107-113-peran-faktor-ekobiologi-terhadap-syahrir-pakki_2.pdf
TRANSCRIPT
-
5/19/2018 107-113-PERAN-FAKTOR-EKOBIOLOGI-TERHADAP-SYAHRIR-PAKKI_2.pdf
1/7
Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan, 27 Mei 2010
107
PERAN FAKTOR EKOBIOLOGI TERHADAP DINAMIKA POPULASI VEKTOR
DAN PENYAKIT TUNGRO
Syahrir Pakki
Loka Penelitian Penyakit Tungro
ABSTRAK
Penelitian peran faktor ekobiologi terhadap dinamka populasi vektor dan penyakit tungro, dilakukan di
daerah endemik tungro , dan penanaman dilakukan setiap 4-5 bulan, mengikuti pola/waktu tanam yang
dilakukan oleh petani, pada luas plot 3 x 4 meter, jarak tanam 25 x 25 Cm, menggunakan rancangan
kelompok, sebanyak 3 ulangan. Perlakuan menggunakan 5 varietas padi unggul baru yaitu inpari 1,Inpari 2, Inpari 3, Inpari 4, Inpari 7, Inpari 9 (pembanding tahan ) dan varietas sebagai pembanding
peka (IR 64). Varibel pengamatan yaitu sebagai berikut :(a) Populasi vektor wereng hijau (b)
Intensitas tungro (c) Uji infektivitas vektor (d) (e) Curah hujan, kelembaban (f) jumlah anakan dan
tinggi tanaman (g) Produksi t/ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dua musim tanam, tidak
ditemukan adanya pergeseran dominasi spesies vektor wereng hijau. Vektor dominan adalah
Nephotetix virescens. Populasi serangga penular N virescens dipengaruhi oleh faktor curah hujan,
semakin tinggi curah hujan juga diikuti oleh tingginya populasi vektor dan intensitas serangan
penyakit tungro. Kombinasi keadaan suhu pada kisaran 30,0 32,3 dan curah hujan yang tergolong
sangat rendah sekitar 0 2,7 mm, atau dominan tidak ada hari hujan pada setiap minggunya
menyebabkan tidak ditemukannya vektor wereng hijau N virescens dan serangan penyakit tungro
pada semua varietas yang diuji.
Kata kunci: Ekobiologi, dinamika populasi, vector, penyakit tungro
PENDAHULUAN
Tungro disebabkan oleh dua jenis virus yang berbeda yaitu virus bentuk batang rice tungro
bacilliform viirus(RTBV) dan virus bentuk bulat rice tungro spherical virus(RTSV (Hibino et al., 1978;
Omura et al., 1983. Virus tungro hanya ditularkan oleh wereng hijau secara semipersisten dan tidak
terjadi multiplikasi virus di dalam tubuh vektor serta tidak terbawa pada keturunannya (Hibino and
Cabunagan, 1986). Terdapat lima spesies wereng hijau yang dapat menularkan virus tungro yaitu
Nephotettix virescens, N. nigropictus, N. malayanus, N. parvusdan Recilia dorsalis(Rivera et al., 1968;
Dahal et al., 1990).Ledakan penyakit tungro dilapangan umumnya melalui proses yang berawal dari sumber inokulum
dari sisa pertanaman sebelumnya dan biasanya tungro juga berkembang dari pola tanam yang tidak
seragam. Tungro yang berkembang pada wilayah tersebut menjadi sumber inokulum awal untuk daerah
pertanaman di sekitarnya. Wilayah sumber inokulum demikian menjadi media berkembangnya vektor
yang infektif, yang kemudian berpindah ketanaman yang lebih muda atau di pesemaian dan memindahkan
virus tungro. Pakki et al., 2009 melaporkan bahwa bila tahapan fase penularan didukung oleh faktor
lingkungan yang sesuai maka akan terjadi ledakan tungro.
Faktor-faktor pendukung yang mempe-ngaruhi biasanya bersifat spesifik pada lokasi tertentu.
