100406066 - abrams elton (3).docx

13
TUGAS PERENCANAAN KOTA PENERAPAN SATU UNSUR PERENCANAAN KOTA OLEH : ABRAMS ELTON HUTAGALUNG 100406066 DEPARTEMEN ARSITEKTUR UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Upload: abdul-joshua-oh-mandai

Post on 16-Apr-2015

22 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 100406066 - ABRAMS ELTON (3).docx

TUGAS PERENCANAAN KOTAPENERAPAN SATU UNSUR PERENCANAAN

KOTA

OLEH :

ABRAMS ELTON HUTAGALUNG100406066

DEPARTEMEN ARSITEKTURUNIVERSITAS SUMATERA

UTARA

Page 2: 100406066 - ABRAMS ELTON (3).docx

Pendahuluan

Semarang merupakan kota utama Provinsi Jawa Tengah. Memiliki luas wilayah 373,67 km2 dengan 16 buah kecamatan, Semarang termasuk dalam jajaran kota besar di Indonesia.

Dahulu, Semarang adalah daerah pesisir yang bernama Pragota, di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno. Pada akhir abad ke-15 M, ditempatkan oleh Kerajaan Demak untuk menyebarkan agama Islam, seseorang yang bernama Pangeran Made Pandan (Ki Ageng Pandan Arang I). Ia lantas menjadikan daerah itu ramai dan menamainya “Semarang”.

Daerah pesisir itu, seiring perjalanan waktu, berkembang menjadi daerah yang besar. Sejak hari jadinya pada 2 Mei 1547, Semarang larut dalam beberapa kekuasaan asing. Sampai tanggal 15 Oktober 1945, melalui sebuah pertempuran sengit yang tenar sebagai “Pertempuran Lima Hari”, patriot-patriot Semarang membuktikan nasionalisme mereka dalam upaya mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kota Semarang pada era pemerintahan Walikota Sukawi Sutarip (2000-2005 dan 2005-2010) dengan konsekuen hendak dikembangkan menjadi kota berbasis perdagangan dan jasa. Maka tak heran, dalam periode kepemimpinannya, beberapa sarana perdagangan benar-benar dimanjakan. Pelbagai pusat perbelanjaan terlihat menjamur di sudut-sudut utama kota.

Namun, pembangunan yang diselenggarakan nampak timpang, kurang dapat dirasakan masyarakat tepian-kota. Perencanaan pembangunan tidak dilakukan secara saksama dan tepat guna. Kita dengan mudah dapat melihat bahwa di sana-sini telah terjadi kekacauan penataan kota. Buktinya, terjadi ketidakjelasan atas tipe wilayah macam apa yang hendak diselenggarakan. Semarang adalah kota yang aneh dengan pusat perbelanjaan dalam wilayah yang notabene merupakan area perkantoran dan pendidikan, pabrik-pabrik industri dalam area pemukiman padat penduduk.

Seringkali terjadi pembangunan serampangan yang mengabaikan aspek lingkungan hidup. Contohnya, pembabatan pepohonan di wilayah Semarang bagian selatan, yang notabene adalah daerah resapan air hujan, dengan dalih kepentingan permukiman. Tentu saja kita, rakyat kecil, menjadi tak heran merasakan bencana alam yang tiap tahun menyambangi Semarang, dari banjir, tanah longsor, hingga rob.

Dengan terpilihnya Soemarmo dan Hendy Hendrar Prihadi sebagai walikota dan wakil walikota, menjadi penting bagi kita, warga Semarang, buat mengajukan prioritas pembangunan demi kemajuan Semarang beberapa tahun ke depan.

Pembangunan Bidang Tatakota

Tatakota mutlak menjadi kajian pertama karena tatakota yang baik adalah gerbang awal penilaian masyarakat luar terhadap kota tersebut. Bila Semarang betul-betul ingin diproyeksikan sebagai kota yang maju, dengan perdagangan sebagai alatnya dan kesejahteraan warga sebagai tujuannya, tatakota mesti menjadi fokus perhatian utama.

Semarang adalah kota pesisir sekaligus kota perbukitan yang unik. Semarang bagian bawah adalah pusat kota sejak dahulu kala, namun kian lama kian terkena imbas negatif dari pasang air laut (rob). Semarang bagian atas adalah wilayah baru yang tengah berkembang dengan pembangunan di sana-sini. Namun, wilayah baru itu tak melulu menghasilkan keuntungan,

Page 3: 100406066 - ABRAMS ELTON (3).docx

melainkan sebaliknya. Wilayah inilah sebenarnya yang merupakan kunci atas banjir dan tanah longsor selalu melanda Semarang.

