darah dan nodus limfatik)

Reseksi abdominoperineal dengan kolostomi sigmoid isbandin (pengangkatan

tumor dan porsi sigmoid dan semua isban serta sfingter anal )

Kolostomi sementara diikuti dengan reseksi segmental dan anostomosis serta

reanastomosis lanjut dari kolostomi (memungkinkan dekompresi usus awal dan

persiapan usus sebelum reseksi)

Kolostomi isbandin atau ileostomi (untuk menyembuhkan lesi obstruksi yang

tidak dapat direseksi).

2. Diet

Berdasarkan kajian, pasien yang mengamalkan pemakanan daging merah, biji-bijian,

lemak dan makanan bergula tinggi lebih rentan untuk kambuh isbanding pasien yang

mengamalkan diet tinggi serat dan protein.

BAB IV

KESIMPULAN

Seorang dokter itu haruslah memastikan dirinya berada dalam keadaan yang optimum

dengan senantiasa menerapkan etika profesi kedokteran yang berlandaskan konsep dasar

moral yaitu prinsip otonomi, prinsip beneficence, prinsip non-maleficence, dan prinsip

justice. Suatu tindakan medis terhadap pasien tanpa memperoleh persetujuan terlebih dahulu

dari pasien tersebut dapat dianggap sebagai penyerangan atas hak orang lain atau melanggar

24

Page 25: 130146572-Makalah-5-Forensik.docx

hukum. Namun, euthanasia dari segi hukum yang antaranya dibahas pada Pasal 338, 340,

344, 345, dan 359, tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang dan tidak dimungkinkan

dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri.

Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang

diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut Beberapa pasal KUHP

yang berkaitan dengan eutanasia.

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan Hukum Kedokteran. Jakarta; 2007.

2. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC; 2007.

3. Samil RS. Etika Kedokteran Indonesia. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo; 2001.

4. Sampurna B. Kelalaian medik. Diunduh dari:

http://www.freewebs.com/kelalaianmedik. Diakses pada 25 januari 2012.

25

Page 26: 130146572-Makalah-5-Forensik.docx

5. Daliyono. Bagaimana dokter berpikir dan bekerja. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama; 2006.

6. Hubungan dokter dan pasien. Diunduh dari :

http://prematuredoctor.blogspot.com/2010/06/hubungan-dokter-pasien.html. Diakses

pada 15 Januari 2011.

7. Etika Profesi dalam Kesehatan. Diunduh dari: http://id.shvoong.com/medicine-and-

health/gynecology/2019661-etika-profesi-dalam-kesehatan/. Diakses pada 25 januari

2011.

8. Referat Karsinoma Kolon. Diunduh dari: http://www.scribd.com/doc/49591109.

Diakses pada 16 Oktober 2012.

26