makalah 5 ham
DESCRIPTION
vbx bbgfTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Diskusi tutorial modul HAM pertama dengan kasus “Seorang Pasien Yang Minta
Disuntik Mati” Dimulai dengan sesi pertama pada hari Selasa, 16 Juli 2013 dan dilanjutkan
dengan sesi kedua pada hari Rabu, 17 Juli 2013 di ruang 708A.
Pada diskusi sesi pertama dimulai dari pukul 13.00-14.30 yang dipimpin oleh Fadhilla
Sekar dengan sekretaris Ricka Hardi dibimbing dr. Rudy Hartanto sebagai tutor.
Pada diskusi sesi kedua dimulai dari pukul 08.00-09.30 yang dipimpin Chairunnisa
dengan sekretaris Fadhilla Sekar dibimbing Prof. Murad sebagai tutor.
Pada diskusi kali ini telah dibahas mengenai Seorang Pasien Yang Minta Disuntik Mati.
Diskusi ini berjalan dengan lancar dengan menjawab beberapa learning issue yang sudah dibahas
saat diskusi. Diskusi kasus sesi pertama dan kedua berlangsung dengan kondusif. Semua anggota
yang berjumlah 13 orang ikut berpartisipasi dengan memberikan pendapatnya masing-masing
berdasarkan referensi yang mereka miliki.
DAFTAR ISI
1
PENDAHULUAN 1
DAFTAR ISI 2
LAPORAN KASUS 3
PEMBAHASAN
Identifikasi Masalah 4
Pembahasan Mengenai Kondisi Pasien 5
Euthanasia dan Bunuh Diri Menurut Hukum, Bioetika dan Agama 7
Penyalahgunaan Narkotika Menurut Hukum, Bioetika dan Agama 13
TINJAUAN PUSTAKA 20
KESIMPULAN 26
DAFTAR PUSTAKA 27
BAB II
LAPORAN KASUS
2
Skenario Kasus
Mino, 27 tahun, diantar tetangganya berobat di sebuah rumah sakit pemerintah karena
demam dan batuk-batuk sudah lama dan tidak kunjung sembuh. Pasien tampak tidak terawat
dengan baik, pucat, lemah, dan kurus. Pada pemeriksaan diketahui pasien menderita pneumonia
dan positif menderita HIV/AIDS.
Dari riwayat kehidupan pribadinya diketahui, pasien adalah anak ketiga dari tiga
bersaudara. Keluarganya cukup harmonis dan kondisi sosial ekonomi juga cukup baik. Dari sejak
kecil, pasien dikenal sebagai anak yang sulit diatur. Ketika pasien duduk di kelas 5 sekolah
dasar, sudah biasa merokok dan bahkan sudah menggunakan obat-obat terlarang. Pada saat
duduk di SMP, pasien sudah berani ke prostitusi, melakukan hubungan seks dengan psk, dan
pasien sudah kecanduan heroin. Di lenganya tampak bekas-bekas tusukan jarum suntik,
Beberapa kali pasien ditangkap polisi dan dimasukan ke panti rehabilitasi, namun pasien kembali
menggunakan heroin.
Keluarga pasien merasa kewalahan mengurus pasien. Sesudah pasien diberi warisan yang
menjadi haknya, keluarganya tidak mau lagi berurusan dengan pasien. Segala perbuatannya
harus ia tangguung sendiri dan keluarganya sudah lepas tangan. Uang dari warisan sudah habis
digunakan untuk membeli heroin dan berfoya-foya dengan psk. Sebelum dirawat, pasien sering
tampak mengemis di jalan untuk menyambung hidupnya. Kepada dokter yang merawat, pasien
berkali-kali minta agar disuntik saja obat yang mematikan karena hidupnya sudah tidak ada
manfaatnya lagi bahkan sering menyusahkan orang lain.
Pasien tampak begitu sedih dan kecewa ketika dokter tidak kunjung mau menyuntikan
obat yang mematikan. Dengan sisa tenaga yang masih ada, pasien lalu terjun bebas dari lantai 5
tempat ia dirawat. Beruntung pasien pasien masih bisa diselamatkan, namun ia menderita cedera
kepala parah dan tidak sadarkan diri.
Tiga hari kemudian pasien meninggal dunia.
BAB III
3
PEMBAHASAN
I. Identifikasi Masalah
1. Pasien mengalami demam dan batuk tidak sembuh sembuh, dan pada
pemeriksaan lanjutan pasien didapatkan menderita pneumonia dan HIV/AIDS.
Penyakit lain pasien mungkin merupakan manifestasi dari HIV/AIDS sehingga
kesembuhan pasien terganggu.
2. Pergaulan bebas dan penggunaan narkotika jarum suntik, dimana kedua hal ini
merupakan faktor resiko terbesar yang menjadi cara penyebaran HIV/AIDS.
Penggunaan narkotika juga menimbulkan masalah ketergantungan yang dapat
berdampak pada masalah ekonomi dan sosial.
3. Keluarga pasien tidak mau lagi berurusan dengan pasien, segala perbuatan pasien
harus ditanggung sendiri , dan keluarganya sudah lepas tangan. Menurut pendapat
kelompok kami, keluarga pasien seharusnya tidak bersikap demikian, sebab
pasien sedang dalam keadaan yang sangat terpuruk. Hal ini justru hanya akan
memperparah kondisi pasien yang masih dibawah pengaruh obat-obatan terlarang.