Upaya pengendalian adalah bersamaan waktu tanam pada populasi vektor dan sumber inkulum yang
rendah, ataupun pada keadaan vektor tinggi fase pertumbuhan tanaman sudah memasuki fase generatif.
-
5/19/2018 107-113-PERAN-FAKTOR-EKOBIOLOGI-TERHADAP-SYAHRIR-PAKKI_2.pdf
2/7
Syahrir Pakki :Peran Faktor Ekobiologi Terhadap Dinamika Populasi Vektor Dan Penyakit Tungro.
108
Faktor lain yang berpengaruh nyata terhadap dinamikan penyakit tungro dilapang adalah respon genetik
dari varietas yang diusahakan oleh petani (Pakki et al., 2009).
Pengendalian tungro harus dilakukan secara komprehensif dengan memperhatikan berbagai
aspek seperti penyebaran virus tungro, fluktuasi populasi wereng hijau, perubahan kondisi lingkungan
dan sosial ekonomi petani (Hasanuddin et al., 2001). Berbagai usaha pengendalian tungro telah dilakukan,
diantaranya dengan penanaman varietas tahan, waktu tanam tepat, tanam serempak, pergiliran varietas,
tanam dengan sistem tanam benih langsung, manipulasi faktor lingkungan dan penggunaan insektisida
pada kondisi tertentu (Muis et al., 1990). Pengendalian terpadu yang mengintegrasikan berbagai
komponen pengendalian secara sistematik dan harmonis dalam satu paket teknologi pengendalian tungro
diharapkan dapat diterapkan pada segala kondisi lingkungan dan sosial ekonomi petani. Olehnya itu
diperlukan identifikasi faktor ekobiologi yang berpengaruh terhadap perkembangannya, kecenderungan
adanya perubahan iklim akan menggeser waktu-waktu puncak populasi dan pergeseran spesies.
Informasi tersebut dapat dimanfaatkan sebagai strategi untuk pengelolaan pengendalian lebih dini
penyakit tungro.
METODE PENELITIAN
Pemilihan lokasi yaitupada daerah endemik tungro, dan penanaman dilakukan setiap 4-5 bulan,
mengikuti pola/waktu tanam yang dilakukan oleh petani, pada luas plot 3 x 4 meter, jarak tanam 25 x 25
Cm, menggunakan rancangan kelompok, sebanyak 3 ulangan. Perlakuan menggunakan 5 varietas padi
unggul baru yaitu inpari 1, Inpari 2, Inpari 3, Inpari 4, Inpari 7, Inpari 9 (pembanding tahan ) dan
varietas sebagai pembanding peka (IR 64). Pemupukan yaitu Urea 300 kg/ha, KcL 150 kg/ha dan SP 36,
100 kg/ha. Seluruh KCl dan SP 36 diberikan pada saat tanam, 1/3 diberikan dosis Urea pada umur 1
minggu setelah tanam, sisanya masing-masing 1/3 pada umur tiga minggu dan 6 minggu setelah tanam.
Varibel pengamatan yaitu sebagai berikut :(a) Populasi vektor wereng hijau (b) Intensitas
tungro (c) Uji infektivitas vektor (d) (e) Curah hujan, dan kelembaban (f) jumlah anakan dan tinggi
tanaman (g) Produksi t/ha.