Pemerintahan baru ke depan mestinya sungguh-sungguh melihat posisi sulit dari kedua wilayah ini secara arif. Solusinya adalah dengan kembali kepada alam, dengan ikhtiar penuh mengembalikan fungsi pepohonan. Penggalakan yang berwujud penanaman bakau di beberapa garis pantai perlu diperkencang volumenya. Sebaliknya, pembabatan habis pepohonan di Semarang atas harus diimbangi dengan peremajaan kembali.

Ada baiknya Pemerintah merancang ulang pola-pola perkotaan yang efektif. Artinya, pembangunan gedung, fasilitas jalan, dan sarana-prasarana masyarakat seyogianya diperhitungkan masak-masak. Dalam hal demikian, masyarakat umum seyogianya turut dilibatkan dalam perencanaan pembangunan.

Pembangunan Bidang Kependudukan

Masalah pelik yang menghantui sebuah kota besar adalah jumlah populasi penduduk yang tinggi. Karena dari soal demikian, muncullah pelbagai macam soal-soal lanjutan seperti pengangguran, kriminalitas, kesumpekan lahan, dan sempitnya lapangan pekerjaan.

Maka, menjadi amat penting buat pemerintah baru mencanangkan sungguh-sungguh program untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Upaya ini bisa berupa konsolidasi dengan pemerintah pusat melalui program Keluarga Berencana (KB) maupun langkah pribadi dari pemerintah kota.

Kepadatan penduduk yang telah mencapai 3.929 jiwa per km2 adalah jumlah yang cukup tinggi untuk kota sebesar Semarang. Apalagi persebarannya tidak merata, dengan perbedaan kepadatan yang mencolok antara di pusat dan tepian-kota. Untuk itulah, agenda pemerataan pembangunan ternyata menjadi kian penting. Agenda ini akan meminimalisasikan mobilisasi penduduk, sehingga pergeseran tidak terlalu terfokus ke pusat kota. Pada gilirannya, hal tersebut akan berbuah pada semakin berkurangnya kemacetan lalu lintas dan ketimpangan kesejahteraan rakyat.

Page 4: 100406066 - ABRAMS ELTON (3).docx

BAB 2.TEORI

Membangun secara Ekosentris: Komparasi antara Pembangunan Kawasan Semarang dan Jepang

oleh A.P. Edi Atmaja

Hal yang senantiasa menjadi sumber kecemasan bagi para pemangku kepentingan negara kesatuan sebesar Indonesia adalah bagaimana cara mewujudkan pemerataan pembangunan di segala wilayah. Terselenggaranya sistem otonomi daerah sebagai implementasi dari Gerakan Reformasi 1998 agaknya tidak cukup menjamin asas pemerataan pembangunan itu. Di mana pun, kita lihat, semakin jauh suatu wilayah dari pusat kekuasaan negara, semakin jauh pula kesempatannya mencicipi buah manis pembangunan.

“Raja-raja kecil” pemangku mandat otonomi daerah rupanya tidak cukup mampu mengembangkan daerah mereka masing-masing ke arah yang lebih baik. Yang banyak terjadi justru adalah pembangunan asal-asalan yang pada akhirnya menggiring alam dan ekosistem lingkungan sebagai pihak yang teraniaya. Pembangunan demikian tampak antara lain dengan munculnya pembangunan-pembangunan yang berorientasi jangka pendek, kurang pengawasan, mengejar profit ketimbang manfaat, dan proyek-proyek “mercusuar” yang garang tampilan luarnya namun miskin fungsi.

Semarang sebagai kota metropolitan utama di Provinsi Jawa Tengah ternyata menampilkan manifestasi otonomi yang belum berhasil. Di banyak tempat, dari pojok hingga pusat kota, dapat kita temukan gejala pembangunan yang mengkhawatirkan: terbengkalai akibat salah prosedur, salah urus, dan sebagainya. Menjadi menarik manakala menghubungkan hal-hal tersebut dengan bencana alam (atau buatan?) yang tiap tahun menyambangi Semarang dalam ujud banjir, rob, tanah longsor, kekeringan, dan macam-macam lagi. Tentu saja tingkat keparahan bencana-bencana tersebut tidak separah bila dibandingkan dengan kawasan pusat seperti, katakanlah, Jakarta karena “kadar” pembangunan yang dilaksanakan sendiri juga berbeda.