Dalam keadaan begini ada baiknya, dokter yang bersangkutan memberikan
edukasi juga kepada keluarga agar seharusnya pasien didukung dan diberikan
pendekatan secara agama .
4. Pasien berkali-kali minta agar disuntik saja obat yang mematikan karena
menurutnya hidupnya sudah tidak ada manfaatnya lagi. Terlihat bahwa pasien,
sedang berada pada fase depresi (menurut teori Elizabeth Kubbler Ross). Pasien
putus asa, dan disinilah peran dokter untuk merangkul pasien agar kembali
bangkit.
5. Dokter menolak untuk menyuntikkan obat-obat yang mematikan bagi pasien.
Dokter disini sudah bersikap dengan benar sebab euthanasia , di Indonesia baik
dimata hukum, etik, dan agama tidak dibenarkan.
6. Keesokan harinya pasien bunuh diri, mengalami cedera kepala yang parah, lalu 3
hari kemudian pasien meninggal dunia. Dalam hal ini, pasien mengambil langkah
yang sangat ‘nekat’, puncak depresi pasien dan juga kemungkinan ada pengaruh
4
obat-obatan. Secara agama jelas, tindakan bunuh diri merupakan hal yang sangat
dilarang, karena seyogyanya, yang menentuka hidup-mati seseorang itu adalah
Tuhan YMK.
II. Pembahasan Tentang Kondisi Pasien
Dalam kondisi apapun, sesungguhnya keluarga pasien tidak pantas untuk
menelantarkan pasien begitu saja, meskipun pasien telah diberi hak warisannya.
Bagaimanapun keadaan pasien, keluarga harus tetap mendukung dan memberikan
semangat kepada pasien. Dengan sikap keluarga seperti dalam kasus ini, maka dapat
memperburuk keadaan pasien, seharusnya keluarga pasien dengan lapang dada
menerima kembali dan merawat pasien sebagai keluarga.
Penelantarkan rumah tangga termasuk tindakan yang tidak baik dan tercela,
dalam pandangan masyarakat umum orang menelantarkan keluarga dinilai telah
melakukan tindakan tidak terpuji dan secara sosial akan mendapatkan sanksi berupa
cap tercela pada pelaku penelantaran. Dalam hukum positif, penelantaran dalam
rumah tangga dapat digolongkan sebagai tindakan kekerasan dalam rumah tangga
(domestic violence) dan merupakanstrafbaar feit dengan pengertian perbuatan yang
dilarang oleh peraturan hukum pidana dan tentu saja dikenakan sanksi pidana bagi
siapa saja yang melanggarnya.
Dalam kasus kekerasan rumah tangga seperti tindakan penelantaran, memang
yang paling rentan untuk menjadi korban adalah wanita/isteri dan anak. Salah satu
penyebabnya karena berbagai keterbatasan natural yang dimiliki wanita/isteri serta
anak dibandingkan kaum pria, baik secara fisik maupun psikis.
Kondisi tersebut diperburuk dengan persepsi sebagian masyarakat. Bahwa
peristiwa kekerasan dalam rumah tangga, baik kekerasan fisik maupun penelantaran
masih dianggap persoalan dalam rana domestik, yang tidak perlu orang luar
mengetahui dan penyelesaiannya cukup diselesaikan secara internal kekeluargaan.
Dengan keluarnya Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
5
Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, bukan lagi persoalan pribadi, internal keluarga, yang penyelesaiaannya
cukup secara kekeluargaan, namun domestic violence telah merangkap rana pidana.
Penelantaran yang dimaksud penulis di sini adalah penelantaran menurut pasal
9 ayat (1) UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga yang berbunyi:
“setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan
atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharan
kepada orang tersebut”.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut jelas, bahwa yang dimaksud dengan
penelantaran adalah setiap bentuk pelalaian kewajiban dan tanggung jawab seseorang
dalam rumah tangga yang menurut hukum seseorang itu telah ditetapkan sebagai
pemegang tanggung jawab terhadap kehidupan orang yang berada dalam lingkungan
keluarganya.
Jadi konkretnya penelantaran rumah tangga yang dimaksud disini adalah
penelantaran yang dilakukan misalnya oleh orang tua terhadap anak. namun
penelantaran yang dimaksudkan oleh pasal tersebut tidak hanya sebatas keluarga inti,
berdasarkan pasal 2 di atas, juga dapat disebut melakukan penelantaran bila
menelantarkan keluarga lain yang tinggal bersamanya dan menggantungkan
kehidupannya kepada kepala rumah tangga.
III. Euthanasia dan Bunuh Diri Menurut Hukum, Bioetika dan Agama
A. Menurut Hukum
6
i. UU no 39/1999 tentang HAM
Hak yang paling utama dimiliki manusia adalah hak untuk hidup, di mana
didalam hak untuk hidup tersebut tercakup pula didalamnya hak untuk mati,
meskipun hak tersebut tidak mutlak.
ii. KUHP pasal 304
Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam
keadaan sengsara, padahal menurut hokum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada
orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
iii. KUHP pasal 306 (2)
Jika mengakibatkan kematian perbuatan tersebut dikenakan pidana maksimal 9 tahun.
iv. KUHP pasal 338
Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain diancam karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.
v. KUHP pasal 340
Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas
nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun.
vi. KUHP pasal 344
Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri
yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun.