Uraian pelaksanaan pengumpulan data pengamatan yaitu (a) Populasi vektor wereng hijau
dilakukan dengan sepuluh kali ayunan ganda pada semua petak perlakuan dalam 20 dan 30 hari setelah
tanam (b) Persentase serangan tungro dihitung jumlah tanaman terinfeksi tungro dari setiap populasi
tanaman perlakuan (c) Uji infektivitas vektor dilakukan dengan mengoleksi vektor dari setiap plot
perlakuan kemudian diinokulasikan di rumah kaca pada varietas yang sama yang ditanam di lapang
kemudian dihitung infektivitasnya dengan menghitung jumlah tanaman yang terinfeksi tungro (e) Curah
hujan, kelembaban harian diperoleh dari stasiun klimatologi terdekat, kebun Loka Penelitian penyakit
Tungro (f) Jumlah anakan dan tinggi tanaman dihitung pada saat menjelang panen dan (g) produktivitas
diperoleh dari jumlah hasil per plot perlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan populasi vektor tungro wereng hijau menunjukkan bahwa pada dua kali
penanaman di daerah endemis tungro dalam pengamatan 20 dan 30 hari setelah tanam (HST) dan dari
setiap waktu tanam, ditemukan adanya variasi perbedaan populasi vektor wereng hijau Nephotetix
virencens (Tabel 1). Penanaman Musim Tanam I (MT I), didapati jumlah hari hujan yang rendah, suhu
berkisar 31-32 0C dan kelembaban berkisar 85- 89 %, (Tabel 2). Kondisi tersebut memungkinkan
rendahnya populasi vektor, sehingga pada umur 20 sampai 30 HST, tidak ditemukan adanya N
virencens di semua petakan perlakuan (Tabel 1).
Vektor N virescens, ditemukan setelah tanaman berumur 40 hari, dalam jumlah yang rendah,
berkisar 1-1,25 ekor per sepuluh kali ayunan ganda. Berbeda dengan keadaan populasi vektor pada
penanaman bulan Oktober (MT II). Vektor dari spesies N. virescensdominan dan merata pada semua
-
5/19/2018 107-113-PERAN-FAKTOR-EKOBIOLOGI-TERHADAP-SYAHRIR-PAKKI_2.pdf
3/7
Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan, 27 Mei 2010
109
perlakuan, Ini menunjukkan bahwa populasi serangga penular N. virescens dipengaruhi oleh keadaan
curah hujan, semakin tinggi hari dan curah hujan semakin tinggi pula populasi vektor. Hal yang sama juga
dilaporkan oleh (Muis, et al.,1990; Hasanuddin 2002) bahwa populasi vektor cendrung mengikuti pola
curah hujan.
Berkaitan dengan data tersebut di atas maka usaha menghindari serangan tungro adalah
sebaiknya menanam sebelum terjadi kepadatan populasi yang tinggi. Hal tersebut dapat dikombinasikan
dengan waktu tanam yang tepat, serempak pada luasan area tertentu, sehingga dapat memperpendek
etersediaan sumber inokulum dan membatasi perkembangan vektor wereng hijau N virencenssebagai
kibat dari cekaman iklim yang tidak ideal untuk perkembangannya.
k
a
Tabel 1. Populasi vektor wereng hijau N. virencenspada beberapa varietas unggul baru,
dalam penanaman bulan Mei (MK), dan November (MH) Lanrang. 2009
Populasi vektor N. virencens
Perlakuan 20 HST 30 HST 40 HST
MT I MT II MT I MT II MT I MT IIInpari 1 0 5,0 a 0 4,3 ab 1,03 a 6,6 ab
Inpari 2 0 3,0 ab 0 6,3 ac 1,04 a 7,6 a
Inpari 3 0 5,7 a 0 6,6 a 1,04 a 8,0 a
Inpari 4 0 3,7 a 0 3,6 ab 1,03 a 7,6 a
Inpari 7 0 2,0 ab 0 2,3 b 1,01 a 3,0 b
Inpari 9 (Cek tahan) 0 1,0 b 0 1,0 b 1,00 a 1,3 b
Inpari 10 0 5,7 a 0 9,0 c 1,06 a 8,6 a
IR 64 (Cek Peka) 0 12,0 c 0 15,0 d*) 1,25 b 26,3 c
Angka pada baris dan kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
uji BNJ taraf 5 %.
*) MT I = Penanaman bulan Mei (MK), dan MT II = Penanaman bln Oktober (MH). Lanrang.