Page 5: 100406066 - ABRAMS ELTON (3).docx

BAB 3.STUDI KASUS

Beberapa Masalah

Masalah utama yang perlu mendapat perhatian adalah kenyataan bahwa kawasan Semarang tidak memiliki pola pembangunan yang jelas. Ketidakjelasan itu antara lain terlihat pada, pertama, pengklasifikasian jenis kawasan dengan corak geografis masing-masing. Maraknya pembangunan perumahan di daerah perbukitan (“Semarang atas”) belakangan ini membuktikan hal tersebut. Perbukitan yang dulunya merupakan daerah resapan air hujan kini telah dibabat habis-habisan sehingga banjir kiriman dari atas kerap melanda Semarang bawah.

Semarang Atas

Kedua, kawasan Semarang sangat tidak jelas dalam pola pembangunan kawasan sesuai dengan peruntukannya. Barangkali Semarang adalah satu-satunya ibukota provinsi yang aneh dan lucu di mana terdapat pusat perbelanjaan di kawasan perkantoran (seperti tampak di Jalan Pemuda), perguruan tinggi di segitiga emas perdagangan, dan pabrik-pabrik industri di kawasan padat penduduk.

Ketiga, sentralisasi yang amat kuat terhadap fasilitas rakyat, semisal pelayanan kesehatan, dari kawasan yang benar-benar membutuhkan. Pembangunan rumah sakit yang kebanyakan berada di pusat kota membuktikan hal ini.

Page 6: 100406066 - ABRAMS ELTON (3).docx

Ketiga masalah tersebut bermuara pada masalah-masalah lanjutan. Pertama, terjadi ketimpangan kesejahteraan yang pada tahap kritis akan berdampak pada pengangguran. Kedua, timbul ketimpangan pendidikan dan akses terhadap pelayanan kesehatan akibat sentralisasi fasilitas rakyat. Ketiga, muncul sikap ketidakpekaan, baik dari pihak masyarakat maupun Pemerintah, dengan keberlangsungan alam dan lingkungan hidup di sekitar mereka.

Menyaksikan beberapa masalah tadi, yang muncul berjalin-kelindan satu sama lain, menjadi jelas bagi kita akan pentingnya melaksanakan suatu pembangunan yang berorientasi pada lingkungan hidup (ekosentris). Konsep pembangunan yang berorientasi pada manusia (antroposentris), yang muncul berbarengan dengan gegap-gempitanya Revolusi Industri, rupanya perlu segera diganti. Terbukti, konsep antroposentris merupakan perwujudan dari sifat rakus manusia yang mengabaikan keberlangsungan alam. Maka, hukum lingkungan modern dewasa ini telah mulai bercorak ekosentris dengan instrumen pokok berupa kesadaran masing-masing individu dalam upaya mempertahankan kelestarian alam.

Belajar dari Jepang

Kita bisa belajar dari Jepang dalam rangka menciptakan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Sejak disahkannya Undang-undang Pembangunan Pertanahan Nasional pada 1950, pemerintah Jepang bertekad melakukan pembangunan besar-besaran usai negerinya terpuruk akibat Perang Dunia Kedua. Konkretisasi undang-undang tersebut tercermin dalam Empat Rencana Pembangunan Nasional yang dicanangkan mulai tahun 1962 hingga sekarang.

Rencana Pertama, yang disetujui pada 1962, mengesahkan Undang-undang Pembangunan Kota Industri Baru dan menunjuk limabelas kota sebagai percontohan dengan menekankan isu-isu seperti sasaran pembangunan industri, kependudukan, penggunaan jalan, pelabuhan, lokasi pabrik, dan perumahan. Jadi, sejak awal, Jepang sudah memusatkan perhatian pada penataan pembangunan sesuai fungsinya. Yang paling penting, masalah utama pembangunan nasional, yakni kependudukan, menjadi bahan garapan pada rencana awal ini.

Rencana Kedua (1969) dipusatkan pada pembangunan jaringan transportasi nasional dengan kereta api supercepat Shinkansen sebagai pionirnya. Kita mestinya perlu melakukan hal yang sama. Peningkatan kualitas pelayanan angkutan umum—baik sarana maupun prasarananya—terbukti merupakan hal yang amat dibutuhkan saat ini, dengan membludaknya jumlah

Page 7: 100406066 - ABRAMS ELTON (3).docx

kendaraan pribadi, bila Pemerintah sadar bahwa transportasi merupakan bagian penting dari keberhasilan pembangunan.