Bentuk pelanggaran disiplin kedokteran (KKI)
Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kiehidupan pasien atas permintaan
sendiri dan atau keluarganya
7
Setiap dokter tidak dibenarkan melakukan perbuatan mengakhiri kehidupan
manusia, karena bertentangan dengna sumpah kedokteran, etika, tujuan
profesi, aturan hukum pidana.
Pada kondisi terminal, dimana upaya kedokteran futile/sia-sia menurut SOTA
ilmu kedokteran maka dengan persetujuan pasien/keluarga, dokter dapat
menghentikan pengobatan, tapi tetap memberi perawatan yang layak.
Dianjurkan untuk berkonsultasi dengan sejawatnya atau komisi etis rumah
sakit tersebut.
vii. KUHP pasal 345
Barang siapa dengan sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan atau memberi sarana kepadanya untuk itu,
diancam dengan pidana paling lama 4 tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.
viii. KUHP pasal 356(3)
Kejahatan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi
nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum.
B. Menurut Etika
a. Euthanasia
Kata euthanasia terdiri dari dua kata dari bahasa Yunani, yaitu eu (baik)
dan thánatos (kematian). Jadi secara harafiah euthanasia berarti mati yang layak
atau mati yang baik (good death) atau kematian yang lembut. Beberapa kata lain
yang berdasar pada gabungan dua kata tersebut misalnya: Euthanatio: aku
menjalani kematian yang layak, atau euthanatos (kata sifat) yang berarti “mati
dengan mudah“, “mati dengan baik” atau “kematian yang baik”. (1) Secara
etimologis, euthanasia di zaman kuno berarti kematian yang tenang tanpa
penderitaan yang hebat. Dalam arti aslinya (Yunani) kata ini lebih berpusat pada
cara seseorang mati yakni dengan hati yang tenang dan damai, namun bukan pada
percepatan kematian. Dalam arti yang lebih sempit, euthanasia dipahami
8
sebagai mercy killing, membunuh karena belas kasihan, entah untuk mengurangi
penderitaan, entah terhadap anak cacat, orang sakit jiwa, atau orang sakit tak
tersembuhkan.
Sedangkan dalam sudut pandang medis, euthanasia diartikan sebagai
mengakhiri kehidupan pasien terminal dengan sengaja oleh dokter (secara aktif,
tidak digunakan lagi istilah euthanasia pasif) atas permintaan pasien sendiri.
Permintaan ini harus dilakukan pasien secara serius yaitu dengan mengajukan
permintaan berulang kali dan secara tertulis serta harus dibedakan dengan pasien
yang hanya meminta perhatian (cry for help).
Ditinjau dari sudut bioetik, euthanasia masih merupakan kontroversi.
Terdapat beberapa poin yang pro dan kontra terhadap tindakan ini, yaitu :
Argumen Pro Euthanasia Argumen Kontra Euthanasia
Menghormati hak dan otonomi pasien
(right to die, right to die with dignity)
Bertentangan dengan sifat dasar profesi
medis (berpihak pada kehidupan)
Menghilangkan penderitaan (mercy
killing, compassion)
Kemajuan ilmu dan teknologi
kedokteran (mampu membuat pasien
merasa aman dan nyaman)
Kualitas hidup pasien yang menurun Bahaya slippery slope
Dari segi filosofis, persoalan euthanasia berhubungan erat dengan
pandangan otonomi dan kebebasan manusia di mana manusia ingin menguasai
dirinya sendiri secara penuh sehingga dapat menentukan sendiri kapan dan
bagaimana ia akan mati (hak untuk mati). Perdebatan mengenai euthanasia dapat
diringkas sebagai berikut: atas nama penghormatan terhadap otonomi manusia,
manusia harus mempunyai kontrol secara penuh atas hidup dan matinya sehingga
seharusnya ia mempunyai kuasa untuk mengakhiri hidupnya jika ia
menghendakinya demi pengakhiran penderitaan yang tidak berguna.
9
Ada suatu prinsip etika yang sangat mendasar yaitu kita harus
menghormati kehidupan manusia. Tidak pernah boleh kita mengorbankan
manusia kepada suatu tujuan tertentu. Prinsip ini dirumuskan sebagai “kesucian
kehidupan” (the sanctity of life). Kehidupan manusia adalah suci karena
mempunyai nilai absolut dan karena itu dimana-mana harus dihormati.(2)
Setiap orang memiliki martabat (nilai) sendiri-sendiri yang ada secara
intrinsik (ada bersama dengan adanya manusia dan berakhir bersama dengan
berakhirnya manusia). Keberadaan martabat manusia ini terlepas dari pengakuan
orang, artinya ia ada entah diakui atau tidak oleh orang lain. Masing-masing orang
harus mempertanggungjawabkan hidupnya sendiri-sendiri dan oleh karena itu
masing-masing orang memiliki tujuan hidupnya sendiri. Karena itu, manusia tidak
pernah boleh dipakai hanya sebagai alat/instrumen untuk mencapai suatu tujuan
tertentu oleh orang lain.
Meski demikian, tidak sedikit juga yang mendukung euthanasia.
Argumentasi yang banyak dipakai adalah hak pasien terminal: the right to die.