*) Pembanding peka T(N)-1
Pergeseran dominasi spesies belum ditemukan di lapangan, spesies dominan adalah N. virescens
atau belum ditemukan spesies lainnya seperti N.Nigropictus. Wereng hijau menularkan virus tungro
dengan efisiensi yang berbeda-beda dan N. virescensmerupakan vektor terpenting karena efisiensi
penularannya paling tinggi (Sogawa, 1976; Siwi dan Suzuki, 1991).
Populasi vektor N. virescens nyata lebih tinggi ditemukan pada pembanding peka IR 64 (Tabel
1), pada 40 HST sebanyak 26,3 ekor per sepuluh kali ayunan ganda. Beberapa individu yang ditemukan
pada varietas peka adalah dalam fase nimpa, sedang pada perlakuan varietas lainnya ditemukanserangga yang sudah dewasa. Keberadaan vektor dalam fase nimpa pada varietas yang peka memberi
bukti bahwa vektor lebih tertarik meletakkan telur dan berkembang biak pada varietas yang
disenanginya. Hal tersebut masih perlu dikaji, karena diduga pada varietas tahan, vektor tidak tertarik
memperoleh makanan dibanding varietas yang peka, sehingga terhindar dari infeksi tungro.
Hasil uji infektivitas dari serangga vektor yang dikoleksi pada umur 40 hari setelah tanam
(Tabel 3), memperlihatkan bahwa semakin tinggi persentase tanaman terinfeksi dilapangan, semakin
tinggi pula persentase infektivitas vektor N. virescens, Penanaman pada MT II, bulan Oktober, dari
varietas yang peka mencapai 26,33 % (Tabel 3). Implikasi dari uraian data tersebut di atas yaitu
ditemukannya vektor lebih dominan dan persentase vektor infektif lebih tinggi dari varietas peka
dibanding yang dari varietas tahan adalah bahwa pengelolaan tungro ke depan dapat dilakukan melalui
-
5/19/2018 107-113-PERAN-FAKTOR-EKOBIOLOGI-TERHADAP-SYAHRIR-PAKKI_2.pdf
4/7
Syahrir Pakki :Peran Faktor Ekobiologi Terhadap Dinamika Populasi Vektor Dan Penyakit Tungro.
110
pengurangan kemampuan perolehan vektor N. virescens untuk menularkan virus dengan penanaman
varietas-varietas tahan di wilayah endemi tungro.
Tabel 4, menunjukkan bahwa keberadan vektor yang rendah pada pertanaman di bulan Mei, juga
diikuti oleh intensitas serangan yang rendah, demikian pula pada pertanaman bulan Oktober semakin
tinggi populasi vektor, semakin tinggi pula intensitas serangan. Intensitasnya mencapai 10,11 % pada
varietas pembanding yang peka IR 64. Ketersediaan sumber inokulum dan peluang hidup vektor yang
lebih ideal karena dukungan curah hujan yang merata pada setiap minggu diduga menjadi penyebab
serangan tungro tetap ada pada penanaman bulan Oktober.
Tabel 2. Keadaan curah hujan, temperatur, dan kelembababan selama Pertanaman, dalam
penanaman bulan Mei (MK), dan Oktober (MH) Lanrang. 2009
HH( mm) Suhu maksimun Suhu Minimun Kelembaban (%)Umur
Tnm MT I MT II MT I MT II MT I MT II MT I MT II
7 HST 1,5(10,5) 2.1 32,3 26,8 26,9 88 87
14HST - 2 31,3 32,3 26,3 26,7 88 90
21HST - 1 31,6 31,4 25,6 26,8 90 90
28HST 4,6(0,7) 1 30,5 30,2 26,0 27,3 87 86
35HST 4,2(0,3) 3,1 30,5 31,9 26,3 27,8 87 90
42HST 4,0(4,4) 2,2 31,9 30,1 26,2 26,2 85 88
49HST - 4,5 31,2 30,2 26,2 26,3 87 90
56HST - 3,2 31,6 30,2 25,1 25,3 89 89
63HST - 2,1 31,9 30,4 26,4 26,4 82 90
70HST - 4,3 31,9 31,2 26,3 26,4 83 80
Sumber : Stasiun klimatologi Lanrang,Loka Penelitian Penyakit TungroHST = Hari Setelah tanam - = Tidak ada hujan, HH = Hari Hujan
Tabel 3. Infektivitas vektor N. virencens(%)dari beberapa varietas unggul baru dalam
penanaman bulan Mei (MK), dan Oktober (MH) Lanrang 2009
Infektivitas tungro dari gejala pada 40 HSTPerlakuan
MT I*) MT II*)
Inpari 1 1,06 a 15,00 a
Inpari 2 1,18 a 8,33 a
Inpari 3 1,18 b 11,66 a
Inpari 4 1,00 a 15,00 aInpari 7 1,00 a 6,67 b
Inpari 9 (Cek Tahan) 1,00 a 5,00 b
Inpari 10 1,06 a 8,67 a
IR 64( Cek Peka) 1,34 c 26,33 c*)
Angka pada baris dan kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
uji BNJ taraf 5 %.