Rencana Ketiga (1977) bertolak pada keinginan pemerintah Jepang untuk meningkatkan kesadaran warganya perihal penciptaan kualitas lingkungan hidup yang mandiri buat tempat tinggal manusia.

Rencana Keempat (dimulai sejak 1989) menekankan pada pengembangan Jepang secara keseluruhan. Melalui National Capital Region (NRC), pemerintah Jepang berupaya menyinkronisasikan pembangunan daerah metropolitan dengan daerah pinggiran. Pemerintah Jepang rupanya amat intens melaksanakan rencana keempat ini. Sampai-sampai, meski dalam beberapa hal pemerintah daerah (prefektur) diberi kewenangan besar mengelola daerahnya, pemerintah pusat menyediakan bantuan keuangan khusus dan insentif pajak terhadap daerah industri yang harus direlokasi.

Page 8: 100406066 - ABRAMS ELTON (3).docx

Jalan sebagai sarana penunjang transportasi memiliki peran penting khususnya untuk transportasi darat. Untuk mendukung transportasi darat, pemerintah daerah telah membangun jalan sepanjang 2.689,64 km jalan kabupaten/kota

dan 28,89 km jalan provinsi. Dari total panjang jalan yang ada, 53,24 persen sudah diaspal, sementara sisanya diperkeras dengan paving ataupun beton. Sementara panjang jalan tidak mengalami kenaikan yang berarti, jumlah kendaraan bermotor di Kota Semarang terus mengalami kenaikan dalam jumlah yang cukup besar khususnya mobil pribadi/dinas dari sekitar 34 ribu pada tahun 2007 menjadi 44,6 ribu pada tahun 2009. Peningkatan juga terjadi pada jenis kendaraan mobil penumpang (bus,taksi dan mikrolet), sementara untuk jenis mobil barang dan sepeda motor terlihat berfluktuasi.*** Sebaiknya Anda TahuHanya sekitar 43,9 persen dari total panjang jalan di  Kota Semarang pada tahun 2009 dalam kondisi baik.Di sektor komunikasi, secara umum terdapat perkembangan yang positif khususnya akses penduduk terhadap Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Selama periode 2008-2009 telah terjadi peningkatan jumlah pengguna telpon seluler dan komputer, sebaliknya persentase rumahtangga yang memakai telpon terjadi penurunan. Pengguna telpon turun sekitar 1,65 persen, hal ini dimungkinkan pemakaian telpon rumah pindah ke telpon seluler. Sementara persentase rumahtangga yang memiliki komputer meningkat dari  23,11 % menjadi 24,67 %.

Permukaan Jalan di Semarang (%), 2009 Statistik Transportasi Kota Semarang

Page 9: 100406066 - ABRAMS ELTON (3).docx

BAB. 4 KESIMPULAN

Semarang merupakan kota utama Provinsi Jawa Tengah. Memiliki luas wilayah 373,67 km2 dengan 16 buah kecamatan, Semarang termasuk dalam jajaran kota besar di Indonesia.

Masalah utama yang perlu mendapat perhatian adalah kenyataan bahwa kawasan Semarang tidak memiliki pola pembangunan yang jelas. Ketidakjelasan itu antara lain terlihat pada, pertama, pengklasifikasian jenis kawasan dengan corak geografis masing-masing. Maraknya pembangunan perumahan di daerah perbukitan (“Semarang atas”) belakangan ini membuktikan hal tersebut. Perbukitan yang dulunya merupakan daerah resapan air hujan kini telah dibabat habis-habisan sehingga banjir kiriman dari atas kerap melanda Semarang bawah.

Kedua, kawasan Semarang sangat tidak jelas dalam pola pembangunan kawasan sesuai dengan peruntukannya. Barangkali Semarang adalah satu-satunya ibukota provinsi yang aneh dan lucu di mana terdapat pusat perbelanjaan di kawasan perkantoran (seperti tampak di Jalan Pemuda), perguruan tinggi di segitiga emas perdagangan, dan pabrik-pabrik industri di kawasan padat penduduk.

Ketiga, sentralisasi yang amat kuat terhadap fasilitas rakyat, semisal pelayanan kesehatan, dari kawasan yang benar-benar membutuhkan. Pembangunan rumah sakit yang kebanyakan berada di pusat kota membuktikan hal ini.