Menurut mereka, jika pasien sudah sampai akhir hidupnya, ia berhak meminta
agar penderitaannya segera diakhiri. Beberapa hari yang tersisa lagi pasti penuh
penderitaan. Euthanasia atau bunuh diri dengan bantuan hanya sekedar
mempercepat kematiannya, sekaligus memungkinkan “kematian yang baik”,
tanpa penderitaan yang tidak perlu.(1)
b. Bunuh Diri
Bunuh diri adalah tindakan mengakhiri hidup sendiri tanpa bantuan aktif
orang lain. Alasan atau motif bunuh diri bermacam-macam, namun biasanya
didasari oleh rasa bersalah yang sangat besar, karena merasa gagal untuk
mencapai sesuatu harapan. Dalam ilmu sosiologi, ada tiga penyebab bunuh diri
dalam masyarakat, yaitu:
1. egoistic suicide (bunuh diri karena urusan pribadi),
2. altruistic suicide (bunuh diri untuk memperjuangkan orang lain), dan
3. anomic suicide (bunuh diri karena masyarakat dalam kondisi
kebingungan).
10
Ditinjau dari pandangan moral dan etika, bunuh diri jelas tidak sesuai
keempat kaidah dasar bioetika yaitu autonomy, beneficence, non-maleficence dan
justice. Orang yang melakukan bunuh diri dinilai tidak kompeten dalam
mengambil keputusan karena ia berada dibawah pengaruh atau stress berat, oleh
karena itu tidak ada kaidah moral dan etika yang membenarkan bunuh diri.
C. Menurut Agama
i. Islam
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam
kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu
untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas
permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang
mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun
membunuh diri sendiri.
Misalnya firman Allah SWT :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk
membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam :
151)
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).
Pada prinispnya pembunuhan secara sengaja terhadap orang yang sedang
sakit berarti mendahului takdir. Allah telah menentukan batas akhir usia manusia.
Dengan mempercepat kematiannya, pasien tidak mendapatkan manfaat dari ujian
yang diberikan Allah Swt kepadanya, yakni berupa ketawakalan kepada-Nya
11
Raulullah saw bersabda:“Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu
musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan maupun penyakit, bahkan
duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya
dengan musibah yang dicobakannya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
ii. Hindu
Dilihat dari sudut pandang Agama Hindu Euthanasia/hak untuk mati,
bunuh diri, dan membantu bunuh diri, semuanya itu tidak dapat dibenarkan
menurut ajaran sastra: “Berlawanan dengan ajaran Ahimsa (tidak membunuh)”.
Hanya Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa) yang berwenang menentukan lahir,
hidup, dan mati manusia (utpati, sthiti, dan pralina).
iii. Budha
Euthanasia dan Bunuh diri dalam agama buddha dilarang karena
melanggar sila pertama yaitu larangan untuk membunuh(menghilangkan nyawa
orang lain/menghilangkan nyawa sendiri).
5 sila pada agama Buddha :
1. Jangan membunuh
2. Jangan mengingini barang yang tidak diberikan kepadamu
3. Jangan melakukan asusila
4. Jangan berdusta
5. Jangan makan/minum yang melemahkan kesadaran (memabukkan)
Dalam agama Buddha tidak ada hak, termasuk hak untuk mati, yang ada adalah
kewajiban. Kewajiban sesuai dengan eksistensinya sebagai manusia : orang tua,
anak, suami, istri, murid, guru, majikan, karyawan, rakyat, pemimpin/raja.
iv. Kristen
Menurut Alkitab, Tuhan tidak pernah mengijinkan manusia untuk
membunuh manusia. Itu juga melanggar perintah Tuhan yang keenam, yaitu
12
jangan membunuh. Dengan menolak euthanasia, kita mendorong pengembangan
dan penggunaan alternatif untuk meringakan penderitaan, menumbuhkan
persahabatan, dan memberikan kesempatan untuk dukungandan konseling
spiritual.
v. Katolik
Bagimanapun keadaan seseorang bahkan sampai titik tak berdaya
sekalipun, ia adalah manusia yang mempunyai martabat luhur. Martabat
kemanusiaan itu tidak tergantung pada pengakuan orang lain. Martabat itu tetap
utuh meski seseorang diremehkan oleh orang lain. Manusia tak boleh dijadikan
instrumen (obyek), ia adalah subyek yang mempunyai tujuan hidupnya sendiri
dan harus mempertanggungjawabkan hidupnya. Meskipun manusia itu adalah
subjek dan otonom terhadap dirinya sendiri, manusia tidak boleh mengakhiri
hidup manusia lain maupun dirinya sendiri. Moral menegaskan bahwa hidup itu
bukan milik manusia tatapi milik Allah. Hidup manusia itu adalah suci karena
berasal dari Allah dan hidup manusia itu tujuan akhirnya adalah Allah sendiri.
Oleh karena kesucian itu, maka hidup manusia tak boleh dihancurkan, tetapi harus
dilindungi, dijaga, dan dipertahankan.(2)
Dalam KGK (Katekismus Gereja Katolik) 2258 dikatakan bahwa
kehidupan manusia adalah kudus karena sejak awal ia membutuhkan kekuasaan
Allah Pencipta dan untuk selama-lamanya tinggal dalam hubungan khusus dengan
Penciptanya, tujuan satu-satunya. Hanya Allah sajalah Tuhan kehidupan sejak
awal sampai akhir: tidak ada seorang pun boleh berpretensi mempunyai hak,
dalam keadaan mana pun, untuk mengakhiri secara langsung kehidupan manusia
yang tidak bersalah" (DnV intr. 5).