*)MT I = Penanaman bulan Mei (MK), dan MT II = Penanaman bulan pada
bulan Oktober (MH). Lanrang.
Hal yang menarik dikemukakan adalah bahwa dari dua kali penanaman dengan tujuh varietasunggul baru, ditemukan populasi vektor dan intensitas serangan tungro yang bervariasi. Pada varietas
-
5/19/2018 107-113-PERAN-FAKTOR-EKOBIOLOGI-TERHADAP-SYAHRIR-PAKKI_2.pdf
5/7
Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan, 27 Mei 2010
111
yang lebih peka, jumlah vektor dan intensitas tungro nyata lebih tinggi dibanding dengan varietas yang
tahan. Ini menandakan bahwa varietas yang lebih tahan mempunyai peran lebih besar untuk
pengendalian tungro. Implikasi temuan penelitian ini adalah pemanfaatan varietas unggul baru yaitu
Inpari 3, 4, 7 dan 9 yang mempunyai tingkat serangan yang lebih rendah dibanding Inpari 2 dan 10 dan
pembanding peka (Tabel 4, MT II), dapat dijadikan sebagai varietas-varietas anjuran untuk wilayah-
wilayah endemis tungro. Hasanuddin (2002), mengemukakan bahwa peningkatan proporsi penanaman
varietas yang lebih tahan disuatu hamparan berpengaruh nyata dalam mengurangi serangan tungro.
Parameter jumlah anakan produktif Inpari 3, 4, 7 dan 9 per rumpun pada intensitas serangan
tungro yang lebih tinggi, dalam MT II, berkisar 18,50 20,83 per rumpun, dengan rerata tinggi
tanaman berkisar 79,90- 83,40 dan produktivitas 5,6-6,6 ton/ha (Tabel 5, 6 dan 7) memberi sinyal
bahwa varietas-varietas tersebut mempunyai potensi hasil tinggi bila dibandingkan dengan beberapa
varietas-varietas unggul nasional lainnya dan dapat dikembangkan pada wilayah-wilayah endemis tungro.
Tabel 4. Intensitas serangan tungro (%) dari beberapa varietas unggul dalam
penanaman bulan Mei (MK), dan Oktober (MH) Lanrang. 2009
Intensitas tungro pada 40 HSTPerlakuan
MT I*) MT II*)
Inpari 1 0,040a 2,99 ab
Inpari 2 0,024 a 3,33 a
Inpari 3 0,002 b 2,22 ab
Inpari 4 0,011 a 1,67 b
Inpari 7 0,015 a 0,78 b
Inpari 9 (Cek Tahan) 0,001 b 0,33 b
Inpari 10 0,013 a 3,67 a
IR 64( Cek Peka) 0,037 c 10,11 c
Angka pada baris dan kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata uji BNJ taraf 5 %.
*) MT I = Penanaman bulan Mei (MK), dan MT II = Penanaman bulan Oktober (MH). Lanrang.