13
IV. Penyalahgunaan Narkotika Menurut Hukum, Bioetika dan Agama
A. Menurut Hukum
Kajian kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana
penyalahgunaan narkotika dihubungkan dengan UU No. 35 tahun 2009,
diperlukan dalam upaya penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan
narkotika. Sejalan dengan ketentuan Pasal 10 KUHP, maka jenis-jenis pidana
dalam UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dirumuskan dalam 4 (empat)
jenis pidana pokok, yaitu :
1.Pidana mati;
2.Pidana penjara;
3.Denda;
4.Kurungan.
Pasal Pasal Mengenai Narkotika
Pasal 111
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara,
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I
dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau
melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
14
Pasal 112
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 114
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliarrupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika
Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman
beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau
dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6
(enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 127
(1) Setiap Penyalah Guna:
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun;
15
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan
Pasal 103.
(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah
Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
B. Menurut Etika
Penyalahgunaan narkotika tidak dibenarkan secara etika karena melanggar
norma-norma yang berlaku di masyarakat. Penyalahgunaan narkotika dapat
memberikan dampak buruk baik dari segi fisik maupun psikis antara lain dapat
menghilangkan rasa sakit, rasa tidak enak, menimbulkan perasaan nikmat,
gembira dan percaya diri, bersifat memabukkan yang berakibat timbulnya
halusinasi, menimbulkan ketergantungan serta efek samping yang dapat
membahayakan bagi kesehatan penggunanya. Penyalahgunaan zat tersebut dapat
merusak sel-sel syaraf otak sehingga terjadi perubahan perilaku dan dapat
menyebabkan penyimpangan norma-norma sosial, adat, agama dan kesusilaan.
C. Menurut Agama
i. Islam
Islam mengajarkan agar manusia senantiasa hidup sehat, dan Islam
melarang manusia mengkonsumsi segala macam makanan serta minuman yang
akan mengganggu dan merusak kesehatan manusia, termasuk penyalahgunaan
narkotika. Narkotika yang seharusnya digunakan untuk mengobati namun malah
digunakan untuk kesenangan pribadi.
16
Dalam Islam sendiri tidak dijelaskan secara langsung, baik itu dalam Al-
Quran maupun Hadist mengenai masalah Narkotika ini, namun bila melihat efek
dan dampak yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan narkotika ini, yang bahkan
bisa melebihi dampak dari minuman keras maka ayat-ayat Al-Quran yang
melarang dan mengharamkan minuman keras dapat dijadikan dasar terhadap
dilarang dan diharamkannya penyalahgunaan narkotika. Seperti yang disebutkan
dalam Al Quran:
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar (minuman keras) dan judi.
Katakanlah: ‘pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi
manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.’ Dan mereka
bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘yang lebih dari
keperluan/’ demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatnya kepadamu supaya kamu
berfikir.” (QS. Al Baqarah: 219)
Dalam Hadistnya Rasul juga berkata:
“Rasulullah SAW melarang dari setiap barang yang memabukakan dan
yang melemahkan akal dan badan.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Berdasarkan ayat Al Quran dan hadist tersebut maka bisa disimpulkan
kalau penyalahgunaan narkotika dikatakan haram karena membawa dampak yang
jauh lebih buruk sama seperti minuman keras.
ii. Kristen
Kristen mengingatkan penganutnya untuk menjauhi Narkoba. Dalam
Korintus 7:1, dijelaskan “sucikan dirimu dari semua hal yang mencemarkan
jasmani dan rohani, supaya kedudukanmu sempurna di dalam takut Allah”.
Menurut pandangan agama Kristen, tubuh harus dipelihara, dijaga dan disucikan,
jangan melakukan dosa. Oleh karena Narkoba dapat merusak tubuh, baik jiwa,
raga maupun akal, maka penggunaan Narkoba merupakan hal yang tidak
diperbolehkan.
17
Dari ayat dalam Kejadian 1: 26—28 dan Kejadian 2:15 dapat kita ketahui
bahwa“ Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya, dan Allah
menciptakan kita untuk berkuasa, menaklukkan, dan memelihara bumi dan segala
isinya”. Segambar menurut gambar dan rupa Allah bukan hanya sekedar
bentuk fisik atau juga wajah, tetapi juga agar kita memiliki sifat-sifat Allah. Hal
ini membuktikan bahwa kita tidak boleh menggunakan obat-obat terlarang karena
itu bukanlah sifat Allah yang seharusnya ada pada diri manusia.
iii. Katolik
Menurut Agama Katolik, pada dasarnya setiap bentuk penyalahgunaan
Narkoba bertentangan dengan moral Kristiani dan pada akhirnya akan
menyebabkan kehancuran beragama, bermasyarakat dan bernegara. Menurut Paus
Yohannes Paulus II dalam Contesimu Annus, konsumerisme digambarkan
sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan hanya berdasarkan selera yang tidak
menghiraukan kenyataan pribadinya sebagai makhluk yang berakal.
Penyalahgunaan Narkoba merupakan suatu hal yang berakar dari konsumerisme,
oleh karena itu Narkoba tidak dianjurkan bagi penganut agama Katolik.