Tabel 5. Rerata Jumlah anakan produktif dari beberapa varietas unggul Baru dalam
penanaman bulan Mei (MK), dan Oktober (MH) Lanrang. 2009
Rerata anakan produktif per rumpunPerlakuan
MT I*) MT II*)
Inpari 1 20,10 a 20,83a
Inpari 2 18,70 ab 16,83 cd
Inpari 3 18,00 ab 19,20 ab
Inpari 4 20,10 a 18,83 abc
Inpari 7 17,90 a 17,40 bcd
Inpari 9 (Cek Tahan) 19,55 a 18,50 abc
Inpari 10 18,30 ab 17,80 bcd
IR 64( Cek Peka) 16,60 b 16,46 d
Angka pada baris dan kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata uji BNJ taraf 5 %.
*) MT I = Penanaman bulan Mei (MK), dan MT II = Penanaman bulan Oktober (MH). Lanrang. 2009.
-
5/19/2018 107-113-PERAN-FAKTOR-EKOBIOLOGI-TERHADAP-SYAHRIR-PAKKI_2.pdf
6/7
Syahrir Pakki :Peran Faktor Ekobiologi Terhadap Dinamika Populasi Vektor Dan Penyakit Tungro.
112
Tabel 6. Rerata tinggi tanaman dari beberapa varietas unggul baru dalam penanaman
bulan Mei (MK), dan Oktober (MH) Lanrang. 2009
Rerata tinggi TanamanPerlakuan
MT I*) MT II*)Inpari 1 86,50 a 83,84 a
Inpari 2 73,76 b 72,56 b
Inpari 3 81,46 ab 79,20 b
Inpari 4 79,50 ab 79,30 b
Inpari 7 79,13 ab 79,90 b
Inpari 9 (Cek Tahan) 85,56 a 88,72 c
Inpari 10 80,06 a 82,50 a
IR 64( Cek Peka) 64,80 c 68,63 d
Angka pada baris dan kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata uji BNJ taraf 5 %.
*) MT I = Penanaman bulan Mei (MK), dan MT II = Penanaman bulan Oktober (MH). Lanrang. 2009.
Tabel 7. Produktivitas ton/ha dari beberapa varietas unggul baru dalam penanaman
bulan Mei (MK), dan Oktober (MH) Lanrang. 2009
Rerata produksi ton/haPerlakuan
MT I*) MT II*)
Inpari 1 6,34 a 6,13 a
Inpari 2 5,83 a 5,00 b
Inpari 3 6,36 a 5,16 ab
Inpari 4 4,90 a 4,66 b
Inpari 7 6,33 a 5,56 abInpari 9 (Cek Tahan) 6,83 a 6,16 a
Inpari 10 6,10 a 4,60 b
IR 64( Cek Peka) 4,73 b 1,46 c
Angka pada baris dan kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata uji BNJ taraf 5 %.
*) MT I = Penanaman bulan Mei (MK), dan MT II = Penanaman bulan Oktober (MH). Lanrang. 2009.
Varietas Inpari-9 dan Inpari-7 mempunyai prospek dikembangkan pada wilayah-wilayah endemis
tungro, sifat tahan terhadap tungro, jumlah gabah isi per malai sekitar 6,3 dan 6,83 t/ha), memberi
indikasi bahwa produktivitas dari kedua varietas tersebut tidak dipengaruhi oleh penyakit tungro. dan
berpotensi hasil yang mendekati produksi beberapa varietas unggul nasional lainnya seperti Ciherang
yang mempunyai potensi hasil sekitar 6 ton per ha gabah kering giling ( Balitpa, 2007).
KESIMPULAN
Pada dua musim tanam, tidak ditemukan adanya pergeseran dominasi spesies vektor wereng
hijau, vektor dominan adalah Nephotetix virescens.Populasi serangga penular N virescensdipengaruhi
oleh faktor curah hujan . Semakin tinggi curah hujan juga diikuti oleh tingginya populasi vektor dan
intensitas serangan penyakit tungro. Kombinasi keadaan suhu pada kisaran 30,0 32,3 dan curah
hujan yang tergolong sangat rendah sekitar 0 2,7 mm, atau dominan tidak ada hari hujan pada setiap
inggunya menyebabkan tidak ditemukannya vektor wereng hijauN virescensdan serangan penyakit
ungro pada semua varietas yang diuji.
m
t
-
5/19/2018 107-113-PERAN-FAKTOR-EKOBIOLOGI-TERHADAP-SYAHRIR-PAKKI_2.pdf
7/7
Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan, 27 Mei 2010
113
SARAN-SARAN
Varietas Inpari-9 dan Inpari-7 mempunyai prospek dikembangkan pada wilayah-wilayah endemis
tungro, sifat tahan terhadap tungro, dengan prduksi sekitar 6,3 dan 6,83 t/ha.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih diucapkan kepada sdr Hasanuddin (staff teknis pada Loka Penelitian
Penyakit Tungro) yang telah membantu pelaksanan penelitian, dalam hal membantu penanaman,
ngamatan, dan pemeliharaan selama di lapangan, sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan
ik.
pe
ba
DAFTAR PUSTAKA
Dahal, G., H. Hibino and R.C. Saxena. 1990. Association of leafhopper feeding behavior with
transmission of rice tungro to susceptible and resistant rice cultivar. Phytopathology. 80:659-
665.Hasanuddin, A., I.N. Widiarta dan M. Muhsin. 2001. Penelitian teknik eliminasi sumber inokulum RTSV:
Suatu strategi pengendalian tungro. Laporan Riset Unggulan Terpadu IV. Kantor Menristek dan
DRN
Hasanuddin, A. 2002. Pengendalian Penyakit Tungro Terpadu : Strategi dan Implementasi. Orasi
pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Puslitbang Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian.
Hibino, H., Roechan, M and Sudarisman, S. 1978. Association of two types of virus particles with
penyakit habang (tungro disease) of rice in Indonesia. Phytopathology, 68:1412-6.
Hibino, H. and R.C. Cabunagan. 1986. Rice tungro associated viruses and their relation to host plants
and vector leafhopper. Trop. Agr. Res. Ser. 19:173-182.Muis, A., M. Yasin Said dan A. Hasanuddin. 1990. Epidemiologi penyakit tungro, pergiliran varietas dan
waktu tanam. Hasil Penelitian Padi, Balai Penelitian Tanaman Pangan Maros, 1990(1):47-52.
Omura, T., Y. Saito, T. Usugi and H. Hibino. 1983. Purification and serology of rice tungro spherical and
rice tungro bacilliform viruses. Ann. Phytopathol. Soc. Jpn. 49:73-76.
Rivera, C.T., S.H. Ou and D.M. Tantera. 1968. Tungro disease of rice in Indonesia. Plant Disease,
52:122-124.
Siwi, S.S. and Y. Zusuki. 1991. The green leafhopper (Nephotettix spp.): vector of rice tungro virus
disease in Southeast Asia, particularly in Indonesia and its management. Indonesian
Agricultural Research and Development. Journal. 13(1 dan 2):8-15.Pakki, S, Ketut, Muis A.2009. Reaksi galur-galur padi uji lanjutan (Filial 7 terhadap penyakit tungro.
Prosiding Seminar Nasional dan Workshop Inovasi Teknologi Pertanian yang Berkelanjutan
Mendukung Pengembangan Agribisnis dan agro Industri di Pedesaan. Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian. hal 141-146
Pakki, S, Ketut, Muis A. 2009. Pennampilan galur-galur padi tahan tungro di daerah endemis Sulawesi
Tengah. Prosiding Seminar Nasional dan Workshop Inovasi Teknologi Pertanian yang
Berkelanjutan Mendukung Pengembangan Agribisnis dan agro Industri di Pedesaan. Balai Besar
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. hal 135-140.
Sogawa, K. 1976. Rice tungro virus and its vectors in tropical Asia. Rev. Plant Protec. (9):25-46