Penggunaan narkotika sangat dilarang karena mengakibatkan kerugian
besar bagi kesehatan dan kehidupan manusia sebagaimana tercantum dalam KGK
2291 : Pemakaian narkotika mengakibatkan kerugian besar bagi kesehatan dan
kehidupan manusia. Selain penggunaan obat-obatan karena alasan medis semata-
mata, pemakaian narkotika merupakan kesalahan susila yang bobotnya berat.
iv. Hindu
Agama Hindu mengajarkan umatnya untuk selalu berpegang teguh pada
Dharma, siapa yang dapat hidup sesuai dengan Dharma ia akan selamat, bahagia
dan damai selamanya, demikian pula sebaliknya jika perbuatan itu melanggar
Dharma maka penderitaan adalah hasilnya dan itu pasti. Ada
enam tantangan yang merupakan musuh utama manusia ( Sad Ripu), yang ada
dalam setiap diri manusia, yaitu: Mabuk, Bingung, Marah, Irihati, Rakus, Hawa
nafsu. Kitab Veda mengajarkan agar manusia selalui memerangi keenam musuh
18
ini. Veda mengajarkan agar umat Hindu menghindarkan diri dari 5 M, yaitu:
Madat (narkoba), Mabuk (minuman keras), Main (judi), Malin (mencuri), Madon
(berzina). Jika kita dapat menghindarkan diri dari kelima hal tersebut di atas
niscaya kita akan menemukan kedamaian, kesehatan dan kebahagiaan.
v. Buddha
Menghindari bahan-bahan yang dapat membuat seseorang menjadi
ketagihan dan memabukkkan adalah salah satu sila yang wajib dijalani oleh umat
Buddha secara umum, semua ketentuan mengenai minuman keras berlaku untuk
segala jenis bahan makanan atau minuman yang mengganggu kesadaran. Apapun
yang dapat mengganggu dan menghancurkan konsentrasi atau meditasi agama
sehingga menggagalkan pengembangan kearifan diri. Mengkonsumsi bahan-
bahan berbahaya dan memabukkan tersebut jelas sangat merugikan bagi
pengembangan batin dan melanggar sila kelima dari Pancasila Buddhis yang
berbunyi:
“surameraya majjapamadatthana vewramai sikkhapadam majja dan
pamadatthana”
Majja berarti sesuatu yang menyebabkan orang jadi tidak sadarkan
diri. Sura mengacu pada minuman keras yang disuling. Meraya keadaan minuman
keras yang didapat dari bahan yang diragikan dan Majja mengacu pada ganja,
heroin dan bahan lain semacamnya.
BAB IV
19
TINJAUAN PUSTAKA
I. EUTHANASIA
Definisi
Berbagai istilah digunakan untuk menggambarkan penghentian yang disengaja
kehidupan. Eutanasia sendiri dikatakan berasal dari bahasa Yunani, euthanatos, yang berarti
kematian yang lembut dan mudah, tapi ini tidak menyimpulkan apa euthanasia adalah tentang.
Membunuh atas nama kasih sayang, atau membunuh belas kasihan, adalah istilah-istilah lain
yang diberikan untuk eutanasia.
Di Belanda, eutanasia dipahami berarti pemutusan hidup oleh seorang dokter atas
permintaan pasien. Pemerintah Belanda tidak menutup mata untuk itu. Ada, pertanyaan tentang
apakah dan bagaimana tanggung jawab pidana untuk euthanasia harus dibatasi telah menjadi
subyek perdebatan politik dan publik luas selama 30 tahun terakhir. Atas Argumen untuk dan
terhadap Ada banyak argumen terhadap sanksi eutanasia.
Euthanasia sukarela hanya menekankan bahwa pilihan untuk mati telah dibuat secara
sukarela oleh orang yang bersangkutan, bukan dipaksakan pada mereka oleh aturan-aturan
hukum atau sosial. Namun, penentang euthanasia sering berpendapat bahwa hal itu bisa sangat
sulit untuk memastikan bahwa permintaan seseorang benar-benar dibuat secara sukarela.
Misalnya, orang tua yang membutuhkan perawatan kesehatan yang mahal mungkin merasa
bahwa mereka seperti beban bagi kerabat bahwa mereka harus meminta eutanasia. Ada juga
risiko bahwa orang-orang yang diobati dengan obat penghilang rasa sakit yang kuat atau obat
kanker mungkin tidak dalam keadaan cukup jelas pikiran atau cukup kompeten untuk membuat
penilaian informasi dan seimbang.(3)
Bunuh Diri yang Dibantu
20
Dalam bunuh diri yang dibantu, orang yang meninggal yang mengambil tindakan akhir
untuk mengakhiri hidupnya, tetapi tindakan ini bergantung pada bantuan atau bantuan lain
(misalnya, untuk menyediakan sarana kematian), dibandingkan dengan eutanasia mana yang
lainnya orang yang benar-benar melakukan pembunuhan.
Banyak yang tidak menyukai 'bunuh diri' kata karena membawa ke pikiran tindakan
impulsif dan sering dramatis. Self-pembebasan jangka sedang semakin digunakan sebagai
pengganti oleh mereka yang merasa bunuh diri adalah istilah tepat untuk menggambarkan
tindakan yang diambil, misalnya, dengan seseorang yang menderita tidak bisa lega. Tapi untuk
orang lain, termasuk hukum, itu sama dengan bunuh diri.
Sebuah survei menemukan bahwa lebih dari 50 persen dari dokter yang mendukung
perubahan undang-undang untuk memungkinkan dokter-dibantu bunuh diri dalam beberapa
keadaan, seperti ekstrem penderitaan. Jajak pendapat secara konsisten menunjukkan bahwa lebih
dari 80 persen dari publik Inggris juga mendukung hal itu.AtasPosisi hukum
Di seluruh dunia, negara-negara yang berbeda, bahkan negara yang berbeda dalam
negara, memiliki pandangan alternatif pada bunuh diri yang dibantu. Beberapa negara telah
menetapkan undang-undang yang melarang tindakan tersebut, seperti Kanada, Italia, Rusia,
Hungaria dan Irlandia. Lainnya, seperti Swedia dan Jerman tidak memiliki hukum tertentu, tetapi
muatan dari 'pembunuhan' mungkin diajukan terhadap bunuh diri siapa pun membantu.
Swiss, Belgia, Belanda dan Oregon (AS) memiliki hukum yang memungkinkan metode-metode
tertentu bunuh diri dibantu, dalam keadaan didefinisikan dengan baik. Ini bervariasi dengan
permintaan penyakit, kondisi, keadaan mental dan spesifik dari orang yang mencari bantuan.
Di Belanda, euthanasia adalah sekarang ditutupi oleh Pemutusan Hidup di Permintaan
dan Assisted Suicide Undang-Undang (Januari 2002) yang kesalahannya kode kriminal -
sehingga sementara eutanasia masih merupakan tindak pidana, dokter dibebaskan dari tanggung
jawab jika mereka melaporkan tindakan mereka dan menunjukkan bahwa mereka sudah puas
kriteria tertentu. Cari tahu lebih lanjut tentang UU di website Departemen Luar Negeri Belanda.
Di Swiss, pada tahun 2001 Dewan Nasional Swiss menegaskan hukum bunuh diri yang
dibantu, meskipun voluntary euthanasia masih dilarang. Ada empat kelompok yang terlibat
21
dalam bunuh diri yang dibantu di Swiss, tetapi hanya satu (Dignitas, yang berbasis di dekat
Zurich) akan menerima non-warga negara Swiss, dan keputusan, dengan Dignitas, untuk
menerima mereka diawasi secara ketat. Di Inggris, hukum juga jelas tentang euthanasia: itu
ilegal dan tidak pernah disetujui.
Namun, menurut laporan dalam British Medical Journal, sejumlah besar dokter sudah
aksesi permintaan untuk euthanasia sukarela aktif. Mereka melanggar hukum, meskipun dalam
keyakinan bahwa mereka bertindak dalam kepentingan terbaik pasien mereka.
Dengan beberapa kasus high profile baru-baru ini, ada peningkatan kesadaran akan
masalah tersebut, dan keterbukaan yang meningkat untuk membahasnya. Ada juga telah terjadi
peningkatan kesadaran perlu mempertimbangkan setiap aspek 'akhir kehidupan' seorang pasien
'kebutuhan dan hak-hak, dan merupakan topik yang sedang diangkat dan diperiksa oleh tim
medis dalam setiap aspek perawatan kesehatan dan sosial. Ini bertahap mengikis dari tabu sekitar
kematian, bagaimana kita mati dan apa artinya bagi seorang individu, hanya dapat menjadi hal
yang baik.(3)
Pengertian Euthanasia dan Macam-macamnya.
Euthanasia berasal dari kata Yunani Eu yang berati baik, dan Thanatos yaitu mati.
Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah dan tanpa merasakan sakit. Oleh
karena itu, Euthanasia sering disebut juga dengan Mercy Killing atau mati dengan tenang.
Dilihat dari kondisi pasien tindakan euthanasia bisa dikategorikan menjadi dua macam
yaitu aktif dan pasif :
1. Euthanasia Aktif adalah suatu tindakan mempercepat proses kematian, jika
kondisi pasien berdasarkan ukuran dan pengalaman medis masih menunjukkan
adanya harapan hidup. Dengan kata lain tanda-tanda kehidupan masih terdapat
pada penderita ketika tindakan itu dilakukan.
2. Euthanasia Pasif adalah suatu tindakan membiarkan pasien atau penderita dalam
keadaan tidak sadar (comma), karena berdasarkan pengalaman maupun ukuran
medis sudah tidak ada harapan hidup atau tanda-tanda kehidupan tidak terlihat
lagi padanya.
22
Kriteria Mati.
Perbincangan Euthanasia berkaitan erat dengan masalah definisi mati, namun definisi
tentang mati itu sendiri tampaknya mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan semakin
majunya perkembangan ilmu pengatahuan, terutama dibidang teknologi kedokteran.
Dahulu ukuran kematian dilihat pada nafas kemudian ukuran itu ditanggalkan dan diganti
bahwa kematian itu diukur dengan tidak berfungsinya jantung. Oleh karena itu, di daerah yang
tidak mempunyai pengukur jantung biasanya cukup hanya dengan mengetahui gerak nadi.
Dan kini diketahui bahwa jantung ternyata digerakkan oleh pusat saraf penggerak yang
terletak pada bagian batang otak dikepala. Jadi, kalau hanya terjadi pendarahan pada otak belum
tentu penderita mati. Para ahli kedokteran tampaknya sepakat bahwa yang menjadi patokan
dalam menentukan kematian adalah batang otak. Jika batang otak beul-betul mati maka harapann
hidup seseorang sudah terputus.
Untuk menentukan kerusakan otak pada manusia menurut Prof. Mahar Madjono tidaklah
terlalu sulit: “Bagi rumah sakit yang tidak mempunyai alat Electro Enceflograf (EEG) yakni alat
ditektor otak, maka cukup dengan mengetes refleksi kornea mata, apakah pupil (anak mata)
masih memberi reaksi terhadap cahaya. Bisa juga dengan memeriksa refleks vestibula okular
(meneteskan 20cc air es ke telinga kiri dan kanan, kemudian memeriksa reaksi motoriknya pada
mata). Tindakan ini bisa dilakukan oleh setiap dokter, walaupun dengan peralatan rumah sakit
yang sederhana”
Euthanasia Menurut KUHP dan Kode Etik Kedokteran.
Prinsip umum Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berkaitan dengan masalah
jiwa manusia adalah memberikan perlindungan, sehingga hak hidup secara wajar sebagaimana
harkat kemanusiaannya menjadi terjamin.
Di dalam pasal 344 KUHP dinyatakan: “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, maka
dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun”. Dan juga pasal 388 KUHP dinyatakan:
“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati,
dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun”.
23
Dokter yang melakukan tindakan Euthanasia (aktif khususnya) bisa diberhentikan dari
jabatannya karena melanggar kode etik kedokteran. Di dalam kode etik kedokteran yang
ditetapkan oleh Mentri Kesehatan nomor : 434 / Men.Kes / SK / X / 1983 yang di sebutkan pasal
10 : ”Setiap Dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup makhluk
insani”.
Berarti bahwa baik menurut Agama dan Undang-undang Negara, maupun menurut etik
kedokteran, seorang dokter tidak diperbolehkan :
1. Menggugurkan Kandungan (Abortus Provactus).
2. Mengakhiri hidup seseorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak
mungkin ada sembuh lagi (Euthanasia).
II. BUNUH DIRI
Definisi
Pengertian bunuh diri Clinton dalam Mental Health Nursing Practice (1995: 262)
menyebutkan : Suatu upaya yang disadari dan bertujuan untuk mengakhiri kehidupan, individu
secara sadar dan berhasrat dan berupaya melaksanakan hasratnya untuk mati. Perilaku bunuh diri
meliputi isyarat-isyarat, percobaan atau ancaman verbal, yang akan mengakibat kan kematian,
luka atau menyakiti dirisendiri.
Motif bunuh diri
Pada dasarnya, segala sesuatu itu memiliki hubungan sebab akibat (ini adalah
sistematika). Dalam hubungan sebab akibat ini akan menghasilkan suatu alasan atau sebab
tindakan yang disebut motif. Motif bunuh diri ada banyak macamnya. Disini penyusun
menggolongkan dalam kategori sebab, misalkan :
1. Dilanda keputusasaan dan depresi
2. Cobaan hidup dan tekanan lingkungan.
3. Gangguan kejiwaan / tidak waras (gila).
4. Himpitan Ekonomi atau Kemiskinan (Harta / Iman / Ilmu)
5. Penderitaan karena penyakit yang berkepanjangan.
Dalam ilmu sosiologi, ada tiga penyebab bunuh diri dalam masyarakat, yaitu
24
1. egoistic suicide (bunuh diri karena urusan pribadi),
2. altruistic suicide (bunuh diri untuk memperjuangkan orang lain), dan
3. anomic suicide (bunuh diri karena masyarakat dalam kondisi kebingungan).
KESIMPULAN
25
Seorang pasien berumur 27 tahun yang datang diantar oleh tetangganya dengan keluhan
demam dan batuk yang sudah lama dan tidak kunjung sembuh. Setelah dilakukan pemeriksaan
pasien didiagnosis menderita pneumonia dan positif HIV/AIDS. Pasien dikenal sulit diatur dari
kecil. Mulai kelas 5 sekolah dasar pasien sudah mengenal obat-obat terlarang dan saat SMP
pasien sudah ke prostitusi dan melakukan hubungan seks dengan psk, dan kecanduan heroin.
Pasien sering masuk ke panti rehabilitasi dan masih tetap memakai heroin. Keluarga pasien
merasa kewalahan mengurus pasien dan memberikan hak warisan pasien. Tetapi pasien tidak
memanfaatkan warisan tersebut dengan bijaksana dengan menggunakan warisan tersebut untuk
membeli heroin dan berfoya-foya bersama psk sehingga pasien tampak sering mengemis di
jalanan untuk menyambung kehidupan. Kepada dokter pasien meminta untuk disuntik mati. Tapi
karena dokter tidak menuruti keinginan pasien, pasien akhirnya terjun bebas dari lantai 5 tempat
ia dirawat walaupun nyawa pasien masih bisa diselamatkan. Namun ia menderita cedera kepala
parah dan tidak sadarkan diri, kemudian tiga hari kemudian pasien meninggal dunia.
DAFTAR PUSTAKA
26
1. K. Bertens, Perspektif Etika: Esai-esai tentang Masalah Aktual, Yogyakarta: Kanisius,
2001, p.128.
2. Yoanes FC. Euthanasia di hapuskan dengan cinta kasih. Available at:
http://www.ekaristi.org/kesaksian/moral.php?
subaction=showfull&id=1107234639&archive=&start_from=&ucat=2&. Accessed on
July 17th, 2013
3. Euthanasia and physician assited suicide. Last reviewed Dec 2009. Accessed July 17,
2013. Available at: http://www.bbc.co.uk/ethics/euthanasia/
27